Anda di halaman 1dari 4

TUGAS FARMAKOLOGI

NAMA : NI WAYAN ISTIAWATI

ABSEN : 37

PRODI : S1 KEBIDANAN PROG. B

SOAL

1. Cari dan jelaskan terapi analgetik yang aman untuk ibu hamil!
2. Cari dan jelaskan terapi antimikroba pada ibu hamil dengan TB!

JAWABAN
1. Terapi analgetik yang aman untuk ibu hamil antara lain :

a. Paracetamol
Paracetamol diklasifikasikan ke dalam kategori B oleh FDA dan kategori A oleh TGA
sehingga dapat dijadikan analgesik lini pertama pada kehamilan. Paracetamol efektif untuk
mengurangi nyeri akut yang bersifat ringan hingga sedang, seperti nyeri kepala, nyeri gigi,
dan nyeri pinggang. Walaupun obat ini dapat melewati sawar plasenta, hingga saat ini
paracetamol dianggap aman untuk dikonsumsi oleh ibu hamil selama digunakan dalam dosis
dan frekuensi yang dianjurkan. Berbagai risiko yang berkaitan dengan penggunaan
paracetamol telah diteliti di beberapa negara, tetapi hasilnya tidak konsisten. Selain itu,
masih terdapat keterbatasan pada desain penelitian atau faktor perancu yang mungkin
memengaruhi hasil penelitian, sehingga diperlukan studi lebih lanjut untuk mengonfirmasi
hubungan tersebut. Beberapa studi kohort prospektif juga mengaitkan penggunaan
paracetamol selama kehamilan dengan gangguan perkembangan sistem saraf pada bayi,
yang dapat mengakibatkan anak menderita gejala attention deficit hyperactivity
disorder (ADHD), risiko ini meningkat seiring dengan semakin tinggi frekuensi dan durasi
penggunaan paracetamol. Namun, ada kemungkinan hasil ini bias karena terdapat faktor
perancu berupa faktor genetik yang diduga berperan dalam gangguan perkembangan sistem
saraf janin. Sebuah meta-analisis mengemukakan bahwa terdapat hubungan antara
penggunaan paracetamol selama kehamilan trimester pertama dengan kejadian asma pada
anak. Namun dalam meta-analisis tersebut, hasil yang didapatkan sangat heterogen, selain
itu terdapat faktor perancu berupa berupa infeksi saluran pernapasan pada ibu yang dapat
menimbulkan bias. Oleh karena itu, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui
hubungan tersebut. Beberapa penelitian yang mengaitkan penggunaan paracetamol pada
trimester ketiga dengan prenatal ductus arteriosus closure memberikan hasil yang tidak
konsisten. Namun sebuah artikel review terbaru mengungkapkan bahwa efek penggunaan
paracetamol pada trimester ketiga dengan dosis yang direkomendasikan, dapat diabaikan.
Dapat disimpulkan bahwa paracetamol aman dan efektif digunakan untuk mengatasi nyeri
akut yang bersifat ringan hingga sedang pada ibu hamil di trimester pertama hingga ketiga,
dengan dosis maksimal 4 gram/hari dengan durasi penggunaan sesingkat mungkin.

b. Obat Antiinflamasi Nonsteroid (OAINS)


Obat yang termasuk ke dalam OAINS diklasifikasikan oleh FDA dalam kategori B atau C
(trimester pertama dan kedua) dan berubah menjadi kategori D pada trimester ketiga.
Keamanan penggunaan OAINS pada kehamilan tergantung pada pemilihan obat, waktu,
dosis dan durasi pemberian. OAINS diduga berhubungan dengan kejadian abortus pada ibu
hamil, sebab penggunaan OAINS memengaruhi produksi prostaglandin yang berperan
penting dalam implantasi embrio. Namun, artikel review yang dilakukan oleh food drugs
administration (FDA) menyatakan bahwa hubungan tersebut inkonklusif karena desain studi
yang terbatas sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengonfirmasi hubungan
tersebut. Secara umum, hasil penelitian menyatakan risiko tersebut lebih tinggi pada
penggunaan diclofenac dan indomethacin dibandingkan dengan ibuprofen dan pada
penggunaan OAINS di sekitar masa konsepsi. Beberapa penelitian yang mempelajari
hubungan antara penggunaan OAINS dengan kejadian berbagai kelainan kongenital
memberikan hasil bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara penggunaan
OAINS dengan kejadian berbagai kelainan kongenital. Penggunaan OAINS pada usia
kehamilan di atas 30 minggu dikontraindikasikan karena sudah terbukti berhubungan
dengan penutupan premature ductus arteriosus dan oligohidramnion. Baru-baru ini FDA
mengeluarkan himbauan kepada pemberi layanan kesehatan untuk menghindari pemberian
OAINS kepada ibu hamil dengan usia kehamilan di atas 20 minggu, sebab penggunaan
OAINS pada umur kehamilan 20 minggu diduga dapat menyebabkan kerusakan ginjal pada
janin dan oligohidramnion. Namun, penggunaannya masih diperbolehkan dengan
mempertimbangkan manfaat dan risiko, dengan dosis terapeutik terendah dan dengan durasi
sesingkat mungkin. Dapat disimpulkan bahwa penggunaan OAINS sebaiknya tidak
dijadikan sebagai pilihan pertama untuk mengatasi nyeri pada ibu hamil. Namun, pada
kondisi yang tidak dapat dihindarkan, misalnya pada migraine berat yang tidak merespons
terhadap paracetamol, penggunaan OAINS pada ibu hamil di bawah usia kehamilan 30
minggu dapat dipertimbangkan jika dirasa manfaat yang diperoleh ibu hamil lebih besar
daripada risikonya. Pilihan utama untuk kondisi tersebut adalah ibuprofen dengan dosis
teurapetik terendah dan durasi penggunaan sesingkat mungkin.

c. Aspirin
Aspirin banyak digunakan sebagai obat pereda nyeri sedang hingga berat dan juga
bermanfaat dalam pencegahan preeklampsia pada ibu hamil dengan risiko
tinggi. Aspirin diklasifikasikan ke dalam kategori C sebab penelitian pada hewan
menunjukkan adanya hubungan penggunaan aspirin dengan malformasi kongenital pada
janin. Namun, penelitian yang dilakukan pada manusia tidak memberikan bukti keterkaitan
yang meyakinkan. Beberapa meta-analisis yang mengevaluasi tentang hubungan
penggunaan aspirin dan kelainan kongenital tidak menunjukkan adanya hubungan yang
signifikan. Namun, beberapa penelitian mengungkapkan bahwa penggunaan aspirin selama
kehamilan meningkatkan risiko kejadian gastroschisis dua kali lipat dibandingkan dengan
kelompok kontrol. Walaupun demikian, hasil ini perlu diinterpretasikan dengan sangat hati-
hati mengingat tidak adanya keterangan mengenai dosis aspirin yang digunakan dalam
penelitian tersebut dan juga adanya kemungkinan bias recall. Penggunaan aspirin selama
kehamilan tidak berkaitan dengan kejadian abortus. Penggunaan aspirin dosis rendah (<150
mg) pada trimester ketiga tidak berhubungan dengan perdarahan intrakranial, komplikasi
perdarahan neonatal, premature closure of the ductus arteriosus dan oligohidramnion.
Namun penggunaan dengan dosis tinggi (>650 mg) diduga kuat dapat berakibat pada
kejadian-kejadian tersebut. Sebagai kesimpulan, aspirin dosis rendah (<150 mg) aman
digunakan pada kehamilan untuk mengatasi nyeri yang bersifat sedang hingga berat atau
sebagai pencegahan preeklampsia pada kehamilan risiko tinggi dengan durasi penggunaan
sesingkat mungkin.
d. Opioid
Obat yang termasuk ke dalam golongan opioid sebagian besar diklasifikasikan ke dalam
kategori B dan C dan berubah menjadi kategori D jika digunakan dalam waktu yang lama
atau dosis tinggi menjelang persalinan. Penelitian mengenai keamanan penggunaan opioid
pada ibu hamil masih sangat sedikit dan memiliki desain penelitian yang terbatas. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara penggunaan opioid pada trimester
pertama dengan dengan kelainan malformasi berupa spina bifida dan gastroschisis. Namun
hasil ini perlu diinterpretasikan dengan hati-hati, mengingat desain studi yang terbatas dan
kemungkinan adanya bias recall. Penggunaan opioid dalam jangka panjang atau di sekitar
waktu persalinan diduga dapat mengakibatkan  neonatal abstinence syndrome
(NAS) dan withdrawal syndrome pada saat bayi dilahirkan. Oleh karena itu, penggunaan
opioid hanya boleh diberikan dalam jangka waktu yang singkat dan dihindari
penggunaannya menjelang persalinan. Sebagai kesimpulan, beberapa opioid
seperti codeine, dihydrocodeine, tramadol dan morfin efektif dan aman digunakan pada ibu
hamil, kecuali pada penggunaan menjelang persalinan, untuk meredakan nyeri yang bersifat
sedang hingga berat dimana penggunaan paracetamol tidak mampu mengatasinya, dengan
menggunakan dosis terapeutik serendah mungkin dan durasi penggunaan sesingkat
mungkin.

2. Terapi antimikroba pada ibu hamil dengan TB


Penatalaksanaan TBC pada wanita hamil harus diberikan secara tepat dan adekuat, serta
mencegah timbulnya efek samping teratogenik pada janin. Pasien TBC aktif dengan sputum
BTA positif diberikan isoniazid, rifampisin, etambutol dan piridoksin selama 9 bulan pada
populasi risiko TBC rendah. Pada populasi dengan risikoTBC tinggi dan adanya resisten
obat anti TBC tinggi perlu penambahan pirazinamid.(11-14) Pasien dengan uji tuberkulin
positif, sputum BTA negatif, biakan negatif dan foto toraks menunjukkan infiltrat atau
adanya kavitas, diberikan isoniazid, rifampisin, etambutol dan piridoksin selama 9 bulan.
Sedangkan bila pada foto toraks terlihat proses penyakit yang telah menyembuh (terdapat
kalsifikasi pada kelenjar getah bening dan lesi parenkim), dilakukan observasi pada pasien.
Pengobatan diberikan secara tepat setelah melahirkan atau diberi pengobatan profilaksis
dengan isoniazid dan piridoksin selama 9 bulan yang dimulai pada trisemester kedua
kehamilan.(11-14) Pasien dengan konversi uji tuberkulin terbaru positif, foto toraks normal
serta pemeriksaan bakteriologis negatif, maka dilakukan observasi selama kehamilan,
pengobatan diberikan setelah melahirkan atau dengan pemberian profilaksis isoniazid dan
piridoksin selama 9 bulan dimulai pada trisemester kedua kehamilan.(12,13) Pasien dengan
resistensi organisme maka diberikan isoniazid, rifampisin, etambutol, pirazinamid sesuai
dengan uji sensitivitas. Pada pasien dengan ketidakmampuan mentoleransi isoniazid dan
rifampisin, maka diberikan etambutol atau obat lain yang tersedia.

Anda mungkin juga menyukai