Anda di halaman 1dari 32

ASKEP ANAK DENGAN

KEJANG DEMAM

A. Konsep Dasar

1. Pengertian

Istilah kejang demam digunakan untuk bangkitan kejang yg timbul

akibat kenaikan suhu tubuh. “Kejang demam ialah bangkitan kejang yg

terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal 38C) yang disebabkan oleh

suatu proses ekstrakranium (Hasan, 1995).

Banyak pernyataan yang dikemukakan mengenai kejang demam,

salah satu diantaranya adalah : “Kejang demam adalah suatu kejadian pada

bayi atau anak, biasanya terjadi pada umur 3 bulan sampai 5 tahun,

berhubungan dengan demam tetapi tidak pernah terbukti adanya infeksi

intrakranial atau penyebab tertentu. Anak yang pernah kejang tanpa

demam dan bayi berumur kurang dari 4 minggu tidak termasuk. Kejang

demam harus dapat dibedakan dengan epilepsi, yaitu ditandai dengan

kejang berulang tanpa demam (Mansjoer, 2000).

2. Etiologi

Penyebab Febrile Convulsion hingga kini belum diketahui dengan

Pasti, demam sering disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan atas, otitis

media, pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih. Kejang tidak

selalu tinbul pada suhu yang tinggi. Kadang-kadang demam yang tidak

begitu tinggi dapat menyebabkan kejang (Mansjoer, 2000).

1
Kejang dapat terjadi pada setiap orang yang mengalami hipoksemia

(penurunan oksigen dalam darah) berat, hipoglikemia, asodemia,

alkalemia, dehidrasi, intoksikasi air, atau demam tinggi. Kejang yang

disebabkan oleh gangguan metabolik bersifat reversibel apabila stimulus

pencetusnya dihilangkan (Corwin, 2001).

3. Anatomi Fisiologi Sistem Persarafan

Seperti yang dikemukakan Syaifuddin (1997), bahwa system saraf

terdiri dari system saraf pusat (sentral nervous system) yang terdiri dari

cerebellum, medulla oblongata dan pons (batang otak) serta medulla

spinalis (sumsum tulang belakang), system saraf tepi (peripheral nervous

system) yang terdiri dari nervus cranialis (saraf-saraf kepala) dan semua

cabang dari medulla spinalis, system saraf gaib (autonomic nervous

system) yang terdiri dari sympatis (sistem saraf simpatis) dan

parasymphatis (sistem saraf parasimpatis).

2
Otak berada di dalam rongga tengkorak (cavum cranium) dan

dibungkus oleh selaput otak yang disebut meningen yang berfungsi untuk

melindungi struktur saraf terutama terhadap resiko benturan atau

guncangan. Meningen terdiri dari 3 lapisan yaitu duramater, arachnoid dan

piamater.

Sistem saraf pusat (Central Nervous System) terdiri dari :

a. Cerebrum (otak besar)

Merupakan bagian terbesar yang mengisi daerah anterior dan

superior rongga tengkorak di mana cerebrum ini mengisi cavum

cranialis anterior dan cavum cranialis media.

Cerebrum terdiri dari dua lapisan yaitu : Corteks cerebri dan

medulla cerebri. Fungsi dari cerebrum ialah pusat motorik, pusat

bicara, pusat sensorik, pusat pendengaran / auditorik, pusat penglihatan

/ visual, pusat pengecap dan pembau serta pusat pemikiran.

Sebagian kecil substansia gressia masuk ke dalam daerah

substansia alba sehingga tidak berada di corteks cerebri lagi tepi sudah

berada di dalam daerah medulla cerebri. Pada setiap hemisfer cerebri

inilah yang disebut sebagai ganglia basalis.

Yang termasuk pada ganglia basalis ini adalah :

1) Thalamus

Menerima semua impuls sensorik dari seluruh tubuh, kecuali

impuls pembau yang langsung sampai ke kortex cerebri. Fungsi

3
thalamus terutama penting untuk integrasi semua impuls sensorik.

Thalamus juga merupakan pusat panas dan rasa nyeri.

Hypothalamus

Terletak di inferior thalamus, di dasar ventrikel III

hypothalamus terdiri dari beberapa nukleus yang masing-masing

mempunyai kegiatan fisiologi yang berbeda. Hypothalamus

merupakan daerah penting untuk mengatur fungsi alat demam

seperti mengatur metabolisme, alat genital, tidur dan bangun, suhu

tubuh, rasa lapar dan haus, saraf otonom dan sebagainya. Bila

terjadi gangguan pada tubuh, maka akan terjadi perubahan-

perubahan. Seperti pada kasus kejang demam, hypothalamus

berperan penting dalam proses tersebut karena fungsinya yang

mengatur keseimbangan suhu tubuh terganggu akibat adanya

proses-proses patologik ekstrakranium.

2) Formation Reticularis

Terletak di inferior dari hypothalamus sampai daerah batang

otak (superior dan pons varoli) ia berperan untuk mempengaruhi

aktifitas cortex cerebri di mana pada daerah formatio reticularis ini

terjadi stimulasi / rangsangan dan penekanan impuls yang akan

dikirim ke cortex cerebri.

b. Serebellum

4
Merupakan bagian terbesar dari otak belakang yang menempati

fossa cranial posterior. Terletak di superior dan inferior dari cerebrum

yang berfungsi sebagai pusat koordinasi kontraksi otot rangka.

System saraf tepi (nervus cranialis) adalah saraf yang langsung

keluar dari otak atau batang otak dan mensarafi organ tertentu. Nervus

cranialis ada 12 pasang :

1) N. I : Nervus Olfaktorius

2) N. II : Nervus Optikus

3) N. III : Nervus Okulamotorius

4) N. IV : Nervus Troklearis

5) N. V : Nervus Trigeminus

6) N. VI : Nervus Abducen

7) N. VII : Nervus Fasialis

8) N. VIII : Nervus Akustikus

9) N. IX : Nervus Glossofaringeus

10) N. X : Nervus Vagus

11) N. XI : Nervus Accesorius

12) N. XII : Nervus Hipoglosus.

System saraf otonom ini tergantung dari system sistema saraf

pusat dan system saraf otonom dihubungkan dengan urat-urat saraf

aferent dan efferent. Menurut fungsinya system saraf otonom ada 2 di

mana keduanya mempunyai serat pre dan post ganglionik yaitu system

simpatis dan parasimpatis.

5
Yang termasuk dalam system saraf simpatis adalah :

1) Pusat saraf di medulla servikalis, torakalis, lumbal dan seterusnya

2) Ganglion simpatis dan serabut-serabutnya yang disebut trunkus

symphatis

3) Pleksus pre vertebral : Post ganglionik yg dicabangkan dari

ganglion kolateral.

System saraf parasimpatis ada 2 bagian yaitu :

Serabut saraf yang dicabagkan dari medulla spinalis:

1. Serabut saraf yang dicabangkan dari otak atau batang

otak

2. Serabut saraf yang dicabangkan dari medulla spinalis.

4. Patofisiologi

Sel neuron dikelilingi oleh suatu membran. Dalam keadaan normal

membran sel neuron dapat dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium

dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion lain, kecuali ion clorida.

Akibatnya konsentrasi natrium menurun sedangkan di luar sel neuron

terjadi keadaan sebaliknya.

Dengan perbedaan jenis konsentrasi ion di dalam dan di luar sel maka

terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran dan ini dapat

dirubah dengan adanya :

a. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler

b. Rangsangan yang datangnya mendadak, misalnya

mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya

6
c. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena

penyakit atau keturunan.

Pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan

keseimbangan dari membran dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi

dari ion kalium maupun ion natrium melalui membran tadi, dengan akibat

terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya

sehingga meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangganya

sehingga terjadi kejang.

Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda, tergantung dari

tinggi rendahnya ambang kejang tersebut. Pada anak dengan ambang

kejang rendah, kejang dapat terjadi pada suhu 38 C, sedang pada ambang

kejang tinggi baru terjadi pada suhu 40 C atau lebih. Untuk lebih jelas

dapat dilihat pada bagan di bawah ini :

Kejang demam

Inflamasi
Infeksi

Peningkatan suhu tubuh

Metabolisme basal meningkat


Kebutuhan O2 meningkat

Glukosa ke otak menurun

Perubahan konsentrasi dan jenis ion

7
di dalam dan di luar sel

Difusi ion Na+ dan K+

Kejang

Durasi pendek Durasi lama

Sembuh Apnea

O2 menurun

Kebutuhan O2 meningkat

 Hiperkapnia
Metabolisme otak Hipoxemia
meningkat  Hipotensi arterial

Aktivitas otot meningkat

Hipoxia

Permeabilitas meningkat

Edema otak

Kerusakan sel neuron otak

Epilepsi

5. Manisfestasi klinis

8
Secara teoritis pada klien dengan Kejang Demam didapatkan data-data

antara lain klien kurang selera makan (anoreksia), klien tampak gelisah,

badan klien panas dan berkeringat, mukosa bibir kering (Ngastiyah, 1997).

6. Komplikasi

Pada penderita kejang demam yang mengalami kejang lama biasanya

terjadi hemiparesis. Kelumpuhannya sesuai dengan kejang fokal yang

terjadi. Mula – mula kelumpuhan bersifat flasid, tetapi setelah 2 minggu

timbul spastisitas.

Kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan

anatomis di otak sehingga terjadi epilepsy.

Ada beberapa komplikasi yang mungkin terjadi pada klien dengan

kejang demam :

a. Pneumonia aspirasi

b. Asfiksia

c. Retardasi mental

7. Pemeriksaan penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang yang diperlukan dalam
mengevaluasi
kejang demam, diantaranya sebagai berikut.
1.Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan ini tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam,
tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab
demam,
atau keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya darah perifer,

9
elektrolit, gula darah dan urinalisis (Saharso et al., 2009). Selain itu,
glukosa
darah harus diukur jika kejang lebih lama dari 15 menit dalam durasi atau
yang sedang berlangsung ketika pasien dinilai (Farrell dan Goldman, 2011).
2.Pungsi lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dengan pungsi lumbal dilakukan untuk
menyingkirkan kemungkinan meningitis, terutama pada pasein kejang
demam pertama (Soetomenggolo, 1999). Pungsi lumbal sangat dianjurkan
untuk bayi kurang dari 12 bulan, bayi antara 12 - 18 bulan dianjurkan untuk
dilakukan dan bayi > 18 bulan tidak rutin dilakukan pungsi lumbal. Pada
kasus kejang demam hasil pemeriksaan ini tidak berhasil (UKK Neurologi
IDAI, 2006).
3. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan ini tidak direkomendasikan setelah kejang demam sederhana
namun mungkin berguna untuk mengevaluasi pasien kejang yang kompleks
atau dengan faktor risiko lain untuk epilepsi (Johnston, 2007). EEG pada
kejang demam dapat memperlihatkan gelombang lambat di daerah belakang
yang bilateral, sering asimetris dan kadang-kadang unilateral
(Soetomenggolo, 1999).
4. Pencitraan (CT- Scan atau MRI kepala)Foto X-ray kepala dan pencitraan
seperti computed tomography scan(CT-scan) atau magnetic resonance
imaging(MRI) jarang sekali dikerjakan dan dilakukan jika ada indikasi
seperti kelainan neurologis fokal yang menetap (hemiparesis) atau
kemungkinan adanya lesi struktural di otak (mikrosefali, spastisitas),
terdapat tanda peningkatan tekanan intrakranial (kesadaran menurun,
muntah berulang, UUBmembonjol, paresis nervus VI, edema papil).
(Saharsoet al., 2009)

8. Penatalaksanaan / Pengobatan

10
Ada beberapa hal yang perlu dilakukan, yaitu :

a. Memberantas kejang secepat mungkin

Bila penderita datang dalam keadaan status convulsion, obat pilihan

utama adalah diazepam secara intravena. Apabila diazepam tidak tersedia

dapat diberikan fenobarbital secara intramuskulus.

b. Pengobatan Penunjang

Semua pakaian yang ketat dibuka. Posisi kepala sebaiknya miring untuk

mencegah aspirasi isi lambung, usahakan jalan nafas bebas agar oksigen

terjamin, penghisapan lendir secara teratur dan pengobatan ditambah dengan

pemberian oksigen. Tanda – tanda vital diobservasi secara ketat, cairan

intravena diberikan dengan monitoring.

c. Pengobatan di rumah

Setelah kejang diatasi harus disusul dengan pengobatan rumah.

Pengobatan ini dibagi atas 2 golongan yaitu :

1) Profilaksis intermitten

Untuk mencegah terulangnya kejang di kemudian hari diberikan obat

campuran anti konvulsan dan anti piretik yang harus diberikan pada anak bila

menderita demam lagi

2) Profilaksis jangka panjang

Gunanya untuk menjamin terdapatnya dosis terapeutik yang stabil dan

cukup di dalam darah penderita untuk mencegah terulangnya kejang di

kemudian hari.

11
d. Mencari dan mengobati penyebab

Penyebab dari kejang demam baik sederhana maupun epilepsy yang

diprovokasi oleh demam, biasanya infeksi traktus respiratorius bagian atas

dan otitis media akut.

B. Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

Pengkajian adalah pendekatan untuk mengumpulkan data serta

menganalisa data sehingga dapat diketahui masalah dan kebutuhan

perawatan klien (Gaffar, 1997). Dalam upaya pengumpulan data sebagai

langkah awal dari proses keperawatan penulis melakukan pengkajian, baik

secara langsung maupun tidak langsung. Kegiatan yang dilakukan dalam

pengkajian adalah pengumpulan data dan merumuskan prioritas masalah.

Sedangkan tujuan dari pengkajian keperawatan adalah mengumpulkan

data–data, mengelompokkan dan menganalisa data sehingga ditemukan

diagnosa keperawatan (Gaffar, 1997).

Tahapan pengkajian merupakan dasar utama dalam memberikan

asuhan keperawatan sesuai dengan kebutuhan individu. Oleh karena itu

pengkajian yang akurat dan lengkap sesuai dengan kenyataan, kebenaran

data sangat penting dalam merumuskan suatu diagnosa keperawatan sesuai

dengan respon individu sebagaimana yang ditentukan dalam standar

praktek keperawatan dari American Nursing Association.

12
Pengkajian keperawatan data dasar yang komprehensif adalah

kumpulan data yang berisikan mengenai status kesehatan klien untuk

mengelola kesehatan terhadap dirinya sendiri dan hasil konsultasi dari

medis (terapis) atau profesi kesehatan lainnya (Taylor, Lilis Le Mone,

1997).

Berdasarkan sumber data, data dibedakan menjadi dua, yaitu data

primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara

langsung dari klien, yaitu data tersebut diperoleh dari klien yang sadar

maupun klien tidak sadar sehingga tidak dapat berkomunikasi misalnya

data tentang kebersihan diri atau data tentang kesadaran. Data sekunder

adalah data yang diperoleh selain dari klien, seperti dari perawat, dokter,

catatan perawat, serta dari pemeriksaan seperti pemeriksaan laboratorium

atau pemeriksaan diagnostik lainnya, dari keluarga atau dari kerabat dekat.

Secara umum ada beberapa cara pengumpulan data dengan observasi,

konsultasi, validasi data, anamnesa, pemeriksaan fisik, observasi adalah

pengumpulan data melalui hasil pengamatan (melihat, meraba atau

mendengarkan) tentang kondisi klien dalam kerangka asuhan keperawatan.

Konsultasi adalah seorang spesialis diminta untuk

mengidentifikasikan cara–cara untuk pengobatan dan penanganan penyakit

klien.

Anamnesa atau wawancara adalah cara pengumpulan data melalui

inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.

13
Inspeksi adalah pengamatan secara seksama terhadap status kesehatan

klien, seperti inspeksi kesimetrisan pergerakan dinding dada, penggunaan

otot bantu pernafasan, inspeksi adanya lesi pada kulit dan sebagainya.

Perkusi adalah pemeriksaan fisik dengan cara mengetukkan jari

tengah kejari tengah yang lainnya untuk normal atau tidaknya suatu organ

tubuh.

Palpasi adalah jenis pemeriksaan fisik dengan cara meraba klien

seperti lokasi pada rongga abdomen untuk mengetahui lokasi nyeri atau

untuk mengetahui adanya massa.

Auskultasi adalah cara pemeriksaan fisik dengan menggunakan

stetoskop, misalnya auskultasi dinding abdomen untuk mengetahui bising

usus, mendengarkan suara paru – paru, bunyi jantung.

Adapun pengkajian untuk mengumpulkan data–data yang akurat

terhadap Kejang Demam yaitu dimulai dengan anamnesa kepada klien dan

keluarga kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik.

Hal – hal yang perlu dikaji antara lain :

a. Identitas pasien dan keluarga

1) Nama Pasien (initial), umur, jenis kelamin,agama, suku bangsa

dan alamat

2) Nama Ayah (initial), umur, agama, pendidikan, pekerjaan, suku

dan bangsa

3) Nama Ibu (initial), umur, agama, pendidikan, pekerjaan, suku

dan bangsa.

14
b. Kesehatan fisik

1) Pola nutrisi

Tidak ada nafsu makan (anoreksia), mual dan bahkan dapat

disertai muntah. Perlu dikaji pola nutrisi sebelum sakit, porsi

makan sehari – hari, jam makan, pemberian makan oleh siapa,

frekuensi makan, nafsu makan, serta alergi terhadap makanan.

2) Pola eliminasi

3) Pola tidur

Yang perlu dikaji meliputi jam tidur, waktu tidur dan

lamanya tidur serta kebiasaan sebelum tidur

4) Pola hygiene tubuh

Mengkaji mengenai kebiasaan mandi, cuci rambut, potong

kuku dan rambut

5) Pola aktifitas

Anak tampak lemah, gelisah atau cengeng.

c. Riwayat kesehatan yang lalu

1) Riwayat prenatal

Dikaji mengenai kehamilan ke berapa, tempat pemeriksaan

kehamilan, keluhan ibu saat hamil, kelainan kehamilan dan obat –

obatan yang diminum saat hamil.

15
2) Riwayat kelahiran

Kelahiran spontan atau dengan bantuan – bantuan, aterm atau

premature. Perlu juga ditanyakan berat badan lahir, panjang badan,

ditolong oleh siapa dan melahirkan di mana.

3) Riwayat yang berhubungan dengan hospitalisasi

Pernahkah dirawat di rumah sakit, berapa kali, sakit apa,

pernahkah menderita penyakit yang gawat.

Riwayat kesehatan dalam keluarga perlu dikaji kemungkinan ada

keluarga yang pernah menderita kejang.

4) Tumbuh kembang

Mengkaji mengenai pertumbuhan dan perkembangan anak

sesuai dengan tingkat usia, baik perkembangan emosi dan sosial.

5) Imunisasi

Yang perlu dikaji adalah jenis imunisasi dan umur

pemberiannya. Apakah imunisasi lengkap, jika belum apa

alasannya.

d. Riwayat penyakit sekarang

1) Awal serangan : Sejak timbul demam, apakah kejang timbul

setelah 24 jam pertama setelah demam

16
2) Keluhan utama : Timbul kejang (tonik, klonik, tonik klonik), suhu

badan meningkat

3) Pengobatan : Pada saat kejang segera diberi obat anti konvulsan

dan apabila pasien berada di rumah, tiindakan apa yang dilakukan

untuk mengatasi kejang.

4) Riwayat sosial ekonomi keluarga

Pendapatan keluarga setiap bulan, hubungan sosial antara anggota

keluarga dan masyarakat sekitarnya.

5) Riwayat psikologis

Reaksi pasien terhadap penyakit, kecemasan pasien dan orang tua

sehubungan dengan penyakit dan hospitalisasi.

e. Pemeriksaan fisik

1) Pengukuran pertumbuhan : Berat badan, tinggi badan, lingkar

kepala

2) Pengukuran fisiologis : Suhu biasanya di atas 38 C, nadi cepat,

pernafasan (mungkin dyspnea nafas pendek, nafas cepat, sianosis)

3) Keadaan umum : Pasien tampak lemah, malaise

4) Kulit : Turgor kulit dan kebersihan kulit

5) Kepala : Bagaimana kebersihan kulit kepala dan warna rambut

serta kebersihannya

6) Mata : Konjungtiva, sklera pucat / tidak, pupil dan palpebra

7) Telinga : Kotor / tidak, mungkin ditemukan adanya Otitis Media

Akut / Kronis

17
8) Hidung umumnya tidak ada kelainan

9) Mulut dan tenggorokan : Bisa dijumpai adanya tonsillitis

10) Dada : Simetris / tidak, pergerakan dada

11) Paru – paru : Bronchitis kemungkinan ditemukan

12) Jantung : Umumnya normal

13) Abdomen : Mual – mual dan muntah

14) Genetalia dan anus : Ada kelainan / tidak

15) Ekstremitas : Ada kelainan / tidak.

Setelah selesai mengumpulkan data maka selanjutnya data tersebut

dikelompokkan. Pengelompokan data dapat dibagi atas data dasar dan data

khusus (Carpenito, 1997). Data dasar terdiri dari data fisiologis, data

psikologis, data sosial dan spiritual. Sedangkan data khusus adalah data

yang bersifat khusus, misalnya pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan

rontgen dan sebagainya.

2. Analisa

Analisa data merupakan proses intelektual yang meliputi kegiatan

mentabulasi, menyeleksi, mengelompokkan, mengaitkan data, menentukan

kesenjangan informasi, melihat pola data, membandingakan dengan standar,

menginterpretasi dan akhirnya membuat kesimpulan. Hasil analisa data

adalah pernyataan masalah keperawatan atau yang disebut diagnosa

keperawatan.

3. Masalah kepeawatan

18
Adapun masalah keperawatan pada klien dengan kasus Febrile

Convulsion menurut Ngastiyah (19997) adalah :

a. Resiko tinggi terhadap kerusakan sel otak berhubungan dengan kejang

b. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan metabolisme rata-rata,

proses infeksi

c. Resiko terjadi bahaya / komplikasi berhubungan dengan aktifitas

kejang

d. Gangguan rasa aman dan nyaman berhubungan dengan tindakan

invasif, prosedur tindakan

e. Kurang pengetahuan keluarga berhubungan dengan kurangnya

informasi.

Menurut Doenges (2000), diagnosa keperawatan pada Febrile

Convulsion adalah :

a. Resiko terhadap henti nafas berhubungan dengan perubahan

kesadaran, kehilangan koordinasi otot besar dan kecil

b. Ketidakefektifan pola pernafasan / bersihan jalan nafas berhubungan

dengan gangguan neuromuskuler, hypersekresi trakeobronkial

c. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan metabolisme basal rata-

rata, proses infeksi

d. Kurang pengetahuan keluarga mengenai kondisi, dan aturan

pengobatan berhubungan dengan kurang informasi.

Sedangkan menurut Carpenito (1990), diagnosa keperawatan yang

terdapat pada kasus Febrile Convulsion adalah :

19
a. Resiko tinggi tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan

dengan relaksasi lidah, sekunder terhadap gangguan inversi otot

b. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan metabolisme rata-rata,

proses infeksi.

4. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa Keperawatan adalah pernyataan yang menjelaskan status

atau masalah kesehatan aktual atau rester / resti (Gaffar, 1997). Pada tahap

diagnosa keperawatan penulis akan menganalisa data yang diperoleh dari

hasil pengkajian dan mengidentifikasi masalah keperawatan, baik yang

dapat dicegah, dapat dikurangi maupun yang dapat ditanggulangi dengan

tindakan keperawatan.

Diagnosa keperawatan dibagi sesuai dengan masalah kesehatan klien

yaitu :

a. Aktual, yaitu diagnosa keperawatan yang menjelaskan masalah yang

nyata saat ini dengan data klinis yang ditemukan.

b. Rester, yaitu diagnosa keperawatan yang menjelaskan bahwa masalah

kesehatan yang nyata yang akan terjadi jika tidak dilakukan intervensi

keperawatan, saat ini masalah belum ada tetapi etiologi sudah ada.

c. Possible, yaitu diagnosa keperawatan yang timbul akibat adanya

tambahan masalah

Komponen – komponen berikut ini menandai tiga bagian pernyataan

perubahan keperawatan

20
a. Diagnosa keperawatan, merupakan pernyataan yang menggambarkan

perubahan status kesehatan klien. Perubahan–perubahan menyebabkan

masalah dan perubahan yang tidak menguntungkan pada kemampuan

klien untuk berfungsi. Diagnosa keperawatan adalah frase atau

pernyataan yang ringkas, diagnosa keperawatan memberikan dasar

untuk membuat kriteria hasil asuhan keperawatan dan menentukan

intervensi – intervensi yang diperlukan untuk mencapai kriteria hasil.

b. Etiologi, pernyataan etiologi mencerminkan penyebab masalah klien

yang menimbulkan perubahan–perubahan pada status kesehatan klien.

Penyebab tersebut dapat berhubungan dengan tingkah laku klien,

patofisiologi, psikososial, perubahan–perubahan situasional pada gaya

hidup, usia perkembangan, faktor budaya dan lingkungan. Diagnosa

keperawatan dapat diterapkan untuk semua area keperawatan, seperti

medikal bedah, kesehatan ibu dan anak, pediatrik, kesehatan

komunitas.

Batasan karakteristik, merupakan kelompok petunjuk klinis yang

menggambarkan tingkah laku, tanda dan gejala yang menggambarkan

diagnosa keperawatan. Batasan karakteristik diperoleh selama tahap

pengkajian, memberikan bukti bahwa ada masalah kesehatan gejala

(data subjektif) adalah perubahan yang dirasakan oleh klien dan

diekspresikan secara verbal kepada perawat. Tanda (data objektif) adalah

perubahan yang diamati pada status kesehatan klien. Identifikasi minimal

21
tiga tanda dan gejala sebagai bukti yang cukup untuk mendukung

pemilihan diagnosa keperawatan.

5. Perencanaan

Perencanaan merupakan tahap yang paling penting yang dibuat

setelah merumuskan diagnosa keperawatan. Tujuan perencanaan adalah

untuk mengurangi, menghilangkan dan mencegah masalah keperawatan

klien, sehingga tercapai kondisi kesehatan klien yang optimal (Gaffar,

1997).

Pada tahap perencanaan setelah memprioritaskan masalah

keperawatn, penulis menetapkan tujuan dan kriteria tindakan yang dapat

mencegah, mengurangi dan menanggulangi masalah kesehatan yang

disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan klien saat ini serta menuliskan

tujuan yang ditetapkan harus nyata, dapat diukur dan mempunyai batasan

waktu pencapaian.

Adapun komponen tahap perencanaan adalah :

Membuat prioritas urutan diagnosa keperawatan

Diagnosa keperawatan diurutkan dengan prioritas tinggi, sedang,

ringan masalah dengan prioritas tinggi mencerminkan situasi yang

mengancam hidup (misalnya bersihan jalan nafas). Masalah dengan

prioritas rendah tidak berhubungan secara langsung dengan keadaan sakit

atau prognosis yang spesifik (misalnya masalah keuangan). Masalah

22
dengan prioritas tingi membutuhkan perhatian yang cepat dibandingkan

dengan prioritas rendah.

Hirarki kebutuhan Maslow (1968) membantu perawat untuk

memprioritaskan urutan diagnosa keperawatan, kerangka hirarki ini

termasuk kebutuhan fisiologis dan psikologis. Lima tingkatan hirarki ini

adalah fisikologis, keselamatan dan keamanan, mencintai dan memiliki,

harga diri dan aktualisasi diri.

Adapun rencana tindakan pada kasus Febrile Convulsion menurut

Doenges (2002), yaitu :

1. Diagnosa keperawatan I

Resiko tinggi terhadap henti nafas berhubungan dengan perubahan

kesadaran, kehilangan koordinasi otot besar dan kecil

Tujuan dan kriteria hasil :

Henti nafas dan trauma tidak terjadi dengan kriteria :

 Menunjukkan efektifitas pernafasan selama kejang dan

sesudahnya

 Tidak terdapat tanda injuri, perlukaan di seluruh organ tubuh

Rencana Tindakan :

1.1 Gali bersama-sama keluarga berbagai stimulasi yang

dapat menjadi pencetus kejang

Rasional : Mengetahui dan dapat menanggulangi sedini mungkin

komplikasi yang dapat terjadi

23
1.2 Pertahankan bantalan lunak pada penghalang tempat tidur yang

terpasang dengan posisi tempat tidur rendah

Rasional : mengurangi trauma saat kejang selama berada di tempat

tidur

1.3 Gunakan termometer dengan bahan metal atau dapatkan suhu

melalui lubang telinga jika perlu

Rasional : mengurangi resiko klien menggigit dan cedera mulut

1.4 Tinggallah bersama klien dan keluarga dalam waktu beberapa lama

/ setelah kejang

Rasional : Meningkatkan rasa aman keluarga, mengobservasi

gejala lanjut

1.5 Masukkan jalan nafas buatan yang terbuat dari plastik. Miringkan

kepala ke salah satu sisi dan lakukan suction pada jalan nafas

sesuia indikasi

Rasional : Memfasilitasi ekspansi dada maksimal, drainage sekret,

dan memfasilitasi saat melakukan suction

1.6 Atur kepala, tempatkan di atas daerah yang empuk (lunak) atau

bantu meletakkan pada lantai jika keluar dari tempat tidur

Rasional : Menurunkan resiko cedera

2. Diagnosa keperawatan II

Ketidakefektifan pola pernafasan / bersihan jalan nafas berhubungan

dengan gangguan neuromuskuler, hypersekresi trakeobronkial

Tujuan dan kriteria hasil :

24
Pola nafas efektif yang ditunjukkan dengan frekuensi nafas dalam

batas normal, jalan nafas bersih

Rencana Tindakan :

2.1 Kosongkan mulut klien dari benda / zat makanan

Rasional : menurunkan resiko aspirasi

2.2 Letakkan klien pada posisi miring, permukaan datar, miringkan

kepala, selama serangan kejang

Rasional : Meningkatkan aliran (drainage), sekret, mencegah lidah

jatuh, dan menyumbat jalan nafas

2.3 Tanggalkan pakaian pada daerah leher, dada, dan abdomen

Rasional : Memfasilitasi usaha bernafas dan ekspansi dada

2.4 Masukkan spatel lidah/jalan nafas buatan atau golongan benda

lunak sesuai dengan indikasi

Rasional : Mencegah tergigitnya lidah dan memfasilitasi saat

melakukan suction

2.5 Melakukan pengisapan (suction) sesuai indikasi

Rasional : Menurunkan resiko aspirasi dan asfiksia

3. Diagnosa keperawatan III

Hipertermia berhubungan dengan peningkatan metabolisme basal rata-

rata, proses infeksi

Tujuan dan kriteria hasil :

25
Suhu tubuh dalam batas normal, yang ditunjukkan dengan

mendemontrasikan suhu dalam batas normal, bebas dari kedinginan,

tidak mengalami komplikasi yang berhubungan

Rencana Tindakan :

3.1 Pantau suhu tubuh

Rasional : Suhu 38,9-41,1 menunjukkan adanya proses infeksius

akut. Pola demam dapat membantu dalam diagnosis

3.2 Pantau suhu lingkungan, batasi / tambahkan penggunaan seprai di

tempat tidur sesuai indikasi

Rasional : Suhu ruangan / jumlah selimut harus dirubah untuk

mempertahankan suhu mendekati normal

3.3 Berikan kompres hangat

Rasional : Membantu menurunkan demam dengan efek

vasodilatasi air hangat melalui proses evaporase

3.4 Kolaborasi : Berikan antipiretik

Rasional : Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi

sentranya pada hipotalamus meskipun demam mungkin dapat

berguna dalam membatasi pertumbuhan organisme dan

meningkatkan autodekstruksi sel-sel yang terinfeksi.

4 Diagnosa keperawatan IV

Kurang pengetahuan (kurang belajar) mengenai kondisi, dan aturan

pengobatan berhubungan dengan kurang informasi, kesalahan persepsi

Tujuan dan kriteria hasil :

26
Mengungkapkan pemahaman tentang gangguan berbagai rangsang

yang dapat menyebabkan aktifitas kejang, dengan kriteria :

Keluarga dapat mengemukakan kondisi dan pengobatan secara

sederhana.

Rencana Tindakan :

4.1 Jelaskan kembali mengenai patofisiologi / prognosis penyakit

Rasional : Memberikan kesempatan mengklarifikasi kesalahan

persepsi dan keadaan penyakit yang ada sesuai dengan yang

ditangani

4.2 Tinjau kembali obat-obat yang didapat

Rasional : Tidak ada pemahaman terhadap obat-obatan yang dapat

merupakan penyebab kecemasan keluarga

6. Pelaksanaan

Pelaksanaan adalah intervensi yang dilaksanakan sesuai dengan

rencana setelah dilakukan validasi, penugasan ketrampilan interpersonal,

intelektual dan teknikal (Gaffar, 1997, 49).

Pelaksanaan tindakan keperawatan pada klien vulnus scissum untuk

memenuhi antara lain : mencegah infeksi, meningkatkan penyembuhan

luka, meningkatkan kondisi kesehatan dan koping individu dan keluarga

serta mencegah komplikasi cedera selanjutnya.

27
Tahap pelaksanaan merupakan bentuk tindakan untuk direncanakan

sebelumnya dan disesuaikan dengan situasi secara cermat dan efisien.

Dalam melaksanakan tindakan keperawatan penulis menyesuaikan dengan

kondisi yang sesuai dengan kebutuhan klien saat itu, tidak semata – mata

berdasarkan prioritas masalah yang direncanakan sebelumnya serta

disesuaikan dengan waktu pelaksanaan tindakan. Dalam melaksanakan

tindakan keperawatan penulis juga melaksanakan tindakan observasi dan

pengumpulan data untuk melihat perkembangan klien selanjutnya.

Komponen tahapan dalam menyusun implementasi :

a. Tindakan keperawatan mandiri dilakukan

tanpa perintah dokter, tindakan keperawatan mandiri ini ditetapkan

dengan standar praktik American Nursing Association (1973),

undang–undang praktik perawat negara bagian dan kebijakan institusi

perawat kesehatan.

b. Tindakan keperawatan kolaboratif,

diimplementasikan bila perawat bekerja dengan anggota tim perawatan

kesehatan yang lain dalam membuat keputusan bersama yang

bertujuan untuk mengatasi masalah – masalah klien.

c. Dokumentasi tindakan keperawatan dan

respons klien terhadap tindakan keperawatan, dokumentasi merupakan

pernyataan dari kejadian atau aktifitas yang otentik dengan

mempertahankan catatan – catatan yang tertulis. Dokumentasi

merupakan wahana untuk komunikasi dari salah satu profesional ke

28
profesional lainnya tentang status klien. Dokumentasi klien

memberikan bukti tindakan keperawatan mandiri dan kolaboratif yang

diimplementasikan oleh perawat.

7. Evaluasi

Merupakan fase akhir dari proses keperawatan adalah evaluasi

terhadap asuhan keperawatan yang diberikan (Gaffar, 1997). Evaluasi

asuhan keperawatan adalah tahap akhir proses keperawatan yang bertujuan

untuk menilai hasil akhir dari keseluruhan tindakan keperawatan yang

dilakukan.

Hasil akhir yang diinginkan dari perawatan pasien Kejang Demam

meliputi pola pernafasan kembali efektif, suhu tubuh kembali normal,

anak menunjukkan rasa nymannya secara verbal maupun non verbal,

kebutuhan cairan terpenuhi seimbang, tidak terjadi injury selama dan

sesudah kejang dan pengatahuan orang tua bertambah.

Evaluasi ini bersifat formatif, yaitu evaluasi yang dilakukan secara

terus menerus untuk menilai hasil tindakan yang dilakukan disebut juga

evaluasi tujuan jangka pendek. Dapat pula bersifat sumatif yaitu evaluasi

yang dilakukan sekaligus pada akhir dari semua tindakan yang pencapaian

tujuan jangka panjang.

Komponen tahapan evaluasi :

a. Pencapaian kriteria hasil

Pencapaian dengan target tunggal merupakan meteran untuk

pengukuran. Bila kriteria hasil telah dicapai, kata “ Sudah Teratasi “

29
dan datanya ditulis di rencana asuhan keperawatan. Jika kriteria hasil

belum tercapai, perawat mengkaji kembali klien dan merevisi rencana

asuhan keperawatan.

b. Keefektifan tahap – tahap proses keperawatan

Faktor – faktor yang mempengaruhi pencapaian kriteria hasil dapat

terjadi di seluruh proses keperawatan.

1) Kesenjangan informasi yang terjadi dalam pengkajian tahap satu.

2) Diagnosa keperawatan yang salah diidentifikasi pada tahap dua

3) Instruksi perawatan tidak selaras dengan kriteria hasil pada tahap

tiga

4) Kegagalan mengimplementasikan rencana asuhan keperawatan

tahap empat.

5) Kegagalan mengevaluasi kemajuan klien pada tahap ke lima.

30
DAFTAR PUSTAKA

Arif Mansjoer, dkk (2000), Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2, Media


Aesculapius, Jakarta

Doenges, Marillyn E, dkk (2000), Penerapan Proses Keperawatan dan Diagnosa


Keperawatan, EGC, Jakarta

Doenges, Marillyn E, et all (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3,


EGC, Jakarta

Gaffar, La Ode Jumadi (1997), Pengantar Keperawatan Profesional, EGC,


Jakarta

Hasan, Dr. Rusepno (1995), Ilmu Kesehatan Anak, Jakarta

Ngastiyah (1997), Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta

Pusponegoro, Titut S., dkk (2000) Perinatologi, EGC, Jakarta

Saifuddin (1997), Anatomi Fisiologi Untuk Siswa Perawat, EGC, Jakarta

31
Susan Martin, dkk (1998), Standar Perawatan Pasien, Proses Keperawatan,
Diagnosa dan Evaluasi, Edisi 5, EGC, Jakarta

Sylvia A. Price, dkk (1995), Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Edisi 4,


EGC, Jakarta

32

Anda mungkin juga menyukai