Anda di halaman 1dari 6

UTS Teori Sosiologi Klasik

Dosen Pengampu: Varinia Pura Damaiyanti, S.Sos, M.Si

Dimas Asto Aji An'Amta, S.Pd, M.A.

Nama: Muhammad Audy Renata Putra

Kelas: 2B-Angkatan 2020

Prodi: Sosiologi

NIM: 2010415210026

Analisis teori Perubahan Sosial (The Law of Three Stages) Auguste Comte pada
masyarakat Indonesia

Jikalau ada yang abadi di dunia ini dan terus terjadi meski tanpa dikehendaki oleh semua
umat manusia maka itu adalah perubahan, perubahan akan dialami oleh semua makhluk terlebih
manusia sebagai individu ataupun ia dalam suatu koloni/kolompok. Perubahan tidak melulu
mengenai hal yang sifatnya kebendaan semata, namun juga perubahan dari sifat non-fisik atau
material seperti perubahan yang terjadi pada manusia tentang bagaimana cara untuk diri dan
koloninya mempertahankan kehidupan, perubahan yang berkenaan dengan cara berpikir,
perubahan watak, tingkah laku, emosi, perasaan, sampai pada perubahan yang mengenai
kebudayaan hasil ciptaan manusia sendiri sekaligus perubahan atas peradaban, hal tersebut akan
senangtiasa berubah dan berganti menyesuaikan dengan keadaan-keadaan terkini yang
mengharuskan setiap cara-cara berubah untuk bersesuaian dengan tantangan duniawi yang baru.
Yang menjadi permasalahan ialah apakah perubahan yang terjadi akan menghasilkan perubahan
kearah kemajuan atau malah menyeret manusia pada kemunduran atas kemajuan perubahan. Salah
satu teori yang fimiliar bagi kita mengenai perubahan sosial adalah teori perubahan sosial milik
Auguste Comte atau yang dikenal juga sebagai The Law of Three Stages merupakan salah satu
teori yang sangat terkenal dikemukakan olehnya. Secara singkat teori ini menggambarkan tentang
tahapan intelegensi manusia dimulai dari tahapan bersumber dari tuhan sampai pada kemampuan
manusia yang sudah cukup maju dan mandiri untuk membuktikan pemahaman yang telah ia
percayai.

Teori ini menjelaskan tahapan-tahapan yang dilalui manusia terlebih mengenai


perkembangan pemikiran dan intelegensi manusia berawal dari garisan sederhana menuju
pembuktian kompleks atas setiap fakta-fakta sosial yang diketahui manusia. Berawal dari sebuah
tahap teologis (the theological stage), tahap metafisik (the metaphysical stage), dan tahap
positifistik (the positive stage). Dari sini kita akan coba menelaah setiap tahapan-tahapan
perubahan sosial milik Auguste Comte dan realitasnya pada kehidupan kita saat ini tepatnya
sebagai warga masyarakat Indonesia.

Pertama Tahap Teologis, merupakan tahap yang paling awal dan menjadi periode
intelegensi yang tertua dalam perjalanan sejarah manusia. Pada tahap ini yang menjadi pijakan
adalah kepercayaan mengenai kekuatan-kekuatan sifatnya supranatural yang muncul dari sebuah
kekuatan zat-zat adikodrati ataupun kekuatan yang berasal bukan dari dalam diri manusia dan bisa
juga kepercayaan atas mereka tokok-tokoh yang dianggap punya kekuatan magis yang kadangkala
menjadi teladan bagi mereka dan dipercaya betul olehnya. Pada tahapan teologis lebih dilihat
sebagai sebuah kepercayaan melalui penaklukan sosial atas kemampuan supranatural diluar
kelogisan dan dalam diri manusia. Dari tahap ini dikenal 3 sub-tahapan yang muncul, yaitu
Fetisisme, Politheisme dan Monotheisme. Penjelasan singkatnya ialah, Fetisisme merupakan
kepercayaan yang muncul dari keyakinan bahwa setiap setiap benda memiliki kekuatan magisnya
masing-masing erat hubungannya dengan kehidupan yang berbentuk primitif. Tahapan
Politheisme merupakan tahapan atas kepercayaan adanya kekuatan-kekuatan yang mengatur
kehidupan ini (bisa dewa-dewa atau kekuatan ghaib lainnya). Tahapan Monotheisme, dari
kepercayaan atas kekuatan yang mengatur alam dan kehidupan contohnya dewa-dewa digantikan
atas satu kekuatan inti tunggal atau Tuhan yang Maha Agung. Contoh dari tahapan ini dalam
realitas kehidupan masyarakat Indonesia dapat kita perhatikan atas tradisi-tradisi suku-suku yang
ada di Indonesia. Contohnya suku dayak yang sangat percaya dengan adanya roh nenek moyang
yang menjaga mereka sekaligus menjaga tempat-tempat suci seperti hutan yang berguna untuk
menunjang kehidupan mereka, mereka seringkali melakukan upacara rutin yang merupakan acara
persembahan dan penghormatan atas kekuatan-kekuatan magis nenek moyang mereka menjaga
dan membantu mereka dalam kehidupan di dunia. Dalam kehidupan yang serba berubah kearah
modern inipun kerap kita temui mereka yang masih berpegang teguh terhadap kekuatan-kekuatan
ghaib, contoh saja seperti orang-orang yang ingin kaya datang ke tempat-tempat keramat berharap
mendapat jawaban atas keinginan mereka untuk kaya. Hal ini masih sering kita lihat bagi mereka
yang kaya “mendadak” disinyalir hasil bertandang ke tempat keramat berdoa dan akhirnya
terkabul. Contoh lain seperti pemikiran sebagian masyarakat kita terhadap bencana terlebih seperti
banjir, longsor, ataupun corona virus saat ini yang dianggap datang dan menjadi azab Tuhan bagi
mereka yang sudah kelewatan kelakuannya, pemikiran bahwa semua bencana yang datang adalah
azab menjadikan pemahaman mereka atas bencana itu datang dari satu sumber yaitu Tuhan dan
tidak memperhatikan posibilitas atas faktor-faktor lain penyebab bencana ataupun kejadian-
kejadian yang dianggap sebagai azab tersebut. contoh lain ialah mengenai agama, setiap ajaran
agama dianggap sudah merupakan ketetapan dan tidak bisa diganggu gugat hal ini bersumber dari
kepercayaan penuh pada kekuatan Maha Agung dari Tuhan itu sendiri. Kita pasti tahu bahwasanya
setiap penyelewengan terhadap hukum-hukum ataupun hal-hal yang sifatnya berkenaan dengan
agama akan dianggap sebagai penistaan bagi pemeluknya, hal ini menjadikan agama sebagai
contoh dari tahapan teologis yang sampai saat ini dan sampai kapanpun akan terus seperti itu.
Dalam keadaan masyarakat Indonesia pun begitu ditambah kita yang dominan menganut agama
islam sebagai mayoritas dan agama lain sebagai minoritas, menjadikan kekuatan agama sebagai
kepercayaan yang terus diimani dan diikuti oleh setiap pemeluknya dan ketika ada yang menentang
suatu agama tentu akan diiringi oleh kontraversi dari para pemeluknya.

Tahapan kedua Tahap Metafisik, menjadi tahap kedua perkembangan intelegensi manusia
dari Tahapan Teologis. Mulai terjadi perpindahan antara tahapan Teologis dengan tahapan Positif
yang menjadikannya sebagai masa remaja tahapan intelegensia manusia. Dalam tahapan ini
kepercayaan manusia ditandai akan kekuatan-kekuatan yang mengatur terjadinya hukum-hukum
natural alamiah (alam) yang sudah memasukan unsur filosofis, abstrak dan sifat yang universal.
Yang berarti kepercayaannya bukan lagi mutlak pada kekuatan-kekuatan dewa-dewa atau zat-zat
ghaib lainnya saja namun juga diikuti oleh faktor-faktor lain yang menjadi pengatur kekuatan alam
sifatnya filosofis, asbtrak dan universal yang kadang ditanamkan oleh para filosof maupun para
agamawan (akal dan budi atau pikiran sehatnya). Dalam tahapan ini mengisyaratkan mengenai
kepercayaan manusia tidak hanya sebatas kepercayaan pada kekuatan magis atau ke Tuhanan
namun juga diselingi oleh kekuatan alam. Contohnya dari realitas masyarakat Indonesia mengenai
tahapan metafisik ini adalah kebiasan kita yang menganggap adanya mitos atau adanya takdir yang
tidak bisa diubah, hal ini karena dalam tahapan metafisik hanya merupakan perpindahan dari
tahapan Teologis yang berarti setiap fakta sosial yang diterima oleh masyarakat tidaklah melalui
proses pembuktian yang sifatnya ilmiah belum adanya kemampuan dan keinginan manusia untuk
sadar melakukan pembuktian antara sebab dan akibat sehingga apa yang didapat langsung
dianggap sebagai kebenaran. Dari contoh tadi adalah mitos dan takdir, “mitos” kita sering
mendengar banyak mitos yang bertebaran dikehidupan kita seperti jangan bersiul di malam hari,
sapu itu harus sampai bersih, jangan duduk pintu, dan masih banyak lagi mitos-mitos yang ada di
Indonesia. Hal lain seperti takdir, contoh sederhana ketika kita melaksanakan ujian ataupun test
yang membutuhkan usaha lain seperti belajar yang giat, kadangkala hasil yang kurang baik sering
kita satukan dengan istilah “takdir” namun kita sendiri tidak memperhatikan bahwasanya usaha
yang kita berikan belumlah cukup dan setimpal. Dari hal ini mitos dan takdir bisa menjadi
gambaran dari tahapan metafisik yang sering kita rasakan di Indonesia, yang intinya kita sebagai
manusia berakal budi tidak melakukan pembuktian secara ilmiah terhadap fenomena yang terjadi
tidak melakukan pembuktian atas sebab-akibat yang ada. Contoh lain berkaitan dengan persepsi
mengenai virus corona lagi, masyarakat kita percaya bahwa virus corona datang kebumi ini dan
menginfeksi banyak umat manusia sebagai fenomena yang cepat atau lambat pasti datang yang
berawal dari kepercayaan dengan Tuhan bergabung dengan kepercayaannya pada kekuatan alam.
Ataupun kita pernah melihat orang-orang melakukan doa-doa untuk menurunkan hujan berharap
alam menurunkan hujan melalui hajat doa mereka. Selain itu bisa juga tahapan ini dilihat dari
mereka yang menganggap setiap orang pintar sudah lahir dalam kepintaran itu sendiri, sedang
mereka tidak mengerti usaha keras individu tersebut untuk mencari-cari ilmu-ilmu yang
membuatnya terlihat pintar dipandangan orang lain. Pemikiran akan bahwa setiap orang pintar
lahir dalam keadaan pintar bisa menjadi gambaran bagaimana sesesuatu fakta-fakta yang didapat
tidak diringi oleh tinjauan-tinjauan dan pembuktian ilmiah. Kita tentu sering melihat bagaimana
orang lain mengutuk para pemikir-pemikir yang secara akademis diatas mereka dan secara
pengetahuanpun diatas mereka, dianggap salah karena bersebrangan dengan apa yang ia anggap
sebagai sebuah kebenaran, kebenaran yang sebenarnya datang dari asumsi dan bukan hasil bukti
empirisasi lewat penelitian mendalam melalui kaidah-kaidah sainstifik. Masyarakat ini yang
menganggap bahwa sebuah sesuatu dianggap benar sesuai dengan apa yang ia percaya, bisa dilihat
dari mereka yang menyebar berita-berita lewat grup-grup WA tanpa validasi dahulu atas
kebenaran dimana standar kebenaran yang mereka percaya adalah melalui hal-hal yang secara
individu olehnya ialah benar namun tidak melalui pendekatan ilmiah.

Terakhir ialah Tahapan Positifis, merupakan tahapan terakhir dari hukum 3 tahapan milik
August Comte. Dalam tahapan inilah manusia dianggap telah merdeka dan punya kemampuan
penuh mengarahkan kekuatan akal dan pikirannya dalam usaha membuktikan setiap fakta-fakta
sosial yang ia terima masa ini dianggap sebagai masa kedewasaan intelegensi manusia. Dalam
tahapan ini sudah mementingkan adanya data-data hasil penelitian empiris yang sesuai kaidah
sainstifik. Setiap manusia sudah mempercayai adanya pengetahuan dan yang mejadi krusial adalah
bagaimana pengetahuan itu masih dianggap kebenaran sementara sampai didapat hasil yang pasti
lewat metode-metode pembenaran yang sifatnya ilmiah yang berstandar sains. Dalam hal ini setiap
manusia berlomba untuk menentukan kebenaran-kebenaran atas fakta-fakta yang ia dapat untuk
dilakukan penelitian dan pembuktian sebenar-benarnya sebagai cara mempercayai suatu
pengetahuan yang dianggapnya sebagai pengetahuan sementara itu. Tahap ini ilmu pengetahuan
menjadi hal yang penting dan berkembang kearah yang lebih rasional, karena itu manusia tidak
lagi bergantung pada kekuatan-kekuatan alam dan Tuhan semata, namun juga mencari sendiri
kebenarannya melalui kendali dan kapasitas otak, akal dan budi mereka masing-masing melalui
data-data empiris dan sumber-sumber pengetahuannya. Dalam tahapan-tahapan setiap
pengetahuan yang dianggap benar saat ini belumlah menjadi pengetahuan final karena sifatnya
yang dapat direvisi dan terus terbuka pada perubahan atas temuan-temuan baru yang kadar
validitasnya melebihi pengetahuan yang telah ada. Contoh dari tahapan ini dari realitas kehidupan
kita di Indonesia ialah rasa haus akan setiap ilmu pengetahuan baru yang datang seiring
berkembanganya dunia ini menuju modernitas yang mutlak terjadi. Seperti kelompok-kelompok
iktelek di forum-forum online maupun offline, contohnya kaum intelek di FB, Twitter, Qoura,
Reddit, forum-forum akademik berstandar regional maupun internasional yang setiap harinya
hadir untuk berdiskusi mengenai perkembangan dunia yang melaju pesat. Hal lain seperti
pengertian orang Indonesia akan ilmu-ilmu berdagang online atau pengertian mereka terhadap
investasi cryptocurrency yang sekarang menjadi trend tersendiri menunjukkan bagaimana manusia
sudah mulai menggunakan potensi penuh dari akal, otak dan budi mereka demi kehidupan di
lingkungan yang semakin modern ini. Lagi menyinggung soal virus corona, jika ditilik dari arah
perkembangan positifis bukan lagi dianggap sebagai azab atau wabah yang berasal dari alam yang
tujuannya adalah sebagai pembasmi umat-umat berdosa, namun lebih dilihat sebagai pandemi
yang hadir dikarena suatu faktor pembawanya. Tentu didukung oleh jurnal ataupun data-data dari
publikasi yang dapat dipercaya sebagai dasar untuk mengerti apa itu corona virus. Dari data-data
tersebut kita sebagaimana manusia bisa setidaknya menghindari virus tersebut dengan upaya-
upaya yang secara sains bisa dipertanggungjawabkan seperti masker ataupun memperhatikan
kebersihan diri dan yang paling penting menganggap bahwa vaksin yang ada akan menjadi
penanggulangan kita sebagai usaha melawan virus ini, mereka yang menolakpun tentu punya
pertimbangan masing-masing. Setidaknya vaksin memang dibuat mengurangi resiko yang lebih
besar lagi. Dari sini bisa digambarkan bahwa masyarakat positis sudah berada ditahap mereka yang
menggunakan data dan pengetahuan yang sifatnya empiris dan rasional, tidak ada lagi kepercayaan
yang menganggap tahayul ataupun mitos sebagai kebenaran selama itu tak bisa diobservasi dan
dinyatakan validitasannya. Contohnya sudah banyak, masyarakat jelas lebih percaya penjelasan
para ahli yang didukung publikasi-publikasi yang sifatnya rasional dan empiris ketimbang
mendengar ocehan asumsi-asumsi mengenai teori konspirasi.

Anda mungkin juga menyukai