Anda di halaman 1dari 10

Representasi Budaya

sosiologibudaya sosiologibudaya

9 tahun yang lalu

Perkembangan zaman yang semakin pesat semakin semakin mudahnya mendapatkan sumber informasi
baik melalui media cetak maupun elektronik. Media memiliki andil yang besar dalam membentuk dan
membangun stereotip dalam pikiran masyarakat melalui tayangan-tayangan yang merepresentasikan
kehidupan sekitar masyarakat. Penyampaian yang dikemas sedemikian rupa sehingga memungkinkan
tidak menyadari bahwa tidak ada fakta yang terjadi di lingkungan sekitar. Penggambaran kejahatan dan
tindak kriminal sudah menjadi makan siang setiap hari tanpa sadar meracuni pikiran kita kalau dunia kita
tidak lagi tempat yang aman.

Menyimak lebih jauh tentang penggambaran atau representasi. Banyak hal yang sebenarnya dikiaskan
dengan tanda atau simbol lain dengan maksud tertentu. Maksud dan tujuan yang digunakannya tanda-
tanda pun bermacam-macam ada yang sengaja untuk menunjukkan atau mengetahui atau memberikan
sinyal yang hanya oleh individu, kelompok atau masyarakat dimana mereka memiliki pengetahuan yang
sama.

Oleh karena itu kelompok kami akan mengulas lebih dalam tentang makna representasi dan apa yang
sebenarnya dimaksud dengan representasi itu. Serta memberikan gambaran serta contoh tentang
representasi yang beredar sekarang ini di masyarakat.

PERWAKILAN

Chris Barker menyebutkan bahwa representasi merupakan kajian utama dalam kajian budaya.
Representasi sendiri dimaknai sebagai bagaimana dunia dikonstruksikan secara sosial dan disajikan
kepada kita dan oleh kita di dalam pemaknaan tertentu. Cultural Study yang difokuskan pada bagaimana
proses pemaknaan representasi itu sendiri.

Representasi berarti menggunakan bahasa untuk menyatakan sesuatu secara bermakna, atau
mempresentasikan apa pada orang lain. Representasi dapat berwujud kata, gambar, sekuen, cerita, dsb
yang 'mewakili' ide, emosi, fakta, dan sebagainya. Representasi yang sudah ada pada tanda dan citra
yang sudah ada dan dipahami secara kultural, dalam pembelajaran bahasa dan penandaan yang
bermacam-macam atau sistem tekstual secara timbal balik. Hal ini melalui fungsi tanda 'mewakili' yang
kita tahu dan mempelajari realitas (Hartley,2010:265)

Representasi merupakan kegunaan dari tanda. Marcel Danesi mendefinisikannya sebagai berikut:
“proses merekam ide, pengetahuan, atau pesan dalam beberapa cara fisik disebut representasi. Ini
dapat didefinisikan lebih tepat sebagai kegunaan dari tanda yaitu untuk menyambungkan, melukiskan,
meniru sesuatu yang dirasa, dimnegerti, diimajinasikan, atau dirasakan dalam beberapa bentuk
fisik…..dapat dikarakterisasikan sebagai proses konstruksi bentuk X untuk menimbulkan perhatian
sesuatu yang bersifat material atau konseptual yaitu Y, atau dalam bentuk spesifik Y,X=Y”

Pemikiran Danesi mengenai konsep dicontohkan dengan sebuah konstruksi X yang dapat mewakilkan
atau suatu materiil atau konsep tentang Y. Sebagai contoh konsep kecantikan seorang wanita
ditunjukkan melalui gambar seorang wanita yang merupakan bagian tubuhnya dengan kulit yang putih.

Konsep representasi yang digunakan untuk menggambarkan ekspresi hubuungan antara teks iklan
(media) dengan realitas. Representasi merupakan proses di mana para anggota sebuah budaya
menggunakan bahasa untuk memproduksi makna. Bahasa dalam hal ini didefinisikan secara lebih luas,
yaitu sebagai sistem apapun yang menggunakan tanda-tanda. Tanda disini dapat berbentuk verbal
maupun nonverbal (Winarni,2009:10).

Representasi sendiri merupakan proses sosial dan produk dari merepresentasikan . Representasi
menunjuk baik pada proses maupun produk dari pemaknaan suatu tanda representasi juga berarti
proses perubahan konsep ideologi yang abstrak dalam bentuk konkrit.

Representasi juga berarti konsep yang digunakan dalam proses pemaknaan sosial melalui sistem
penandaan yang tersedia: dialog, tulisan, video, film, fotografi, dsb. Secara ringkas, representasi adalah
produksi makna melalui bahasa. Menurut Stuart Hall representasi adalah salah satu praktik penting
memproduksi budaya. Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkut
'pengalaman berbagi'. Seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia-manusia
yang ada di situ membagi pengalaman yang sama, membagi kode-kode budaya yang sama, berbicara
dalam bahasa yang sama dan saling berbagi konsep yang sama (Hall dalam Newsletter Kunci, 2000).

Dalam bab 3 buku Studying Culture: A Practical Introduction, terdapat tiga definisi dari kata ' to
represent' , yakni:
Untuk berdiri untuk. Hal ini dapat dicontohkan dalam kasus bendera suatu Negara, yang dikibarkan
dalam suatu peristiwa olahraga, maka bendera tersebut menandakan keberadaan Negara yang
bersangkutan dalam peristiwa tersebut.

Untuk berbicara atau bertindak atas nama. Contoh kasusnya adalah Paus menjadi orang yang berbicara
dan bertindak atas nama umat Katolik

Untuk mewakili. Dalam arti ini, misalnya tulisan sejarah atau biografi yang menghadirkan kembali
kejadian-kejadian di masa lalu.

Dalam prakteknya, ketiga makna dari representasi ini dapat saling tumpang tindih. Oleh karena itu,
untuk mendapat pemahaman lebih lanjut mengenai apa makna dari representasi dan bagaimana
caranya beroperasi dalam masyarakat budaya, teori Hall akan sangat membantu.

Menurut Hall sendiri sdalam bukunya melalui representasi, suatu makna diproduksi dan dipertukarkan
antaranggota masyarakat. Jadi dapat dikatakan bahwa, representasi secara singkat adalah salah satu
cara untuk memproduksi makna.

Representasi bekerja melalui sistem representasi. Sistem representasi ini terdiri dari dua komponen
penting, yakni konsep dalam pikiran dan bahasa. Kedua komponen ini saling berelasi. Konsep dari suatu
hal yang kita miliki dalam pikiran kita, membuat kita mengetahui makna dari hal tersebut. Namun,
makna tidak akan dapat dikomunikasikan tanpa bahasa. Sebagai contoh sederhana, kita mengenal
konsep gelas dan mengetahui maknanya. Kita tidak akan dapat mengomunikasikan makna dari gelas
(misalnya, benda yang digunakan orang untuk minum) jika kita tidak dapat mengungkapkannya dalam
bahasa yang dapat dipahami oleh orang lain.

Oleh karena itu, yang terpenting dalam sistem representasi ini pun adalah bahwa kelompok yag dapat
berproduksi dan bertukar makna dengan baik adalah suatu kelompok tertentu yang memiliki latar
belakang pengetahuan yang sama sehingga menciptakan suatu pemahaman yang (hamper) sama.
Menurut Hall, berpikir dan merasa juga merupakan sistem representasi. Sebagai sistem representasi
berarti berpikir dan merasa juga bekerja untuk memaknai sesuatu. Oleh karena itu, untuk dapat
melakukan hal tersebut, diperlukan latar belakang pemahaman yang sama terhadap konsep, gambar,
dan ide ( kode budaya ).

Pemaknaan terhadap sesuatu dapat sangat berbeda dalam budaya atau kelompok masyarakat yang
berlainan karena pada masing-masing budaya atau kelompok masyarakat tersebut ada cara-cara
tersendiri dalam memaknai sesuatu. Kelompok masyarakat yang memiliki latar belakang pemahaman
yang tidak sama terhadap kode-kode budaya tertentu tidak akan dapat memahami makna yang
diproduksi oleh kelompok masyarakat lain.

Makna tidak lain adalah suatu konstruksi. Manusia mengkonstruksi makna dengan sangat tegas
sehingga suatu makna terlihat seolah-olah alam dan tidak dapat diubah. Makna dikonstruksi melalui
sistem representasi dan difiksasi melalui kode. Kode inilah yang membuat masyarakat yang berada
dalam suatu kelompok budaya yang sama memahami dan menggunakan nama yang sama, yang telah
melewati proses konvensi secara sosial. Misalnya, ketika kita berpikir 'rumah', maka kita menggunakan
kata RUMAH untuk mengkomunikasikan apa yang ingin kita ungkapkan kepada orang lain. Hal ini karana
kata RUMAH merupakan kode yang telah disepakati dalam masyarakat kita untuk memaknai suatu
konsep mengenai 'rumah' yang ada di pikiran kita. (tempat berlindung atau berkumpul dengan
keluarga). Kode , dengan demikian,

Teori seperti ini memakai pendeketan konstruksionis, yang berargumen bahwa makna dikonstruksi
melalui bahasa. Oleh karena itu, konsep (dalam pikiran) dan tanda (bahasa) menjadi bagian penting yang
digunakan dalam proses konstruksi atau produksi makna.

Jadi dapat diperoleh bahwa representasi adalah suatu proses untuk memproduksi makna dari konsep
yang ada dipikiran kita melalui bahasa. Proses produksi makna tersebut dimungkinkan dengan hadirnya
sistem representasi.

Namun, proses pemaknaan tersebut tergantung pada latar belakang pengetahuan dan pemahaman
suatu kelompok sosial terhadap suatu tanda. Suatu kelompok harus memiliki pengalaman yang sama
untuk dapat memaknai sesuatu dengan cara yang sama.

REPRESENTASI SEBUAH TANDA


Tanda adalah segala sesuatu, dapat berupa, warna, kedipan mata, objek, rumus matematika, dan lain-
lain yang merepresentasikan sesuatu yang lain selain dirinya. Hal Yang dirujuk Oleh Tanda dikenal
sebagai referen Dan citraan Dari Tanda tersebut disebut concept. Merujuk kepada sesuatu dan manusia
melihat sebuah tanda, memiliki konsep mengenai rujukan tersebut dalam pikirannya. Oleh sebab itu
dapat dikatakan bahwa tanda merupakan sesuatu yang merepresentasikan seseorang atau sesuatu yang
lain dalam kapasitas dan pandangan tertentu (Danesi, 2004:7-10)

Pierce (dalam Danesi, 2004) memandang tanda sebagai struktur triadik, terdiri atas tiga dimensi:
representamen (tanda), objek (konsep, benda, gagasan, dst), dan interpretan (makna yang diperoleh
dari sebuah tanda).

Menurut Danesi dan Peron (2004:24-25), sebuah tanda diiterpretasikan dalam tiga tahap: semiosis
(kemampuan otak untuk mereproduksi dan memahami tanda), representasi (penggunaan tanda untuk
menguhubungkan, menggambarkan, memotret, atau mereproduksi sesuatu yang dilihat, diindera,
dibayangkan , atau dirasakan dalam bentuk fisik tertentu), dan signifikansi kultural (tahap produksi dan
interpretasi tanda untuk memahami segala sesuatu berdasarkan konteks tertentu). Proses interpretasi
tersebut menghubungkan tubuh, pikiran, dan kebudayaan sebagai sarana untuk mereproduksi dan
memaknai tanda. Dengan demikian proses pemaknaan suatu tanda meliputi proses semiosis yang
terjadi di tubuh, proses representasi di pikiran, dan proses signifikansi budaya di budaya. Proses
interpretasi juga terkait dengan penandaan.

Thwaites (2002) mengungkapkan bahwa tanda budaya dapat berasosiasi atau tanda lain dengan cara
yang kompleks. Ia membagi jenis-jenis interaksi dalam tanda-tanda budaya menjadi tiga bagian yaitu
metafora, metonimi, konotas dan denotasi.

Metafora adalah proses interaksi tanda yang berupa perbandingan secara implisit atau eksplisit
terhadap sebuah tanda. Metafora membentuk sebuah preposisi: X dan Y memiliki paradigma yang sama
sehingga keduanya dapat dikatakan ekuivalen. Contoh: matahari dimetaforakan sebagai raja siang.

Metonimi adalah proses interaksi tanda yang berupa asosiasi makna. Sebuah tanda berasosiasi dengan
tanda lainnya yang merujuk pada sebagian, keseluruhan, sebuah fungsi, atau sebuah konsep terkait.
Contoh: tanda tangan Merujuk kepada pemiliknya. Stereotipe juga bersifat metonimi, karakteristik
seseorang dinilai sebagai suatu kelompok.
Konotasi dan denotasi menurut Barthes (1977) merupakan dua jenis penandaan yang disebut dengan
first order (denotasi) dan second order (konotasi). Denotasi yaitu sesuatu yang dapat didefinisikan
secara harfiah, nyata, jelas, dan umum. Dalam studi linguistik, makna denotatif dapat diperoleh dalam
kamus dan merupakan representasi visual yang diterima dan dimaknai sama dalam setiap kebudayaan.
Konotasi adalah sesuatu yang merujuk pada sosiokultural dan asosiasi pribadi yang terkait dengan
ideologi, emosi, kelas, usia, gender, dan etnisitas.

REPRESENTASI DALAM SEBUAH FILM

Karakteristik film sebagai media massa juga mampu membentuk konvensi konvensi publik secara visual
(visual public konsensus), karena film selalu bertautan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat
dan selera publik. Dengan kata lain, film merangkum pluralitas nilai yang ada di dalam masyarakat.
(Irawanto, 1999:14)

Film mampu menangkap gejala-gejala dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat yang kemudian
disajikan kembali kepada masyarakat untuk mendapat apresiasi. Sebagai salah satu media komunikasi,
film mengandung berbagai pesan yang ingin disampaikan oleh pembuatnya. Pesan-pesan tersebut
dibangun dari berbagai macam tanda yang terdapat dalam film.

Graeme Turner menyebut perspektif yang dominan dalam seluruh studi tentang hubungan film dan
pandangan masyarakat sebagai refleksionis. Yaitu film dilihat sebagai cerminan yang memantulkan
kepercayaan-kepercayaan dan nilai-nilai yang dominan dalam budayanya. Bagi Graeme, perspektif ini
sangat sederhana dan memuaskan karena metapora yang tidak memuaskan karena selalu memilih dan
kombinasi yang terjadi dalam setiap komposisi ekspresi, baik dalam film, prosa atau percakapan
(Irawanto, 1999:15).

Antara film dan masyarakat sesungguhnya terdapat kompetisi dan konflik dari berbagai faktor yang
menentukan, baik bersifat kultural, sub kultural, industri, serta institusional. Ada dua pendekatan yang
digunakan untuk mengkaji adanya hubungan antara film dengan kultur masyarakat, yaitu secara tekstual
dan kontekstual (Turner, 1995:153). Pendekatan tekstual berfokus pada teks-teks film. Film sebagai
sebuah teks dipahami sebagai ekspresi dari aspek-aspek tertentu pada kultur masyarakatnya. Isi film
yang ada di masyarakat, cenderung mempertahankan struktur sosial yang sudah ada dengan cara
mereproduksi makna-makna yang berasal dari nilai-nilai, ideologi, dan kepentingan kelompok-kelompok
dominan dalam masyarakat.
Sedangkan pendekatan kontekstual lebih pada aspek industri, budaya politik, dan film institusional.
Dalam kaitan ini, film lebih dipandang sebagai suatu proses kultural daripada sebuah ruang dimana
sebuah produksi film akan mempengaruhi suatu film dan pengaruhnya pada kondisi masyarakatnya.
Antara masyarakat dan film terdapat berbagai dimensi yang menimbulkan makna-makna yang dapat
dinilai untuk menilai pemahaman tentang aspek-aspek yang muncul dari suatu realitas.

Bagaimana pun hubungan antara film dan ideologi kebudayaannya bersifat problematis. Karena film
adalah produk dari struktur sosial, politik, budaya, tetapi sekaligus membentuk dan mempengaruhi
struktur tersebut. Turner berpendapat bahwa selain film bekerja pada sistem-sistem budaya – untuk
memproduksi, atau me-reviewnya – ia juga diproduksi oleh sistem-sistem makna itu. Dengan demikian,
posisi film sesungguhnya berada dalam tarik ulur dengan ideologi kebudayaan dimana film itu
diproduksi. Hal ini menunjukkan bahwa film tidak pernah otonom dari ideologi yang melatarinya.

REPRESENTASI DALAM BENTUK KOMIK

Salah satu komik Indonesia yang sarat dengan representasi budaya lokal Indonesia adalah Garudayana ,
yang dikresikan oleh Is Yuniarto ( duniaku.net ) dalam sumber dikatakan bahwa komik hitam-putih ini
beredar pada tahun 2009 dan diterbitkan oleh M&C! PT. Gramedia. Judul komik ini diangkat dari kata
Garuda dan Yana , inspirasinya dari Ramayana. Komikus memahami arti Ramayana adalah Cerita Rama
atau The Tale of Rama sehingga ia mencoba bereksperimen dengan membuat epik atau cerita baru
dengan karakter sentral Garuda, karena Garuda dikenal oleh masyarakat Indonesia pada umumnya. Jadi
dengan demikian komik ini akhirnya diberi judulGarudayana (2009)

Berlatar kisah Mahabarata , namun tidak menggunakan latar waktu yang pakem dari Mahabarata .
Komikus mencoba menceritakan wayang Mahabarata dengan sudut pandang yang baru dengan
menambah karakter baru, yaitu tokoh utama perempuan bernama Kinara. Komikus menambahkan toko
Kinara ini karena kepemimpinan kisah Mahabarata terlalu didominas oleh tokoh-tokoh pria. Meskipun
demikian, ditampilkan juga tokoh-tokoh Mahabarata lainnya, seperti Gatotkaca, Arjuna, Pandawa dan
Kurawa ( oase.kompas.com ). Nama-nama dalam tokoh ini merupakan tanda budaya, secara khusus
merepresentasikan budaya perwayangan di Indonesia.

REPRESENTASI DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI


Iklan bekerja di atas dasar karena mengetahui iklan hanya bekerja ketika kita mempresentasikan apa
yang direpresentasikan oleh imaji-imaji, di mana imaji-imaji itu mengkonstruksi kita,melalui hubungan
kita dengan mereka. Makna adalah interpretasi, stereotip menetapkan makna yang diberikan kelompok-
kelompok, misal gambaran orang kulit hitam yang terbatas, memberikan efek pada apa yang
menjangkau masyarakat mengenai kulit hitam dalam dunia nyata. Gambaran pengetahuan tentang
bagaimana kita melihatnya direpresentasikan, sehingga perjuangan untuk membuka praktik stereotip
kadang adalah sebuah perjuangan untuk perbedaan celakanya meningkatkan meningkatkan yang
mendukung dari orang-orang yang belum direpresentasikan sebelumnya.

Saat ini banyak masyarakat khususnya wanita yang dibanjiri oleh bermacam-macam iklan produk yang
hadir melalui televisi, radio, maupun media lainnya. Bermacam produk saling berlomba dalam
melakukan beragam trik menawarkan perubahan kulit, terstruktur, dan sebagainya itu membuat wanita
atau calon konsumen yang melihat iklan menjadi tertarik untuk menggunakan produk tersebut, iklan
produk tersebut dengan bentuk penawaran yang sedemikian rupa memberikan bayangan tersendiri
dalam membentuk suatu bingkai dalam masyarakat. Dalam hal ini pesan iklan yang efektif bagi para
pengiklan dan kreator iklan melalui penyampaian sisi imagistik, yakni simbolisasi suatu produk yang
merupakan suatu cara untuk membantu khalayak dalam mengidentifikasi produk yang diinginkan dan
dibutuhkan.

Simbolisasi produk dalam iklan merupakan sebuah bentuk penyampaian kembali dan nilai-nilai yang ada
dan realitasnya citra dalam iklan sabun dan penayangan dalam iklan produk-produk putih tersebut
memiliki nilai bahwa hanya mereka yang berkulit putih yang cantik dengan kebanyakan menggunakan
representasi selebriti wanita indonesia. Ini tidak menambahkan kembali budaya dan nilai-nilai yang ada
dan diyakini oleh masyarakat di mana iklan tersebut berada. Dalam iklan ini terdapat bahwa sosial mulus
dimana Indonesia sendiri dilihat dari ras yang memiliki kulit tidak hitam dan tidak putih atau sawo
matang, sehingga memberikan bingkai pada masyarakat citra wanita cantik Indonesia adalah mereka
yang memiliki kulit putih dan. bila ini hobi dengan cultural studies dalam televisi, teks, dan penonton,

Fokus dan representasi perempuan telah dicoba sebelumnya oleh sejumlah penulis opera sabun sering
kali dikatakan bahwa opera sabun adalah suatu perempuan dimana motivasi telah disahkan dan ruang
feminis. Dalam operasi suatu bentuk global berdasarkan dua alas an yaitu ia adalah cara bernarasi yang
diproduksi di berbagai negara di seluruh dunia dan ini adalah salah satu bentuk acara televisi yang paling
banyak diekspor dan ditonton di berbagai konteks budaya.

REPRESENTASI POLITIK
Survei politik dalam negara merupakan hal yang wajar guna mengetahui elektabilitas calon pemimpin
maupun partai politik. Melalui survei maka para penggiat politik akan bekerja keras membangun basis
organisasi dan merancang strategi jitu untuk memenangkan pemilihan umum.

Di Indonesia, hiruk pikuk pemilihan umum nasional masih satu tahun lagi, namun sudah diramaikan oleh
berbagai hasil survei yang telah menggambarkan beberapa tokoh untuk menjadi pemimpin pada 2014
yang akan datang. Partai politik yang diperkirakan sudah bisa digambarkan melalui survei ini, bahkan
belakangan hasilnya banyak referensi bagi partai politik untuk bekerja keras untuk hati dan simpati
masyarakat. Survei para lembaga tersebut biasanya menggunakan pers sebagai institusi yang dianggap
dapat menyebarkan hasil kajiannya kepada khalayak umum sehingga persepsi seseorang tentang politik
bisa lebih mengena. Saluran media merupakan hal yang paling tepat untuk sosialisasi hasil polling dari
berbagai lembaga kredibel dibidangnya.

Hasil dari survei politik ini menjadi perbincangan dan wacana dalam media televisi dalam beberapa
bulan ini, seperti yang terjadi baru-baru ini ketika beberapa lembaga survei mengeluarkan hasil
kajiannya terhadap calon presiden RI 2014 mendatang. Beberapa nama baik masa lalu maupun sekarang
masuk dalam bursa capres dengan elektabilitas pemilih yang bervariasi dan menariknya salah satu tokoh
yang memiliki hasil survei tertinggi memiliki catatan masa lalu yang kelam yakni penculikan aktivis dan
pembungkaman demokrasi.

Masyarakat seolah dipersepsikan sudah melupakan tragedi kelam tersebut namun berkat konstruksi
media maka perbincangan dosa masa lalu telah terpinggirkan oleh kontestasi antar survei yang saling
bersahutan mempublikasikan hasil kajiannya. Hasil survei ini kemudian menjadi komoditas informasi
bagi industri media televisi dengan beragam kepentingan ekonomi politiknya, survei tersebut menjadi
alat kekuatan para pemilik media yang memiliki akses dan jaringan luas terhadap berbagai kalangan.
Hasil survey politik direpresentasikan oleh media televisi melalui berbagai program baik berita,
talkshow, ataupun parodi politik. Sebagai ruang wacana bagi masyarakat mungkin sah saja media massa
menggambarkan hasil survei politiknya untuk rujukan pemilih, namun yang menjadi permasalahan
ketika menjadikan hasil survei tersebut sebagai alat konstruksi berpikir kepada masyarakat agar terfokus
pada salah satu calon ataupun partai politik tertentu. Peran media yang seharusnya dapat mencerahkan
berubah menjadi tunduk pada kepentingan politik tertentu, secara umum mungkin tidak terlihat
bagaimana media tersebut mendukung tetapi hal ini terlihat dari representasi kontennya yang
disampaikan kepada khalayak.

Konsep representasi dalam media sekedar tidak mereproduksi atau menampilkan sesuatu fakta kepada
khalayak, tetapi melalui beragam konsepnya representasi menghadirkan makna tertentu kepada kita.
Konsep representasi Stuart Hall dengan pendekatan konstruksionisnya memandang bahwa makna
dibuat oleh pembuatnya sehingga menghasilkan makna yang bagus (Hall, 1997:25). Makna tersebut
digunakan untuk merepresentasikan konsep tertentu dalam masyarakat.

Walaupun demikian, masyarakat dapat menentukan maknanya sendiri berdasarkan budaya dan sistem
representasi yang mereka miliki. Sebagai contoh ketika seorang presenter televisi mempertanyakan hasil
survei terhadap suatu pihak yang sedang terpuruk dengan beragam pertanyaan yang lebih
menyudutkan pihak tersebut. Melalui narasi yang disampaikannya maka secara tidak langsung
konstruksi makna telah tercipta dan audiens televisi dapat memaknainya dengan tersendiri.

Berdasarkan konsep maka survei politik ketika masuk ke dalam ruang media televisi sangat rawan akan
kuasa bahasa sehingga pemirsa dibawa ke dalam permainan bahasa yang mengarah kepada kekuatan
tertentu. Tentunya tidak semua media merepresentasikan hal demikian namun melihat peta industri
televisi yang saat ini dikuasai oleh para politik maka akan rentan terhadap bahaya. Meski demikian
masih ada beberapa media massa yang menjadikan survei politik hanya untuk wacana di masyarakat
tanpa memiliki kepentingan pribadi politiknya.

Anda mungkin juga menyukai