Anda di halaman 1dari 35

TEKS

Diagnosis dan Penatalaksanaan Mikosis Paru


Ida Bagus Suta

Program Studi Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Pendahuluan

Penyakit paru yang disebabkan oleh infeksi jamur semakin banyak


ditemukan seiring dengan meningkatnya perhatian klinisi terhadap jamur
paru dan teknik pemeriksaan yang semakin baik. Mikosis paru adalah
gangguan paru (termasuk saluran napas) yang disebabkan oleh infeksi/
1,2
kolonisasi jamur atau reaksi hipersensitif terhadap jamur.
Insiden, diagnosis, dan keparahan klinis infeksi jamur pada paru
meningkat secara dramatis dalam beberapa tahun terakhir. Banyaknya
pasien dengan keganasan dan imunkompromis, penyakit hematologi, dan
HIV, serta mereka yang menerima rejimen obat immunosupresif untuk
penatalaksanaan transplantasi organ atau kondisi inflamasi autoimun, telah
memberikan kontribusi yang signifikan terjadinya peningkatan kejadian
2,3
infeksi ini.
Secara umum jamur yang menginfeksi paru dibagi menjadi dua
kelompok yaitu jamur pathogen/mikosis endemik (histoplasmosis,
blastomikosis, koksidioidomikosis, parakoksidioidomikosis, spoorotrikosis
dan kriptokokosis) dan infeksi jamur khusus yakni infeksi jamur oportunistik
(aspergilosis, mukormikosis, kandidiasis dan kriptokokosis). Berdasarkan

1
TEKS

kondisi pasien, mikosis paru terjadi pada 2 keadaan : menyertai kelainan


1,2,3,5
paru kronik yang sudah ada dan keadaaan imunokompromis.
Distribusi jamur endemik di Amerika Serikat yang lazim di Sungai
Mississippi Valley dan Lembah Sungai Ohio (misalnya H capsulatum, B
dermatitidis), Amerika Serikat barat daya, dan barat laut Mexico (misalnya C
immitis). Jamur telah menyebabkan beberapa wabah pneumonia di
2,3
Argentina dan daerah lain Amerika Tengah dan Selatan.
Organisme oportunistik biasanya ditemukan di seluruh dunia, dan
cenderung menyebabkan penyakit pada host dengan penurunan kekebalan.
Mikosis jamur endemik pada host sehat akibat C immitis adalah yang paling
ganas , tetapi 90 % pasien sembuh tanpa pengobatan. Namun, kelainan
paru kronis atau komplikasi yang mungkin ditemukan dapat menjadi
kavitas, efusi pleura dan fistula bronkopleural. Pada pasien dengan AIDS,
angka kematian setinggi 70 %. Aspergillosis pada pasien neutropeni (baik
dari kemoterapi leukemia atau transplantasi sumsum tulang) memiliki
tingkat kematian 50-85 %. Lebih sering, infeksi aspergillosis dan infeksi
3
kandida atau meningoencephalitis karena kriptokokosis. Mikosis paru yang
paling sering dilaporkan dan memerlukan pengobatan adalah aspergilosis,
PCP, kandidiasis dan histoplasmosis. Diagnosis mikosis paru masih sulit
sehingga penatalaksanaan sering terlambat. Walaupun kasusnya relatif
masih jarang bila dibandingkan infeksi bakteri atau virus, infeksi jamur
penting karena dapat diobati dan keterlambatan terapi dapat berakibat
fatal.

2
Teks

Patogenesis
Jamur terdapat di mana-mana dan pajanan terhadap saluran napas
sulit dihindarkan sehingga paru merupakan salah satu target infeksi oleh
jamur. Mikosis primer terjadi bila spora terhirup melalui saluran nafas.
Infeksi jamur terjadi setelah menghirup spora, setelah menghirup konidia,
atau oleh reaktivasi dari infeksi laten. Penyebaran hematogen sering terjadi
terutama pada host imunokompromis. Jika infeksi terjadi pada parenkim
paru disebut pneumonia jamur yang merupakan proses infeksi di paru yang
disebabkan oleh 1 atau lebih jamur endemik atau oportunistik. Timbulnya
kelainan pada paru dipengaruhi oleh faktor virulensi jamur berupa
dimorfisme termal, produksi toksin, kapsul dan faktor adhesi, adanya enzim
hidrolitik, serta stimulasi oleh inflamasi. Pertahanan lokal antijamur pada
tubuh host meliputi integritas mukosa dan silia pernapasan, sedangkan
pertahanan sistemik yang penting adalah imunitas sel, fagositosis, dan reaksi
peradangan. Umumnya spora terinhalasi dan masuk ke saluran napas bawah
kecuali kandidiasis dan sporotirokosis. Selanjutnya jamur dapat masuk
dalam peredaran darah lalu menyebar secara limfogen ke dalam hilus dan
mediastinum kemudian secara hematogen ke organ lain sehingga terjadi
2,3,5
kelainan pada organ tersebut.
Jamur patogen endemik (misalnya Histoplasma capsulatum,
Coccidioides immitis, Blastomyces dermatitidis, Paracoccidioides
brasiliensis) menyebabkan infeksi pada host sehat dan pada orang
imunokompromis yang terdapat di Amerika dan seluruh dunia. Organisme
jamur oportunistik (misalnya Candida spesies, spesies Aspergillus, Mucor

3
TEKS

spesies, Cryptococcus neoformans) cenderung menyebabkan pneumonia


pada pasien dengan cacat bawaan atau host imunokompromis. Kelompok
jamur oportunistik hanya menginfeksi pejamu dengan gangguan pada
sistem imun atau bila terdapat faktor predisposisi. Pada keadaan normal
spora jamur oportunistik sulit menginvasi mukosa saluran napas. Pada
penderita dengan komorbid atau imunokompromis, spora yang terinhalasi
dan berkolonisasi akan menginvasi jaringan paru dan berkembang sehingga
mengakibatkan kerusakan jaringan paru dan menimbulkan gejala klinis.
Makrofag paru berfungsi membunuh jamur pada keadaan status imun yang
baik, namun bila pertahanan makrofag gagal maka hifa yang berisi
konidiofora dapat melepaskan spora. Hifa sebagai antigen akan
mengaktivasi komplemen dalam serum, meningkatkan faktor kemotaktik,
fagosit dan meningkatkan degranulasi neutrofil serta merangsang kerja sel T
untuk membunuh jamur yang masuk. Imunitas nonspesifik dilakukan oleh
natural killer cell sedang imunitas spesifik diperankan oleh sel T sitotoksik
dalam menghancurkan jamur. Sistem pertahanan tubuh baik spesifik
maupun nonspesifik tidak dapat berfungsi dengan baik pada individu yang
mempunyai status imun buruk, seperti pemakaian kortikosteroid lama,
2,3,4
diabetes mellitus dan usia lanjut.
Komplikasi mikosis paru meliputi 1) penyebaran penyakit ke organ
lain ( misalnya otak, meningens, kulit, hati, limpa, ginjal, adrenal, hati, mata)
dan sindrom sepsis dan 2) invasi pembuluh darah, yang dapat menyebabkan
hemoptisis, infark miokard, emboli serebral , infark serebral, atau kebutaan.

4
Teks

Prognosis dihubungkan dengan tingkat keparahan penyakit yang mendasari


4,5
dan mungkin dipengaruhi status kekebalan pasien.

Faktor Risiko
Faktor resiko mikosis paru adalah berbagai keadaan yang
mempermudah pasien mengalami mikosis paru. Faktor resiko yang sering
dilaporkan antara lain: kolonisasi jamur, penggunaan jangka panjang
antimikroba berspektrum luas, kortikosteroid sistemik, obat sitostatika,
serta alat-alat kesehatan invasif. Faktor resiko lainnya, pekerja atau petani
dengan paparan berat terhadap burung, kelelawar, atau kotoran hewan
pengerat atau kotoran hewan lainnya di daerah endemik cenderung menjadi
salah satu penyebab pneumonia jamur endemik. C immitis, karena
virulensinya, juga merupakan penyebab mikosis di kalangan pegawai
laboratorium. Kondisi yang mempengaruhi pasien terinfeksi jamur patogen
oportunistik adalah sebagai berikut: Leukemia akut atau limfoma selama
kemoterapi myeloablative sumsum tulang atau transplantasi sel
induk, transplantasi organ padat, pengobatan imunosupresif, terapi
kortikosteroid berkepanjangan, Acquired immunodeficiency
syndrome, Neutropenia berkepanjangan dari berbagai penyebab, sindrom
defisiensi imun, postsplenectomy, dan predisposisi genetik.
Beberapa penyakit meningkatkan resiko mikosis paru dan berperan
penting dalam kriteria diagnosis mikosis paru. Dalam Pedoman Diagnosis

5
TEKS

dan Penatalaksanaan Mikosis Paru di Indonesia, penyakit atau kondisi yang


sering berkaitan dengan risiko mikosis paru sebagai berikut:
- Resiko infeksi Aspergilosis, pasien dengan keganasan darah, pasien yang
menjalani transplantasi sumsum tulang dan organ solid terutama
transplantasi paru, pasien yang menjalani perawatan ICU dengan resiko
sedang (terapi kortikosteroid jangka panjang lebih dari 4 minggu, PPOK
penerima kortikosteroid sistemik, sirosis hati dengan masa rawat lama,
infeksi HIV/AIDS tahap lanjut, pengobatan sitostatika) dan resiko rendah
(luka bakar luas, malnutrisi, transplantasi organ solid selain paru, masa
rawat di ICU lebih dari 21 hari, penerima kortikosteroid sistemik lebih dari
7 hari, pasca bedah jantung), pasien gagal ginjal, diabetes mellitus dan
near drowning (hampir tenggelam). Resiko PCP, kriptokokosis, pasien
terinfeksi HIV dengan nilai hitung CD4+ kurang dari 200 sel/mm3.
- Resiko mukormikosis, pasien transplantasi ginjal.
- Resiko kondidosis, pasien transplantasi jantung, perawaatan ICU,
menggunakan kateter vena central, menerima nutrisi parenteral,
neutropenia, menggunakan alat prostetik implan, menerima terapi
imunosupresif termasuk kortikosteroid, kemoterapi dan
1,2, 4,5
imunomodulator.

Gejala Klinik
Gambaran klinis infeksi jamur paru bisa simtomatik atau
asimpomastik. Pada yang simtomatik gejala dapat berupa batuk, batuk
kronik dengan dahak mukoid atau purulen, batuk darah, kadang-kadang

6
Teks

disertai sesak napas, nyeri dada dan demam akut. Keluhan pasien umumnya
sama dengan keluhan penyakit paru pada umumnya. Gejala yang muncul
dapat demam, batuk biasanya produktif, nyeri dada atau nyeri pleiritik.
Dispnea menyebabkan kegagalan pernafasan. Gejala obstruktif dari
adenopati mediastinum dapat ditemukan. Hemoptisis terjadi akibat
aspergillosis invasif atau mucormycosis. Riwayat perjalanan ke daerah
endemik mikosis atau paparan juga penting dalam anamnesis pasien. Pada
pasien neutropenia atau immunocompromised, demam persisten bahkan
sebelum ada temuan paru mungkin merupakan tanda awal infeksi, terutama
jika demam tidak responsif terhadap antibiotik spektrum luas.
Hipersensitivitas atau reaksi alergi termasuk asma bronkial alergi, mikosis
1,2,3,5,
bronkopulmonalis alergi (spesies Aspergillus, Candida).
Temuan pemeriksaan fisik pada pasien dengan mikosis paru yang
mungkin adalah: peningkatan suhu, takikardia, gangguan pernapasan, rales,
tanda-tanda konsolidasi paru, nyeri pleura yang sulit dibedakan dengan
penyakit paru lainnya. Kemungkinan temuan diluar paru yang penting
meliputi: Meningitis (kekakuan leher, sakit kepala, perubahan status
mental), Lesi kulit (pustula, papula, plak, nodul, borok, abses, lesi
2,3,4,5
hemoragik).
Jumlah sel darah putih mungkin meningkat pada host normal
dengan mikosis endemik. Eosinofilia dapat ditemukan, terutama pada orang
dengan coccidioidomycosis. Pada pasien dengan neutropenia atau
leukopenia, kemungkinan untuk terjadinya infeksi oportunistik Candida atau

7
TEKS

Aspergillus meningkat. Gambaran rontgen toraks pada sebagian besar


mikosis paru tidak menunjukkan ciri khas, dapat ditemukan infiltrat
interstisial, terlokalisir atau difus, konsolidasi, nodul multipel, kavitas, efusi
pleura dan adenopati hilus. Gambaran khas yang dapat terlihat pada
aspergiloma yaitu massa fungus ball dalam kavitas. Hasil laboratorium rutin
yang mungkin berkaitan dengan mikosis paru adalah peningkatan jumlah sel
1,2,5,6
eosinofil.

Diagnosis
Diagnosis mikosis paru umumnya didapatkan secara kebetulan atau
terdapat kecurigaan yang tinggi terhadap jamur. Specimen bahan
pemeriksaan didapatkan dari sputum, cairan serebrospinal, bilasan bronkus,
cairan BAL, biopsi paru transbronkial, biopsi transtorakal atau biopsi paru
terbuka. Histoplasmosis primer sering tidak terdiagnosis. Pemeriksaan
sputum langsung tidak terdapat gambaran yang pasti, berbeda bila
pemeriksaan ini dilakukan pada blastinomikosis dan koksidiomikosis.
Pemeriksaan sputum pada aspergilosis, kandidiasis dan kriptokokosis kurang
memberikan manfaat. Uji serologi yang sering digunakan untuk pemeriksaan
2, 6,7
jamur paru adalah uji imunodifusi dan uji fiksasi komplemen.
Sebagian besar mikosis paru tidak ada ciri khas pada gambaran foto
toraks, bisa ditemukan infiltrat interstisial, konsolidasi, nodul multipel,
kavitas, dan efusi pleura. Gambaran foto toraks yang khas adalah fungus
ball dalam kavitas pada aspergiloma. Hasil yang lebih baik didapatkan pada
pemeriksaan CT-scan toraks. Hasil laboratorium rutin yang mungkin

8
Teks

berhubungan dengan mikosis paru adalah jumlah sel eosinofil yang


meningkat. Pemeriksaan mikologi merupakan prosedur diagnosis mikosis
paru yang sangat penting. Kualitas pemeriksaan ini ditentukan oleh
pemilihan, pengumpulan dan pengiriman spesimen. Penanganan spesimen
yang tidak memadai dapat mengakibatkan ketidaktepatan diagnosis.
Spesimen bisa didapatkan dari sputum, bilasan bronkus, kurasan
bronkoalveolar (broncho-alveolar lavage/BAL), jaringan biopsi, darah, pus
5,6,7
dan lain-lain.
Jaringan hasil biopsi mempunyai arti klinik paling tinggi karena
penemuan jamur dalam jaringan dapat memastikan diagnosis mikosis.
Spesimen biopsi sebaiknya diambil dari tengah dan tepi lesi, selanjutnya
diletakkan di antara kasa steril yang sedikit dibasahi dengan larutan garam
fisiologis untuk mencegah kekeringan. Jangan diberi bahan pengawet karena
akan emematikan jamur dalam jaringan sehingga tidak dapat dilakukan
proses pembiakan serta uji kepekaan jamur terhadap obat anti jamur.
Spesimen darah untuk pemeriksaan serologi sebanyak 2,5 - 5 ml diambil
dengan semprit steril tanpa bahan pengawet lalu dikirim secepatnya ke
laboratorium. Untuk biakan darah saja, diperlukan 5-10 ml darah dan
8,9,12
sebaiknya diberi antikoagulan.
Pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis mikosis paru dilakukan
1,8
dengan tiga metode yaitu mikroskopik, biakan dan serologi . Prosedur
diagnostik berdasarkan deteksi deoxyribonucleic acid (DNA) jamur saat ini

9
TEKS

sedang dikembangkan, namun biakan spesimen dan hasil biopsi jaringan


masih menjadi baku emas diagnosis mikosis paru.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dalam diagnosis
mikosis paru adalah sebagai berikut.:
1. Pemeriksaan mikroskopik
Pemeriksaan sputum dan pengecatan Kalium Hidroksida sangat
penting dalam idantifikasi jamur. Pemeriksaan ini dapat menemukan hifa
jamur atau ragi. Namun harus berkorelasi dengan kondisi klinis, karena
infeksi saprophytic pada saluran orofaringeal atau beberapa pasien dan
mungkin tidak selalu menunjukkan infeksi invasif. Hati-hati transportasi,
proses, dan kultur spesimen yang mungkin terkontaminasi oleh bakteri, ragi
mungkin saprophytic endogen ke rongga mulut, dan mungkin konidia jamur
saprofit diudara.
Pemeriksaan spesimen secara langsung maupun dengan
pewarnaan harus selalu dilaksanakan karena dapat mendiagnosis
kemungkinan infeksi jamur secara cepat, mudah dan murah, meskipun nilai
diagnostiknya sangat bervariasi (10-90%) bergantung kepada spesies jamur
yang ditemukan. Pemeriksaan mikroskopik langsung dilakukan dengan
menambahkan larutan garam fisiologis, KOH 10% atau tinta India.
Pemeriksaan langsung sputum, bilasan bronkus, BAL, atau spesimen lain
dapat mendeteksi elemen jamur secara umumberupa spora maupun
hifa. Teknik pewarnaan dapat dilakukan dengan Giemsa, gomori
methenaminsilver (GMS), calcofluor, maupun deteksi antobodi monoklonal

10
Teks

dengan pewarnaan imunoflueresens yang lebih sensitif dibandingkan


dengan pewarnaan biasa. Pemeriksaan langsung cairan serebrospinal,
bilasan bronkus atau BAL dengan tinta India sangat bermanfaat dalam
mendiagnosis kriptokokosis. Pemeriksaan sputum pasien terinfeksi HIV
dengan pewarnaan Giemsa atau GMS menunjukkan sensitivitas 35-60%,
sedangkan BAL menunjukkan sensitivitas 85-95% dalam mendiagnosis
8,9,12
PCP.
2. Biakan
Pemeriksaan biakan mempunyai nilai diagnostik tinggi bahkan
menjadi baku emas diagnosis infeksi jamur tertentu. Biakan darah
merupakan baku emas diagnosis infeksi Candida dalam darah (kandidemia),
namun sebaliknya untuk diagnosis PCP karena P.jiroveci sampai saat ini
belum dapat dibiakkan. Sensitivitas biakan pada histoplasmosis akut hanya
15%, sedang pada histoplasmosis diseminata sensitivitasnya bisa >85%.
Meskipun pemeriksaan biakan jamur membutuhkan waktu beberapa hari
sampai minggu, namun perlu dilakukan untuk identifikasi spesies dan uji
kepekaan jamur terhadap obat anti jamur. Kultur darah dan urine
diperlukan untuk mengidentifikasi spesies Candida atau B-dermatitidis jika
terjadi penyebaran hematogen. Kultur jamur urine pada pria untuk
6, 7, 8.
mengidentifikasi spesies Cryptococcus.
3. Serologi
Uji serologi digunakan untuk mendeteksi reaksi antibodi pejamu
terhadap elemen-elemen jamur. Nilai diagnostiknya sangat terbatas

11
TEKS

sehingga perlu hati-hati dalam interpretasi hasil. Dewasa ini telah


dikembangkan deteksi antigen yang memiliki nilai diagnostik lebih tinggi. Uji
ini didasarkan atas deteksi komponen dinding jamur yang dilepaskan ke
dalam aliran darah atau cairan tubuh lain pada saat jamur berproliferasi. Uji
antigen cryptococcus spp dari serum atau cairan serebrospinal sangat
bermanfaat dalam diagnosis kriptokokosis karena nilai sensitifitas dan
spesifisitas yang tinggi. Uji antigen Histoplasma spp dalam urin memiliki
sensitivitas >90% dan spesifisitas >95% dalam mendiagnosis histoplasmosis.
Uji antigen galaktomanan Aspergyllus spp menunjukkan sensitivitas 61-71%
dan spesifisitas 89-93% dalam mendeteksi aspergilosis invasif. Perlu
diperhatikan hasil positif palsu pada pasien yang medapatkan terapi
antibiotik golongan beta-laktam dan pasien pasien dengan infeksi
Pencillium karena tyerdapat reaktivitas silang. Metode nonkulture untuk
mendeteksi infeksi jamur memberikan tes yang lebih cepat dan sensitif bila
dibandingkan dengan kultur. Berbagai tes deteksi antigen , seperti
galactomannan enzim immunoassay untuk mendeteksi infeksi invasif
Aspergillus. Untuk Aspergillus, galactomannan ELISA mungkin positif dalam
darah sebelum ditemukan klinis infeksi jamur invasif dan dapat digunakan
3,5
dalam pemantauan dan profilaksis pada populasi berisiko tinggi.
4. Polimerase chain reaction (PCR)
Pemeriksaan PCR dan real-time PCR sedang dikembangkan, namun
masih digunakan secara terbatas karena belum ada standarisasi dan validasi.
Polymerase chain reaction (PCR) juga dapat mendeteksi berbagai jamur
patogen, termasuk Aspergillus, Histoplasma, dan spesies Candida.

12
Teks

Perbandingan menggunakan enzyme-linked immunosorbent assay [ELISA]


atau aglutinasi lateks dan deteksi molekuler dengan PCR menunjukkan
spesifisitas yang sama ≥ 97% dalam mendeteksi spesies Candida. PCR yang
paling sensitif dibandingkan dengan ELISA dan aglutinasi lateks (masing-
masing 95%, 75%, dan 25%). PCR Aspergillus adalah yang paling sensitif (
100 % ) jika dilakukan pada cairan lavage bronkial pasien dengan
aspergillosis paru invasif , tetapi hanya 40-66 % yang sensitif ketika
5, 6, 12
dilakukan PCR pada darah. ELISA atau lateks aglutinasi adalah 70-80 %
sensitif untuk mengidentifikasi H capsulatum dan C immitis. PCR untuk H
capsulatum dari cairan bronchoalveolar lavage dapat dideteksi dalam
waktu 24 jam pada pasien dengan AIDS , dan dapat dikonfirmasi 10 hari
kemudian isolasi kultur jaringan.
Diagnosis definitif infeksi jamur paru juga telah meningkat seiring
kemajuan dalam metode dan teknik diagnostik, termasuk penggunaan
computed tomography (CT) dan tomografi emisi positron (PET) scan,
bronkoskopi, mediastinoscopy, dan video-dibantu biopsi thorascopic.
Pemeriksaan mikologi merupakan prosedur diagnosis yang sangat penting,
spesimen dapat diambil dari sputum, bilasan bronkus, kurasan
bronkoalveolar (BAL), jaringan biopsi, darah, cairan pleura, pus. Baku emas
diagnosis mikosis paru berasal dar biakan spesimen maupun hasil biopsi
8,9,12
jaringan. Hal penting dalam diagnosis mikosis paru adalah faktor
pejamu (risiko), gambaran klinis yang muncul dan pemeriksaan mikologi.
Dalam penegakan diagnosis mikosis paru telah dikenal kriteria yang
menentukan derajat diagnosis adalah proven, probable dan possible.

13
TEKS

Kriteria diagnosis proven adalah bila ditemukan faktor pejamu dan


gambaran klinis dan hasil pemeriksaan mikologi positif sebagai berikut:
pemeriksaan histologi atau sitokimia menunjukkan elemen jamur positif dari
hasil biopsi atau aspirasi disertai bukti kerusakan jaringan (secara
mikroskopik atau radiologi); atau biakan positif dari spesimen yang berasal
dari tempat steril serta secara klinis dan radiologi menunjukkan kelainan/lesi
yang sesuai dengan infeksi; atau pemeriksaan mikroskopik/ antigen
Cryptococcus dari likuor serebrospinal. Kriteria diagnosis probable jika
paling sedikit terdapat satu kriteria klinis mayor atau dua kriteria klinis
minor pada lokasi lesi abnormal yang sesuai dengan kondisi infeksi secara
klinis atau radiologi, dan satu kriteria mikologi. Kriteria diagnosis possible
jika paling sedikit terdapat satu kriteria faktor pejamu, dan satu kriteria
klinis mayor atau dua kriteria klinis minor dari lokasi lesi abnormal yang
sesuai dengan kondisi infeksi secara klinis atau radiologi, tanpa kriteria
mikologi atau hasil pemeriksaan mikologi negatif.
Krieria faktor pejamu, gambaran klinis dan hasil pemeriksaan mikologi untuk
menentukan diagnosis mikosis sistemik/invasif adalah :
Faktor pejamu
 3
Neutropenia (netrofil <500/mm selama > 10 hari)
 Penerima transplantasi sumsum tulang alogenik
 Penerima terapi kortikosteroid jangka panjang dengan rerata
dosis minimal setara prednison 0,3 mg/kg/hari selama > 3
minggu
 Penerima terapi imunosupresan
 Pasien imunodefisiensi primer berat
Kriteria gambaran klinis

14
Teks

 Kriteria mayor, bila terdapat salah satu dari tiga kondisi berikut
pada CT-scan : lesi padat dengan atau tanpa halo sign, air-
cresent sign atau kavitas;
 Kriteria minor bila didapatkan gejala infeksi saluran napas
bawah (misalnya batuk, nyeri dada, sesak napas, hemoptisis,
dan lain-lain), pemeriksaan fisik ditemukan pleural rub,
gambaran infiltrat baru yang tidak sesuai dengan kriteria
mayor.
Hasil Miologi
 Pemeriksaan langsung :
o Ditemukan elemen jamur kapang dari spesimen
sputum, BAL, bilasan bronkus, aspirat sius.
o Pertumbuhan jamur kapang dalam medium biakan
 Pemeriksaan tidak langsung :
o Aspergilosis: antigen galaktomanan terdeteeksi dalam
plasma, serum, BAL, liquor serebro spinal.
o Penyakit jamur invasif selain kriptokokus dan
zigomikosis: B-d-glukan terdeteksi dalam serum

Histoplasmosis
Disebabkan oleh Histoplasma capsulatum. Terjadi pada tanah yang
terkontaminasi dengan kelelawar atau burung kotoran. Umumnya
ditemukan di daerah beriklim sedang, subtropis, dan tropis. 50% - 90% dari
penduduk di daerah-daerah tes positif untuk eksposur. Orang-orang yang
tinggal dan bekerja di sekitar kelelawar atau burung kotoran berisiko
terinfeksi. Transmisi adalah melalui inhalasi konidia yang cukup kecil untuk

15
TEKS

mencapai bronkiolus dan alveoli. Amfoterisin B adalah pengobatan pilihan


jika diperlukan dengan amfoterisin B intravena atau itrakonazol.
Setelah terhirup Microconidia mengkonversi ke bentuk ragi, terjadi
fagositosis dan tuberkel terbentuk. Kasus yang parah dapat menyebabkan
menggigil, malaise, nyeri dada, dan infiltrasi paru yang luas. Histoplasma
capsulatum merupakan patogen sejati yang paling umum; penyebab
histoplasmosis biasanya dimorfik. Didistribusikan di seluruh dunia, yang
paling umum di daerah timur dan tengah AS. Tumbuh di tanah yang lembab
tinggi kandungan nitrogen. Inhalasi konidia menghasilkan infeksi paru
primer yang dapat berkembang menjadi keterlibatan sistemik dari berbagai
organ dan penyakit paru kronis.

Kriptokokosis
Kriptokokosis adalah infeksi oportunistik yang sering terjadi pada
pasien acquired immunodeficiency syndrome ( AIDS ), tetapi dapat terjadi
pada pasien imunosupresi lainnya dan kadang-kadang pada pasien tanpa
immunokompromis . Sebagian besar kasus disebabkan Cryptococcus
neoformans, sedangkan Cryptococcus gattii hanya terjadi pada sebagian
kecil kasus, sering pada pasien imunokompeten. Meningoencephalitis parah
merupakan gejala yang paling sering namun bila terjadi kriptokokosis paru
pada pasien seropositif HIV, tanpa pengobatan yang tepat akan menyebar
luas lebih parah. Sedangkan pada pasien imunokompeten infeksi terjadi
bersifat lokal dan self-limiting. Gambaran klinik dan radiologi bervariasi dan
tidak spesifik, dipengaruhi oleh status kekebalan pasien. Diagnosa

16
Teks

didasarkan pada isolasi Cryptococcus atau deteksi antigen kriptokokus pada


spesimen paru, ditambah dengan klinis dan radiologi serta patologi anatomi.
Pengobatan antijamur dengan amfoterisin B + / - flusitosin dianjurkan untuk
penyakit yang parah, sedangkan flukonazol merupakan pilihan terapi untuk
infeksi ringan dan lokal .
Aspergilosis
Disebabkan oleh jamur Aspergillus fumigatus, terdistribusi secara
luas dan ditemukan di seluruh dunia. Penyebaran melalui inhalasi konidia.
Aspergilus fumigatus paling sering menjadi penyebab infeksi oportunistik
serius pada AIDS, leukemia, dan pasien transplantasi. Infeksi biasanya terjadi
di paru berupa spora berkembang diparu dan membentuk bola jamur, dapat
menjajah sinus, kanal telinga, kelopak mata, dan konjungtiva. Aspergilosis
invasif dapat menyebabkan pneumonia nekrotik dan infeksi otak, jantung,
dan organ lainnya, terutama infeksi nosokomial yang terkait dengan sistem
pendingin udara. Kolonisasi dengan Aspergillus menyebabkan invasi
jaringan. Invasi pada jaringan paru menyebabkan penetrasi pembuluh darah
yang menyebabkan hemoptisis dan /atau akut pneumonia. Pneumonia
disertai dengan infiltrat paru multifokal dan demam tinggi. Kematian untuk
aspergillosis invasif adalah 100%. Amfoterisin B dan itraconazole dapat
digunakan tetapi biasanya tidak efektif.
Diagnosis diferensial mikosis paru meliputi: Sindrom gangguan
pernapasan akut, Pneumocystis carinii pneumonia, pneumonia aspirasi,
pneumonia bakteri, edema paru kardiogenik, edema paru neurogenik,

17
TEKS

Idiopathic pulmonary fibrosis, Fibrosis paru interstisial (nonidiopathic),


infeksi tuberkulosis.
Gambaran radiologi paru dapat ditemukan nodul, konsolidasi ,
kavitasi , atau efusi pleura. Limfadenopati dapat unilateral atau bilateral.
Infiltrasi miliaria terjadi pada infeksi yang luas. CT scan resolusi tinggi dapat
memperlihatkan tanda halo pada pasien dengan aspergillosis. Lesi nodular
ini biasanya dikelilingi oleh gambaran halo. Studi menunjukkan 61% dari 235
15
pasien dengan aspergillosis invasif ditemukan tanda halo.

Kandidiasis
Kandidiasis pada paru juga bisa terjadi. Hifa terlalu besar untuk
respon fagositosis tetapi rusak oleh PMN dan dengan mekanisme
ekstraseluler (myeloperoxidase dan b-glukuronidase). Sitokin limfosit
diaktifkan dapat menghambat pertumbuhan C. albicans. Resistensi terhadap
infeksi invasif oleh Candida dimediasi oleh fagosit, komplemen dan antibodi,
meskipun imunitas seluler memainkan peran utama. Pasien dengan
kerusakan fungsi fagositosis dan defisiensi myeloperoxidase beresiko untuk
Candidiasis. Faktor risiko untuk kandidiasis adalah keadaan pasca-operasi,
kemoterapi kanker sitotoksik, terapi antibiotik, luka bakar, penyalahgunaan
15,16
obat.

Pneumocystis Carinii Pneumonia


Merupakan pneumonia yang mematikan dan umumnya pada
pasien terinfeksi HIV-AIDS. Disebabkan oleh jamur Pneumocystis (carinii)

18
Teks

jiroveci yang merupakan jamur uniseluler yang menyebabkan pneumonia


(PCP), infeksi oportunistik yang paling menonjol pada pasien AIDS.
Pneumonia ini membentuk sekresi di paru yang menghalangi pernapasan
dan dapat fatal jika tidak dikontrol dengan obat-obatan. Jamur ini tidak
pernah tumbuh dalam media kultur. Diagnosis berdasarkan dari temuan
15,16
klinis dari pasien.

Penatalaksanaan
Pengobatan utama untuk mikosis paru mencakup agen antijamur.
Tidak ada perbedaan penggunaan obat anti jamur pada pasien keganasan
dengan pasien tanpa keganasan. Prinsip pengobatan antijamur dapat
diberikan sebagai terapi profilaksis, terapi empirik, terapi pre-emptive dan
terapi definitif. 1)Terapi profilaksis, pemberian anti jamur kepada pasien
dengan faktor risiko, tanpa tanda infeksi dengan tujuan mencegah
timbulnya infeksi jamur. Terapi profilaksis biasanya diberikan pada awal
periode risiko tinggi terkena infeksi. 2) Terapi empirik, pemberian antijamur
kepada pasien dengan faktor risiko disertai tanda infeksi (misalnya demam
persisten engan neutropenia biasanya selama 4-7 hari) yang etiologinya
belum diketahui dan tidak membaik setelah terapi antibiotika adekuat
selama 3-7 hari. Terapi empirik diberikan kepada pasien dengan diagnosis
possible. 3) Terapi pre-emptive (targeted prophylaxis), pemberian
antijamur dengan faktor risiko, disertai gejala klinis dan hasil pemeriksaan
radiologi dan atau laboratorium yang mencurigakan infeksi jamur. Terapi
pre-emptive diberikan kepada pasien dengan diagnosis probable. 4) Terapi

19
TEKS

definitif, pemberian anti jamur kepada pasien yang terbukti proven


.1)
mengalami infeksi jamur sistemik
Jenis obat antijamur yang digunakan harus disesuaikan berdasarkan
pada patogen tertentu yang telah diisolasi atau yang secara klinis dicurigai.
Saat ini modalitas pengobatan bertambah banyak dan memperluas pilihan
obat untuk infeksi jamur. Sebagian besar terbatas pada penggunaan
amfoterisin B, flusitosin, dan azol, pilihan pengobatan farmakologis saat ini
meliputi senyawa azol dengan aktivitas antijamur diperpanjang cukup
ampuh, bentuk lipid novel amfoterisin B, dan kelas baru antijamur obat yang
1,2,3
dikenal sebagai echinocandins.
Pada infeksi jamur sistemik yang berat dan mengancam jiwa,
pemberian amfoterisin-B dianjurkan sebagai obat utama dan dilanjutkan
dengan flukonazol atau itrakonazol. Obat lain yang juga diandalkan sebagai
pilihan obat anti jamur sistemik adalah flusitosin dan golongan azole seperti
flukonazol, itrakonazol dan ketokonazol. Obat tersebut menjadi pilihan
karena pemberiannya secara oral dan toksisitas relatif kurang. Flukonazol
bisa juga diberikan secara intravena. Penderita histoplasmosis bisa diberikan
itrakonazol dengan dosis 200-400 mg/hari selama 2 – 6 minggu. Ketokonazol
400 mg/hari juga efektif untuk penderita tersebut disamping harganya yang
relative lebih murah. Penderita yang tidak respons dengan terapi azol oral
dapat diterapi dengan amfoterisin-B dengan dosis 2,5 mg/kgBB selama 12-
16 minggu. Blastinomikosis dan koksidiomikosis bisa diberikan ketokonazol
oral dengan dosis 400 mg/hari sebelum makan. Bila penderita

20
Teks

koksidiomikosis disertai meningitis ringan bisa dberikan flukonazol 400


mg/hari.
Anti jamur Amfoterisin B adalah digunakan sebagai terapi awal
kasus mikosis akut. Pada pasien dengan aspergillosis invasif, termasuk
aspergillosis paru , varikonazol adalah standar baru perawatan, berdasarkan
16,17
keunggulannya atas amfoterisin B sebagai terapi utama. Variasi dosis
dan durasi pengobatan tergantung pada patogen penyebab pneumonia.
Beberapa dokter menawarkan terapi empiris dengan amfoterisin B untuk
infeksi jamur pada pasien dengan demam neutropenia ( misalnya kanker,
transplantasi sumsum tulang, transplantasi organ padat) dan pasien dengan
demam berkepanjangan setelah terapi antibiotik spektrum luas selama
beberapa hari. Obat lain yang dapat digunakan adalah itrakonazol dan
echinocandin, yaitu caspofungin. Terapi dilanjutkan sampai neutropenia
membaik dan pasien tidak ditemukan infeksi jamur atau radiografi
membaik. Terapi profilaksis dengan amfoterisin B digunakan terhadap
kekambuhan atau relaps coccidioidomycosis, kriptokokosis, atau
histoplasmosis pada individu yang terinfeksi dengan human
immunodeficiency virus ( HIV ) yang telah menerima perawatan yang
10
memadai untuk infeksi.
Selain amfoterisin B, Posaconazole dapat digunakan dalam
profilaksis invasif Aspergillus dan infeksi Candida pada pasien
immunocompromised yang menerima transplantasi sel induk hematopoietik
dan pada pasien dengan keganasan hematologi dengan neutropenia yang

21
TEKS

diinduksi kemoterapi. Agen anti jamur lain yang digunakan dalam


pengobatan pneumonia jamur flukonazol, itrakonazol, flusitosin, dan
ketokonazol. Agen antijamur yang lebih baru, seperti triazoles generasi
ketiga atau echinocandins, lebih ditoleransi daripada amfoterisin B dan
11
mungkin lebih efektif dalam pengobatan lini pertama atau kedua.
Caspofungin diberikan untuk pengobatan infeksi Aspergillus invasif
pada pasien yang tidak responsif atau tidak dapat diberikan amfoterisin B.
Kombinasi triazole dengan sebuah echinocandin dengan atau tanpa
amfoterisin B telah dilaporkan efektif dalam beberapa kasus infeksi jamur
resisten, seperti Mucor atau spesies Zygomycetes. Echinocandins seperti
caspofungin, micafungin dan anidulafungin efektif terhadap spesies
Candida, termasuk strain resisten terhadap flukonazol. Golongan ini juga
menunjukkan efektivitas terhadap infeksi Aspergillus bila digunakan sebagai
obat tunggal sendiri atau kombinasi dengan azol. Terapi kombinasi biasanya
tidak diindikasikan dalam pengobatan lini pertama, umumnya digunakan
12, 13,14, 15
sebagai pengobatan lini kedua atau kedaruratan.
Indikasi untuk operasi pada aspergillosis invasif adalah sebagai berikut
: Pembedahan diindikasikan pada pasien dengan aspergillosis invasif yang
telah diobati dengan agen antijamur tetapi memiliki lesi residual paru.
Operasi dilakukan untuk mencegah kekambuhan penyakit apabila
diperlukan imunosupresi tambahan. Pembedahan juga diindikasikan untuk
mencegah atau mengobati pendarahan masif , terutama ketika lesi paru
berdekatan dengan pembuluh darah besar. Pada pasien neutropenia

22
Teks

dengan gagal nafas progresif, pasien memerlukan bantuan ventilasi. Pada


pasien neutropenia berat, perlu dipertimbangkan terjadinya mikosis paru
dan penyebaran infeksi jamur (misalnya, aspergillosis), terapi awal
14
diberikan antijamur secara empiris.
Berikut ini disampaikan pedoman pemberian antijamur sesuai
dengan jamur patogen penyebabnya berdasarkan pedoman dari American
Thoracic Society untuk penanganan infeksi jamur pada pasien dewasa:
2
Tabel 1. Rekomendasi pengobatan untuk infeksi histoplasmosis.

2
Tabel 2. Pengobatan pasien imunokompeten dengan infeksi kriptokokosis.

23
TEKS

2
Tabel 3. Pengobatan pasien imunokompromis dengan infeksi kriptokokosis.

24
Teks

Tabel 4. Rekomendasi pengobatan untuk infeksi aspergilosis paru (2)

25
TEKS

2
Tabel 5. Rekomendasi pengobatan untuk candidemia.

2
Tabel 6. Pengobatan untuk infeksi pneumocytis jirovecii pneumonia.

26
Teks

2
Tabel 7. Pilihan obat untuk profilaksis PCP.

2
Tabel 8. Rekomendasi pengobatan infeksi jamur lain yang jarang.

Pencegahan mikosis paru


Pencegahan dapat menggunakan masker dan pakaian pelindung
untuk mengurangi kontak dengan spora. Menghindari perjalanan ke dan
paparan di daerah endemis. Imunisasi biasanya tidak efektif. Pasien yang
menjalani transplantasi sumsum tulang atau periode neutropenia
berkepanjangan disarankan untuk menghindari kegiatan (misalnya,
berkebun, membersihkan, mengagitasi puing-puing) atau benda (misalnya,
tanaman pot, bunga, buah-buahan segar, sayuran) yang mungkin dapat
menyebabkan paparan spora Aspergillus atau jamur lain. Untuk pasien yang

27
TEKS

menjalani transplantasi sumsum tulang, transplantasi organ padat, atau


kemoterapi antileukemic, gunakan sistem filtrasi udara di unit perawatan
untuk meminimalkan risiko pasien terkena spora Aspergillus. Penggunaan
terapi antijamur profilaksis pada pasien yang berisiko tinggi untuk infeksi
jamur oportunistik, termasuk pasien dengan riwayat infeksi jamur. Dalam
sebuah penelitian, posaconazole terbukti lebih unggul dalam mengurangi
kejadian flukonazol aspergillosis invasif ( 1 % vs 5,9 % ) pada penerima
16,17
transplantasi alogenik hematopoietik stem sel.

Ringkasan
Mikosis paru adalah gangguan paru (termasuk saluran napas) yang
disebabkan oleh infeksi/ kolonisasi jamur atau reaksi hipersensitif terhadap
jamur. Faktor resiko mikosis paru adalah berbagai keadaan yang
mempermudah pasien mengalami mikosis paru. Faktor resiko yang sering
dilaporkan antara lain: kolonisasi jamur, penggunaan jangka panjang
antimikroba berspektrum luas, kortikosteroid sistemik, obat sitostatika,
serta alat-alat kesehatan invasif..
Pemeriksaan mikologi merupakan prosedur diagnosis yang sangat

penting, spesimen dapat diambil dari sputum, bilasan bronkus, kurasan

bronkoalveolar (BAL), jaringan biopsi, darah, cairan pleura, pus. Baku emas

diagnosis mikosis paru berasal dari biakan spesimen maupun hasil biopsi

jaringan.

28
Teks

Pengobatan utama untuk mikosis paru mencakup agen antijamur.

Jenis obat antijamur yang digunakan harus disesuaikan berdasarkan pada

patogen tertentu yang telah diisolasi atau yang secara klinis dicurigai. Pada

infeksi jamur sistemik yang berat dan mengancam jiwa, pemberian

amfoterisin-B dianjurkan sebagai obat utama dan dilanjutkan dengan

flukonazol atau itrakonazol. Obat lain yang juga diandalkan sebagai pilihan

obat anti jamur sistemik adalah flusitosin dan golongan azole seperti

flukonazol, itrakonazol dan ketokonazol.

Pencegahan dapat menggunakan masker dan pakaian pelindung

untuk mengurangi kontak dengan spora. Menghindari perjalanan ke dan

paparan di daerah endemis.

Daftar Pustaka

1. Anna R, Anwar J, Ahmad H, Arifin N, Elisna Syahrudin, Erlina Burhan,


Heidy Agustin, Priyanti Z Supandi. Mikosis Paru. Pedoman diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
PDPI; Jakarta 2011.

2. Limper AH, Knox KS, Sarosi GA, Ampel NM, Bennet JE, Catanzaro A, et
al. An official American Thoracic Society statement: Treatment of fungal
infections in adult pulmonary and critical care patients. Am J Respir Crit
Care Med 2011; 183:96-128.

3. Bochud PY, Chien JW, Marr KA, Leisenring WM, Upton A, Janer M, et al.
Toll-like receptor 4 polymorphisms and aspergillosis in stem-cell
transplantation. N Engl J Med. Oct 23 2008;359(17):1766-77.

29
TEKS

4. Segal BH, Walsh TJ. Current approaches to diagnosis and treatment of


invasive aspergillosis. Am J Respir Crit Care Med. Apr 1 2006;173(7):707-
17.

5. Mennink-Kersten MA, Donnelly JP, Verweij PE. Detection of circulating


galactomannan for the diagnosis and management of invasive
aspergillosis. Lancet Infect Dis. Jun 2004;4(6):349-57.

6. Maertens JA, Klont R, Masson C, Theunissen K, Meersseman W, Lagrou


K, et al. Optimization of the cutoff value for the Aspergillus double-
sandwich enzyme immunoassay. Clin Infect Dis. May 15
2007;44(10):1329-36.

7. Penack O, Rempf P, Graf B, Blau IW, Thiel E. Aspergillus galactomannan


testing in patients with long-term neutropenia: implications for clinical
management. Ann Oncol. May 2008;19(5):984-9.

8. Del Bono V, Mikulska M, Viscoli C. Invasive aspergillosis: diagnosis,


prophylaxis and treatment. Curr Opin Hematol. Nov 2008;15(6):586-93.

9. Greene RE, Schlamm HT, Oestmann JW, Stark P, Durand C, Lortholary O,


et al. Imaging findings in acute invasive pulmonary aspergillosis: clinical
significance of the halo sign. Clin Infect Dis. Feb 1 2007;44(3):373-9.

10. Bergeron A, Porcher R, Sulahian A, de Bazelaire C, Chagnon K, Raffoux E.


The strategy for the diagnosis of invasive pulmonary aspergillosis should
depend on both the underlying condition and the leukocyte count of
patients with hematologic malignancies. Blood. Feb 23
2012;119(8):1831-7; quiz 1956.

11. Gerber B, Guggenberger R, Fasler D, Nair G, Manz MG, Stussi G.


Reversible skeletal disease and high fluoride serum levels in
hematologic patients receiving voriconazole. Blood. Sep 20
2012;120(12):2390-4.

30
Teks

12. Avery RK. Aspergillosis in hematopoietic stem cell transplant recipients:


risk factors, prophylaxis, and treatment. Curr Infect Dis Rep. May
2009;11(3):223-8.

13. Benjamin DK Jr, Driscoll T, Seibel NL, Gonzalez CE, Roden MM, Kilaru R,
et al. Safety and pharmacokinetics of intravenous anidulafungin in
children with neutropenia at high risk for invasive fungal infections.
Antimicrob Agents Chemother. Feb 2006;50(2):632-8.

14. Walsh TJ, Anaissie EJ, Denning DW, Herbrecht R, Kontoyiannis DP, Marr
KA, et al. Treatment of aspergillosis: clinical practice guidelines of the
Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis. Feb 1
2008;46(3):327-60.

15. Kaffarnik M, Utzolino S, Blaich A, Hopt UT. Successful multimodal


therapy of invasive pulmonary and central nervous system aspergillosis
in a neutropenic surgical patient: case report and review of the
literature. Mycoses. Jan 2008;51(1):74-8.

16. Hamza NS, Ghannoum MA, Lazarus HM. Choices aplenty: antifungal
prophylaxis in hematopoietic stem cell transplant recipients. Bone
Marrow Transplant. Sep 2004;34(5):377-89.

17. Cornely OA, Maertens J, Winston DJ, Perfect J, Ullmann AJ, Walsh TJ, et
al. Posaconazole vs. fluconazole or itraconazole prophylaxis in patients
with neutropenia. N Engl J Med. Jan 25 2007;356(4):348-59.

31

Anda mungkin juga menyukai