1. Pasal 6
“Setiap dokter senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap
penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya serta hal-hal
yang dapat menimbulkan keresahan di masyarakat.”
2. Pasal 7
“Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa
sendiri kebenarannya.”
Pihak kepolisian dan kejaksaan sering kali berurusan atau bermitra dengan
dokter dalam menyelesaikan kewajiban profesinya. Salah satu contohnya adalah
meminta visum et repertum (pro justicia) kepada seorang dokter untuk mengungkap
kejahatan ataupun menuntaska perkara seperti penganiayaan dan pembunuhan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Visum et repertum adalah
keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter dalam ilmu kedokteran forensik atas
permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medik terhadap
manusia, baik hidup atau mati ataupun bagian atau diduga bagian tubuh manusia,
berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah, untuk kepentingan pro yustisia
(Wikipedia). Visum diusahakan dibuat sedemikian teliti dan mudah dipahami, serta
berdasarkan apa yang dilihat dan ditemukan selama proses pemeriksaan agar tidak
terjadi kesalahpahaman atau mispresentasi dari berbagai pihak. Selain itu, visum et
repertum harus bersifat objektif dan netral, yakni dibuat dengan jujur tanpa pengaruh
dari pihak yang berkepentingan dalam kasus perkara itu (justice).
Tak jarang dokter di negeri ini yang melanggar kode etik kedokteran indonesia
dengan mengubah surat keterangan hasil tes DNA, laboratorium, maupun pemeriksaan
laiinya sehingga bertindak tidak objektif karena telah disuap dan dipengaruhi oleh
pihak-pihak terkait kasus kejahatan demi membebaskan mereka dari dakwaan
pembuktian suatu perkara. Hal ini merupakan suatu bentuk pelanggaran yaitu
memanipulasi material dan mengubah/menghilangkan data atau hasil penelitian
sehingga hasil penelitian tidak tercatat secara akurat (falsification). Tidak hanya dalam
tes DNA, pemalsuan data ini pun sering terjadi dalam pemeriksaan laboratorium
lainnya. P perkara ini pun sering kali dijumpai pada kasus perebutan tahta kekuasaan
serta pengakuan ahli waris keluarga.
3. Pasal 12
“Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang
pasien, bahkan juga setelah pasien meninggal dunia.”
4. Pasal 17
“Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi kedokteran/kesehatan.”
REFERENSI
Repository USU 2006 “Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik
Kedokteran Indonesia”
https://id.wikipedia.org
https://ibs.co.id
Lex Crimen Vol. IV/No. 3/Mei/2015 “Pelaksanaan Penegakan Kode Etik Kedokteran” oleh
Julius Pelafu
Jurnal FMIPA UNY “Penerapan Teknologi DNA dalam Identifikasi Forensik” oleh Kartika
Ratna Pertiwi
“Isu Etik Dalam Penelitian di Bidang Kesehatan” diterbitkan oleh Asosiasi Ilmu Forensik
Indonesia bekerjasama dengan Universitas YARSI
Jurnal UNILA “Teknik Tes Dna Kasus Paternitas Dari Polda Metro Jaya Di Laboratorium Dna
Pusdokkes POLRI.” Oleh Elsa Virnarenata1, Elly Lestari Rustiati, Putut Tjahjo Widodo, dan
Ifan Wahyudi2 Priyambodo