Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mikosis Paru


Infeksi jamur biasanya disebut dengan mikosis. Sebagian besar jamur
pathogen bersifat eksogen dan habitat alaminya adalah air, tanah, dan debris
organic. Mikosis yang mempunyai insiden paling tinggi adalah kandidiasis dan
dermatofitosis disebabkan oleh jamur yang merupakan anggota flora mikroba
normal atau yang dapat bertahan hidup pada pejamu manusia. (Mitchell, 2007)
Mikosis pada system pernapasan dapat terjadi pada saluran napas atas dan
saluran napas bawah. Sinusitis jamur merupakan mikosis sistemik pada saluran
napas atas yang paling banyak dilaporkan, sedangkan pada saluran napas bawah
adalah mikosis paru. Di Indonesia, angka kejadian jamur pada saluran napas
belum diketahui. Mikosis paru ditemukan endemis di daerah tertentu seperti
Amerika, Afrika, Meksiko, Canada, dan Australia. Di Indonesia kasus mikosis
paru yang telah dilaporkan ialah aspergillosis, kriptokokosis, kandidiasis dan juga
histoplasmosis. Di RS. Persahabatan Jakarta, mikosis paru paling banyak
ditemukan pada penderita dengan TB paru dan bekas TB paru. (Konsesus FKUIPMKI, 2001)

Universitas Sumatera Utara

2.1.1 Mikosis oportunistik


Pasien dengan gangguan pertahanan pejamu, rentan terhadap jamur yang
terdapat di mana-mana, tetapi orang sehat yang terpajan biasanya resisten. Pada
banyak kasus, tipe jamur dan perjalanan penyakit infeksi mikotik ditentukan oleh
keadaan predisposisi pejamu. Sebagai anggota flora mikroba normal, kandida dan
ragi serumpun merupakan oportunis endogen. Mikosis oportunistik lain
disebabkan oleh jamur eksogen yang secara global terdapat di tanah, air dan
udara. (Mitchell, 2007)
Sebagian besar pasien yang mengalami infeksi oportunistik menderita
penyakit penyebab yang serius dan mempunyai daya tahan tubuh yang terganggu.
Akan tetapi, mikosis sistemik primer juga dapat terjadi pada pasien tersebut, dan
infeksi oportunistik juga dapat diderita oleh individu imunokompeten. Selama
infeksi, kebanyakan pasien menghasilkan respon imun humoral dan selular yang
signifikan terhadap antigen jamur. (Mitchell, 2007)
Jenis jamur

yang sering menyebabkan infeksi oportunistik adalah: (Mitchell,

2007)
a. Candida albicans dan candida sp lain (Kandidiasis sistemik)
b. Cryptococcus neoformans (Kriptokokosis)
c. Aspergillus fumigatus dan aspergilus sp lain (Aspergilosis)
d. Rhizopus sp, Absidia sp, Mukor sp, dan Zygomacetes sp lain
(Mukormikosis / zigomikosis)
e. Penicillium marneffei (Penisiliosis)

Universitas Sumatera Utara

2.1.2 Patogenesis
Seluruh infeksi jamur dari jenis apapun pada umumnya menimbulkan
aneka ragam reaksi peradangan, yang dalam hal ini bisa dijumpai hiperplasia
epitel, granuloma histiositik, arteritis trombotik, campuran reaksi radang piogenik
dan granulomatous, granuloma pengkejuan, fibrosis dan kalsifikasi. Hampir dapat
dikatakan bahwa jamur apapun bila menginfeksi baik di paru atau pada jaringan
manapun didalam tubuh menimbulkan gambaran granuloma yang secara
patologik sulit dibedakan dengan granuloma yang terjadi pada TBC ataupun
sarkoidosis. Meskipun dikemukakan bahwa diagnosa patologik ditegakkan
dengan isolasi organisme jamur dari jaringan yang terlibat, namun ini masih
mempunyai problem yaitu bahwa beberapa jamur seperti Histoplasma
Capsulatum, Sporothricum Schenkii, Torulapsis glabrata, Blastomyces dan
Coccidioides mempunyai sel-sel berbentuk mirip ragi (Yeast like cells) yang
secara histologik sukar dibedakan satu dengan lainnya. Diagnosa pasti dengan
demikian memerlukan pemeriksaan kultur (biakan) dan pemeriksaan serologik.
(Sukamto, 2004)
lnfeksi jamur paru ternyata lebih sering disebabkan oleh infeksi jamur
oportunistik kandidia dan aspergilus. Sebagai infeksi oportunistik jamur ini
terdapat dimana-mana dan sering menginfeksi pada penderita dengan pemakaian
obat antibiotik secara luas atau dalam jangka waktu yang cukup lama,
kortikosteroid, disamping munculnya faktor predisposisi seperti penyakit kronis
dan penyakit keganasan. Timbulnya infeksi sekunder pada jamur paru disebabkan
terdapatnya kelainan paru seperti kavitas tuberkulosa, bronkiektasis, krasinoma
bronkus yang sering menurunkan daya tahan tubuh.

Universitas Sumatera Utara

Jamur Candida albicans merupakan flora normal dalam rongga mulut,


saluran cerna dan vagina pada individu normal dan dapat menginvasi penderita
dengan imunokompromi atau keadaan netropenia yang lama. Koloni akan
meningkat pada penderita dengan mendapat pengobatan antibiotika secara luas
yang menekan flora normal dan penyakit yang menimbulkan perubahan anatomi
maupun perubahan imunologi. Mekanisme pertahanan pejamu yang berperan
adalah imun dan non Imun. (Ellis, 1994)
Faktor imun yang berperan dalam pertahanan terhadap jamur yaitu respon
imun humoral dan seluler. Faktor imun seluler diperkirakan mempunyai peranan
yang lebih penting. Bukti-bukti ini didapat dari pengalaman pada kandidiasis
mukokutaneus kronik dan infeksi HIV, adanya defek imunitas seluler tersebut
menyebabkan kandidiasis superfisialis yang luas, walaupun sistem imunitas
humoral normal. Faktor non imun yang berperan antara lain interaksi dengan
flora-flora mikrobial lain pada kulit dan mukosa yang merupakan efek protektif
terhadap pertumbuhan patogen jamur oportunistik, sekresi saliva dan keringat
merupakan anti fungal alamiah. (Sukamto, 2004)
Pada penderita Tb Paru dengan defek anatomi paru disertai pemberian
obat anti tuberkulosa dalam waktu
sehingga

pertumbuhan

jamur

lama yang akan menekan flora normal

oportunistik

tidak

terhambat.

Penyakit

granulomatous kronik juga merupakan predisposisi terhadap aspergilosis invasif


paru. Terinhalasi spora jamur aspergilus dalam jumlah banyak dapat
menimbulkan pneumonitis akut, difus dan dapat sembuh dengan sendirinya.
(Bennet, 2010)

Universitas Sumatera Utara

Aspergilus dapat membentuk kolonisasi pada bronkus dan kavitas paru


dengan latar belakang penyakit TB Paru. Bola jamur bisa terdapat pada rongga
kista atau kavitas yang disebut aspergiloma, biasanya terdapat pada lobus atas
paru dengan diameter beberapa sentimeter dan dapat terlihat pada foto dada.
Pada orang normal, spora jamur oportunistik sulit menginvasi mukosa
saluran napas. Pada penderita dengan kormobid atau fakor predisposisi, spora
yang terinhalasi mengalami kolonisasi dan akan menginvasi mukosa serta
berkembang, sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan dan menimbulkan
manifestasi klinis. Selanjutnya jamur dapat masuk ke dalam peredaran darah dan
akan menyebar secara hematogen ke organ lain sehingga menimbulkan kelainan
di organ tersebut, dan secara limfogen ke kelenjar hilus dan mediastinum.
(Konsesus FKUI-PMKI, 2001)

2.1.3 Diagnosa Mikosis Paru


Sangat sulit untuk menentukan infeksi jamur di paru oleh karena sebagian
besar gejalanya mula-mula tidak mencolok dan seringkali seperti gejala flu biasa
atau infeksi paru oleh sebab lain. Gejala jamur sistemik tidak khas atau tidak
spesifik dan dapat menyerupai penyakit lain juga susah untuk membedakan antara
infeksi bakteri dan infeksi jamur sehingga menambah kesulitan untuk mengenali
infeksi jamur sistemik. Kesadaran akan kemungkinan penyakit jamur, terutama
bila terdapat faktor presdiposisi, ditindak lanjuti dengan pemeriksaan bahan klinik
yang tepat akan membawa diagnosa yang pasti. Kendala lain ialah meskipun
banyak terdapat laboratorium klinik, jarang yang melakukan pemeriksaan untuk
mikosis sistemik, Mungkin ini disebabkan oleh tidak terdapatnya tenaga

Universitas Sumatera Utara

pemeriksaan terdidik atau peralatan antigen tidak terdapat di laboratorium


tersebut. (Jeffery dan Edman, 1996)
Permasalahan lain dalam mendiagnosa infeksi oleh jamur paru yaitu kita
harus dapat menentukan apakah jamur hanya bersifat koloni atau telah terjadi
infeksi/patogen. Hal ini perlu dapat dipastikan oleh karena pengobatan dengan
anti jamur dapat menimbulkan efek toksis, sehingga sedapat mungkin dibuat
sediaan biopsi jaringan, jamur dapat ditemukan dalam bentuk ragi, pseudohifa dan
hifa. (Ellis, 1994)
Menurut Jan Susilo diagnosa infeksi jamur dapat tercapai bila
kemungkinan infeksi jamur difikirkan, pengambilan bahan klinik tepat, cara
pengiriman bahan klinik tepat, bahan klinik sampai dilaboratorium dalam keadaan
baik dan perlakuan bahan klinik tersebut dilaboratorium dilakukan dengan baik
dan tepat. (Susilo, 1995)
Pada pasien dengan

immunokompromise sangat penting untuk dapat

menegakkan diagnostik sistemik fungal infeksi secara dini. Keberhasilan


diagnosis dan terapi dari infeksi jamur pada pasien-pasien dengan keadaan umum
yang lemah sangat tergantung pada kerjasama dari team work antara lain ahli
mikrobiologi, onkologis, histopatologis, ahli penyakit

infeksi dan staff

laboratorium.
Penyakit jamur dikatakan positif apabila dapat dibuktikan adanya fungi
penyebabnya, baik melalui pemeriksaan secara langsung maupun melalui biakan.
Disamping itu dapat pula dilakukan uji serologi, uji fiksasi komplemen, uji hewan
percobaan dan uji fermentasi. (Sukamto, 2004)

Universitas Sumatera Utara

Pemeriksaan laboratorium untuk diagnostik jamur paru dapat pula


dilakukan dengan pemeriksaan spesimen dahak. Dahak dikeluarkan oleh penderita
setelah sebelumnya berkumur-kumur dengan air bersih berkali-kali untuk
menyingkirkan kontaminan Candida, Actinomyces israeli yang hidup komensal
dimulut dan rongga pipi. Tanpa pengawet dahak dikirim secepatnya untuk
pemeriksaan .Dengan pemeriksaan langsung dibawah mikroskop biasanya dapat
dikenali dan nampak spora,hipa dan blastospore. Pengenalan akan lebih mudah
dan jelas bila dilakukan penetesan sediaan dengan KOH 20%, ataupun dibuat
sediaan apus dengan pewarnaan Giemsa. (Susilo, 1995)
Seperti telah dikemukakan infeksi jamur pada paru tidak memberikan
gejala/gambaran klinis dan radiologik yang khas. Untuk menegakkan diagnosa
klinis jamur paru dalam anamnesa perlu ditanyakan mengenai hal-hal yang ada
kaitannya dengan faktor predisposisi terjadinya infeksi jamur pada paru seperti
adakah riwayat menderita DM, riwayat penyakit paru kronis, riwayat pemakaian
obat-obat antibiotika, steroid atau radiomimetik (antineoplastik) jangka panjang.
Juga ditanyakan mengenai hobi pasien, apakah hobi memelihara unggas, hobi
bertualang memasuki gua-gua. (Jeffrey dan Edman, 1996)
Pada pemeriksaan jasmani juga tidak dijumpai gambaran yang khas,
pasien bisa anemis, demam, pembesaran kelenjar limfe, hepatosplenomegali,
ulkus dimulut, laring dan sebagainya. Pada pemeriksaan foto dada yang perlu
diperhatikan ialah adanya fungus ball yang bisa dijumpai pada aspergilosis paru,
sedangkan pada kriptokokosis bisa dijumpai bayangan seperti tumor. Bayangan
infiltrat, efusi pleura dan kalsifikasi bisa saja dijumpai pada berbagai infeksi
jamur paru. (Sukamto, 2004)

Universitas Sumatera Utara

Spesimen lain selain dahak dapat juga bilasan atau cucian bronkus dari
pemeriksaan bronkoskopi. Pemeriksaan bronkoskopi disamping untuk melihat
langsung keadaan saluran nafas juga dapat dilakukan pengambilan spesimen
secara biopsi atau bilasan bronkus.
Secara umum diagnosis jamur paru ditegakkan melalui: (Sukamto, 2004)
1. Kecurigaan yang tinggi terhadap kemungkinan infeksi jamur di paru.
2. Pemeriksaan diagnostik yang lazim terhadap penyakit paru:
a. Foto toraks PA dan lateral, CT Scan toraks.
b. Sputum: mikroskopis jamur dan kultur.
c. Bronkoskopi: sekret bronkus, bilasan bronkus, transbronkial lung
biopsi.
d. Aspirasi paru dengan jarum.
3. Pemeriksaan laboratorium darah
a. Kultur darah.
b. Pemeriksaan serologi.

2.1.4 Tehnik pengambilan bahan untuk pemeriksaan jamur.


A. Pemeriksaan Sputum
Sputum merupakan bahan yang paling sering digunakan untuk pemeriksaan
mikrobiologik karena cara pengambilan yang mudah dan non invasif. Namun
sayang sekali beberapa penelitian membuktikan sputum kurang mencerminkan
jenis kuman yang sesungguhnya terdapat disaluran napas bagian bawah.
Terkontaminasi terhadap jamur kandida yang merupakan flora normal dimulut
sangat tinggi.

Universitas Sumatera Utara

Sputum pagi merupakan yang terbaik untuk melakukan kultur maupun


pemeriksaan mikroskopi. Pengumpulan sputum selama 24 jam tidak
diperbolehkan untuk dilakukan pemeriksaan. Kuantitas sputum yang adekuat
bila jumlah volume berkisar antara 5 10 ml. Kualitas sputum yang baik bila
tidak tercampur dengan saliva. Jamur dalam sputum dapat bertahan hidup
dalam waktu 2 minggu bila disimpan pada suhu 4C. (Kumala W, 2006)
B. Aspirasi transtrakeal.
Merupakan tehnik yang invasif dalam usaha mendapatkan bahan pemeriksaan
penyebab infeksi saluran napas bawah yang bebas kontaminasi flora kuman
yang hidup di orofaring. Meskipun cara ini lebih handal dari pemeriksaan
sputum, namun kontaminasi masih mungkin terjadi
C. Aspirasi transtorakal dengan jarum.
Aspirat diambil langsung dari lesi menggunakan jarum. Lokasi dari lesi
ditentukan melalui foto dada, insersi jarum dengan tuntunan CT dan
fluoroskopi dibutuhkan untuk lesi yang kecil. Sensitifitas dan spesifitas cukup
tinggi, namun mempunyai resiko komplikasi pneumotoraks dan batuk darah
D. Biopsi paru terbuka.
Dengan cara ini dapat diperoleh bahan pemeriksaan lebih banyak sehingga
negatif palsu kemungkinannya lebih kecil, namun dapat menimbulkan resiko
yang tidak ringan berupa pneumotoraks dan perdarahan.
E. Bilasan bronkus
Cara ini sudah digunakan sejak lebih 40 tahun yang lalu, dengan melakukan
aspirasi sekret bronkus didaerah lesi melalui bronkoskopi. Dengan cara ini
meskipun kuman penyebab infeksi saluran nafas bawah mungkin diperoleh,

Universitas Sumatera Utara

namun cara ini belum mampu menghindari kontaminasi kuman dari orofaring.
Bilasan bronkoalveolar terbukti sangat bermanfaat dalam mendiagnosa paru
oportunistik pada pasien-pasien imunocompromised host.
F. Sikatan bronkus.
Tehnik ini merupakan pengembangan dari cara bilasan bronkus yang
tujuannya untuk menghindari semaksimal mungkin kontaminasi kuman
daerah orofaring terhadap bahan aspirat. Jenis sikatan bronkus yang terunggul
dalam arti kata mampu mendapatkan bahan aspirat yang bebas sama sekali
darii kontaminasi kuman orofaring adalah sikatan bronkus dengan karakter
ganda terlindung polietilen glikol.

2.2 Aspergillosis
Aspergillosis merupakan infeksi yang disebabkan moulds saprofit dari
genus aspergilus. Aspergilus Sp. Adalah saprofit yang terdapat di tanah, air dan
tumbuhan yang mengalami pembusukan dan aspergilosis terdapat diseluruh dunia.
Lebih dari 200 spesies Aspergilus telah di identifikasi dan A. fumigatus adalah
pathogen manusia tersering dimana > 90% menyebabkan invasif dan non-invasif
aspergilosis. Namun, spesies lainnya termasuk A.flavus, A. niger, dan A. terreus,
juga dapat menyebabkan penyakit. Kapang ini menghasilkan banyak konidia kecil
yang mudah di aerosol. Setelah menghirup konidia tersebut, orang yang atopik
sering mengalami reaksi alergi hebat terhadadap antigen konidia. Pada pasien
imunokompromais terutama penderita leukemia, transplantasi sumsum tulang, dan
orang yang mendapat kortikosteroid, konidia dapat bergerminasi untuk

Universitas Sumatera Utara

menghasilkan hifa yang dapat menginvasi paru dan jaringan lain. (Dumasari,
2008, Mitchell 2007)

2.2.1 Morfologi dan identifikasi


Aspergillus adalah jamur yang distribusinya tersebar luas di atmosfir dan
memegang peranan dalam mendaur ulang karbon dan nitrogen. Jamur ini
memiliki siklus biologikal yang sederhana dengan karakteristik sporulasi yang
tinggi, yaitu dapat menghasilkan konidia dengan konsentrasi yang tinggi (1 100
konidia / m3) di udara. Diameter konidia Aspergillus cukup kecil (2-3m) untuk
mencapai alveoli paru. (Chamilos dan Kontoyiannis, 2008)
Aspergilus Sp. Tumbuh secara cepat, menghasilkan hifa aerial dengan ciri
struktur konidia yang khas: konidiofora panjang dengan vesikel terminal yang
fialidnya menghasilkan rantai konidia yang bertumbuh secara basipetal. Spesies
diidentifikasi berdasarkan perbedaan morfologi struktur, termasuk ukuran, bentuk,
tekstur, dan warna konidia. (Mitchell, 2007)
Terdapat 19 spesies aspergillus yang dapat menyebabkan penyakit, yaitu
Aspergillus fumigatus, Aspergillus flavus, Aspergillus amstelodami, Aspergillus
avenaceus, Aspergillus candidus, Aspergillus carneus, Aspergillus caesiellus,
Aspergillus clavatus, Aspergillus glaucus, Aspergillus granulosus, Aspergillus
nidulans, Aspergillus niger, Aspergillus oryzae, Aspergillus quadrilineatus,
Aspergillus restrictus, Aspergillus sydowi, Aspergillus terreus, Aspergillus ustus,
and Aspergillus versicolor. Yang paling sering menyebabkan penyakit adalah
Aspergillus fumigatus.(Stevens et al, 2000, Thompson dan Patterson, 2008)

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1 Gambaran mikroskopis Aspergillus fumigatus. (Tomas et al, 2001)

2.2.2 Pathogenesis
Kecil kemungkinan untuk menderita penyakit invasif kecuali jika jumlah
fagosit pada tubuh berkurang. Pada paru, makrofag alveolar mampu menelan dan
menghancurkan konidia. Makrofag dapat memfagosit dan menghancurkan conidia
aspergilus sedangkan polymorphonuclear (PMN) leukosit dan monosit (MNC)
dapat merusak hypha aspergillus melalui mekanisme oxidative dan non-oxidatif.
Makrofag dan neutrofil merupakan pertahanan tetap pada paru dalam melawan
spesies Aspergillus. Keratin dan barrier epidermal kulit bertindak sebagai
tambahan pertahanan pertama secara mekanik. Konidia spesies Aspergillus yang
lebih kecil, 3-5 m lebih mudah mencapai alveolar, dimana tidak terdapat
pertahanan mekanis. (Chander, 2002)
Makrofag

dari

hewan

yang

diobati

kortikosteroid

atau

pasien

imunokompromais mengalami penurunan kemampuan untuk mengandung


inokulum. Dalam paru, konidia membesar dan bergerminasi menghasilkan hifa

Universitas Sumatera Utara

yang cenderung menginvasi kavitas yang sudah ada (aspergiloma atau bola fungi)
atau pembuluh darah. (Dumasari, 2008, Mitchell,2007)
Faktor resiko terjadinya infeksi aspergillosis termasuk hingga menjadi
invasiv aspergillosis antara lain adalah keganasan hematologi, penggunaan
steroid, agranulocytosis (intensitas dan durasi), penyakit CMV, penyakit paru
(termasuk PPOK, penyakit paru interstitial, dan riwayat operasi thoraks) dan
tergantung status imun selama pengobatan dengan corticosteroid, alkoholisme,
penyakit vascular kolagen atau Chronic granulomatous disease, dan penyakit
yang menimbulkan kavitas. Pasien yang mengalami BMT atau transplantasi
organ, neutropenia setelah kemoterapi pada keganasan hematologi atau limfoma,
pasien dengan HIV stadium terakhir. Resiko timbulnya invasif aspergillosis juga
berhubungan dengan derajat terpapar spora aspergillus. (Garbino, 2004)

2.2.3 Mikotoksin
Aspergillus fumigatus menghasilkan metabolit sekunder yang disebut
dengan mikotoksin. Metabolit sekunder yang paling sering ditemukan antara lain
adalah Fumagillin, fumitoxin, fumigaclavines, fumigatin, fumitremorgins,
gliotoxin, monotrypacidin, tryptoquivaline, helvolic acid, dan

dua metabolit

chromophore families uncharacterized chemically (FUA dan FUB). (Latge, 1999)


Spesies Aspergillus pada umumnya memproduksi toksin / mikotoksin yang dapat
berperan pada manifestasi klinis. (Dumasari, 2008) Mikotoksin yang dihasilkan
dapat menimbulkan berbagai gejala dan tanda, tergantung pada organ yang
terkena, dosis dan jenis mikotoksin yang dihasilkan. Gejalanya dapat berupa

Universitas Sumatera Utara

kematian akut, immunosupressi, lesi kulit dan tanda-tanda hepatotoxic,


nephrotoxic, neurotoxic, atau genotoxic. (Soyler, 2004)
Gliotoxins merupakan mikotoksin yang paling sering dipelajari karena
senyawa ini secara akut bersifat toxic. (Latge, 1999) Gliotoxin dapat menurunkan
fungsi makrofag dan neutrophil. (Dumasari, 2008) Gliotoxins memiliki aktivitas
biologi sebagai antibakteri dan antivirus. Gliotoxins juga merangsang apoptosis
sel mati pada beberapa jenis sel dan toxin ini diduga memiliki peranan penting
terhadap pathogenesis terjadinya invasif aspergillosis. (Soyler, 2004) Selain itu
toxin ini juga dapat menghambat aktivasi sel B dan sel T dan menghambat
generasi sel cytotoxic.(Latge, 1999) Produksi catalase, superoxide dismutase dan
mannitol oleh Aspergillus dapat melindungi jamur tersebut dari kerusakan
oxidative yang di induksi oleh sel fagositik. Selain itu, pigmen melanin dan
membran protein kakunya terdiri dari vesikel rodlet di permukaan konidia
Aspergillus yang juga dapat membuat pertahanan diri dari fagositosis. (Chamilos,
2008)

2.2.4 Gambaran klinis


Sejak diketahui bahwa inhalasi merupakan cara masuknya spora aspergilus
ke dalam saluran pernafasan manusia, maka istilah aspergilosis sescara umum
meliputi kelompok penyakit yang gambaran klinisnya melibatkan paru-paru.
1. Non-invasif aspergilosis
a. Bentuk alergi (allergic bronchopulmonary aspergillosis / ABPA)
Pada beberapa individu yang atopic, pembentukan antibody IgE terhadap
antigen permukaan konidia aspergilus menghasilkan reaksi asmatik segera pada

Universitas Sumatera Utara

pajanan berikutnya. Pada individu lain, konidia bergerminasi dan hifa


mengolonisasi pohon bronkus tanpa menginvasi parenkim paru. Fenomena
tersebut merupakan cirri khas aspergilosis bronkopulmonal alergi, yang secara
klinis

ditandai

dengan

asma,

infiltrate

dada

rekuren,

eosinifilia,

dan

hipersensitivitas uji kulit tipe I (cepat) dan tipe III (Arthus) terhadap antigen
aspergillus. Banyak pasien menghasilkan sputum akibat aspergilus dan presipitin
serum. Mereka mengalami kesulitan bernapas dan timbul parut yang permanen di
paru. Pejamu normal yang terpajan konidia dalam jumlah yang sangat banyak
dapat mengalami alveolitis alergi ekstrinsik. (Mitchell, 2007)
Allergic bronchopulmonary aspergillosis dilaporkan dijumpai pada asma
yang tergantung dengan steroid sekitar 14% dan pada pasien dengan kolonisasi
aspergilus seperti cystic fibrosis dijumpai sebanyak 7%. Gambaran klinis yang
sering dijumpai yaitu demam, asma dengan perbaikan klinis yang lambat, batuk
yang produktif, malaise dan berat badan menurun. (Dumasari, 2008) Kriteria
minimal untuk menegakkan diagnosa ABPA adalah 1) asthma; 2) immediate
cutaneous reactivity terhadap A. fumigatus; 3) total serum immunoglobulin (Ig)E
1,000 ng/ml; 4) peningkatan specific IgE-Af/IgG-Af; dan 5) central bronchiectasis
tanpa disertai distal bronchiectasis. (Shah, 2010) Selain itu criteria lainnya adalah
dijumpai adanya A. fumigatus pada biakan sputum, batuk dengan dahak berwarna
coklat atau flek, dan reaksi arthus terhadap antigen Aspergillus. (Chamilos, 2008)
b. Aspergiloma dan kolonisasi ekstrapulmonal
Aspergiloma (fungus ball) adalah berupa massa yang padat tidak
berbentuk dari mycelium jamur. Aspergiloma terjadi ketika konidia yang terhirup
masuk ke dalam kavitas yang sudah terbentuk, bergerminasi, dan menghasilkan

Universitas Sumatera Utara

banyak hifa dalam ruang paru abnormal. Pasien yang menderita penyakit kavitas
sebelumnya (misal tuberculosis, sarkoidosis, emfisema) berisiko terkena penyakit
ini. Fungus ball sering dijumpai pada lokasi bagian atas lobus paru. Terjadinya
lisis yang spontan pernah dilaporkan sekitar 10% dari kasus. (Dumasari, 2008,
Mitchell, 2007, Thompson dan Patterson, 2008)
Beberapa pasien asimtomatik, yang lain mengalami batuk, dispnea,
penurunan berat badan, lelah, dan hemoptisis. Haemoptisis merupakan gejala
klinis yang sering dijumpai sekitar 50 80% dari kasus dan jarang bersifat fatal.
Kasus aspergiloma jarang bersifat invasive. Infeksi local noninvasive (kolonisasi)
oleh spesies aspergilus dapat mengenai sinus nasalis, saluran telinga, kornea, atau
kuku. (Mitchell, 2007, Thompson, 2008)

Gambar 2.2 Gambaran Aspergilloma pada paru (A.D.A.M, 2010)

2. Aspergilosis invasive
Setelah terhirup dan terjadi germinasi konidia, penyakit invasif
berkembang menjadi proses pneumonia akut dengan atau tanpa penyebaran.
Pasien yang beresiko adalah mereka yang menderita leukemia mielogenosa atau

Universitas Sumatera Utara

limfositik dan limfoma, penerima transplantasi sumsum tulang, dan terutama


mereka yang minum kortikosteroid. Gejala antara lain demam, batuk, dispnea, dan
hemoptisis. Hifa menginvasi lumen dan dinding pembuluh darah, menyebabkan
thrombosis, infark, dan nekrosis. Dari paru penyakit ini dapat menyebar ke
saluran cerna, ginjal, hati, otak dan organ lain, menimbulkan abses dan lesi
nekrotik. Tanpa pengobatan yang cepat, prognosis untuk pasien yang menderita
aspergilosis invasive sangat buruk. Individu dengan penyakit dasar yang tidak
terlalu mengganggu dapat mengalami aspergilosis pulmonal nekrotikans kronik,
yang merupkan penyakit yang lebih ringan. (Mitchell, 2007)
Faktor resiko terjadinya Aspergillosis paru invasive adalah pada pasien
immunocompromised yang disebabkan terutama oleh keadaan neutropenia,
haematopoietic stem-cell dan transplantasi organ padat, penggunaan obat
kortikosteroid yang lama dan dengan dosis tinggi, keganasan haematologi, terapi
cytotoxic, AIDS, dan chronic granulomatous disease (CGD).(Zmeili dan Soubani,
2007)

3. Semi-Invasive/Chronic Necrotising Aspergillosis (CNA)


Spektrum penyakit ini diantara kolonisasi saprofit pada aspergilloma dan
invasive aspergillosis. (Panda, 2004) Penyakit ini merupakan indolent, kavitas,
dan merupakan sekunder infeksi parenkim paru terhadap invasi local jamur
aspergillus. Berbeda dengan IPA, CNA memiliki progresivitas yang lambat lebih
dari beberapa minggu hingga bulan dan invasi vascular atau disseminasi organ
lain tidak terjadi. Sindroma penyakit ini jarang terjadi. (Zmeili dan Soubani,
2007)

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.3 Spektrum klinis yang dihasilkan akibat terhirupnya spora


aspergillus. ICH, immunocompromised host; IPA, invasive pulmonary
aspergillosis; ABPA, allergic bronchopulmonary aspergillosis. (Zmeili dan
Soubani, 2007)

2.2.5 Uji diagnostic laboratorium


a. Spesimen
Sputum, spesimen saluran pernapasan lain, dan biopsy jaringan paru
merupakan specimen yang baik. Sampel darah jarang positif. (Mitchell, 2007)
kontaminasi material dapat terjadi pada semua level, sehingga kontaminasi harus
dihindari sebisa mungkin. Kontaminasi oleh konidia yang berada di udara dapat
terjadi pada sampel. Resiko ini rendah pada sampel darah, meningkat pada sampel
saluran pernafasan, sputum, dan sekresi endotracheal, begitu juga dengan sampel
yang berasal dari BAL, namun resikonya lebih rendah. (Bolehovska et al, 2006)
b. Pemeriksaan Mikroskopik
Bahan yang dapat digunakan yaitu sputum, bilasan bronchial, aspirasi
tracheal dari pasien dengan penyakit paru dan biopsy jaringan dari pasien

Universitas Sumatera Utara

disseminated. Sebelum pemeriksaan sputum, bronchial washing dan aspirasi


tracheal dilakukan, specimen tersebut diberi KOH 10% dan tinta parker kemudian
selanjutnya diberi pewarnaan gram, sedangkan specimen yang berasal dari biopsy
jaringan diberi pewarnaan khusus untuk jamur yaitu Gomori methenamine silver
atau Periodic acid-Schiff. (Dumasari, 2008) Dari Hasil pemeriksaan dijumpai
adanya cabang dichotomous and hypa bersepta yang mempunyai lebar yang sama
(sekitar 4 m). (Mitchell, 2007)
c. Biakan
Aspergilus Sp. Tumbuh dalam beberapa hari pada sebagian besar medium
pada suhu ruangan. Spesies diidentifikasi berdasarkan morfologi struktur konidia.
(Mitchell, 2007)
d. Pemeriksaan Kultur
Specimen kultur berasal dari sputum, bilasan bronchial dan aspirasi
tracheal di inokulasi pada agar Sabouroud dextrose dengan antibiotic dan tanpa
cycloheximide pada temperature 25C dan 37C. Subkultur isolate dapat
dilakukan pada agar czapk Dox dan agar 2% ekstrak malt dengan inkubasi pada
25C. agar Potato dextrose sangat berguna untuk menginduksi sporulasi sehingga
identifikassi isolate menjadi lebih mudah.(Chander, 2002)
Pertumbuhan koloni cepat dan dapat berwarna putih, kuning, kuning
kecoklatan, coklat kehitaman atau hijau. Hasil yang positif dari pemeriksaan
kultur tersebut hanya dijumpai 10% - 30%. Hal ini dapat dijumpainya kontaminan
lain pada kultur sehingga menimbulkan kesulitan melakukan isolasi dan akibatnya
organism yang di isolasi jumlahnya relatif sedikit. Kesulitan yang lain yaitu
spesies

Aspergillus

sering

merupakan

kontaminan

laboratorium.

Hasil

Universitas Sumatera Utara

pemeriksaan kultur darah biasanya negatif tetapi apabila hasilnya positif dapat
membantu untuk menegakkan diagnosis.(Dumasari, 2008)
e. Tes Kulit
Tes kulit dengan menggunakan antigen aspergillus hanya berhasil untuk
mendiagnosis allergic aspergillosis. Penderita dengan asma tanpa komplikasi yang
disebabkan aspergillus menimbulkan reaksi immediate tipe I. Pada pasien allergic
bronchopulmonary aspergillosis menimbulkan reaksi immediate tipe I dan juga
70% memberikan reaksi delayed tipe III.(Dumasari, 2008)
f. Serologi
Pemeriksaan antibody Aspergillus sering membantu untuk mendiagnosis
bentuk lain dari aspergillosis yang dijumpai pada penderita non-compromise.
Pemeriksaan serologis yang dapat dilakukan yaitu immunodiffusion (ID), indirect
haemagglutination

dan

enzyme-linked

immunosorbeny

assay

(ELISA).

Pemeriksaan immunodiffusioan mudah dilaksanakan dan pengendapaan dapat


dideteksi lebih dari 70% penderita dengan allergic bronchopulmonary
aspergillosis dan lebih dari 90% pada penderita pulmonary aspergilloma atau
kronik necrotizing pulmonary aspergillosis. Pemeriksaan immunodiffusion juga
berguna untuk mendeteksi infeksi Aspergillus bentuk invasive.
Pemeriksaan untuk mendeteksi antigen Aspergillus di dalam darah dan
cairan tubuh yang lain dapat lebih cepat untuk mendiagnosis aspergillosis pada
penderita immunocompromise. Pada pasien invasive aspergillosis, ditemukan titer
yang tinggi dari antigen galactomannan (galactomannan merupakan komponen
utama dari dinding sel Aspergillus). Ada dua jenis pemeriksaan untuk mendeteksi
Aspergillus galactomannan yaituLatex particle agglutination tetapi pemeriksaan

Universitas Sumatera Utara

ini kurang sensitive dan Sandwich ELISA (Enzyme-linked immunosorbent Assay)


dimana sensitivitinya 90-93% dan spesivitinya 94-98%. (Dumasari, 2008)
Uji ID untuk presipitin terhadap A. fumigates positif pada lebih dari 80%
penderita aspergiloma atau aspergilosis bentuk alergi, tetapi uji antibody tidak
membantu dalam diagnosis aspergilosis invasive. Namun, uji serologi untuk
galaktomanan dinding sel yang bersirkulasi bersifat diagnostic. (Mitchell, 2007)
g. Diagnostik Molekuler
Metode pemeriksaan PCR telah mengalami perkembangan, digunakan
untuk mendeteksi DNA Aspergillus di dalam darah, serum dan cairan
bronchoalveolar lavage. Metode pemeriksaan Nucleic acid sequence-based
amplification assay (NASBA) juga telah mengalami perkembangan, digunakan
untuk mendeteksi dan mengidentifikasi genus Aspergillus dengan RNA sequences
yang spesifik dari specimen darah. (Dumasari, 2008)
Penelitian mengenai deteksi asam nukleat Aspergillus dengan PCR telah
banyak dilaporkan untuk memperbaiki diagnosis dari invasive aspergillosis, baik
yang berasal dari cairan BAL, serum darah, dan sputum. (Bansod et al., 2008)
Penggunaan PCR menjadi standard dan valid dalam pemeriksaan laboratorium
untuk menegakkan diagnosa invasive aspergillosis secara cepat. (WHO, 2009)
Metode PCR terbukti lebih sensitiv daripada deteksi antigen jamur Aspergillus.
(Stevens et al., 2000) PCR dengan menggunakan cairan BAL memiliki sensitivity
67 100% dan specificity 55 95% untuk invasiv pulmonary Aspergillosis. Dan
pada sampel serum memiliki sensitivity 100% dan specificity 65 92%. (Zmeili
dan Soubani, 2007, Raad et al, 2002) DNA target yang biasa digunakan adalah
18S rRNA atau 28S rRNA. (Jun et al, 2001)

Universitas Sumatera Utara

2.2.6 Pengobatan
Aspergiloma diobati dengan itrakonazol atau amfoterisin B dan
pembedahan. Aspergilosis invasive memerlukan pemberian cepat formula alami
atau lipid amfoterisin B atau voriconazol, sering ditambahkan imunoterapi sitokin.
Penyakit paru nekrotikan kronik yang lebih ringan dapat diobati dengan
vorikonazol atau itrakonazol. (Mitchell, 2007) Aspergilosis bentuk alergi diobati
dengan kortikosteroid dan itraconazole. (Garbino, 2004)
Prognosis pasien dengan invasive aspergillosis mengalami perbaikan
dengan penggunaan klinis terapi anti jamur golongan azole, terutama
voriconazole. Meskipun demikian, pertahanan hidup pasien dapat terancam
dengan adanya keadaan resistensi aspergillus terhadap golongan azole. Resistensi
ini biasanya disebabkan oleh point mutasi pada gen cyp51A, yang merupakan
target terapi golongan azole. (Jan et al, 2010)

Tabel 2.1 Spektrum Aspergillosis pada saluran pernapasan bawah (Thompson dan
Patterson, 2008)

Universitas Sumatera Utara

2.2.7 Epidemiologi dan Pengendalian


Jamur Aspergillus tersebar diseluruh dunia. Konidianya dapat hidup di
tanah dan di udara. Di dalam lingungan rumah sakit jamur Aspergillus spp. dapat
ditemukan di udara, penampungan air, tanaman di pot. Sehingga spora jamur ini
selalu dapat terhirup oleh manusia. Terjadinya infeksi aspergillus pada manusia
lebih berperan pada factor daya imunitas penderita dibandingkan virulensi
jamurnya sendiri. Saluran napas atas merupakan organ yang paling sering terkena
infeksi jamur Aspergillus. (Kumala, 2006) Pada dekade terakhir, insidens infeksi
jamur meningkat. Aspergillosis invasive merupakan infeksi jamur kedua yang
paling sering pada pasien kanker, setelah kadidiasis. (Garbino, 2004)
Untuk individu yang beresiko menderita penyakit alergi atau aspergilosis
invasive, usaha yang harus dilakukan adalah menghindari pajanan terhadap
konidia spesies aspergilus. Kebanyakan unit transplantasi sumsum tulang
menggunakan system pendingin berfilter, mengawasi kontaminan melalui udara
pada ruangan pasien, mengurangi kunjungan, dan beberapa tindakan lain untuk
mengisolasi pasien dan meminimalkan resiko pasien terpajan konidia aspergilus
dan kapang lain. Beberapa pasien yang beresiko untuk aspergilosis invasive
diberikan profilaksis amfoterisin B atau

itrakonazol dalam dosis rendah.

(Mitchell, 2007)

2.3 Polymerase Chain Reaction (PCR)


PCR ditemukan oleh Kary Mullis pada tahun 1985, merupakan suatu
prosedur yang efektif untuk pelipatgandaan (amplifikasi) DNA. Proses ini
mirip dengan proses replikasi DNA dalam sel. Amplifikasi ini menghasilkan

Universitas Sumatera Utara

lebih dari sejuta kali DNA asli. Hasil pelipatgandaan segmen DNA ini
menyebabkan segmen DNA yang dilipatgandakan tersebut mudah dideteksi
karena konsentrasinya tinggi.

Pendeteksian

dilakukan dengan

metode

pemisahan molekul berdasarkan bobot molekulnya, yang disebut elektroforesis


menggunakan gel agarosa (Sudjadi, 2008).
Proses pelipatgandaan DNA oleh PCR ini meliputi tiga tahapan proses
utama, yaitu:
Proses pertama melepaskan rantai ganda DNA menjadi dua rantai tunggal
DNA melalui proses denaturasi. Proses denaturasi DNA dilakukan dengan cara
menaikkan suhu sampai 95oC. Sebelum proses denaturasi ini, biasanya diawali
dengan proses denaturasi inisial untuk memastikan rantai DNA telah terpisah
sempurna menjadi rantai tunggal.
Proses kedua adalah annealing atau pemasangan 2 rantai primer pada kedua
rantai DNA tersebut. Primer berfungsi sebagai pancingan awal dalam
pelipatgandaan segmen DNA. Primer terdiri dari 18 - 24 deret basa nukleotida
pengode DNA

[adenin(A), guanin (G), sitosin (C), dan timin (T)] yang

disintesis secara artifisial dan biasanya dapat dipasangkan dengan DNA yang
akan dideteksi. Proses pemasangan primer dengan DNA yang akan dideteksi ini
membutuhkan suhu optimum sesuai kebutuhan primer tersebut. Biasanya
dengan cara menurunkan suhu antara 37oC-60oC.
Proses ketiga disebut ekstension atau perpanjangan. Pada proses ini
deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP), yang sebelumnya telah ditambahkan
dalam pereaksi, menyebabkan primer yang tadinya hanya 18 sampai 24 deret
basa nukleotida akan memperoleh tambahan basa nukleotida yang terdapat di

Universitas Sumatera Utara

dNTP dan kemudian menjadi sepanjang segmen DNA yang dilipatgandakan itu.
Proses ini dibantu oleh adanya enzim DNA polimerase dan enzim ini bekerja
optimum pada suhu 72oC. dNTP merupakan kumpulan 4 jenis basa nukleotida
(A,G,C, dan T) yang terikat pada 3 gugus fosfat dan masing-masing berdiri
bebas sampai enzim DNA polimerase mengkatalis pengikatannya pada primer.
Setelah siklus PCR berakhir, proses final extension dilakukan selama 5-15
menit pada suhu yang sama dengan proses ekstensi untuk menjamin semua
rantai tunggal DNA telah penuh terbentuk.
Ketiga proses ini dilakukan berulang-ulang sampai jumlah kelipatan segmen
DNA sesuai dengan kebutuhan (Sopian, 2006; Sudjadi, 2008).

2.4 Elektroforesis
Elektroforesis merupakan teknik pemisahan molekul dalam suatu
campuran di bawah pengaruh medan listrik. Molekul yang terlarut dalam medan
listrik akan bergerak dengan kecepatan tertentu.
Elektroforesis melalui gel agarosa merupakan metode standar untuk
pemisahan, identifikasi dan pemurnian fragmen DNA. Agarosa disarikan dari
ganggang laut dengan dasar stuktur D-galaktosa dan 3,6-anhidroL galaktosa.
Gel agarosa dibuat dengan melelehkan agarosa dalam bufer dengan pemanasan
dan kemudian dituangkan pada cetakan serta didiamkan sampai dingin. Setelah
mengeras, diberikan medan listrik pada kedua ujungnya, maka DNA yang
bermuatan negatif pada pH netral akan bergerak ke anoda. Molekul DNA yang
lebih besar akan bergerak lebih lambat karena terjadi gesekan lebih besar. Untuk
mendeteksi adanya DNA , sebelum dimasukkan dalan gel agarosa, terlebih

Universitas Sumatera Utara

dahulu diwarnai dan kemudian dapat dilihat adanya pita molekul pada gel
agarosa jika diletakkan di atas cahaya ultraviolet. Pita molekul ini menandakan
adanya segmen DNA (Sudjadi, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai