TINJAUAN PUSTAKA
2007)
a. Candida albicans dan candida sp lain (Kandidiasis sistemik)
b. Cryptococcus neoformans (Kriptokokosis)
c. Aspergillus fumigatus dan aspergilus sp lain (Aspergilosis)
d. Rhizopus sp, Absidia sp, Mukor sp, dan Zygomacetes sp lain
(Mukormikosis / zigomikosis)
e. Penicillium marneffei (Penisiliosis)
2.1.2 Patogenesis
Seluruh infeksi jamur dari jenis apapun pada umumnya menimbulkan
aneka ragam reaksi peradangan, yang dalam hal ini bisa dijumpai hiperplasia
epitel, granuloma histiositik, arteritis trombotik, campuran reaksi radang piogenik
dan granulomatous, granuloma pengkejuan, fibrosis dan kalsifikasi. Hampir dapat
dikatakan bahwa jamur apapun bila menginfeksi baik di paru atau pada jaringan
manapun didalam tubuh menimbulkan gambaran granuloma yang secara
patologik sulit dibedakan dengan granuloma yang terjadi pada TBC ataupun
sarkoidosis. Meskipun dikemukakan bahwa diagnosa patologik ditegakkan
dengan isolasi organisme jamur dari jaringan yang terlibat, namun ini masih
mempunyai problem yaitu bahwa beberapa jamur seperti Histoplasma
Capsulatum, Sporothricum Schenkii, Torulapsis glabrata, Blastomyces dan
Coccidioides mempunyai sel-sel berbentuk mirip ragi (Yeast like cells) yang
secara histologik sukar dibedakan satu dengan lainnya. Diagnosa pasti dengan
demikian memerlukan pemeriksaan kultur (biakan) dan pemeriksaan serologik.
(Sukamto, 2004)
lnfeksi jamur paru ternyata lebih sering disebabkan oleh infeksi jamur
oportunistik kandidia dan aspergilus. Sebagai infeksi oportunistik jamur ini
terdapat dimana-mana dan sering menginfeksi pada penderita dengan pemakaian
obat antibiotik secara luas atau dalam jangka waktu yang cukup lama,
kortikosteroid, disamping munculnya faktor predisposisi seperti penyakit kronis
dan penyakit keganasan. Timbulnya infeksi sekunder pada jamur paru disebabkan
terdapatnya kelainan paru seperti kavitas tuberkulosa, bronkiektasis, krasinoma
bronkus yang sering menurunkan daya tahan tubuh.
pertumbuhan
jamur
oportunistik
tidak
terhambat.
Penyakit
laboratorium.
Penyakit jamur dikatakan positif apabila dapat dibuktikan adanya fungi
penyebabnya, baik melalui pemeriksaan secara langsung maupun melalui biakan.
Disamping itu dapat pula dilakukan uji serologi, uji fiksasi komplemen, uji hewan
percobaan dan uji fermentasi. (Sukamto, 2004)
Spesimen lain selain dahak dapat juga bilasan atau cucian bronkus dari
pemeriksaan bronkoskopi. Pemeriksaan bronkoskopi disamping untuk melihat
langsung keadaan saluran nafas juga dapat dilakukan pengambilan spesimen
secara biopsi atau bilasan bronkus.
Secara umum diagnosis jamur paru ditegakkan melalui: (Sukamto, 2004)
1. Kecurigaan yang tinggi terhadap kemungkinan infeksi jamur di paru.
2. Pemeriksaan diagnostik yang lazim terhadap penyakit paru:
a. Foto toraks PA dan lateral, CT Scan toraks.
b. Sputum: mikroskopis jamur dan kultur.
c. Bronkoskopi: sekret bronkus, bilasan bronkus, transbronkial lung
biopsi.
d. Aspirasi paru dengan jarum.
3. Pemeriksaan laboratorium darah
a. Kultur darah.
b. Pemeriksaan serologi.
namun cara ini belum mampu menghindari kontaminasi kuman dari orofaring.
Bilasan bronkoalveolar terbukti sangat bermanfaat dalam mendiagnosa paru
oportunistik pada pasien-pasien imunocompromised host.
F. Sikatan bronkus.
Tehnik ini merupakan pengembangan dari cara bilasan bronkus yang
tujuannya untuk menghindari semaksimal mungkin kontaminasi kuman
daerah orofaring terhadap bahan aspirat. Jenis sikatan bronkus yang terunggul
dalam arti kata mampu mendapatkan bahan aspirat yang bebas sama sekali
darii kontaminasi kuman orofaring adalah sikatan bronkus dengan karakter
ganda terlindung polietilen glikol.
2.2 Aspergillosis
Aspergillosis merupakan infeksi yang disebabkan moulds saprofit dari
genus aspergilus. Aspergilus Sp. Adalah saprofit yang terdapat di tanah, air dan
tumbuhan yang mengalami pembusukan dan aspergilosis terdapat diseluruh dunia.
Lebih dari 200 spesies Aspergilus telah di identifikasi dan A. fumigatus adalah
pathogen manusia tersering dimana > 90% menyebabkan invasif dan non-invasif
aspergilosis. Namun, spesies lainnya termasuk A.flavus, A. niger, dan A. terreus,
juga dapat menyebabkan penyakit. Kapang ini menghasilkan banyak konidia kecil
yang mudah di aerosol. Setelah menghirup konidia tersebut, orang yang atopik
sering mengalami reaksi alergi hebat terhadadap antigen konidia. Pada pasien
imunokompromais terutama penderita leukemia, transplantasi sumsum tulang, dan
orang yang mendapat kortikosteroid, konidia dapat bergerminasi untuk
menghasilkan hifa yang dapat menginvasi paru dan jaringan lain. (Dumasari,
2008, Mitchell 2007)
2.2.2 Pathogenesis
Kecil kemungkinan untuk menderita penyakit invasif kecuali jika jumlah
fagosit pada tubuh berkurang. Pada paru, makrofag alveolar mampu menelan dan
menghancurkan konidia. Makrofag dapat memfagosit dan menghancurkan conidia
aspergilus sedangkan polymorphonuclear (PMN) leukosit dan monosit (MNC)
dapat merusak hypha aspergillus melalui mekanisme oxidative dan non-oxidatif.
Makrofag dan neutrofil merupakan pertahanan tetap pada paru dalam melawan
spesies Aspergillus. Keratin dan barrier epidermal kulit bertindak sebagai
tambahan pertahanan pertama secara mekanik. Konidia spesies Aspergillus yang
lebih kecil, 3-5 m lebih mudah mencapai alveolar, dimana tidak terdapat
pertahanan mekanis. (Chander, 2002)
Makrofag
dari
hewan
yang
diobati
kortikosteroid
atau
pasien
yang cenderung menginvasi kavitas yang sudah ada (aspergiloma atau bola fungi)
atau pembuluh darah. (Dumasari, 2008, Mitchell,2007)
Faktor resiko terjadinya infeksi aspergillosis termasuk hingga menjadi
invasiv aspergillosis antara lain adalah keganasan hematologi, penggunaan
steroid, agranulocytosis (intensitas dan durasi), penyakit CMV, penyakit paru
(termasuk PPOK, penyakit paru interstitial, dan riwayat operasi thoraks) dan
tergantung status imun selama pengobatan dengan corticosteroid, alkoholisme,
penyakit vascular kolagen atau Chronic granulomatous disease, dan penyakit
yang menimbulkan kavitas. Pasien yang mengalami BMT atau transplantasi
organ, neutropenia setelah kemoterapi pada keganasan hematologi atau limfoma,
pasien dengan HIV stadium terakhir. Resiko timbulnya invasif aspergillosis juga
berhubungan dengan derajat terpapar spora aspergillus. (Garbino, 2004)
2.2.3 Mikotoksin
Aspergillus fumigatus menghasilkan metabolit sekunder yang disebut
dengan mikotoksin. Metabolit sekunder yang paling sering ditemukan antara lain
adalah Fumagillin, fumitoxin, fumigaclavines, fumigatin, fumitremorgins,
gliotoxin, monotrypacidin, tryptoquivaline, helvolic acid, dan
dua metabolit
ditandai
dengan
asma,
infiltrate
dada
rekuren,
eosinifilia,
dan
hipersensitivitas uji kulit tipe I (cepat) dan tipe III (Arthus) terhadap antigen
aspergillus. Banyak pasien menghasilkan sputum akibat aspergilus dan presipitin
serum. Mereka mengalami kesulitan bernapas dan timbul parut yang permanen di
paru. Pejamu normal yang terpajan konidia dalam jumlah yang sangat banyak
dapat mengalami alveolitis alergi ekstrinsik. (Mitchell, 2007)
Allergic bronchopulmonary aspergillosis dilaporkan dijumpai pada asma
yang tergantung dengan steroid sekitar 14% dan pada pasien dengan kolonisasi
aspergilus seperti cystic fibrosis dijumpai sebanyak 7%. Gambaran klinis yang
sering dijumpai yaitu demam, asma dengan perbaikan klinis yang lambat, batuk
yang produktif, malaise dan berat badan menurun. (Dumasari, 2008) Kriteria
minimal untuk menegakkan diagnosa ABPA adalah 1) asthma; 2) immediate
cutaneous reactivity terhadap A. fumigatus; 3) total serum immunoglobulin (Ig)E
1,000 ng/ml; 4) peningkatan specific IgE-Af/IgG-Af; dan 5) central bronchiectasis
tanpa disertai distal bronchiectasis. (Shah, 2010) Selain itu criteria lainnya adalah
dijumpai adanya A. fumigatus pada biakan sputum, batuk dengan dahak berwarna
coklat atau flek, dan reaksi arthus terhadap antigen Aspergillus. (Chamilos, 2008)
b. Aspergiloma dan kolonisasi ekstrapulmonal
Aspergiloma (fungus ball) adalah berupa massa yang padat tidak
berbentuk dari mycelium jamur. Aspergiloma terjadi ketika konidia yang terhirup
masuk ke dalam kavitas yang sudah terbentuk, bergerminasi, dan menghasilkan
banyak hifa dalam ruang paru abnormal. Pasien yang menderita penyakit kavitas
sebelumnya (misal tuberculosis, sarkoidosis, emfisema) berisiko terkena penyakit
ini. Fungus ball sering dijumpai pada lokasi bagian atas lobus paru. Terjadinya
lisis yang spontan pernah dilaporkan sekitar 10% dari kasus. (Dumasari, 2008,
Mitchell, 2007, Thompson dan Patterson, 2008)
Beberapa pasien asimtomatik, yang lain mengalami batuk, dispnea,
penurunan berat badan, lelah, dan hemoptisis. Haemoptisis merupakan gejala
klinis yang sering dijumpai sekitar 50 80% dari kasus dan jarang bersifat fatal.
Kasus aspergiloma jarang bersifat invasive. Infeksi local noninvasive (kolonisasi)
oleh spesies aspergilus dapat mengenai sinus nasalis, saluran telinga, kornea, atau
kuku. (Mitchell, 2007, Thompson, 2008)
2. Aspergilosis invasive
Setelah terhirup dan terjadi germinasi konidia, penyakit invasif
berkembang menjadi proses pneumonia akut dengan atau tanpa penyebaran.
Pasien yang beresiko adalah mereka yang menderita leukemia mielogenosa atau
Aspergillus
sering
merupakan
kontaminan
laboratorium.
Hasil
pemeriksaan kultur darah biasanya negatif tetapi apabila hasilnya positif dapat
membantu untuk menegakkan diagnosis.(Dumasari, 2008)
e. Tes Kulit
Tes kulit dengan menggunakan antigen aspergillus hanya berhasil untuk
mendiagnosis allergic aspergillosis. Penderita dengan asma tanpa komplikasi yang
disebabkan aspergillus menimbulkan reaksi immediate tipe I. Pada pasien allergic
bronchopulmonary aspergillosis menimbulkan reaksi immediate tipe I dan juga
70% memberikan reaksi delayed tipe III.(Dumasari, 2008)
f. Serologi
Pemeriksaan antibody Aspergillus sering membantu untuk mendiagnosis
bentuk lain dari aspergillosis yang dijumpai pada penderita non-compromise.
Pemeriksaan serologis yang dapat dilakukan yaitu immunodiffusion (ID), indirect
haemagglutination
dan
enzyme-linked
immunosorbeny
assay
(ELISA).
2.2.6 Pengobatan
Aspergiloma diobati dengan itrakonazol atau amfoterisin B dan
pembedahan. Aspergilosis invasive memerlukan pemberian cepat formula alami
atau lipid amfoterisin B atau voriconazol, sering ditambahkan imunoterapi sitokin.
Penyakit paru nekrotikan kronik yang lebih ringan dapat diobati dengan
vorikonazol atau itrakonazol. (Mitchell, 2007) Aspergilosis bentuk alergi diobati
dengan kortikosteroid dan itraconazole. (Garbino, 2004)
Prognosis pasien dengan invasive aspergillosis mengalami perbaikan
dengan penggunaan klinis terapi anti jamur golongan azole, terutama
voriconazole. Meskipun demikian, pertahanan hidup pasien dapat terancam
dengan adanya keadaan resistensi aspergillus terhadap golongan azole. Resistensi
ini biasanya disebabkan oleh point mutasi pada gen cyp51A, yang merupakan
target terapi golongan azole. (Jan et al, 2010)
Tabel 2.1 Spektrum Aspergillosis pada saluran pernapasan bawah (Thompson dan
Patterson, 2008)
(Mitchell, 2007)
lebih dari sejuta kali DNA asli. Hasil pelipatgandaan segmen DNA ini
menyebabkan segmen DNA yang dilipatgandakan tersebut mudah dideteksi
karena konsentrasinya tinggi.
Pendeteksian
dilakukan dengan
metode
disintesis secara artifisial dan biasanya dapat dipasangkan dengan DNA yang
akan dideteksi. Proses pemasangan primer dengan DNA yang akan dideteksi ini
membutuhkan suhu optimum sesuai kebutuhan primer tersebut. Biasanya
dengan cara menurunkan suhu antara 37oC-60oC.
Proses ketiga disebut ekstension atau perpanjangan. Pada proses ini
deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP), yang sebelumnya telah ditambahkan
dalam pereaksi, menyebabkan primer yang tadinya hanya 18 sampai 24 deret
basa nukleotida akan memperoleh tambahan basa nukleotida yang terdapat di
dNTP dan kemudian menjadi sepanjang segmen DNA yang dilipatgandakan itu.
Proses ini dibantu oleh adanya enzim DNA polimerase dan enzim ini bekerja
optimum pada suhu 72oC. dNTP merupakan kumpulan 4 jenis basa nukleotida
(A,G,C, dan T) yang terikat pada 3 gugus fosfat dan masing-masing berdiri
bebas sampai enzim DNA polimerase mengkatalis pengikatannya pada primer.
Setelah siklus PCR berakhir, proses final extension dilakukan selama 5-15
menit pada suhu yang sama dengan proses ekstensi untuk menjamin semua
rantai tunggal DNA telah penuh terbentuk.
Ketiga proses ini dilakukan berulang-ulang sampai jumlah kelipatan segmen
DNA sesuai dengan kebutuhan (Sopian, 2006; Sudjadi, 2008).
2.4 Elektroforesis
Elektroforesis merupakan teknik pemisahan molekul dalam suatu
campuran di bawah pengaruh medan listrik. Molekul yang terlarut dalam medan
listrik akan bergerak dengan kecepatan tertentu.
Elektroforesis melalui gel agarosa merupakan metode standar untuk
pemisahan, identifikasi dan pemurnian fragmen DNA. Agarosa disarikan dari
ganggang laut dengan dasar stuktur D-galaktosa dan 3,6-anhidroL galaktosa.
Gel agarosa dibuat dengan melelehkan agarosa dalam bufer dengan pemanasan
dan kemudian dituangkan pada cetakan serta didiamkan sampai dingin. Setelah
mengeras, diberikan medan listrik pada kedua ujungnya, maka DNA yang
bermuatan negatif pada pH netral akan bergerak ke anoda. Molekul DNA yang
lebih besar akan bergerak lebih lambat karena terjadi gesekan lebih besar. Untuk
mendeteksi adanya DNA , sebelum dimasukkan dalan gel agarosa, terlebih
dahulu diwarnai dan kemudian dapat dilihat adanya pita molekul pada gel
agarosa jika diletakkan di atas cahaya ultraviolet. Pita molekul ini menandakan
adanya segmen DNA (Sudjadi, 2006).