Anda di halaman 1dari 13

SISTEM PERS INDONESIA

Oleh : Taufik Al Amin

A. Pengertian dan Ciri-Ciri Pers


Istilah pers berasal dari bahasa Belanda, yang berarti dalam bahasa Inggris
berarti press. Secara harfiah pers berarti cetak, dan secara maknafiah berarti penyiaran secara
tercetak atau publikasi secara dicetak (Effendy,1994).
Dalam perkembangannya pers mempunyai dua pengertian, yakni pers dalam
pengertian luas dan pers dalam pengertian sempit. Pers dalam pengertian luas meliputi segala
penerbitan, bahkan termasuk pers elektrolit, radio siaran, dan televisi siaran. Sedangkan pers
dalam arti sempit hanya terbatas pada pers cetak, yakni surat kabar, majalah, dan buletein
kantor berita.
Meskipun pers mempunyai dua pengertian seperti diterangkan di atas, pada umumnya
orang menganggap pers itu pers cetak: suart kabar dam majalah. Anggapan umum seperti itu
disebabkan oleh ciri khas yang terdapat pada media itu, dan tidak dijumpai pada media lain.
Ciri-ciri komunikasi massa adalah sebagai berikut: komunikasi dengan menggunakan
pers; proses berlangsung satu arah; komunikatornya melembaga; pesan bersifat umum;
medianya menimbulkan keserempakan; dan komunikannya bersfat heterogen (Effendy,
1994).
Sedangkan Haris Sumadiria (2004) mengatakan ciri-ciri pers adalah sebagai berikut:
1. Periodesitas.
Pers harus terbit secara teratur, periodek, misalnya setiap hari, setiap minggu, setiap
bulan, dan sebagainya. Pers harus konsisten dalam pilihan penerbitannya ini.
2. Publisitas.
Pers ditujukan (disebarkan) kepada khalayak sasaran yang sangat heterogen. Apa yang
dimaksud heterogen menunjuk dua hal, yaitu geografis dan psikografis. Geofrafis
menunjuk pada data administrasi kependudukan, seperti jenis kelamin, kelompok usia,
suku bangsa, agama, tingkat pendidikan, tempat tinggal, pekerjaan, dan sebagainya.
Sedangkan psikografis menunjuk pada karakter, sifat kepribadian, kebiasaan, adat
istiadat, dan sebagainya.

1
3. Aktualitas.
Informasi apapun yang disuguhkan media pers harus mengandung unsur kebaruan,
menunjuk kepada peristiwa yang benar-benar baru terjadi atau sedang terjadi. Secara
etimologis, aktualitas (actuality) mengandung arti kini dan keadaan sebenarnya, secara
teknis jurnalistik, aktualitas mengandung tiga dimensi: kalender;waktu; masalah.
Aktualitas kalender berarti merujuk kepada berbagai peristiwa yang sudah tercantum
atau terjadwal dalam kalender. Aktualitas waktu berkaiutan dengan peristiwa yang baru
saja terjadi, atau sesaat lagi akan terjadi. Aktualitas masalah berhubungan dengan
peristiwa yang dilihat dari topiknya, sifatnya, dimensi dan dampaknya,
kharakteristiknya, mencerminkan fenomena yang senantiasa mengandung unsur
kebaruan.
4. Universalitas.
Berkaitan dengan kesemestaan pers dilihat dari sumbernya dan dari keanekaragaman
materi isinya.
5. Objektivitas.
Merupakan nilai etika dan moral yang harus dipegang teguh oleh surat kabar dalam
menjalankan profesi jurnalistiknya. Setiap berita yang disuguhkan itu harus dapat
dipercaya dan menarik perhatian pembaca.
Ciri-ciri tersebut dipenuhi, baik oleh pers cetak surat kabar dan majalah maupun oleh
pers elektrolit radio dan televisi. Kendati demikian, antara pers cetak dan pers elektrolit itu
terdapat perbedaan yang khas, yakni pesan-pesan yang disiarkan oleh pers elektrolit hanya
diterima sekilas dan khalayak harus selalu berada di depan pesawat, sedangkan pesan-pesan
yang disiarkan pers cetak dapat diulangkaji dan dipelajari serta disimpan untuk dibaca pada
tiap kesempatan.
Pers adalah lembaga kemasyarakatan, sebagai lembaga kemasyarakatan, pers
merupakan subsistem kemasyarakatan tempat ia berada bersama dengan subsistem lainnya.
Dengan demikian maka pers tidak hidup secara mandiri, tetapi dipengaruhi oleh lembaga-
lembaga kemasyarakatan lain. Bersama-sama dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan
lainnya itu, pers berada dalam keterikatan organisasi yang bernama negara, karenanya pers
dipengaruhi bahkab ditentukan oleh falsafah dan sistem politik negara tempat pers itu hidup.
Pers di negara dan di masyarakat tempat ia berada bersama mempunyai fungsi yang

2
universal. Akan tetapi, sejauh mana fungsi itu dapat dilaksanakan bergantung pada falsafah
dan sistem politik negara tempat pers itu beroperasi.
Fred S. Siebert, Theodore Peterson dan Wibur Schramm (1963), dalam Four
Theories of the Pressmembedakan teori pers ke dalam: teori pers otoriter, teori pers liberal,
teori pers komunis, teori perstanggungjawab sosial.
Bagaimana dengan pers di Indonesia? Pengertian pers di Indonesia sudah jelas
sebagaimana tercantum pada Undang-undang nomer 40 tahun 1999, seperti tersurat sebagai
berikut:
Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan
kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
megolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar,
suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan
menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang
tersedia.
Definisi pers tersebut menunjukkan bahwa pers di Indonesia tegas-tegas merupakan
lembaga kemasyarakatan bukan lembaga pemerintah, bukan terompet pemerintah. Dengan
kata lain, pers kita menganut teori tanggung jawab sosial. Mengenai hal ini secara jelas
dicantumkan pada pasal 15 (tentang peran dewan pers dan keanggotaan dewan pers), dan
pasal 17 (tentang peranan masayarakat dalam kehidupan pers) UU no 40 tahun 1999.
Ibarat sebuah bangunan, pers hanya akan bisa berdiri kokoh apabila bertumpu pada tiga pilar
penyangga utama yang satu sama lain berfungsi saling menopang (Haris Sumadiria,
2004). Ketiga pilar itu adalah:
1. Idealisme.
Dalam pasal 6 UU Pers no 40 tahun 1999 dinyatakan, pers nasional melaksanakan
peranan sebagai: a. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; b. Menegakkan nilai-
nilai dasar demokrasi dan hak-hak azasi manusia serta menghormati kebhinekaan; c.
Mengembangkan pendapat umum berdasarkan infoemasi yang tepat, akurat, dan benar;
d. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan
dengan kepentingan umum; e. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Maknanya,
bahwa pers harus memiliki dan mengemban idealisme. Idealisme adalah cita-cita, obsesi,
sesuatu yang terus dikejar untuk dijangkau dengan segala daya dan cara yang dibenarkan

3
menurut etika dan norma profesi yang berlaku serta diakui oleh masyarakat dan negara.
Menegakkan nilai0nilai demokrasi dan hak asasi manusia, memperjuangkan keadilan
dan kebenaran, adalah contoh idealisme yang harus diperjuangkan pers. Dasarnya,
sebagaimana dinyatakan dalam pasal 3 ayat (1) UU no 40 tahun 1999, pers nasional
mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
2. Komersialisme.
Pers harus mempunyai kekuatan dan keseimbangan. Kekuatan untuk mencapai cita-cita
itu, dan keseimbangan dalam mempertahankan nilai-nilai profesi yang diyakininya. Agar
mendapat kekuatan, maka pers harus berorientasi kepada kepentingan komersial. Seperti
ditegaskan pasal 3 ayat (2) UU no 40 tahun 1999, pers nasional dapat berfungsi sebagai
lembaga ekonomi. Sebagai lembaga ekonomi, penerbitan pers harus dijalankan dengan
merujuk pada pendekatan kaidah ekonomi, efisiensi dan efektivitas. Secara manajerial
perusahaan, pers harus memetik untung dan sejauh mungkin menghindari kerugian.
Dalam kerangka ini, apapun sajian pers tak bisa dilepaskan dari muatan nilai bisnis
komersial sesuai dengan pertimbangan dan tuntutan pasar. Hanya dengan berpijak pada
nilai-nilai komersial, penerbitan pers bisa mencapai cita-citanya yang ideal.
3. Profesionalisme.
Profesianalisme adalah isme atau paham yang menilai tinggi keahlian profesional
khususnya, atau kemampuan pribadi pada umumnya, sebagai alat utama untuk mencapai
keberhasilan. Seseorang bisa disebut profesional apabila dia memenuhi lima ciri berikut:
a. memiliki keahlian tertentu yang diperoleh melalui penempaan pengalaman, pelatihan,
atau pendidikan khusus di bidangnya; b. mendapat gaji, honorarium atau imbalan materi
yang layak sesuai dengan keahlian, tingkat pendidikan, atau pengalaman yang
diperolehnya; c. seluruh sikap, perilaku dan aktivitas pekerjaannya dipagari dengan dan
dipengaruhi oleh keterikatan dirinya secara moral dan etika terhadap kode etik profesi; d.
secara sukarela bersedia untuk bergabung dalam salah satu organisasi profesi yang sesuai
dengan keahliannya; e. memiliki kecintaan dan dedikasi luar biasa luar biasa terhadap
bidang pekerjaan profesi yang dipilih dan ditekuninya; f. tidak semua orang mampu
melaksanakan pekerjaan profesi tersebut karena untuk menyelaminya mensyaratkan
penguasaan ketrampilan atau keahlian tertentu. Dengan merujuk kepada enam syarat di

4
atas, maka jelas pers termasuk bidang pekerjaan yang mensyaratkan kemampuan
profesionalisme.
B. Sejarah Pers Indonesia
Pers di Indonesia mulai berkembang jauh hari sebelum negara Indonesia
diproklamasikan. Pers telah dipergunakan oleh para pendiri bangsa kita sebagai alat
perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan.
Sejak pertengahan abad ke 18, orang-orang Belanda mulai memperkenalkan
penerbitan surat kabar di Indonesia. Penguasa kolonial mengekang pertumbuhan pers,
meskipun penerbitnya terdiri dari orang-orang Belanda sendiri. Tetapi surat kabar yang
tumbuh dari akhir abad ke 19 hingga awal abad berikutnya, juga merupakan sarana
pendidikan dan latihan bagi orang-orang Indonesia yang memperoleh pekerjaan di dalamnya
(Tribuana Said, 1988). Surat kabar pertama di Indonesia adalah Bataviase Nouvelles
(Agustus 1744 – Juni 1746), disusul kemudian Bataviasche Courant (1817), Bataviasche
Advertentieblad (1827). Pada tahun 1855 di Surakarta terbit surat kabar pertama dalam
bahasa Jawa, bernama Bromartani. Surat kabar berbahasa Melayu yang pertama adalah
Soerat Kabar Bahasa Melajoe, terbit di Surabaya pada tahun 1956. kemudian lahir surat
kabar Soerat Chabar Betawie (1958), Selompret Melajoe (Semarang, 1860), Bintang Timoer
(Surabaya, 1862), Djoeroe Martani (Surakarta 1864), dan Biang Lala (Jakarta, 1867).
Perkembangan pers di masa penjajahan sejak pertengahan abad ke 19 ternyata talah dapat
menggugah cendekiawan Indonesia untuk menyerap budaya pers dan memanfaatkan media
cetak sebagai sarana membangkitkan dan menggerakkan kesadaran bangsa.
Dalam proses selanjutnya, terjadilah pembauran antara pengasuh pers dan
masyarakat yang mulai terorganisasi dalam klub-klub studi, lembaga-lembaga sosial, badan-
badan kebudayaan, bahkan gerakan-gerakan politik. Wartawan menjadi tokoh pergerakan,
atau sebaliknya tokoh pergerakan menerbitkan pers. Sejak lahirnya Budi Utomo pada bulan
mei 1908, pers merupakan sarana komunikasi yang utama untuk menumbuhkan kesadaran
nasioal dan meluaskan kebangkitan bangsa Indonesia. Pada gilirannya proses tersebut
mengukuhkan gerakan mencapai kemerdekaan. Lahirlah surat-surat kabar dan majalah
seperti Benih Merdeka, Sora Ra’jat Merdika, Fikiran Ra’jat, Daulat Ra’jat, Soeara Oemoem,
dan sebagainya, serta organisasi Persatoean Djoernslis Indonesia (1933) adalah tanda-tanda

5
meningkatnya perjuangan kemerdekaan di lingkungan wartawan dan pers nasional sebagai
bagian dari perjuangan nasional secara keseluruhan.
Antara awal kemerdekaan dan sepanjang masa demokrasi terpimpin hingga
menjelang Orde Baru tahun 1966, kehidupan politik, terutama dunia kepartaian, sangat
berpengaruh terhadap perkembangan pers nasional. Pola pertentangan antara kelompok
pemerintah dan kelompok oposisi dalam dunia kepartaian juga ditumbuhkan dalm dunia
pers, sehingga timbul di satu pihak pers pendukung pemerintah (tepatnya prokabinet) dan di
lain pihak pers oposisi. Konfigurasi sikap dan kedudukan pers berubah berbarengan dengan
terjadinya perubahan pada konfigurasi politik kepartaian dan pemerintahan. Bahkan sebagian
pers memilih pola pers bebas seperti di negara liberal, dengan kadar kebebasan dan persepsi
tanggung jawab yang banyak ditentukan oleh wartawan masing-masing. Kondisi pers
nasional tergambarkan di atas berlaku dalam masa perjuangan mempertahan kemerdekaan
antara tahun 1945 – 1949 dan dalam masa pemerintahan parlementer antara tahun 1950 –
1959. ekses-ekses dari kondisi tersebut di atas adalah pemberontakan-pemberontakan
bersenjata, ketidak stabilan sistem pemerintahan, penodaan kebebasan pers, danlain-lain.
Meskipun sistem parlementer telah terkubur sejak keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli
1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945, pola pertentangan partai-partai masih
bertahan. Bahwa pada masa demokrasi terpimpin , wartawan Indonesia umumnya, PWI
(didirikan pada 9 Februari 1946) khususnya, tetap berpegang teguh pada dasar negara
Pancasila, tidak terlepas dari latar belakang dan landasan lhirnya gerakan kemabali UUD
1945. Yaitu, pertentangan dan perlawanan terhadap golongan yang ingin menciptakan
undang-undang dasar berdasarkan asas dan dasar negara yang lain. Tetapi, karena
kepentingan Manipolisasi dan Nasakomisasi yang semakin menonjol, terutama akibat agitasi
dan propaganda golongan PKI yang ingin memperbesar pengaruhnya dalam rangka merebut
kekuasaan, maka ideologi Pancasila semakin terdesak oleh konsep-konsep revolusi.
Orde Baru bangkit sebagai puncak kemenangan atau rezim Demokrasi Terpimpin
yang pada hakikatnya telah dimulai sejak tahun 1964 tatkala kekuatan Pancasila, termasuk
pers, mengadakan perlawanan terbuka terhadap ofensif golongan PKI melalui jalur
Manipolisasi dan Nasokomisasi. Kehancuran G30S/PKI merupakan awal ’pembenahan’
kehidupan nasional, pembinaan di bidang pers dilakukan secara sistematis dan terarah. Pada
masa ini produk perundangan pertama tentang pers adalah UU no 11 tahun 1966.

6
pengembangan pers nasional lebih lanju diwujudkan dengan mengundangkan UU no 21
tahun 1982 sebagai penyempurnaan UU no 11/1966. Penciptaan lembaga Surat Izin Usaha
Penerbitan Pers (SIUUP) mencerminkan usaha nyata ke arah pelaksanaan kebebasan pers
yang dikendalikan oleh pemerintah atau kebebasan pers yang bertanggung jawab pada
pemerintah, suatu bentuk pengadopsian terhadap teori pers otoriter.
Terlepas dari kritik terhadap konsep penerbitan untuk mengatasi represi politik, pada
tahun 1980-an banyak surat kabar yang menyesuaikan kebijakannya pada sistem politik yang
berlaku (Hermawan Sulistyo, dalam Maswadi Rauf 1993). Surat kabar bukan hanya
dipahami sebagai saluran kegiatan politik, namun juga sebagai saluran kegiatan ekonomi,
budaya, soial, dan sebagainya. Ukuran ekonomi tampak dari penerbitan pers yang melihat
hal ini sebagai lapangan bisnis. Karena alihan konsep ini, banyak kalangan pers yang
kemudian menghindari ’wilayah rawan’ dengan membuka segmen pembaca baru. Fenomena
yang paling mencolok ialah menjamurnya jumlah media yang berebut pangsa pasar di
kalangan pembaca wanita. Kelompok Femina, misalnya, juga mengelola Ayahbunda, Gadis,
dan Sarinah Group. Kelompok Gramedia juga terlihat menghindari ’daerah rawan’ dengan
mengelola Nova, Hai, Intisari, Tiara, Bola, Bobo, dan sebagainya.
Kemudian pada tahun 1998, lahirlah gerakan reformasi terhadap rezim Orde Baru.
Keberhasilan gerakan ini, melahirkan peraturan perundangan-peraturan perundangan sebagai
pengganti peraturan perundangan yang menyimpang dari nilai-nilai Pancasila. UU no 40
tahun 1999 merupakan salah satu contoh. Sejak sistem politik Indonesia mengundangkan
UU no 40 tahun 1999, secara normatif, kita telah menganut teori pers tanggungjawab sosial
(kebebasan pers yang bertanggung jawab pada masyarakat/kepentingan umum). Berbeda
dengan UU no 11 tahun 1966 juncto UU no 21 tahun 1982 yang memberi kewenangan pada
pemerintah untuk mengontrol sistem pers, UU no 40 tahun 1999 memberi kewenangan
kontrol kepada masyarakat. Penanda itu terletak antara lain pada pasal 15 dan 17 UU no 40
tahun 1999.
UU Pokok Pers No.40/1999 sebenarnya telah memberi landasan yang kuat bagi
perwujudan kemerdekaan pers di Indonesia. Namun dalam praktiknya hingga kini
kemerdekaan pers belum berlangsung secara substansial karena masih lemahnya
penghargaan insan pers terhadap profesinya.Banyak sekali terjadi pelanggaran etika dan
profesionalisme jurnalistik yang justru kontraproduktif bagi esensi kemerdekaan pers.

7
Maraknya aksi-aksi massa terhadap kantor penerbitan di samping menunjukkan rendahnya
apresiasi masyarakat terhadap kebebasan pers, juga diakibatkan oleh masih rendahnya
penghargaan insan pers terhadap kebebasannya. Dalam menghadapi pers yang nakal, kita
tidak bisa begitu saja berpendapat bahwa ketidakpuasan terhadap pers dapat dilakukan
melalui protes, klarifikasi maupun koreksi terhadap penerbitan pers karena masyarakat dapat
menggunakan haknya untuk menggugat ke pengadilan.

C. Fungsi Pers dan Konsep Public Sphere


Idealisme yang melekat pada pers sebagai lembaga kemasyarakatan ialah
melakukan social control dengan menyatakan pendapatnya secara bebas, tetapi tentu dengan
perasaan tanggungjawab bila pers itu menganut social responsibility. Idealisme yang melekat
pers dijabarkan dalam pelaksanaan fungsinya, selain menyiarkan informasi juga mendidik,
menghibur, dan mempengaruhi. Fungsi-fungsi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Fungsi menyiarkan informasi (to inform).
Menyiarkan informasi merupakan fungsi pers yang utama. Khalayak pembaca
berlangganan atau membeli surat kabar karena memerlukan informasi mengenai berbagai
peristiwa yang terjadi, gagasan atau pikiran orang lain, apa yang dikatakan orang, dan
sebagainya.
2. Fungsi mendidik (to educate).
Sebagai sarana pendidikan massa, surat kabar dan majalah memuat tulisan-tulisan yang
mengandung pengetahuan sehingga khalayak pembaca bertambah pengetahuannya.
Fungsi mendidik ini bisa secara implisit dalam bentuk artikel atau tajuk rencana, maupun
berita.
3. Fungsi menghibur (to entertain).
Hal-hal yang bersifat hiburan sering dimuat oleh surat kabar dan majalah untuk
mengimbangi berita-berita berat (hard news) dan artikel yang berbobot. Isi surat kabar
dan majalah yang bersifat hiburan bisa berbentuk cerita pendek, cerita bersambung, cerita
bergambar, teka-teki silang, pojok, karikatur, tidak jarang juga berita yang mengandung
minat insani (human interest), dan kadang-kadang tajuk rencana.

8
4. Fungsi mempengaruhi (to influence).
Fungsi mempengaruhi menyebabkan pers memegang peranan penting dalam kehidupan
masyarakat. Sudah tentu surat kabar yang ditakuti ini ialah surat kabar yang independent,
yang bebas menyatakan pendapat, bebas melakukan social control. Fungsi mempengaruhi
dari surat kabar, secara implisit terdapat pada tajuk rencana, opini, dan berita.
Mengelola pers dengan fungsi seperti itu memerlukan keberanian dan kebijaksanaan.
Ini disebabkan oleh sifat pekerjaan mengelola pers yang ideal-komersial. Kalau
mengutamakan segi ideal, pers tidak akan hidup lama. Sebaliknya jika mengutamakan segi
komersial, lembaga seperti itu tidak layak lagi diberi predikat pers. Jika pers benar-benar
melaksanakan tugas social control-nya, akan banyak tantangan yang harus dijawab dengan
sikap yang bertanggung jawab, berani, dan bijaksana. Dalam suatu situasi, pers bisa
dihadapkan kepada dua alternatif: mati terhormat karena memegang prinsip atau hidup tidak
terhormat karena tidak mempunyai kepribadian.
Mengenai fungsi pers di Indonesia sudah jelas landasan dan pedomannya di samping
fungsi pers secara universal sebagaimana dipaparkan di atas. Hal tersebut dapat dikaji dalam
bab 2 pasal 2 - 6Undang-undang nomer 40 tahun 1999 yang tersurat sebagai berikut:
Pasal 2
Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-
prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.
Pasal 3
1) Pers Nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan,
hiburan, dan kontrol sosial.
2) Di samping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat berfungsi
sebagai lembaga ekonomi.
Pasal 4
1) Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara,
2) Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau
pelanggaran penyiaran.
3) Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan
mempunyai Hak Tolak.

9
Pasal 5
1) Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan
menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas
praduga tak bersalah.
2) Perswajib melayani Hak Jawab.
3) Pers wajib melayani Hak Koreksi.
Pasal 6
Pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut:
a. memenuhi hak masyrakat untuk mengetahui;
b. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi
hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta meghormati kebhinekaan;
c. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat,
dan benar;
d. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan kepentingan umum;
e. memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Diskursus seputar pers, khususnya dalam kajian seputar masyarakat madani dan
demokratisasi, pada akhirnya akan sulit mengesampingkan keberadaan konsep public sphere,
yang pertama kali diketengahkan oleh salah seorang tokoh pembela proyek pencerahan:
Habermas. Sebagai suatu ideal type, “kawasan publik” atau “ruang publik” merujuk pada
suatu celah di antara negara dan masyarakat madani, di mana setiap individu warga negara
melibatkan diri dalam diskursus tentang berbagai isu permasalahan bersama, dalam kerangka
pencapaian konsensus di antara mereka sendiri ataupun untuk mengontrol negara dan pasar.
Dalam proses tersebut pers menempati posisi sentral, khususnya dalam era peradaban di
mana praktis semua manusia menjadi bagian dari kesepakatan untuk bersatu dalam kesatuan-
kesatuan politik besar, seperti negara. Pers, dalam konteks itu, berfungsi memasok dan
menyebarluaskan informasi yang diperlukan untuk penentuan sikap, dan memfasilitasi
pembentukan opini publik dengan menempatkan dirinya sebagai wadah independen di mana
isu-isu permasalahan umum bisa diperdebatkan.

10
Pers selama era orde baru memang jauh dari fungsinya sebagai pilar penegakan suatu
public sphere. Konsepsi korporatisme otoriter yang diterapkan orde baru, dengan
kecenderungan kuat ke arah pewadahtunggalan dan homogenisasi, telah menempatkan
berbagai kawasan publik dalam posisi subordinat di hadapan penguasa negara, Pers dan
berbagai lembaga pendidikan serta lembaga publik lainnya, diupayakan oleh penguasa agar
sepenuhnya bisa berfungsi sebagai aparatus ideologi negara, berpasangan dengan sejumlah
aparatus represif negara, seperti militer dan kelompok-kelompokpolitical thugs (preman-
preman politik) yang dibina penguasa.
Setelah orde baru lengser, pers memang tampil berbeda. Sudah jelas jauh lebih berani
bersikap kritis terhadap penguasa. Pers menjadi lebih agresif dan kreatif dalam memberi nilai
tambah suatu berita, dan juga mengeksplorasi isu-isu permasalahan untuk diolah menjadi
komoditas informasi.
Tetapi justru karena itu pula semakin sering kita dengar keluhan dari publik temntang
adanya media yang membuat pemberitaan sepihak, tidak objektif, mengingkari kaidah cover
both sides, dan semacamnya, Toh ada pandangan yang menilai bahwa maslah sebenarnya
bukan hal-hal semacam itu.
Dalam sebuah public sphere, yang lebih dipentingakn adalah “objektivitas”
intermedia, bukan hanya “obyektivitas” intra media. Sulit untuk mengharapkan agar setiap
media membuat pemberitaan yang “objektif”, misalnya seputar konfliketnis di Tanah Air.
Sebab, apakah yang “objektif” tentang konflik etnis semacam itu? Bukankah realitas konflik
semacam itu sebenarnya merupakan sebuah kontruksi sosial, produk suatu pertarungan
wacana yang melibatkan madia serta berbagai unsur publik?
Artinya, realitas “objektif” tentang suatu peristiwa, konflik antaretnis, misalnya,
adalah “penjumlahan” atau agregasi dari berbagai realitas simbolik yang ditamplkan dan
dipertarungkan sejumlah media, masing-masing dengan versi dan pandangannya sendiri.
Bila anda ingin mengetahui realitas yang “objektif mengenai konflik etnis di Kalimantan”
~bila realita “objektif” tentang konflik itu memang ada~ maka tontonlah semua televisi,
bacalah media-media cetak, dan lain-lainnya. Justru melalui pertarungan wacana antarmedia
yang beragam itulah diharapkan bisa berlangsung diskursus publik, untuk mencapai suatu
konsensus seputar realitas konflik yang terjadi. Itu pula yang terjadi di warung kopi ataupun

11
digambarkan dalam konsepsi public sphere: pertemuan dan pertarungan antara berbagai versi
definisi realitas permasalahan.
Namun public sphere lebih dari sekedar warung kopi~tempat orang-orang terbiasa
bercanda, berbincang, berdebat kusir, ataupun menebar gosip~, sebab, sekurangnya ada
sejumlah kualitas yang hares dimiliki oleh sebuah public sphere agar tidak terjadi distorsi
sistematik terhadap proses-proses pencapaian konsensus yang dilakukan. Pertama, selain
kawasan tersebut hares cukup terlindungi dari intervensi negara ataupun pasar, dan hares
adapula distribusi kuasa yang sama antarindividu yang terlibat di dalamnya, maka akses ke
kawasan itu pun hares terbuka lebar bagi setiap warga, dan tidak ada pengistemewaan yang
diberikan kepada pihak-pihak tertentu. Kedua, adanya kesepakatanuntuk mematuhi aturan-
aturan penyelenggaraan sebuah diskursus rasional dimana setiap klaim kebenaran dapat diuji
kebenaran, ketepatan, dan kelayakannya melalui kaidah kaidah-kaidah yang rasional,
terbebas dari distorsi permainan politik dan ekonomi, primodialisme, etnosentrisme, dan
berbagai fanatisme sempit. Oleh karena itu, pengertian kemandirian pers lebih berkaitan
dengan kemandirian dari pengaruh serta dominasi kelompok-kelompok yang ada dalam
publik, kepentingan negara, serta tekanan pasar. Di luar itu, pers diharapkan berpihak pada
norma-norma penyelengaraan public sphere yang menjamin berlangsungnya diskursus
rasional, guna mencapai konsensus-konsensus publik yang benar-benar legitim.
Namun media adalah realitas dalam dirinya sendiri. Kemampuan untuk menjadi
pemain dalam industri media, contohnya, jelas tidak secara berimbang dimiliki oleh
publik. Pemain industri media kita tampaknya hanya akan terdiri dari kaum yang itu-itu
saja. Mediapun memiliki fungsi ideologis, dan melakukan manuver politik sesuai dengan
fungsi ideologinya. Ini akan mencakup masalah siapa, kepentingan apa, dan perspektif mana
yang akan memperoleh akses ke media mereka. Di luar fungsi ideologis yang dijalankan,
bagaimanpun juga, media pertama-tama perlu terlebih dahulu di lihat sebagai institusi
ekonomi, dan karenanya manuver politik yang dijalankan melalui politik pemberitaannya
juga dikemas sebagai komoditi informasi yang berusaha menyiasati tuntutan serta peluang
pasar.
Hal lain yang penting diamati dalam pemberitaan pers saat ini, terutama sekali adalah
masalah sejauh mana mereka telah berfungsi menciptakan dirinya sebagai bagian dari public
sphere. Ini bisa dikaji melalui pengamatan tentang sejauh mana kemampuan untuk memiliki

12
media semakin terpusat di kaum-kaum itu-itu saja, sejauh apa media di tangan mereka itu
telah bersedia memberikan akses berimbang ke setiap unsur publik terkait, tanpa pemberian
previlege untuk kelompok tertentu.

DAFTAR PUSTAKA
1. Agus Sudibyo, 2001, Politik Media dan Pertarungan Wacana, LkiS, Yogyakarta.
2. Nurudin, 2004, Sistem Komunikasi Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta
3. Harris Sumadiria, 2005, Menulis Artikel dan Tajuk Rencana, Simbiosa Rekatama
Media, Bandung.
4. Tribuana Said, 1988, Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila, CV
Haji Masagung, Jakarta.
5. Maswadi Rauf, 1993, Indonesia dan Komunikasi Politik, Gramedia, Jakarta.
6. Undang-undang nomer 40 tahun 1999.

13

Anda mungkin juga menyukai