Anda di halaman 1dari 10

MIGRASI AUSTRONESIA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP

PERKEMBANGAN BUDAYA DI KEPULAUAN INDONESIA


Sofwan Noerwidi
Balai Arkeologi Yogyakarta. Jl. Gedong Kuning 174, Yogyakarta 55171
noerwidi@arkeologijawa.com

Abstrak. Pada saat masyarakat penutur bahasa Austronesia datang di Kepulauan Indonesia, kawasan
ini bukanlah suatu daerah kosong tidak berpenghuni. Beberapa pulau di Kepulauan Indonesia telah
dihuni oleh populasi lain. Akibat adanya kontak antar-komunitas tersebut mengakibatkan proses
adaptasi, inovasi, dan interaksi budaya yang khas sebagaimana tercermin pada perkembangan
teknologi alat kerang, teknologi pelayaran dan domestikasi hewan yang dikuasai masyarakat penutur
bahasa Austronesia. Tahapan proses migrasi masyarakat penutur bahasa Austronesia di Kepulauan
Indonesia dapat dirangkum sebagai berikut: terjadi intrusi budaya baru di Kepulauan Indonesia yang
dibawa oleh Austronesia. Akibat dari peristiwa tersebut, terjadi perkembangan budaya Neolitik di
Kepulauan Indonesia, disebabkan oleh adaptasi, evolusi dan interaksi antara masyarakat pendatang
Austronesia dengan komunitas Non-Austronesia yang telah menghuni kawasan ini sejak masa
sebelumnya. Interaksi antar-budaya yang intensif menyebabkan integrasi budaya Austronesia dan
Non-Austronesia di Kepulauan Indonesia.
Kata Kunci: Migrasi-Kolonisasi, Austronesia, Kepulauan Indonesia, Adaptasi budaya.

Abstract. Austronesian Migration and Its Implication on Cultural Development in Indonesian


Archipelago. When Austronesian language speakers came to Indonesian Archipelago, this region
is not an empty place but had already inhabited by other population. The unique processes of
adaptation, innovation, and culture interaction of Austronesian people in this new region are
reflected on the development of shell tool technology, navigation technology, plant cultivation and
animal domestication. In summary, the stages of Austronesian migration in Indonesian Archipelago
are as follows: Intrusion of a new culture that was brought to the Indonesian Archipelago by the
Austronesian people, which caused innovation of Neolithic culture in Indonesian Archipelago due to
cultural adaptation, evolution, and interaction between the Austronesian speakers (the newcomers)
with the indigenous Non-Austronesian communities. Intensive inter-cultural interactions have
created a cultural integration between the Austronesians and Non-Austronesians in the Indonesian
Archipelago.
Keywords: Migration, Austronesian people, Indonesian archipelago, Cultural adaptation.

1. Pendahuluan bahwa persebaran rumpun bahasa Austronesia


Kajian terhadap Austronesia sebagai yang luas disebabkan oleh proses ekspansi
suatu kesatuan budaya telah berlangsung sejak masyarakat penutur rumpun bahasa tersebut ke
beberapa dekade yang lalu. Namun, signifikansi luar dari daerah asalnya akibat tekanan demografi
manfaat kajiannya belum banyak disadari oleh (Tanudirjo 2006: 87). Hendrik Kern, seorang
para ilmuwan di Indonesia. Sangat mengagumkan ahli linguistik mencoba mencari lokasi asal
melihat fenomena persebaran masyarakat penutur usul Austronesia dengan menggunakan metode
rumpun bahasa Austronesia yang menyebar pemilihan kosa kata sebagai bentuk bahasa
meliputi lebih dari separuh belahan dunia, Austronesia purba yang maknanya bersangkutan
sehingga banyak sarjana asing yang berpendapat dengan unsur-unsur flora, fauna dan lingkungan
Naskah diterima tanggal 3 November 2013 dan disetujui tanggal 12 Mei 2014.

1
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 32 No. 1, Juni 2014 : 1-76

geografis. Hasil kajian tersebut membawanya penting dalam persebaran masyarakat penutur
pada suatu kesimpulan bahwa tanah asal nenek bahasa Austronesia pada masa prasejarah
moyang rumpun bahasa Austronesia terletak di (Simanjuntak 2006: 215). Situs-situs yang juga
suatu pantai daerah tropis (Anceaux 1991: 74- mengindikasikan awal kolonisasi masyarakat
75; Blust 1984/1985: 47-49). penutur bahasa Austronesia di Kepulauan
Saat ini berkembang beberapa teori asal Indonesia antara lain adalah: Leang Tuwo
usul Austronesia yang diajukan oleh para ahli Mane’e (3.500 BP), Uattamdi (3.200 BP) dan
dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Kendenglembu, di Jawa Timur (Bellwood 2000:
Berdasarkan beberapa teori yang berkembang 328-338). Namun pertanggalan terakhir yang
saat ini, pada intinya terdapat tiga kubu model dihasilkan oleh salah satu situs di Kendenglembu
rekonstruksi asal usul masyarakat penutur bahasa hanya menghasilkan petanggalan 1.300 BP,
Austronesia, yaitu; (1) Austronesia berasal padahal gerabah slip merah dari situs tersebut
dari Pulau Taiwan, (2) Austronesia berasal dari bentuknya sederhana dan kasar, kondisinya
kawasan Asia Tenggara Kepulauan dan (3) sangat aus, serta termasuk dalam kategori
Austronesia berasal dari kawasan Melanesia tipologi yang cukup tua (Noerwidi 2009: 31).
(Chambers 2006: 300 dan Pietrusewsky 2006: Pada saat masyarakat penutur bahasa
321-322). Di antara beberapa teori tersebut, salah Austronesia datang di Kepulauan Indonesia,
satunya yang paling kuat dan mendapat banyak kawasan ini bukanlah suatu daerah kosong
dukungan dari berbagai sudut pandang keilmuan yang tidak berpenghuni. Pada beberapa pulau
adalah model yang diajukan oleh Bellwood. di Kepulauan Indonesia telah dihuni oleh
Beliau menyarankan bahwa Austronesia berasal komunitas Non-Austronesia yang telah eksis
dari Taiwan dan Pantai Cina bagian selatan. sejak masa sebelumnya. Pada awalnya, mungkin
Kawasan tersebut oleh berberapa ahli linguistik masyarakat neolitik Austronesia tidak mudah
dianggap sebagai tempat asal bahasa proto- untuk menembus koridor Kepulauan Indonesia
Austronesia. Disamping itu, secara arkeologis yang di beberapa tempat telah padat dihuni
daerah tersebut menghasilkan bukti pola oleh manusia, seperti misalnya Daratan Papua
subsistensi bercocok tanam dan aspek budaya lokasi berkembangnya pertanian non-biji-bijian
Austronesia lainnya yang paling tua di kawasan secara mandiri (Haberle et al. 2012: 129).
ini berupa beliung persegi dan gerabah, seperti Setidaknya sejak akhir Pleistosen sekitar 60.000
yang ditemukan di Situs Hemudu di Teluk BP Kepulauan Indonesia ini telah dihuni oleh
Hangzou, Propinsi Zhejiang yang berumur 7000 manusia modern. Bukti penghunian gua secara
tahun (Bellwood 1995: 97-98). aktual diperoleh dari Song Terus (Gunung Sewu)
Berdasarkan hasil penelitian terbaru dapat dengan jejak penggunaan api dan aktivitas
diketahui bahwa awal kolonisasi Austronesia di perbengkelan alat batu (Sémah et al. 2006: 21).
Kepulauan Indonesia adalah sekitar 3.600iBP, Bahkan dominasi populasi pre-neolitik (Gambar
yang diperoleh dari pertanggalan Situs 1) penghuni gua-gua di Jawa diindikasikan
Minanga Sipakko di Sulawesi Barat. Hasil baru berakhir pada awal Masehi sekitar 2.000
penelitian ini juga mengindikasikan bahwa BP (Widianto 2006: 182). Beberapa bukti
Sulawesi merupakan lokasi koloni tertua, yang paleoantropologis yang mengindikasikan
kemudian secara gradual semakin lebih muda padatnya penghunian Austronesia di Kepulauan
ke barat menuju Sumatera dan Jawa, ke selatan Indonesia yang tertua mungkin adalah Tengkorak
menuju Kepulauan Sunda Kecil dan ke timur Wajak (30 Kya), kemudian beberapa rangka
menuju Maluku dan Pasifik. Hasil penelitian dari Gunung Sewu (awal Holosen), rangka-
ini menempatkan Sulawesi sebagai lokasi rangka dari Bukit Sampah Kerang Hoabinhian

2
Sofwan Noerwidi, Migrasi Austronesia dan Implikasinya Terhadap Perkembangan Budaya di Kepulauan Indonesia.

Gambar 1. Peta Distribusi Situs-situs Pre-Neolitik di Asia Tenggara (Noerwidi 2012).

di Sumatera (awal Holosen), rangka-rangka dari adalah mobilitas penduduk yang melintasi batas
penguburan dalam gua-gua di Kalimantan dan wilayah tertentu menuju wilayah lain dalam
Sulawesi, serta Liang-Liang di Flores dengan sisa periode waktu tertentu (Mantra 2000: 224-
Homo floresiensis (35-18 Kya) yang fenomenal 225). Migrasi diikuti dengan proses penghunian
(Jacob 1967; Chazine dan Ferrié 2008; Morwood suatu wilayah oleh suatu komunitas tertentu.
et al. 2004; dan Detroit 2006). Proses penghunian yang dimaksud meliputi:
Terjadinya kontak antara budaya penghunian, perkembangan, dan kejenuhan
pendatang Austronesia dengan budaya setempat, penduduk. Jika suatu komunitas sudah
sangat besar berpeluang terjadi pada kondisi yang mengalami kejenuhan penduduk, maka terdapat
demikian ini. Dalam tulisan ini akan dibahas kemungkinan sebagian dari komunitas tersebut
akibat dari interaksi antar-budaya tersebut yang akan memisahkan diri dari komunitas intinya
tercermin pada teknologi alat kerang, teknologi dan kembali melakukan proses migrasi. Oleh
pelayaran dan domestikasi hewan. Selain interaksi karena itu, fenomena migrasi berhubungan erat
antar-budaya, juga akan dibahas implikasi dari dengan proses penghunian.
proses migrasi yang memunculkan ideologi cikal P ad a t ah ap p en g h u n i an dan
bakal pada masyarakat Austronesia. Ideologi perkembangan suatu populasi di wilayah yang
tersebut masih dapat ditelusuri pada catatan telah berpenghuni, maka juga terjadi kontak
etnografi yang masih ada hingga saat ini, baik (interaksi) antar-budaya. Tahapan interaksi
pada masyarakat Austronesia di Kepulauan antar-budaya untuk kasus kolonisasi Austronesia
Indonesia maupun masyarakat Austronesia pada di Kepulauan Indonesia dapat dirangkum
umumnya di seluruh kawasan koloni barunya. sebagai berikut: Intrusi budaya neolitik datang
Tulisan ini akan mencoba membahas tahapan di Kepulauan Indonesia dibawa oleh masyarakat
proses budaya, akibat dari migrasi-Austronesia penutur bahasa Austronesia. Akibat dari
di Kepulauan Indonesia. peristiwa tersebut, terjadi perkembangan
budaya Neolitik di Kepulauan Indonesia,
2. Interaksi Austronesia dengan Non- disebabkan oleh adaptasi, evolusi dan interaksi
Austronesia antara masyarakat pendatang Austronesia
Dalam ilmu demografi, migrasi merupakan dengan komunitas Non-Austronesia yang telah
salah satu komponen yang dikaji selain kelahiran menghuni kawasan ini sejak masa sebelumnya.
(fertilitas) dan kematian (mortalitas). Migrasi Evolusi dan interaksi antar budaya yang intensif

3
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 32 No. 1, Juni 2014 : 1-76

menyebabkan integrasi budaya Austronesia dan


Non-Austronesia di Kepulauan Indonesia.
Menurut Roger Green (dalam Spriggs
1989: 588), sebelum kedatangan masyarakat
penutur bahasa Austronesia dengan budaya
neolitiknya, di kawasan Indo-Pasifik secara
parsial telah berkembang teknologi alat kerang
dan alat tulang, teknologi pelayaran dan navigasi
antar pulau, serta budidaya tanaman (khususnya
umbi-umbian) dan translokasi hewan. Pada
saat masyarakat Austronesia datang di kawasan Foto 1. Beliung Kerang dari Gua Golo dan Buwawansi,
Maluku Utara. (Sumber: Bellwood 2007).
ini, komunitas Non-Austronesia juga telah
memiliki pengetahuan yang kurang lebih sama Maluku Utara (Golo 14.000 BP), Melanesia barat
bahkan lebih bersifat adaptif dalam beberapa (Pamwak 10.000 BP) dan Philipina (Duyong
penguasaan teknologi di atas. Dalam bagian ini 4500 BP) (Asato 1991: 288). Namun, setelah
akan dibicarakan akibat dari interaksi antara kedatangan Austronesia, wilayah persebarannya
budaya Austronesia dengan Non-Austronesia meluas sampai ke Jepang (Okinawa 2500 BP),
yang tercermin pada beberapa aspek budaya Polinesia (Tongatapu dan Niuatotapu 3000
tersebut. BP) dan Micronesia (Guam 2000 BP) (Asato
1991: 289). Persebaran beliung kerang yang
2.1 Teknologi Alat Kerang asalnya dari kepulauan Maluku Utara, akhirnya
Sebelum kedatangan masyarakat penutur juga ditemukan sampai di Kepulauan Ryukyu
bahasa Austronesia, di Kepulauan Indonesia (Jepang) di utara, dan di hampir seluruh kawasan
sudah berkembang berbagai variasi teknologi Kepulauan Pasifik.
alat kerang. Perkembangan teknologi tersebut Nampaknya, fenomena persebaran
didukung oleh sumberdaya kerang yang beliung kerang ke luar dari daerah asalnya mirip
sangat berlimpah di kawasan Kepulauan dengan kasus persebaran obsidian Talasea dari
Indonesia. Teknologi kerang merupakan salah Kepulauan Melanesia Barat. Ditemukannya
satu bentuk adaptasi budaya populasi Non- obsidian dari Talasea (New Britain) pada sekitar
Austronesia di Kepulauan Indonesia. Pada 1.000 SM di Situs Bukit Tengkorak (Sabah)
saat kedatangan Austronesia di kepulauan mengindikasikan adanya jaringan pelayaran dan
ini, mereka juga melakukan adaptasi dan perdagangan sejauh 6.500 km (Summerhayes
inovasi budaya. Kemungkinan masyarakat 2009: 115). Di Mikronesia Barat, penghunian
Austronesia juga mempelajari teknologi alat pertama kali di Mariana ada sejak 3.500 BP yang
kerang dari komunitas Non-Austronesia yang ditandai dengan berbagai macam tembikar dan
telah mengenal teknologi alat kerang pada artefak kerang, termasuk beliung dari Tridacna
masa sebelumnya. Selain itu, mereka juga sp. (Carson 2013: 25). Kepulauan Mariana
mendistribusikannya ke wilayah yang lebih yang minim akan sumber daya kerang Tridacna
luas dari wilayah asal persebarannya. mungkin mendatangkan bahan baku atau
Pada awalnya persebaran beliung artefak tersebut dari Melanesia Barat, setelah
kerang (Foto 1) pada masa pra-neoitik sebelum semakin berkembangnya pelayaran antar-pulau
kedatangan masyarakat penutur bahasa di kawasan Pasifik pada masa Lapita, setelah
Austronesia mencakup wilayah yang sangat kedatangan masyarakat Austronesia (3.500 BP).
terbatas, hanya meliputi kawasan kepulauan Berdasarkan data tersebut diperkirakan bahwa

4
Sofwan Noerwidi, Migrasi Austronesia dan Implikasinya Terhadap Perkembangan Budaya di Kepulauan Indonesia.

masyarakat Austronesia yang bermigrasi untuk Berdasarkan faktor kondisi lingkungan,


mendapatkan sumberdaya di daerah tujuan, Kepulauan Indonesia memiliki beberapa iklim
kemudian juga mengirimkan sumberdaya yang bervariasi. Di beberapa bagian Pulau
yang didapatkan kepada kerabat komunitasnya Sumatera, Kalimantan dan Papua serta Jawa
di tanah asal mereka. Pada kasus migrasi bagian barat dan tengah memiliki iklim tropis
masyarakat Austronesia di Kepulauan Indonesia, dengan hutan hujan tropis yang lembab dan
kemungkinan besar juga terjadi migrasi balik ke basah. Namun Jawa bagian timur, Kepulauan
daerah asal. Hal tersebut berhubungan dengan Sunda Kecil dan Kepulauan Maluku memiliki
tujuan migrasi yaitu hasrat untuk mencari daerah iklim yang lebih kering karena pengaruh angin
yang kaya akan sumber barang berharga dan muson dari Benua Australia. Pada beberapa
membangun jaringan perdagangan. Dalam hal wilayah di Kepulauan Indonesia Timur, seperti
ini migrasi balik yang terjadi sering kali dalam Maluku Utara memiliki curah hujan rata-rata
bentuk jaringan pelayaran dan perdagangan. mencapai 1.000 mm per tahun, dengan jumlah
hari hujan antara 153-266 hari per tahun, dan
2.2 Budidaya Tanaman suhu udara rata-rata 26,3º C, dengan suhu udara
Banyak ahli yang mengaitkan persebaran maksimum 30,1º C dan suhu minimum 23,5º C,
budidaya pertanian di Asia Tenggara dan Pasifik kondisi tersebut memang ideal bagi pertanian
dengan ekspansi masyarakat penutur bahasa biji-bijian. Meskipun demikian, kecepatan angin
Austronesia. Walaupun demikian, sesungguhnya yang tinggi dan intensitas penyinaran yang
domestikasi tanaman telah berkembang secara tinggi, membuat kawasan ini menjadi lebih
mandiri di daratan Papua sejak masa yang cukup kering, sedangkan iklim basah dengan curah
tua. Hasil penelitian Golson (1990) di Situs hujan yang melebihi penguapan tidak terjadi di
Kuk (dataran tinggi bagian barat Nugini), telah sini. Hal tersebut menyebabkan kegagalan dalam
menemukan indikasi perusakan vegetasi yang proses penyerbukan dan pembuahan (Wasita
diakibatkan oleh aktivitas di lahan basah. Hal 1999: 61-69). Berdasarkan bukti tersebut dapat
tersebut diasosiasikan adanya aktivitas pertanian ditarik kesimpulan bahwa kawasan tersebut
sejak 9000 BP dengan memanfaatkan rawa. kurang cocok untuk mengembangkan pertanian
Bahkan sistem drainase telah dikenal di situs ini biji-bijian.
sejak 4000 BP, untuk mengendalikan ketinggian Berdasarkan data polen dari Teluk Kau di
air rawa, mereka membuat parit dengan panjang Pulau Halmahera, meningkatnya polen palma
500 m, dalam 3 m, dan lebar 4,5 m. Kemudian telah terjadi di kawasan Maluku Utara pada
pada 3000 BP terdapat indikasi pertanian intensif 6.000 BP. Peningkatan tersebut merupakan
dengan pembukaan lahan. Tanaman yang indikasi adanya pertanian jenis tanaman palma
didomestikasi di situs tersebut adalah ketela di Kepulauan Maluku Utara. Kemungkinan
rambat. Sebelum kedatangan bangsa Austronesia, besar, pertanian tanaman palma menyebar ke
di Kepulauan Philipina, Indonesia dan Melanesia Maluku Utara dari kawasan Nugini, walaupun
telah muncul domestikasi tanaman tropis, tidak dalam bentuk yang sepenuhnya sama
seperti: keladi atau talas (Colocasia esculenta), (Bellwood 2000: 342). Berdasarkan bukti
ubi (Discorea sp), birah (Alocasia microrhiza), etnografi, sampai saat ini sagu yang merupakan
sukun (Artocarpus altilis), tebu (Saccarum salah satu jenis tanaman palma, masih
officinarium), sagu (Metroxylon sp), kelapa merupakan makanan pokok yang dikonsumsi
(Cocos nucifera) dan beberapa spesies pisang oleh sejumlah kelompok etnis di Maluku Utara,
(Musa sapientum dan Musa traglogytarum) selain padi gogo dan umbi-umbian (Soegondho
(Bellwood 1975: 136-140). 2000: 262-264).

5
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 32 No. 1, Juni 2014 : 1-76

Pengetahuan mengenai domestikasi bagian timur dari Philipina mengadopsi sistem


berbagai jenis tanaman yang dimiliki oleh pertanian yang dimiliki oleh orang Non-
komunitas Non-Austronesia sebelum kedatangan Austronesia yang telah mendiami daerah ini
masyarakat Austronesia, berimplikasi pada sejak masa sebelumnya.
interaksi antar-budaya yang terjadi akibat
datangnya budaya baru di kawasan yang telah 2.3 Domestikasi Hewan
memiliki latar belakang budaya. Kenyataannya Menurut Bulmer, berdasarkan temuan
di kawasan Pasifik, masyarakat penutur bahasa dari sebuah situs ceruk peneduh di dataran
Austronesia mengganti pertanian biji-bijian tinggi Nugini, kehadiran babi di Nugini sudah
seperti yang dibawa dari daerah subtropis dengan sejak 10.000 BP. Namun, pertanggalan yang
tanaman umbi-umbian yang banyak terdapat di dihasilkan diragukan validitasnya, berdasarkan
kawasan Tropis. Padi (Oryza sativa) di kawasan penelitian terbaru oleh Gorecki di pantai utara
timur Indonesia hanya sampai di Maluku Nugini, dapat diketahui bahwa keberadaan babi
(Bellwood 2000: 358). Berdasarkan pengamatan di kawasan tersebut hanya 4.000 SM (Spriggs
etnografis oleh Teljeur (1980: 11), sampai saat 1995: 115). Babi bukan merupakan hewan asli
ini masyarakat Maluku Utara mengembangkan kawasan ini, melainkan spesies dari kawasan
pertanian campuran antara padi gogo, umbi- oriental. Kemungkinan besar babi didatangkan
umbian, buah-buahan, dan sagu. Di Kepulauan oleh manusia dari Kepulauan Asia Tenggara
Pasifik, pertanian masyarakat Austronesia lebih yang ada di dekatnya. Spesies babi yang
didominasi tanaman buah-buahan dan umbi- didomestikasi di Nugini (Foto 2) merupakan
umbian tropis, tanpa mengenal pertanian biji- keturunan dari hasil proses persilangan dua
bijian (Kirch 1979: 286-307). individu yang secara genetis tidak identik
Berdasarkan rekonstruksi bukti linguistik, (hibridisasi) antara spesies dari oriental dan
kata pajei (padi), beRas (beras) dan lesuŋ spesies endemik kepulauan Indonesia yang liar,
(lesung) ditemukan di Taiwan, Philipina, serta seperti yang terdapat di Kepulauan Sulawesi,
Indonesia namun tidak ditemukan di Pasifik. Roti, Flores, dan Halmahera. Keberadaan
Beberapa kosa kata yang menunjukkan umbi- domestikasi babi di Kepulauan Pasifik
umbian seperti tales (talas), quBi (ubi) dan dijadikan indikasi bagi kedatangan Austronesia
BiRaq (birah) yang dibudidayakan di Kepulauan di kawasan tersebut.
Pasifik tidak ditemukan di Taiwan, melainkan Selain dari bukti arkeologis, bukti
hanya ditemukan di Indonesia dan di beberapa mengenai domestikasi hewan dapat diketahui
bagian Philipina. Selain itu, kata nieur (nyiur) dari rekonstruksi kosa kata dalam bahasa proto-
ditemukan di seluruh Asia Tenggara Kepulauan
dan Kepulauan Pasifik kecuali Taiwan
(Blust 1984/1985: 220). Hal tersebut jelas
membuktikan bahwa, walaupun pertanian padi
merupakan sistem pertanian yang dikembangkan
nenek moyang Austronesia di Asia Tenggara
Daratan dan Taiwan, tetapi mereka menanam
beberapa jenis tanaman umbi-umbian sejak
mereka mendiami Kepulauan Philipina bagian
selatan, Indonesia bagian timur dan kepulauan
Foto 2. Seorang Perempuan dari Lembah Was, Dataran
Pasifik. Ada kemungkinan bahwa orang Tinggi Nugini, sedang memberi makan ternak
Austronesia yang datang di Kepulauan Indonesia babi. (Sumber: Sillitoe 2007).

6
Sofwan Noerwidi, Migrasi Austronesia dan Implikasinya Terhadap Perkembangan Budaya di Kepulauan Indonesia.

Austronesia. Kata beRek (babi) dan Wasu (anjing) hewan antar pulau sejak masa yang cukup tua,
ditemukan sejak dari Taiwan sampai ke seluruh sebelum kedatangan masyarakat penutur bahasa
kawasan persebaran masyarakat penutur bahasa Austronesia di kawasan mereka. Di Pasifik,
Austronesia, sedangkan kata laluy (ayam) juga masyarakat Austronesia selain memelihara
ditemukan selain di Taiwan (Blust 1984: 220). anjing, babi dan ayam, juga mendistribusikan
Groves (1995) berpendapat bahwa domestikasi walabi dan kus-kus dalam pertukaran atau barter
babi di Kepulauan Indonesia berasal dari spesies antar pulau. Pelayaran dan pertukaran tersebut
Sus scrofa vittatus yang hidup liar di kawasan mengindikasikan bahwa pelayaran antar-pulau
barat Indonesia. Karakteristik yang sama juga telah berkembang sebelum kedatangan bangsa
ditemukan pada babi dari Andaman, Flores, Austronesia di kawasan Maluku Utara dan
Admiralty serta Vanuatu. Babi jenis tersebut semakin berkembang setelah kedatangan orang
bukan berasal dari jenis yang liar di Cina atau Austronesia.
Asia Tenggara daratan. Hal ini membuktikan
bahwa, walaupun bangsa Austronesia datang 2.4 Pelayaran Antar Pulau
beserta budaya yang dibawa dari Asia Tenggara Berdasarkan bukti linguistik, telah
Daratan, tetapi mereka juga beradaptasi dengan direkonstruksi kosa kata mengenai aspek-aspek
kondisi lingkungan barunya. Babi yang mereka teknologi pelayaran yang tersebar di kawasan
bawa dari Asia Tenggara Daratan kemungkinan Pasifik. Rekonstruksi kosa kata tersebut
besar tidak dapat beradaptasi dengan baik di menunjuk pada bahasa Proto Melayu Polynesia
daerah tropis, sehingga mereka mengembangkan yang berasal dari Philipina bagian selatan dan
budaya domestikasi dengan jenis babi lokal Sulawesi bagian utara. Kata qabaŋ (kano)
yang berasal dari Kepulauan Indonesia. tersebar mulai dari Taiwan, Philipina serta
Di Kepulauan Maluku Utara, Indonesia, tetapi kata baŋkaq/waŋkaŋ (perahu),
pemindahan lepas liar antar-pulau fauna (sc)a-R-man, (cadik), be-R-say (dayung),
marsupial, yaitu kuskus (Phalanger ornatus) lane(nN) (jentera), layaR (layar), limas (timba),
dan wallabi (Dorcopsis muelleri mysoliae) qulin (kemudi), dan teken (tiang) hanya
telah dikenal oleh komunitas Non-Austronesia ditemukan di kawasan barat dan timur tidak di
sebelum kedatangan masyarakat Austronesia. Taiwan (Spriggs 2000: 220). Kosa kata tersebut
Berdasarkan kajian lingustik, kosa kata kandoRa mengindikasikan perkembangan aspek-aspek
(kus-kus) dan mansar (bandikoot) ditemukan teknologi navigasi ke arah yang lebih modern
pada kelompok bahasa Proto Melayu-Polinesia dari pada yang ditemukan di Taiwan.
Tengah-Timur (PCEMP) yang dituturkan di Ada kemungkinan bahwa pengetahuan
Kepulauan Indonesia bagian timur. Namun orang Austronesia mengenai teknologi pelayaran
bentuk kosa kata tersebut tidak ditemukan semakin berkembang di daerah Asia Tenggara
pada kelompok bahasa Proto Melayu-Polinesia Kepulauan. Hal ini dapat diketahui dengan
(PMP) yang dituturkan di Philipina dari mengamati persamaan bentuk perahu yang
masa sebelumnya (Tryon 1995: 3). Hal ini digunakan di Kepulauan Solomon dan Botel
mengindikasikan bahwa budaya masyarakat Tobago (bernama Yamis) dengan yang terdapat di
Austronesia di Kepulauan Maluku Utara Maluku (bernama Orembai). Hal ini memperkuat
memiliki peranan penting untuk menjelaskan dugaan bahwa Kepulauan Maluku merupakan
strategi adaptasi mereka di kawasan tropis. daerah yang penting bagi perkembangan
Keseluruhan data tersebut di atas teknologi navigasi dalam hubungannya
membuktikan bahwa komunitas Non- dengan persebaran masyarakat penutur bahasa
Austronesia telah mengenal translokasi Austronesia.

7
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 32 No. 1, Juni 2014 : 1-76

3. Integrasi Budaya Austronesia dan Non- 4. Penutup


Austronesia Pada saat masyarakat penutur bahasa
Salah satu kawasan di Kepulauan Austronesia datang di Kepulauan Indonesia,
Indonesia yang dapat mencerminkan integrasi kawasan ini bukanlah suatu daerah kosong tidak
budaya Austronesia dan Non-Austronesia berpenghuni. Beberapa pulau di Kepulauan
adalah Kepulauan Maluku Utara. Di kepulauan Indonesia telah dihuni oleh komunitas Non-
tersebut hidup berdampingan secara damai Austronesia. Pada kondisi seperti ini, terjadinya
masyarakat Austronesia dan Papua. Berdasarkan kontak antar-budaya merupakan peluang yang
data linguistik, bahasa Austronesia digunakan sangat besar. Akibat dari proses adaptasi, inovasi,
di Maluku Utara bagian selatan, sedangkan dan interaksi antar-budaya di kawasan koloni
bahasa Non-Austronesia yang merupakan barunya tersebut tercermin pada perkembangan
rumpun Papua digunakan di bagian Utara. teknologi alat kerang, teknologi pelayaran dan
Di beberapa pulau yang termasuk teritorial domestikasi hewan yang dimiliki masyarakat
Kerajaan Ternate, bahasa Melayu digunakan penutur bahasa Austronesia. Selain interaksi
sebagai lingua franca oleh masyarakat setempat antar-budaya, proses migrasi-kolonisasi
yang berbahasa ibu bahasa Non-Austronesia. Austronesia juga memunculkan ideologi cikal
Akibat penggunaan bahasa perantara, maka bakal pada struktur sosial budaya mereka. Hal
terbentuk bahasa Melayu Pasar sebagai bahasa tersebut masih dapat ditelusuri pada catatan
pergaulan yang berlaku di seluruh Maluku etnografi yang masih ada hingga saat ini, baik
Utara (Martodirdjo 2000: 70). pada masyarakat penutur bahasa Austronesia di
Di Kepulauan Maluku Utara terdapat Kepulauan Indonesia maupun komunitas lainnya
empat institusi kerajaan yang disatukan di Kepulauan Indo-Pasifik.
dalam konsep Moluku Kie Raha yang Tahapan interaksi antar-budaya untuk
terdiri dari Ternate, Tidore, Bacan dan kasus migrasi-kolonisasi masyarakat penutur
Jailolo. Keempatnya memiliki independensi bahasa Austronesia di Kepulauan Indonesia dapat
masing-masing, walaupun dalam perjalanan dirangkum sebagai berikut: Intrusi budaya baru
sejarahnya tiap institusi tersebut pernah saling yang datang di Kepulauan Indonesia dibawa oleh
mendominasi atas yang lainnya. Berdasarkan masyarakat Austronesia. Akibat dari peristiwa
ciri-ciri linguistiknya, masyarakat Ternate, tersebut, budaya Neolitik di Kepulauan Indonesia
Tidore dan Jailolo termasuk dalam rumpun mengalami perkembangan yang disebabkan oleh
bahasa Non-Austronesia, sedangkan Bacan evolusi budaya dan interaksi antara masyarakat
merupakan komponen budaya tersendiri yaitu Austronesia dengan komunitas Non-Austronesia.
Austronesia. Asumsi linguistik menyatakan Evolusi dan interaksi antar-budaya yang intensif
bahwa perbedaan bahasa merupakan indikasi menyebabkan integrasi budaya Austronesia
perbedaan suku bangsa dan semakin jauh dan Non-Austronesia di Kepulauan Indonesia.
perbedaan suku bangsa maka semakin Meskipun demikian, masing-masing budaya
jauh pula hubungan kognitif di antaranya. tersebut tidak benar-benar melebur menjadi satu,
Namun yang terjadi di Maluku Utara adalah karena masih dapat diamati dan dikelompokkan
sebaliknya, Bacan yang cenderung berbudaya aspek-aspek dari masing-masing budaya yang
Austronesia diikat bersama Ternate, Tidore, berintegrasi tersebut.
dan Jailolo yang Non-Austronesia dalam
konsep Moluku Kie Raha. Di kawasan *****
tersebut, Bacan merupakan bagian integral
dari pola pemikiran tradisional Maluku Utara.

8
Sofwan Noerwidi, Migrasi Austronesia dan Implikasinya Terhadap Perkembangan Budaya di Kepulauan Indonesia.

Daftar Pustaka Groves, Colin P. 1995. “Domesticated and


Commensal Mammals of Austronesia
Anceaux, J.C. 1991. “Beberapa Teori Linguistik
and Their Histories”, dalam Peter
Tentang Tanah Asal Bahasa Austronesia”,
Bellwood, James J. Fox, Darrell Tryon
dalam Harimurti Kridalaksana, (ed.),
(ed.), The Austronesians: Historical
Masa Lampau Bahasa Indonesia: Sebuah
and Comparative Perspectives, hlm.
Bunga Rampai, hlm. 72-92. Yogyakarta:
152-164. Canberra: ANU.
Penerbit Kanisius.
Haberle, S.iG., Carol Lentfer, Shawn
Asato, S. 1991. “The Distributions of Tridacna
O’Donnell, Tim Denham. 2012.”The
Shell Adze in the Southern Ryukyu
palaeoenvironments of Kuk Swamp
Islands”, dalam Peter Bellwood, (ed.),
from the beginnings of agriculture in
Bulletin of Indo-Pacific Prehistory, vol.1,
the highlands of Papua New Guinea”.
pp. 282-291, Canberra: ANU Press.
Quaternary International 249, pp. 129-
Bellwood, P. 1975. Man’s Conquest of the 139, Amsterdam: Elsevier.
Pacific, Auckland: Collins.
Jacob, T. 1967. “Some Problems Pertaining to the
------------. 1995.“Austronesian Prehistory in Racial History of the Indonesian Region”,
Southeast Asia: Homeland, Expansion Disertasi Doktoral, Utrecht: Drukkerij
and Transformation”, dalam Peter Neerlandia.
Bellwood, James J. Fox, Darrell Tryon
Kirch, P.V. 1979. “Subsistence and Ecology”,
(eds), The Austronesians: Historical and
dalam The Prehistory of Polynesia, pp. 286-
Comparative Perspectives, pp. 96-111,
307, London: Harvard University press.
Canberra: ANU.
Mantra, I.iB. 2000. Demografi Umum,
------------. 2000. Prasejarah Kepulauan
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Indo-Malaysia, edisi revisi, Jakarta:
PT.Gramedia Pustaka Utama. Martodirdjo, H.S. 2000. “Perkembangan Bahasa
dan Budaya Daerah Perbatasan Rumpun
Blust, R. 1984. “Austronesian Culture History:
Bahasa Austronesia dan Non-Austronesia
Some Linguistic Inferences and their
di Halmahera”, dalam Sudaryanto dan Alex
Relations to the Archaeological Record”,
Horo Rambadeta (eds), Antar Hubungan
dalam Peter Van de Velde, eds., Prehistoric
Bahasa dan Budaya di Kawasan Non-
Indonesia, pp. 218-241, USA: Foris
Austronesia : 57-76, Yogyakarta: PSAP-
Publications.
UGM.
------------. 1984/1985. “The Austronesian
Morwood, M.J., et al. 2004. “Archaeology and
Homeland: A Linguistic Perspective”,
Age of a New Hominin from Flores in
Asian Perspectives 26 (1), pp. 45-68,
Eastern Indonesia”, Nature, Vol. 341,
Mānoa: University of Hawai′i
www.nature.com, diunduh tanggal 28
Carson, M. T. 2013. “Austronesian Migrations Oktober 2004
and Developments in Micronesia”,
Noerwidi, S. 2009. “Archaeological Research
Journal of Austronesian Studies 4 (1),
at Kendenglembu, East Java, Indonesia”,
pp. 25-35, Taiwan: National Museum of
Bulletin Indo-Pacific Prehistory
Prehistory.
Association No. 29, pp. 26-32, Canberra:
Chambers, G. K. 2006. “Polynesian Genetic ANU Press.
and Austronesian Prehistory”, dalam
Pietrusewski, M. 2006. ”The Initial Settlement
Truman Simanjuntak, Ingrid H.E Pojoh,
of Remote Oceania: The Evidence
Mohammad Hisyam (ed.), Austronesian
from Physical Anthropology”, dalam
Diaspora and the Ethnogeneses of People
Truman Simanjuntak, Inggrid H.E Pojoh,
in Indonesian Archipelago, pp. 299-319,
Mohammad Hisyam (ed.), Austronesian
Jakarta: LIPI Press.
Diaspora and the Ethnogeneses of People
Chazine, Jean-Michel dan Jean-George in Indonesian Archipelago, pp. 320-247,
Ferrié. 2008. “Recent Archaeological Jakarta: LIPI Press.
Discoveries in East Kalimantan,
Indonesia”, dalam Bulletin Indo-Pacific
Prehistory Association No. 22, pp. 16-22,
Canberra: ANU Press.

9
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 32 No. 1, Juni 2014 : 1-76

Sémah, F., Anne-Marie Sémah dan Magali Summerhayes, G. 2009. “Obsidian Network
Chacornac-Rault. 2006. “Climate and Patterns in Melanesia: Sources,
Continental Record in Island South East Characterisation and Distribution” Bulletin
Asia since the Late Pleistocene: Trends in Indo-Pacific Prehistory Association No.
Current Research, Relationship with the 29, pp. 109-123, Canberra: ANU Press.
Holocene Human Migration Wave”, dalam
Tanudirjo, D.A. 2006. ”The Dispersal of
Truman Simanjuntak, Inggrid H.E Pojoh,
Austronesian-speaking-people and the
Mohammad Hisyam (ed.), Austronesian
Ethnogenesis Indonesian People”, dalam
Diaspora and the Ethnogeneses of People
in Indonesian Archipelago, pp. 15-29, Truman Simanjuntak, Inggrid H.E Pojoh,
Jakarta: LIPI Press. Mohammad Hisyam. (ed.), Austronesian
Diaspora and the Ethnogeneses of People
Sillitoe, P. 2007. “Pigs in the New Guinea in Indonesian Archipelago, pp. 83-98,
Highlands: an ethnographic example”, Jakarta: LIPI Press.
dalam Umberto Albarella, Keith Dobney,
Teljeur, D. 1980. “Masalah Praktis Dalam
Anton Ervynck dan Peter Rowley-Conwy
Penelitian Antropologi Budaya di
(eds), Pigs and Human, 10.000 Years
Pulau Halmahera Selatan”, E.K.M
of Interaction, pp. 330-356, Oxford:
Masinambouw (ed.), Majalah Ilmu-Ilmu
University Press.
Sastra Indonesia, Jilid VIII No. 1 Nomor
Simanjuntak, H.T. 2006. “Austronesian in Istimewa (I) Halmahera dan Raja Ampat:
Sulawesi: Its Origin, Diaspora, and Living 79-83, Jakarta: Depdikbud.
Tradition” dalam Truman Simanjuntak, Tryon, D. 1995. “Proto-Austronesian and the
ed., Austronesian in Sulawesi. pp. 215- Major Austronesian Subgroup”, dalam
251, Jakarta: CPAS. Peter Bellwood, James J. Fox, Darrell
Soegondho, S. 2000. “Tradisi Neolitik di Tryon (eds), The Austronesians: Historical
Halmahera: Bagian dari Budaya Pasifik”, and Comparative Perspectives, pp. 17-38,
dalam Sudaryanto dan Alex Horo Canberra: ANU
Rambadeta (eds), Antar Hubungan Bahasa Wasita. 1999. “Faktor Pendukung Budidaya
dan Budaya di Kawasan Non-Austronesia: Padi Masa Prasejarah”, Naditira Widya
262-264, Yogyakarta: PSAP-UGM. No. 03, hlm. 61-69, Banjarmasin: Balai
Spriggs, M. 1989. “The Dating of the Island Arkeologi Banjarmasin.
Southeast Asian Neolithic: an attempt Widianto, H. 2006. “Austronesia Prehistory from
at chronometric hygiene and linguistic the Perspective of Skeletal Anthropology”,
correlation”, Antiquity 63, pp. 587-613. in Truman Simanjuntak, Inggrid H.E Pojoh,
------------. 1995. “The Lapita Culture and Mohammad Hisyam (ed.), Austronesian
Austronesian Prehistory in Oceania” Diaspora and the Ethnogeneses of People
dalam Peter Bellwood, James J Fox dan in Indonesian Archipelago, pp. 174-185,
Darell Tryon, (ed.), The Austronesians: Jakarta: LIPI Press.
Historical and Comparative Perspective,
pp. 112-133, Canbera: ANU.
------------. 2000. “Out of Asia: The Spread of
Southeast Asian Pleistocene and Neolithic
maritime culture in Island southeast Asia
and Western Pacific”, dalam Sue O’Connor
dan Peter Veth (ed.), East of Wallace’s
Line, Studies of Past and Present maritime
culture of the Indo-Pacific Region : 51-76.
Rotterdam: A.A. Balkema.

10

Anda mungkin juga menyukai