374-Article Text-943-1-10-20180316
374-Article Text-943-1-10-20180316
Abstrak. Pada saat masyarakat penutur bahasa Austronesia datang di Kepulauan Indonesia, kawasan
ini bukanlah suatu daerah kosong tidak berpenghuni. Beberapa pulau di Kepulauan Indonesia telah
dihuni oleh populasi lain. Akibat adanya kontak antar-komunitas tersebut mengakibatkan proses
adaptasi, inovasi, dan interaksi budaya yang khas sebagaimana tercermin pada perkembangan
teknologi alat kerang, teknologi pelayaran dan domestikasi hewan yang dikuasai masyarakat penutur
bahasa Austronesia. Tahapan proses migrasi masyarakat penutur bahasa Austronesia di Kepulauan
Indonesia dapat dirangkum sebagai berikut: terjadi intrusi budaya baru di Kepulauan Indonesia yang
dibawa oleh Austronesia. Akibat dari peristiwa tersebut, terjadi perkembangan budaya Neolitik di
Kepulauan Indonesia, disebabkan oleh adaptasi, evolusi dan interaksi antara masyarakat pendatang
Austronesia dengan komunitas Non-Austronesia yang telah menghuni kawasan ini sejak masa
sebelumnya. Interaksi antar-budaya yang intensif menyebabkan integrasi budaya Austronesia dan
Non-Austronesia di Kepulauan Indonesia.
Kata Kunci: Migrasi-Kolonisasi, Austronesia, Kepulauan Indonesia, Adaptasi budaya.
1
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 32 No. 1, Juni 2014 : 1-76
geografis. Hasil kajian tersebut membawanya penting dalam persebaran masyarakat penutur
pada suatu kesimpulan bahwa tanah asal nenek bahasa Austronesia pada masa prasejarah
moyang rumpun bahasa Austronesia terletak di (Simanjuntak 2006: 215). Situs-situs yang juga
suatu pantai daerah tropis (Anceaux 1991: 74- mengindikasikan awal kolonisasi masyarakat
75; Blust 1984/1985: 47-49). penutur bahasa Austronesia di Kepulauan
Saat ini berkembang beberapa teori asal Indonesia antara lain adalah: Leang Tuwo
usul Austronesia yang diajukan oleh para ahli Mane’e (3.500 BP), Uattamdi (3.200 BP) dan
dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Kendenglembu, di Jawa Timur (Bellwood 2000:
Berdasarkan beberapa teori yang berkembang 328-338). Namun pertanggalan terakhir yang
saat ini, pada intinya terdapat tiga kubu model dihasilkan oleh salah satu situs di Kendenglembu
rekonstruksi asal usul masyarakat penutur bahasa hanya menghasilkan petanggalan 1.300 BP,
Austronesia, yaitu; (1) Austronesia berasal padahal gerabah slip merah dari situs tersebut
dari Pulau Taiwan, (2) Austronesia berasal dari bentuknya sederhana dan kasar, kondisinya
kawasan Asia Tenggara Kepulauan dan (3) sangat aus, serta termasuk dalam kategori
Austronesia berasal dari kawasan Melanesia tipologi yang cukup tua (Noerwidi 2009: 31).
(Chambers 2006: 300 dan Pietrusewsky 2006: Pada saat masyarakat penutur bahasa
321-322). Di antara beberapa teori tersebut, salah Austronesia datang di Kepulauan Indonesia,
satunya yang paling kuat dan mendapat banyak kawasan ini bukanlah suatu daerah kosong
dukungan dari berbagai sudut pandang keilmuan yang tidak berpenghuni. Pada beberapa pulau
adalah model yang diajukan oleh Bellwood. di Kepulauan Indonesia telah dihuni oleh
Beliau menyarankan bahwa Austronesia berasal komunitas Non-Austronesia yang telah eksis
dari Taiwan dan Pantai Cina bagian selatan. sejak masa sebelumnya. Pada awalnya, mungkin
Kawasan tersebut oleh berberapa ahli linguistik masyarakat neolitik Austronesia tidak mudah
dianggap sebagai tempat asal bahasa proto- untuk menembus koridor Kepulauan Indonesia
Austronesia. Disamping itu, secara arkeologis yang di beberapa tempat telah padat dihuni
daerah tersebut menghasilkan bukti pola oleh manusia, seperti misalnya Daratan Papua
subsistensi bercocok tanam dan aspek budaya lokasi berkembangnya pertanian non-biji-bijian
Austronesia lainnya yang paling tua di kawasan secara mandiri (Haberle et al. 2012: 129).
ini berupa beliung persegi dan gerabah, seperti Setidaknya sejak akhir Pleistosen sekitar 60.000
yang ditemukan di Situs Hemudu di Teluk BP Kepulauan Indonesia ini telah dihuni oleh
Hangzou, Propinsi Zhejiang yang berumur 7000 manusia modern. Bukti penghunian gua secara
tahun (Bellwood 1995: 97-98). aktual diperoleh dari Song Terus (Gunung Sewu)
Berdasarkan hasil penelitian terbaru dapat dengan jejak penggunaan api dan aktivitas
diketahui bahwa awal kolonisasi Austronesia di perbengkelan alat batu (Sémah et al. 2006: 21).
Kepulauan Indonesia adalah sekitar 3.600iBP, Bahkan dominasi populasi pre-neolitik (Gambar
yang diperoleh dari pertanggalan Situs 1) penghuni gua-gua di Jawa diindikasikan
Minanga Sipakko di Sulawesi Barat. Hasil baru berakhir pada awal Masehi sekitar 2.000
penelitian ini juga mengindikasikan bahwa BP (Widianto 2006: 182). Beberapa bukti
Sulawesi merupakan lokasi koloni tertua, yang paleoantropologis yang mengindikasikan
kemudian secara gradual semakin lebih muda padatnya penghunian Austronesia di Kepulauan
ke barat menuju Sumatera dan Jawa, ke selatan Indonesia yang tertua mungkin adalah Tengkorak
menuju Kepulauan Sunda Kecil dan ke timur Wajak (30 Kya), kemudian beberapa rangka
menuju Maluku dan Pasifik. Hasil penelitian dari Gunung Sewu (awal Holosen), rangka-
ini menempatkan Sulawesi sebagai lokasi rangka dari Bukit Sampah Kerang Hoabinhian
2
Sofwan Noerwidi, Migrasi Austronesia dan Implikasinya Terhadap Perkembangan Budaya di Kepulauan Indonesia.
di Sumatera (awal Holosen), rangka-rangka dari adalah mobilitas penduduk yang melintasi batas
penguburan dalam gua-gua di Kalimantan dan wilayah tertentu menuju wilayah lain dalam
Sulawesi, serta Liang-Liang di Flores dengan sisa periode waktu tertentu (Mantra 2000: 224-
Homo floresiensis (35-18 Kya) yang fenomenal 225). Migrasi diikuti dengan proses penghunian
(Jacob 1967; Chazine dan Ferrié 2008; Morwood suatu wilayah oleh suatu komunitas tertentu.
et al. 2004; dan Detroit 2006). Proses penghunian yang dimaksud meliputi:
Terjadinya kontak antara budaya penghunian, perkembangan, dan kejenuhan
pendatang Austronesia dengan budaya setempat, penduduk. Jika suatu komunitas sudah
sangat besar berpeluang terjadi pada kondisi yang mengalami kejenuhan penduduk, maka terdapat
demikian ini. Dalam tulisan ini akan dibahas kemungkinan sebagian dari komunitas tersebut
akibat dari interaksi antar-budaya tersebut yang akan memisahkan diri dari komunitas intinya
tercermin pada teknologi alat kerang, teknologi dan kembali melakukan proses migrasi. Oleh
pelayaran dan domestikasi hewan. Selain interaksi karena itu, fenomena migrasi berhubungan erat
antar-budaya, juga akan dibahas implikasi dari dengan proses penghunian.
proses migrasi yang memunculkan ideologi cikal P ad a t ah ap p en g h u n i an dan
bakal pada masyarakat Austronesia. Ideologi perkembangan suatu populasi di wilayah yang
tersebut masih dapat ditelusuri pada catatan telah berpenghuni, maka juga terjadi kontak
etnografi yang masih ada hingga saat ini, baik (interaksi) antar-budaya. Tahapan interaksi
pada masyarakat Austronesia di Kepulauan antar-budaya untuk kasus kolonisasi Austronesia
Indonesia maupun masyarakat Austronesia pada di Kepulauan Indonesia dapat dirangkum
umumnya di seluruh kawasan koloni barunya. sebagai berikut: Intrusi budaya neolitik datang
Tulisan ini akan mencoba membahas tahapan di Kepulauan Indonesia dibawa oleh masyarakat
proses budaya, akibat dari migrasi-Austronesia penutur bahasa Austronesia. Akibat dari
di Kepulauan Indonesia. peristiwa tersebut, terjadi perkembangan
budaya Neolitik di Kepulauan Indonesia,
2. Interaksi Austronesia dengan Non- disebabkan oleh adaptasi, evolusi dan interaksi
Austronesia antara masyarakat pendatang Austronesia
Dalam ilmu demografi, migrasi merupakan dengan komunitas Non-Austronesia yang telah
salah satu komponen yang dikaji selain kelahiran menghuni kawasan ini sejak masa sebelumnya.
(fertilitas) dan kematian (mortalitas). Migrasi Evolusi dan interaksi antar budaya yang intensif
3
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 32 No. 1, Juni 2014 : 1-76
4
Sofwan Noerwidi, Migrasi Austronesia dan Implikasinya Terhadap Perkembangan Budaya di Kepulauan Indonesia.
5
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 32 No. 1, Juni 2014 : 1-76
6
Sofwan Noerwidi, Migrasi Austronesia dan Implikasinya Terhadap Perkembangan Budaya di Kepulauan Indonesia.
Austronesia. Kata beRek (babi) dan Wasu (anjing) hewan antar pulau sejak masa yang cukup tua,
ditemukan sejak dari Taiwan sampai ke seluruh sebelum kedatangan masyarakat penutur bahasa
kawasan persebaran masyarakat penutur bahasa Austronesia di kawasan mereka. Di Pasifik,
Austronesia, sedangkan kata laluy (ayam) juga masyarakat Austronesia selain memelihara
ditemukan selain di Taiwan (Blust 1984: 220). anjing, babi dan ayam, juga mendistribusikan
Groves (1995) berpendapat bahwa domestikasi walabi dan kus-kus dalam pertukaran atau barter
babi di Kepulauan Indonesia berasal dari spesies antar pulau. Pelayaran dan pertukaran tersebut
Sus scrofa vittatus yang hidup liar di kawasan mengindikasikan bahwa pelayaran antar-pulau
barat Indonesia. Karakteristik yang sama juga telah berkembang sebelum kedatangan bangsa
ditemukan pada babi dari Andaman, Flores, Austronesia di kawasan Maluku Utara dan
Admiralty serta Vanuatu. Babi jenis tersebut semakin berkembang setelah kedatangan orang
bukan berasal dari jenis yang liar di Cina atau Austronesia.
Asia Tenggara daratan. Hal ini membuktikan
bahwa, walaupun bangsa Austronesia datang 2.4 Pelayaran Antar Pulau
beserta budaya yang dibawa dari Asia Tenggara Berdasarkan bukti linguistik, telah
Daratan, tetapi mereka juga beradaptasi dengan direkonstruksi kosa kata mengenai aspek-aspek
kondisi lingkungan barunya. Babi yang mereka teknologi pelayaran yang tersebar di kawasan
bawa dari Asia Tenggara Daratan kemungkinan Pasifik. Rekonstruksi kosa kata tersebut
besar tidak dapat beradaptasi dengan baik di menunjuk pada bahasa Proto Melayu Polynesia
daerah tropis, sehingga mereka mengembangkan yang berasal dari Philipina bagian selatan dan
budaya domestikasi dengan jenis babi lokal Sulawesi bagian utara. Kata qabaŋ (kano)
yang berasal dari Kepulauan Indonesia. tersebar mulai dari Taiwan, Philipina serta
Di Kepulauan Maluku Utara, Indonesia, tetapi kata baŋkaq/waŋkaŋ (perahu),
pemindahan lepas liar antar-pulau fauna (sc)a-R-man, (cadik), be-R-say (dayung),
marsupial, yaitu kuskus (Phalanger ornatus) lane(nN) (jentera), layaR (layar), limas (timba),
dan wallabi (Dorcopsis muelleri mysoliae) qulin (kemudi), dan teken (tiang) hanya
telah dikenal oleh komunitas Non-Austronesia ditemukan di kawasan barat dan timur tidak di
sebelum kedatangan masyarakat Austronesia. Taiwan (Spriggs 2000: 220). Kosa kata tersebut
Berdasarkan kajian lingustik, kosa kata kandoRa mengindikasikan perkembangan aspek-aspek
(kus-kus) dan mansar (bandikoot) ditemukan teknologi navigasi ke arah yang lebih modern
pada kelompok bahasa Proto Melayu-Polinesia dari pada yang ditemukan di Taiwan.
Tengah-Timur (PCEMP) yang dituturkan di Ada kemungkinan bahwa pengetahuan
Kepulauan Indonesia bagian timur. Namun orang Austronesia mengenai teknologi pelayaran
bentuk kosa kata tersebut tidak ditemukan semakin berkembang di daerah Asia Tenggara
pada kelompok bahasa Proto Melayu-Polinesia Kepulauan. Hal ini dapat diketahui dengan
(PMP) yang dituturkan di Philipina dari mengamati persamaan bentuk perahu yang
masa sebelumnya (Tryon 1995: 3). Hal ini digunakan di Kepulauan Solomon dan Botel
mengindikasikan bahwa budaya masyarakat Tobago (bernama Yamis) dengan yang terdapat di
Austronesia di Kepulauan Maluku Utara Maluku (bernama Orembai). Hal ini memperkuat
memiliki peranan penting untuk menjelaskan dugaan bahwa Kepulauan Maluku merupakan
strategi adaptasi mereka di kawasan tropis. daerah yang penting bagi perkembangan
Keseluruhan data tersebut di atas teknologi navigasi dalam hubungannya
membuktikan bahwa komunitas Non- dengan persebaran masyarakat penutur bahasa
Austronesia telah mengenal translokasi Austronesia.
7
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 32 No. 1, Juni 2014 : 1-76
8
Sofwan Noerwidi, Migrasi Austronesia dan Implikasinya Terhadap Perkembangan Budaya di Kepulauan Indonesia.
9
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 32 No. 1, Juni 2014 : 1-76
Sémah, F., Anne-Marie Sémah dan Magali Summerhayes, G. 2009. “Obsidian Network
Chacornac-Rault. 2006. “Climate and Patterns in Melanesia: Sources,
Continental Record in Island South East Characterisation and Distribution” Bulletin
Asia since the Late Pleistocene: Trends in Indo-Pacific Prehistory Association No.
Current Research, Relationship with the 29, pp. 109-123, Canberra: ANU Press.
Holocene Human Migration Wave”, dalam
Tanudirjo, D.A. 2006. ”The Dispersal of
Truman Simanjuntak, Inggrid H.E Pojoh,
Austronesian-speaking-people and the
Mohammad Hisyam (ed.), Austronesian
Ethnogenesis Indonesian People”, dalam
Diaspora and the Ethnogeneses of People
in Indonesian Archipelago, pp. 15-29, Truman Simanjuntak, Inggrid H.E Pojoh,
Jakarta: LIPI Press. Mohammad Hisyam. (ed.), Austronesian
Diaspora and the Ethnogeneses of People
Sillitoe, P. 2007. “Pigs in the New Guinea in Indonesian Archipelago, pp. 83-98,
Highlands: an ethnographic example”, Jakarta: LIPI Press.
dalam Umberto Albarella, Keith Dobney,
Teljeur, D. 1980. “Masalah Praktis Dalam
Anton Ervynck dan Peter Rowley-Conwy
Penelitian Antropologi Budaya di
(eds), Pigs and Human, 10.000 Years
Pulau Halmahera Selatan”, E.K.M
of Interaction, pp. 330-356, Oxford:
Masinambouw (ed.), Majalah Ilmu-Ilmu
University Press.
Sastra Indonesia, Jilid VIII No. 1 Nomor
Simanjuntak, H.T. 2006. “Austronesian in Istimewa (I) Halmahera dan Raja Ampat:
Sulawesi: Its Origin, Diaspora, and Living 79-83, Jakarta: Depdikbud.
Tradition” dalam Truman Simanjuntak, Tryon, D. 1995. “Proto-Austronesian and the
ed., Austronesian in Sulawesi. pp. 215- Major Austronesian Subgroup”, dalam
251, Jakarta: CPAS. Peter Bellwood, James J. Fox, Darrell
Soegondho, S. 2000. “Tradisi Neolitik di Tryon (eds), The Austronesians: Historical
Halmahera: Bagian dari Budaya Pasifik”, and Comparative Perspectives, pp. 17-38,
dalam Sudaryanto dan Alex Horo Canberra: ANU
Rambadeta (eds), Antar Hubungan Bahasa Wasita. 1999. “Faktor Pendukung Budidaya
dan Budaya di Kawasan Non-Austronesia: Padi Masa Prasejarah”, Naditira Widya
262-264, Yogyakarta: PSAP-UGM. No. 03, hlm. 61-69, Banjarmasin: Balai
Spriggs, M. 1989. “The Dating of the Island Arkeologi Banjarmasin.
Southeast Asian Neolithic: an attempt Widianto, H. 2006. “Austronesia Prehistory from
at chronometric hygiene and linguistic the Perspective of Skeletal Anthropology”,
correlation”, Antiquity 63, pp. 587-613. in Truman Simanjuntak, Inggrid H.E Pojoh,
------------. 1995. “The Lapita Culture and Mohammad Hisyam (ed.), Austronesian
Austronesian Prehistory in Oceania” Diaspora and the Ethnogeneses of People
dalam Peter Bellwood, James J Fox dan in Indonesian Archipelago, pp. 174-185,
Darell Tryon, (ed.), The Austronesians: Jakarta: LIPI Press.
Historical and Comparative Perspective,
pp. 112-133, Canbera: ANU.
------------. 2000. “Out of Asia: The Spread of
Southeast Asian Pleistocene and Neolithic
maritime culture in Island southeast Asia
and Western Pacific”, dalam Sue O’Connor
dan Peter Veth (ed.), East of Wallace’s
Line, Studies of Past and Present maritime
culture of the Indo-Pacific Region : 51-76.
Rotterdam: A.A. Balkema.
10