Mardiyono
Alumni Magister Ilmu Hukum UKSW serta Pegiat HAM 1965
Korespondensi: gusmardi2002@yahoo.com
Abstrak
Abstract
29
30 REFLEKSI HUKUM [Vol.1, No.1
oleh keluarga korban. Hal ini karena Oleh karena itu, upaya penyelesaian
menyangkut masalah perampasan hak pelanggaran berat HAM masa lalu
hidup manusia, di mana orang-orang adalah memberi kewajiban dan
PKI itu dibunuh tanpa proses penga- tanggung jawab kepada negara untuk
dilan. Langkah-langkah penyelesaian menghormati,melindungi, menegak-
pelanggaran berat HAM masa lalu kan dan memajukan HAM seperti yang
adalah perwujudan dari nilai-nilai ditekankan oleh Pasal 71 UU No. 39
kemanusiaan dan keadilan yang ter- Tahun 1999 tentang HAM. Kewajiban
kandung dalam Pancasila yang harus dan tanggung jawab negara terjadi
dijunjung tinggi oleh semua pihak karena negara merupakan pengemban
termasuk negara. Nilai-nilai kemanusia- kewajiban hukum untuk menyeleng-
an dan keadilan merupakan salah satu garakan langkah-langkah penyelesai-
elemen penting dari demokrasi sebagai- an atas pelanggaran-pelanggaran HAM
mana diatur dalam UUD 1945. Tanpa masa lalu.9
adanya penyikapan tegas oleh negara, Secara umum, sudah jelas bahwa
upaya penyelesaian pelanggaran berat siapa yang harus bertanggung jawab
HAM tahun 1965 akan menjadi sia-sia terhadap pelanggaran Hak Asasi
dan yang terjadi adalah berlangsung- Manusia dalam hal ini adalah negara.
nya pelanggaran HAM yang terus- Disini merujuk pada posisi dan peran
menerus seperti munculnya stigma negara sebagai state actor, yaitu yang
dan diskriminasi dalam berbagai aspek menjalankan semua sendi kehidupan
kehidupan para korban. Di samping itu bernegara sebagaimana amanat
penyelesaian pelanggaran berat HAM Undang-Undang Dasar. Disamping itu
tahun 1965 atau extrajudicial killings kewajiban negara tersebut juga lahir
1965 adalah upaya menjunjung tinggi dari instrumen-instrumen internasional
kemanusiaan dan keadilan sebagai- hak asasi manusia.
mana dimaksudkan oleh Pasal 28H Pelanggaran negara terhadap
Ayat (2) UUD 1945 yaitu: “Setiap orang kewajibannya itu dapat dilakukan baik
berhak mendapatkan kemudahan dan dengan perbuatannya sendiri (acts of
perlakuan khusus untuk memperoleh commision) maupun oleh karena kela-
kesempatan dan manfaat yang sama laiannya sendiri (acts of ommission).10
guna mencapai persamaan dan Kewenangan negara untuk bertang-
keadilan.” gungjawab tentu didasarkan pada
negara sebagai subyek hukum inter-
9
Koalisi untuk Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK), ‘Jalan Indonesia menuju Penyelesaian
atas Pelanggaran HAM masa lalu demi Masa Depan Bangsa: Kerangka Dasar untuk Kerja Bersama
berlandaskan Konstitusi’ (18 Agustus 2015) <http://kkpk.org/wp-content/uploads/2016/01/
Satya-Pilar.pdf> Diakses 12 Maret 2016.
10
Knut D. Asplund, Suparman Marzuki, Eko Riyadi eds., Hukum Hak Asasi Manusia (PUSHAM UII
2008).
11
R.C. Hingorani, Modern International Law (Oceana Publications 1984) 241.
2016] EXTRA JUDICIAL KILLINGS 1965 33
12
Elizabeth A. Martin ed., A Dictionary of Law (Oxford University Press 2002) 477.
13
Malcolm Shaw, Hukum Internasional (Nusa Media 2013) 774.
14
E.J. de Arechaga & A. Tanzi, ‘State Responsibility’ dalam Mohammed Bedjaoui (ed.), International
Law: Achievements and Prospects (Martinus Nijhoff Publisher 1991) 348.
34 REFLEKSI HUKUM [Vol.1, No.1
15
United Nations Legislative Series, Materials On the Responsibility of States for Internationally Wrongful
Acts (United Nations 2012) 31.
16
Oentoeng Wahjoe, Hukum Pidana Internasional: Perkembangan Tindak Pidana International & Proses
Penegakannya (Erlangga 2011) 100.
2016] EXTRA JUDICIAL KILLINGS 1965 35
17
Muladi, Mekanisme Domestik untuk Mengadili Pelanggaran HAM Berat melalui Sistem Pengadilan
atas dasar UU No. 26 Tahun 2000 (Elsam 2015) 7.
36 REFLEKSI HUKUM [Vol.1, No.1
internasional adalah: kejahatan ter- garan berat HAM yang dapat menye-
sebut melanggar norma internsional babkan mekanisme internasional me-
yang bersifat jus cogens atau peremptory ngambil alih fungsi pengadilan nasio-
norm; terhadap pelaku kejahatan tidak nal.19 Selain itu, ada juga faktor lain
boleh bebas tanpa hukuman (impunity); seperti aturan yang berimplikasi
kejahatan HAM berat tidak mengenal menghambat penyelesaian pelanggar-
daluarsa (non-statutory limitation). an HAM, seperti Pasal 43 ayat (2) UU
Proses penegakan hukum dalam No. 26 tahun 2000 di mana Pengadilan
konteks internasional Secara teori HAM ad hoc sebagaimana dimaksud
dibagi menjadi dua, yaitu: Direct dibentuk atas usul Dewan Perwakilan
Enforcement System (Penegakan Hukum Rakyat Republik Indonesia berdasar-
Secara Langsung) dan Indirect Enfor- kan peristiwa tertentu dengan Kepu-
cement System (Penegakan Hukum tusan Presiden. Tentu saja Undang-
Secara Tidak Langsung). Direct Enfor- Undang ini design to fail karena dida-
cement System merupakan penegakan sari nalar politis yang kuat atau me-
hukum pidana internasional oleh mah- ngandung politik hukum yang meng-
kamah pidana internasional, seperti: hambat penyelesaian pelanggaran HAM.
Nuremberg, International Military Tribunal Pada kondisi deadlock baik karena
for the Far East (Tokyo), International undang-undang maupun karena situasi
Criminal Tribunal for the Former politik, atau beberapa negara yang
Yugoslavia (ICTY), International Criminal mengalami nasib seperti itu (unwilling-
Tribunal f or Rwanda (ICTR), dan ness dan inability) melakukan penyele-
International Criminal Court (ICC). saian melalui mekanisme hybrid
Sedangkan penegakan hukum pidana tribunals seperti Sierra Leone dengan
internasional secara Indirect Enforcement Special Court of Sierra Leone dan Timor
System adalah penegakan hukum Leste dengan Special Panels for Serious
pidana internasional melalui hukum Crimes. Hybrid tribunal disebut dengan
pidana nasional di masing-masing pengadilan campuran, karena terdiri
negara, tempat kejahatan tersebut dari unsur-unsur yang bersifat cam-
terjadi. Seperti hybrid tribunal di Timor puran, seperti menyangkut kebang-
Leste, Serra Leone, Kamboja. saan orang-orang yang bekerja (hakim,
Dalam konteks penyelesaian extra- jaksa, panitera) terdiri dari warga negara
judicial killings 1965, penyelesaian setempat maupun orang asing yang
melalui hybrid tribunals menurut diangkat oleh PBB. Demikian pula
Andrey Sujatmoko, dikarenakan ada- dengan hukum yang digunakan adalah
nya faktor-faktor unwillingness dan kombinasi antara hukum nasional
inability dari negara pelaku pelang- setempat dengan hukum internasional.20
19
Andrey Sujatmoko, Tanggungjawab Negara atas Pelanggaran HAM Indonesia, Timor Leste dan lainnya
(PT. Grasindo 2005) 179.
20
Ibid.
38 REFLEKSI HUKUM [Vol.1, No.1
21
United Nations, Rule of Law Tools for Post Conflict States: Maximizing the Legacy of Hybrid Courts
(United Nations 2008) 1.
22
Ethel Higonnet, ‘Restructuring Hybrid Courts: Local Empowerment and National Criminal Justice
Reform’ (Yale Law School Legal Scholarship Repository: Student Scholarship Papers 2005) <http://
digitalcommons.law.yale.edu/student_papers> Diakses 12 Maret 2016.
23
Suparman Marzuki, Pengadilan HAM di Indonesia: Melanggengkan Impunity (Erlangga 2012) 276.
2016] EXTRA JUDICIAL KILLINGS 1965 39
24
United Nations, Handbook On Restorative Justice Programes (United Nations Publication 2006) 8.
25
Kontras, ‘Pembatalan UU KKR oleh Mahkamah Konstitusi’ (Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006)
<https://www.kontras.org/buletin/indo/2006-11-12.pdf> Diakses 12 Maret 2016.
26
Ifdhal Kasim, ‘Apakah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi itu?’ (2000) 1 Briefing Paper Series
tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi-Elsam 1, 1.
40 REFLEKSI HUKUM [Vol.1, No.1
27
David Bloomfield, Teresa Barnes, Luc Huyse eds., Reconciliation After Violent Conflict: A Handbook
(International Institute for Democracy and Electoral Assistance 2003) 12.
28
Erasmus Ndemole Migyikra, ‘Truth and Reconciliation Commissions: A Comparative Study of South
Africa, Ghana and Sierra Leone’ (Thesis Master of Arts, European University Centre for Peace
Studies 2008) 16.
29
Priscilla B. Hayner, ‘Fifteen Truth Commissions 1974 to 1994: A Comparative Study’ (1994) 16
Human Rights Quarterly 597, 599.
30
Saldi Ernas, ‘Kearifan Kultural Solusi Untuk Penyelesaian Konflik’ <https://ugm.ac.id/id/berita/
9396-kearifan.kultural.solusi.untuk.penyelesaian.konflik> Diakses, 12 Juli 2016.
2016] EXTRA JUDICIAL KILLINGS 1965 41
yang lainnya; reformasi, baik secara gung jawab. Oleh karena itu, sebagai
individu maupun kelompok agar bentuk tanggung jawabnya, negara
menjadi lebih baik; upaya menjaga harus melakukan penyelesaian terha-
ekologi dan kepedulian terhadap anak dap extrajudicial killings 1965 yang
yatim.34 merupakan pelanggaran berat HAM, di
Dari pandangan Wahyudi, islah mana tidak berlaku daluarsa, baik
yang dimaksud dalam upaya penyele- melalui mekanisme yudisial maupun
saian extrajudicial killings 1965 adalah mekanisme non-yudisial.
konsep yang pertama yaitu untuk
DAFTAR BACAAN
perdamaian serta meluruhkan keben-
cian di antara pelaku maupun korban. Buku
Lebih lanjut Wahyudi mengungkapkan
Adam, Asvi Marwan, Melawan Lupa:
esensi islah menurut Islam yang
Menepis Stigma setelah Prahara 1965
memiliki efek positif bagi orang-orang
(PT. Kompas Media Nusantara 2015).
yang bertikai, yaitu adanya pengakuan
kesalahan dan saling memaafkan Ali, Mahrus, & Syarif Nurhidayat,
antara keduanya. Prosesi islah kemu- Penyelesaian Pelanggaran HAM
dian akan menjadi pertanda bahwa Berat In Court System & Out Court
perselisihan yang selama ini ada akan System (Gratama Publishing 2011).
dianggap selesai, hal ini untuk meng- Arechaga, E.J. de & A. Tanzi, ‘State
eliminir timbulnya dendam di antara Responsibility’ dalam Mohammed
pelaku dan korban. Tak heran jika Bedjaoui ed., International Law:
islah dianggap sebagai perbuatan yang Achievements and Prospects (Marti-
terpuji dalam kaitannya dengan nus Nijhoff Publisher 1991).
perilaku manusia.
Asplund, Knut D., Suparman Marzuki,
PENUTUP Eko Riyadi, eds., Hukum Hak Asasi
Manusia (PUSHAM UII 2008).
Negara memiliki kewajiban untuk
Bloomfield, David, Teresa Barnes, Luc
menjaga dan melindungi HAM warga
Huyse eds., Reconciliation After
negaranya. Jika negara gagal meme-
Violent Conflict: A Handbook (Inter-
nuhi kewajibannya tersebut, baik yang
national Institute for Democracy
dilakukan dengan perbuatannya
and Electoral Assistance 2003).
sendiri (acts of commision) maupun
oleh karena kelalaiannya (acts of Gultom, Binsar, Pelanggaran HAM
ommission), maka negara telah mela- dalam Hukum Keadaan Darurat di
kukan pelanggaran HAM dan, sebagai Indonesia. (Gramedia Pustaka
implikasinya, negara harus bertang- Utama 2010).
34
Wahyudi Akmaliah, ‘Islah sebagai Dalih: Studi Kasus Penyelesaian Konflik Peristiwa Tanjung Priok
(1984) dan Talang Sari (1989) Pasca Rezim Orde Baru’ (2014) 16 Jurnal Masyarakat & Budaya
167, 170-171.
2016] EXTRA JUDICIAL KILLINGS 1965 43
Lain-lain