Anda di halaman 1dari 16

2016] EXTRA JUDICIAL KILLINGS 1965 29

TANGGUNG JAWAB NEGARA DAN MEKANISME


PENYELESAIAN EXTRAJUDICIAL KILLINGS 1965

Mardiyono
Alumni Magister Ilmu Hukum UKSW serta Pegiat HAM 1965
Korespondensi: gusmardi2002@yahoo.com

Abstrak

Persoalan extrajudicial killings 1965 merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan


termasuk kejahatan HAM berat sesuai Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000. Penghukuman
yang dilakukan tanpa proses pengadilan merupakan pengkhianatan terhadap nilai-nilai
kemanusiaan yang terkandung dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Dalam
Masstricht Guidelines on Violations of Economic, Social and Cultural Rights, negara
berkewajiban melindungi hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya,
dengan memberlakukan tiga jenis kewajiban pada Negara, yaitu: kewajiban untuk
menghormati, melindungi dan memenuhi. Kegagalan untuk melakukan salah satu dari
tiga kewajiban tersebut merupakan pelanggaran hak yang dilakukan oleh negara. Terkait
dengan extrajudicial killings 1965, negara dapat memikul kewajiban baik sebagai akibat
dari perbuatannya sendiri (acts of commision) maupun oleh karena pembiaran (acts of
ommission).

Kata-kata Kunci: Extrajudicial Killings; Tanggung Jawab Negara.

Abstract

The infamous tragedy of extrajudicial killings in Indonesia in 1965 could be categorized as


crimes against humanity, as well as a serious violation of human rigts as set forth in
Article 7 of Law No. 26, 2000 and Article 1 Paragraph (3) of the Constitution of 1945. In the
Maastricht Guidelines on Violations of Economic, Social and Cultural Rights, the state is
obliged to protect the civil, political and economic rights, as well as social and cultural
rights. to impose state obligations (the obligation to respect, protect and fulfill). Failure to
do any of these constitutes a violation of rights by the state. In relation to extrajudicial
killings that took place in 1965, the state may assume obligations both as a result of his
own actions (acts of commission) as well as because of its omission.

Key Words: Extrajudicial Killings; State Responsibility.

29
30 REFLEKSI HUKUM [Vol.1, No.1

PENDAHULUAN bahwa Suharto dengan rezim “Orde


Baru” menuduh Partai Komunis Indo-
Krisis politik pasca Gestapu (Gerakan
nesia (PKI) mendalangi G-30-S, dan
30 September 1965) oleh Pemerintah
selanjutnya menyusun rencana pem-
Orde Baru disingkat G30S/PKI. 1
basmian terhadap orang-orang yang
Penyebutan G30S/PKI oleh Orde Baru
terkait dengan partai itu.4
sebagai justifikasi bahwa tragedi politik
Tindakan pembantaian terhadap
1965 yang mengakibatkan terbunuhnya
orang-orang PKI tahun 1965 tanpa
6 jenderal di daerah Halim Perdana-
proses pengadilan oleh penulis dimaknai
kusuma didalangi oleh Partai Komunis
sebagai extrajudicial killings 1965.
Indonesia (PKI). Tragedi kemanusiaan
Tindakan extrajudicial killings 1965
pasca 1965 menurut Aswi Warman
merupakan tindakan yang bertentangan
Adam, memunculkan epilog gerakan
dengan konstitusi negara Indonesia
30 September serta serangkaian peristiwa:
serta merupakan pengkhianatan
(1) peristiwa satu malam pada tanggal
terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang
30 September 1965; (2) penangkapan,
terkandung dalam Pasal 1 ayat (3)
penahanan, perburuan, pembunuhan
Undang-Undang Dasar 1945.
massal yang memakan korban minimal
Dalam konteks lain, extrajudicial
setengah juta jiwa 1965-1966; (3) pen-
killings 1965 menurut Maastricht
cabutan paspor mahasiswa Indonesia
Guidelines on Violations of Economic,
di luar negeri sehingga mereka menjadi
Social and Cultural Rights, negara
orang terbuang atau manusia eksil, (4)
berkewajiban melindungi hak-hak sipil
pembuangan paksa lebih dari 10.000
dan politik, hak-hak ekonomi, sosial
orang ke Pulau Buru (1960-1979); (5)
dan budaya, dengan memberlakukan
stigma dan diskriminasi terhadap
tiga jenis kewajiban pada Negara,
jutaan keluarga korban 1965.2
yaitu: kewajiban untuk menghormati,
Senada dengan Asvi, diungkapkan
melindungi dan memenuhi. Kegagalan
oleh Baskoro T. Wardaya, bahwa pasca
untuk melakukan salah satu dari tiga
peristiwa 30 September 1965, ditandai
kewajiban tersebut merupakan pelang-
dengan dimunculkannya histeria anti-
garan hak yang dilakukan oleh negara.
komunis berupa penangkapan, penyik-
Oleh karena itu, extrajudicial killings
saan, pembunuhan serta pembuangan
1965 tidak dapat dikesampingkan atau
jutaan orang yang dituduh berideologi
dibiarkan berhenti begitu saja. Apalagi
kiri.3 John Rosa bahkan mensinyalir
kejahatan-kejahatan tersebut tidak
1
Hermawan Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan
(Jombang-Kediri 1965-1966) (Kepustakaan Populer Gramedia 2011) 2.
2
Asvi Marwan Adam, Melawan Lupa: Menepis Stigma setelah Prahara 1965 (PT. Kompas Media
Nusantara 2015) viii.
3
Baskara T. Wardaya, ed., Luka Bangsa Luka Kita; Pelanggaran HAM Masa Lalu dan Tawaran
Rekonsiliasi (Galang Press 2014) 61.
4
John Rosa, Dalih Pembunuhan Massal: Kudeta 30 September dan Kudeta Suharto (Institut Sejarah
Sosial Indonesia dan Hasta Mitra 2008) 5.
2016] EXTRA JUDICIAL KILLINGS 1965 31

mengenal daluarsa (non-statutory lakukan pelanggaran berat HAM (gross


limiitation), sehingga tidak ada batas violation of human rights) jika: (1)
waktu dalam penyelesaiannya sebagai- negara tidak berupaya melindungi atau
mana dikukuhkan oleh Pasal 46 UU justru meniadakan hak-hak warganya
No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan yang digolongkan sebagai non-derogable
Hak Asasi Manusia.5 rights;7 atau (2) negara yang bersangkut-
Peristiwa tersebut menuntut adanya an membiarkan terjadinya atau justru
tanggung jawab negara dalam upaya melakukan melalui aparat-aparatnya
untuk mengungkap tabir gelap tentang tindak kejahatan internasional (inter-
kebenaran sejarah, disamping upaya national crimes) atau kejahatan serius
mewujudkan rasa keadilan bagi korban (serious crimes) yaitu kejahatan geno-
maupun keluarga korban. Contoh sida, kejahatan terhadap kemanusiaan
tangung jawab negara pernah dilaku- dan kejahatan perang.8 Oleh karena itu
kan pada kasus relokasi dan internment sebagai bentuk tanggungjawab ter-
penduduk sipil warga AS (Amerika hadap kewajibannya, negara harus
Serikat) keturunan Jepang. Hampir melakukan penyelesaian extrajudicial
120.000 orang Jepang-Amerika diinter- killing 1965, baik dengan mekanisme
nir (dipaksa pindah dan dibatasi) oleh yudisial maupun mekanisme non
militer AS menyusul serangan Jepang yudisial. Hal itu akan menjadi fokus
di Pearl Harbor 1941. Melalui the Civil pembahasan artikel ini.
Liberties Act 10 Agustus 1988, pemerin-
PEMBAHASAN
tah AS menyatakan permintaan maaf
atas pelanggaran HAM masa lalu ter- Tangung Jawab Negara dalam
hadap warga negara AS keturunan Extrajudicial Killings 1965
Jepang dan sekaligus mengakui hak
Pentingnya penyelesaian extrajudicial
mereka untuk mengajukan gugatan.6
killings 1965 adalah untuk menegak-
Dalam hukum kebiasaan inter-
kan keadilan sebagaimana dituntut
nasional sebuah negara dianggap me-
5
Andrey Sujatmoko, Hukum HAM dan Hukum Humaniter (Rajawali Press 2015) 68.
6
Titon Slamet Kurnia, Reparasi (Reparation) terhadap Korban Pelanggaran HAM di Indonesia (PT.
Citra Aditya Bakti 2005) 273.
7
Article 4 ICCPR menentukan sejumlah hak yang bersifat non-derogable sebagai berikut: Right to
life (Art. 6); Prohibition of torture, cruel, inhuman and degrading treatment (Art. 7); Prohibition of
medical or scientific experimentation without consent (Art. 7); Prohibition of slavery, slave trade and
servitude (Art. 8); Prohibition of imprisonment because of inability to fulfil contractual obligation (Art.
11); Principle of legality in criminal law i.e. the requirement that criminal liability and punishment is
limited to clear and precise provisions in the law, that was in force at the time the act or omission took
place, except in cases where a later law imposes a lighter penalty (Art. 15); Recognition everywhere
as a person before the law (Art. 16); Freedom of thought, conscience and religion (Art. 18). Non-
derogable rights dirumuskan dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan sebagai berikut:
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak
beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum,
dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”.
8
Andrey Sujatmoko, Op.Cit. 69.
32 REFLEKSI HUKUM [Vol.1, No.1

oleh keluarga korban. Hal ini karena Oleh karena itu, upaya penyelesaian
menyangkut masalah perampasan hak pelanggaran berat HAM masa lalu
hidup manusia, di mana orang-orang adalah memberi kewajiban dan
PKI itu dibunuh tanpa proses penga- tanggung jawab kepada negara untuk
dilan. Langkah-langkah penyelesaian menghormati,melindungi, menegak-
pelanggaran berat HAM masa lalu kan dan memajukan HAM seperti yang
adalah perwujudan dari nilai-nilai ditekankan oleh Pasal 71 UU No. 39
kemanusiaan dan keadilan yang ter- Tahun 1999 tentang HAM. Kewajiban
kandung dalam Pancasila yang harus dan tanggung jawab negara terjadi
dijunjung tinggi oleh semua pihak karena negara merupakan pengemban
termasuk negara. Nilai-nilai kemanusia- kewajiban hukum untuk menyeleng-
an dan keadilan merupakan salah satu garakan langkah-langkah penyelesai-
elemen penting dari demokrasi sebagai- an atas pelanggaran-pelanggaran HAM
mana diatur dalam UUD 1945. Tanpa masa lalu.9
adanya penyikapan tegas oleh negara, Secara umum, sudah jelas bahwa
upaya penyelesaian pelanggaran berat siapa yang harus bertanggung jawab
HAM tahun 1965 akan menjadi sia-sia terhadap pelanggaran Hak Asasi
dan yang terjadi adalah berlangsung- Manusia dalam hal ini adalah negara.
nya pelanggaran HAM yang terus- Disini merujuk pada posisi dan peran
menerus seperti munculnya stigma negara sebagai state actor, yaitu yang
dan diskriminasi dalam berbagai aspek menjalankan semua sendi kehidupan
kehidupan para korban. Di samping itu bernegara sebagaimana amanat
penyelesaian pelanggaran berat HAM Undang-Undang Dasar. Disamping itu
tahun 1965 atau extrajudicial killings kewajiban negara tersebut juga lahir
1965 adalah upaya menjunjung tinggi dari instrumen-instrumen internasional
kemanusiaan dan keadilan sebagai- hak asasi manusia.
mana dimaksudkan oleh Pasal 28H Pelanggaran negara terhadap
Ayat (2) UUD 1945 yaitu: “Setiap orang kewajibannya itu dapat dilakukan baik
berhak mendapatkan kemudahan dan dengan perbuatannya sendiri (acts of
perlakuan khusus untuk memperoleh commision) maupun oleh karena kela-
kesempatan dan manfaat yang sama laiannya sendiri (acts of ommission).10
guna mencapai persamaan dan Kewenangan negara untuk bertang-
keadilan.” gungjawab tentu didasarkan pada
negara sebagai subyek hukum inter-

9
Koalisi untuk Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK), ‘Jalan Indonesia menuju Penyelesaian
atas Pelanggaran HAM masa lalu demi Masa Depan Bangsa: Kerangka Dasar untuk Kerja Bersama
berlandaskan Konstitusi’ (18 Agustus 2015) <http://kkpk.org/wp-content/uploads/2016/01/
Satya-Pilar.pdf> Diakses 12 Maret 2016.
10
Knut D. Asplund, Suparman Marzuki, Eko Riyadi eds., Hukum Hak Asasi Manusia (PUSHAM UII
2008).
11
R.C. Hingorani, Modern International Law (Oceana Publications 1984) 241.
2016] EXTRA JUDICIAL KILLINGS 1965 33

nasional sekaligus sebagai subyek hak jawab negara secara internasional,


asasi manusia. Negara sebagai aktor yaitu: pelanggaran suatu kewajiban
atau pemangku kewajiban untuk hukum internasional dan atribusi
bertanggungjawab melindungi, mene- pelanggaran itu untuk negara sebagai
gakkan, dan memajukan hak asasi badan hukum.14
manusia, bagi warga negaranya, Pendapat Shaw serta Arechaga
sebagaimana kontrak sosial dan politik dapat memberikan kejelasan tentang
negara dengan rakyatnya. bagaimana negara dapat bertanggung
Tanggung jawab negara menurut jawab terhadap pelanggaran HAM
Hingorani11 muncul sebagai akibat dari masa lalu, meskipun tindakan itu
adanya prinsip persamaan dan kedau- dilakukan bukan oleh negara secara
latan negara (equality and sovereignty langsung. Konsisten dengan itu maka
of state) yang terdapat dalam hukum kasus extrajudicial killings 1965 dapat
internasional. Dan jika merujuka pada dilimpahkan tanggung jawabnya kepada
Dictionary of Law12, dianggap sebagai negara. Hal ini sejalan dengan Pasal 4
“Obligation of a state to make reparation Responsibility of States for Internationally
arising from a failure to comply with a Wrongful Acts 2001 yang meliputi:
legal obligation under international law.” 1. The conduct of any State organ shall
Berkenaan dengan pertanggung- be considered an act of that State
jawaban negara, Shaw melihat ciri-ciri under international law, whether the
penting tentang pertanggungjawaban organ exercises legislative, executive,
yang kemudian disebut sebagai faktor judicial or any other functions, whatever
dasar, yaitu: adanya kewajiban hukum position it holds in the organization of
internasional yang masih berlaku di the State, and whatever its character
antara kedua negara yang bersangkut- as an organ of the central Government
an; telah terjadi suatu perbuatan atau or of a territorial unit of the State.
kelalaian yang melanggar kewajiban 2. An organ includes any person or entity
itu dan mewajibkan negara tersebut which has that status in accordance
bertanggung jawab; dan perbuatan with the internal law of the State.
melanggar hukum atau kelalaian Organ negara yang dimaksud Pasal 4
tersebut menimbulkan kehilangan mencakup semua individu atau entitas
atau kerugian.13 Tidak jauh berbeda kolektif yang membentuk organisasi
dari Shaw, Arechaga, juga melihat negara, lembaga atau pejabat-pejabat
adanya kesepakatan doktrinal pada negara yang berdasarkan undang-
proposisi bahwa ada dua unsur undang memiliki kewenangan untuk
penting untuk melahirkan tanggung bertindak atas nama negara. Ini juga

12
Elizabeth A. Martin ed., A Dictionary of Law (Oxford University Press 2002) 477.
13
Malcolm Shaw, Hukum Internasional (Nusa Media 2013) 774.
14
E.J. de Arechaga & A. Tanzi, ‘State Responsibility’ dalam Mohammed Bedjaoui (ed.), International
Law: Achievements and Prospects (Martinus Nijhoff Publisher 1991) 348.
34 REFLEKSI HUKUM [Vol.1, No.1

termasuk organ badan pemerintah penyelesaian dengan cara-cara extra-


teritorial dalam negara atas dasar yang ordinary, sehingga dapat mewujudkan
sama seperti organ pemerintah pusat.15 supremasi hukum untuk mencapai
Lebih lanjut menurut Oentoeng Wahyoe, kedamaian, ketertiban, ketentraman,
dalam konteks pertanggungjawaban keadilan dan kesejahteraan.” Konsisten
negara terhadap pelanggaran kejahatan dengan itu, untuk mendapatkan
internasional juga didasarkan pada kepastian hukum yang adil atas peris-
vicarious responsibility of State.16 Masih tiwa extrajudicial killings 1965, Pasal
menurut Wahjoe, negara dapat diper- 28D ayat (1) UUD 1945 memberikan
tanggungjawabkan jika memang ada ketentuan bahwa setiap orang berhak
keterlibatan negara yang meliputi: atas pengakuan, jaminan, perlindungan,
kebijakan negara (product of State dan kepastian hukum yang adil serta
favoring policy), kehendak negara perlakuan yang sama di hadapan
(favored by State conduct) atau oleh hukum.
negara (product of State action). Berkaitan dengan penegakan HAM,
Oleh karena itu, sebagai bentuk landasan yuridis yang relevan adalah
tanggung jawab negara terhadap Pasal 90 ayat (1) UU No. 39 tahun 1999
kejahatan kemanusiaan, maka perlu yang menentukan: “Setiap orang dan
mekanisme penyelesaian extrajudicial sekelompok orang yang memiliki
killings 1965, baik itu melalui mekanis- alasan kuat bahwa hak asasinya telah
me yudisial maupun mekanisme non- dilanggar dapat mengajukan laporan
yudisial. Pada prinsipnya kedua meka- dan pengaduan lisan atau tertulis pada
nisme penyelesaian tersebut memiliki Komnas HAM.” Oleh karena itu proses
payung hukum yang kuat di mana penyelesaian pelanggaran berat HAM
peran negara menjadi dominan sebagai masa lalu seperti extra judicial killings
pihak yang bertanggung jawab. 1965 dapat dilakukan dengan mekanis-
me yudisial melalui Pengadilan HAM
Penyelesaian melalui Mekanisme
ad hoc atau, dalam perspektif Hukum
Yudisial
Internasional, melalui Hybrid Tribunal.
Terkait dengan penyelesaian kasus- Mekanisme penyelesaian extra-
kasus pelanggaran berat HAM di masa judicial killings 1965 menurut hukum
lalu, Penjelasan Umum UU No 26 nasional Indonesia dengan melalui
Tahun 2000 memberikan penegasan Pengadilan HAM ad hoc didasarkan
sebagai berikut: “Bahwa pelanggaran pada UU No. 26 Tahun 2000. Undang-
hak asasi manusia yang berat merupa- Undang ini sebetulnya merupakan
kan extraordinary crimes, maka perlu adopsi dari Statuta Roma 1998, meski

15
United Nations Legislative Series, Materials On the Responsibility of States for Internationally Wrongful
Acts (United Nations 2012) 31.
16
Oentoeng Wahjoe, Hukum Pidana Internasional: Perkembangan Tindak Pidana International & Proses
Penegakannya (Erlangga 2011) 100.
2016] EXTRA JUDICIAL KILLINGS 1965 35

ada beberapa hal yang kurang, seperti diundangkannya Undang-Undang ini,


elements of crimes yang tidak ada dalam diperiksa dan diputus oleh Pengadilan
UU No. 26 Tahun 2000. Ini sangat HAM ad hoc.”
penting untuk menyamakan pan- Dalam kaitan dengan Pengadilan
dangan di kalangan penegak hukum HAM menurut UU No. 26 Tahun 2000,
dalam proses penyelesaian pelang- maka pertanyaanya adalah apakah
garan HAM. Terlepas politik hukum di extra judicial killings 1965 termasuk
balik pembuatan UU No. 26 tahun dalam Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000?
2000, tetapi semangat untuk menye- Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000 yang
lesaikan pelanggaran HAM masa lalu meletakkan dasar yurisdiksi material
setidaknya telah diakomodir dalam Pengadilan HAM menentukan bahwa
Undang-Undang ini. Mekanisme perkara yang dapat diadili oleh
Pengadilan HAM ad hoc berdasarkan Pengadilan HAM adalah kejahatan
UU No. 26 tahun 2000 pernah diguna- genosida dan kejahatan terhadap
kan untuk mengadili pelanggaran kemanusiaan. Sebelum menjawab
berat HAM di Tim-Tim pasca jajak pertanyaan itu, terlebih dahulu perlu
pendapat. Di samping itu pengadilan dilihat pada Pasal 9 UU No. 26 Tahun
nasional merupakan primary forum 2000 yang menentukan:
untuk mengadili para pelanggar HAM Kejahatan terhadap kemanusiaan
berat dengan alasan: (1) keterkaitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
huruf b adalah salah satu perbuatan
dengan masyarakat setempat, sehingga yang dilakukan sebagai bagian dari
memiliki efek deterrent; (2) memudah- serangan yang meluas atau sistematik
yang diketahuinya bahwa serangan
kan mencari bukti-bukti, saksi-saksi
tersebut ditujukan secara langsung
dan para pelaku; (3) tidak mahal dan terhadap penduduk sipil, berupa: a)
lebih mudah dilaksanakan.17 Pembunuhan; b) Pemusnahan; c) Perbu-
dakan; d) Pengusiran atau pemindahan
Konstruksi penyelesaian extra penduduk secara paksa; e) Perampas-
judicial killings 1965 dengan UU No. 26 an kemerdekaan atau perampasan
Tahun 2000 didasarkan pada Pasal 4, kebebasan fisik lain secara sewenang-
wenang yang melanggar (asas-asas)
yaitu: “Pengadilan HAM bertugas dan ketentuan pokok hukum internasional;
berwenang memeriksa dan memutus- f) Penyiksaan; g) Perkosaan, perbudakan
seksual, pelacuran secara paksa, pe-
kan perkara pelanggaran hak asasi
maksaan kehamilan, pemandulan atau
manusia yang berat.” Landasan yuridis sterilisasi secara paksa atau bentuk-
spesifik untuk pembentukan Pengadilan bentuk kekerasan seksual lain yang
setara; h) Penganiayaan terhadap sua-
HAM ad hoc diatur dalam Pasal 43 ayat tu kelompok tertentu atau perkum-
(1) UU No. 26 Tahun 2000 yang menen- pulan yang didasari persamaan paham
tukan: “Pelanggaran hak asasi manusia politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya,
agama, jenis kelamin atau alasan lain
yang berat yang terjadi sebelum yang telah diakui secara universal

17
Muladi, Mekanisme Domestik untuk Mengadili Pelanggaran HAM Berat melalui Sistem Pengadilan
atas dasar UU No. 26 Tahun 2000 (Elsam 2015) 7.
36 REFLEKSI HUKUM [Vol.1, No.1

sebagai hal yang dilarang menurut Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000


hukum internasional; i) Penghilangan
orang secara paksa; j) Kejahatan menentukan bahwa kejahatan terhadap
apartheid. kemanusiaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 huruf b UU No. 26
Apakah extrajudicial killings 1965
Tahun 2000 harus mencerminkan dua
termasuk dalam cakupan Pasal 9 di
elemen. Pertama, perbuatan yang
atas? Untuk menjawab itu perlu
dilakukan sebagai bagian dari serangan
dipahami lebih dahulu the elements of
yang meluas (widespread) dan siste-
crimes dari kejahatan terhadap kema-
matik (systematic) yang diketahuinya
nusian yang meliputi unsur subjektif
bahwa serangan tersebut ditujukan
dan unsur objektif. Artinya apakah
pada penduduk sipil. Kedua, keharusan
extrajudicial killings 1965 dapat
adanya pengetahuan (with knowledge)
memenuhi unsur subjektif (criminal
pelaku bahwa perbuatan yang dilakukan
responsibility/mens rea) dan unsur
merupakan bagian dari atau dimak-
objektif (criminal act/actus reus). Unsur
sudkan untuk menjadi bagian serang-
subjektif mencakup: kesalahan; ke-
an yang meluas atau sistematik
mampuan bertanggung jawab; kese-
terhadap penduduk sipil.18
ngajaan atau kealpaan; dan tidak
Pasal 9 UU No. 26 tahun 2000 tidak
adanya alasan pemaaf. Unsur objektif
memberikan batasan bahwa harus
mencakup: perbuatan itu memenuhi
lebih dari satu tindak pidana serangan
Undang-Undang; bersifat melawan
yang meluas dan sistematik yang
hukum; dan tidak adanya alasan
ditujukan secara langsung terhadap
pembenar.
penduduk sipil (pembunuhan, perko-
Supaya extrajudial killings untuk
saan, penyiksaan, dll). Hal ini berarti,
dapat digolongkan sebagai kejahatan
salah satu dari tindak pidana tersebut
terhadap kemanusiaan menurut Pasal
terpenuhi sudah cukup dinyatakan
7 huruf b UU No. 26 Tahun 2000,
sebagai tindak pidana kejahatan
setidaknya harus memenuhi unsur-
terhadap kemanusiaan.
unsur sebagai berikut:
Penyelesaian kasus-kasus pelang-
(1)Unsur material yang fokusnya pada
garan berat HAM menurut hukum
perbuatan (conduct), akibat (conse-
internasional melalui pengadilan inter-
quences) dan keadaan-keadaan
nasional memiliki urgensi karena
(circumstances) yang menyertai
berkaitan dengan kejahatan inter-
perbuatan;
nasional atau kejahatan di bawah
(2)Unsur mental yang relevan yang
yurisdiksi hukum internasional seperti
fokusnya tertuju pada bentuk
genosida, kejahatan terhadap kema-
kesengajaan (intent), pengetahuan
nusiaan dan kejahatan perang. Dalam
(knowledge), atau keduanya.
perspektif hukum internasional,
alasan bahwa kejahatan internasional
18
Ibid. 13. harus dibentuk melalui pengadilan
2016] EXTRA JUDICIAL KILLINGS 1965 37

internasional adalah: kejahatan ter- garan berat HAM yang dapat menye-
sebut melanggar norma internsional babkan mekanisme internasional me-
yang bersifat jus cogens atau peremptory ngambil alih fungsi pengadilan nasio-
norm; terhadap pelaku kejahatan tidak nal.19 Selain itu, ada juga faktor lain
boleh bebas tanpa hukuman (impunity); seperti aturan yang berimplikasi
kejahatan HAM berat tidak mengenal menghambat penyelesaian pelanggar-
daluarsa (non-statutory limitation). an HAM, seperti Pasal 43 ayat (2) UU
Proses penegakan hukum dalam No. 26 tahun 2000 di mana Pengadilan
konteks internasional Secara teori HAM ad hoc sebagaimana dimaksud
dibagi menjadi dua, yaitu: Direct dibentuk atas usul Dewan Perwakilan
Enforcement System (Penegakan Hukum Rakyat Republik Indonesia berdasar-
Secara Langsung) dan Indirect Enfor- kan peristiwa tertentu dengan Kepu-
cement System (Penegakan Hukum tusan Presiden. Tentu saja Undang-
Secara Tidak Langsung). Direct Enfor- Undang ini design to fail karena dida-
cement System merupakan penegakan sari nalar politis yang kuat atau me-
hukum pidana internasional oleh mah- ngandung politik hukum yang meng-
kamah pidana internasional, seperti: hambat penyelesaian pelanggaran HAM.
Nuremberg, International Military Tribunal Pada kondisi deadlock baik karena
for the Far East (Tokyo), International undang-undang maupun karena situasi
Criminal Tribunal for the Former politik, atau beberapa negara yang
Yugoslavia (ICTY), International Criminal mengalami nasib seperti itu (unwilling-
Tribunal f or Rwanda (ICTR), dan ness dan inability) melakukan penyele-
International Criminal Court (ICC). saian melalui mekanisme hybrid
Sedangkan penegakan hukum pidana tribunals seperti Sierra Leone dengan
internasional secara Indirect Enforcement Special Court of Sierra Leone dan Timor
System adalah penegakan hukum Leste dengan Special Panels for Serious
pidana internasional melalui hukum Crimes. Hybrid tribunal disebut dengan
pidana nasional di masing-masing pengadilan campuran, karena terdiri
negara, tempat kejahatan tersebut dari unsur-unsur yang bersifat cam-
terjadi. Seperti hybrid tribunal di Timor puran, seperti menyangkut kebang-
Leste, Serra Leone, Kamboja. saan orang-orang yang bekerja (hakim,
Dalam konteks penyelesaian extra- jaksa, panitera) terdiri dari warga negara
judicial killings 1965, penyelesaian setempat maupun orang asing yang
melalui hybrid tribunals menurut diangkat oleh PBB. Demikian pula
Andrey Sujatmoko, dikarenakan ada- dengan hukum yang digunakan adalah
nya faktor-faktor unwillingness dan kombinasi antara hukum nasional
inability dari negara pelaku pelang- setempat dengan hukum internasional.20

19
Andrey Sujatmoko, Tanggungjawab Negara atas Pelanggaran HAM Indonesia, Timor Leste dan lainnya
(PT. Grasindo 2005) 179.
20
Ibid.
38 REFLEKSI HUKUM [Vol.1, No.1

Pengadilan campuran atau hybrid dan penegakan hukum yang tidak


tribunals merupakan penemuan baru submisif terhadap sistem yang ada,
dalam bidang hukum pidana inter- tetapi afirmatif. Afirmatif berarti kebe-
nasional yang disebut dengan “gene- ranian untuk melakukan pembebasan
rasi ketiga” dari perkembangan pidana dari praktik konvensional dan mene-
internasional. Perkembangan ini gaskan penggunaan satu cara yang
merupakan terobosan baru dalam lain, yang menerobos pakem-pakem
penegakan hukum pidana HAM inter- praktik hukum yang telah lama
nasional di mana model ini dikelom- berlangsung.23
pokkan dari beberapa campuran Oleh karena itu, pilihan hybrid
negara-negara dan komponen inter- tribunals memiliki kekuatan-kekuatan
nasional yang menawarkan pendekat- internasional yang memiliki daya tekan
an yang tertuju pada keadilan inter- dan kredibilitas dalam penyelenggaran
nasional secara keseluruhan pada satu peradilan HAM masa lalu. Namun,
sisi dan keadilan dalam negeri di sisi apapun dalil-dalil pembentukan hybrid
lain. Pengadilan hybrid menurut PBB tribunlas, paling tidak memiliki pers-
adalah: “courts of mixed composition pektif yang sama tentang tujuan ter-
and jurisdiction, encompassing both bentuknya pengadilan yang dapat
national and international aspects, mewujudkan perdamaian dan keadilan
usually operating within the jurisdiction bagi para korban.
where the crimes occurred.”21
Mekanisme Non-yudisial
Hybrid tribunals merupakan kom-
binasi internasional dan lokal, yang Seringkali penyelesaian non-
dalam perspektif Higonnet, adalah yudisial atau di luar peradilan kasus
produk dari berbagi akuntabilitas pelanggaran HAM masa lalu menjadi
peradilan antara negara-negara di pilihan karena dinilai lebih memuas-
mana mereka berfungsi dan juga PBB: kan pihak-pihak yang sedang berkonflik.
“Blending the international and the local, Namun demikian, kadang penyelesaian
existing hybrids are products of judicial di luar peradilan memunculkan polemik
accountability sharing between the karena dianggap menyimpangi peradilan
states in which they fucntion and the pidana, khususnya dalam perspektif
United Nations.”22 Ini mungkin salah positivisme hukum.
satu model penegakan hukum progresif, Gagasan proses penyelesaian di
yang menurut Suparman Marzuki, luar peradilan pidana ini juga dikenal
karena menawarkan bentuk pemikiran dengan istilah restorative justice atau

21
United Nations, Rule of Law Tools for Post Conflict States: Maximizing the Legacy of Hybrid Courts
(United Nations 2008) 1.
22
Ethel Higonnet, ‘Restructuring Hybrid Courts: Local Empowerment and National Criminal Justice
Reform’ (Yale Law School Legal Scholarship Repository: Student Scholarship Papers 2005) <http://
digitalcommons.law.yale.edu/student_papers> Diakses 12 Maret 2016.
23
Suparman Marzuki, Pengadilan HAM di Indonesia: Melanggengkan Impunity (Erlangga 2012) 276.
2016] EXTRA JUDICIAL KILLINGS 1965 39

keadilan restoratif. Konsep keadilan Pendekatan rekonsiliasi, meski


restoratif adalah sebuah pendekatan dianggap tidak menjamin terwujudnya
untuk keadilan yang tertuju pada rasa keadilan, telah diterapkan oleh
kebutuhan para korban dan pelaku, lebih dari 20 negara untuk menyelesai-
serta masyarakat yang terlibat. Pada kan pelanggaran berat HAM masa lalu.
dasarnya keadilan restoratif melihat Negara-negara itu antara lain: Afrika
proses pemidanaan dari perspektif Selatan (1995), Chili (1990-1992), El
yang berbeda, yaitu pemenuhan atas Savador (1992-1994) serta Meksiko
kerugian yang diderita korban. Memin- (1992). Di Indonesia, Komisi Kebenaran
jam perspektif PBB, keadilan restoratif dan Rekonsiliasi merupakan alternatif
didasarkan pada beberapa asumsi pilihan setelah mekanisme yudisial
yang mendasari, yaitu: respons ter- melalui pengadilan HAM ad hoc ber-
hadap kejahatan harus memperbaiki dasarkan UU No. 26 Tahun 2000
sebanyak mungkin kerugian yang menghadapi kesulitan prosedural.
diderita oleh korban; pelanggar harus Menurut Jusuf Kalla, upaya ini meniru
dibawa untuk memahami bahwa metode penyelesaian kasus pelanggaran
perilaku mereka tidak dapat diterima berat HAM di Afrika Selatan dengan
dan bahwa itu memiliki beberapa kon- slogan “to forgive not to forget.” Kalla
sekuensi nyata bagi korban dan lebih lanjut mengatakan metode
masyarakat; pelaku dapat dan harus penyelesaian di Afrika Selatan semacam
menerima tanggung jawab atas tin- islah di Indonesia.25
dakan mereka; korban harus memiliki Ada yang berpandangan bahwa
kesempatan untuk mengekspresikan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
kebutuhan mereka dan berpartisipasi merupakan fenomena transisi yang
dalam menentukan cara terbaik bagi muncul dari konteks negara-negara
pelaku untuk memberikan reparasi; yang sedang menghadapi transisi dari
dan masyarakat memiliki tanggung rejim otoriter ke rezim demokratis. 26
jawab untuk berkontribusi pada proses Instittute for Democracy and Electoral
ini.24 Ada dua mekanisme non-yudisial Asistance (IDEA) menjelaskan penting-
dalam rangka penyelesaian pelanggar- nya komisi kebenaran dan rekonsiliasi
an berat HAM masa lalu yang akan dengan alasan sebagai berikut:
didiskusikan di sini sebagai solusi “Reconciliation is an overarching process
untuk extrajudicial killings 1965, yaitu which includes the search for justice,
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi forgiveness, healing and so on. At its
(KKR) serta Komisi Islah. simplest, it means finding a way to live

24
United Nations, Handbook On Restorative Justice Programes (United Nations Publication 2006) 8.
25
Kontras, ‘Pembatalan UU KKR oleh Mahkamah Konstitusi’ (Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006)
<https://www.kontras.org/buletin/indo/2006-11-12.pdf> Diakses 12 Maret 2016.
26
Ifdhal Kasim, ‘Apakah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi itu?’ (2000) 1 Briefing Paper Series
tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi-Elsam 1, 1.
40 REFLEKSI HUKUM [Vol.1, No.1

alongside former enemies - not kasus dibawa untuk menjadi perha-


necessarily to love them, or forget the past tiannya.
in any way, but to coexist with them, to Di Indonesia, dasar hukum pem-
develop the degree of cooperation bentukan KKR adalah UU No. 27 tahun
necessary to share our society with them, 2004. Akan tetapi Undang-Undang
so that we all have better lives together tersebut dibatalkan melalui putusan
than we have had separately.”27 Sejalan Mahkamah Konstitusi. Sebagai impli-
dengan itu, menurut Erasmus Ndemole, kasi putusan tersebut kelembagaan
komisi kebenaran adalah: “bodies set KKR di Indonesia menjadi non-eksis
up to investigate a past history of dan hingga kini belum ada payung
violations of human rights in a particular hukum pengganti sebagai dasar hukum
country which can include violations by untuk penyelesaian pelanggaran berat
the military or other government forces HAM di masa lalu melalui KKR.
or armed opposition forces.”28 Alternatif lain untuk penyelesaian
Dalam praktiknya, kinerja dari extrajudicial killings 1965 melalui
komisi kebenaran dan rekonsiliasi mekanisme non-yudisial dapat dilaku-
nampak dalam contoh kasus El kan dengan menggunakan cara kul-
Salvador yang dikemukakan oleh tural. Mekanisme kultural yang
Priscilla B. Hayner. 29 El Salvador dibangun atas nilai-nilai serta norma-
membentuk Komisi Kebenaran sebagai norma lokal akan dapat membangun
bagian dari kesepakatan damai antara keseimbangan, perdamaian serta inte-
pemerintah dan oposisi bersenjata. grasi sosial pasca konflik. Mekanisme
Komisi diberikan waktu delapan bulan ini berbeda dengan penyelesaian
untuk menulis laporan yang mengurai- menggunakan hukum atau kekua-
kan luasnya pelanggaran HAM dan saan, yang menurut Saldi Ernas
pelanggaran hukum kemanusiaan cenderung menafikan kemungkinan
internasional setelah lebih dari dua adanya nilai-nilai tertentu yang mampu
belas tahun perang saudara di El mendorong masyarakat untuk menge-
Salvador. Staf Komisi mendengarkan lola perbedaan dengan cara-cara yang
kesaksian dari saksi atau korban keke- tepat, sehingga melahirkan integrasi
rasan, menyelidiki sejumlah kasus dan perdamaian yang otentik dalam
secara mendalam, dan dikompilasi masyarakat.30
secara statistik pada puluhan ribu

27
David Bloomfield, Teresa Barnes, Luc Huyse eds., Reconciliation After Violent Conflict: A Handbook
(International Institute for Democracy and Electoral Assistance 2003) 12.
28
Erasmus Ndemole Migyikra, ‘Truth and Reconciliation Commissions: A Comparative Study of South
Africa, Ghana and Sierra Leone’ (Thesis Master of Arts, European University Centre for Peace
Studies 2008) 16.
29
Priscilla B. Hayner, ‘Fifteen Truth Commissions 1974 to 1994: A Comparative Study’ (1994) 16
Human Rights Quarterly 597, 599.
30
Saldi Ernas, ‘Kearifan Kultural Solusi Untuk Penyelesaian Konflik’ <https://ugm.ac.id/id/berita/
9396-kearifan.kultural.solusi.untuk.penyelesaian.konflik> Diakses, 12 Juli 2016.
2016] EXTRA JUDICIAL KILLINGS 1965 41

Islah adalah suatu pendekatan Menurut Mahrus dan Syarif Hidayat,


kultural yang persuasif serta memiliki istilah islah memiliki akar kata dari
landasan filosofis dan teologis bagi bahasa Arab yaitu sholuha yang berarti
sebagian besar masyarakat Indonesia bagus, baik; ashlaha yang berarti
yang beragama Islam. Islah menurut memperbaiki. Sholluha diartikan
A. Yani Wahid merupakan warisan sebagai membaikan atau menyelesai-
religius untuk resolusi konflik dalam kan; shoolaha berarti berdamai, as
tragedi kemanusiaan. Islah masih sulhu berarti perdamaian, as sholaa-
menurut Wahid adalah memiliki landas- hiyah berarti kepantasan; as sholihu
an filosofis dan teologis yang mengarah berarti yang bagus, baik, ishlahun
kepada pemulihan harkat dan mar- berarti perbaikan, koreksi. 33 Masih
tabat semua pihak yang terlibat, meng- menurut Mahrus dan Syarif Hidayat,
ganti suasana konflik dengan per- islah merupakan satu konsep utuh
damaian (asas silaturahmi), mengha- dalam penyelesaian suatu perkara.
pus hujat menghujat dengan pemaafan, Secara mendasar prinsip-prinsip yang
menghentikan tuntut menuntut dan harus ada dalam proses islah adalah:
salah menyalahkan (asas saling mema- pengungkapan kebenaran; adanya
afkan dan memohon ampunan dari pihak yang meliputi pihak yang
Tuhan).31 berkonflik yang dalam hal kejahatan
Islah juga merupakan pilihan yang harus ada korban dan pelaku, sedang-
sifatnya voluntaristik, suka rela dan kan pihak yang lain adalah mediator;
tanpa paksaan. Kedua belah pihak, merupakan proses sukarela tanpa
baik korban maupun pelaku, sama- paksaan; dan keseimbangan dan
sama dalam posisi tidak saling mene- kewajiban.
kan dan memilih secara bebas jalan Sedangkan islah dan beragam
menuju islah. 32 Begitu juga ruang derivasinya menurut Wahyudi Akmaliyah
lingkup islah yang cukup luas, yaitu secara garis besar memiliki kecen-
mencakup aspek-aspek segi kehidup- derungan pada tiga makna dalam al-
an manusia baik pribadi maupun Qur’an, antara lain: lebih mengarah
sosial. Oleh karena itu islah adalah pada upaya memperbaiki sesuatu,
proses mendamaikan pihak-pihak mendamaikan, menghilangkan seng-
yang bertikai dengan menghilangkan keta maupun kerusakan, berusaha
segala bentuk pertikaian dan permu- menciptakan perdamaian, membawa
suhan atau dendam yang berkepa- keharmonisan, serta menganjurkan
njangan yang dapat merugikan semua orang untuk berdamai satu dengan
pihak.
31
A. Yani Wahid, ‘Islah, Resolusi Konflik untuk Rekonsiliasi’ (Kompas, 16 Maret 2001).
32
Binsar Gultom, Pelanggaran HAM dalam Hukum Keadaan Darurat di Indonesia. (Gramedia Pustaka
Utama 2010) 248.
33
Mahrus Ali & Syarif Nurhidayat, Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat in Court System & Out Court
System (Gratama Publishing 2011) 283.
42 REFLEKSI HUKUM [Vol.1, No.1

yang lainnya; reformasi, baik secara gung jawab. Oleh karena itu, sebagai
individu maupun kelompok agar bentuk tanggung jawabnya, negara
menjadi lebih baik; upaya menjaga harus melakukan penyelesaian terha-
ekologi dan kepedulian terhadap anak dap extrajudicial killings 1965 yang
yatim.34 merupakan pelanggaran berat HAM, di
Dari pandangan Wahyudi, islah mana tidak berlaku daluarsa, baik
yang dimaksud dalam upaya penyele- melalui mekanisme yudisial maupun
saian extrajudicial killings 1965 adalah mekanisme non-yudisial.
konsep yang pertama yaitu untuk
DAFTAR BACAAN
perdamaian serta meluruhkan keben-
cian di antara pelaku maupun korban. Buku
Lebih lanjut Wahyudi mengungkapkan
Adam, Asvi Marwan, Melawan Lupa:
esensi islah menurut Islam yang
Menepis Stigma setelah Prahara 1965
memiliki efek positif bagi orang-orang
(PT. Kompas Media Nusantara 2015).
yang bertikai, yaitu adanya pengakuan
kesalahan dan saling memaafkan Ali, Mahrus, & Syarif Nurhidayat,
antara keduanya. Prosesi islah kemu- Penyelesaian Pelanggaran HAM
dian akan menjadi pertanda bahwa Berat In Court System & Out Court
perselisihan yang selama ini ada akan System (Gratama Publishing 2011).
dianggap selesai, hal ini untuk meng- Arechaga, E.J. de & A. Tanzi, ‘State
eliminir timbulnya dendam di antara Responsibility’ dalam Mohammed
pelaku dan korban. Tak heran jika Bedjaoui ed., International Law:
islah dianggap sebagai perbuatan yang Achievements and Prospects (Marti-
terpuji dalam kaitannya dengan nus Nijhoff Publisher 1991).
perilaku manusia.
Asplund, Knut D., Suparman Marzuki,
PENUTUP Eko Riyadi, eds., Hukum Hak Asasi
Manusia (PUSHAM UII 2008).
Negara memiliki kewajiban untuk
Bloomfield, David, Teresa Barnes, Luc
menjaga dan melindungi HAM warga
Huyse eds., Reconciliation After
negaranya. Jika negara gagal meme-
Violent Conflict: A Handbook (Inter-
nuhi kewajibannya tersebut, baik yang
national Institute for Democracy
dilakukan dengan perbuatannya
and Electoral Assistance 2003).
sendiri (acts of commision) maupun
oleh karena kelalaiannya (acts of Gultom, Binsar, Pelanggaran HAM
ommission), maka negara telah mela- dalam Hukum Keadaan Darurat di
kukan pelanggaran HAM dan, sebagai Indonesia. (Gramedia Pustaka
implikasinya, negara harus bertang- Utama 2010).

34
Wahyudi Akmaliah, ‘Islah sebagai Dalih: Studi Kasus Penyelesaian Konflik Peristiwa Tanjung Priok
(1984) dan Talang Sari (1989) Pasca Rezim Orde Baru’ (2014) 16 Jurnal Masyarakat & Budaya
167, 170-171.
2016] EXTRA JUDICIAL KILLINGS 1965 43

Hingorani, R.C., Modern International United Nations, Handbook On Restorative


Law (Oceana Publications 1984). Justice Programes (United Nations
Publication 2006) 8.
Kurnia, Titon Slamet, Reparasi (Repa-
ration) terhadap Korban Pelang- _____, Rule of Law Tools for Post Conflict
garan HAM di Indonesia (PT. Citra States: Maximizing the Legacy of
Aditya Bakti 2005). Hybrid Courts (United Nations 2008).
Martin, Elizabeth A., ed., A Dictionary of Wardaya, Baskara T., ed., Luka Bangsa
Law (Oxford University Press 2002). Luka Kita; Pelanggaran Ham Masa
Lalu dan Tawaran Rekonsiliasi
Marzuki, Suparman, Pengadilan HAM
(Galang Press 2014).
di Indonesia: Melanggengkan Impunity
(Erlangga 2012). Wahjoe, Oentoeng, Hukum Pidana
Internasional: Perkembangan Tindak
Muladi, Mekanisme Domestik untuk
Pidana International & Proses
Mengadili Pelanggaran HAM Berat
Penegakannya (Erlangga 2011).
melalui Sistem Pengadilan atas dasar
UU No. 26 Tahun 2000 (Elsam 2015).
Jurnal
Rosa, John, Dalih Pembunuhan Massal:
Kudeta 30 September dan Kudeta Akmaliah, Wahyudi, ‘Islah sebagai
Suharto (Institut Sejarah Sosial Dalih: Studi Kasus Penyelesaian
Indonesia dan Hasta Mitra 2008). Konflik Peristiwa Tanjung Priok
(1984) dan Talang Sari (1989) Pasca
Shaw, Malcolm, Hukum Internasional
Rezim Orde Baru’ (2014) 16 Jurnal
(Nusa Media 2013).
Masyarakat & Budaya.
Sujatmoko, Andrey, Tanggungjawab
Hayner, Priscilla B., ‘Fifteen Truth
Negara atas Pelanggaran HAM
Commissions 1974 to 1994: A
Indonesia, Timor Leste dan lainnya
Comparative Study’ (1994) 16 Human
(PT. Grasindo 2005) 179.
Rights Quarterly.
_____, Hukum HAM dan Hukum
Higonnet, Ethel, ‘Restructuring Hybrid
Humaniter (Rajawali Press 2015).
Courts: Local Empowerment and
Sulistyo, Hermawan, Palu Arit di Ladang National Criminal Justice Reform’
Tebu: Sejarah Pembantaian Massal (Yale Law School Legal Scholarship
yang Terlupakan (Jombang-Kediri Repository: Student Scholarship
1965-1966) (Kepustakaan Populer Papers 2005) <http://digital-
Gramedia 2011). commons. law.yale.edu/student_
papers> Diakses 12 Maret 2016.
United Nations Legislative Series,
Materials On the Responsibility of Kasim, Ifdhal, ‘Apakah Komisi Kebenaran
States for Internationally Wrongful dan Rekonsiliasi itu?’ (2000) 1
Acts (United Nations 2012). Briefing Paper Series tentang
44 REFLEKSI HUKUM [Vol.1, No.1

Komisi Kebenaran dan Rekon-


siliasi-Elsam.

Lain-lain

Migyikra, Erasmus Ndemole, ‘Truth and


Reconciliation Commissions: A
Comparative Study of South Africa,
Ghana and Sierra Leone’ (Thesis
Master of Arts, European University
Centre for Peace Studies 2008).

Anda mungkin juga menyukai