Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PRAKTIKUM I

SISTEM PERWAKILAN POLITIK

SELVIANA

E1051181073

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

PONTIANAK

2020
HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN PRAKTIKUM I
SISTEM PERWAKILAN POLITIK

Oleh:
SELVIANA
E1051181073

Disahkan Oleh
Dosen Pembimbing Praktikum I

Herri Junius Nge, S.Sos.,M.Si


NIP.198506092015041002

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

PONTIANAK

2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis hanturkan kepada Allah SWT, karena berkat

limpahan rahmat dan karunianya hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan

Praktikum I ini dengan tepat pada waktu yang sudah ditentukan. Shalawat beserta

salam selalu tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW. Adapun

pratikum 1 ini membahas mata kuliah Sistem Perwakilan Politik

Dalam proses penyelesaian Praktikum I ini penulis mendapat bimbingan dan

bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih

sebesar-besarnya kepada dosen pembimbing Praktikum I Herri Junius Nge,

S.Sos.,M.Si, serta teman-teman Prodi Ilmu Politik Angkatan 2016 dan 2017 atas

bimbingannya, dan saran-saran yang telah diberikan kepada penulis selama

mengerjakan Praktikum I ini.

Semoga Laporan Praktikum I ini dapat bermanfaat bagi semua kalangan

masyarakat maupun akademisi, penulis juga menyadari dalam penulisan laporan ini

masih banyak sekali kekurangan sehingga penulis juga mengharapkan kritik

maupun saran yang membangun agar dapat memperbaiki segala bentuk kekurangan

yang ada dalam praktikum ini.

Pontianak, November 2020

Selviana
E1051181073

i
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................. i
KATA PENGANTAR ............................................................................ i
DAFTAR ISI ........................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1
BAB II KAJIAN TEORI......................................................................... 3
A. Grand Theory ............................................................................. 3
B. Midle Range Theory .................................................................. 4
C. Substansial Theory ..................................................................... 8
BAB III KAJIAN TEORI ....................................................................... 9
BAB IV ANALISIS FENOMENA ......................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 16

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Deskripsi Mata Kuliah

Judul praktikum ini diambil dari salah satu hasil pembahasan dari materi

mata kuliah Sistem Perwakilan Politik. Mata kuliah Sistem Perwakilan Politik ini

adalah salah satu mata kuliah wajib yang ada di program studi ilmu politik, yang

didapatkan pada semester ganjil dengan bobot 3 SKS. Jadi, Untuk mahasiswa

program studi ilmu politik diharuskan mengikuti mata kuliah ini.

Pada Mata kuliah ini menjelaskan tentang (1) sejarah perwakilan politik, (2) konsep

dasar perwakilan politik, (3) pengenalan studi perwakilan politik, (4) operasionalisasi

perwakilan politik, (5) teori-teori lembaga perwakilan, teori-teorinya adalah teori mandat

yang terdiri beberapa bagian; (1) mandat bebas, (2) mandat refresentatif, dan (3) mandat

imferatif. (6) model-model lembaga perwakilan politik, (7) pergeseran peran dan fungsi

lembaga perwakilan, (8) reformasi lembaga perwakilan politik di Indonesia, (9) peran

lembaga perwakilan dalam konteks Indonesia (10) keterwakilan kelompok marginal (11)

perempuan dan keterwakilan politik (12) pemilu dan perwakilan politik, dan yang terakhir

(13) permasalahan lembaga perwakilan.

Setelah mengikuti mata kuliah ini, mahasiswa dapat memberikan kontribusi dalam

melakukan analisa terhadap perwakilan politik, memahami mengenai proses perwakilan

politik yang terjadi di beberapa Negara, dapat memberikan penjelasan tentang teori-teori

mendasar dalam kajian perwakilan politik, dan memberikan pemahaman mendasar

mengenai tantangan dan peluang dari beberapa format sistem perwakilan politik yang

pernah digunakan oleh Indonesia dan korelasinya dengan pola demokrasi yang sedang

berjalan di era reformasi saat ini.

1
BAB II
KAJIAN TEORI

A. Grand Theory

1. Montesquieu (1689-1755) Dalam Bukunya Del L’esprit Des Lois’

Montesquieu lahir pada tanggal 18 januari 1689 dan pada umur 66 tahun

Montesquieu meninggal pada 10 februari 1955. Montesquieu terkenal dengan teori

tentang pemisahan kekuasaan. Pemisahan kekuasaan antara legislative, eksekutif

dan yudikatif ketiga pemisahan tersebut dikenal dengan istilah Trias politika.

Sementara itu Montesquieu dalam masalah pemisahan kekuasaan

membedakannya dalam tiga bagian pula, yaitu : 1) Kekuasaan legislatif, bertugas

untuk membuat undang-undang. 2) Kekuasaan eksekutif, bertugas untuk

menyelenggarakan undang-undang (tetapi oleh Montesquieu diutamakan tindakan

di bidang politik luar negeri). 3) Kekuasaan yudikatif, bertugas untuk mengadili

atas pelanggaran undang-undang. Konsep pemisahan kekuasaan yang dikemukakan

oleh pemikir besar tersebut kemudian dikenal dengan teori Trias Politica.

2. Arbi Sanit (1985)

Menurut Arbi Sanit, fungsi lembaga legislatif terdiri atas fungsi perwakilan

politik, fungsi perundang-undangan, dan fungsi pengawasan. Lebih Jauh lagi Arbi

Sanit (1985:253) menjelaskan:

Melalui fungsi perwakilan politik, lembaga legislatif/lembaga perwakilan

membuat kebijakan atas nama anggota masyarakat yang secara keseluruhan

terwakili di dalam lembaga tersebut. Dalam hal ini, lembaga legislatif/lembaga

3
4

perwakilan rakyat bertindak sebagai pelindung kepentingan dan penyalur aspirasi

masyarakat yang diwakilinya.

Melalui fungsi perundang-undangan, lembaga legislatif/lembaga perwakilan

rakyat memuaskan kepentingan dan aspirasi anggota masyarakat ke dalam

kebijaksanaan formal dalam bentuk undang-undang.

3. Hanna Penichel Pitkin (1959)

Mendefinisikan perwakilan atau representasi ( representation ) sebagai proses

mewakili, dimana wakil bertindak dalam rangka bereaksi kepada kepentingan pihak

yang diwakili.

4. Alfred de Grazia (1994)

Yang mendefinisikan representasi sebagai hubungan antara dua orang, wakil

dengan pihak yang mewakilinya (konstituen), dimana wakil memegang otoritas

untuk melaksanakan beberapa aksi yang mendapat persetujuan dari konstituennya.

B. Midle Range Theory

1. Teori Mandat

Konsep perwakilan pun dapat dilihat dari sudut pandang hubungan antara

wakil dan yang diwakili. Berdasarkan sudut pandang ini, dikenal ada tiga teori

perwakilan, yang pertama teori mandat. Berdasarkan teori mandat (Saragih, 1988:

82), konsep perwakilan dapat dilihat dalam tiga kelompok, yaitu mandat imperatif

(tindakan sesuai dengan perintah yang memberi mandat), mandat bebas (wakil
5

dapat bertindak tanpa tergantung dari perintah yang diwakilinya), serta mandat

representation (wakil tidak kenal yang diwakili karena ditunjuk oleh partai).

Teori mandat memandang bahwa para wakil menempati kursi di lembaga

perwakilan atas dasar mandat dari rakyat, yang dinamakan Mandataris. Teori

mandat dipelopori oleh Jean Jacques Rousseau, muncul di Prancis sebelum

revolusi. Teori ini menyesuaikan diri seiring perkembangan zaman, sehingga dalam

teori mandat dikenal adanya mandat imperatif, mandat bebas, dan mandat

representatif.

a. Teori mandat imperatif,

Teori ini mengajarkan bahwa si wakil bertugas dan bertindak di

lembaga perwakilan sesuai dengan intruksi yang diberikan oleh yang

diwakilinya. Si wakil tidak boleh bertindak di luar intruksi tersebut, maka si

wakil harus mendapat intruksi baru dari yang diwakilinya, kemudian baru

dapat melaksanakannya. Konsepsi seperti ini pada dasarnya tidak efisien dan

dapat menghambat peranan lembaga perwakilan, karena para wakil setiap saat

jika ingin bertindak harus terlebih dahulu menunggu intruksi dari pihak yang

diwakilinya. Maka lahirlah teori baru yang disebut mandat bebas.

b. Teori Mandat Bebas,

Teori ini dikemukakan oleh Abbe Sieyes (Perancis) dan Black Stone

(Inggris). Teori mandat bebas mengajarkan bahwa para wakil yang duduk di

dalam lembaga perwakilan tidak terikat dengan para pemilih, karena setiap

wakil yang di pilih dan duduk di situ adalah orang-orang yang telah dipercaya

dan memiliki kesadaran hukum masyarakat yang diwakilinya. Oleh karena


6

itu, si wakil tidak terikat dengan intruksi-intruksi dari para pemilihnya dan

tidak dapat ditarik kembali oleh mereka. Dalam konsepsi seperti ini terlihat

bahwa antara si wakil dengan yang diwakili tidak terdapat hubungan secara

hukum, di sini si wakil hanya dibebani tanggung jawab politik semata yang

memberi konsekuensi bila aktivitas si wakil tidak dapat memuaskan pihak

yang di wakili, maka si wakil tersebut tidak mempunyai peluang untuk dipilih

kembali.

c. Teori Mandat Representatif,

Teori ini mengatakan bahwa sang wakil dianggap bergabung dalam

lembaga perwakilan, dimana yang di wakili memilih dan memberikan mandat

pada lembaga perwakilan, sehingga sang wakil sebagai individu tidak ada

hubungannya dengan pemilihnya apalagi untuk minta pertanggujawabannya.

Yang bertanggungjawab justur adalah lembaga perwakilan kepada rakyat

pemilihnya. Bahwa dalam teori ini rakyat memilih dan memberikan mandat

para lembaga perwakilan (parlemen), sehingga si wakil sebagai individu tidak

ada hubungannya dengan pemiliknya dan tidak ada pertanggungjawaban.

2. Teori Organ

Teori organ yang di pelopori oleh Von Gierke (Jerman), ajaran ini melihat

bahwa negara merupakan suatu organisme yang memiliki alat-alat perlengkapan

dengan fungsi sendiri-sendiri dan saling ketergantungan seperti eksekutif, parlemen

dan mempunyai rakyat, yang semuanya mempunyai fungsi sendiri-sendiri dan

saling tergantung satu sama lain. Lembaga perwakilan rakyat sebagai salah stau alat

perlengkapan di maksud bebas berfungsi sesuai dengan kewenangan yang diatur


7

dalam konstitusi atau UUD, karena itu setelah rakyat memilih wakil-wakilnya

untuk menempati lembaga perwakilan, mereka tidak perlu lagi mencampuri

kewenangan lembaga perwakilan tersebut.

3. Teori Sosiologi
Teori ini dipelopori oleh Rieker, bahwa lembaga perwakilan bukan

merupakan bangunan politis, akan tetapi merupakan bangunan masyarakat (sosial).

Para pemilih akan memilih wakil-wakilnya yang dianggap benar-benar ahli dalam

bidang kenegaraan yang akan bersungguh-sungguh membela kepentingan para

pemilih. Sehingga lembaga perwakilan yang terbentuk itu terdiri dari golongan-

golongan dan kepentingan yang ada dalam masyarakat. Artinya bahwa lembaga

perwakilan itu tercermin dari lapisan masyarakat yang ada.

4. Teori Hukum Obyektif


Dasar hubungan antara wakil dan yang diwakili adalah solidaritas. Ilustrasi

sederhananya, wakil rakyat dapat menjalankan tugas-tugas kenegaraannya hanya

atas nama rakyat. Sebaliknya rakyat tidak akan dapat melaksanakan tugas-tugas

kenegaraannya tanpa mendukung wakilnya dalam menentukan wewenang

pemerintah.

Dengan mencermati analisa konseptual dan kategori perwakilan khususnya

tentang model hubungan wakil dengan rakyatnya dapat disimpulkan bahwa semua

teori perwakilan mempunyai sifat perwakilan politik. Artinya seseorang yang

duduk di lembaga perwakilan harus melalui proses pemilihan (umum) sebagai suatu

mekanisme dalam proses politik. Karena itu yang tercipta adalah political
8

representation, karena orang-orang yang duduk dalam lembaga perwakilan itu pada

umumnya mewakili rakyat melalui partai politik (Budiardjo, 2005: 175).

C. Substansial Theory

1. Teori Parlemen Bikameral

Sistem parlemen bikameral adalah sistem parlemen yang terdiri dari dua

kamar atau badan. Kamar pertama (first Chamber) biasa disebut dengan Majelis

Rendah (Lower House) atau DPR atau House of Commons House of

Representative, sedangkan kamar kedua (Second Chamber) disebut Majelis Tinggi

(Upper House) atau Senat atau House of Lords. Hanya di Belanda yang menamakan

Majelis Tingginya dengan Kamar Pertama (Erste Kamer) dan Majelis Rendahnya

adalah Kamar Kedua (Tweede Kamer).

Dilain pihak para penganut sistem dua kamar berpendapat bahwa kekuasaan

satu kamar harus dibatasi, karena memberi peluang untuk menyalahgunakan

wewenang. Hal serupa yang diungkapkan oleh Ramlan Subakti dan Bagir Manan

yang menyatakan bahwa sistem dua kamar merupakan suatu mekanisme checks and

balances antar kamar-kamar dalam satu badan perwakilan.

Sistem bikameralisme merupakan salah satu dari klasifikasi sitem

keparlemanan yang ada didunia. Seperti yang dikemukakan Arend Lijphart dalam

bukunya patterns of Democracy, bahwa bikameralisme merupakan sebuah

dikotomi dari kategori sistem keparlemenan didunia yang ditandai oleh adanya dua

kamar yang memiliki nama masing-masing. Kamar pertama biasa disebut lower

house biasanya lebih penting dari kamar kedua upper house


BAB III
KAJIAN TEORI

Kerangka Teori

Grand Theory Midle Range Theory Substansial Theory

Montesquieu (1689- Teori organ yang di Teori Parlemen Bicameral


1755) Dalam Bukunya pelopori oleh Von Yang dipelopori Andrew
Del L’esprit Des Lois’ Gierke (Jerman) Ellis

"Membagi kekuasaan "ajaran ini melihat bahwa negara “fenomena hubungan yang unbalanced di antara dua kamar
pemerintahan dalam tiga cabang, merupakan suatu organisme yang tersebut diistilahkan dengan soft bicameral system (sistem
yaitu kekuasaan legislatif, memiliki alat-alat perlengkapan bikameral lemah). Sedangkan bila kedua kamar sederajat dan
kekuasaan eksekutif, dan dengan fungsi sendiri-sendiri dan memiliki wewenang yang sama disebut strong bicameralism
kekuasaan yudikatif. ketiga saling ketergantungan seperti system (sistem bikameral kuat)". Kuat dalam arti masing-
kekuasaan itu harus terpisaha satu eksekutif, parlemen dan masing kamar berhak mengajukan rancangan, kernudian
sama lain baik mengenai fungsi mempunyai rakyat yang membahas bersama dan mengesahkan bersama pula, tidak
maupun alat perlengkapan yang semuanya mempunyai fungsi cukup dengan memberikan pertimbangan saja. Sedangkan
melakukannya. konsep pemisahan sendiri-sendiri dan saling lemah dalam arti bahwa salah satu kamar memiliki
kekuasaan tersebut dikenal dengan tergantung satu sama lain.". kewenangan yang lebih besar dari kamar lainnya”.
teori Trias Politica"
Dalam konteks ini dilihat bahwa Indonesia menganut sistem
bikameral lemah. Kamar pertama (DPR) memiliki otoritas
yang kuat yang tidak dimiliki kamar kedua (DPD).

9
BAB IV
ANALISIS FENOMENA

Kedudukan Fungsi DPR dan DPD dan kewenenangan terbatas yang dimiliki

DPD dalam fungsi legislasi di Indonesia

Judul pratikum ini menganalisis tentang kedudukan maupun fungsi dan

wewenang antara DPR dan DPD dan melihat kewenangan DPD yang terbatas

dalam fungsi legislasi di Indonesia. Teori yang digunakan dalam menganalisis

fenomena ini adalah menggunakan teori perwakilan bikameral yang dipelopori oleh

Andrew Ellis yang menjelaskan bahwa Indonesia menganut soft bicameral system

(sistem bikameral lemah). Kamar pertama (DPR) memiliki otoritas yang kuat yang

tidak dimiliki kamar kedua (DPD).

Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 membawa implikasi yang sangat luas

terhadap sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, terutama mengenai

kelembagaan negara, yang mendapat tambahan kewenangan, ada yang dikurangi

kewenangannya, ada pula lembaga negara yang dihapus sama sekali, dan ditambah

beberapa lembaga negara yang baru. Khusus mengenai lembaga perwakilan, ada

beberapa terdapat perubahan, yakni dengan mengurangi kewenangan MPR dan

mengubah kedudukannya dari lembaga tinggi negara menjadi lembaga negara,

sedangkan untuk DPR kewenangannya menjadi lebih luas, karena diberi hak untuk

ikut campur tangan dalam hal pengambilan keputusan oleh Presiden, yaitu dengan

meminta persetujuan dan pertimbangan. Selain kedua lembaga perwakilan tersebut,

melalui perubahan Undang-Undang Dasar 1945 juga ditambah satu lagi lembaga

10
11

negara yang baru, yakni Dewan Perwakilan Daerah (DPD), sebagai lembaga

perwakilan tingkat pusat yang mewakili daerah.

Dengan adanya DPD berarti sistem perwakilan Indonesia menjadi sistem dua

kamar atau yang disebut sitem bikameral. Menurut Jimly Assiddiqie (2004),

Perubahan Undang-Ungang Dasar 1945 lebih mengadopsi gagasan parlemen

bicameral yang bersifat soft, karena kedua kamar dewan perwakilan rakyat tersebut

tidak dilengkapi dengan kewenangan yang sama kuat, Yang lebih kuat tetap Dewan

Perwakilan Rakyat, sedangkan Dewan Perwakilan Daerah hanya bersifat tambahan

dan terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan daerah. (Jimly

Asshiddiqie, 2004, hal : 25). Dengan kewenangan yang demikian maka dapat

dipahami bahwa dominasi legislatif masih tetap ada pada DPR, sedangkan utusan

daerah hanya sebagai simbol dalam rangka mengganti utusan daerah yang lama,

hanya bedanya utusan daerah yang baru dipilih oleh rakyat secara langsung

berdasarkan wilayah pemilihan.

Pada dasarnya maksud dari pembentukan DPD sebagai wakil daerah adalah

untuk mengakomodir kepentingan dan kebutuhan daerah serta mewujudkan prinsip

check and balances antar lembaga legislatif dalam pengambilan kebijakan nasional

dalam hal ini yaitu antara DPD dan DPR, hal tersebut dilakukan untuk memberikan

rasa kepercayaan rakyat daerah kepada pemerintah pusat, sehingga memperkuat

hubungan pusat dan daerah serta menjaga keutuhan dan kesatuan Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Adapun Menurut Bagir Manan (2003), pada awalnya ada

berbagai gagasan dibalik kelahiran Dewan Perwakilan Daerah (DPD, yaitu :

Pertama : gagasan mengubah sistem perwakilan menjadi sistem dua kamar


12

(bicameral), DPD dan DPR digambarkan serupa dengan sistem perwakilan seperti

di Amerika Serikat yang terdiri dari Senate sebagai perwakilan negara bagian

(DPD), dan House of Representatives sebagai perwakilan.

Mengenai hubungan antara DPR dan DPD terkait masalah pelaksanaan fungsi

legislasi, tercantum dalam Pasal 22D ayat (1) dan (2) UUD 1945, diantaranya

pertama, Pasal 22D ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan bahwa DPD dapat

mengajukan kepada DPR RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan

pusat dan daerah, pembentukan pemekaran serta penggabungan daerah,

pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang

berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Artinya, DPD

mempunyai kewenangan dalam mengajukan suatu Rancangan Undang Undang

(RUU), selama RUU yang berkaitan dengan kepentingan daerah, dan selanjutnya

akan dibahas bersama-sama oleh badan legislatif. Mekanisme pengajuan RUU oleh

DPD kepada DPR diatur dalam UU No. 22 tahun 2003. Dalam Pasal 42 ditegaskan

bahwa DPD dapat mengajukan RUU kepada DPR yang berkaitan dengan otonomi

daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta

penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi

Dilihat dari kewenangan DPD yang hanya berkaitan dengan penyelenggaraan

otonomi daerah yang hanya sebatas memberikan pertimbangan hal itupun

menampakkan kelemahan fungsi DPD karena tidak dapat memperjuangkan

kepentingan daerah dan sebagai lembaga bargaining terhadap kemungkinan

pertimbangan DPD yang tidak dilanjuti oleh DPR. Apalagi rancangan undang-

undang yang tidak sesuai dengan kepentingan daerah tidak dapat dibatalkan oleh
13

DPD dengan menggunakan hak veto, sebagaimana dipraktikkan dalam sistem

perwakilan bikameral.

Hal inilah yang mengakibatkan DPD tidak memiliki kekuasaan sama sekali

dalam sistem ketatanegaraan saat ini, yang membuat kedudukan DPD sangat lemah

bahkan hanya sebagai lembaga yang hanya memberikan pertimbangan kepada

DPR. Kewenangan itu berkaitan dengan pengajuan rancangan undang-undang

tertentu, pengawasan pelaksanaan undang-undang, serta fungsi pertimbangan.

Namun dalam prakteknya, fungsi dan kewenangan itu tidaklah berjalan efektif

sesuai dengan semangat awal pendiriannya.

Dalam sistem ketatanegaraan di negara-negara demokrasi modern yang

berdasarkan konstitusi, lazimnya memberikan peran, fungsi, dan kewenangan yang

memadai pada lembaga-lembaga perwakilan sebagai wujud kedaulatan rakyat,

yang diwujudkan dalam mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi (check

and balances). Fungsi legislatif yang dimiliki DPD masih terbatas yaitu

mengajukan dan membahas rancangan undang-undang tertentu saja dan biasanya

itupun tidak ikut dalam pengambilan keputusan. Demikian juga dalam hal fungsi

penganggaran, dan fungsi pengawasan.

Seperti misalnya pernah terlontar dalam Musyawarah Kerja Nasional Partai

Kebangkitan Bangsa (PKB) di Jakarta yang salah satu usulnya merekomendasikan

agar DPD dibubarkan. Saran yang tentu saja sangat nyeleneh. Hal ini tak

mengherankan jika dilandasi karena DPD dianggap sebagai lembaga tinggi negara

yang kurang berfungsi mengingat kekuasaanya yang sangat sumir.


14

Namun kendati demikian, bagaimanapun eksistensi DPD adalah amanah

konstitusi dan menjadi fragmen dari sistem ketatanegaraan Indonesia. Keberadaan

DPD niscaya memberikan harapan baru demi semakin baiknya tata kelola

pemerintahan dan semakin terwakilkannya suara rakyat (daerah) di Parlemen.

Karena itu DPD yang juga merupakan bagian dari pilar demokrasi bangsa ini, yang

harus dilakukan sebenarnya adalah menambah kewenangannya dan bukan malah

dibubarkan. Kewenangan DPD mestinya diperkuat sebab DPD itu mewakili

kepentingan daerah.

Terlebih DPD telah memberikan penguatan kehidupan demokrasi, khususnya

yang berkaitan dengan daerah dengan menyerap aspirasi dan kepentingan daerah,

serta memperjuangkan kepentingan masyarakat dan daerah kepada Pemerintah atau

di tingkat nasional. Hal ini niscaya juga akan mendekatkan pemerintah pusat dan

pemerintah daerah, dan antara masyarakat dengan pemerintah.

Berdasarkan teori perwakilan bicameral, pengertian sistem bicameral adalah

sistem dua kamar pada lembaga legislative. Artinya disisni dalam pembuatan

rancangan undang-undang pembahasan dan persetujuan memerlukan lembaga

legislative yaitu antara DPR dan DPD. Nah dibentuknya sistem dua kamar adalah

konteks membangun mekanisme checks and balances antara DPD dan DPR dalam

penggunaan fungsi legislasi, bahwa pembentukan DPD dalam kerangka sistem

legislatif Indonesia memang tidak terlepas dari ide pembentukan struktur dua kamar

parlemen atau bikameral.


15

Akan tetapi, dilihat dari teori perwakilan bicameral yang dipelopori Andrew

Ellis, fenomena hubungan yang unbalanced di antara dua kamar tersebut

diistilahkan dengan soft bicameral system (sistem bikameral lemah). Sedangkan

bila kedua kamar sederajat dan memiliki wewenang yang sama disebut strong

bicameralism system (sistem bikameral kuat)". Kuat dalam arti masing-masing

kamar berhak mengajukan rancangan, kernudian membahas bersama dan

mengesahkan bersama pula, tidak cukup dengan memberikan pertimbangan saja.

Sedangkan lemah dalam arti bahwa salah satu kamar memiliki kewenangan yang

lebih besar dari kamar lainnya. Maka, untuk tidak tejadi unbalance di antara dua

kamar dan tetap ada checking and controling, perlu adanya joint session antara

keduanya dengan tetap melihat pada porsi dan quota masing-masing anggota kamar

sehingga mekanisme realitanya ada kalanya juga hubungan kedua kamar lemah

dan tidak seimbang.

Ketidakseimbangan ini tejadi dalam hal kewenangannya membuat legislasi,

di mana kamar pertama (misalnya DPR dalam konteks Indonesia) lebih memiliki

porsi yang lebih besar dan otoritas yang lebih kuat. dari pada otoritas kamar kedua

(seperti DPD dalam konteks Indonesia) yang lebih lemah, misalnya karnar kedua

hanya sekedar benwenang mengajukan rancangan undang-undang dan memberikan

pertimbangan saja. Hal ini karena kewenangan yang diberikan konstitusi kepada

kedua kamar adalah kewenangan relatif, sehingga salah satu kamamya tidak

memiliki otoritas sekuat kamar lainnya


DAFTAR PUSTAKA

Buku

Asshiddiqie, Jimly. 2004. Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran


Kekuasaan dalam UUD 1945 FH UII Press. Yogyakarta.

Bintar R, Siragih. 1988. Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum Indonesia.


Jakarta: Gaya Media Pratama.

Budiardjo,Miriam. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Politik (edisi revisi). Jakarta: PT


Gramedia Pustaka Utama.

………, 2005. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Manan, Bagir. 2003. MPR, DPR dan DPD dan UUD 1945 Baru, FH UII Press,
Yogyakarta.

Sanit, Arbi. 1985. Perwakilan Politik di Indonesia. Jakarta: CV Rajawali.

Jurnal
Al Ichsan Richar January. 2017. Relasi Wakil Dan Terwakil (Studi Tentang :
Hubungan Rahman Pina Dan Konstituen). Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik UniversitasHasanuddin.
Basarah,Ahmad. 2014. Kajian Teoritis Terhadap Auxiliary State`S Organ Dalam
Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (DPR RI) Kompleks MPR/DPR/DPD. MMH , Jilid 43 No. 1
Masnur,Marzuki. 2008. Analisis Kontestasi Kelembagaan DPD Dan Upaya
Mengefektifkan Keberadaannya. Dosen FH UII Yogyakarta. Jurnal Hukum
No. 1 Vol.15 Januari 2008: 81-100
Salmon E.M. Nirahua. 2011. Kedudukan Dan Kewenangan Dewan Perwakilan
Daerah Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Fakultas Hukum.
Universitas Pattimura. Jurnal Hukum No. 4 Vol. 18 Oktober 2011: 585 – 603
Yuriska. 2020. Kedudukan Dan Fungsi Dewan Perwakilan Daerah (Dpd) Dalam
Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Dosen Fakultas Hukum Universitas
Widya Gama Mahakam Samarinda. Vol, 2, No. 2, Agustus 2010
Internet
Dewan Perwakilan Daerah. 2015. Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPD.

16
17

http://www.dpr.go.id/prolegnas/deskripsi-konsepsi3/id/51 diakases pada 17


November 2020

Media Indonesia. 2016. Melemahnya (Penguatan) DPD.


https://mediaindonesia.com/read/detail/39730-melemahkan-penguatan-dpd.
diakses pada 15 November 2020 pukul 21.18 WIB

Okhika. 2012. Teori Perwakilan Politik.


https://okhika.wordpress.com/2012/11/26/teori-perwakilan-politik/

Saputra,Yulianta. 2018. Penguatan Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Dalam


Sistem Ketatanegaraan Di Indonesia.
https://vivajusticia.law.ugm.ac.id/2018/02/26/penguatan-kewenangan-
dewan-perwakilan-daerah-dalam-sistem-ketatanegaraan-di-indonesia/

Wiwin, Suwandi. 2017. Membedah Akar Masalah DPD.


https://mediaindonesia.com/opini/99771/membedah-akar-masalah-dpd.
Diakses pada 17 November 2020 pukul 11.30 WIB

Anda mungkin juga menyukai