SELVIANA
E1051181073
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2020
HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN PRAKTIKUM I
SISTEM PERWAKILAN POLITIK
Oleh:
SELVIANA
E1051181073
Disahkan Oleh
Dosen Pembimbing Praktikum I
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2020
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis hanturkan kepada Allah SWT, karena berkat
Praktikum I ini dengan tepat pada waktu yang sudah ditentukan. Shalawat beserta
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih
S.Sos.,M.Si, serta teman-teman Prodi Ilmu Politik Angkatan 2016 dan 2017 atas
masyarakat maupun akademisi, penulis juga menyadari dalam penulisan laporan ini
maupun saran yang membangun agar dapat memperbaiki segala bentuk kekurangan
Selviana
E1051181073
i
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................. i
KATA PENGANTAR ............................................................................ i
DAFTAR ISI ........................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1
BAB II KAJIAN TEORI......................................................................... 3
A. Grand Theory ............................................................................. 3
B. Midle Range Theory .................................................................. 4
C. Substansial Theory ..................................................................... 8
BAB III KAJIAN TEORI ....................................................................... 9
BAB IV ANALISIS FENOMENA ......................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 16
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Judul praktikum ini diambil dari salah satu hasil pembahasan dari materi
mata kuliah Sistem Perwakilan Politik. Mata kuliah Sistem Perwakilan Politik ini
adalah salah satu mata kuliah wajib yang ada di program studi ilmu politik, yang
didapatkan pada semester ganjil dengan bobot 3 SKS. Jadi, Untuk mahasiswa
Pada Mata kuliah ini menjelaskan tentang (1) sejarah perwakilan politik, (2) konsep
dasar perwakilan politik, (3) pengenalan studi perwakilan politik, (4) operasionalisasi
perwakilan politik, (5) teori-teori lembaga perwakilan, teori-teorinya adalah teori mandat
yang terdiri beberapa bagian; (1) mandat bebas, (2) mandat refresentatif, dan (3) mandat
imferatif. (6) model-model lembaga perwakilan politik, (7) pergeseran peran dan fungsi
lembaga perwakilan, (8) reformasi lembaga perwakilan politik di Indonesia, (9) peran
lembaga perwakilan dalam konteks Indonesia (10) keterwakilan kelompok marginal (11)
perempuan dan keterwakilan politik (12) pemilu dan perwakilan politik, dan yang terakhir
Setelah mengikuti mata kuliah ini, mahasiswa dapat memberikan kontribusi dalam
politik yang terjadi di beberapa Negara, dapat memberikan penjelasan tentang teori-teori
mengenai tantangan dan peluang dari beberapa format sistem perwakilan politik yang
pernah digunakan oleh Indonesia dan korelasinya dengan pola demokrasi yang sedang
1
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Grand Theory
Montesquieu lahir pada tanggal 18 januari 1689 dan pada umur 66 tahun
dan yudikatif ketiga pemisahan tersebut dikenal dengan istilah Trias politika.
oleh pemikir besar tersebut kemudian dikenal dengan teori Trias Politica.
Menurut Arbi Sanit, fungsi lembaga legislatif terdiri atas fungsi perwakilan
politik, fungsi perundang-undangan, dan fungsi pengawasan. Lebih Jauh lagi Arbi
3
4
mewakili, dimana wakil bertindak dalam rangka bereaksi kepada kepentingan pihak
yang diwakili.
1. Teori Mandat
Konsep perwakilan pun dapat dilihat dari sudut pandang hubungan antara
wakil dan yang diwakili. Berdasarkan sudut pandang ini, dikenal ada tiga teori
perwakilan, yang pertama teori mandat. Berdasarkan teori mandat (Saragih, 1988:
82), konsep perwakilan dapat dilihat dalam tiga kelompok, yaitu mandat imperatif
(tindakan sesuai dengan perintah yang memberi mandat), mandat bebas (wakil
5
dapat bertindak tanpa tergantung dari perintah yang diwakilinya), serta mandat
representation (wakil tidak kenal yang diwakili karena ditunjuk oleh partai).
perwakilan atas dasar mandat dari rakyat, yang dinamakan Mandataris. Teori
revolusi. Teori ini menyesuaikan diri seiring perkembangan zaman, sehingga dalam
teori mandat dikenal adanya mandat imperatif, mandat bebas, dan mandat
representatif.
wakil harus mendapat intruksi baru dari yang diwakilinya, kemudian baru
dapat melaksanakannya. Konsepsi seperti ini pada dasarnya tidak efisien dan
dapat menghambat peranan lembaga perwakilan, karena para wakil setiap saat
jika ingin bertindak harus terlebih dahulu menunggu intruksi dari pihak yang
Teori ini dikemukakan oleh Abbe Sieyes (Perancis) dan Black Stone
(Inggris). Teori mandat bebas mengajarkan bahwa para wakil yang duduk di
dalam lembaga perwakilan tidak terikat dengan para pemilih, karena setiap
wakil yang di pilih dan duduk di situ adalah orang-orang yang telah dipercaya
itu, si wakil tidak terikat dengan intruksi-intruksi dari para pemilihnya dan
tidak dapat ditarik kembali oleh mereka. Dalam konsepsi seperti ini terlihat
bahwa antara si wakil dengan yang diwakili tidak terdapat hubungan secara
hukum, di sini si wakil hanya dibebani tanggung jawab politik semata yang
yang di wakili, maka si wakil tersebut tidak mempunyai peluang untuk dipilih
kembali.
pada lembaga perwakilan, sehingga sang wakil sebagai individu tidak ada
pemilihnya. Bahwa dalam teori ini rakyat memilih dan memberikan mandat
2. Teori Organ
Teori organ yang di pelopori oleh Von Gierke (Jerman), ajaran ini melihat
saling tergantung satu sama lain. Lembaga perwakilan rakyat sebagai salah stau alat
dalam konstitusi atau UUD, karena itu setelah rakyat memilih wakil-wakilnya
3. Teori Sosiologi
Teori ini dipelopori oleh Rieker, bahwa lembaga perwakilan bukan
Para pemilih akan memilih wakil-wakilnya yang dianggap benar-benar ahli dalam
pemilih. Sehingga lembaga perwakilan yang terbentuk itu terdiri dari golongan-
golongan dan kepentingan yang ada dalam masyarakat. Artinya bahwa lembaga
atas nama rakyat. Sebaliknya rakyat tidak akan dapat melaksanakan tugas-tugas
pemerintah.
tentang model hubungan wakil dengan rakyatnya dapat disimpulkan bahwa semua
duduk di lembaga perwakilan harus melalui proses pemilihan (umum) sebagai suatu
mekanisme dalam proses politik. Karena itu yang tercipta adalah political
8
representation, karena orang-orang yang duduk dalam lembaga perwakilan itu pada
C. Substansial Theory
Sistem parlemen bikameral adalah sistem parlemen yang terdiri dari dua
kamar atau badan. Kamar pertama (first Chamber) biasa disebut dengan Majelis
(Upper House) atau Senat atau House of Lords. Hanya di Belanda yang menamakan
Majelis Tingginya dengan Kamar Pertama (Erste Kamer) dan Majelis Rendahnya
Dilain pihak para penganut sistem dua kamar berpendapat bahwa kekuasaan
wewenang. Hal serupa yang diungkapkan oleh Ramlan Subakti dan Bagir Manan
yang menyatakan bahwa sistem dua kamar merupakan suatu mekanisme checks and
keparlemanan yang ada didunia. Seperti yang dikemukakan Arend Lijphart dalam
dikotomi dari kategori sistem keparlemenan didunia yang ditandai oleh adanya dua
kamar yang memiliki nama masing-masing. Kamar pertama biasa disebut lower
Kerangka Teori
"Membagi kekuasaan "ajaran ini melihat bahwa negara “fenomena hubungan yang unbalanced di antara dua kamar
pemerintahan dalam tiga cabang, merupakan suatu organisme yang tersebut diistilahkan dengan soft bicameral system (sistem
yaitu kekuasaan legislatif, memiliki alat-alat perlengkapan bikameral lemah). Sedangkan bila kedua kamar sederajat dan
kekuasaan eksekutif, dan dengan fungsi sendiri-sendiri dan memiliki wewenang yang sama disebut strong bicameralism
kekuasaan yudikatif. ketiga saling ketergantungan seperti system (sistem bikameral kuat)". Kuat dalam arti masing-
kekuasaan itu harus terpisaha satu eksekutif, parlemen dan masing kamar berhak mengajukan rancangan, kernudian
sama lain baik mengenai fungsi mempunyai rakyat yang membahas bersama dan mengesahkan bersama pula, tidak
maupun alat perlengkapan yang semuanya mempunyai fungsi cukup dengan memberikan pertimbangan saja. Sedangkan
melakukannya. konsep pemisahan sendiri-sendiri dan saling lemah dalam arti bahwa salah satu kamar memiliki
kekuasaan tersebut dikenal dengan tergantung satu sama lain.". kewenangan yang lebih besar dari kamar lainnya”.
teori Trias Politica"
Dalam konteks ini dilihat bahwa Indonesia menganut sistem
bikameral lemah. Kamar pertama (DPR) memiliki otoritas
yang kuat yang tidak dimiliki kamar kedua (DPD).
9
BAB IV
ANALISIS FENOMENA
Kedudukan Fungsi DPR dan DPD dan kewenenangan terbatas yang dimiliki
wewenang antara DPR dan DPD dan melihat kewenangan DPD yang terbatas
fenomena ini adalah menggunakan teori perwakilan bikameral yang dipelopori oleh
Andrew Ellis yang menjelaskan bahwa Indonesia menganut soft bicameral system
(sistem bikameral lemah). Kamar pertama (DPR) memiliki otoritas yang kuat yang
kewenangannya, ada pula lembaga negara yang dihapus sama sekali, dan ditambah
beberapa lembaga negara yang baru. Khusus mengenai lembaga perwakilan, ada
sedangkan untuk DPR kewenangannya menjadi lebih luas, karena diberi hak untuk
ikut campur tangan dalam hal pengambilan keputusan oleh Presiden, yaitu dengan
melalui perubahan Undang-Undang Dasar 1945 juga ditambah satu lagi lembaga
10
11
negara yang baru, yakni Dewan Perwakilan Daerah (DPD), sebagai lembaga
Dengan adanya DPD berarti sistem perwakilan Indonesia menjadi sistem dua
kamar atau yang disebut sitem bikameral. Menurut Jimly Assiddiqie (2004),
bicameral yang bersifat soft, karena kedua kamar dewan perwakilan rakyat tersebut
tidak dilengkapi dengan kewenangan yang sama kuat, Yang lebih kuat tetap Dewan
dan terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan daerah. (Jimly
Asshiddiqie, 2004, hal : 25). Dengan kewenangan yang demikian maka dapat
dipahami bahwa dominasi legislatif masih tetap ada pada DPR, sedangkan utusan
daerah hanya sebagai simbol dalam rangka mengganti utusan daerah yang lama,
hanya bedanya utusan daerah yang baru dipilih oleh rakyat secara langsung
Pada dasarnya maksud dari pembentukan DPD sebagai wakil daerah adalah
check and balances antar lembaga legislatif dalam pengambilan kebijakan nasional
dalam hal ini yaitu antara DPD dan DPR, hal tersebut dilakukan untuk memberikan
hubungan pusat dan daerah serta menjaga keutuhan dan kesatuan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Adapun Menurut Bagir Manan (2003), pada awalnya ada
(bicameral), DPD dan DPR digambarkan serupa dengan sistem perwakilan seperti
di Amerika Serikat yang terdiri dari Senate sebagai perwakilan negara bagian
Mengenai hubungan antara DPR dan DPD terkait masalah pelaksanaan fungsi
legislasi, tercantum dalam Pasal 22D ayat (1) dan (2) UUD 1945, diantaranya
pertama, Pasal 22D ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan bahwa DPD dapat
mengajukan kepada DPR RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang
(RUU), selama RUU yang berkaitan dengan kepentingan daerah, dan selanjutnya
akan dibahas bersama-sama oleh badan legislatif. Mekanisme pengajuan RUU oleh
DPD kepada DPR diatur dalam UU No. 22 tahun 2003. Dalam Pasal 42 ditegaskan
bahwa DPD dapat mengajukan RUU kepada DPR yang berkaitan dengan otonomi
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
pertimbangan DPD yang tidak dilanjuti oleh DPR. Apalagi rancangan undang-
undang yang tidak sesuai dengan kepentingan daerah tidak dapat dibatalkan oleh
13
perwakilan bikameral.
Hal inilah yang mengakibatkan DPD tidak memiliki kekuasaan sama sekali
dalam sistem ketatanegaraan saat ini, yang membuat kedudukan DPD sangat lemah
Namun dalam prakteknya, fungsi dan kewenangan itu tidaklah berjalan efektif
and balances). Fungsi legislatif yang dimiliki DPD masih terbatas yaitu
itupun tidak ikut dalam pengambilan keputusan. Demikian juga dalam hal fungsi
agar DPD dibubarkan. Saran yang tentu saja sangat nyeleneh. Hal ini tak
mengherankan jika dilandasi karena DPD dianggap sebagai lembaga tinggi negara
DPD niscaya memberikan harapan baru demi semakin baiknya tata kelola
Karena itu DPD yang juga merupakan bagian dari pilar demokrasi bangsa ini, yang
kepentingan daerah.
yang berkaitan dengan daerah dengan menyerap aspirasi dan kepentingan daerah,
di tingkat nasional. Hal ini niscaya juga akan mendekatkan pemerintah pusat dan
sistem dua kamar pada lembaga legislative. Artinya disisni dalam pembuatan
legislative yaitu antara DPR dan DPD. Nah dibentuknya sistem dua kamar adalah
konteks membangun mekanisme checks and balances antara DPD dan DPR dalam
legislatif Indonesia memang tidak terlepas dari ide pembentukan struktur dua kamar
Akan tetapi, dilihat dari teori perwakilan bicameral yang dipelopori Andrew
bila kedua kamar sederajat dan memiliki wewenang yang sama disebut strong
Sedangkan lemah dalam arti bahwa salah satu kamar memiliki kewenangan yang
lebih besar dari kamar lainnya. Maka, untuk tidak tejadi unbalance di antara dua
kamar dan tetap ada checking and controling, perlu adanya joint session antara
keduanya dengan tetap melihat pada porsi dan quota masing-masing anggota kamar
sehingga mekanisme realitanya ada kalanya juga hubungan kedua kamar lemah
di mana kamar pertama (misalnya DPR dalam konteks Indonesia) lebih memiliki
porsi yang lebih besar dan otoritas yang lebih kuat. dari pada otoritas kamar kedua
(seperti DPD dalam konteks Indonesia) yang lebih lemah, misalnya karnar kedua
pertimbangan saja. Hal ini karena kewenangan yang diberikan konstitusi kepada
kedua kamar adalah kewenangan relatif, sehingga salah satu kamamya tidak
Buku
Manan, Bagir. 2003. MPR, DPR dan DPD dan UUD 1945 Baru, FH UII Press,
Yogyakarta.
Jurnal
Al Ichsan Richar January. 2017. Relasi Wakil Dan Terwakil (Studi Tentang :
Hubungan Rahman Pina Dan Konstituen). Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik UniversitasHasanuddin.
Basarah,Ahmad. 2014. Kajian Teoritis Terhadap Auxiliary State`S Organ Dalam
Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (DPR RI) Kompleks MPR/DPR/DPD. MMH , Jilid 43 No. 1
Masnur,Marzuki. 2008. Analisis Kontestasi Kelembagaan DPD Dan Upaya
Mengefektifkan Keberadaannya. Dosen FH UII Yogyakarta. Jurnal Hukum
No. 1 Vol.15 Januari 2008: 81-100
Salmon E.M. Nirahua. 2011. Kedudukan Dan Kewenangan Dewan Perwakilan
Daerah Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Fakultas Hukum.
Universitas Pattimura. Jurnal Hukum No. 4 Vol. 18 Oktober 2011: 585 – 603
Yuriska. 2020. Kedudukan Dan Fungsi Dewan Perwakilan Daerah (Dpd) Dalam
Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Dosen Fakultas Hukum Universitas
Widya Gama Mahakam Samarinda. Vol, 2, No. 2, Agustus 2010
Internet
Dewan Perwakilan Daerah. 2015. Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPD.
16
17