Anda di halaman 1dari 8

Understanding Security and The Nature Of Asymmetric Warfare

Prof. Dr. Makarim Wibisono, MA-IS, MA

Nama : Abdillah Satari Rahim


NIM : 120200102001
Mata Kuliah : Understanding Security and The Nature of Asymmetric
Warfare
Nama Dosen : Prof. Dr. Makarim Wibisono, MA-IS, MA

“Asymmetric Warfare: Terorrism, Insurgency and Separatism


Movement”
Soal:
Cari contoh kasus perang informasi yang terjadi saat ini, sesuai
dengan apa yang anda ketahui.

Jawab:
A. Pendahuluan:
Perkembangan globalisasi dan teknologi informasi telah membawa
perubahan besar dalam kehidupan manusia. Teknologi Informasi
menjadikan hubungan komunikasi antar manusia dan antar bangsa
semakin mudah dan cepat tanpa dipengaruhi oleh ruang dan waktu.
Globalisasi adalah suatu proses perubahan dinamika lingkungan global
sebagai kelanjutan dari situasi yang pernah ada sebelumnya yang ditandai
dengan ciri kemajuan teknologi dan informasi, menimbulkan saling
ketergantungan, pengaburan terhadap batas-batas negara (borderless)1.
Kemajuan teknologi dan informasi tidak hanya ditujukan untuk menyerang
instansi pemerintah dan militer. Namun dapat pula mengancam seluruh
aspek kehidupan manusia, seperti ekonomi, politik, budaya, dan keamanan
suatu negara.
Ancaman siber bisa terjadi akibat adanya kepentingan dari berbagai
individu atau kelompok tertentu dalam aspek kehidupan masyarakat yang
dapat menimbulkan berbagai ancaman fisik, baik nyata ataupun yang tidak

1
J.A. Scholte, Globalization: A Critical Introduction, (London: Palgrave, 2000).

1
Understanding Security and The Nature Of Asymmetric Warfare
Prof. Dr. Makarim Wibisono, MA-IS, MA

nyata dengan menggunakan kode-kode komputer (software) untuk


melakukan pencurian informasi (information theft), kerusakan sistem
(system destruction), manipulasi informasi (information corruption) atau
perangkat keras (hardware) untuk melakukan gangguan terhadap sistem
(network instruction) ataupun penyebaran data dan informasi tertentu untuk
melakukan kegiatan propaganda2.
Ancaman-ancaman ini pada umumnya terjadi di ruang siber
(cyberspace) dimana komunitas saling terhubung menggunakan jaringan
internet untuk melakukan berbagai kegiatan sehari-hari3. Menurut
Mcdonnell dan Sayers, ancaman di ruang siber dapat dikategorikan ke
dalam tiga jenis. Salah satu diantaranya adalah ancaman data / informasi
(data/information threat). Ancaman ini merupakan ancaman yang
diakibatkan oleh penyebaran data/informasi tertentu yang bertujuan untuk
kepentingan tertentu4.
Kejahatan siber merupakan kejahatan yang lahir sebagai suatu
dampak negatif dari pesatnya perkembangan aplikasi pada internet saat ini.
Salah satu bentuk ancaman data / informasi (data/information threat) yang
pernah terjadi dan masih hangat untuk diperbincangkan adalah masalah
kasus penyalahgunaan data pengguna aplikasi jejaring sosial
Facebook dalam pemilu Presiden Amerika Serikat tahun 2016 lalu.
Kasus ini merupakan salah satu contoh ancaman di ruang siber
(cyberspace) dengan melakukan pencurian informasi (information theft)
yang bertujuan untuk mencapai mencapai kepentingan politik yang
digunakan untuk memberikan keuntungan atau keunggulan terhadap satu
pihak tertentu dalam hal ini adalah salah satu kandidat yang mencalonkan
dirinya sebagai presidan Amerika Serikat.

2
Iwan, dkk, Kajian Strategi Keamanan Cyber Nasional: Dalam Rangka Meningkatkan Ketahanan
Nasional di Bidang Keamanan Cyber, (Jakarta: Tesis Universitas Pertahanan Indonesia,
2012).
3
Kementerian Pertahanan Indonesia, Pedoman Pertahanan Siber, (Jakarta: Kemhan RI, 2014),
hlm.5.
4
Ibid.

2
Understanding Security and The Nature Of Asymmetric Warfare
Prof. Dr. Makarim Wibisono, MA-IS, MA

B. Identifikasi Perang Informasi dalam Kasus Penyalahgunaan data


pengguna facebook dalam Pemilu Presiden Amerika tahun 2016:
Kebocoran data pengguna facebook menjadi perbicangan seantero
dunia beberapa waktu yang lalu. Pasalnya ada beberapa sumber yang
mengatakan bahwa data atau informasi pengguna yang terdaftar pada
aplikasi jejaring sosial ini telah disalahgunakan atau dimanfaatkan sebagai
alat politik untuk mencapai tujuan atau kepentingan politik dalam
memenangkan salah satu pasangan calon pemilihan umum Presiden
Amerika Serikat pada tahun 2016 lalu.
Setelah beberapa saat Donald Trump telah dilantik sebagai Presiden
Amerika Serikat muncul berita dimana Cambridge Analytica selaku firma
yang ditunjuk Trump untuk mengurusi kampanye pada pemilihan lalu,
dikabarkan terindikasi kuat telah melakukan pengambilan data pribadi
secara ilegal. Data-data tersebut kemudian digunakan sebagai alat
kampanye pemenangan pemilu Donald Trump pada Pilpres Amerika
Serikat 2016 lalu5.
Dikutip dari media elktronik Politico, The New York Times dan The
Observer sebagi pihak yang pertama kali membongkar kejadian ini dalam
laporannya menyatakan bahwa Cambridge Analytica telah menyedot
sekitar 50 juta data pribadi akun Facebook pemilih dalam pemilu Amerika
Serikat secara ilegal sejak tahun 2014. Aksi tersebut terus berlanjut hingga
menjelang pemilihan 2016 lalu6.
Dari laporan itu, Channel 4 News kemudian melakukan investigasi.
Dalam video berdurasi sekitar 20 menit yang dipublikasikan pada Senin
(19/3) lalu, salah satu reporter Channel 4 News menyamar menjadi calon
klien Cambridge Analytica (CA). Ia bertemu dengan Alexander Nix,

5
Tirto. (2018). Heboh Kasus Pencurian Data Cambridge Analytica [online]. Tersedia di
https://tirto.id/heboh-kasus-pencurian-data-cambridge-analytica-cGuw. Diakses pada 13
November 2020.
6
Politico. (2018). Cambridge Analytica boasts of dirty tricks to swing elections [online]. Tersedia
di https://www.politico.eu/article/cambridge-analytica-boasts-of-dirty-tricks-to-swing-
elections/. Diakses pada 13 November 2020.

3
Understanding Security and The Nature Of Asymmetric Warfare
Prof. Dr. Makarim Wibisono, MA-IS, MA

pimpinan CA di sebuah restoran hotel. Dalam perbincangan tersebut, Nix


mengatakan bahwa selama ini perusahaannya punya andil besar dalam
memenangkan para klien yang bertarung pada pemilihan. Sehubungan
dengan meluasnya video itu, pihak CA menolak segala tuduhan. Mereka
beranggapan tidak pernah menggunakan taktik kotor untuk tujuan apapun
termasuk pemenangan klien7.
Cambridge Analitica adalah perusahaan yang bergerak di bidang
penelitian konsumen, iklan, hingga layanan terkait data baik untuk klien
yang berhubungan dengan partai politik maupun perusahaan. Mereka
bekerja dengan cara meneliti dan menyimpulkan kepribadian hingga
kecenderungan politik seseorang dari profil Facebook melalui sebuah
aplikasi pihak ke-3 yang mereka kembangkan sendiri8. Reputasi firma
analisis data Cambridge Analytica ini memang cukup baik di antara para
politikus. Firma ini dianggap mampu mendongkrak popularitas positif
kliennya saat masa-masa kampanye berjalan.
Keterlibatan Cambridge Analitica dalam Pilpres Amerika 2016
bermula pada saat Trump merekrut Cambridge Analytica pada Juni 2016
dan membayar mereka dengan mahar sebesar $6,2 juta. Seperti yang
diwartakan Wired, kala itu, Cambridge Analytica mengirim tiga staf yang
dipimpin oleh Matt Oczkowski ke markas kampanye Trump di San Antonio.
Dari tiga orang, tim tersebut lantas bertambah jumlah jadi 13 orang. Tim ini
bekerja di bawah Bred Parscale9.
Menurut pengakuan Parscale, Cambridge Analytica hanya membantu
timnya menganalisis data pemilih Amerika. Namun pada kenyataannya
keterlibatan mereka lebih dari itu. Cambridge Analytica menyediakan
hampir semua data mentah mengenai informasi demografi, kontak pribadi,
sampai kecenderungan politik atau bagaimana pemilih Amerika menyikapi

7
Tirto. (2018). Heboh Kasus Pencurian Data Cambridge Analytica [online]. Tersedia di
https://tirto.id/heboh-kasus-pencurian-data-cambridge-analytica-cGuw. Diakses pada
13 November 2020.
8
Ibid.
9
Ibid.

4
Understanding Security and The Nature Of Asymmetric Warfare
Prof. Dr. Makarim Wibisono, MA-IS, MA

berbagai macam masalah di sekeliling mereka. Kelihatan sepele, namun


bagi Cambridge Analytica, data semacam itu merupakan sesuatu yang
besar dan bernilai tinggi. Dengan data-data di atas, Cambridge Analytica
membangun apa yang disebut “penargetan psikografis”10.
Dari “penargetan psikografis,” Cambridge Analytica kemudian
memetakan pemilih yang masih ragu menentukan suaranya (swinging
voters) dan membujuk mereka untuk memilih Trump. Cambridge Analytica
juga menyusun daftar pemilih yang sedianya bisa dijadikan pendonor
kampanye Trump. Lewat metode ini Trump sukses mengumpulkan sekitar
$80 juta dana kampanye.11
Setelah “penargetan psikografis” dilakukan mereka kemudian
melancarkan kampanye digitalnya terhadap para korban yang datanya
telah diambil. Melalui metode Persuasion Search Advertising mereka
memunculkan berita-berita baik tentang Trump agar para pemilih memiliki
pandngan positif terhadapnya yang pada akhirnya berujung pada
keputusan akhir mereka dalam memutuskan pilihan pada saat pemungutan
suara nantinya.
Tidak sampai disitu untuk menyukseskan aksinya mereka juga
melakukan serangan tehadap pihak lawan yang pada saat itu adalah Hillary
Clinton. Serangan dilakukan dengan memunculkan propaganda-
propaganda yang memuat berita-berita buruk tentang Hillary Clinton.
Secara garis besar pemodelan tersebut digambarkan dari dokumentasi
iklan kampanye yang disebar menjelang Pilpres Amerika Serikat tahun
2016 lalu:

10
Ibid.
11
Ibid.

5
Understanding Security and The Nature Of Asymmetric Warfare
Prof. Dr. Makarim Wibisono, MA-IS, MA

Contoh pengoptimalan algoritma, berita negatif ditampilkan ke pemilih potensial Hillary Clinton, pesaing
Trump di Pilpres AS 2016 lalu12.

Hal yang menjadi persoalan utama dari permasalahan ini adalah


dalam pelaksanaannya pihak Cambridge Analytica mengumpulkan data
pribadi dari Facebook secara ilegal dan tanpa seizin pemilik akun.
Dimana semua data yang dikumpulkan perusahaan lewat kuis maupun
kuisioner berkedok akademis ini ternyata digunakan untuk membangun
“sebuah program perangkat lunak yang kuat” untuk “memprediksi dan
memengaruhi pilihan di kotak suara.” Salah satunya di pilpres Amerika
2016.
Hal ini tentunya sudah diatur dalam kebijakan privasi yang dibuat oleh
pihak Facebook untuk melindungi informasi-informasi pribadi penggunanya
namun pihak Cambridge Analytica tidak memperdulikan hal itu dan
menganggap bahwa “Peraturan tidak berlaku untuk mereka. Bagi mereka
yang terpenting adalah ini perang dan itu cukup adil”. Apapun akan mereka
lakukan untuk memenangkan kliennya dalam pemilihan di rana Politik.

12
Kompas. (2018). Ini Cara Cambridge Gunakan Data Facebook Untuk Memenangkan Trump
[online]. Tersedia di https://tekno.kompas.com/read/2018/03/27/19110007/ini-cara-
cambridge-gunakan-data-facebook-untuk-menangkan-trump?page=all. Diakses pada 13
November 2020.

6
Understanding Security and The Nature Of Asymmetric Warfare
Prof. Dr. Makarim Wibisono, MA-IS, MA

C. Penutup:
Berdasarkan pemaparan kasus di atas dapat dilihat penggunaan
aplikasi media sosial telah digunakan untuk kepentingan perang politik
untuk memenangkan satu pihak tertentu dengan memanfaatkan informasi-
informasi pengguna yang dicuri dan kemudian disalahgunakan untuk
melakukan penggiringan opini dan psikologi secara tidak langsung. Hal ini
tentunya sangat merugikan bagi pihak lawan dimana citra mereka telah
dijatuhkan dalam pandangan masyarakat dengan menghadirkan isu-isu
yang tidak di sukai berdasarkan masalah yang diamati oleh para calon
pemilih pada Pilpres Amerika 2016 lalu.
Selain itu pengumpulan data informasi pribadi pengguna aplikasi
internet untuk alasan apapun tidak selayaknya digunakan untuk
kepentingan suatu kelompok atau pun individu untuk mencapai
kepentingan pribadi mereka. Keamanan privasi sudah selayaknya menjadi
hak masing-masing individu dan tidak boleh digunakan apalagi
dimanfaatkan untuk mencapai suatu tujuan yang sebenarnya mereka tidak
inginkan.
Hal ini adalah salah satu contoh kecil dari ancaman media informasi
akibat perkembangan global. Bisa dibayangkan bila kebocoran ataupun
pencurian data informasi ini digunakan untuk hal yang jauh lebih besar
tentunya akan memberi dampak yang sangat merugikan. Sebagai contoh
penggiringan opini publik untuk membenci pemenrintah yang berdaulat.
Dimana hal ini dapat menimbulkan perpecahan ditengah-tengah
masyarakat dengan melakukan penggiringan ideologi masyarakat
sehingga masyarakat tidak lagi percaya dengan pemerintah yang
berdaulat.

7
Understanding Security and The Nature Of Asymmetric Warfare
Prof. Dr. Makarim Wibisono, MA-IS, MA

Daftar Pustaka
Iwan, dkk, Kajian Strategi Keamanan Cyber Nasional: Dalam Rangka
Meningkatkan Ketahanan Nasional di Bidang Keamanan Cyber,
(Jakarta: Tesis Universitas Pertahanan Indonesia, 2012).
J.A. Scholte, Globalization: A Critical Introduction, (London: Palgrave,
2000).
Kementerian Pertahanan Indonesia, Pedoman Pertahanan Siber, (Jakarta:
Kemhan RI, 2014), hlm.5.
Kompas. (2018). Ini Cara Cambridge Gunakan Data Facebook Untuk
Memenangkan Trump [online]. Tersedia di
https://tekno.kompas.com/read/2018/03/27/19110007/ini-cara-
cambridge-gunakan-data-facebook-untuk-menangkan-
trump?page=all. Diakses pada 13 November 2020.
Politico. (2018). Cambridge Analytica boasts of dirty tricks to swing elections
[online]. Tersedia di
https://www.politico.eu/article/cambridge-analytica-boasts-of-dirty-
tricks-to-swing-elections/. Diakses pada 13 November 2020.
Tirto. (2018). Heboh Kasus Pencurian Data Cambridge Analytica [online].
Tersedia di
https://tirto.id/heboh-kasus-pencurian-data-cambridge-analytica-
cGuw. Diakses pada 13 November 2020.

Anda mungkin juga menyukai