Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH PENGEMBANGAN STRATEGI

PEMBELAJARAN BIOLOGI
(Literasi Sains )

Disusun Oleh :

Deni Murtiya Ningsih ( 2084105009)

Dosen Pengampuh :
Dr. Irwandi, M.Pd
Dr. Apriza Fitriani, M.Pd

PROGRAM PASCASARJANA PENDIDIKAN BIOLOGI


MAGISTER PENDIDIKAN BIOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BENGKULU
TAHUN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat, taufiq,
serta hidayahnya. Sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah yang
berjudul “Literasi Sains” dengan tepat waktu. Shalawat dan salam selalu
penulis sampaikan kepada Nabi kita, Muhammad SAW, yang telah
memberikan petunjuk hingga akhir zaman untuk kita umatnya.
Dalam penyusunan makalah ini tentu penulis mengalami masalah,
namun itu semua dapat teratasi dengan berbagai bantuan. menyusun makalah
ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis sangat mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun khususnya dari Dosen Mata Kuliah
LITERASI SAINS guna menjadi acuan bekal pengalaman bagi Penulis untuk
lebih baik lagi di masa yang akan datang, demi kesempurnaan dari makalah
ini. Penulis berharap semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi penulis
khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Bengkulu , Juli 2021

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan aspek yang sangat menentukan maju atau
mundurnya suatu kehidupan. Pendidikan sains memiliki potensi yang besar dalam
menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas. Ilmu Pengetahuan Alam
(IPA) merupakan ilmu yang berkaitan dengan upaya memahami berbagai
fenomena alam secara sistematis. Sehingga, pembelajaran IPA bukan hanya
menekankan pada penguasaan sejumlah pengetahuan sebagai produk, tetapi juga
harus menyediakan ruang yang cukup untuk tumbuh kembangnya sikap ilmiah,
berlatih melakukan penyelesaian masalah, dan mengaplikasikannya dalam
kehidupan nyata (Subali dkk, 2009). Sains pada hakekatnya merupakan ilmu dan
pengetahuan tentang fenomena alam yang meliputi produk dan proses. Memasuki
abad ke-21 dunia pendidikan Indonesia masih mengalami masalah yaitu masih
rendahnya mutu pendidikan. Hal ini disebabkan oleh belum meratanya
pembangunan di Indonesia dalam berbagai aspek dan keadaan geografis Indonesia
yang masih sulit dijangkau sehingga pembangunan dunia pendidikan masih
tertinggal dan terjadi kesenjangan pendidikan antara daerah perkotaan dan
pedesaan. Dengan kenyataan tersebut dikhawatirkan Indonesia akan gagal
memasuki pasar bebas pada tahun 2020.
Tantangan abad 21 ditandai oleh pesatnya perkembangan teknologi yang
diterapkan dalam berbagai bidang kehidupan di masyarakat. Oleh karena itu,
diperlukan cara pembelajaran yang dapat menyiapkan peserta didik yang memiliki
literasi terhadap IPA dan teknologi, serta mampu berpikir secara komprehensif
dalam menyelesaikan berbagai persoalan dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu,
siswa dituntut menguasai IPA secara terpadu (Subali dkk, 2009). Pengukuran
literasi sains tidak hanya penting untuk mengetahui sejauh mana pemahaman
peserta didik terhadap pengetahuan sains, tetapi juga pemahaman terhadap
berbagai aspek proses sains, serta kemampuan mengaplikasikan pengetahuan dan
proses sains dalam situasi nyata. Berdasarkan data PISA tahun 2013 yang
publikasikan oleh Organization For Economic Cooperation and development
(OECD) menunjukkan bahwa tingkat literasi sains siswa Indonesia masih rendah
dan di bawah rata-rata OECD. Adapun skor rata-rata literasi sains yang diperoleh
Indonsia adalah 382 dengan skor rata-rata OECD adalah 501 (OECD, 2013).
Berdasarkan data Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) yang
diterbitkan oleh National Center Education Statistics (NCES) tahun 2011 skor
literasi membaca siswa Indonesia adalah 428. Sedangkan skor literasi
pengalaman
pada tahun 2011 adalah 418 dan kemampuan untuk memperoleh dan
menggunakan informasi 439 dengan skor rata-rata dari PIRLS adalah 500 untuk
semua kategori (NCES, 2012). Rendahnya literasi sains bangsa Indonesia
terindikasi dalam banyak hal, misalnya seseorang merasa aman berteduh di
bawah pohon rindang ketika hujan berpetir, seseorang membawa skala
thermometer di dekat kipas angin dan masih banyak bukti-bukti lain yang dapat
menjadi indikator rendahnya literasi sains di Indonesia. Meskipun beberapa
siswa Indonesia mampu mendapatkan nilai yang tinggi dalam ujian nasional
ataupun mampu menjuarai olimpiade sains, akan tetapi prestasi tersebut belum
menjamin bahwa Indonesia dapat dikatakan sebagai negara yang literat terhadap
sains.
Kurikulum 2013 telah dinyatakan berlaku di Indonesia secara bertahap.
Kurikulum 2013 menekankan bahwa pembelajaran IPA adalah pembelajaran
berbasis integrated science (IPA terpadu) bukan sebagai pendidikan disiplin
ilmu. Hal tersebut bermakna bahwa IPA merupakan pendidikan berorientasi
aplikatif, pengembangan kemampuan berpikir, kemampuan belajar, rasa ingin
tahu, dan pengembangan sikap peduli dan bertanggung jawab terhadap
lingkungan sosial dan alam (Kemendikbud, 2013). Kurikulum sains terpadu
merupakan kurikulum yang menghubungkan konten yang berbeda dari ilmu
pengetahuan, teknologi, dan matematika. Hal ini diperlukan untuk meningkatkan
literasi sains pada siswa. Dengan membuat hubungan antara konten ilmu
pengetahuan, teknologi, dan matematika serta dengan melibatkan siswa dalam
kegiatan ilmu pengetahuan di dunia nyata, siswa dapat mulai mengembangkan
keterampilan dan proses yang diperlukan untuk benar-benar memiliki literasi
sains (Turpin dan Cage, 2004). literasi sains/IPA (scientific literacy) dalam
pembelajaran IPA ditandai dengan kerja ilmiah, dan tiga dimensi besar literasi
sains yang ditetapkan oleh PISA, yaitu konten IPA, proses IPA, dan konteks
IPA.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu literasis sains?
2. Apa saja komponen dan aspek-aspek dalam literasi sains?
3. Apa saja karakteristik literasi sains?
4. Bagaimana peranan literasi sains dalam pendidikan?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui apa itu literasis sains
2. Untuk mengetahui komponen dan aspek-aspek dalam literasi sains
3. Untuk mengetahui karakteristik literasi sains
4. Untuk mengetahui peranan literasi sains dalam pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Literasi Sains


Akar-akar historis dari apa yang disebut sebagai scientific literacy
(literasi sains, keberaksaraan sains, melek sains), menurut Hurd (1997), dapat
ditelusuri hingga ke masa pengenalan sains modern ke dalam peradaban Barat
pada tahun 1500an. Namun, sebagai sebuah isu tersendiri, literasi sains
memperoleh perhatian luas setelah Hurd menggunakan untuk pertama kali istilah
scientific literacy dalam tulisannya, Science Literacy: Its meaning for American
Schools, yang terbit pada 1958. Ia mengaitkan tujuan pendidikan sains dengan
literasi sains (Hodson, 2008). Literasi sains (scientific literacy) menjadi
keharusan bagi setiap orang. Literasi sains menjadi sangat penting bagi
seseorang karena maju mundurnya suatu bangsa salah satunya ditentukan oleh
kualitas daya manusia yang memiliki literasi terhadap sains dan teknologi
(UNESCO, 2008). Hurd (1997) menguraikan tujuh dimensi yang harus dimiliki
oleh seseorang untuk disebut literat secara keilmuan (scientifically-literate
person). Tujuh dimensi itu mencakup: (1) mengerti watak pengetahuan ilmiah;
(2) menerapkan konsep, prinsip, hukum, dan teori sains yang tepat dalam
berinteraksi dengan semestanya; (3) menggunakan proses sains dalam
memecahkan persoalan, membuat keputusan, maupun melanjutkan
pemahamannya mengenai semesta; (4) berinteraksi dengan nilai-nilai yang
mendasari sains; (5) memahami dan mengapresiasi perpaduan sains dan
teknologi serta keterhubungannya satu sama lain maupun dengan aspek-aspek
lain masyarakat; (6) memperluas pendidikan sains di sepanjang hidupnya; (7)
mengembangkan sejumlah keterampilan manipulatif terkait dengan sains dan
teknologi.
Istilah literasi sains kemudian diadopsi oleh penulis-penulis berikutnya
dengan pengertian yang mereka kembangkan. Pella et al. (1966), umpamanya,
mengusulkan definisi literasi sains sebagai pemahaman atas konsep-konsep
dasar sains, watak sains, etika yang mengendalikan para ilmuwan dalam bekerja,
kesalinghubungan antara sains dan masyarakat, kesalinghubungan antara sains
dan kemanusiaan, serta perbedaan di antara sains dan teknologi. Sembari
menekankan pentingnya tiga unsur pertama dalam definisi ini, Pella tidak
memasukkan unsur keterampilan manipulatif sebagaimana dirumuskan oleh
Hurd. Kira-kira seperempat abad kemudian, proyek Science for All Americans
(AAAS, 1989) mendefinisikan seseorang yang literat secara keilmuan
(scientifically literate person) sebagai ‘orang yang menyadari bahwa
sains, matematika, dan teknologi berkaitan dengan manusia secara interdependen
beserta kekuatan dan keterbatasannya; memahami konsep- konsep kunci dan
prinsip-prinsip sains; akrab dengan dunia alam dan mengakui keragaman dan
kesatuannya; serta menggunakan pengetahuan ilmiah dan cara berpikir ilmiah
untuk tujuan-tujuan individu maupun sosial.’ Kemampuan menggunakan
pengetahuan ilmiah dan cara berpikir ilmiah akan sangat bermanfaat ketika
individu dihadapkan pada persoalan sehari-hari maupun dalam konteks memberi
kontribusi terhadap pengambilan keputusan mengenai kebijakan publik.
Definisi lain yang disumbangkan oleh Organization for Economic Co-
Operation and Development (OECD) menyerap semangat serupa. Disebutkan
bahwa scientific literacy adalah ‘kapasitas untuk menggunakan pengetahuan
ilmiah, untuk mengidentifikasi persoalan dan menarik kesimpulan berbasis-
bukti dalam rangka memahami dan membantu membuat keputusan mengenai
dunia alam (natural world) dan perubahan-perubahan yang dibuat terhadap
dunia tersebut melalui kegiatan manusia’. Definisi inilah yang digunakan oleh
OECD dalam pengembangan Programme for International Student Assessment
(PISA), sebuah program yang ditujukan untuk menilai tingkat literasi siswa
sekolah menengah di negara-negara yang tergabung dalam OECD maupun
bukan. Setiap tiga tahun sekali, sejak tahun 2000 OECD menerbitkan laporan
mengenai tingkat literasi tersebut. Secara umum dapat dipahami bahwa literasi
sains berarti pemahaman yang luas mengenai konsep-konsep dasar. Kita tidak
perlu mampu mensintensiskan obat baru untuk mengapresiasi pentingnya
kemajuan medis, atau mampu menghitung orbit stasiun angkasa luar untuk
memahami perannya dalam eksplorasi angkasa luar. Warga yang literat secara
keilmuan memiliki fakta dan kosakata yang memadai untuk memahami konteks
informasi yang diterima sehari-hari. Apabila kita dapat memahami isu-isu ilmiah
yang dipublikasikan di majalah dan surat kabar, jika Anda bisa membaca artikel
rekayasa genetik atau lubang ozon sama mudahnya dengan kita membaca
sepakbola, politik, atau seni, itu berarti kita literat secara keilmuan.
Miller (2007) menggunakan pengertian ini ketika melakukan survei
terhadap orang dewasa Amerika Serikat mengenai pemahaman mereka terhadap
isu-isu sains. Tolok ukurnya ialah kemampuan responden dalam memahami
artikel dan berita sains yang diterbitkan di harian New York Times. Seseorang
yang literat secara keilmuan, menurut US National Science Education Standards,
dapat mengajukan pertanyaan, menemukan, atau menentukan jawaban atas
pertanyaan yang berasal dari keingintahuan mengenai pengalaman sehari-hari.
Artinya, orang tersebut memiliki kemampuan untuk menguraikan, menjelaskan,
dan memprediksi fenomena
alam. Ia mampu membaca dengan pemahaman artikel mengenai sains di media
populer dan terlibat dalam percakapan sosial mengenai isu sains. Ia mampu
mengevaluasi kualitas informasi ilmiah berdasarkan sumbernya dan metoda yang
digunakan untuk menghasilkan informasi tersebut. Literasi sains berimplikasi
bahwa seseorang mampu mengidentifikasi isu-isu sains yang mendasari
keputusan nasional dan lokal serta mengungkapkan posisinya berdasarkan
informasi ilmiah.
Holbrook (2009) dalam jurnalnya The meaning of science, menyatakan
literasi sains berarti penghargaan pada ilmu pengetahuan dengan cara
meningkatkan komponen-komponen belajar dalam diri agar dapat memberi
kontribusi pada lingkungan sosial. Berdasarkan pernyataan diatas literasi sains
memiliki arti luas, setiap kalangan dapat memberikan kontribusi dalam
mengartikan literasi sains. Setiap kalangan umur memberikan kontribusi
terhadap teknolgi berdasarkan tingkat pemahaman yang dimilikinya. Literasi
sains berarti pengetahuan dan pemahaman tentang konsep- konsep ilmiah dan
proses yang diperlukan untuk pengambilan keputusan pribadi, partisipasi dalam
urusan kemasyarakatan dan kebudayaan, dan produktivitas ekonomi (Turiman
dkk, 2011). Meningkatkan literasi sains melalui pendidikan sains adalah
mengembangkan kemampuan, kreatifitas, memanfaatkan pengetahuan yang
tepat berdasarkan bukti ilmiah dan keterampilan, terutama dengan relevansi
untuk kehidupan sehari-hari dan karir, dalam memecahkan sendiri masalah
ilmiah yang menantang namun bermakna serta membuat keputusan sosial-ilmiah
yang bertanggung jawab. Tapi perlu untuk mengakui bahwa meningkatkan
literasi sains juga tergantung pada kebutuhan untuk mengembangkan interaksi
keterampilan secara kolektif, pengembangan pribadi dan pendekatan komunikasi
yang sesuai serta kebutuhan untuk menunjukkan penalaran suara dan persuasif
dalam mengajukan argumen sosio-ilmiah (Holbrook and Rannikmae, 2009).
Untuk tujuan penilaian, definisi literasi sains PISA dapat dicirikan oleh empat
aspek yang saling terkait, yaitu aspek konteks, pengetahuan, kompetensi, dan
sikap sains (OECD, 2007).
PISA (Programme for International Student Assessment) adalah studi
literasi yang bertujuan untuk meneliti secara berkala tentang kemampuan siswa
usia 15 tahun (kelas III SMP dan Kelas I SMA) dalam membaca (reading
literacy), matematika (mathematics literacy), dan sains (scientific literacy).
Penelitian yang dilakukan PISA meliputi tiga periode, yaitu tahun 2000, 2003,
dan 2006. Pada tahun 2000 penelitian PISA difokuskan kepada kemampuan
membaca, sementara dua aspek lainnya menjadi pendamping. Pada tahun 2003
aspek matematika menjadi fokus utama kemudian diteruskan aspek sains pada
tahun 2006. Studi PISA yang dilaksanakan oleh OECD (Organisation for
Economic Co-operation & Development) dan Unesco Institute for Statistics itu
mengukur kemampuan siswa pada akhir usia wajib belajar untuk mengetahui
kesiapan siswa menghadapi tantangan masyarakat-pengetahuan (knowledge
society) dewasa ini. Penilaian yang dilakukan dalam PISA berorientasi ke masa
depan, yaitu menguji kemampuan anak muda itu untuk menggunakan
keterampilan dan pengetahuan mereka dalam menghadapi tantangan kehidupan
nyata, tidak semata-mata mengukur kemampuan yang dicantumkan dalam
kurikulum sekolah.
Literasi sains menurut PISA diartikan sebagai “ the capacity to use
scientific knowledge , to identify questions and to draw evidence-based
conclusions in order to understand and help make decisions about the natural
world and the changes made to it through human activity”. Literasi sains
didefinisikan sebagai kemampuan menggunakan pengetahuan sains,
mengidentifikasi pertanyaan, dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti,
dalam rangka memahami serta membuat keputusan berkenaan dengan alam dan
perubahan yang dilakukan terhadap alam melalui aktivitas manusia. Definisi
literasi sains ini memandang literasi sains bersifat multidimensional, bukan
hanya pemahaman terhadap pengetahuan sains, melainkan lebih dari itu. PISA
juga menilai pemahaman peserta didik terhadap karakteristik sains sebagai
penyelidikan ilmiah, kesadaran akan betapa sains dan teknologi membentuk
lingkungan material, intelektual dan budaya, serta keinginan untuk terlibat dalam
isu-isu terkait sains, sebagai manusia yang reflektif. Literasi sains dianggap
suatu hasil belajar kunci dalam pendidikan pada usia 15 tahun bagi semua siswa,
apakah meneruskan belajar sains atau tidak setelah itu.
Berpikir ilmiah merupakan tuntutan warga negara, bukan hanya
ilmuwan. Keinklusifan literasi sains sebagai suatu kompetensi umum bagi
kehidupan merefleksikan kecenderungan yang berkembang pada pertanyaan-
pertanyaan ilmiah dan teknologis. Sesuai dengan pandangan di atas, penilaian
literasi sains dalam PISA tidak semata-mata berupa pengukuran tingkat
pemahaman terhadap pengetahuan sains, tetapi juga pemahaman terhadap
berbagai aspek proses sains, serta kemampuan mengaplikasikan pengetahuan
dan proses sains dalam situasi nyata yang dihadapi peserta didik, baik sebagai
individu, anggota masyarakat, serta warga dunia.

B. Komponen dan Aspek-aspek dalam Literasi Sains


Proses sains merujuk pada proses mental yang terlibat ketika menjawab
suatu pertanyaan atau memecahkan masalah, seperti mengidentifikasi dan
menginterpretasi bukti serta menerangkan kesimpulan (Rustaman et al., 2004).
PISA (2000) menetapkan lima komponen proses sains dalam penilaian literasi
sains, yaitu:
1. Mengenal pertanyaan ilmiah, yaitu pertanyaan yang dapat diselidiki secara
ilmiah, seperti mengidentifikasi pertanyaan yang dapat dijawab oleh sains.
2. Mengidentifikasi bukti yang diperlukan dalam penyelidikan ilmiah. Proses ini
melibatkan identifikasi atau pengajuan bukti yang diperlukan untuk menjawab
pertanyaan dalam suatu penyelidikan sains, atau prosedur yang diperlukan untuk
memperoleh bukti itu.
3. Menarik dan mengevaluasi kesimpulan. Proses ini melibatkan kemampuan
menghubungkan kesimpulan dengan bukti yang mendasari atau seharusnya
mendasari kesimpulan itu.
4. Mengkomunikasikan kesimpulan yang valid, yakni mengungkapkan secara tepat
kesimpulan yang dapat ditarik dari bukti yang tersedia.
5. Mendemonstrasikan pemahaman terhadap konsep-konsep sains, yakni
kemampuan menggunakan konsep-konsep dalam situasi yang berbeda dari apa
yang telah dipelajarinya.
Dari hasil akhir proses sains ini, siswa diharapkan dapat menggunakan
konsep-konsep sains dalam konteks yang berbeda dari yang telah dipelajarinya.
PISA memandang pendidikan sains untuk mempersiapkan warga negara masa
depan, yang mampu berpartisipasi dalam masyarakat yang akan semakin
terpengaruh oleh kemajuan sains dan teknologi, perlu mengembangkan
kemampuan anak untuk memahami hakekat sains, prosedur sains, serta kekuatan
dan keterbatasan sains. Termasuk di dalamnya kemampuan untuk menggunakan
pengetahuan sains, kemampuan untuk memperoleh pemahaman sains dan
kemampuan untuk menginterpretasikan dan mematuhi fakta. Alasan ini yang
menyebabkan PISA tahun 2003 menetapkan 3 komponen proses sains berikut ini
dalam penilaian literasi sains.
1. Mendiskripsikan, menjelaskan, memprediksi gejala sains.
2. Memahami penyelidikan sains
3. Menginterpretasikan bukti dan kesimpulan sains.
Pandangan terhadap literasi sains yang dilakukan oleh PISA 2003 yang
membagi literasi sains dalam tiga dimensi besar literasi sains dalam
pengukurannya, yakni kompetensi/proses sains, konten/pengetahuan sains dan
konteks aplikasi sains, yaitu:
1. Aspek konteks, PISA menilai pengetahuan sains relevan dengan kurikulum
pendidikan sains di negara partisipan tanpa membatasi diri pada aspek-aspek
umum kurikulum nasional tiap negara yang mencakup bidang-bidang aplikasi
sains dalam seting personal, sosial dan global seperti kesehatan, sumber daya
alam, mutu lingkungan, dan perkembangan mutakhir sains dan teknologi.
2. Aspek konten, konten sains berisi konsep-konsep kunci dari sains yang
diperlukan untuk memahami fenomena alam dan perubahan yang dilakukan
terhadap alam melalui aktivitas manusia.
3. Aspek Kompetensi/Proses, PISA memandang perlunya pendidikan sains
untuk mengembangkan kemampuan siswa memahami hakekat sains, prosedur
sains, serta kekuatan dan kelemahan sains. Siswa perlu memahami bagaimana
ilmuwan menemukan ilmu yang kemudian dapat diadopsi dalam
pembelajaran sains

C. Karakteristik scientific literacy (Literasi Sains)


a. Kemampuan Dasar yang Diukur
Kemampuan yang diukur dalam PISA adalah kemampuan pengetahuan
dan keterampilan dalam tiga domain kognitif, yaitu membaca, matematika, dan
ilmu pengetahuan alam. Untuk memperoleh data yang dimaksud, disusun dua
kategori bentuk soal, yaitu bentuk soal pilihan ganda yang memungkinkan siswa
memilih salah satu jawaban yang paling benar dari beberapa alternatif jawaban
yang diberikan (sebanyak 44.7% dari keseluruhan soal) dan bentuk soal uraian
(constructed response) yang menuntut siswa untuk dapat menjawab dalam bentuk
tulisan atau uraian (sisanya atau 55.3%). Kemampuan yang diukur itu berjenjang
dari tingkat kesulitan yang paling rendah kepada tingkat yang lebih sulit. Soal-
soal yang harus dijawab pada bentuk pilihan ganda dimulai dari memilih salah
satu jawaban alternatif yang sederhana, seperti menjawab ya/tidak, sampai kepada
jawaban alternatif yang agak kompleks, seperti merespons beberapa pilihan yang
disajikan. Pada soal-soal yang memerlukan jawaban uraian, siswa diminta untuk
menjawab dengan jawaban yang singkat dalam bentuk kata atau frase, kemudian
jawaban agak panjang dalam bentuk uraian yang dibatasi jumlah kalimatnya, dan
jawaban dalam bentuk uraian yang terbuka.

b. Sampel dan Variabel


Sebanyak 290 sekolah di Indonesia telah dijadikan sampel untuk studi ini,
dengan jumlah siswa dalam sampel ini sebanyak 7.355 siswa dari keseluruhan
siswa yang berusia 15 tahun dan berada dalam sistem pendidikan. Sekolah
tersebut dipilih berdasarkan status sekolah dan jenis sekolah, yang mencakup
SLTP (38%), MTs (27.6%), SMU (15.9%), MA (8.5%), dan SMK (9.7%). Data
yang dikumpulkan dalam PISA ini terdiri atas tiga kategori data, yaitu literasi
siswa, latar belakang siswa, dan latar belakang sekolah. Aspek literasi adalah
aspek utama dari data yang dikumpulkan yang terdiri atas pengetahuan dan
keterampilan dalam membaca, matematika, dan ilmu pengetahuan alam.
c. Desain Tes Literasi Membaca

Soal-soal PISA yang didesain untuk mengukur literasi membaca dapat


dibagi menjadi tiga aspek utama, yaitu aspek struktur dan jenis wacana, aspek
proses membaca, dan aspek konteks pemanfaatan pengetahuan dan keterampilan
membaca.

d. Struktur dan Jenis Wacana


Struktur dan jenis wacana di dalam PISA dibagi menjadi dua jenis yaitu
struktur wacana berkelanjutan (continuous texts) dan wacana tak-berkelanjutan
(non-continuous texts). Seperti telah dijelaskan di atas, wacana berkelanjutan
adalah jenis wacana yang terdiri atas rangkaian kalimat yang diatur dalam
paragraf dalam bentuk deskripsi, narasi, eksposisi, argumentasi atau injungsi;
sementara wacana tak-berkelanjutan adalah wacana yang dirancang dalam format
matrik, termasuk di dalamnya pengumuman, grafik, gambar, peta, skema, tabel,
dan aneka bentuk penyampaian informasi.
Sementara jenis soal PISA juga mengukur tiga proses membaca, yaitu
kemampuan mencari dan menemukan informasi, kemampuan mengembangkan
makna dan menafsirkan isi bacaan, dan kemampuan melakukan refleksi dan
evaluasi terhadap isi bacaan dalam kaitannya dengan pengalaman sehari-hari,
pengetahuan yang sudah didapat sebelumnya, dan pengembangan gagasan dari
informasi yang diperolehnya. Soal-soal itu berhubungan dengan konteks
membaca yang mencakup konteks membaca untuk kepentingan pribadi, untuk
kepentingan umum, untuk kepentingan bekerja, dan untuk kepentingan
pendidikan. Aspek struktur, proses, dan konteks membaca ini selanjutnya
diwujudkan dalam serangkaian wacana yang berjumlah 48 wacana. Sebanyak
141 soal kemudian dikembangkan berdasarkan wacana tersebut.

D. Peranan Literasi Sains dalam Pendidikan


Negara-negara maju sudah membangun literasi sains sejak lama, yang
pelaksanaannya terintegrasi dalam pembelajaran. AS dengan “Project 2061”
membangun literasi sains di Amerika Serikat melalui riset yang hasilnya
digunakan untuk menetapkan “standar pendidikan sains Amerika”. Dibuatnya
standar ini untuk mewujudkan literasi sains secara kongkrit dalam pendidikan
Amerika, yang tujuan jangka panjangnya adalah kejayaan sains dan teknologi di
masa depan. Hasil penelitian sains di Australia menunjukkan bahwa tujuan utama
pendidikan sains di Australia adalah meningkatkan literasi (melek) sains
(Anonim, 2006). Cina menerapkan strategi yang tak kalah penting: menjadikan
"literasi (melek) sains" (science literacy) sebagai program negara. Cina telah
memulainya lima tahun silam dengan mencanangkan Rencana 15 Tahun untu
meningkatkan jumlah penduduk yang melek sains. Orang literasi sains akan
dapat berkonstribusi terhadap kesejahteraan baik dari aspek social maupun
ekonomi. Jadi di negara maju, literasi sains merupakan prioritas utama dalam
pendidikan sains (Anonime, 2011).
Pengembangan evaluasi untuk mengetahui pencapaian literasi sains
merujuk pada proses sains, yaitu proses mental yang terlibat ketika menjawab
suatu pertanyaan atau memecahkan masalah, seperti mengidentifikasi dan
menginterpretasi bukti serta menerangkan kesimpulan. PISA (2006) menetapkan
lima komponen proses sains dalam penilaian literasi sains, yaitu: a) Mengenal
pertanyaan ilmiah, yaitu pertanyaan yang dapat diselidiki secara ilmiah, seperti
mengidentifikasi pertanyaan yang dapat dijawab oleh sains. b) Mengidentifikasi
bukti yang diperlukan dalam penyelidikan ilmiah. Proses ini melibatkan
identifikasi atau pengajuan bukti yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan
dalam suatu penyelidikan sains, atau prosedur yang diperlukan untuk
memperoleh bukti itu. c) Menarik dan mengevaluasi kesimpulan. Proses ini
melibatkan kemampuan menghubungkan kesimpulan dengan bukti yang
mendasari atau seharusnya mendasari kesimpulan itu. d) Mengkomunikasikan
kesimpulan yang valid, yakni mengungkapkan secara tepat kesimpulan yang
dapat ditarik dari bukti yang tersedia. e) Mendemonstrasikan pemahaman
terhadap konsep-konsep sains, yakni kemampuan menggunakan konsep-konsep
dalam situasi yang berbeda dari apa yang telah dipelajarinya.
Pengukuran terhadap pencapaian literasi sains berdasarkan standar PISA
yakni proses sains, konten sains, dan konteks aplikasi sains. Proses sains
merujuk pada proses mental yang terlibat ketika menjawab suatu pertanyaan atau
memecahkan masalah, seperti mengidenifikasi dan menginterpretasi bukti serta
menerangkan kesimpulan. Termasuk di dalamnya mengenal jenis pertanyaan
yang dapat dan tidak dapat dijawab oleh sains, mengenal bukti apa yang
diperlukan dalam suatu penyelidikan sains, serta mengenal kesimpulan yang
sesuai dengan bukti yang ada. Konten sains merujuk pada konsep-konsep kunci
yang diperlukan untuk memahami fenomena alam dan perubahan yang
dilakukan terhadap alam melalui akitivitas manusia. Dalam kaitan ini PISA tidak
secara khusus membatasi cakupan konten sains hanya pada pengetahuan yang
menjadi materi kurikulum sains sekolah, namun termasuk pula pengetahuan
yang dapat diperoleh melalui sumber-sumber lain
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Secara harfiah literasi berasal dari “Literacy” (dari bahasa inggris) yang
berarti melek huruf atau gerakan pemberantasan buta huruf. Kata sains berasal
dari “Science” (dari bahasa inggris) yang berarti ilmu pengetahuan. Salah satu
indikator keberhasilan siswa menguasai berpikir logis, berpikir kreatif, dan
teknologi dapat dilihat dari penguasaan Literasi Sains siswa dari Program PISA.
PISA (2000) menetapkan lima komponen proses sains dalam penilaian literasi
sains, yaitu: 1) Mengenal pertanyaan ilmiah, 2) Mengidentifikasi bukti yang
diperlukan dalam penyelidikan ilmiah, 3) Menarik dan mengevaluasi
kesimpulan, 4) Mengkomunikasikan kesimpulan yang valid, yakni
mengungkapkan secara tepat kesimpulan yang dapat ditarik dari bukti yang
tersedia, 5) Mendemonstrasikan pemahaman terhadap konsep- konsep sains.
Berdasarkan hasil penelitian Safitri (2015), Peningkatan kemampuan literasi
sains siswa yang Menggunakan Bahan Ajar IPA Terpadu Berbasis Literasi Sains
Bertema Gejala Alam lebih tinggi dari pada siswa yang menggunakan buku yang
biasa digunakan di sekolah.

B. Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, terdapat beberapa saran yang
dapat disampaikan peneliti, yaitu : (1) Pembelajaran berbasis literasi sains dapat
dijadikan sebagai alternatif pembelajaran bagi guru dengan lebih memperhatikan
kesesuaian antara isi materi berdasarkan literasi sains dan tingkat pengetahuan
siswa dalam menyusun materi yang akan disampaikan serta tes yang diberikan
kepada siswa, (2) Selain hasil belajar, ternyata pembelajaran literasi sains juga
dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa di kelas, sehingga dapat menjadi
masukan bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut.
Daftar Pustaka

Holbrook, J, & Rannikmae, M. 2009. The Meaning of Scientific Literacy.


International Journal of Environmental & Science Education, 4 (3), 275-278.
Inzanah, I., M. Ibrahim. & W. Widodo. 2014. Pengembangan Perangkat
Pembelajaran Ipa Berbasis Kurikulum 2013 Untuk Melatih Literasi Sains
Siswa SMP. Jurnal Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri
Surabaya, 4(1): 459-467.
Kemendikbud. (2013a). Materi Pelatihan Guru Implementasi kurikulum 2013-
SMP/MTS-Ilmu Pengetahuan Alam. Jakarta : Depdikbud
NCES. (2012). Highlights From PIRLS 2011 Reading Achievement of U.S.
Fourth-Grade Students in an International Context. U.S. Department of
Education.
OECD. (2013a). PISA 2012 Assesment and Analitycal Framework Mathematics,
Reading, Science, Problem Solving and Financial Literacy. s.l. : OECD
Publishing.
OECD. (2013b). PISA 2012 Result: What Students Know and Can Do-Student
Perfomance in Mathematics, Reading and Science (Valume I). s.l. : OECD
Publishing.
Qulud, Q., Wahidin, W. & Y. Maryuningsih.2015. Penerapan Model
Pembelajaran Learning Cycle 7e Untuk Meningkatkan Kemampuan Literasi
Sains Siswa Pada Konsep Sistem Reproduksi Kelas Xi Di Sma Negeri 1
Arjawinangun. Scientiae Educatia, 5 (1): 1-14.
Rustaman, N. 2007. Keterampilan Proses Sains. Bandung: Sekolah Pasca Sarjana
UPI.
Safitri, A.D., A. Rusilowati & Sunarno. 2015. Pengembangan Bahan Ajar IPA
Terpadu Berbasis Literasi Sains Bertema Gejala Alam. Unnes Physics
Education Journal, 4(2): 31-40
Subali, B., Effendy, Suyono, Raharjo, Wasis, dan Sudibyo, E. (2009). Panduan
Pengembangan Model Pembelajaran IPA Terpadu. Departemen pendidikan
nasional.
Sumarti, S., Y.S. Rahayu & Madlazim. 2015. Pengembangan Perangkat
Pembelajaran Berbasis Inkuiri Terbimbing Untuk Melatih Literasi Sains
Siswa. Jurnal Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya,
5(1): 822-829
Toharudin, Uus dkk. 2011. Membangun Litrasi Sains Peserta Didik. Bandung:
Humaniora.
Trowbridge, Leslie W. and Bybee, Rodger W. (1996). Teaching Secondary
School Science-Strategies for Developing Scientific Literacy. New Jersey :
Prentice Hall, 1996.
UNESCO. (2008). Sceince Eduction Policy-Making Eleven Emerging issues. s.l. :
UNESCO.

Anda mungkin juga menyukai