Anda di halaman 1dari 7

KERAJAAN SUNDA

KELOMPOK 9 :
1. SIMON ALEXANDER
2. SILFINI
3. WIDYA SUHANDA

SMA NEGERI 1 BATUKLIANG


TAHUN 2018
Sejarah Kerajaan Sunda
Rujukan awal nama Sunda sebagai sebuah kerajaan tertulis dalam Prasasti Kebon Kopi II
tahun 458 Saka (536 Masehi).[1] Prasasti itu ditulis dalam aksara Kawi, namun, bahasa yang
digunakan adalah bahasa Melayu Kuno. Prasasti ini terjemahannya sebagai berikut: Batu
peringatan ini adalah ucapan Rakryan Juru Pangambat, pada tahun 458 Saka, bahwa tatanan
pemerintah dikembalikan kepada kekuasaan raja Sunda.

Beberapa orang berpendapat bahwa tahun prasasti tersebut harus dibaca sebagai 854 Saka
(932 Masehi) karena tidak mungkin Kerajaan Sunda telah ada pada tahun 536 AD, di era
Kerajaan Tarumanagara (358-669 AD ). Rujukan lainnya kerajaan Sunda adalah Prasasti
Sanghyang Tapak yang terdiri dari 40 baris yang ditulis pada 4 buah batu. Empat batu ini
ditemukan di tepi sungai Cicatih di Cibadak, Sukabumi. Prasasti-prasasti tersebut ditulis
dalam bahasa Kawi. Sekarang keempat prasasti tersebut disimpan di Museum Nasional
Jakarta, dengan kode D 73 (Cicatih), D 96, D 97 dan D 98. Isi prasasti (menurut Pleyte):

Perdamaian dan kesejahteraan. Pada tahun Saka 952 (1030 M), bulan Kartika pada hari 12
pada bagian terang, hari Hariang, Kaliwon, hari pertama, wuku Tambir. Hari ini adalah hari
ketika raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya
Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramattunggadewa, membuat tanda
pada bagian timur Sanghiyang Tapak ini. Dibuat oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan tidak
ada seorang pun yang diperbolehkan untuk melanggar aturan ini. Dalam bagian sungai
dilarang menangkap ikan, di daerah suci Sanghyang Tapak dekat sumber sungai. Sampai
perbatasan Sanghyang Tapak ditandai oleh dua pohon besar. Jadi tulisan ini dibuat,
ditegakkan dengan sumpah. Siapa pun yang melanggar aturan ini akan dihukum oleh
makhluk halus, mati dengan cara mengerikan seperti otaknya disedot, darahnya diminum,
usus dihancurkan, dan dada dibelah dua.
Raja-Raja Kerajaan Sunda
Di bawah ini deretan raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Sunda menurut naskah
Pangéran Wangsakerta (waktu berkuasa dalam tahun Masehi):

1. Tarusbawa (menantu Linggawarman, 669 – 723)


2. Harisdarma, atawa Sanjaya (menantu Tarusbawa, 723 – 732)
3. Tamperan Barmawijaya (732 – 739)
4. Rakeyan Banga (739 – 766)
5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 – 783)
6. Prabu Gilingwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 – 795)
7. Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Gilingwesi, 795 – 819)
8. Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819 – 891)
9. Prabu Darmaraksa (adik ipar Rakeyan Wuwus, 891 – 895)
10. Windusakti Prabu Déwageng (895 – 913)
11. Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 – 916)
12. Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916 – 942)
13. Atmayadarma Hariwangsa (942 – 954)
14. Limbur Kancana (putera Rakeyan Kamuning Gading, 954 – 964)
15. Munding Ganawirya (964 – 973)
16. Rakeyan Wulung Gadung (973 – 989)
17. Brajawisésa (989 – 1012)
18. Déwa Sanghyang (1012 – 1019)
19. Sanghyang Ageng (1019 – 1030)
20. Sri Jayabupati (Detya Maharaja, 1030 – 1042)
21. Darmaraja (Sang Mokténg Winduraja, 1042 – 1065)
22. Langlangbumi (Sang Mokténg Kerta, 1065 – 1155)
23. Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur (1155 – 1157)
24. Darmakusuma (Sang Mokténg Winduraja, 1157 – 1175)
25. Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175 – 1297)
26. Ragasuci (Sang Mokténg Taman, 1297 – 1303)
27. Citraganda (Sang Mokténg Tanjung, 1303 – 1311)
28. Prabu Linggadéwata (1311-1333)
29. Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340)
30. Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350)
31. Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (yang gugur dalam Perang Bubat, 1350-1357)
32. Prabu Bunisora (1357-1371)
33. Prabu Niskalawastukancana (1371-1475)
34. Prabu Susuktunggal (1475-1482)
35. Jayadéwata (Sri Baduga Maharaja, 1482-1521)
36. Prabu Surawisésa (1521-1535)
37. Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543)
38. Prabu Sakti (1543-1551)
39. Prabu Nilakéndra (1551-1567)
40. Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579)
Peninggalan Kerajaan Sunda
1. Prasasti Cikapundung
Prasasti ini ditemukan warga di sekitar sungai Cikapundung, Bandung pada 8 Oktober 2010.
Batu prasasti bertuliskan huruf Sunda kuno tersebut diperkirakan berasal dari abad ke-14.
Selain huruf Sunda kuno, pada prasasti itu juga terdapat gambar telapak tangan, telapak kaki,
dan wajah. Hingga kini para peneliti dari Balai Arkeologi masih meneliti batu prasasti
tersebut.

Batu prasasti yang ditemukan tersebut berukuran panjang 178 cm, lebar 80 cm, dan tinggi 55
cm. Pada prasasti itu terdapat gambar telapak tangan, telapak kaki, wajah, dan dua baris huruf
Sunda kuno bertuliskan “unggal jagat jalmah hendap”, yang artinya semua manusia di dunia
akan mengalami sesuatu. Peneliti utama Balai Arkeologi Bandung, Lutfi Yondri
mengungkapkan, prasasti yang ditemukan tersebut dinamakan Prasasti Cikapundung.

2. Prasasti Pasir Datar

Prasasti Pasir Datar ditemukan di Perkebunan Kopi di Pasir Datar, Cisande, Sukabumi pada
tahun 1872 . Prasasti ini sekarang disimpan di Museum Nasional Jakarta. Prasasti yang
terbuat dari batu alah ini hingga kini belum ditranskripsi sehingga belum diketahui isinya.

3. Prasasti Huludayeuh

Prasasti Huludayeuh berada di tengah persawahan di kampung Huludayeuh, Desa


Cikalahang, Kecamatan Sumber dan setelah pemekaran wilayang menjadi Kecamatan
Dukupuntang – Cirebon.

 Penemuan
Prasasti Huludayeuh telah lama diketahui oleh penduduk setempat namun di kalangan
para ahli sejarah dan arkeologi baru diketahui pada bulan September 1991. Prasasti ini
diumumkan dalam media cetak Harian Pikiran Rakyat pada 11 September 1991 dan
Harian Kompas pada 12 September 1991.

 Isi
Prasasti Huludayeuh berisi 11 baris tulisan beraksa dan berbahasa Sunda Kuno, tetapi
sayang batu prasasti ketika ditemukan sudah tidak utuh lagi karena beberapa batunya
pecah sehingga aksaranya turut hilang. Begitupun permukaan batu juga telah sangat
rusak dan tulisannya banyak yang turut aus sehingga sebagian besar isinya tidak dapat
diketahui. Fragmen prasasti tersebut secara garis besar mengemukakan tentang Sri
Maharaja Ratu Haji di Pakwan Sya Sang Ratu Dewata yang bertalian dengan usaha-
usaha memakmurkan negrinya.

4. Prasasti Perjanjian Sunda-Portugis

Prasasti Perjanjian Sunda-Portugis adalah sebuah prasasti berbentuk tugu batu yang
ditemukan pada tahun 1918 di Jakarta.. Prasasti ini menandai perjanjian Kerajaan Sunda–
Kerajaan Portugal yang dibuat oleh utusan dagang Portugis dari Malaka yang dipimpin
Enrique Leme dan membawa barang-barang untuk “Raja Samian” (maksudnya Sanghyang,
yaitu Sang Hyang Surawisesa, pangeran yang menjadi pemimpin utusan raja Sunda). Prasasti
ini didirikan di atas tanah yang ditunjuk sebagai tempat untuk membangun benteng dan
gudang bagi orang Portugis.

Prasasti ini ditemukan kembali ketika dilakukan penggalian untuk membangun fondasi
gudang di sudut Prinsenstraat (sekarang Jalan Cengkeh) dan Groenestraat (Jalan Kali Besar
Timur I), sekarang termasuk wilayah Jakarta Barat. Prasasti tersebut sekarang disimpan di
Museum Nasional Republik Indonesia, sementara sebuah replikanya dipamerkan di Museum
Sejarah Jakarta

5. Prasasti Ulubelu

Prasasti Ulubelu adalah salah satu dari prasasti yang diperkirakan merupakan peninggalan
Kerajaan Sunda dari abad ke-15 M, yang ditemukan di Ulubelu, Desa Rebangpunggung,
Kotaagung,Lampung pada tahun 1936.

Meskipun ditemukan di daerah lampung (Sumatera bagian selatan), ada sejarawan yang
menganggap aksara yang digunakan dalam prasasti ini adalah aksara Sunda Kuno, sehingga
prasasti ini sering dianggap sebagai peninggalan Kerajaan Sunda. Anggapan sejarawan
tersebut didukung oleh kenyataan bahwa wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga wilayah
Lampung. Setelah Kerajaan Sunda diruntuhkan oleh Kesultanan Banten maka kekuasaan atas
wilayah selatan Sumatera dilanjutkan oleh Kesultanan Banten. Isi prasasti berupa mantra
permintaan tolong kepada kepada dewa-dewa utama, yaitu Batara Guru (Siwa), Brahma, dan
Wisnu, serta selain itu juga kepada dewa penguasa air, tanah, dan pohon agar menjaga
keselamatan dari semua musuh.

6. Prasasti Kebon Kopi II

Prasasti Kebonkopi II atau Prasasti Pasir Muara peninggalan kerajaan Sunda-Galuh ini
ditemukan tidak jauh dari Prasasti Kebonkopi I yang merupakan peninggalan kerajaan
tarumanegara dan dinamakan demikian untuk dibedakan dari prasasti pertama. Namun
sayang sekali prasasti ini sudah hilang dicuri sekitar tahun 1940-an. Pakar F. D. K. Bosch,
yang sempat mempelajarinya, menulis bahwa prasasti ini ditulis dalam bahasa Melayu Kuno,
menyatakan seorang “Raja Sunda menduduki kembali tahtanya” dan menafsirkan angka
tahun peristiwa ini bertarikh 932 Masehi. Prasasti Kebonkopi II ditemukan di Kampung Pasir
Muara, desa Ciaruteun Ilir, Cibungbulang, Bogor, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, pada abad
ke-19 ketika dilakukan penebangan hutan untuk lahan perkebunan kopi. Prasasti ini terletak
kira-kira 1 km dari batu prasasti Prasasti Kebonkopi I (Prasasti Tapak Gajah).

7. Situs Karangkamulyan

Situs Karangkamulyan adalah sebuah situs yang terletak di Desa Karangkamulyan, Ciamis,
Jawa Barat. Situs ini merupakan peninggalan dari zaman Kerajaan Galuh yang bercorak
Hindu-Buddha. Legenda situs Karangkamulyan berkisah tentang Ciung Wanara yang
berhubungan dengan Kerajaan Galuh. Cerita ini banyak dibumbui dengan kisah
kepahlawanan yang luar biasa seperti kesaktian dan keperkasaan yang tidak dimiliki oleh
orang biasa namun dimiliki oleh Ciung Wanara. Kawasan yang luasnya kurang lebih 25 Ha
ini menyimpan berbagai benda-benda yang diduga mengandung sejarah tentang Kerajaan
Galuh yang sebagian besar berbentuk batu. Batu-batu ini letaknya tidaklah berdekatan tetapi
menyebar dengan bentuknya yang berbeda-beda. Batu-batu ini berada di dalam sebuah
bangunan yang strukturnya terbuat dari tumpukan batu yang bentuknya hampir sama.
Struktur bangunan ini memiliki sebuah pintu sehingga menyerupai sebuah kamar.

Batu-batu yang ada di dalam struktur bangunan ini memiliki nama dan menyimpan kisahnya
sendiri, begitu pula di beberapa lokasi lain yang berada di luar struktur batu. Masing-masing
nama tersebut merupakan pemberian dari masyarakat yang dihubungkan dengan kisah atau
mitos tentang kerajaan Galuh seperti pangcalikan atau tempat duduk, lambang peribadatan,
tempat melahirkan, tempat sabung ayam dan Cikahuripan.

Kehidupan Politik Kerajaan Sunda


Menurut Tome Pires, kerajaan Sunda diperintah oleh Seorang raja. Raja tersebut berkuasa
atas raja-raja di daerah yang dipimpinnya. Tahta kerajaan diberikan secara turun temurun
kepada anaknya. Akan tetapi, apabila raja tidak memiliki anak maka yang menggantikannya
adalah salah seorang raja daerah berdasarkan hasil pemilihannya.

Kehidupan Sosial Kerajaan Sunda


Didalam naskah Sanghyang Siksakandang Karesian didapat penjelasan bahwa masyarakat
kerajaan Sunda umumnya adalah masyarakat Peladang. Masyarakat ini memiliki ciri
menonjol seperti selalu berpindah tempat dan rasa kebersamaannya agak longgar apabila
dibandingkan dengan masyarakat sawah yang menetap.

Pola berpindah tempat dalam masyarakat peladang berlangsung karena tanah garapan
dipandang tidak subur lagi untuk digarap. Oleh sebab itu perlu membuka kembali hutan baru
untuk berladang. Caranya dengan menebangi pohon, membiarkannya mengering dan terakhir
menanami area itu dengan berbagai macam tanaman. Perpindahan tempat berladang seperti
tersebut tidak menumbuhkan tradisi untuk membangun aneka bangunan permanen. Baik
sebagai tempat tinggal / tempat pemujaan. Itulah sebabnya didaerah Jabar tidak ditemukan
Candi yang banyak seperti di Jateng atau di Jatim.

Kehidupan Ekonomi Kerajaan Sunda


Kerajaan Sunda adalah kerajaan yang masyarakatnya hidup dari pertanian, hasil pertaniannya
menjadi pokok bagi pendapat kerajaan. Aneka hasil pertanian seperti lada, asam, beras, sayur
mayur dan buah-buahan banyak dihasilkan masyarakat kerajaan Sunda, selain itu, ada juga
golongan peternak Sapi, kambing, biri-biri dan babi adalah hewan yang banyak
diperjualbelikan di bandar-bandar pelabuhan kerajaan Sunda.
Menurut Tom Pires, kerajaan Sunda memiliki enam buah pelabuhan penting yang masing-
masing di kepalai oleh seorang Syahbandar. mereka bertanggungjawab kepada raja dan
bertindak atas nama raja di masing-masing pelabuhan, Banten, Pontang, Cigede, Tomgara,
Kalapa dan Cimanuk adalah pelabuhan-pelabuhan yang dimiliki kerajaan Sunda.
Kehidupan Budaya Kerajaan Sunda
Kitab carita Parahyangan dan serta Dewabuda memberi petunjuk bahwa masyarakat kerajaan
Sunda banyak mendapat pengaruh budaya Hindu dan Budha. Kedua budaya itu selanjutnya
berbaur dengan unsur budaya leluhur yang telah ada sebelumnya.

Keruntuhan Kerajaan Sunda


Sapeninggal Jayadéwata, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya, Prabu Surawisésa
(1521-1535), kemudian Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543), Prabu Sakti (1543-1551),
Prabu Nilakéndra (1551-1567), serta Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-
1579). Prabu Suryakancana ini merupakan pemimpin kerajaan Sunda-Galuh yang terakhir,
sebab setelah beberapa kali diserang oleh pasukan Maulana Yusuf dari Kesultanan Banten,
mengakibatkan kekuasaan Prabu Surya Kancanadan Kerajaan Pajajaran runtuh

Anda mungkin juga menyukai