Anda di halaman 1dari 5

Nama : Regi Rahmawati

NIM : C1A200001

Prodi : Hubungan Internasional (HI)

Mata Kuliah : Sistem Politik Indonesia

Dosen Pengampu : Achdijat Sulaeman, S.I.P.,M.Si.

Ujian Akhir Semester

1. Hal substansial yang membedakan pemilihan umum di era ORBA dan Reformasi
mengenai pemilihan umum 5 tahun sekali, dan keunggulan serta kelemahannya.
Jawaban : Hal substansial atau inti dari perbedaan pemilu di Masa Orde Baru dan
Reformasi yaitu di mana di era Reformasi pemilu itu LUBERJURDIL di bandingkan
era Orde Baru. Pemilihan umum berlangsung tidak bebas dan tidak jujur pada masa
Orde Baru.

Kelebihan dari Orde Baru mungkin bagi saya itu tidak ada, karena memang sangat
banyak sekali penyimpangan yang terjadi di Era Orde Baru ini sehingga kelebihannya
tertutupi dan tidak jelas, seperti rekor kecurangan dalam pemilu itu dipegang oleh Era
Orde Baru.

Kekurangannya sangat banyak sekali pemilihan umum pada masa Orde Baru ditandai
dengan intimidasi dan pemaksaan bagi pemilih untuk memilih Partai Golkar, pada masa
Reformasi pemilih dberikan kebebasan dalam menggunakan suaranya.

Kelebihan Era Reformasi, di Era Reformasi pemilu dijalankan dengan lebih bebas, jujur
dan adil.

Kekurangannya ada beberapa kasus pemegang kekuasaan itu tidak linier dengan bidang
kekuasaan yang dia pegang, atau tidak menekuni bidang itu sebelumnya.
2. Berdasarkan Teori Perwakilan Andrew Heywood, model perwakilan yang
dihasilkan oleh sistem pemilu di Indonesia termasuk ke dalam model perwakilan
yang mana.
Jawaban : Model Mandat
Ide dasarnya adalah sebuah partai memperoleh mandat rakyat yang memberi wewenang
kepadanya untuk menyelenggarakan apa saja kebijakan-kebijakan yang telah
digariskan selama kampanye pemilihan. Para politisi melayani para konstituen mereka
bukan dengan berpikir Menurut pemikiran mereka sendiri atau bertindak sebagai
saluran yang menyalurkan pandangan pandangan konstituen mereka, tetapi dengan
tetap loyal pada partai mereka dan kebijak-kebijaknnya. la memperhitungkan peran
praktis dari label-label partai dan kebijakan-kebijakan partai.
3. Analisa mengenai ketidaksesuaian antara harapan masyarakat dengan realitas
politik di Indonesia.
Jawaban : Wakil Rakyat tidak Mewakili Rakyat, kalimat itu yang sering
terdengar dan tertulis di platform manapun di Indonesia. Kekecewaan rakyat terhadap
ParPol yang duduk di kursi parlemen dan dilantik sebagai penyambung suara rakyat
sekarang sedang dilanda krisis kepercayaan dari berbagai kalangan dan lapisan
masyarakat di negeri ini. Bahkan adapun sebuah survei yaitu Suara Anak Muda tentang
Isu-isu Sosial Politik Bangsa yang menemukan suatu temuan dalam “Tingkat
Kepercayaan pada Lembaga”, DPR RI dan partai berada urutan terbawah setelah TNI
adalah DPR RI dan partai berada urutan terbawah setelah TNI, Presiden, Polri, KPK,
Kejaksaan, bahkan media mainstream dan media sosial. Survei yang melibatkan 1.200
responden yang berumur 17-21 tahun ini dilaksanakan selama dua tahun Maret 2018-
Maret 2020.
Selama lima tahun, DPR RI periode tersebut juga paceklik undang-undang, lalu masa
jabatan penuh drama dan kontroversi, anggota yang terjerat korupsi, hingga dugaan
pemborosan anggaran. DPR RI periode 2014-2019 disebut legislatif terburuk sepanjang
sejarah Reformasi.

Ada pula hasil survei Transparansi Internasional Indonesia yang menemukan bahwa
DPR RI, adalah lembaga paling korup di Indonesia.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) juga pernah melakukan riset dengan hasil
DPR RI dan partai politik mendapatkan kepercayaan publik yang rendah dan dianggap
sebagai institusi demokrasi dengan citra yang buruk.

Salah satu wujud kritis tersebut adalah aksi besar-besaran bertajuk


#ReformasiDikorupsi pada 2019 lalu yang memang diikuti ribuan mahasiswa dan
kelompok muda Lainnya selama berhari-hari. Aksi memprotes ragam kebijakan itu
digadang-gadang merupakan demonstrasi anak muda terbesar sejak Reformasi.

Belum lagi fenomena Omnibus Law tahun lalu yang gencar membuat semua mahasiswa
turun, atas kebijakan-kebijakan yang dibuat DPR tidak sesuai dengan pengharapan
ataupun kondisi rakyat.

4. Kebijakan-kebijakan yang harus dilakukan pemerintah untuk menciptakan


kestabilan sistem politik di negara demokratis.
Jawaban : Diwujudkannya penyelenggaraan negara secara transparan dan
akuntabel, serta partisipasi politik secara nyata dari masyarakat terhadap perumusan-
perumusan kebijakan publik. Aparatur negara diharapkan memiliki standar
kemampuan minimal yang dibutuhkan untuk melaksanakan program-program
pemerintah terpilih, bersih dari korupsi, dan efektif dalam melaksanakan tugas
profesinya, berdasarkan asas the right man on the right place. Baik aparatur birokrasi
sipil maupun militer harus dapat mempertanggung jawabkan pekerjaannya berdasarkan
prinsipprinsip good governance dan ketentuan perundang-undangan serta hukum
positif. Konsekuensi sebagai pelayan masyarakat (public servant) adalahperlunya
netralitas dalam politik. Hal ini tentu bukan berarti para pejabat publik dan birokrasi
kehilangan hak politik sebagai warganegara. Aparatur birokrasi diharapkan memiliki
dan dapat menggunakan hak suaranya secara penuh dalam memilih wakil-wakilnya di
parlemen dan memilih kepala negara/pemerintahan. Aparatur penyelenggaraan negara
diharapkan tidak merangkap pekerjaan profesi politik dalam sistem kepartaian pada
saat sedang menduduki jabatan di birokrasi.

5. Apa yang dimaksud Political Party in Post Democracy Era di era reformasi? Dan
mengapa terjadi?
Jawaban : Sebagaimana yang diungkapkan oleh Crouch, kehadiran partai post-
democracy berkorelasi dengan kondisi masyarakat dan negara yang telah memasuki era
post-democracy. Beberapa kondisi post-democracy muncul pula di Indonesia tidak
lama setelah era reformasi bergulir. Menjelang kemunculan partai-partai post-
democracy, masyarakat Indonesia mengalami kekecewaan terhadap partai politik.
Setelah harapan yang amat tinggi di awal reformasi, yang ditandai oleh maraknya partai
dan tingginya partisipasi pada Pemilu 1999, lambat laun masyarakat mulai menjaga
jarak dengan partai-partai.

6. Sejauh mana peran oligarki dalam sistem politik Indonesia saat ini.
Jawaban : Dilansir dari News.co, Tren oligarki partai politik di Indonesia saat ini
tengah menguat dalam mengendalikan pemerintahan. Baik di kalangan eksekutif,
legislatif, dan yudikatif. Padahal dalam “Trias Politika“ ketiganya memiliki fungsi
masing masing saling kontrol dalam menjaga keseimbangan (check and balance of
power). Namun secara empiristik bisa terjadi ketidak seimbangan kekuasaan
(unbalance power).
Salah satu contoh konkrit yang baru baru ini terjadi yaitu pengesahan Perppu Nomor 1
tahun 2020 tentang Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan menjadi undang-undang
dengan mulus tanpa perdebatan yang berarti di parlemen sebagai indikasi pernyataan
di atas.
Padahal, Perppu tersebut digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh para tokoh dan
kekuatan elemen masyarakat yang saat ini persidangannya masih berlangsung. Artinya,
keputusan yang cepat mengindahkan suara rakyat yang berada di luar parlemen, dengan
kata lain bisa dikatakan mem-bypass demokrasi substansial (Heyness, 2003).
Terminologi Oligarki secara harafiah yaitu pemerintahan yang dikendalikan oleh
“kelompok kecil elit”. Keberadaan elit tersebut berada di pucuk pimpinan partai politik
dan kelompok penekan lain yang berpengaruh. Karena itu disebut “Oligarki Partai
Politik” atau oligarki politik, Robert Michels ( 1915 ) dalam bukunya “Political Parties”.
Nurohman (2018) mengutip pemikiran Jeffrey A Winters dalam bukunya “Oligarhy”
menjelaskan bahwa oligarki dibangun atas dasar kekuatan modal yang tidak terbatas.
Kemudian oligarki beroperasi dalam kerangka kekuasaan yang menggurita secara
sistemik. Dengan demikian, oligarki selalu berorientasi memainkan kekuasaan sesuai
dengan keinginan para elite dan kelompoknya.
Karena itu tidak mengherankan jika praktik oligarki politik tidak hanya terhadap
pengesahan Perppu saja, akan tetapi juga pengesahan draf RUU Haluan Ideologi
Pancasila yang kontroversi dan menghebohkan masuk dalam “program legislasi
nasional” yang tidak banyak diketahui publik.

Anda mungkin juga menyukai