Anda di halaman 1dari 2

Berbicara tentang moneter, sudah pasti kavlingannya Bank Indonesia (BI).

Pemerintah
melalui BI terus mengeluarkan berbagai jurus moneter dalam merespons penurunan
ekonomi akibat Covic-19. Sebut saja, penurunan suku bunga acuan BI (7-day reverse repo
rate, BI7DRR) yang telah memasuki episode ke sekian, hingga bertahan di 4,5% saat ini.

Seorang teman bertanya, apa gunanya suku bunga acuan diturunkan? Sederhananya
begini. Ketika BI menurunkan suku bunga acuan, maka harapannya bank umum dan bank
perkreditan rakyat (BPR) juga turut menurunkan suku bunga pinjaman (kredit). Penurunan
suku bunga kredit diharapkan akan mendorong peningkatan sektor usaha karena turunnya
biaya modal perusahaan (kredit lebih murah). Kebijakan ini biasanya akan didukung LPS
(Lembaga Penjamin Simpanan) dengan menurunkan suku bunga penjaminan sehingga
membuat kebijakan moneter itu lebih efektif.

Mengapa BI tidak cetak uang saja di masa krisis? Perlu diingat bahwa BI wajib menjaga
mekanisme pengedaran uang kartal (kertas dan logam). Berpedoman pada UU Nomor 7
Tahun 2011 mengenai Mata Uang, BI dipastikan tidak akan sembarangan mencetak uang.
Jumlah uang harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dengan mempertimbangkan
pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Mencetak uang dalam jumlah besar tanpa perhitungan
yang tepat, apalagi di tengah penurunan ekonomi justru akan berbahaya di kemudian hari.

Bagaimana dengan stabilitas moneter? BI dimandati UU untuk hal ini, sebuah pekerjaan
sulit dalam kondisi ketidakpastian yang tinggi. Ditambah rupiah yang tergolong mata uang
lemah (soft currency), yang sangat mudah terombang-ambing nilainya. Secara umum, BI
tampaknya terus menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, yang sering disebut analis sebagai
intervensi pasar. Sebelum membahas masalah intervensi pasar, terlebih dulu kita bahas
mengapa nilai rupiah bisa naik dan turun.

Bayangkan saja mata uang sebagai barang. Harga barang bisa naik, bisa juga turun,
tergantung permintaan dan penawaran. Ketika banyak yang beli, harga barang akan naik
akibat jumlahnya yang makin terbatas, demikian juga sebaliknya. Artinya, ketika nilai dolar
AS (USD) naik (rupiah melemah), berarti jumlah US$ berkurang karena permintaannya
meningkat. Pada kondisi ini, nilai rupiah akan terjun, seperti akhir Maret lalu, yang sempat
menyentuh Rp16.000-an per US$.

Dalam situasi seperti inilah intervensi BI diperlukan, untuk menstabilkan kembali nilai rupiah,
agar tidak semakin melemah. Caranya bagaimana? Menambah jumlah US$, menjaga
ketersediaan likuiditas, agar US$ kembali banyak di pasar. Kedengarannya mudah, tapi
percayalah pemerintah perlu memeras otak untuk hal ini, termasuk harus menguras
cadangan devisanya, yang entah sudah berapa.

Data terbaru dari siaran pers BI tanggal 6 Mei 2020, dikatakan bahwa BI telah melakukan
injeksi likuiditas (bahasa kasarnya "melempar uang ke pasar") dalam jumlah besar di
perbankan sejak awal 2020. Jika ditotal, sampai awal Mei ini jumlahnya telah berada pada
kisaran Rp503,8 triliun. Sebuah angka yang jumlah nol-nya tak muat lagi di saku celana.

Kebijakan ini (istilah teknisnya, QE-Quantitative Easing) dilakukan dengan beberapa cara. BI
membeli Surat Berharga Negara (SBN, meliputi surat utang negara dan surat berharga
syariah negara) di pasar sekunder. BI juga menyediakan likuiditas di pasar perbankan
melalui mekanisme repo (term-repurchase agreement), swap valuta asing, hingga
menurunkan giro wajib minimun (GWM) sehingga kondisi likuiditas perbankan saat ini boleh
dibilang sangat cukup.
Kebijakan ini tampaknya akan efektif karena didukung oleh stimulus fiskal negara (insentif
dari sisi perpajakan), bantuan sosial untuk meningkatkan konsumsi rumah tangga, dan
relaksasi aturan mikroprudensial dari OJK, yang mempermudah pembiayaan perbankan ke
UMKM dan dunia usaha dalam rangka pemulihan ekonomi.

Anda mungkin juga menyukai