Anda di halaman 1dari 9

Apakah yang disebut dengan kegagalan induksi persalinan?

Abstrak: Kriteria kegagalan induksi persalinan belum dibakukan. Peningkatan prevalensi


induksi persalinan dan tidak jelasnya definisi kegagalan induksi meningkatkan jumlah
persalinan abdominal. Durasi persalinan,dilatasi serviks, dan aktivitas uterus diperlukan
untuk mencapai
fase aktif. Definisi praktis dari kegagalan induksi persalinan perlu dibuat.
Kata kunci: kegagalan, induksi persalinan, kelahiran sesar

Pendahuluan
Di Amerika Serikat, induksi persalinan meningkat dari 10,9% dari seluruh kehamilan pada
tahun 1989 menjadi 20,6% di tahun 2003. Banyak indikasi ibu dan janin untuk melakukan
induksi persalinan, tetapi semakin banyak induksi yang dilakukan tanpa alasan yang jelas.
Induksi persalinan berhubungan dengan peningkatan risiko persalinan Caesar. Salah satu
indikasi umum bedah caesar selama induksi persalinan adalah distosia. Distosia umumnya
didiagnosis selama fase aktif sehingga penerapannya terbatas jika persalinan tidak maju
sejak awal. Dalam bab ini, kami meninjau data yang tersedia dan mengusulkan definisi
praktis kegagalan induksi persalinan. Baik American College of Obstetricians dan
Gynecologists atau 2 buku teks obstetri Amerika Serikat tidak secara eksplisit
mendefinisikan kegagalan induksi persalinan. Dalam praktek klinis, keputusan untuk
melanjutkan dengan persalinan sesar setelah kegagalan induksi persalinan berdasarkan
kriteria yang berbeda – beda. Variabilitas kriteria tampak jelas bahkan dalam beberapa
studi acak mengenai berbagai metode induksi persalinan (Tabel 1). Sebagian besar uji coba
ini tidak menjelaskan definisi kegagalan induksi persalinan. Perbedaan definisi kegagalan
induksi jelas menyulitkan perbandingan protokol induksi. Konseptualisasi dan pemahaman
persalinan normal dan abnormal didasarkan teori Emmanuel Friedman. Untuk menilai
validitas definisi kegagalan induksi atau membuat definisi yang baru, pemahaman terhadap
penelitian Friedman akan sangat berguna.

Perspektif Historis: Kurva Persalinan Friedman


Pada tahun 1955, Emmanuel Friedman menerbitkan sebuah studi di mana ia mengamati
persalinan pada wanita nulipara. Awalnya, diamati 622 gravida nulipara yang masuk ke
Rumah Sakit Sloane untuk bersalin spontan. Seratus dua puluh dua wanita dikeluarkan
karena kurva persalinan yang dihasilkan tidak memadai (menjalani SC atau datang saat
pembukaan besar). Dilatasi serviks, dipastikan dengan pemeriksaan pervaginam/rektal,
waktu diplot untuk menghasilkan kurva persalinan klasik Friedman. Untuk memudahkan
analisis matematik, Friedman membagi grafik dalam fase, ia mendefinisikan fase laten
sebagai waktu dari awal kontraksi reguler ke awal fase aktif. Fase aktif dimulai pada titik
di mana tingkat dilatasi serviks (kemiringan) mulai berubah dan berakhir pada dilatasi
penuh. Fase aktif dapat dibagi menjadi 3 bagian. Dimulai dengan fase akselerasi, diikuti
dengan kemiringan maksimum (bagian curam dari kemiringan fase aktif) dan fase
perlambatan. Fase laten dan aktif bersama-sama membentuk tahap pertama persalinan.
Durasi rata-rata dari fase laten di data yang dikumpulkan oleh Friedman adalah 8,6 jam
dengan 2 standar deviasi (SD) setara ≥20.6 jam. Durasi rata-rata dari fase aktif adalah 4,9
jam (2 SD ≥11.7 jam). Kemiringan maksimum rata-rata adalah 3,0 cm / jam dengan
persentil kelima terendah sebesar 1,2 cm/jam. Friedman juga menghasilkan kurva
persalinan ideal dengan menggunakan data 200 wanita dari 500 kelompok wanita. Pasien
dengan SC atau persalinan forceps, disproporsi, inersia, posisi oksipito posterior, kembar,
sungsang, atau mengkonsumsi obat. Kurva nulipara wanita yang ideal memiliki fase laten
7,1 jam (2 SD ≥15 jam), berarti fase aktif 3,4 jam (2 SD ≥6.4 jam) dan rata-rata
kemiringan maksimum 3,5 cm/jam (2 SD ≥1.5 cm / jam).

PERPANJANGAN FASE LATEN


Friedman kemudian melakukan analisis kohort dari 222 nulipara dan 84 wanita multipara
dengan fase laten >20 atau >14 jam. Dengan kriteria ini, 2,3% dari wanita nullipara dan
0,44% wanita multipara dalam populasi studi mengalami pemanjangan fase laten. Dalam
kelompok ini, 89% wanita yang telah memasuki fase laten normal cukup ''adekuat'' (tapi
definisi ambigu) untuk memasuki fase aktif dan melahirkan pervaginam. Dari wanita yang
melahirkan SC selama fase laten, semua awalnya ditangani dengan istirahat, amniotomi,
sparteine (Alkaloid yang berasal dari kacang lupin yang digunakan untuk menginduksi
kontraksi), oksitosin, atau kombinasi dari berbagai pendekatan. Tidak jelas berapa lama
metode ini dilakukan sebelum SC dilakukan. Friedman berpendapat bahwa gravida yang
menjalani SC selama fase laten atas indikasi penanganan pemanjangan fase laten yang
tidak adekuat, jika persalinan dibiarkan dan dilanjutkan, fase aktif pasti akan terjadi.
Dengan demikian, ia menyimpulkan, persalinan SC atas indikasi distosia tidak bisa
dilakukan selama fase laten. Meskipun argumen ini bermasalah karena metodologi studi,
dapat terbentuk kerangka kerja untuk memahami masalah dalam proses persalinan. Penting
untuk diketahui bahwa definisi Friedman terhadap pemanjangan fase laten hanya berlaku
untuk wanita dalam persalinan spontan.

Komponen Definisi
Dari penelitian Friedman, kegagalan induksi ditandai dengan kegagalan transisi dari fase
laten ke fase aktif persalinan. Karena durasi fase aktif sama atau lebih pendek pada induksi
dibandingkan dengan persalinan spontan, kemajuan ke fase aktif adalah patokan yang
wajar digunakan untuk menilai kegagalan induksi. Sayangnya, titik di mana terjadi transisi
ini unik pada induksi persalinan dan hanya dapat ditentukan dengan analisis retrospektif
tingkat dilatasi serviks setelah transisi terjadi. Titik di mana kemiringan kurva persalinan
menjadi lebih curam mendefinisikan perubahan. Jadi, dengan keterbatasan definisi ini,
setiap upaya untuk memprediksi titik transisi akan sulit. Karena keterbatasan ini,
penentuan faktor-faktor yang memungkinkan prediksi akurat akan menjadi bagian integral
dalam proses pencarian definisi kegagalan induksi. Kami berpendapat bahwa kriteria
dimana transisi ini dapat dinilai mungkin tergantung pada kombinasi durasi persalinan,
dilatasi serviks, dan aktivitas uterus. Agaknya, salah satu dari 3 komponen tersebut dapat
lebih mudah dan konsisten dimasukkan ke dalam definisi kegagalan induksi daripada
secara retrospektif menentukan perubahan tingkat dilatasi serviks.

DURASI PERSALINAN
Sejak penelitian Friedman, manajemen persalinan telah berubah secara dramatis. Induksi
persalinan, penggunaan analgesia epidural, monitoring denyut jantung janin elektronik dan
oksitosin, dan obesitas lebih sering ditemukan. Forcep sudah jarang digunakan. Beberapa
penulis telah mencoba untuk memvalidasi hasil penelitian Friedman agar lebih
kontemporer. Peisner dan Rosen tertarik untuk menggambarkan fase laten persalinan
dalam persalinan spontan. Mereka mempelajari 2.479 wanita dengan dilatasi serviks <5cm.
Dari seluruh faktor yang dianalisis, dilatasi serviks pada saat masuk rumah sakit adalah
determinan penting durasi fase laten, dengan lama fase laten rata-rata 9 dan setengah jam
bagi pasien yang masuk dengan dilatasi serviks 0 sampai 2 cm. Menariknya, 3,0% dari
wanita yang diteliti memiliki fase laten lebih dari 20 jam. Dilatasi serviks tidak
memprediksi wanita yang berisiko untuk mengalami pemanjangan fase laten. Sokol et al
dalam penelitian deskriptif mereka pada 3682 wanita dengan persalinan spontan
melaporkan bahwa 3,6% wanita nulipara mengalami perpanjangan fase laten ketika
definisi ≥21 jam digunakan. Insiden ini mirip dengan yang dilaporkan oleh Friedman.
Kegunaan klinis definisi pemanjangan fase laten Friedman berhubungan dengan 2
masalah. Pertama, definisi berasal dari analisis persalinan spontan. Induksi persalinan
dengan serviks yang tidak kompeten meningkatkan pemanjangan fase laten. Pasien yang
induksinya dimulai dengan skor Bishop ≤6 (dilatasi serviks adalah paling komponen
terpenting) kemajuan persalinannya lebih lambat dibandingkan wanita yang melahirkan
spontan. Dengan demikian, pemanjangan waktu mungkin disebabkan oleh proses
pematangan serviks. Kedua dan masalah yang lebih penting adalah bahwa definisi yang
diajukan oleh Friedman mengenai pemanjangan fase laten berasal dari hasil penelitian
yang hanya menggunakan desain seri deskriptif atau penelitian kasus-kontrol. Dengan
meningkatnya fase laten, (dan mengakibatkan pemanjangan persalinan), risiko buruknya
hasil luaran maternal dan neonatal meningkat. Risiko ini dipengaruhi oleh praktek
persalinan (penggunaan pemantauan invasif, dll) dan peningkatan kepedulian neonatal, dan
bervariasi tergantung institusi. Misalnya, pada satu institusi dimana amniotomi menjadi
awal laten fase, 12 jam setelah ketuban pecah, 96% nulliparas yang diinduksi (tidak
termasuk mereka yang menjalani bedah caesar karena perubahan DJJ) dan maju ke fase
aktif (didefinisikan sebagai pencapaian dilatasi serviks 4 cm dan penipisan 90% atau
pembukaan 5 cm tanpa penipisan), 16% diantaranya mengalami korioamnionitis. Di
lembaga lain, 24 jam setelah pecah ketuban dan induksi persalinan, 98,5% dari nulliparas
maju ke fase aktif dengan kejadian korioamnionitis 13%. Variabilitas ini menyulitkan
penentuan klinis cutoff pemanjangan fase laten.

Dilatasi serviks
Kurva Friedman dibentuk dengan menganalisis retrospektif secara grafis ratusan persalinan
spontan dan induksi persalinan. Fase laten dan aktif biasanya bisa dibedakan dengan studi
retrospektif ini. Ketika dokter mengelola persalinan, dokter harus dapat membedakan
prospektif ini saat transisi terjadi. Friedman mendefinisikan fase aktif dimulai dari titik
sepanjang kurva persalinan saat lereng mulai berubah. Beberapa dokter menggunakan 2
SD kemiringan maksimum minimal (1,2 cm/jam pada primigravida) untuk menilai apakah
transisi dari fase laten ke fase aktif telah terjadi. Karena Friedman pernah membahas
percepatan fase aktif, penggunaan cutoff ini mungkin sulit untuk diukur.
Peisner dan Rosen dalam uji prospektif pada 1060 nullipara dan 639 para berusaha untuk
mendefinisikan transisi dari fase laten ke fase aktif dengan dilatasi serviks. Wanita yang
masuk dalam studi adalah wanita dengan persalinan spontan dan dilatasi 4 cm atau kurang.
Waktu masuk ke fase aktif persalinan dibatasi oleh tingkat perubahan serviks minimal 1,2
cm/jam. Wanita dengan masalah medis atau bedah caesar sebelumnya dikeluarkan dari
penelitian.
Pada pasien dengan distosia, transisi ke fase aktif sulit untuk ditentukan secara grafis dan
kemudian dikeluarkan dari analisis. Ada 727 kasus kemacetan fase aktif. Pada wanita yang
masuk dalam analisis, 49,9% telah mencapai fase aktif di dilatasi 4 cm dan 73,6% di
dilatasi 5 cm. Jika wanita dengan kemacetan fase aktif dikeluarkan, 60,5% wanita akan
memasuki fase aktif pada dilatasi 4 cm dan 88,6% pada dilatasi 5 cm. Ada 21 yang tidak
terdiagnosis masuk fase aktif hingga dilatasi serviks mencapai 6 cm. Tak satu pun wanita
yang diperiksa di dilatasi 4, 5, atau 6 cm dan transisi mungkin terlewatkan. Sayangnya,
penelitian serupa belum dilakukan pada wanita yang menjalani induksi persalinan.
Ekstrapolasi dari data penelitian adalah cutoff 4-cm dengan 90% penipisan atau cutoff 5-
cm tanpa peninipisan dapat digunakan untuk mendefisikan mayoritas wanita yang telah
memasuki fase aktif selama induksi persalinan.
AKTIVITAS UTERUS
Penjelasan mengenai peranan kontraksi dalam fase aktif tidak bisa tidak akan muncul tanpa
studi yang dilakukan oleh Caldeyro-Barcia dan Poseiro. Pada tahun 1950, Caldeyro-Barcia
dan rekan-rekannya merancang sebuah metode untuk mengukur tekanan intrauterin.
Mereka memasukkan kateter polietilen tipis ke dalam kantung ketuban melalui dinding
anterior abdomen. Perangkat ini dirancang untuk merekam perubahan ketuban akibat
tekanan fluida yang muncul sebagai akibat dari kontraksi uterus. Sebuah Montevideo Unit
(MU) (dinamakan demikian karena penelitian dilakukan di Montevideo, Uruguay) adalah
ukuran dari aktivitas uterus yang merupakan hasil dari intensitas (amplitudo) setiap
kontraksi dan frekuensi (jumlah kontraksi dalam 10 menit). Untuk merekam tekanan
intramiometrial 4 balon mikro dimasukkan ke dalam otot uterus pada berbagai posisi.
Setelah penilaian akurat dari kontraksi uterus, Caldeyro-Barcia mulai mempelajari
bagaimana kontraksi spontan menyebar di uterus dan bagaimana kekuatan dan frekuensi
kontraksi berubah sebagai kehamilan berlanjut dan persalinan terjadi. Setelah mempelajari
lebih dari 500 wanita, Caldeyro-Barcia dan Heller menggambarkan bahwa sebelum usia
kehamilan 30 minggu uterus bertahan dalam fase istirahat pada 20mmHg. Saat kehamilan
menua, uterus menjadi lebih responsif terhadap oksitosin. Uterus berkontraksi sangat kecil
dengan kontraksi yang khas dan biasanya tetap terlokalisasi. Setelah 30 minggu, intensitas
kontraksi, frekuensi, dan koordinasi meningkat. Awal persalinan biasanya ditandai dengan
aktivitas uterus antara 80 dan 120MU. Transisi ini tidak tiba-tiba tetapi bertahap dan
progresif. Koordinasi uterus dengan porsi terkuat kontraksi ada fundus. Dari sana,
kontraksi menjalar ke bawah segmen uterus. Selama persalinan, frekuensi uterus,
keteraturan kontraksi dan kekuatan terus meningkat sampai bayi dilahirkan. Dalam
persalinan normal, aktivitas uterus berkisar antara 75 dan 375 MU. Kisaran ini bervariasi
tergantung pada karakteristik etnis dan paritas dari populasi yang diteliti. Karena pekerjaan
awal Caldeyro-Barcia tersebut, penulis berikutnya mencoba untuk memvalidasi atau
mengusulkan alternatif dari penilaian aktivitas uterus. Metode lain yang paling banyak
dilaporkan adalah aktivitas uterus terpisahkan. Tekanan diukur tiap 15 menit. Satuannya
adalah kiloPascal menit (KPA).
Beberapa mencoba untuk meningkatkan akurasi dari pengukuran ini. Namun, dari 3
karakteristik pola kontraksi (tekanan aktif, durasi kontraksi, frekuensi kontraksi), rata –
rata tekanan aktif adalah variabel yang paling penting dalam menentukan tingkat dilatasi
serviks. Tekanan aktif juga didapatkan dalam perhitungan MU. Setelah oksitosin sintetik
diperkenalkan pada tahun 1950, data farmakologis menunjukkan bahwa konsentrasi
oksitosin dapat mempercepat persalinan. Toaff et al mempelajari efek farmakologis (2,6-
422,4 mU / menit) dosis oksitosin dibandingkan dosis fisiologis (2,6-13,2 mU / menit)
pada aktivitas uterus, hasil luaran neonatal, dan waktu persalinan. Pada kedua kelompok,
infuse oksitosin meningkat hingga tercapai 276 MU. Infus dilanjutkan pada tingkat
tersebut sampai kala III persalinan. Aktivitas uterus maksimum (selama setidaknya 30
menit) pada primigravida adalah 476 sampai 526MU di kelompok farmakologis dan 376
sampai 425 MU pada kelompok fisiologis. Ada perbedaan dalam tingkat uterus tetani (6%
vs 9,7%) atau hypertonus. Tidak ada efek samping neonatal yang dicatat. Semua bayi
memiliki skor Apgar 5 menit > 8. Tidak disebutkan di penelitian apakah ada kelainan
denyut jantung janin. Seratus tiga puluh tiga dari 134 wanita (99,5%) di kelompok dosis
farmakologis melahirkan dalam waktu <12 jam dibandingkan dengan 121 dari 144 wanita
(91%) pada kelompok fisiologis. Karena lebih dari setengah wanita (55%) mencapai
aktivitas >276 MU disertai rendahnya risiko ibu dan neonatal, penulis berpendapat ambang
276 MU adalah target aktivitas uterus dalam induksi persalinan. Hauth et al juga
mengevaluasi tekanan uterus maksimum pada wanita yang diinduksi atau diaugmentasi.
Kriteria inklusi adalah gravidas aterm dengan presentasi vertex dan diinduksi atau
diaugmentasi dan mengakibatkan persalinan spontan pervaginam. Tujuan terapi oksitosin
adalah 5 kontraksi/10 min. Dari 45 wanita yang diinduksi, 91% mencapai kontraksi
maksimum minimal 200 sampai 224 MU meskipun 40% (n = 20) mencapai >300MU pada
tahap pertama. Tidak ada komplikasi neonatal yang dicatat. Atas dasar data ini, minimal
200 sampai 224MU dianjurkan oleh penulis sebelum mempertimbangkan persalinan
abdominal.

Pengujian Definisi
Rouse et al membahas pertanyaan mengenai definisi kegagalan induksi persalinan dengan
menguji protokol secara prospektif. Dalam studi mereka, kegagalan induksi persalinan
didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk mencapai dilatasi serviks setidaknya 4 cm
dan penipisan 90% atau dilatasi 5 cm tanpa penipisan setelah pemberian oksitosin minimal
12 jam dengan ketuban telah dipecahkan. Setelah amniotomi, kateter untuk mengukur
tekanan ditempatkan dan oksitosin dititrasi hingga mencapai setidaknya 200 MU. Setelah 6
jam pecah ketuban, 14% dari nulliparas masih dalam fase laten dan 39% melahirkan
pervaginam. Pada 9 jam, 7% dari nulliparas berada di fase laten dan 28% melahirkan
pervaginam. Pada 12 jam, 4% masih dalam fase laten dan 13% melahirkan pervaginam.
Keseluruhan tingkat SC dalam kelompok adalah 7,2%. Dalam kelompok wanita parous,
fase laten lebih dari 12 jam.
Kejadian endometritis secara signifikan lebih tinggi pada nullipara yang tetap berada
dalam fase laten dibandingkan dengan wanita yang telah berkembang ke fase aktif atau
wanita yang telah melahirkan. Tingkat morbiditas neonatal tidak berbeda antara kelompok.
Menggunakan definisi yang diusulkan oleh Rouse et al, Simon dan Grobman mengevaluasi
397 wanita nulipara dengan membran janin utuh yang menjalani induksi persalinan untuk
menilai tingkat persalinan pervaginam jika cutoff >12 jam digunakan sebagai definisi
kegagalan induksi. Manajemen persalinan tidak standar, tapi dokter memperbolehkan
untuk terus mengamati hingga 18 jam sejak ketuban pecah dan pemberian oksitosin.
Kateter tekanan intrauterine tidak rutin digunakan. Pada 12 jam, 8% nullipara tetap dalam
fase laten dan dari mereka 71% melahirkan pervaginam. Pada 18 jam, angka-angka ini
menurun menjadi 4% dan 64%. Dalam 24 jam, hanya 2% dari kohort tetap dalam fase
laten (seperti yang didefinisikan oleh pemeriksaan serviks) dan 33% dari wanita-wanita ini
melahirkan pervaginam. Proporsi wanita yang mengalami korioamnionitis dan perdarahan
postpartum (Tabel 2) meningkat dengan memanjangnya fase laten, meskipun tingkat sepsis
neonatal dan transfusi darah ibu serupa.

Kesimpulan
Definisi kegagalan induksi persalinan harus memaksimalkan jumlah wanita yang masuk ke
fase aktif persalinan (dan akhirnya melahirkan pervaginam) sementara tetap
mempertahankan rendahnya insiden komplikasi ibu dan bayi. Sampai ada penelitian lebih
lanjut, kami mengusulkan bahwa kegagalan induksi persalinan dapat didefinisikan sebagai
ketidakmampuan untuk mencapai dilatasi serviks 4 cm dan penipisan 90%, atau setidaknya
5 cm (tanpa penipisan) setelah minimal 12 sampai 18 jam dari ketuban pecah dan
pemberian oksitosin (dengan tujuan 250 MU atau 5 kontraksi/10 menit). Definisi ini
diusulkan setelah mempertimbangkan dilatasi serviks di mana sebagian wanita memasuki
fase aktif, aktivitas uterus yang diperlukan untuk efek transisi ke fase aktif, dan lamanya
waktu yang diperlukan untuk maju ke fase aktif. Sehubungan dengan dilatasi serviks,
dilatasi 4 sampai 5 cm tampaknya merupakan dilatasi di mana sebagian besar persalinan
spontan memasuki fase aktif. Adapun aktivitas uterus, pencapaian sedikitnya 200 MU saat
ini digunakan sebagai batas aktivitas uterus normal dalam fase aktif. Meningkatnya
aktivitas ini menjadi 250 atau 275 MU dalam fase laten mungkin meningkatkan jumlah
wanita yang mengalami transisi ke fase aktif tanpa adanya hiperstimulasi atau gangguan
pola denyut jantung janin. Akhirnya, lamanya waktu yang diperlukan untuk transisi ke fase
aktif harus berdasarkan durasi pecahnya ketuban. Karena teknik pematangan serviks
bervariasi, mulai pada jam dimana ketuban pecah dapat menurunkan variabilitas. Sebuah
institusi mempelajari secara prospektif batas waktu 12 jam. Institusi lain menunjukkan
bahwa batas 24 jam mungkin masih bisa diterima. Rekomendasi ini dibatasi oleh sifat
pengamatan data. Sebuah uji coba secara acak akan menentukan parameter yang
diperlukan untuk memaksimalkan probabilitas transisi ke fase aktif (dan akhirnya
persalinan pervaginam) yang lebih baik dan meminimalkan komplikasi ibu dan perinatal.

Anda mungkin juga menyukai