Anda di halaman 1dari 21

1.

1 Pendahuluan
Nyeri kepala adalah salah satu alasan paling utama rujukan ke departemen
neurologi. Nyeri kepala dapat terjadi kapanpun selama kehamilan, namun cenderung lebih
sering ditemukan di trimester pertama dan ketiga. Peningkatan nyeri kepala di trimester
pertama diperkirakan berhubungan dengan perubahan hormon dan peningkatan volume
darah. Nyeri kepala dapat diperberat dengan adanya stress, postur tubuh yang buruk dan
perubahan pengelihatan. Penyebab lain munculnya nyeri kepala selama kehamilan adalah
kurang tidur, gula darah rendah, dehidrasi, ketergantungan kafein dll. Nyeri kepala selama
trimester ketiga berhubungan dengan postur tubuh yang buruk dan tekanan akibat berat
tubuh yang meningkat.1
Kurangnya pengetahuan akan efek obat cenderung menyebabkan ibu hamil
mengkonsumsi sembarang obat. Kebanyakan obat tidak bersifat teratogenik, namun
penanganan non farmakologis adalah penanganan yang paling ideal untuk mengatasi nyeri
kepala selama kehamilan.1,2
Nyeri kepala pada umumnya tidak memberikan pengaruh buruk dalam kehamilan,
meskipun demikian, migraine berkaitan dengan peningkatan risiko penyakit hipertensi
dalam kehamilan dan stroke. Untuk itu penting bagi klinisi untuk dapat membedakan nyeri
kepala yang masih dalam batas normal dan nyeri kepala yang memerlukan pengkajian
lebih lanjut. Referat ini akan membahas nyeri kepala selama kehamilan dan
penanganannya.

1.2 Nyeri Kepala


1.2.1 Definisi Nyeri Kepala
Nyeri kepala adalah rasa sakit atau tidak nyaman antara orbita dengan kepala yang
berasal dari struktur sensitif terhadap rasa sakit. Nyeri kepala bisa disebabkan oleh
kelainan vaskular, jaringan saraf, gigi geligi, orbita, hidung dan sinus paranasal, jaringan
lunak dikepala, kulit, jaringan subkutan, otot, dan periosteum kepala.3
1.2.2 Epidemiologi Nyeri Kepala
Prevalensi sakit kepala di USA menunjukkan 1 dari 6 orang (16,54%) atau 45 juta
orang menderita sakit kepala kronik dan 20 juta dari 45 juta diantaranya adalah wanita.
75% dari jumlah di atas adalah tipe tension headache yang berdampak pada menurunnya
konsentrasi belajar dan bekerja sebesar 62,7%.3,4
Menurut IHS, migren sering terjadi pada pria dengan usia 12 tahun sedangkan pada
wanita, migren sering terjadi pada usia diatas 12 tahun. HIS juga mengemukakan cluster
headache 80-90 % terjadi pada pria dan prevalensi sakit kepala akan meningkat setelah
umur 15 tahun.4

1.2.3 Anatomi Nyeri Kepala


Walaupun merupakan keseluruhan fungsi otak disusun menjadi beberapa daerah
yang berbeda,bagian-bagian otak dapat secara bebas dikelompokkan ke dalam berbagai
cara berdasarkan perbedaan anatomis, spesialisasi fungsional, dan perkembangan evolusi.
Otak terdiri dari (1) batang otak terdiri atas otak tengah, pons, dan medulla, (2) serebelum,
(3) otak depan (forebrain) yang terdiri atas diensefalon dan serebrum. Diensefalon terdiri
dari hipotalamus dan talamus. Serebrum terdiri dari nukleus basal dan korteks serebrum.3
Masing-masing bagian otak memiliki fungsi tersendiri. Batang otak berfungsi
sebagai berikut: (1) asal dari sebagian besar saraf kranialis perifer, (2) pusat pengaturan
kardiovaskuler, respirasi dan pencernaan, (3) pengaturan refleks otot yang terlibat dalam
keseimbangan dan postur, (4) penerimaaan dan integrasi semuamasukan sinaps dari korda
spinalis; keadaan terjaga dan pengaktifan korteksserebrum, (5) pusat tidur. Serebellum
berfungsi untuk memelihara keseimbangan, peningkatan tonus otot, koordinasi dan
perencanaan aktivitas otot volunter yangterlatih.3
Hipotalamus berfungsi sebagai berikut: (1) mengatur banyak fungsihomeostatik,
misalnya kontrol suhu, rasa haus, pengeluaran urin, dan asupan makanan, (2) penghubung
penting antara sistem saraf dan endokrin, (3) sangat terlibat dalam emosi dan pola perilaku
dasar. Talamus berfungsi sebagai stasiun pemancar untuk semua masukan sinaps,
kesadaran kasar terhadap sensasi, beberapa tingkat kesadaran, berperan dalam kontrol
motoric.3
Nukleus basal berfungsi untuk inhibisi tonus otot, koordinasi gerakan yanglambat
dan menetap, penekanan pola-pola gerakan yang tidak berguna. Korteks serebrum
berfungsi untuk persepsi sensorik, kontrol gerakan volunter, bahasa, sifat pribadi, proses
mental canggih misalnya berpikir, mengingat, membuat keputusan, kreativitas dan
kesadaran diri. Korteks serebrum dapat dibagi menjadi 4 lobus yaitu lobus frontalis, lobus,
parietalis, lobus temporalis, dan lobus oksipitalis. Masing - masing lobus ini
memilikifungsi yang berbeda - beda.3
Nyeri kepala dipengaruhi oleh nukleus trigemino servikalis yang merupakan
nosiseptif yang penting untuk kepala, tenggorokan dan leher bagian atas. Semua aferen
nosiseptif dari saraf trigeminus, fasial, glosofaringeus, vagus, dan saraf dari C1-3
beramifikasi pada grey matter area ini. Nukleus trigeminoservikalis terdiri dari tiga bagian
yaitu pars oralis yang berhubungan dengan transmisi sensasi taktil diskriminatif dari regio
orofasial, pars interpolaris yang berhubungan dengan transmisi sensasi taktil diskriminatif
seperti sakit gigi, pars kaudalis yang berhubungan dengan transmisi nosiseptif dan suhu.3
Terdapat overlapping dari proses ramifikasi pada nukleus ini seperti aferen dari C2
selain beramifikasi ke C2, juga beramifikasi ke C1 dan C3. Selain itu, aferen C3 juga akan
beramifikasi ke C1 dan C2. Hal ini lah yang menyebabkan terjadinya nyeri alih dari kepala
dan leher bagian atas.3
Nyeri alih biasanya terdapat pada oksipital dan regio fronto orbital dari kepala dan
yang jarang adalah daerah yang dipersarafi oleh nervus maksiliaris dan mandibularis. Ini
disebabkan oleh aferen saraf tersebut tidak atau hanya sedikit yang meluas ke arah kaudal.
Lain halnya dengan saraf oftalmikus dari trigeminus. Aferensaraf ini meluas ke pars
kaudal.3
Saraf trigeminus terdiri dari 3 yaitu V1, V2, dan V3. V1 oftalmikus,menginervasi
daerah orbita dan mata, sinus frontalis, duramater dari fossa kranial dan falx cerebri serta
pembuluh darah yang berhubungan dengan bagian duramater ini. V2, maksilaris,
menginervasi daerah hidung, sinus paranasal, gigi bagian atas, dan duramater bagian fossa
kranial medial. V3, mandibularis, menginervasi daerah duramater bagian fossa cranial
medial, rahang bawah dan gigi, telinga, sendi temporomandibular dan otot menguyah.
Selain saraf trigeminus terdapat saraf kranial VII, IX, X yang innervasimeatus auditorius
eksterna dan membran timpani. Saraf kranial IX menginnervasi rongga telinga tengah,
selain itu saraf kranial IX dan X innervasi faring dan laring.
Servikalis yang terlibat dalam sakit kepala adalah C1, C2, dan C3. Ramusdorsalis
dari C1 menginnervasi otot suboccipital triangle - obliquus superior,obliquus inferior dan
rectus capitis posterior major dan minor. Ramus dorsalis dariC2 memiliki cabang lateral
yang masuk ke otot leher superfisial posterior,longissimuscapitis dan splenius sedangkan
cabang besarnya bagian medial menjadi greater occipital nerve. Saraf ini mengelilingi
pinggiran bagian bawah dari obliqus inferior,dan balik ke bagian atas serta ke bagian
belakang melalui semi spinalis capitis, yang mana saraf ini di suplai dan masuk ke kulit
kepala melalui lengkungan yang dikelilingi oleh superior nuchal line dan the aponeurosis
of trapezius. Melalui oksiput, saraf ini akan bergabung dengan saraf lesser occipital yang
mana merupakan cabang dari pleksus servikalis dan mencapai kulit kepala melalui
pinggiran posterior dari sterno kleidomastoid. Ramus dorsalis dari C3 memberi cabang
lateral ke longissimus capitis dan splenius. Ramus ini membentuk 2 cabang medial.
Cabang superfisial medial adalah nervus oksipitalis ketiga yang mengelilingi sendi C2-3
zygapophysial bagian lateral dan posterior.3,5
Daerah sensitif terhadap nyeri kepala dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu
intrakranial dan ekstrakranial. Intrakranial yaitu sinus venosus, vena korteksserebrum,
arteri basal, duramater bagian anterior, dan fossa tengah serta fossaposterior. Ektrakranial
yaitu pembuluh darah dan otot dari kulit kepala, bagian dariorbita, membran mukosa dari
rongga nasal dan paranasal, telinga tengah dan luar,gigi, dan gusi. Sedangkan daerah yang
tidak sensitif terhadap nyeri adalah parenkimotak, ventrikular ependima, dan pleksus
koroideus.

1.2.4 Patofisiologi Nyeri Kepala


Nyeri (sakit) merupakan mekanisme protektif yang dapat terjadi setiap saat bila ada
jaringan manapun yang mengalami kerusakan, dan melalui nyeri inilah,seorang individu
akan bereaksi dengan cara menjauhi stimulus nyeri tersebut. Rasa nyeri dimulai dengan
adanya perangsangan pada reseptor nyeri oleh stimulus nyeri. Stimulus nyeri dapat dibagi
tiga yaitu mekanik, termal, dan kimia.3,5,6
Mekanik, spasme otot merupakan penyebab nyeri yang umum karena dapat
mengakibatkan terhentinya aliran darah ke jaringan (iskemia jaringan), meningkatkan
metabolisme di jaringan dan juga perangsangan langsung ke reseptor nyeri sensitif
mekanik.3,5,6
Termal, rasa nyeri yang ditimbulkan oleh suhu yang tinggi tidak berkorelasi dengan
jumlah kerusakan yang telah terjadi melainkan berkorelasi dengan kecepatan kerusakan
jaringan yang timbul. Hal ini juga berlaku untuk penyebab nyeri lainnya yang bukan termal
seperti infeksi, iskemia jaringan, memar jaringan, dll. Pada suhu 450 C, jaringan-jaringan
dalam tubuh akan mengalami kerusakan yang didapati pada sebagian besar populasi.3,5,6
Kimia, ada beberapa zat kimia yang dapat merangsang nyeri seperti bradikinin,
serotonin, histamin, ion kalium, asam, asetilkolin, dan enzim proteolitik. Dua zat lainnya
yang diidentifikasi adalah prostaglandin dan substansi P yang bekerja dengan
meningkatkan sensitivitas dari free nerve endings. Prostaglandin dan substansi P tidak
langsung merangsang nyeri tersebut. Dari berbagai zat yang telah dikemukakan, bradikinin
telah dikenal sebagai penyebab utama yang menimbulkan nyeri yang hebat dibandingkan
dengan zat lain. Kadar ion kalium yang meningkat dan enzim proteolitik lokal yang
meningkat sebanding dengan intensitas nyeri yang di rasakan karena kedua zat ini dapat
mengakibatkan membran plasma lebih permeable terhadap ion. Iskemia jaringan juga
termasuk stimulus kimia karena pada keadaan iskemia terdapat penumpukan asam laktat,
bradikinin, dan enzim proteolitik.3,5,6
Semua jenis reseptor nyeri pada manusia merupakan free nerve endings. Reseptor
nyeri banyak tersebar pada lapisan superfisial kulit dan juga pada jaringan internal tertentu,
seperti periosteum, dinding arteri, permukaan sendi, falx, dan tentorium. Kebanyakan
jaringan internal lainnya hanya diinervasi oleh free nerve endings yang letaknya berjauhan
sehingga nyeri pada organ internal umumnya timbul akibat penjumlahan perangsangan
berbagai nerve endings dan dirasakan sebagai slow-chronic- aching type pain.
Nyeri dapat dibagi atas dua yaitu fast pain dan slow pain. Fast pain, nyeri akut,
merupakan nyeri yang dirasakan dalam waktu 0,1 s setelah stimulus diberikan. Nyeri ini
disebabkan oleh adanya stimulus mekanik dan termal. Signal nyeri ini ditransmisikan dari
saraf perifer menuju korda spinalis melalui serat Aδ dengankecepatan mencapai 6 –30 m/s.
Neurotransmitter yang mungkin digunakan adalahglutamat yang juga merupakan
neurotransmitter eksitatorik yang banyak digunakan pada CNS. Glutamat umumnya hanya
memiliki durasi kerja selama beberapa milliseconds. Slow pain, nyeri kronik, merupakan
nyeri yang dirasakan dalam waktu lebihdari 1 detik setelah stimulus diberikan. Nyeri ini
dapat disebabkan oleh adanyastimulus mekanik, kimia dan termal tetapi stimulus yang
paling sering adalah stimuluskimia. Signal nyeri ini ditransmisikan dari saraf perifer
menuju korda spinalis melaluiserat C dengan kecepatan mencapai 0,5 - 2 m/s.
Neurotramitter yang mungkindigunakan adalah substansi P.5
Meskipun semua reseptor nyeri adalah free nerve endings, jalur yangditempuh
dapat dibagi menjadi dua pathway yaitu fast-sharp pain pathway dan slow chronic pain
pathway. Setelah mencapai korda spinalis melalui dorsal spinalis, serat nyeri ini akan
berakhir pada relay neuronpada kornu dorsalis dan selanjutnya akandibagi menjadi dua
traktusyang selanjutnya akan menuju ke otak. Traktus itu adalahneospinotalamikus untuk
fast paindan paleospinotalamikus untuk slowpain.3,5
Traktus neospinotalamikus untuk fast pain, pada traktus ini, serat Aδ yang
mentransmisikan nyeri akibat stimulus mekanik maupun termal akan berakhir padalamina I
(lamina marginalis) dari kornu dorsalis dan mengeksitasi second-order neurons dari traktus
spinotalamikus. Neuron ini memiliki serabut saraf panjang yangmenyilang menuju otak
melalui kolumn anterolateral. Serat dari neospinotalamikus akan berakhir pada: area
retikular dari batang otak (sebagian kecil), nukleustalamus bagian posterior (sebagian
kecil), kompleks ventrobasal (sebagian besar). Traktus lemniskus medial bagian kolumn
dorsalis untuk sensasi taktil juga berakhir pada daerah ventrobasal. Adanya sensori taktil
dan nyeri yang diterima akanmemungkinkan otak untuk menyadari lokasi tepat dimana
rangsangan tersebutdiberikan.3,5,6
Traktus paleospinotalamikus untuk slow pain, traktus ini selain mentransmisikan
sinyal dari serat C, traktus ini juga mentransmisikan sedikit sinyal dari serat Aδ. Pada
traktus ini , saraf perifer akan hampir seluruhnya berakhir pada lamina II dan III yang
apabila keduanya digabungkan, sering disebut dengan substansia gelatinosa. Kebanyakan
sinyal kemudian akan melalui sebuah atau beberapa neuron pendek yang
menghubungkannya dengan area lamina V lalu kemudian kebanyakan serabut saraf ini
akan bergabung dengan serabut saraf dari fast-sharp pain path way. Setelah itu, neuron
terakhir yang panjang akan menghubungkan sinyal ini ke otak pada jaras anterolateral.
Ujung dari traktus paleospinotalamikus kebanyakan berakhir pada batang otak dan hanya
sepersepuluh ataupun seperempat sinyal yang akan langsung diteruskan ke talamus.
Kebanyakan sinyal akan berakhir pada salah satu tiga area yaitu : (1) nukleus retikularis
dari medulla, pons, dan mesensefalon, (2) area tektum dari mesensefalon, (3) regio abu-abu
dari peraquaductus yang mengelilingi aquaductus Silvii. Ketiga bagian ini penting untuk
rasa tidak nyaman dari tipe nyeri. Dari area batang otak ini, multipel serat pendek neuron
akan meneruskan sinyal ke arah atas melalui intralaminar dan nukleus ventrolateral dari
talamus dan ke area tertentu dari hipotalamus dan bagian basal otak.3,5,6

1.2.5 Klasifikasi Sakit Kepala


Sakit kepala dapat diklasifikasikan menjadi sakit kepala primer, sakit kepala
sekunder, dan neuralgia kranial, nyeri fasial serta sakit kepala lainnya. Sakit kepala primer
dapat dibagi menjadi migraine, tension type headache, cluster headache dengan sefalgia
trigeminal/autonomik, dan sakit kepala primer lainnya. Sakit kepala sekunder dapat dibagi
menjadi sakit kepala yang disebabkan oleh karena trauma pada kepala dan leher, sakit
kepala akibat kelainan vaskular kranial dan servikal, sakit kepala yang bukan disebabkan
kelainan vaskular intrakranial, sakit kepala akibat adanya zat atau withdrawal, sakit kepala
akibat infeksi, sakit kepala akibat gangguan homeostasis, sakit kepala atau nyeri pada
wajah akibat kelainan kranium, leher,telinga, hidung, sinus, gigi, mulut atau struktur lain di
kepala dan wajah, sakit kepala akibat kelainan psikiatri.4

1.2.6 Terapi Sakit Kepala


Nyeri kepala dapat diobati dengan preparat asetil salisilat dan jika nyeri kepala
sangat berat dapat diberikan preparat ergot (ergotamin atau dihidroergotamin). Bila perlu
dapat diberikan intravena dengan dosis 1 mg dihidroergotaminmetan sulfatatau ergotamin
0,5 mg. Preparat Cafergot (mengandung kafein 100 mg dan 1 mgergotamin) diberikan 2
tablet pada saat timbul serangan dan diulangi ½ jam berikutnya.
Pada pasien yang terlalu sering mengalami serangan dapat diberikan preparat
Bellergal (ergot 0,5 mg; atropin 0,3 mg; dan fenobarbital 15mg) diberikan 2-3 kali sehari
selama beberapa minggu. Bagi mereka yang refrakter dapat ditambahkan pemberian
ACTH (40 u/hari) atau prednison (1mg/KgBB/hari) selama 3-4 minggu.5,6
Preparat penyekat beta,seperti propanolol dan timolol dilaporkan dapatmencegah
timbulnya serangan migren karena mempunyai efek mencegah vasodilatasi kranial. Tetapi
penyekat beta lainnya seperti pindolol, praktolol, dan aprenolol tidak mempunyai efek
teraupetik untuk migren, sehingga mekanisme kerjanya disangka bukan semata-mata
penyekat beta saja. Preparat yang efektif adalah penyekat beta yang tidak memiliki efek
ISA (Intrinsic Sympathomimetic Activity).5,6
Cluster headache umunya membaik dengan pemberian preparat ergot. Untuk varian
Cluster headache umumnya membaik dengan indometasin.Tension type headache dapat
diterapi dengan analgesik dan/atau terapi biofeedback yang dapat digunakan sebagai
pencegahan timbulnya serangan.5,6
Terapi preventif yang bertujuan untuk menurunkan frekuensi, keparahan, dan
durasi sakit kepala. Terapi ini diresepkan kepada pasien yang menderita 4 hari atau lebih
serangan dalam sebulan atau jika pengobatan di atas tidak efektif. Terapi ini harus
digunakan setiap hari. Terapi preventif tersebut adalah pemberian beta bloker, kalsium
channel blokers, dopamine reuptake inhibitors, SSRIs, serotonin atau dopamin spesifik.5,6

1.3 Nyeri Kepala Dalam Kehamilan


Nyeri kepala dapat disebabkan oleh berbagai kondisi dan signifikansi klinisnya
dapat berkisar dari menyebabkan ketidaknyamanan hingga mengancam jiwa. Diagnosis
dan manajemen nyeri kepala yang berlaku saat ini adalah berdasarkan sistem klasifikasi
dari International Headache Society (IHS). Sistem ini membagi nyeri kepala menjadi nyeri
kepala primer dan nyeri kepala sekunder. Nyeri kepala primer adalah kondisi seperti
migraine, nyeri kepala dengan tekanan dan nyeri kepala cluster. Sementara nyeri kepala
sekunder adalah nyeri kepala yang terjadi akibat kondisi sistemik serta kelainan pada
kepala dan leher. Kategori IHS ini juga dapat diaplikasikan pada wanita hamil.1,4
1.3.1 Migraine
1). Epidemiologi
Migraine biasanya meningkat selama kehamilan. Sekitar 70% wanita melaporkan
peningkatan migraine selama kehamilan.
Migraine paling sering terjadi di awal kehamilan, ini terjadi akibat peningkatan kadar
estradiol. Migraine cenderung mengalami kekambuhan setelah melahirkan, sekitar 60%
wanita melaporkan serangan migraine dalam waktu 1 minggu setelah melahirkan.1,8
2). Klasifikasi4
a. Migren dengan aura, tanpa aura,dan migren kronik (transformed). Migren dengan
aura adalah migren dengan satu ataulebih aura reversibel yang mengindikasikan
disfungsi serebral korteks dan atau tanpadisfungsi batang otak, paling tidak ada satu
aura yang terbentuk berangsur - angsur lebih dari 4 menit, aura tidak bertahan lebih
dari 60 menit, dan sakit kepala mengikutiaura dalam interval bebas waktu tidak
mencapai 60 menit.
b. Migren tanpa aura adalahmigren tanpa disertai aura klasik, biasanya bilateral dan
terkena pada periorbital.
c. Migren kronik adalah migren episodik yang tampilan klinisnya dapat berubah
berbulan- bulan sampai bertahun- tahun dan berkembang menjadi sindrom
nyerikepala kronik dengan nyeri setiap hari.
3). Patofisiologi
Kehamilan adalah kondisi dimana terjadi peningkatan kadar estrogen dan progesterone
selama 40 minggu. Berdasarkan teori Somerville tentang estrogen, saat menstruasi,
migraine terjadi akibat penurunan kadar estrogen setelah estrogen sempat meningkat.
Perubahan kadar hormon selama menstruasi ini berkaitan dengan peningkatan risiko
migraine tanpa aura. Sebaliknya, tingginya konsentrasi estrogen dalam plasma
berhubungan dengan serangan migraine dengan plasma. Karena itu, dapar diprediksi
bahwa, dengan tingginya kadar estrogen dalam plasenta selama kehamilan
meningkatkan risiko serangan migraine tanpa aura.1,8,9
4). Gejala klinis1,2,8
Migraine adalah nyeri kepala berat episodik yang biasanya muncul unilateral, biasanya
diikuti dengan nausea/vomitus, fotophobia dan atau phonophobia.
Kriteria diagnostik IHS untuk migren dengan aura mensyaratkan bahwaharus terdapat
paling tidak tiga dari empat karakteristik berikut :
a. Migren dengan satu atau lebih aura reversibel yang mengindikasikan disfungsi
serebral korteks danatau tanpa disfungsi batang otak.
b. Paling tidak ada satu aura yang terbentuk berangsur - angsur lebih dari 4 menit.
c. Aura tidak bertahan lebih dari 60 menit.
d. Sakit kepala mengikuti aura dalam interval bebas waktu tidak mencapai 60 menit.
Kriteria diagnostik IHS untuk migren tanpa aura mensyaratkan bahwaharus terdapat
paling sedikit lima kali serangan nyeri kepala seumur hidup yang memenuhi kriteria
berikut:
a. Berlangsung 4-72 jam.
b. Unilateral atau dengan sensasi berdenyut
c. Intensitas sedang berat
d. Diperburuk oleh aktifitas.
e. Bisa terjadi mual muntah, fotofobia dan fonofobia.
5). Penanganan
Penanganan berbagai kondisi kronis medis dalam kehamilan merupakan sebuah
tantangan karena harus mempertimbangkan potensi efek samping bagi ibu dan janin.
Pada wanita dengan migraine yang tidak hamil, strategi terapeutik mencakup
penanganan abortif dan preventif, serta pengubahan gaya hidup dan perilaku.
Sementara pada wanita hamil dengan migraine pengobatan terbatas pada obat – obatan
yang telah mendapatkan persetujuan dari kategori Food and Drugs Administration
(FDA).7,8
a. Terapi Abortif
(a). Acetaminophen
Acetaminophen adalah obat kategori B dan salah satu obat yang aman dalam
kehamilan. Acetaminophen hanya memiliki efek sementara pada uterus dan
platelet sehingga tidak mempengaruhi hasil luaran kehamilan. Acetaminophen
juga dapat digunakan dengan aman di periode post partum dan tidak
mempengaruhi proses menyusui.1,9
(b).Nonsteroidal Anti-inflammatory Drugs (NSAIDS)
Ibuprofen and naproxen adalah 2 NSAIDS yang paling sering digunakan untuk
mengatasi migraine secara umum. NSAIDS masuk dalam kategori B jika
digunakan di trimester pertama, namun di trimester ketiga, NSAIDS
menyebabkan penutupan prematur ductus arteriosus dan perkembangan
hipertensi pulmonary pada janin, sehingga NSAIDS masuk ke dalam kategori D
di trimester pertama kehamilan. diperkirakan juga, sintesis inhibidi
prostaglandin dapat menghalangi implantasi, sehingga obat – obatan ini harus
dihindari menjelang konsepsi. Sama seperti acetaminophen, NSAIDS dapat
diberikan selama periode menyusui di masa post partum.1,9
(c). Aspirin
Aspirin masuk dalam kategori C. Aspirin tidak diketahui memiliki efek
teratogenik namun dapat mencegah kontraksi uterus dan meningkatkan risiko
perdarahan pada ibu dan bayi baru lahir. Aspirin juga menyebabkan
penyempitan duktus arteriosus dan harus dihindari di trimester ketiga.1,9
(d).Opioids
Opioids masuk ke dalam kategori C, kecuali jenis hydromorphone.
Hydromorphone masuk kedalam kategori B dan aman untuk digunakan selama
kehamilan. Kodein masuk ke dalam kategori C karena meningkatkan risiko
anomali kongenital seperti bibir sumbing dan hernia inguinal. Kodein juga
menyebabkan konstipasi sehingga jarang digunakan selama kehamilan.
Penggunaan opioid secara berkelanjutan tidak disarankan karena jika digunakan
setiap hari selama pertengahan dan akhir kehamilan, opioid akan menyebabkan
ketergantungan pada janin dan berisiko menyebabkan kematian.7,9
(e). Selective 5HT1B/1D Receptor Agonist (Triptans)
Triptans masuk ke dalam kategori C risikonya pada manusia tidak diketahui.
Ada 6 penelitian yang mengkaji hasil luaran kehamilan dengan paparan triptan,
5 dari 6 penelitian menunjukkan tidak ada efek samping. Sebaliknya, sebuah
penelitian di Denmark menunjukkan peningkatan insiden persalinan prematur
setelah paparan triptan di trimester pertama. Mekanisme yang jelas mengenai
pengaruh triptan terhadap hasil luaran kehamilan belum jelas. Data mengenai
paparan triptan selama kehamilan terbatas dan umumnya hanya pada paparan
sumatriptan di trimester pertama, sehingga penggunaannya harus diberikan
secara hati – hati.1,7,9
(f). Antiemetics
Kebanyakan obat antiemetic selama kehamilan masuk dalam kategori C kecuali
metoclopramide yang masuk dalam kategori B. metoclopiramide sangat efektif
untuk mengatasi nausea yang berhubungan dengan serangan migraine.7
(g).Kafein
Kafein masuk kedalam kategori B. Ada bukti yang menunjukkan bahwaa kafein
memiliki efek teratogenik dalam studi pada binatang namun efek ini hanya
muncul jika digunakan dalam dosis besar. Biasanya kafein dapat digunakan
selama kehamilan untuk mengatasi serangan migraine tanpa ada efek samping
yang merugikan.7
(h).Isometheptene
Senyawa ini seringkali diresepkan bersamaan dengan dichloralphenazone dan
acetaminophen (Midrin) dan masuk kedalam kategori C. Isometheptene adalah
agonis adrenoreseptor non spesifik. Telah digunakan dalam berbagai uji
sistematik untuk melihat efikasinya dalam kehamilan dan menunjukkan bahwa
senyawa ini tidak menyebabkan efek samping merugikan. Efikasi
isometheptene mungkin menurun selama kehamilan akibat adanya desensitisasi
adrenoreseptor dalam sirkulasi cranial.1,7
(i). Corticosteroids
Prednisone masuk dalam kategori B sementara dexamethasone masuk dalam
kategori C, dan keduanya dapat diberikan selama menyusui. Meskipun cukup
aman, penggunaannya hanya dapat diberikan untuk penanganan jangka pendek.
b. Terapi Preventif
Selama kehamilan kebanyakan pasien dan dokter akan membatasi jumlah dan
frekuensi obat yang digunakan, sehingga obat – obatan profilaksis dapat
dipertimbangkan jika serangan berat terjadi 3 – 4 kali setiap bulan. Jika frekuensi
nyeri kepala kurang dari 3 – 4 per bulan, namun serangan berat dan akut,
penanganan profilaksis dapat dipertimbangkan untuk mencegah dehidrasi pada ibu
yang akan menyebabkan distress janin. Obat – obatan yang digunakan sebagai
profilaksis migraine adalah :1,7,9
(a). β-blockers
Propranolol and timolol, reseptor antagonis nonselektif β-1 and β-2 dan
metoprolol, reseptor antagonis β-1 adalah β-blocker yang paling sering
direkomendasikan sebagai profilaksis migraine pada umumnya. Pindolol,
adalah antagonis nonselektif lainnya, pindolol masuk kedalam kategori B
selama kehamilan. Tidak ada bukti teratogenik namun mungkin terjadi
toksisitas yang menyebabkan komplikasi seperti IUGR, hipoglikemia,
bradikardia dan depresi pernapasan. Kebanyakan β-blocker dapat digunakan
selama menyusui, meskipun demikian, pindolol selama laktasi tidak diketahui.
(b). Antidepressants
Inhibitor reseptor serotonin selektif masuk kedalam kategori B dan C,
berdasarkan tipenya. Setelah menimbang risikonya, obat – obatan ini dapat
digunakan dengan perhatian. Data yang ada terbatas dan kebanyakan dokter
menghindari untuk memberikan obat ini. antidepresan trisiklik juga dapat
diresepkan sebagai profilaksis, namun kebanyakan masuk kategori C atau D.
(c). Magnesium
Magnesium oral adalah salah satu dari sedikit obat yang dianjurkan oleh FDA
sebagai profilaksis migraine selama kehamilan. Magnesium aman untuk
diberikan, namun efikasinya dalam mencegah migraine belum banyak
diketahui. Diare dan iritasi lambung adalah efek samping yang paling umum
terjadi.
(d).Obat – Obatan Lain
Obat – obatan dan suplemen vitamin lainnya telah digunakan sebagai
profilaksis migraine seperti reseptor blocker angiotensin dan riboflavin (vitamin
B2). Reseptor blocker angiotensin telah diketahui mencegah migraine dan
meskipun beberapa penelitian menunjukkan efikasi, diketahui obat ini
memberikan efek samping merugikan bagi fetus dan harus dihindari selama
kehamilan. Riboflavin dosis tinggi juga diketahui menurunkan frekuensi
serangan migraine jika diberikan sebagai profilaksis. Namun tidak ada data
yang menunjukkan keamanan penggunaannya selama kehamilan.
c. Terapi Nonfarmakologis
Relaksasi, dan manajemen stess telah diketahuo efektif menurunkan nyeri kepala
pada pasien dengan gangguan nyeri kepala berulang. Sebuah studi membandingkan
modifikasi perilaku dan pemberian amitriptyline untuk mengatasi nyeri kepala.
Penelitian ini menemukan bahwa indeks nyeri kepala berkurang hingga 58%
dengan modifikasi perilaku dan berkurang 33% dengan amitriptyline. Manajemen
stress telah diketahui menurunkan frekuensi nyeri kepala hingga 50% dan efeknya
menetap hingga 1 tahun setelah persalinan.10
Modifikasi perilaku yang terbukti efektif untuk mengatasi nyeri kepala adalah
menghentikan konsumsi nikotin, makan sesuai jadwal dan mengatasi gangguan
tidur.10
6). Prognosis
Hasil luaran kehamilan tampaknya tidak berubah dengan adanya migraine, meskipun
hanya sedikit penelitian yang meneliti hasil luaran kehamilan pada wanita dengan
migraine, kebanyakan laporan menunjukkan tidak ada peningkatan insiden hasil luaran
persalinan buruk seperti persalinan prematur, berat badan lahir rendah atau anomali
kongenital. Tampaknya, tidak ada perbedaan signifikan hasil luaran persalinan antara
pasien yang mendapatkan pengobatan dan tidak mendapatkan pengobatan.7
Hasil luaran penting lainnya adalah preeklampsia dan eklampsia. Meskipun
mekanismenya tidak diketahui, ada hubungan antara migraine dan peningkatan risiko
preeklampsia selama kehamilan. Nyeri kepala berat, yang menyebabkan mual, muntah
dan gangguan pengelihatan lebih sering ditemukan pada wanita preeklampsia
dibandingkan dengan wanita tanpa preeklampsia. Dalam sebuah studi prospektif, 485
wanita hamil dengan migraine sebelum kehamilan 10 kali lebih berisiko mengalami
preeklampsia selama kehamilan dibandingkan populasi umum. Patofisiologi yang
mendasari hubungan ini belum banyak diketahui namun diperkirakan berhubungan
dengan vasoreaktifitas, disfungsi endotel dan perilaku platelet.8,9

1.3.2 Tension Type Headaches (TTH)


1). Epidemiologi
TTH adalah nyeri kepala yang paling sering terjadi dengan prevalensinya sepanjang
kehidupan mencapai 78% dan prevalensinya selama 1 tahun mencapai 78%. Prevalensi
nyeri kepala tipe ini pada wanita dilaporkan mencapai 86% dan rasio wanita : laki –
laki diperkirakan 3 : 1. Tiga puluh persen pasien dengan TTH melaporkan serangan
TTH lebih dari 14 hari per tahun dan 3% melaporkan serangan TTH hampir setiap hari.
Hanya sedikit penelitian yang telah mengevaluasi perjalanan penyakit TTH dalam
kehamilan, 28% melaporkan tidak ada perubahan pola nyeri selama kehamilan, 28%
melaporkan ada peningkatan dan hanya 5% yang melaporkan memburuknya TTH
selama kehamilan. sebaliknya, sebuah penelitian melaporkan TTH hingga 50%.11,12
2). Klasifikasi
Klasifikasi TTH adalah tension type headache episodik dan tension type headache
kronik. TTH episodik, apabila frekuensi serangan tidak mencapai 15 hari setiap bulan.
TTH episodik dapat berlangsung selama 30 menit - 7 hari. Disebut TTH kronik apabila
frekuensi serangan lebih dari 15 hari setiap bulan dan berlangsung lebih dari 6
bulan.12,13
3). Patofisiologi
Hanya sedikit yang diketahui mengenai patofisiologi TTH dibandingkan dengan
migraine. Mekanismenya sama dengan migraine karena serotonin dan endorphin
memegang peranan utama dan banyak struktur neoroanatomik lain seperti nucleus
trigeminal yang terlibat. Mengingat adanyan efek hormon wanita pada neurotransmitter
tersebut, TTH diperkirakan meningkat selama kehamilan. studi klinis telah mendukung
pernyataan tersebut, meskipun peningkatannya tidak sebesar migraine.14
4). Gejala Klinis
Meskipun sering ditemukan, TTH seringkali sulit untuk didefinisikan dan didiagnosis.
Diagnosis diambil berdasarkan riwayat da pemeriksaan untuk mengeluarkan
kemungkinan alternatif gejala lainnya. Meskipun diagnosis TTH dapat dibedakan
dengan mudah dari migraine dari nyeri episodik dan adanya nausea, TTH seringkali
sulit untuk dibedakan dari nyeri kepala sekunder.11,15
TTH harus memenuhi syarat yaitu sekurang-kurangnya dua dari berikut ini :
(a). Adanya sensasi tertekan/terjepit.
(b).Intensitas ringan-sedang.
(c). Lokasi bilateral.
(d).Tidak diperburuk aktivitas. Selain itu, tidak dijumpai mual muntah, tidak ada salah
satu dari fotofobia dan fonofobia.
Gejala klinis dapat berupa nyeri ringan-sedang-berat, tumpul seperti ditekan atau
diikat, tidak berdenyut, menyeluruh, nyeri lebih hebat pada daerah kulit kepala,
oksipital, dan belakang leher, terjadi spontan, memburuk oleh stress, insomnia,
kelelahan kronis, iritabilitas, gangguan konsentrasi, kadang vertigo, dan rasa tidak
nyaman pada bagian leher, rahang serta temporomandibular.4,15
5). Penanganan
Penanganan gejala menggunakan analgesic dan NSAIDs adalah manajemen itama TTH
episodic selama kehamilan dan laktasi. Paracetamol adalah pilihan analgesic utama
selama kehamilan. Aspirin dan NSAIDs dapat diberikan di trimester pertama dan
kedua, namun harus dihindari di trimester ketiga. Meskipun NSAIDs aman digunakan
selama menyusui, aspirin harus dihindari. Triptan, relaksan otot, dan opioid tidak
bermanfaat dan mungkin meningkatkan nyeri kepala akibat konsumsi obat yang
berlebihan. Obat – obatan profilaktik jarang dibutuhkan dan hanya diindikasikan pada
TTH kronik atau jika TTH terjadi lebih dari 2 – 3 hari dalam seminggu. Amitriptyline
adalah obat profilaksis pilihan pertama untuk TTH selama kehamilan dan laktasi.14,15
1.3.3 Cluster Headaches
1). Epidemiologi
Nyeri kepala ini relatif jarang dengan prevalensi antara 0,06 hingga 0,4 per 100 orang.
Nyeri kepala ini dominan dialami oleh proa. Dalam sebuah kohort pada 143 wanita
dengan cluster headache, serangan pertama terjadi di kehamilan pertama dan 89 pasien
mengalaminya setelah kehamilan anak pertama. Dari 26 wanita hamil yang melaporkan
cluster headache, 8 mengalami nyeri dalam waktu 1 bulan sebelum persalinan. 19
pasien melaporkan serangan selama kehamilan, 11 melaporkan tidak ada perubahan
dari serangan sebelumnya, 3 melaporkan peningkatan frekuensi nyeri dan 5
melaporkan frekuensi dan keparahan nyeri meningkat selama kehamilan. dalam kohort
terpisah pada 230 pasien, 58 diantaranya melaporkan cluster headache selama usia
reproduksi dan hanya 3 (5%) yang melaporkan cluster headache selama kehamilan.16
2). Patofisiologi
Sama seperti migraine dan TTH, hanya sedikit yang diketahui tentang pathogenesis
cluster headache. Diperkirakan ada pengaruh dari hormon hipotalamus. Nuclei
suprachiasmatic adalah tempat patologi ini mulai muncul. Neuroimaging fungsional
baru – baru ini menemukan bahwa gray matter hipotalamus mengalami metabolisme
abnormal berdasarkan pengamatan N-acetylaspartate neuronal marker menggunakan
magnetic resonance spectroscopy. Nyeri tipikal cluster headache diperkirakan
terbentuk pada sinus kompleks perikarotid/cavernosus. Wilayah ini menerima input
parasimpatetik dari batang otak, memediasi fenomena autonomic selama serangan
terjadi. Peranan faktor imunologi, vasoregularitas, hipoksemia atau hipocapnia masih
menjadi kontroversi.3,16,17
3). Gejala Klinis
Cluster headache ditandai dengan serangan nyeri berat, menusuk, dengan durasi
pendek (5-180 menit). Nyeri muncul dengan frekuensi sekitar 1 – 8 kali perhari,
terutama ketika tidur. Nyeri mungkin menyebabkan aura dan menyebar ke area
wajah.4,16
4). Penanganan
Penanganan adalah dengan terapi abortif dan terapi profilaksis. Oksigen 100% dengan
masker, kortikosteroid, triptan dan ergot alkaloid adalah terapi abortif yang paling
sering digunakan pada pasien yang tidak hamil. Meskipun oksigen 100% aman
digunakan wanita hamil, penggunaannya hanya efektif pada 70% serangan. Prednisone
aman digunakan selama kehamilan dan menyusui. Obat – obatan profilaksis
diindikasikan hanya pada pasien dengan cluster headache kronis. Verapamil dan
kortikosteroid adalah obat – obatan profilaksis yang paling sering digunakan. Data
mengenai keamanan verapamil dalam kehamilan terbatas dan masuk ke dalam kategori
C, namun aman digunakan selama menyusui.18

1.3.4 Nyeri Kepala Sekunder


1). Gangguan sistem saraf pusat
Gangguan sistem saraf pusat berat dalam kehamilan jarang terjadi namun akan muncul
dengan gejala nyeri kepala. Investigasi patologi harus dipertimbangkan jika nyeri
kepala muncul untuk pertama kalinya. Pengkajian lebih lanjut diperlukan jika pasien
memiliki tanda – tanda atau gejala neurologis lainnya atau jika ada riwayat masalah
neurologis tertentu dalam keluarga.1,2,7,18
Insiden perdarahan subarachnoid dalam populasi umum sekitar 12 per 100.000 namun
dilaporkan jumlahnya lebih tinggi pada wanita hamil. Gejalanya muncul dalam bentuk
nyeri kepala, kekakuan pada leher dan pingsan. Dalam beberapa kasus gejala muncul
berupa migraine dan preeklampsia. Mortalitasnya tinggi dan tingkat kekambuhannya
juga tinggi. Diagnosis dapat ditegakkan menggunakan CT scan dan lumbar puncture.
Perdarahan intracerebral juga jarang, namun sering ditemukan pada wanita hamil,
mungkin karena efek estrogen pada malformasi vaskuler. Penyalahgunaan alkohol dan
obat – obatan terlarang seringkali meningkatkan risiko. Untuk menegakkan diagnosis
dapat dilakukan CT scan dan MRI. Jika terjadi perdarahan subarachnoid
penanganannya adalah dengan neurosurgical dan persalinan karena baik ibu dan bayi
berisiko mengalami kematian.1,7
Trombosis vena sentral terjadi sekitar 1 per 2500 hingga 20.000 persalinan dan paling
sering terjadi pada wanita dengan hiperkoagulasi. Pasien dengan vaktor risiko DVT
dan tromboemboli harus dievaluasi terhadap kemungkinan thrombosis vena sentral.
Biasanya gejala yang muncul berupa nyeri kepala progresif dan gangguan neurologis.
Pseudotumor cerebri adalah sindrom unik yang seringkali ditemukan pada wanita
obesitas.adanya tumor pada kepala menyebabkan meningkatnya tekanan intracranial
sehingga seringkali menyebabkan nyeri kepala disertai kejang dan gangguan
neurologis.2,7
Infeksi pada kepala dan leher juga dapat muncul dalam bentuk nyeri kepala, namun
akan dapat dibedakan dengan menilai gejala lain yang menyertai.
2). Hipertensi dalam kehamilan
Hipertensi dalam kehamilan terjadi pada 10 – 14% wanita primipara. Hipertensi dalam
kehamilan mencakup preeklampsia, preeklampsia berat dengan sindrom HELLP dan
eklampsia. PEB dan sindrom HELLP seringkali menyebabkan nyeri kepala. Eklampsia
diikuti dengan kejang, seringkali nyeri kepala muncul sebelum kejang terjadi dan
menjadi gejala wal keterlibatan sistem saraf pusat. Nyeri kepala pada preeklampsia
atau eklampsia seringkali menyebabkan gangguan visual, seperti pengelihatan kabur,
scotomata, dll. Patofisiologinya tidak diketahui dengan pasti, namun diperkirakan
berkaitan dengan ensefalopati hipertensif akibat vasospasme pembuluh darah serebral
dan vasokonstriksi pembuluh darah.8,18
Penanganan nyeri kepala yang berkaitan dengan preeklampsia adalah dengan
mengendalikan tekanan darah maternal. Parameter penanganannya bergantung pada
individu, namun beberapa ahli mengemukakan batas tekanan diastolic 110 mmHg atau
sistolik 180 mmHg. Obat antihipertensi yang paling banyak digunakan adalah
hidralazyne 5 – 10 mg IV setiap 20 menit atau 20 mg labetolol IV tiap 10 – 15
menit.8,18
3). Kondisi sistemik
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, nyeri kepala dapat muncul akibat berbagai kondisi
terutama yang berkaitan dengan hipoksia, demam, atau peningkatan tekanan darah.
Anemia juga dapat menyebabkan nyeri kepala namun jika kadar hemoglobin dibawah
10 mg/dL atau jika kadar Hb menurun secara drastic. Nyeri kepala juga menjadi efek
dari berbagai jenis paparan lingkungan, obat – obatan, konsumsi alkogol dan
makanan.1,2,17,18

Kesimpulan
Secara umum, kebanyakan nyeri kepala selama kehamilan tidak mengancam jiwa.
Langkah yang paling penting dalam diagnosis nyeri kepala adalah melakukan pengkajian
riwayat secara detail dan pemeriksaan fisik. Penting untuk memepertimbangkan penyebab
nyeri kepala lainnya seperti pengaruh gangguan intracranial yang memerlukan evaluasi
lebih lanjut. Strategi penanganan bergantung pada diagnosis yang ditegakkan, namun
acetaminophen adalah analgesic lini pertama yang dapat digunakan di trimester I dan II.
Pastikan pasien menjalani follow up untuk memastikan nyeri kepala bukan merupakan
gejala dari kondisi patologis lainnya. Penting untuk memberikan edukasi kepada pasien
mengenai follow up dan adaptasi serta manajemen nyeri kepala dalam kehamilan.
REFERENSI
1). Digre K. Headaches During Pregnancy. Clinical Obstetrics and Gynecology. 2013.
Volume 56, Number 2, 317–329.
2). Wald et al. Headache During Pregnancy. Obstetrical and Gynecological Survey. 2002.
Volume 57, Number 3.
3). Bogduk,N. Anatomy and physiology of headache. Australia : Faculty of medicine and
health science, University of Newcastle and University Drive.1995.
4). ISH Classification ICHD II (International Classification of Headache Disorders)available
athttp://ihs-classification.org/_downloads/mixed/ICHD-IIR1final.doc
5). Reskin, Neil H. Headache. Harrison, T.R, dkk. Harrisons Internal Medicine. United States
of Amerika : McGraw-Hill Companies.2005. 85- 93.
6). Simon, Roger P, David Greenberg, dan Michael J. Headaches and facial pain. Clinical
Neurology . United states of Amerika : Lange. 2009. 69-93.
7). Menon, L and Bushnell, C. Headache and Pregnancy. The Neurologist. 2008. Volume 14,
Number 2.
8). Contag, s. A. et al. Migraine during pregnancy: is it more than a headache?. Nat. Rev.
Neurol. 5, 449–456 (2009).
9). Goadsby, Goldberg and Silberstein. Migraine in pregnancy. BMJ 2008;336:1502-4.
10).Airola et al. Non-pharmacological management of migraine during pregnancy. Neurol Sci
(2010) 31 (Suppl 1):S63–S65.
11).L. Marozio et al. Headache and adverse pregnancy outcomes: a prospective
study.European Journal of Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology 161 (2012)
140–143.
12).MacGregor, A. Headache in Pregnancy. Neurol Clin 30 (2012) 835–866. Allais et al.The
risks of women with migraine during pregnancy. Neurol Sci (2010) 31 (Suppl 1):S59–S61.
13).Torelli, Allais and Manzoni. Clinical review of headache in pregnancy. Neurol Sci (2010)
31 (Suppl 1):S55–S58.
14).Nappi et al. Headaches During Pregnancy. Curr Pain Headache Rep (2011) 15:289–294.
15).Maggioni F, Alessi C, Maggino T, Zanchin, G. Headache during pregnancy. Chepalgia
1997; 17:765 - 9.
16).Scharff, Marcus, and Turk. Headache During Pregnancy in the Postpartum: A Prospective
Study. Headache 1997;37:203–210.
17).Turner et al. Predictors of Headache Before, During, and After Pregnancy: A Cohort
Study. Headache 2012;52:348-362.
18).Jalilian, Fakheri, Daeichin. Review of headache in pregnancy. Injury and Trauma. 2012.
Volume 4, Suppl. 1.

Anda mungkin juga menyukai