Anda di halaman 1dari 8

Perbandingan Profilaksis Ergometrine dan Oxytosin Intramuskular

Pada Wanita Dalam Kala III Persalinan

Tujuan: Untuk membandingkan efektivitas dan efek pemberian ergometrine dan oxytosin
intramuskular dalam pencegahan perdasarahan post partum pada kala III persalinan.
Metode: Studi ini dilakukan pada wanita dengan kehamilan tunggal pada usia kehamilan
setidaknya 28 minggu dan telah memasuki proses persalinan. Kehamilan berisiko tinggi
dikeluarkan dari penelitian. Oksitosin (10 IU) atau ergometrine (0.5 mg) diberikan
intramuskular dengan pola blinding segera setelah bayi dilahirkan. Dilakukan analisis
intent to treat.
Hasil: Kehilangan darah post partum (301.8± 109,2 mL vs 287.1 ± 84.4 mL, P = 0.011)
dan volume packed cell (30.7 ± 1,7% vs 31.6± 2.0%; Z = 0,00; P = 0.008) jauh berkurang
antara wanita yang menerima ergometrine intramuskular. Tingkat penggunaan terapi
oxytosin, transfusi darah, retensio plasenta, dan manual plasenta secara signifikan lebih
tinggi di kelompok oxytosin. Tidak ditemukan perbedaan signifikan komplikasi antara
kedua kelompok kecuali hipertensi diastolik, yang lebih umum ditemukan pada kelompok
ergometrine (odds ratio, 0,00; 95% confidence interval, 0.00–0.75; P = 0).
Kesimpulan: ergometrine intramuskular lebih baik dibandingkan oxytosin intramuskular
dalam mencegah perdarahan post partum selama kala III persalinan. Tidak ada risiko yang
signifikan kecuali diastolik hipertensi.

1. Pendahuluan
Perdarahan postopartum merupakan indikator kuat angka kematian ibu, meskipun sebagian
besar dapat dicegah. Manajemen aktif kala III adalah pengukuran intervensi yang
digunakan dalam beberapa studi terkontrol acak untuk membuktikan kemanjurannya.
WHO merekomendasikan pemberian oksitosin parenteral sebagai salah satu komponen
manajemen aktif kala III, dengan oksitosin sebagai obat pilihan pertama; penggunaan
ergometrine dianjurkan untuk wanita tanpa hipertensi jika oxytosin tidak tersedia. Namun
demikian, ergometrine lebih sering diresepkan.
Ergometrine paling sering diberikan intramuskular. Sebuah tinjauan sistematis
membandingkan ergometrine dan oksitosin intramuskular atau intravena menemukan
ergometrin dan oksitosin yang diberikan intramuscular atau intravena menemukan bahwa
perbedaan utama dalam manfaat kedua obat tersebut tidak sama. Meskipun demikian,
tingkat transfusi darah lebih tinggi pada wanita yang menerima oksitosin dalam uji coba.
Sebaliknya, dalam penelitian lain, dimana oksitosin diberikan intravena, insiden
komplikasi secara signifikan lebih rendah. penggunaan suplemen uterotonik juga lebih
rendah pada wanita yang menerima oksitosin dibandingkan ergometrin. Dalam lingkungan
dimana perdarahan post partum menjadi penyebab utama kematian maternal, ergometrin
menjadi pilihan karena manfaatnya lebih banyak dibandingkan risiko. Beberapa penulis
juga menyarankan penggunaan ergometrin karena efikasinya, meskipun WHO
merekomendasikan penggunaan oksitosin dibandingkan ergometrin.
Dalam banyak klinik maternitas di Nigeria, oksitosin diberikan dengan rute intramuscular.
Artikel sebelumnya mengenai manajemen aktif kala III fokus pada pemberian oksitosin
intravena. Penelitian lebih lanjut untuk menilai rute intramuscular diperlukan. Ketika
diberikan intramuscular, onset aksi oksitosin cepat, terjadi dalam waktu 15 – 30 menit.
Sebaliknya, ergometrin yang diberikan intramuscular bekerja dalam waktu 6 – 7 menit,
dengan efek bertahan antara 2 – 4 jam.
Studi ini bertujuan untuk menentukan efikasi dan efek samping ergometrin dibandingkan
dengan oksitosin intramuscular, untuk mencegah perdarahan post partum selama kala III
persalinan di Nigeria.

2. Bahan dan Metode


Penelitian ini menggunakan desain double – blind acak dan dilakukan antara 1 September
2011 dan 31 Mei 2012. Penelitian ini memasukkan wanita yang masuk ke ruang persalinan
pada Nnamdi Azikiwe University Teaching Hospital di Nnewi, Southeast Nigeria. Seluruh
wanita diberikan informasi mengenai uji coba dalam bahasa Inggris atau bahasa lokal.
Penelitian ini telah diterima dan didaftarkan dalam register Pan African Clinical Trial
sebelum pasien direkrut.
Studi ini melibatkan wanita yang menyediakan informed consent dan menjalani persalinan
pervaginam. Wanita dengan persalinan SC atau persalinan sebelum viable (usia kehamilan
kurang dari 28 minggu) dikeluarkan dari penelitian, seperti halnya wanita dengan
kehamilan ganda, perdarahan prepartum, hipertensi dalam kehamilan, anemia dalam
kehamilan, hemoglobinopati. Meskipun wanita dilibarkan selama persalinan, tidak ada
yang menerima analgesi epidural. Kala III persalinan ditangani secara aktif (pemberian
obat uterotonik profilaksis intramuscular, traksi tali pusat terkendali, dan massage uterus
setelah persalinan plasenta).
Orang – orang yang terlibat dalam studi ini diberikan : 1 mL ampul yang mengandung
oksitosin 10 IU atau 0,5 mg ergometrin. Label pada ampul diletakkan dalam sebuah
amplop tertutup, sehingga hanya nomor acak yang dibuat oleh komputer yang tersedia
untuk mengidentifikasi obat saat unblinding. Kedua obat dibeli di farmasi umum.
Pada perekrutan, pasien yang memenuhi syarat dialokasikan sesuai dengan nomor
pengacakan. Obat diberikan ointramuskular dalam waktu 1 menit setelah bayi dilahirkan,
oleh bidan yang tidak terlibat dalam studi.
Injeksi intraumbilical oksitosin atau misoprostol sebagai intervensi alternatif sebelum
manual plasenta bukan prosedur rutin di rumah sakit percobaan. Uterotonik yang
digunakan adalah oksitosin dengan infus intravena, ergometrine oxytocin dan misoprostol.
Setelah bayi lahir dan administrasi uterotonic, tali diklem ganda dan dipotong dalam waktu
1 menit dari persalinan bayi. Plasenta dilahirkan dengan traksi tali pusat terkendali.
Plasenta dan membran kemudian diperiksa kelengkapannya.
Segera setelah plasenta dilahirkan, uterus dimassage dan palpasi dilakukan setiap 15 menit
selama 2 jam. Partisipan yang mengalami perdarahan post partum atonic alam waktu 10
menit dari persalinan dikelola sesuai protokol.
Sebuah sphygmomanometer merkuri manual digunakan untuk mengukur tekanan darah
diastolik, dengan posisi pasien berbaring. Selama auskultasi, tekanan darah diastolik
diambil pada hilangnya suara (Korotkoff tahap V). Semua pasien dipantau ketat selama 1
jam pasca persalinan. Mereka diberi pertanyaan tentang gejala mual, muntah, sakit kepala,
pendarahan pervaginam, pengelihatan kabur, dan pusing. Manual plasenta ditunda selama
30 menit kecuali jika pendarahan berlebihan.
Setelah injeksi obat, wanita segera diposisikan di atas alas perineum plastik yang cukup
besar untuk menampung darah. Volume kehilangan darah diperkirakan dengan
menempatkan semua gauzes dan bantalan perineum yang digunakan untuk menyerap darah
kedalam sebuah tas plastik dan perbedaan berat antara kering dan basah dihitung.
Peningkatan berat 100 g dianggap setara dengan hilangnya 100 mL darah (untuk tujuan
penelitian, gravitasi darah diasumsikan 1 g/mL, meskipun sebenarnya gravitasi spesifik
adalah 1,08).
Interval waktu antara persalinan bayi dan plasenta ditentukan dan karakteristik demografis
dan obstetric wanita dicatat. Hasil luaran primer adalah kehilangan darah 500 mL atau
lebih setelah intervensi dan terjadinya efek samping (sakit kepala, muntah, hipertensi
diastolik) dalam waktu 30 menit setelah intervensi.
Frekuensi dan tingkat keparahan efek samping, penggunaan agen uterotonic tambahan,
transfusi darah, evakuasi untuk mempertahankan hasil konsepsi, manual plasenta, dan
perdarahan post partum merupakan hasil luaran sekunder. Pada hari kedua post partum,
volume packed cell ditentukan.
Setelah data masuk, data diperiksa, dan dibersihkan. Analisis Statistik dilakukan dengan
Epi Info versi 3.5.1, Stata PASS versi 12 (NCSS; Kaysville, Utah, USA). Uji Z dan χ2 dan
Fisher exact digunakan untuk data kategorik dan kontinyu. P<0,05 dianggap signifikan
secara statistik. Analisis didasarkan pada prinsip intent-to-treat.
Dalam sebuah studi percontohan yang melibatkan kelompok oxytosin saja, tingkat
perdarahan post partum adalah 23%. Untuk mencapai power penelitian sebesar 90% untuk
mendeteksi perbedaan antara 8% dan 23% menggunakan uji χ2 (2-sisi) dan tingkat
signifikansi 0,05, Stata PASS versi 12 dan Epi Info versi 3.5.1 menghasilkan ukuran
sampel 181 per kelompok. Dengan memperhitungkan potensi loss to follow up sebesar
10%, 150 peserta terdaftar untuk setiap kelompok.

3. Hasil
Analisis termasuk 300 peserta; 149 wanita dengan injeksi ergometrine dan 151 wanita
dengan oxytosin. Kedua kelompok tidak memiliki perbedaan karakteristik sociodemografi,
persalinan, dan persalinan (Tabel 1), dengan pengecualian rata-rata durasi kala III secara
signifikan lebih pendek pada kelompok ergometrine.
Dalam hal efek samping, hipertensi diastolik secara signifikan lebih umum dalam
kelompok ergometrine (odds ratio, 0,00; CI 95%, 0.00–0.75, P = 0) (Tabel 2). Frekuensi
efek samping lain seperti sakit kepala, mual, dan muntah tidak berbeda secara signifikan
antar kelompok. Tidak ada wanita dengan hipertensi diastolik yang berkembang menjadi
pre-eclampsia, sehingga efek samping serius jarang terjadi.
Tingkat transfusi darah, tambahan oxytosin, manual plasenta, dan retensio plasenta secara
signifikan lebih tinggi di kelompok oxytosin (Tabel 3). Kedua kelompok memiliki
perbedaan frekuensi perdarahan post partum (kehilangan darah 500 mL atau lebih) dan
tingkat rata-rata volume packed cell pada hari kedua pascamelahirkan yang signifikan
(Tabel 4).

4. Diskusi
Penelitian ini menunjukkan bahwa ergometrine intramuskular lebih unggul dari oxytosin
intramuskular dalam mencegah perdarahan post partum selama kala III persalinan. Uji
acak sebelumnya di Nigeria menemukan infus oxytosin sama efektifnya dengan
ergometrine intravena, tetapi tingkat efek samping pada ibu lebih rendah dengan oxytosin.
Hasil ini mengkonfirmasi efikasi ergometrine jika diberikan intramuskular dan
menunjukkan bahwa tidak ada risiko yang signifikan selain hipertensi diastolik.
Keunggulan ergometrine dibandingkan oxytosin yang diberikan intramuscular sebagai
profilaksis mungkin disebabkan oleh onset aksi yang lambat, dengan interval waktu antara
pemberian dan terjadinya aksi sesuai dengan durasi rata-rata kala III (6.95 ± 1.26 menit
dalam kelompok ergometrine). Selain itu, durasi persalinan lebih pendek dalam kelompok
ergometrine dibandingkan kelompok oxytosin.
Ergometrine intravena dan oxytosin menunjukkan efek oksitosin yang cepatdalam waktu
kurang dari 1 menit. Bila diberikan intramuskular, Onset aksi ergometrine lebih lambat
daripada oksitosin. Sebaliknya, durasi efek oxytocic oxytosin lebih pendek daripada
ergometrine (15–30 menit vs 2 jam atau lebih). Perbedaan ini menjelaskan perbedaan
antara kedua kelompok dalam hal pemisahan plasenta dan perdarahan postpartum. Sering
kali, hanya diperlukan beberapa menit untuk melahirkan plasenta setelah bayi dilahirkan,
dan itu karena itu sejauh mana perbedaan waktu untuk timbulnya dan durasi aktivitas
oksitosin berkontribusi dalam perbedaan antara kedua kelompok. Namun, durasi rata – rata
persalinan di kedua kelompok bertepatan dengan terjadinya aksi ergometrine (6–7 menit),
yang mungkin menjelaskan mengapa retensio plasenta dan manual plasenta menurun
secara signifikan pada wanita yang diberi ergometrine.
Dalam studi sebelumnya, penggunaan ergometrine berhubungan dengan terjadinya
hipertensi, infark miokard, kejang arteri koroner, pendarahan otak, dan efek samping kecil
tapi tidak menyenangkan seperti mual dan muntah; efek samping yang serius seperti
kematian ibu tidak ditemukan. Sebaliknya, tingkat efek samping relatif rendah kecuali
hipertensi diastolik ditemukan lebih umum dalam kelompok ergometrine, dan tidak
ditemukan efek samping yang serius.
Dalam sebuah studi oleh Yuen et al., tingkat efek samping termasuk muntah dan mual
lebih rendah setelah injeksi intramuskular oksitosin atau ergometrine. Observasi ini sesuai
dengan temuan kami dimana tidak ditemukan perbedaan yang signifikan efek antara obat
yang diteliti selain hipertensi diastolik dan dapat dijelaskan dengan perbedaan dalam
stabilitas kedua obat terhadap suhu , terutama di daerah tropis. Rantai dingin mungkin
tidak digunakan di apotek karena obat-obatan tersebut disimpan di suhu kamar pada saat
mereka dibeli.
Efektivitas uterotonik injeksi dapat dipengaruhi oleh 2 faktor: suhu dan cahaya. Dalam
penelitian ini, obat yang digunakan sengaja dibeli dari apotek umum. Temuan ini
berkaitan dengan salah satu publikasi WHO mengenai stabilitas injeksi uterotonik, yang
menyimpulkan bahwa ergometrine kurang stabil daripada oksitosin ketika keduanya diberi
paparan suhu tinggi selama penyimpanan.
Di negara berpenghasilan rendah, dimana perdarahan post partum terus menyebabkan
sejumlah besar kematian ibu, agen intramuskular dengan efikasi yang lebih unggul harus
lebih dipilih, meskipun tingkat efek sampingnya cukup tinggi. Studi ini menambah
kekuatan argumen tersebut dengan menunjukkan bahwa ergometrine lebih aman diberikan
intramuskular tanpa efek samping yang signifikan kecuali hipertensi diastolik.
Mengingat bahwa wanita dalam penelitian ini menerima analgesia epidural, tidak
mengherankan bahwa tingkat efek samping pada ibu rendah; efek merugikan mungkin
terkamuflase oleh nyeri persalinan dan sehingga tidak dilaporkan oleh wanita. Skala analog
visual digunakan untuk menilai efek.
Yuen et al. juga membandingkan efek oxytosin dan ergometrine yang diberikan
intramuskular setelah bahu anterior dilahirkan. Manual plasenta lebih rendah pada wanita
yang menerima oxytosin dibandingkan wanita yang menerima ergometrine. Efek ini
muncul akibat spasme segmen bawah uterus yang diakibatkan oleh ergometrin. Mereka
mengusulkan bahwa efek ini mungkin mengakibatkan kala III yang berkepanjangan dan
meningkatan risiko retensio plasenta. Namun, Yuen et al. membuktikan bahwa pemberian
ergometrine meningkatkan risiko ini. Perbedaan antara temuan-temuan yang dilaporkan
oleh Yuen et al. dan temuan dalam penelitian ini dapat dijelaskan dengan pendekatan yang
berbeda untuk kelahiran plasenta. Dalam uji coba oleh Yuen et al., plasenta hanya
dilahirkan setelah munculnya tanda-tanda pemisahan plasenta, berbeda dengan uji coba ini,
dimana dilakukan penjepitan tali pusat dan traksi tali pusat terkendali. Kemudian, plasenta
dilahirkan sebelum ada tanda – tanda spasme uterus, untuk mengurangi risiko retensio
plasenta.
Penelitian ini mengidentifikasi tingginya tingkat retensio plasenta (13%) yang memerlukan
manual plasenta pada wanita yang menerima oksitosin. Alasan potensial temuan ini
mencakup lingkungan penyimpanan obat, penggunaan injeksi oksitosin atau misoprostol
intraumbilikal yang tidak rutin dilakukan di rumah sakit sebagai intervensi alternatif
sebelum manual plasenta.
Pemberian oksitosin melalui rute intramuskular menguntungkan karena akses intravena
tidak selalu bisa diperoleh, terutama di negara berpenghasilan rendah seperti Nigeria. Perlu
dipertimbangkan juga insiden HIV/AIDS yang tinggi di Nigeria. Injeksi intravena hanya
dapat dilakuka atas perintah dokter, sehingga sulit untuk dijadikan agen profilaksis dan
tidak layak terutama di fasilitas kesehatan dasar.
Kesimpulannya, pemberian ergometrine intramuskular rutin lebih unggul dibandingkan
oksitosin intramuskular untuk menghindari perdarahan post partum pada parturien selama
kala III persalinan di Nigeria. Ergometrine tidak memiliki risiko efek samping yang
signifikan kecuali hipertensi diastolik. Diperlukan studi lebih lanjut di negara – negara
berpenghasilan rendah.

Anda mungkin juga menyukai