Anda di halaman 1dari 14

EVIDENCE BASED MEDICINE DALAM PELAYANAN KEBIDANAN

EVIDENCE BASED MEDICINE

1. Definisi

Penerapan pendekatan dan metode pembelajaran dalam proses pembelajaran


berdasarkan bukti-bukti ilmiah terbaik yang ada. (Harden et al, 1999)

Merupakan keterpaduan antara (1) bukti-bukti ilmiah yang berasal dari studi yang
terpercaya (best research evidence); dengan (2) keahlian klinis (clinical expertise)
dan (3) nilai-nilai yang ada pada masyarakat (patient values).( Sackett et al, 2000)

Suatu sistem atau cara untuk menyaring semua data dan informasi dalam bidang
kesehatan. Sehingga seorang  dokter hanya memperoleh informasi yang sahih dan
mutakhir untuk mengobati pasiennya. (Wirjo, 2002)

1. Langkah-langkah
1. Mengajukan pertanyaan klinik yang dapat dijawab(asking answerable
question).
2. Melakukan pelacakan pustaka untuk menjawab pertanyaan klinik.
3. Melakukan telaah kritis terhadap bukti ilmiah.
4. Melakukan integrasi antara bukti ilmiah yang valid, keahlian klinik,
dan nilai serta harapan yang ada pada pasien.
5. Melakukan evaluasi hasil guna penerapan bukti ilmiah di dalam
praktek. (Guyatt, 2004)

1. Aspek-aspek
1. Aspek medic          : Fungsinya untuk mengelola penderita.
2. Aspek ilmiah          : Untuk mensurvey keluhan, kelainan fisik, dan
terapinya.
3. Aspek personal       : Hubungan nakes dengan penderita menjadi lebih
baik, kualitas dan profesionalisme menjadi lebih baik
4. Aspek social           : Penerapan EBM secara luas akan meningkatkan
kesadaran serta perhatian masyarakat kepada kesehatan. (Soeleman,
2008)

1. Tujuan

Dengan mengacu pada konsep evidence based medicine, nakes tidak khawatir


terhadap tuntutan malpraktek, karena telah menjalankan tugas profesinya sesuai
kaidah etika ilmu yang berbasis ilmiah, valid, dan reliabel. (Pandhita, 2007).
1. Mengapa harus Evidence Based Medicine
1. Perlunya perubahan paradigma pengembangan  pendidikan kedokteran
dari berbasis opini ke arah berbasis bukti-bukti penelitian di bidang
pendidikan kedokteran. (Zulharman, 2008)
2. Informasi up-date mengenai diagnosis, prognosis, terapi dan
pencegahan sangat dibutuhkan dalam praktek sehari-hari.
(Dwiprahasto, 2008)

Contoh Evidence Based Medicine dalam Pelayanan Kebidanan

1. 1.      Kondom Hidrostatik Tamponade Intrauterin sebagai Alternatif


Penanganan

Perdarahan Pasca Persalinan pada Persalinan Pervaginam

Perdarahan pasca persalinan masih merupakan penyebab kematian ibu tertinggi di


dunia, khususnya di negara-negara berkembang. Permasalahan ini sebenarnya adalah
masalah klasik yang sudah ada sejak berabad-abad lamanya. Sejarah merekam 
Mumtaz Mahal (1630 – Istri dari Raja Shah Jahan) di India, dan Ratu Charlotte
Augusta dari Wale, Inggris (1817), keduanya meninggal dunia karena perdarahan
pasca persalinan. RA Kartini, pejuang hak-hak wanita di Indonesia ini, meninggal
dunia karena perdarahan pasca persalinan lanjut, empat hari setelah ia melahirkan
putra pertamanya diusianya yang ke-25 pada tanggal 17 september 1904. Nasib tragis
yang menimpa Kartini itu pula yang kini masih menimpa sebagian ibu Indonesia
setiap tahun yang meninggal akibat melahirkan.

Angka kematian ibu di Indonesia menurut Biro Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2005
adalah 262 per 100 ribu kelahiran hidup. Dibandingkan dengan negara-negara
tetangga kita, pada tahun 2000, angka ini masih jauh tertinggal dibandingkan dengan
angka kematian ibu di negara tetangga. Malaysia masih jauh di bawah Indonesia yaitu
41 per 100 ribu kelahiran hidup, Singapura 6 per 100 ribu kelahiran hidup, Thailand
44 per 100 ribu kelahiran hidup, dan Filipina 170 per 100 ribu kelahiran hidup.
Padahal, tahun 2000 itu angka kematian ibu di Indonesia masih berkisar di angka 307
per 100 ribu kelahiran hidup. Bahkan Indonesia kalah dibandingkan Vietnam, Negara
yang belum lama merdeka, yang memiliki angka kematian ibu 160 per 100 ribu
kelahiran hidup.
Dilihat dari angka statistik ini, angka kematian ibu di Indonesia masih yang tertinggi
diantara negara-negara di Asia Tenggara. Di Indonesia, perdarahan pasca persalinan
menyumbangkan angka pertama penyebab kematian ibu, setelah eklampsia dan
infeksi..
Dalam satu dekade terakhir ini, banyak cara baru ditemukan untuk menanggulangi
perdarahan pasca persalinan, yang diharapkan dapat menekan angka kematian
ibu. Dalam tatalaksana perdarahan pasca persalinan, urutan tindakan yang cepat dan
tepat, akan membuat pasien dapat tertangani dengan baik. Untuk memudahkan
tatalaksana, digunakan istilah singkatan HAEMOSTASIS, yang sekaligus merupakan
prinsip tatalaksana perdarahan pasca persalinan, yaitu hemostasis atau hentikan
perdarahan.

H Help. Ask for help. INITIAL MANAGEMENT


A Assess (vital parameters, blood loss) and
resucitate.
E Establish aetiology, ensure availability of
blood, ecbolics (oxytocin, ergometrine, or
syntometrine bolus IV/IM).
M Massage uterus.
O Oxytocin infusion, ergometrin bolus IV/IM, MEDICATION MANAGEMENT
prostaglandins per rectal.
S Shift to the theatre. Exclude retain products NON-SURGICAL
and trauma, bimanual compression, CONSERVATIVE
abdominal aorta compression. MANAGEMENT
T Tamponade balloon and uterine packing
A Apply compression uterus, B-lynch SURGICAL CONSERVATIVE
technique or modified, Lasso-Budiman MANAGEMENT
technique.
S Systemic pelvic devascularization: uterine,
ovarian, quadriple, internal iliaca.
I Interventional radiologist, if appropriate,
uterine artery embolization.
S Subtotal/total hysterectomy. LAST EFFORT – SURGICAL
NON-CONSERVATIVE
MANAGEMENT

Non surgical conservative management

Pada perdarahan pasca persalinan yang terjadi di suatu tempat dengan fasilitas
minimal, seperti tidak tersedianya dokter ahli obstetri, rumah sakit rujukan yang jauh,
penanganan non pembedahan untuk perdarahan pasca persalinan bukan lagi
merupakan pilihan dan sudah merupakan suatu keharusan.
Non surgical conservative management atau tatalaksana konservatif non pembedahan
untuk perdarahan pasca persalinan adalah tindakan non pembedahan yang dilakukan
setelah tatalaksana medikamentosa gagal mengatasi perdarahan pasca persalinan,
pada saat menunggu tatalaksana lebih lanjut seperti laparotomi atau merujuk pasien
ke rumah sakit. Tamponade intrauterin dengan menggunakan balon adalah tindakan
yang tidak invasif dan tindakan yang paling cepat dan tindakan ini logis untuk
dilakukan sebagai langkah pertama bila tatalaksana menggunakan medikamentosa
gagal mengatasi perdarahan pasca persalinan.

Arulkumaran dan kawan-kawan, melakukan systematic review untuk


mengidentifikasi angka keberhasilan pada semua penelitian tentang penanganan
perdarahan pasca persalinan secara konservatif dengan menggunakan balon
tamponade intrauterin, penjahitan untuk kompresi uterus, devaskularisasi pelvis dan
embolisasi arteri. Setelah dilakukan eksklusi dari 396 publikasi, 46 penelitian
dmasukkan ke dalam systematic review ini. Dari kajian yang telah dilakukan ini,
didapatkan angka keberhasilan 90,7% untuk embolisasi arteri, 84 % untuk balon
tamponade, 91,7% untuk kompresi uterus dengan penjahitan, 84,6% untuk ligasi
arteri iliaka interna atau devaskularisasi uterus.

Penggunaan kassa gulung tamponade intrauterin dalam penanganan perdarahan pasca


persalinan terjadi penurunan setelah 1950 karena efek samping yang ditimbulkannya.
Perdarahan tersembunyi, terjadinya infeksi dan pendekatan yang tidak fisiologis saat
aplikasi, kemungkinan terjadinya trauma saat memasukkan kassa gulung ke dalam
uterus, menjadi concern utama ditinggalkannya teknik ini. Tetapi sejak dilakukan
kajian kembali pada awal 1980 dan 1990, ketakutan terjadinya efek samping seperti
di atas tidak terbukti.

Secara prinsip, tamponade intrauterin membutuhkan tekanan intrauterin yang cukup


untuk menghentikan perdarahan. Hal ini dapat dicapai dengan 2 cara:

1. Dengan cara memasukkan balon yang digembungkan didalam kavum uteri,


yang akan memenuhi semua ruang, sehingga akan tercapai tekanan intrauterin
yang lebih besar dari tekanan sistemik arteri. Apabila tidak terjadi laserasi,
perdarahan akan berhenti.
2. Dengan cara memasukkan kassa gulung sebagai tampon ke dalam uterus,
kemudian dipadatkan, yang akan menekan pembuluh darah, sehingga
perdarahan akan berkurang atau berhenti.

Tamponade uterus menggunakan kassa gulung, masih merupakan pilihan, jika balon
kateter atau balon yang lain tidak tersedia. Risiko infeksi intrauterin bisa
diminimalkan dengan antibiotik profilaksis.
Di Indonesia, kematian maternal karena perdarahan pasca persalinan masih cukup
tinggi, sehingga dibutuhkan metode yang aman, murah, mudah, tersedia di mana saja
termasuk di puskesmas, dan dapat dikerjakan oleh siapa saja, termasuk petugas
kesehatan di tingkat puskesmas untuk menangani perdarahan pasca persalinan yang
tidak berespon terhadap medikamentosa. Penggunaan misoprostol untuk tatalaksana
perdarahan

Pada saat tidak tersedia medikamentosa, kegagalan penggunaan medikamentosa, atau


adanya kontraindikasi untuk penggunaan medikamentosa, adalah penting untuk
mempunyai alternatif metode lain yang sesegera mungkin dapat dilakukan untuk
penanganan perdarahan pasca persalinan. Variasi berbagai intervensi pembedahan
dapat digunakan, seperti ligasi arteri hipogastrika, ligasi arteri uterina, ligasi arteri
ovarika dan teknik b-lynch serta modifikasinya. Semua prosedur di atas efektif untuk
menghindari histerektomi, tetapi penundaan dalam mengerjakan prosedur ini
menunjukkan prognosis yang buruk. Lagipula, prosedur ini harus dikerjakan oleh
petugas kesehatan yang terlatih, yaitu dokter ahli kebidanan dan dikerjakan minimal
di rumah sakit dengan fasilitas ruang operasi. Intervensi pembedahan ini juga bukan
merupakan intervensi awal pada kasus perdarahan pasca persalinan pada persalinan
per vaginam.

Metode Sayeba dan modifikasinya

Metode inovatif yang diperkenalkan pada tahun 1997 oleh Profesor Sayeba Akhter,
ahli kebidanan dari Bangladesh, adalah penggunaan kondom kateter hidrostatik
intrauterin untuk penanganan perdarahan pasca persalinan. Bahan yang digunakan
adalah kateter Folley no 24, kondom, blood set (set transfusi) atauinfuse set (set
infus), cairan garam fisiologis. Benang chromic atau silk untuk mengikat dan
beberapa tampon bola untuk fiksasi. Kateter Folley steril dimasukkan ke dalam
kondom, dan diiikat dengan pangkal kondom menggunakan benang silk dan ujung
luar dari kateter dihubungkan dengan infus set yang berisi cairan salin. Setelah kateter
dimasukkan ke dalam uterus, kondom digembungkan dengan 250 – 500 ml cairan
salin tergantung kebutuhan dan pada ujung luar kateter  diikat dan set infus/set
transfusi dikunci begitu perdarahan berhenti.  Intervensi ini dapat dilakukan dengan
murah, mudah, cepat dan tidak membutuhkan petugas kesehatan yang terlatih. Harga
bahan yang digunakan juga terjangkau. Harga kateter folley no 24 adalah $1,5 USD,
kondom tidak lebih dari $ 0,2 USD, set infus/set transfusi $ 1 USD. Cairan harganya
$ 0,5 USD per buah. Lain-lain tidak lebih dari $ 1 USD. Total tidak lebih dari $ 5
USD yang hampir setara dengan Rp. 50.000,00 (Lima puluh ribu rupiah). Metode ini
dinamakan ”Metode Sayeba untuk mengatasi perdarahan pasca persalinan” sesuai
dengan nama penemunya, yaitu Professor Sayeba. Pada penelitiannya, 23 pasien
dilakukan intervensi dengan kondom kateter setelah mengalami perdarahan pasca
persalinan.Dari 23 pasien tersebut, 19 (82%) pasien mengalami perdarahan pasca
persalinan primer,  4 (17%) pasien mengalami perdarahan pasca persalinan sekunder.
Dari 23 pasien tersebut, 12 (52%) mengalami syok akibat perdarahan yang hebat.
Pada kasus ini, kondom kateter segera diaplikasikan tanpa menunggu penanganan
medikamentosa terlebih dahulu. Pada kasus yang lain, masase fundus dan pemberian
uterotonika (methergin dan oksitosin, sedangkan misoprostol tidak digunakan dalam
institusi ini) gagal menghentikan perdarahan pada 10 pasien. Dan pada 1 pasien,
teknik kompresi penjahitan uterus yang dikerjakan pada pasien dengan perdarahan
pasca persalinan tidak menghentikan perdarahan. Pada kebanyakan kasus (56,5%),
kondom kateter dipasang dalam waktu 0-4 jam setelah melahirkan. Sedangkan pada
32,7% kasus, dikerjakan antara 5-24 jam setelah melahirkan. Pada 23 pasien ini,
perdarahan berhenti dalam waktu 15 menit. Dilakukan pemantauan selama 48-72
jam. Tidak ada pasien yang membutuhkan intervensi lebih lanjut, dan tidak ada
morbiditas yang serius yang ditemukan. Dibutuhkan 200-500 ml (rata-rata 336,4 ml)
larutan garam fisiologis untuk menggembungkan balon. Rata-rata 3,23 unit darah
(berkisar 2-10 unit) dibutuhkan untuk mencapai stabilitas hemodinamik. Tidak ada
pasien yang jatuh ke dalam syok yang ireversibel. Tidak ada infeksi intrauterin dilihat
dari tanda dan gejala klinis, maupun laboratoris dari kultur sensitivitas apusan vagina.

Pada tulisan ini, metode yang diperkenalkan adalah modifikasi teknik Sayeba, yang
menghilangkan komponen kateter Folley no 24, dengan alasan penggunaan kateter
dengan metode ini tidak bermakna. Kateter Folley no 24 tidak selalu ada di
puskesmas, dan penggunaan kateter Folley no 16 dan no 18 membutuhkan waktu
yang lama untuk mengalirkan cairan ke dalam kondom. Di samping itu,  biaya akan
menjadi lebih murah, karena komponen harga berkurang $1,5 USD. Sehingga total
biaya yang semula Rp. 50.000,00 berkurang hingga Rp. 35.000,00. Selain itu,  waktu
yang dibutuhkan untuk merakit metode ini menjadi lebih cepat, karena tidak perlu
menyambungkan kondom dengan set infus/set transfusi. Metode ini dinamakan
kondom hidrostatik intrauterin untuk penanganan perdarahan pasca persalinan.

Bahan yang digunakan hampir sama dengan metode Sayeba, tetapi tanpa kateter
Folley no 24. Bahan-bahannya adalah kondom, blood set (set transfusi) atau infuse
set (set infus), cairan garam fisiologis. Benang chromic atau silk atau benang tali
pusat untuk mengikat dan beberapa tampon bola untuk fiksasi. Set infus/set transfusi
yang sudah disambungkan dengan cairan, ujungnya dimasukkan ke dalam kondom,
kemudian kondom diikat pada ujung set infus/set transfusi, kemudian dimasukkan ke
dalam kavum uteri, dan kemudian digembungkan dengan mengalirkan cairan melalui
set infus/set transfusi. Kondom ini bisa digembungkan rata-rata 500 cc. Bahkan di
literatur lain, disebutkan apabila perdarahan masih terus mengalir, kondom dapat
digembungkan mencapai 2000 cc. Isu tentang kekuatan kondom ini sendiri kadang
menjadi pertanyaan. Menurut Food and Drug Administration (FDA) di Amerika
Serikat, kondom yang terjual di pasaran sudah melewati quality control, dan
memenuhi syarat karakteristik fisik yang ditentukan. Kondom minimal harus
memiliki tensile strength 15.000 pounds psa dan minimal harus bisa dilakukan
elongasi sampai dengan 625% sebelum kemudian robek atau pecah.

Kesimpulan

1. Penggunaan kondom hidrostatik tamponade intrauterin ini adalah aman,


sederhana, murah untuk menghentikan perdarahan pasca persalinan dan dapat
dijadikan pilihan utama untuk perdarahan pasca persalinan pada persalinan
pervaginam.
2. Seluruh petugas kesehatan termasuk bidan dapat melakukan teknik ini saat
menghadapi perdarahan pasca persalinan.
3. Tes tamponade menggunakan kondom hidrostatik tamponade intrauterin ini,
dapat dijadikan pilihan untuk menentukan apakah tindakan pembedahan lebih
lanjut diperlukan atau tidak.

Dibutuhkan lebih banyak kasus dan pengalaman apabila teknik ini akan digunakan
sebagai praktek rutin

2.      IUD POST PLACENTA

a.            Latar Belakang

Masalah kematian dan kesakitan ibu di Indonesia masih merupakan masalah besar.
Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), angka kematian ibu
(AKI) di Indonesia telah berhasil diturunkan dari angka 307 per 100.000 kelahiran
hidup pada tahun 2002/2003 menjadi 270 pada tahun 2004, 262 pada tahun 2005, dan
248 pada tahun 2007. Akan tetapi apabila dilihat dari angka target Millennium
Development Goals (MDG’s) 2015 yakni 102 per 100.000 kelahiran hidup, maka
AKI saat ini masih belum memenuhi target atau perlu diturunkan lagi. Terlebih bila
dibandingkan dengan AKI di negara-negara ASEAN, AKI di Indonesia 3-6 kali lipat
jumlahnya. Sedangkan bila dibandingkan dengan AKI di Negara maju, jumlah AKI di
Indonesia 50 kali lipatnya. (Depkes RI, 2009 )

Oleh karena itu upaya penurunan AKI serta peningkatan derajat kesehatan ibu tetap
merupakan salah satu prioritas utama dalam penanganan bidang kesehatan.
Departemen Kesehatan pada tahun 2000 telah menyusun Rencana Strategis (Renstra)
jangka panjang dalam upaya penurunan angka kematian ibu dan kematian bayi baru
lahir. Dalam Renstra ini difokuskan pada kegiatan yang dibangun atas dasar sistem
kesehatan yang mantap untuk menjamin pelaksanaan intervensi dengan biaya yang
efektif berdasarkan bukti ilmiah yang dikenal dengan nama “Making Pregnancy
Safer (MPS)”. Strategi MPS ini mengacu pada 3 pesan kunci yaitu : 1) Setiap
persalinan ditolong oleh tenaga bidan terlatih, 2) Setiap komplikasi obstetrik neonatal
mendapat pelayanan yang adekuat, dan 3) Setiap wanita usia subur dapat akses
terhadap pencegahan kehamilan serta penanganan aborsi yang tidak aman. (Depkes
RI, 2009 )

Salah satu program untuk menurunkan angka kematian ibu dan menekan angka
pertumbuhan penduduk yakni melalui program Keluarga Berencana (KB). Program
KB memiliki peranan dalam menurunkan resiko kematian ibu melalui pencegahan
kehamilan, penundaan usia kehamilan serta menjarangkan kehamilan dengan sasaran
utama adalah Pasangan Usia Subur (PUS). Sesuai dengan tuntutan perkembangan
program, maka program KB telah berkembang menjadi gerakan Keluarga Berencana
Nasional yang mencakup gerakan masyarakat. Gerakan Keluarga Berencana Nasional
disiapkan untuk membangun keluarga sejahtera dalam rangka membangun sumber
daya manusia yang optimal, dengan ciri semakin meningkatnya peran serta
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan untuk mendapatkan pelayanan KB. Salah
satu strategi dari pelaksanaan program KB sendiri seperti tercantum dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2004-2009 adalah meningkatnya
penggunaan metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP) seperti IUD (Intra Uterine
Device), implant (susuk) dan sterilisasi. IUD merupakan salah satu jenis alat
kontrasepsi non hormonal dan termasuk alat kontrasepsi jangka panjang yang ideal
dalam upaya menjarangkan kehamilan. Keuntungan pemakaian IUD yakni hanya
memerlukan satu kali pemasangan untuk jangka waktu yang lama dengan biaya yang
relatif murah, aman karena tidak mempunyai pengaruh sistemik yang beredar ke
seluruh tubuh, tidak mempengaruhi produksi ASI dan kesuburan cepat kembali
setelah IUD dilepas. (BKKBN, 2009 )

Menurut Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI 2007), bahwa kontrasepsi


yang banyak digunakan adalah metode suntik (31,8%), pil (13,2%), AKDR (4,9%),
MOW (3%), kondom (1,3%), dan MOP (0,2%). Dapat dilihat bahwa presentase
peserta KB MKJP masih tergolong rendah yang berarti pencapaian target program
dan kenyataan di lapangan masih berjarak lebar. Bahkan prevalensi peserta AKDR
menurun selama 20 tahun terakhir, dari 13 % pada tahun 1991 menjadi 5 % pada
tahun 2007. (BPS,2009)

Berbagai Usaha di bidang gerakan KB sebagai salah satu kegiatan pokok


pembangunan keluarga sejahtera telah di lakukan baik oleh pemerintah, swasta,
maupun masyarakat sendiri. Salah satunya dengan Mensosialisasikan metode
kontrasepsi terkini IUDPost Placenta oleh BKKBN. Metode IUD Post
Placenta mempunyai keuntungan tersendiri, selain pemasanganya lebih efektif karena
dilakukan setelah plasenta lahir sekaligus mengurangi angka kesakitan Ibu. Pada
hasil expert meeting tahun 2009 dikatakan bahwa penggunaan IUD  post
placenta dan post abortus perlu terus digalakkan karena sangat efektif, mengingat
angka kelahiran rata-rata 4.000.000 per tahun (BKKBN, 2010).

Data dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tahun 2007 peserta KB baru
sebesar 8,75% dan belum sesuai target Nasional. Di kota Yogyakarta sendiri, jumlah
akseptor alat kontrasepsiIntrauterine Device (IUD) baru  sebanyak 22,98 % atau
9.565 orang dari jumlah total akseptor sebanyak 31.872 orang. Jumlah yang tergolong
rendah dan menduduki peringkat kedua terbawah sebelum kabupaten Bantul (22,77
%) (Profil Dinas Kesehatan DIY, 2010).

b.            Pengertian

IUD post plasenta adalah IUD yang dipasang dalam waktu 10 menit setelah lepasnya
plasenta pada persalinan pervaginam (EngenderHealth, 2008).

c.             Cara Kerja

IUD yang dipasang setelah persalinan selanjutnya juga akan berfungsi seperti IUD
yang dipasang saat siklus menstruasi. Pada pemasangan IUD post plasenta, umumnya
digunakan jenis IUD yang mempunyai lilitan tembaga yang menyebabkan terjadinya
perubahan kimia di uterus sehingga sperma tidak dapat membuahi sel telur.

d.            Jenis

Ada 3 macam IUD yang biasanya digunakan yaitu Copper T 380A, Multiload Copper
375, dan IUD dengan levonorgestrel. IUD jenis Copper T 380A sangat banyak
tersedia dan pada program pilihan KB Pascapersalinan, jenis IUD Copper T 380A ini
paling banyak digunakan karena selain karakteristiknya yang baik, harga IUD jenis
ini juga lebih terjangkau dibanding dengan jenis IUD yang lain. IUD dengan
levonorgestrel (misal Mirena) belum terlalu banyak tersedia dan jika tersedia
harganya mahal, dan IUD jenis ini biasanya tidak direkomendasikan sebagai IUD
post partum (Category 3 in WHO’s medical eligibility criteria, 2010).

e.             Efektivitas

Efektivitas sangat tinggi. Tiap tahunnya 3-8 wanita mengalami kehamilan dari 1000
wanita yang menggunakan IUD jenis Copper T 380A. Kejadian hamil yang tidak
diinginkan pada pasca insersi IUD post plasenta sebanyak 2.0 – 2.8 per 100 akseptor
pada 24 bulan setelah pemasangan. Setelah 1 tahun, penelitian menemukan angka
kegagalan IUD post plasenta 0.8 %, dibandingkan dengan pemasangan setelahnya.
Sesuai dengan kesepakatan WHO, IUD dapat dipakai selama 10 tahun walaupun pada
kemasan tercantum efektifitasnya hanya 4 tahun (BKKBN, 2010).
f.              Keuntungan

1)    Langsung bisa diakses oleh ibu yang melahirkan di pelayanan kesehatan

2)    Efektif dan tidak berefek pada produksi menyusui

3)    Aman untuk wanita yang positif menderita HIV

4)    Kesuburan dapat kembali lebih cepat setelah pelepasan

5)    Resiko terjadi infeksi rendah yaitu dari 0,1-1,1 %

6)    Kejadian perforasi rendah yaitu sekitar 1 kejadian perforasi dari jumlah  populasi
1150 sampai 3800 wanita

7)    Mudah dilakukan pada wanita dengan epidural

8)    Sedikit kasus perdarahan daripada IUD yang dipasang di waktu menstruasi

g.            Kelemahan

Angka keberhasilannya ditentukan oleh waktu pemasangan, tenaga kesehatan yang


memasang, dan teknik pemasangannya. Waktu pemasangan dalam 10 menit setelah
keluarnya plasenta memungkinkan angka ekspulsinya lebih kecil ditambah dengan
ketersediaan tenaga kesehatan yang terlatih (dokter atau bidan) dan teknik
pemasangan sampai ke fundus juga dapat meminimalisir kegagalan pemasangan.

h.            Efek Samping dan Komplikasi

1)   Ekspulsi

Angka kejadian ekspulsi pada IUD sekitar 2-8 per 100 wanita pada tahun pertama
setelah pemasangan. Angka kejadian ekspulsi setelah post partum juga tinggi, pada
insersi setelah plasenta lepas kejadian ekspulsi lebih rendah daripada pada insersi
yang dilakukan setelahnya. Gejala ekspulsi antara lain kram, pengeluaran per
vagina, spotting atau perdarahan, dan dispareni.

2)   Kehamilan

Kehamilan yang terjadi setelah pemasangan IUD post plasenta terjadi antara 2.0-2.8
per 100 akseptor pada 24 bulan.  Setelah 1 tahun, studi menyatakan angka
kegagalannya 0,8 % dibandingkan dengan pemesangan IUD saat menstruasi.
3)   Infeksi

Prevalensi infeksi cenderung rendah yaitu sekitar 0,1 % sampai 1,1 %.

4)   Perforasi

Perforasi rendah yaitu sekitar 1 kejadian perforasi dari jumlah populasi 1150 sampai
3800 wanita.

i.              Kontraindikasi pemasangan

1)  Ruptur membrane yang lama (lebih dari 24 jam)

2)  Demam atau ada gejala PID

3)  Perdarahan antepartum atau post partum yang berkelanjutan setelah bayi lahir

4)  Gangguan pembekuan darah, misal DIC yang disebabkan oleh pre eklampsi atau
eklampsi

5)  Perdarahan pervagina yang belum diketahui sebabnya

6)  Penyakit tropoblas dalam kehamilan (jinak atau ganas)

7)  Abnormal uterus

8)  Adanya dugaan kanker uterus (TBC pelvic)

9)  AIDS Tanpa Terapi Antiretrovira

3.      PERBANDINGAN TEHNIK PEMASANGAN ALAT KONTRASEPSI


DALAM RAHIM SETELAH PLASENTA LAHIR

Pemasangan alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) setelah plasenta lahir merupakan
waktu yang ideal karena adanya motivasi yang tinggi terhadap kontrasepsi serta
memudahkan ibu dan tenaga medis selain itu, AKDR tidak mempengaruhi laktasi.
Pemasangan AKDR setelah plasenta lahir menjadi penting di negara berkembang
karena banyak wanita yang tidak memeriksakan diri ke tenaga medis sampai
persalinan selanjutnya. Masalah yang dihadapi adalah masih rendahnya angka
pemasangan AKDR setelah plasenta lahir serta tehnik pemasangannya serta masih
ada ketakutan tentang masalah perforasi uterus, ekspulsi, infeksi, nyeri  dan
perdarahan post partum setelah pemasangan.
Angka ekspulsi pada 6 bulan evaluasi adalah 13,3 dan 12,7 per 100 wanita pada
insersi dengan tangan dan insersi dengan forceps berturut-turut. Penghentian
pemakaian AKDR karena perdarahan dan nyeri adalah 2,1 dan 1,0 per 100 wanita
pada kedua kelompok. Tidak ada perbedaan yang bermakna secara statistik (p< 0,05).
Tidak ada perforasi uterus, infeksi dan kehamilan. Terdapat perbedaan yang
signifikan pada angka ekspulsi sebagian dan total pada pemasangan setelah plasenta
lahir dan setelah post partum dibandingkan pemasangan interval dimana ekspulsi
sebagian terjadi sebanyak 22,6%, 51,2% dan 3,1% berturut-turut. Ekspulsi total
sebanyak 14,3%, 18,6% dan 3,8% berturut-turut.Tidak ada perbedaan antara kedua
teknik pemasangan AKDR sesaat plasenta lahir dilihat dari angka ekspulsi,
perdarahan dan nyeri. Pemasangan AKDR sesaat setelah plasenta lahir merupakan
prosedur yang aman dan efektif dengan kejadian perforasi uterus, infeksi, nyeri dan
perdarahan post partum yang tidak jauh berbeda dengan pemasangan AKDR setelah
melahirkan dan interval. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan
penyebab masih tingginya angka ekspulsi pada pemasangan AKDR sesaat setelah
plasenta lahir serta bagaimana mengurangi angka tersebut.

Awal masa nifas yaitu waktu antara persalinan sampai pasien diperbolehkan pulang
merupakan waktu yang tepat untuk memulai kontrasepsi dimana wanita memiliki
motivasi yang tinggi untuk memakai kontrasepsi dan mungkin hanya ini waktu
bertemu langsung dengan tenaga medis. Pada waktu antara persalinan sampai pasien
pulang, tenaga medis dapat secara langsung memberikan konseling tentang
kontrasepsi dan memberikan informasi yang diperlukan bagi ibu sehingga ibu dapat
menentukan pilihannya.

Dilema yang dihadapi program keluarga berencana (KB) post partum bukanlah
mentode kontrasepsi yang digunakan tapi kapan harus kita berikan kontrasepsi.
Dilema yang sering timbul adalah status laktasi pasien. AKDR yang sebagian beredar
sekarang ini tidak mempemgaruhi laktasi sehingga sangat cocok digunakan pada KB
post partum.

AKDR post partum masih belum banyak digunakan dikarenakan masih kurangnya
sosialisasi tentang hal ini serta masih ada ketakutan tentang terjadinya komplikasi
seperti perforasi uterus, infeksi, perdarahan dan nyeri selain itu tidak semua tenaga
medis sudah terlatih dengan tehnik ini.

DEFINISI

Pemasangan AKDR berdasarkan waktu pemasangan dapat dibagi menjadi :

1. Immediate postplacental insertion (IPP) yaitu AKDR dipasang dalam waktu


10 menit setelah plasenta dilahirkan
2. Early postpartum insertion (EP) yaitu AKDR dipasang antara 10 menit
sampai dengan 72 jam postpartum
3. Interval insertion (INT)  yaitu AKDR dipasang setelah 6 minggu postpartum.

Pemasangan AKDR dalam 10 menit setelah plasenta lahir dapat dilakukan dengan 2
cara:

1. Dipasang dengan tangan secara langsung

Setelah plasenta dilahirkan dan sebelum perineorafi, pemasang melakukan kembali


toilet vulva dan mengganti sarung tangan dengan yang baru. Pemasang memegang
AKDR dengan jari telunjuk dan jari tengah kemudian dipasang secara perlahan-lahan
melalui vagina dan servik sementara itu tangan yang lain melakukan penekanan pada
abdomen bagian bawah dan mencengkeram uterus untuk memastikan AKDR
dipasang di tengah-tengah yaitu di fundus uterus. Tangan pemasang dikeluarkan
perlahan-lahan dari vagina. Jika AKDR ikut tertarik keluar saat tangan pemasang
dikeluarkan dari vagina atau AKDR belum terpasang di tempat yang seharusnya,
segera dilakukan perbaikan posisi AKDR.

1. Dipasang dengan ring forceps

Prosedur pemasangan dengan AKDR menggunakan ring forceps hampir sama


dengan pemasangan dengan menggunakan tangan secara langsung akan tetapi AKDR
diposisikan dengan menggunakan ring forceps,  bukan dengan tangan.

4.      Test Kehamilan Baru Dengan USB


Saat ini semakin mudah saja melakukan uji kehamilan, alat ini adalah alat tes
kehamilan berupa USB yang terhubung dengan komputer.

Cara kerjanya mirip dengan alat tes kehamilan yang selama ini mudah ditemui di toko
obat. Hanya saya, stik yang digunakan untuk tes urin dapat dihubungkan ke USB port
di komputer. Teteskan sampel urin pada stik di salah satu ujung USB. Kemudian,
tancapkan ujung lainnya ke USB port di komputer Anda. Selanjutnya, kecanggihan
komputer akan menganalisa kandungan hormon dalam urin Anda.

Setelah USB tertancap, komputer akan menganalisa urin Anda dengan memunculkan
grafik mengenai kandungan Anda. Bahkan, alat ini juga dapat menganalisa waktu
kesuburan, yang penting bagi perempuan yang ingin mempercepat atau menunda
kehamilan. Dengan tingkat keakuratan sekitar 99 persen, alat ini dijual seharga US$
18 atau sekitar Rp 180.000.
DAFTAR PUSTAKA

http://bidanhana.blogspot.com

http://doktergokilsaja.blogspot.com

http://ratnaramdhani32.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai