Anda di halaman 1dari 24

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masa balita merupakan masa yang tergolong rawan dalam pertumbuhan dan

perkembangan anak karena pada masa ini anak mudah sakit dan mudah terjadi kurang

gizi (Soetjiningsih, 1995). Pada masa ini anak mulai melakukan aktivitas dengan

intensitas tinggi dan biasanya anak mulai susah makan akan tetapi hanya suka pada

makanan jajanan yang gizinya tidak baik. Asupan makanan anak sangat penting

diperhatikan Karena hingga anak berumur dua tahun, anak masih mengalami

perkembangan otak (Hardinsyah, 1992).

Pada masa balita ini perkembangan kemampuan berbahasa, kreativitas, kesadaran

sosial, emosional, dan intelegensia berjalan sangat cepat dan merupakan landasan

perkembangan berikutnya. Perkembangan moral serta dasar-dsar kepribadian juga

dibentuk pada masa ini (Soetjiningsih, 1995). Oleh karena itu, asupan makanan yang

baik akan membantu pertumbuhan dan perkembangan otak dan tubuh secara umum

(Hardinsyah, 1992). Menurut pengkajian di berbagai Negara menunjukkan bahwa anak-

anak yang pernah menderita gizi kurang, kurang berkemampuan dalam tes mental di

kemudian hari dibandingkan dengan anak yang bergizi baik (Berg, 1986). Oleh karena

itu gizi yang diperoleh seorang anak melalui konsumsi makanan setiap hari berperan

besar untuk kehidupan anak tersebut (Santoso, dkk, 1999).


Anak balita merupakan kelompok umur yang paling sering menderita kekurangan

gizi disebabkan oleh, Pertama, kondisi anak balita adalah dalam periode transisi dari

makanan bayi ke makanan orang dewasa, jadi masih memerlukan adaptasi. Kedua, anak

balita sering kali tidak lagi begitu diperhatikan dan pengurusannya sering diserahkan

kepada orang lain seperti saudara terlebih jika ibu mempunyai anak lain yang lebih

kecil. Ketiga, anak balita belum mampu mengurus dirinya sendiri dalam hal makanan

sedangkan ia tidak begitu diperhatikan lagi oleh kedua orang tuanya, akibatnya

kebutuhan tidak dapat terpenuhi. Keempat, anak balita mulai bermain dan bergerak lebih

luas dan mulai bermain di lantai yang keadaannya belum tentu memenuhi syarat

kebersihan, sehingga anak balita sangat besar kemungkinan terkena kotoran dan dapat

menyebabkan anak balita terkena penyakit akibat infeksi (Santoso, 1999)

Makanan memegang peranan penting dalam tumbuh kembang anak, dimana

kebutuhan anak berbeda dengan orang dewasa, karena makanan bagi anak dibutuhkan

juga untuk pertumbuhan, dimana dipengaruhi oleh ketahanan makanan keluarga

(Soetjiningsih, 1995). Umumnya anak balita diderita penyakit gizi kurang dan gizi lebih

yang disebut gizi salah (malnutrition). Yang menonjol adalah kurang kalori dan kurang

protein dan kekurangan vitamin A, zat besi, vitamin dan mineral lainnya (Santoso,

1999).

Masalah gizi adalah gangguan pada beberapa segi kesejahteraan perorangan dan

atau masyarakat yang disebabkan oleh tidak terpenuhinya kebutuhan akan zat gizi yang

diperoleh dari makanan. Masalah gizi berkaitan erat dengan masalah pangan,

kemiskinan, rendahnya pendidikan,dapat dan kepercayaan merupakan faktor-faktor


penyebab rawan pangan. Kurang energi protein merupakan masalah gizi kurang akibat

konsumsi pangan tidak cukup mengandung energi dan protein serta karena gangguan

kesehatan (Baliwati, 2004).

Malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil yang saling mempengaruhi

dan interaksi beberapa faktor fisik, biologi, dan lingkungan budaya (Supariasa, 2002).

Ada enam faktor ekologi yang harus dipertimbangkan sebagai penyebab malnutrisi,

yaitu keadaan infeksi, produksi pangan, konsumsi makanan, pengaruh budaya,

pelayanan kesehatan dan pendidikan serta faktor sosial ekonomi (Jelliffe, 1996 dalam

Supariasa, 2002).

Keadaan sosial ekonomi suatu keluarga sangat mempengaruhi tercukupi atau

tidaknya kebutuhan primer, sekunder, serta perhatian dan kasih sayang yang akan

diperoleh anak. Hal tersebut tentu berkaitan erat dengan pendapatan keluarga, jumlah

saudara dan pendidikan orang tua (Supariasa, 2002). Di negara-negara berkembang,

orang dengan status ekonomi rendah akan lebih banyak membelanjakan pendapatanya

untuk makan. Dan bila pendapatanya bertambah biasanya mereka akan menghabiskan

sebagian besar pendapatannya untuk menambah makanan. Dengan demikian,

pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kuantitas dan kualitas makanan

(Berg, 1986).

Faktor sosial ekonomi mencakup data sosial seperti keadaan penduduk suatu

masyarakat, keadaan keluarga, pendidikan, keadaan perumahan. Sedangkan data

ekonomi meliputi pekerjaan, pendapatan, kekayaan, pengeluaran dan harga makanan

yang tergantung pada pasar dan variasi musim (Supariasa, 2002). Dari faktor-faktor
diatas diharapkan dapat menggambarkan status gizi balita pada keluarga. Berdasarkan

penelitian yang dilakukan oleh Yunida E, pada tahun 2005 di Medan menyatakan bahwa

ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan ibu, dan status pekerjaan ibu

dengan BB/U anak, sedangkan hal tersebut tidak mempunyai hubungan yang signifikan

terhdap TB/U dan BB/TB. Tingkat pendapatan mempunyai hubungan yang signifikan

terhdap BB/TB anak.

Pengasuhan merupakan faktor yang erat kaitannya dengan pertumbuhan dan

perkembangan anak balita. Masa anak usia balita adalah masa di mana anak masih

sangat membutuhkan suplai makanan dan gizi dalam jumlah yang cukup dan memadai.

Kekurangan gizi pada masa ini dapat menyebabkan gangguan tumbuh kembang secara

fisik, mental, sosial dan intelektual yang sifatnya menetap dan dibawa terus sampai

dewasa (Santoso, 2005).

Gizi kurang merupakan salah satu masalah gizi utama pada anak balita di

Indonesia. Di Indonesia prevalensi gizi buruk pada anak balita menurut BB/U pada

tahun 2002 adalah 8,0% dengan jumlah anak balita 18.369.952 orang dan meningkat

pada tahun 2003 yaitu 8,3% dengan jumlah anak balita 18.608.762 orang (Hayatinur. E,

2006). Berdasarkan Hasil Susenas, di Sumatera Utara prevalensi gizi kurang pada tahun

2000 sebesar 17,32%, tahun 2003 sebesr 18,39% dan pada tahun 2005 sebesar 18,20%.

Sedangkan prevalensi gizi buruk pada tahun 2000 yaitu sebesar 9,16% pada tahun 2003

sebesar 12,35% pada tahun 2005 sebesar 10,50% (Dinkes, 2006).

Wilayah kerja Puskesmas Pantai Cermin Kabupaten Langkat membawahi 19

(sembilan belas) desa. Puskesmas terletak pada Desa Pantai cermin. Kecamatan Tanjung
Pura merupakan daratan rendah yang di apit 2 (dua) sungai besar sehingga rentan

terhadap banjir, pekerjaan penduduk yang terbanyak saat ini adalah pada sektor

pertanian. Jumlah penduduk ekonomi rendah pada daerah ini adalah sebanyak 2.582

kepala kelurga, tingkat ekonomi menengah kebawah adalah sebanyak 3.645 kepala

keluarga, tingkat ekonomi menengah keatas adalah sebanyak 7.097 kepala keluarga

(Eskpose Kecamtan Tanjung Pura tahun 2007). Pada tahun 2006 di Kabupaten Langkat

terdapat 24% anak dengan status gizi buruk (Siswono, 2007). Data yang diperoleh

berdasarkan hasil penilaian status gizi tahun 2007 anak balita yang ada di wilayah kerja

Puskesmas Pantai Cermin adalah sebanyak 1678 anak balita. Dari jumlah tersebut anak

balita yang menderita gizi kurang adalah sebanyak 272 (16,21%) anak balita dan yang

menderita gizi buruk sebanyak 77 (4,60%) anak balita penilaian dilakukan berdasarkan

indeks berat badan menurut umur (BB/U).

Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik meneliti mengenai status sosial ekonomi

keluarga dan status gizi balita di wilayah Puskesmas Pantai Cermin Kecamatan Tanjung

Pura Kabupaten Langkat.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah

apakah ada hubungan status sosial ekonomi kelurga dengan status gizi balita di

Puskesmas Pantai Cermin Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat Tahun 2008.
C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan tingkat sosial ekonomi keluarga dengan status gizi

balita di Puskesmas Pantai Cermin Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat

tahun 2008.

2. Tujuan Khusus

a). Mengetahui gambaran sosial ekonomi keluarga balita di wilayah kerja Puskesmas

Pantai Cermin Kecamatan Tanjung Pura yang meliputi tingkat pendidikan ibu,

status pekerjaan ibu dan pendapatan keluarga.

b). Mengetahui gambaran status gizi anak balita menurut indeks BB/U, TB/U, dan

BB/TB.

c). Mengetahui hubungan tingkat pendidikan ibu dengan status gizi anak balita.

d). Mengetahui hubungan status pekerjaan ibu dengan status gizi anak balita.

e). Mengetahui hubungan tingkat pendapatan keluarga dengan status gizi anak balita.

f). Menggambarkan hubungan pola asuh ibu dengan status gizi anak balita.

D. Manfaat Penelitian

Sebagai bahan informasi atau masukan bagi Puskesmas Pantai Cermin Tanjung Pura

Langkat dan orang tua akan status gizi balita.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

AMasalah Gizi Pada Anak Balita

Masa balita merupakan periode penting dalam tumbuh kembang anak. Akan tetapi

pada masa ini anak balita merupakan kelompok yang rawan gizi. Hal ini disebabkan pada

masa ini anak cenderung susah untuk makan dan hanya suka pada jajanan yang kandungan

zat gizinya tidak baik (Hardinsyah, 1992).

Pada masa balita juga terjadi pertumbuhan dan perkembangan sehingga anak mudah

sakit dan terjadi kekurangan gizi. Karena pada masa ini pertumbuhan dasar yang akan

mempengaruhi dan menentukan perkembangan anak selanjutnya. Pada masa balita ini

perkembangan kemampuan berbahasa, kreativitas, kesadaran sosial, emosional dan

intelegensia berjalan sangat cepat dan merupakan landasan perkembangan berikutnya.

Perkembangan modal serta dasar-dasar kepribadian juga dibentuk pada masa ini. Sehingga

setiap penyimpangan sekecil apapun apabila tidak ditangani dengan baik akan mengurangi

kualitas sumber daya manusia kelak kemudian hari (Soetjiningsih, 1995).

Penilaian status gizi golongan rawan dapat memberikan informasi penting tetang

keadaan gizi suatu masyarakat pada saat sekarang maupun masa lampau. Gizi kurang pada

anak dapat membuat anak menjadi kurus, pertumbuhan terhambat. Hal ini terjadi karena
kurang protein (zat pembangun) dan kurang tenaga yang diperoleh dari makanan anak.

Tenaga anak diperlukan dalam membangun badannya yang tumbuh secara pesat. (Roedjito

D. 1989).

Menurut Roedjito D (1989), alasan mengapa mengatasi dan mencegah gizi kurang

pada anak merupakan masalah besar yang perlu diperhatikan adalah gizi kurang pada

Universitas Sumatera Utara


anak mempengaruhi pertumbuhan otak anak yang dapat menjadi hambatan dalam

proses belajar. Anak yang terkena kwasiokor kelihatan gemuk tapi kurang sehat, mukanya

gemuk seperti bulan, kaki bengkak karena odema, perut buncit tapi bahu dan lengan atas

kurus. Kulit mudah terkelupas, rambut pucat anak terlihat muram. Sedangkan marasmus

yang berarti kelaparan adalah dimana anak tidak mendapatkan makanan yang cukup dari

jenis pangan manapun, baik protein maupun zat pemberi tenaga. Anak yang sangat kurus

itu sering hanya separuhnya saja dari berat sehat sesuai umur. Anak memiliki wajah seperti

orang tua, kepala tampak besar karena badan kurus dan kecil, tangan dan kakinya kurus dan

tulang rusuk anak telrihat nyata.

2.2. Penyebab Gizi Kurang pada Balita

UNICEF (1988) telah mengembangkan kerangka konsep makro sebagai salah satu

strategi untuk menanggulangi masalah kurang gizi. Dalam kerangka tersebut ditunjukkan

bahwa masalah gizi kurang dapat disebabkan oleh makanan dan penyakit dapat secara

langsung menyebabkan gizi kurang. Timbulnya gizi kurang tidak hanya karena asupan

makanan yang kurang, tetapi juga penyakit. Anak yang cukup mendapatkan makanan tetapi

sering menderita sakit, pada akhirnya dapat menderita gizi kurang. Demikian pula pada

anak yang tidak memperoleh cukup makan, maka daya tahan tubuhnya akan melemah dan

akan mudah terserang penyakit.

2.3. Status Sosial Ekonomi Kelurga

Keadaan sosial ekonomi keluarga merupakan salah satu faktor yang menentukan

jumlah makanan yang tersedia dalam keluarga sehingga turut menentukan status gizi

keluarga tersebut. Yang termasuk dalam faktor sosial adalah (Supariasa, 2002):
a. Keadaan penduduk suatu masyarakat

Universitas Sumatera Utara


b. Keadaan keluarga.

c. Tingkat pendidikan orang tua

d. Keadaan rumah

Sedangkan data ekonomi dari faktor sosial ekonomi meliputi :

a. Pekerjaan orang tua.

b. Pendapatan keluarga.

c. Pengeluaran keluarga.

d. Harga makanan yang tergantung pada pasar dan variasi musim

Banyak faktor sosial ekonomi yang sukar untuk dinilai secara kuantitatif, khususnya

pendapatan dan kepemilikan (barang berharga, tanah, ternak) karena masyarakat enggan

untuk membicarakannya kepada orang yang tidak dikenal, termasuk ketakutan akan pajak

dan perampokan. Tingkat pedidikan termasuk dalam faktor sosial ekonomi karena tingkat

pendidikan berhubungan dengan status gizi yaitu dengan meningkatkan pendidikan

kemungkinan akan dapat meningkatkan pendapatan sehingga meningkatkan daya beli

makanan untuk mencukupi kebutuhan gizi keluarga (Achadi, 2007).

Kurangnya pemberdayaan keluarga dan pemanfatan sumber daya masyarakat

mempengaruhi faktor sosial ekonomi keluarga, termasuk kurangnya pemberdayaan wanita

dan tingkat pendidikan dan pengetahuan orang tua khususnya ibu dalam mengasuh anaknya
juga termasuk faktor sosial ekonomi yang akan mempengaruhi status gizi keluarga (Arifin.

T, 2005).

Universitas Sumatera Utara


2.3.1. Pendapatan Keluarga

Pendapatan keluarga mempengaruhi ketahanan pangan keluarga. Ketahanan pangan

yang tidak memadai pada keluarga dapat mengakibatkan gizi kurang. Oleh karena itu,

setiap keluarga diharapkan mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota

keluarganya. Akan tetapi menurut penelitian yang dilakukan oleh Masdiarti (2000) di

Kecamatan Hamparan Perak, yang meneliti pola pengasuhan dan status gizi anak balita

ditinjau dan krakteristik pekerjaan ibu, memperlihatkan hasil bahwa anak yang berstatus

gizi baik banyak ditemukan pada ibu bukan pekerja (43,24%) dibandingkan dengan

kelompok ibu pekerja (40,54%) dan ibu yang tidak bekerja mempunyai waktu yang lebih

banyak dalam mengasuh anaknya.

2.3.2. Tingkat Pendidikan Ibu

Tingkat pendidikan dalam keluarga khususnya ibu dapat menjadi faktor yang

mempengaruhi status gizi anak dalam keluarga. Semakin tinggi pendidikan orang tua maka

pengetahuannya akan gizi akan lebih baik dari yang berpendidikan rendah. Salah satu

penyebab gizi kurang pada anak adalah kurangnya perhatian orang tua akan gizi anak. Hal

ini disebabkan karena pendidikan dan pengetahuan gizi ibu yang rendah. Pendidikan formal

ibu akan mempengaruhi tingkat pengetahuan gizi, semakin tinggi pendidikan ibu, maka

semakin tinggi kemampuan untuk menyerap pengetahuan praktis dan pendidikan formal

terutama melalui masa media. Hal serupa juga dikatakan oleh L. Green, Rooger yang

menyatakan bahwa makin baik tingkat pendidikan ibu, maka baik pula keadaan gizi

anaknya (Berg, 1986).

Universitas Sumatera Utara


2.3.3. Status Pekerjaan Ibu

Ibu-ibu yang bekerja dari pagi hingga sore tidak memiliki waktu yang cukup bagi

anak-anak dan keluarga (Berg, 1986). Dalam hal ini ibu mempunyai peran ganda yaitu

sebagai ibu rumah tangga dan wanita pekerja. Walaupun demikian ibu dituntut tanggung

jawabnya kepada suami dan anak-anaknya, khususnya memelihara anak (Singarimbun,

1988). Keadaan yang demikian dapat memengaruhi keadaan gizi keluarga khususnya anak

balita dan usia sekolah. Ibu-ibu yang bekerja tidak mempunyai cukup waktu untuk

memperhatikan makanan anak yang sesuai dengan kebutuhan dan kecukupan serta kurang

perhatian dan pengasuhan kepada anak (Berg. 1986).

2.4. Pola Asuh Ibu

Pola pengasuh merupakan cara orang tua dalam mendidik anak dan membesarkan

anak dipengaruhi oleh banyak faktor budaya, agama, kebiasaan dan kepercayaan, serta

kepribadian orang tua (orang tua sendiri atau orang yang mengasuh anak) (Nadesul, 1995).

Pengasuhan merupakan faktor yang sangat erat kaitnnya dengan pertumbuhan dan

perkembangan anak berusia di bawah lima tahun. Masa anak usia 1-5 tahun (balita) adalah

masa dimana anak masih sangat membutuhkan suplai makanan dan gizi dalam jumlah yang

memadai. Pada masa ini juga, anak-anak masih sangat tergantung pada perawatan dan

pengasuhan ibunya. Oleh karena itu pengasuhan kesehatan dan makanan pada tahun

pertama kehidupan sangat penting untuk perkembangan anak (Santoso, 2005),

Seorang ibu memegang peranan penting dalam pengasuhan anaknya. Pola

pengasuhan pada tiap ibu berbeda karena dipengaruhi oleh faktor yang mendukungnya,
antara lain : latar bekang pendidikan ibu, pekerjaan ibu, jumlah anak dan sebagiannya.

Banyak penyelidik berpendapat bahwa status pendidikan ibu sangat berpengaruh

Universitas Sumatera Utara


terhadap kualitas pengasuhannya. Pendidikan ibu yang rendah masih sering ditemui,

semua hal tersebut sering menyebabkan penyimpangan terhadap keadaan tumbuh kembang

dan status gizi anak terutama pada anak usia balita (Sudiyanto dan Sekartini, 2005).

2.5. Penilaian Status Gizi Anak Balita

2.5.1. Antropometri

Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Jika ditinjau dari sudut

pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran

dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur. Penggunaan antropometri

sebagai alat ukur status gizi semakin mendapat perhatian karena dapat digunakan secara

luas dalam program-program perbaikan gizi di masyarkat. Dalam menilai status gizi anak

balita dapat digunakan indikator antropmetri. Indeks antropometri yang umum digunakan

dalam menilai status gizi adalah berat badan menurut umur (BB/U) tinggi badan menurut

umur (TB/U) dan beran badan menurut tinggi badan (BB/TB). Indeks BB/U adalah

pengukuran total berat badan temasuk air, lemak, tulang dan otot. Indeks tinggi badan

menurut umur adalah pertumbuhan linier (Supariasa, 2002).

2.5.1.1. Berat Badan Menurut Umur (BB/U)

Berat badan merupakan salah satu parameter yang memberikan gambaran masa

tubuh. Masa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan yang mendadak, misalnya karena

terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan

yang dikonsumsi. Berat badan adalah parameter antroprometri yang sangat labil. Dalam

keadaan normal dimana kesehatan baik, keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan gizi

terjamin maka berat badan berkembang mengikuti pertumbuhan umur. Sebaliknya dalam
keadaan abnormal, terdapat dua kemungkinan perkembangan, yaitu dapat berkembang

cepat atau lebih lambat. Berdasarkan karakteristik berat badan ini, maka indeks berat badan

menurut umur digunakan sebagai salah satu cara pengukuran status gizi. Mengingat

karakteristik berat badan, maka indeks BB/U menggmbarkan status gizi seseroang saat ini.

1. Kelebihan Indeks BB/U a. Lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh

masyarakat umum

b. Baik untuk status gizi akut atau kronis

c. Sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan kecil

d. Dapat mendeteksi kegemukan.

2. Kelemahan Indeks BB/U a. Di daerah pedesaan yang masih terpencil dan

tradisional, umur sering sulit di taksir secara tepat karena pencatatan umur yang

belum baik.

b. Memerlukan data umur yang akurat, terutama untuk anak di bawah usia lima

tahun.

c. Sering terjadi kesalahan dalam pengukuran, seperti pengaruh pakaian atau

gerakan anak pada saat penimbangan.

2.5.1.2. Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)

Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur.

Pertumbuhan tinggi badan relatif sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu
yang pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan tampak dalam waktu

yang relatif lama. Beaton dan Bengoa (1973) dalam Supariasa, 2002 menyatakan

Universitas Sumatera Utara


bahwa indeks TB/U disamping memberikan gambaran status gizi masa lampau,

juga lebih erat kaitannya dengan status sosial ekonomi.

1. Keuntungan IndeksTB/U a. Baik untuk menilai status gizi masa lampau

b. Ukuran panjang dapat dibuat sendiri murah dan mudah dibawa

2. Kelemahan Indeks TB/U a. Tinggi badan tidak cepat naik

b. Pengukuran relatif sulit dilakukan karena anak harus berdiri tegak, sehingga

diperlukan dua orang untuk melakukannya

c. Ketepatan umur sulit didapati

2.5.1.3. Berat Badan Menurut Tinggi Badan

Dalam keadana normal, perkembangan berat badan akan searah dengan

pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Indeks BB/TB merupakan indikator

yang baik untuk menilai status gizi saat kini (sekarang).

1. Keuntungan Indeks BB/TB

a. Tidak memerlukan data umur

b. Dapat membedakan proporsi badan (gemuk, normal dan kurus)

2. Kelemahan Indeks BB/TB

a. Tidak dapat memberikan gambaran apakah anak tersebut pendek, cukup tinggi badan

atau kelebihan tinggi badan menurut umurnya, karena faktor umur tidak

dipertimbangkan.
b. Dalam praktek sering mengalami kesulitan dalam melakukan pengukuran tinggi

badan kelompok balita

Universitas Sumatera Utara


c. Membutuhkan dua orang dalam melakukan pengukuran

d. Sering terjadi kesalahan dalam pembacan hasil pengukuran (Supariasa, 2002).

Antropometri adalah pengukuran yang paling sering digunakan sebagai metode

penilaian status gizi secara langsung untuk menilai dua masalah utama gizi yaitu kurang

gizi protein dan obesitas pada semua kelompok umur. Penilaian status gizi dengan

menggunakan antropometri memiliki kelebihan dan kelemahan sebagai berikut :

Kelebihan antropometri :

a. Relatif murah

b. Cepat, sehingga dapat dilakukan pada populasi yang besar

c. Objektif

d. Dapat dirangking apakah ringan, sedang atau berat

e. Tidak menimbulkan rasa sakit pada responden

Kelemahan Antropometri :

a. Membutuhkan data referensi yang relevan

b. Kesalahan yang muncul seperti kesalahan pada peralatan (belum dikalibrasi) dan

kesalahan pada peneliti (kesalahan pengukuran, pembacaan dan pencatatan)

c. Hanya mendapatkan data pertumbuhan, obesitas, malnutrisi karena kurang energi dan

protein, tidak dapat memperoleh informasi karena defisiensi zat gizi mikro.
Buku acuan yang digunakan dalam penentuan status gizi ada dua jenis, yaitu lokal

dan internasional. Baku acuan internasional adalah Tanner, Harvard, NCHS. Indonesia

menggunakan buku acuan international WHO-NCHS (Achadi, 2007).

Universitas Sumatera Utara


2.6. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan judul penelitian yang telah ditetapkan maka kerangka konsep

penelitian menerangkan keadaan mengenai hubungan variabel bebas (independent) dengan

terikat (dependent), dimana banyak faktor yang berhubungan dengan variabel terikat

(dependent) yaitu status sosial ekonomi keluarga (tinggi pendidikan ibu, pekerjaan ibu,

tingkat pendapatan keluarga).

Secara konsep dapat digambarkan sebagai berikut :

Status Gizi Anak Balita

Indeks :

• BB/U balita

• TB/U balita

• BB/TB balita

Status Sosial Ekonomi Keluarga :

• Tingkat pendidikan ibu

• Pekerjaan ibu

• Tingkat pendapatan keluarga

Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian

Pola Asuh Ibu

Universitas Sumatera Utara


Status sosial ekonomi keluarga yang tediri dari tingkat pendidikan ibu, pekerjaan ibu dan

tingkat pendapatan keluarga akan mempangaruhi pola asuh ibu yang akhirnya akan

berdampak pada status gizi anak balita. Jika status sosial ekonomi keluarga baik, pola asuh

ibu akan baik maka status gizi anak balita juga baik.

2.6. Hipotesis Penelitian

1. Ada hubungan tingkat pendidikan ibu dengan indeks status gizi anak balita.

2. Ada hubungan status pekerjaan ibu dengan status gizi anak balita.

3. Ada hubungan tingkat pendapatan keluarga dengan status gizi anak balita.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai