PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masa balita merupakan masa yang tergolong rawan dalam pertumbuhan dan
perkembangan anak karena pada masa ini anak mudah sakit dan mudah terjadi kurang
gizi (Soetjiningsih, 1995). Pada masa ini anak mulai melakukan aktivitas dengan
intensitas tinggi dan biasanya anak mulai susah makan akan tetapi hanya suka pada
makanan jajanan yang gizinya tidak baik. Asupan makanan anak sangat penting
diperhatikan Karena hingga anak berumur dua tahun, anak masih mengalami
sosial, emosional, dan intelegensia berjalan sangat cepat dan merupakan landasan
dibentuk pada masa ini (Soetjiningsih, 1995). Oleh karena itu, asupan makanan yang
baik akan membantu pertumbuhan dan perkembangan otak dan tubuh secara umum
anak yang pernah menderita gizi kurang, kurang berkemampuan dalam tes mental di
kemudian hari dibandingkan dengan anak yang bergizi baik (Berg, 1986). Oleh karena
itu gizi yang diperoleh seorang anak melalui konsumsi makanan setiap hari berperan
gizi disebabkan oleh, Pertama, kondisi anak balita adalah dalam periode transisi dari
makanan bayi ke makanan orang dewasa, jadi masih memerlukan adaptasi. Kedua, anak
balita sering kali tidak lagi begitu diperhatikan dan pengurusannya sering diserahkan
kepada orang lain seperti saudara terlebih jika ibu mempunyai anak lain yang lebih
kecil. Ketiga, anak balita belum mampu mengurus dirinya sendiri dalam hal makanan
sedangkan ia tidak begitu diperhatikan lagi oleh kedua orang tuanya, akibatnya
kebutuhan tidak dapat terpenuhi. Keempat, anak balita mulai bermain dan bergerak lebih
luas dan mulai bermain di lantai yang keadaannya belum tentu memenuhi syarat
kebersihan, sehingga anak balita sangat besar kemungkinan terkena kotoran dan dapat
kebutuhan anak berbeda dengan orang dewasa, karena makanan bagi anak dibutuhkan
(Soetjiningsih, 1995). Umumnya anak balita diderita penyakit gizi kurang dan gizi lebih
yang disebut gizi salah (malnutrition). Yang menonjol adalah kurang kalori dan kurang
protein dan kekurangan vitamin A, zat besi, vitamin dan mineral lainnya (Santoso,
1999).
Masalah gizi adalah gangguan pada beberapa segi kesejahteraan perorangan dan
atau masyarakat yang disebabkan oleh tidak terpenuhinya kebutuhan akan zat gizi yang
diperoleh dari makanan. Masalah gizi berkaitan erat dengan masalah pangan,
konsumsi pangan tidak cukup mengandung energi dan protein serta karena gangguan
dan interaksi beberapa faktor fisik, biologi, dan lingkungan budaya (Supariasa, 2002).
Ada enam faktor ekologi yang harus dipertimbangkan sebagai penyebab malnutrisi,
pelayanan kesehatan dan pendidikan serta faktor sosial ekonomi (Jelliffe, 1996 dalam
Supariasa, 2002).
tidaknya kebutuhan primer, sekunder, serta perhatian dan kasih sayang yang akan
diperoleh anak. Hal tersebut tentu berkaitan erat dengan pendapatan keluarga, jumlah
orang dengan status ekonomi rendah akan lebih banyak membelanjakan pendapatanya
untuk makan. Dan bila pendapatanya bertambah biasanya mereka akan menghabiskan
pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kuantitas dan kualitas makanan
(Berg, 1986).
Faktor sosial ekonomi mencakup data sosial seperti keadaan penduduk suatu
yang tergantung pada pasar dan variasi musim (Supariasa, 2002). Dari faktor-faktor
diatas diharapkan dapat menggambarkan status gizi balita pada keluarga. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Yunida E, pada tahun 2005 di Medan menyatakan bahwa
ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan ibu, dan status pekerjaan ibu
dengan BB/U anak, sedangkan hal tersebut tidak mempunyai hubungan yang signifikan
terhdap TB/U dan BB/TB. Tingkat pendapatan mempunyai hubungan yang signifikan
perkembangan anak balita. Masa anak usia balita adalah masa di mana anak masih
sangat membutuhkan suplai makanan dan gizi dalam jumlah yang cukup dan memadai.
Kekurangan gizi pada masa ini dapat menyebabkan gangguan tumbuh kembang secara
fisik, mental, sosial dan intelektual yang sifatnya menetap dan dibawa terus sampai
Gizi kurang merupakan salah satu masalah gizi utama pada anak balita di
Indonesia. Di Indonesia prevalensi gizi buruk pada anak balita menurut BB/U pada
tahun 2002 adalah 8,0% dengan jumlah anak balita 18.369.952 orang dan meningkat
pada tahun 2003 yaitu 8,3% dengan jumlah anak balita 18.608.762 orang (Hayatinur. E,
2006). Berdasarkan Hasil Susenas, di Sumatera Utara prevalensi gizi kurang pada tahun
2000 sebesar 17,32%, tahun 2003 sebesr 18,39% dan pada tahun 2005 sebesar 18,20%.
Sedangkan prevalensi gizi buruk pada tahun 2000 yaitu sebesar 9,16% pada tahun 2003
(sembilan belas) desa. Puskesmas terletak pada Desa Pantai cermin. Kecamatan Tanjung
Pura merupakan daratan rendah yang di apit 2 (dua) sungai besar sehingga rentan
terhadap banjir, pekerjaan penduduk yang terbanyak saat ini adalah pada sektor
pertanian. Jumlah penduduk ekonomi rendah pada daerah ini adalah sebanyak 2.582
kepala kelurga, tingkat ekonomi menengah kebawah adalah sebanyak 3.645 kepala
keluarga, tingkat ekonomi menengah keatas adalah sebanyak 7.097 kepala keluarga
(Eskpose Kecamtan Tanjung Pura tahun 2007). Pada tahun 2006 di Kabupaten Langkat
terdapat 24% anak dengan status gizi buruk (Siswono, 2007). Data yang diperoleh
berdasarkan hasil penilaian status gizi tahun 2007 anak balita yang ada di wilayah kerja
Puskesmas Pantai Cermin adalah sebanyak 1678 anak balita. Dari jumlah tersebut anak
balita yang menderita gizi kurang adalah sebanyak 272 (16,21%) anak balita dan yang
menderita gizi buruk sebanyak 77 (4,60%) anak balita penilaian dilakukan berdasarkan
Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik meneliti mengenai status sosial ekonomi
keluarga dan status gizi balita di wilayah Puskesmas Pantai Cermin Kecamatan Tanjung
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah
apakah ada hubungan status sosial ekonomi kelurga dengan status gizi balita di
Puskesmas Pantai Cermin Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat Tahun 2008.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan tingkat sosial ekonomi keluarga dengan status gizi
tahun 2008.
2. Tujuan Khusus
a). Mengetahui gambaran sosial ekonomi keluarga balita di wilayah kerja Puskesmas
Pantai Cermin Kecamatan Tanjung Pura yang meliputi tingkat pendidikan ibu,
b). Mengetahui gambaran status gizi anak balita menurut indeks BB/U, TB/U, dan
BB/TB.
c). Mengetahui hubungan tingkat pendidikan ibu dengan status gizi anak balita.
d). Mengetahui hubungan status pekerjaan ibu dengan status gizi anak balita.
e). Mengetahui hubungan tingkat pendapatan keluarga dengan status gizi anak balita.
f). Menggambarkan hubungan pola asuh ibu dengan status gizi anak balita.
D. Manfaat Penelitian
Sebagai bahan informasi atau masukan bagi Puskesmas Pantai Cermin Tanjung Pura
TINJAUAN PUSTAKA
Masa balita merupakan periode penting dalam tumbuh kembang anak. Akan tetapi
pada masa ini anak balita merupakan kelompok yang rawan gizi. Hal ini disebabkan pada
masa ini anak cenderung susah untuk makan dan hanya suka pada jajanan yang kandungan
Pada masa balita juga terjadi pertumbuhan dan perkembangan sehingga anak mudah
sakit dan terjadi kekurangan gizi. Karena pada masa ini pertumbuhan dasar yang akan
mempengaruhi dan menentukan perkembangan anak selanjutnya. Pada masa balita ini
Perkembangan modal serta dasar-dasar kepribadian juga dibentuk pada masa ini. Sehingga
setiap penyimpangan sekecil apapun apabila tidak ditangani dengan baik akan mengurangi
Penilaian status gizi golongan rawan dapat memberikan informasi penting tetang
keadaan gizi suatu masyarakat pada saat sekarang maupun masa lampau. Gizi kurang pada
anak dapat membuat anak menjadi kurus, pertumbuhan terhambat. Hal ini terjadi karena
kurang protein (zat pembangun) dan kurang tenaga yang diperoleh dari makanan anak.
Tenaga anak diperlukan dalam membangun badannya yang tumbuh secara pesat. (Roedjito
D. 1989).
Menurut Roedjito D (1989), alasan mengapa mengatasi dan mencegah gizi kurang
pada anak merupakan masalah besar yang perlu diperhatikan adalah gizi kurang pada
proses belajar. Anak yang terkena kwasiokor kelihatan gemuk tapi kurang sehat, mukanya
gemuk seperti bulan, kaki bengkak karena odema, perut buncit tapi bahu dan lengan atas
kurus. Kulit mudah terkelupas, rambut pucat anak terlihat muram. Sedangkan marasmus
yang berarti kelaparan adalah dimana anak tidak mendapatkan makanan yang cukup dari
jenis pangan manapun, baik protein maupun zat pemberi tenaga. Anak yang sangat kurus
itu sering hanya separuhnya saja dari berat sehat sesuai umur. Anak memiliki wajah seperti
orang tua, kepala tampak besar karena badan kurus dan kecil, tangan dan kakinya kurus dan
UNICEF (1988) telah mengembangkan kerangka konsep makro sebagai salah satu
strategi untuk menanggulangi masalah kurang gizi. Dalam kerangka tersebut ditunjukkan
bahwa masalah gizi kurang dapat disebabkan oleh makanan dan penyakit dapat secara
langsung menyebabkan gizi kurang. Timbulnya gizi kurang tidak hanya karena asupan
makanan yang kurang, tetapi juga penyakit. Anak yang cukup mendapatkan makanan tetapi
sering menderita sakit, pada akhirnya dapat menderita gizi kurang. Demikian pula pada
anak yang tidak memperoleh cukup makan, maka daya tahan tubuhnya akan melemah dan
Keadaan sosial ekonomi keluarga merupakan salah satu faktor yang menentukan
jumlah makanan yang tersedia dalam keluarga sehingga turut menentukan status gizi
keluarga tersebut. Yang termasuk dalam faktor sosial adalah (Supariasa, 2002):
a. Keadaan penduduk suatu masyarakat
d. Keadaan rumah
b. Pendapatan keluarga.
c. Pengeluaran keluarga.
Banyak faktor sosial ekonomi yang sukar untuk dinilai secara kuantitatif, khususnya
pendapatan dan kepemilikan (barang berharga, tanah, ternak) karena masyarakat enggan
untuk membicarakannya kepada orang yang tidak dikenal, termasuk ketakutan akan pajak
dan perampokan. Tingkat pedidikan termasuk dalam faktor sosial ekonomi karena tingkat
dan tingkat pendidikan dan pengetahuan orang tua khususnya ibu dalam mengasuh anaknya
juga termasuk faktor sosial ekonomi yang akan mempengaruhi status gizi keluarga (Arifin.
T, 2005).
yang tidak memadai pada keluarga dapat mengakibatkan gizi kurang. Oleh karena itu,
setiap keluarga diharapkan mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota
keluarganya. Akan tetapi menurut penelitian yang dilakukan oleh Masdiarti (2000) di
Kecamatan Hamparan Perak, yang meneliti pola pengasuhan dan status gizi anak balita
ditinjau dan krakteristik pekerjaan ibu, memperlihatkan hasil bahwa anak yang berstatus
gizi baik banyak ditemukan pada ibu bukan pekerja (43,24%) dibandingkan dengan
kelompok ibu pekerja (40,54%) dan ibu yang tidak bekerja mempunyai waktu yang lebih
Tingkat pendidikan dalam keluarga khususnya ibu dapat menjadi faktor yang
mempengaruhi status gizi anak dalam keluarga. Semakin tinggi pendidikan orang tua maka
pengetahuannya akan gizi akan lebih baik dari yang berpendidikan rendah. Salah satu
penyebab gizi kurang pada anak adalah kurangnya perhatian orang tua akan gizi anak. Hal
ini disebabkan karena pendidikan dan pengetahuan gizi ibu yang rendah. Pendidikan formal
ibu akan mempengaruhi tingkat pengetahuan gizi, semakin tinggi pendidikan ibu, maka
semakin tinggi kemampuan untuk menyerap pengetahuan praktis dan pendidikan formal
terutama melalui masa media. Hal serupa juga dikatakan oleh L. Green, Rooger yang
menyatakan bahwa makin baik tingkat pendidikan ibu, maka baik pula keadaan gizi
Ibu-ibu yang bekerja dari pagi hingga sore tidak memiliki waktu yang cukup bagi
anak-anak dan keluarga (Berg, 1986). Dalam hal ini ibu mempunyai peran ganda yaitu
sebagai ibu rumah tangga dan wanita pekerja. Walaupun demikian ibu dituntut tanggung
1988). Keadaan yang demikian dapat memengaruhi keadaan gizi keluarga khususnya anak
balita dan usia sekolah. Ibu-ibu yang bekerja tidak mempunyai cukup waktu untuk
memperhatikan makanan anak yang sesuai dengan kebutuhan dan kecukupan serta kurang
Pola pengasuh merupakan cara orang tua dalam mendidik anak dan membesarkan
anak dipengaruhi oleh banyak faktor budaya, agama, kebiasaan dan kepercayaan, serta
kepribadian orang tua (orang tua sendiri atau orang yang mengasuh anak) (Nadesul, 1995).
Pengasuhan merupakan faktor yang sangat erat kaitnnya dengan pertumbuhan dan
perkembangan anak berusia di bawah lima tahun. Masa anak usia 1-5 tahun (balita) adalah
masa dimana anak masih sangat membutuhkan suplai makanan dan gizi dalam jumlah yang
memadai. Pada masa ini juga, anak-anak masih sangat tergantung pada perawatan dan
pengasuhan ibunya. Oleh karena itu pengasuhan kesehatan dan makanan pada tahun
pengasuhan pada tiap ibu berbeda karena dipengaruhi oleh faktor yang mendukungnya,
antara lain : latar bekang pendidikan ibu, pekerjaan ibu, jumlah anak dan sebagiannya.
semua hal tersebut sering menyebabkan penyimpangan terhadap keadaan tumbuh kembang
dan status gizi anak terutama pada anak usia balita (Sudiyanto dan Sekartini, 2005).
2.5.1. Antropometri
Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Jika ditinjau dari sudut
pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran
dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur. Penggunaan antropometri
sebagai alat ukur status gizi semakin mendapat perhatian karena dapat digunakan secara
luas dalam program-program perbaikan gizi di masyarkat. Dalam menilai status gizi anak
balita dapat digunakan indikator antropmetri. Indeks antropometri yang umum digunakan
dalam menilai status gizi adalah berat badan menurut umur (BB/U) tinggi badan menurut
umur (TB/U) dan beran badan menurut tinggi badan (BB/TB). Indeks BB/U adalah
pengukuran total berat badan temasuk air, lemak, tulang dan otot. Indeks tinggi badan
Berat badan merupakan salah satu parameter yang memberikan gambaran masa
tubuh. Masa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan yang mendadak, misalnya karena
terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan
yang dikonsumsi. Berat badan adalah parameter antroprometri yang sangat labil. Dalam
keadaan normal dimana kesehatan baik, keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan gizi
terjamin maka berat badan berkembang mengikuti pertumbuhan umur. Sebaliknya dalam
keadaan abnormal, terdapat dua kemungkinan perkembangan, yaitu dapat berkembang
cepat atau lebih lambat. Berdasarkan karakteristik berat badan ini, maka indeks berat badan
menurut umur digunakan sebagai salah satu cara pengukuran status gizi. Mengingat
karakteristik berat badan, maka indeks BB/U menggmbarkan status gizi seseroang saat ini.
1. Kelebihan Indeks BB/U a. Lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh
masyarakat umum
tradisional, umur sering sulit di taksir secara tepat karena pencatatan umur yang
belum baik.
b. Memerlukan data umur yang akurat, terutama untuk anak di bawah usia lima
tahun.
Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur.
Pertumbuhan tinggi badan relatif sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu
yang pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan tampak dalam waktu
yang relatif lama. Beaton dan Bengoa (1973) dalam Supariasa, 2002 menyatakan
b. Pengukuran relatif sulit dilakukan karena anak harus berdiri tegak, sehingga
pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Indeks BB/TB merupakan indikator
a. Tidak dapat memberikan gambaran apakah anak tersebut pendek, cukup tinggi badan
atau kelebihan tinggi badan menurut umurnya, karena faktor umur tidak
dipertimbangkan.
b. Dalam praktek sering mengalami kesulitan dalam melakukan pengukuran tinggi
penilaian status gizi secara langsung untuk menilai dua masalah utama gizi yaitu kurang
gizi protein dan obesitas pada semua kelompok umur. Penilaian status gizi dengan
Kelebihan antropometri :
a. Relatif murah
c. Objektif
Kelemahan Antropometri :
b. Kesalahan yang muncul seperti kesalahan pada peralatan (belum dikalibrasi) dan
c. Hanya mendapatkan data pertumbuhan, obesitas, malnutrisi karena kurang energi dan
protein, tidak dapat memperoleh informasi karena defisiensi zat gizi mikro.
Buku acuan yang digunakan dalam penentuan status gizi ada dua jenis, yaitu lokal
dan internasional. Baku acuan internasional adalah Tanner, Harvard, NCHS. Indonesia
terikat (dependent), dimana banyak faktor yang berhubungan dengan variabel terikat
(dependent) yaitu status sosial ekonomi keluarga (tinggi pendidikan ibu, pekerjaan ibu,
Indeks :
• BB/U balita
• TB/U balita
• BB/TB balita
• Pekerjaan ibu
tingkat pendapatan keluarga akan mempangaruhi pola asuh ibu yang akhirnya akan
berdampak pada status gizi anak balita. Jika status sosial ekonomi keluarga baik, pola asuh
ibu akan baik maka status gizi anak balita juga baik.
1. Ada hubungan tingkat pendidikan ibu dengan indeks status gizi anak balita.
2. Ada hubungan status pekerjaan ibu dengan status gizi anak balita.
3. Ada hubungan tingkat pendapatan keluarga dengan status gizi anak balita.