PRATRANSFUSI
UP DATE
i
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta
Ketentuan Pidana
Pasal 113
1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf I untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan / atau pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan / atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf
c, huruf d, huruf f, dan / atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan / atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
ii
LABORATORIUM
PRATRANSFUSI
UP DATE
iii
LABORATORIUM
PRATRANSFUSI
UP DATE
Penulis:
dr. ni Kadek Mulyantari, Sp.PK(K)
dr.dr. I Wayan Putu Sutirta yasa, MSi
Editor:
Jiwa atmaja
Diterbitkan oleh:
Udayana University Press
Kampus Universitas Udayana denpasar
Jl. P.B. Sudirman, denpasar - Bali telp. (0361) 255128
unudpress@gmail.com http://udayanapress.unud.ac.id
Cetakan Pertama:
2016, xvii + 154 hlm, 15 x 23 cm
ISBN: 978-602-294-151-4
iv
Special for our family “Thank you for the time we spent together,
Thank you for never leaving me in the bad times,
Thank you for understanding me and all the motivation.
However, the most important is thanks for
loving me like you love yourself.”
v
PRAKATA
Om Swastiastu
Perkembangan ilmu kedokteran begitu pesat, agar para dokter
dapat memberikan pelayanan kesehatan kepada para penderita
dengan baik dibutuhkan pemutahiran ilmu pengetahuan. Pembaruan
dan pemutahiran (updating) ilmu kedokteran, khususnya dalam
bidang laboratorium pratransfusi akan membantu kecermatan dan
keselamatan serta menghindarkan bahaya transfusi kepada individu
yang memerlukan.
Saya menyambut baik terbitnya buku yang berjudul
“Laboratorium Pratransfusi Up Date”. Besar harapan saya agar
buku ini mampu menjadi pedoman dan solusi bagi sebagian besar
permasalahan terkait pelayanan transfusi darah, dan membuka
wawasan semua pihak yang terlibat dalam kegiatan pelayanan darah
sehingga bisa membangun kesatuan persepsi dalam penatalaksanaan
pasien. Buku ini juga diharapkan menjadi bahan bacaan bagi para
mahasiswa kedokteran sebagai bekal pengetahuan setelah mereka lulus
sebagai dokter.
Akhir kata saya mengucapkan selamat kepada penulis dan
penghargaan yang setinggi-tingginya atas waktu, upaya dan kerja
kerasnya dalam penulisan buku ini. Semoga niat baik ini mampu
membuahkan hasil semaksimal mungkin, membantu dalam
peningkatan kualitas pelayanan kesehatan khususnya dibidang
transfusi darah yang berujung pada keamanan dan keselamatan pasien.
Om Shanti, Shanti, Shanti
vii
DAFTAR ISI
Prakata ......................................................................................... vi
Sambutan Rektor Universitas Udayana ........................................ vii
Daftar Isi ....................................................................................... viii
Daftar Tabel .................................................................................. xi
Daftar Gambar .............................................................................. xiii
Daftar Singkatan ........................................................................... xvi
BAB I. PENDAHULUAN ........................................................... 1
BAB II. UJI PRATRANSFUSI .................................................... 4
2.1 Definisi ............................................................................... 4
2.2 Jenis Uji Pratransfusi .......................................................... 5
2.3 Persiapan Uji Pretransfusi .................................................. 6
2.4 Pemisahan Serum atau Plasma, Pencucian Sel Darah
Merah dan Pembuatan Suspensi Sel Darah ........................ 13
2.5 Uji Pratransfusi Pada Kondisi Emergency .......................... 16
2.6 Beberapa Kasus Terkait Tahapan Uji Pratransfusi ............. 18
Daftar Pustaka .............................................................................. 22
BAB III. PEMERIKSAAN GOLONGAN DARAH ABO .......... 24
3.1 Definisi .............................................................................. 24
3.2 Sistem Antigen dan Antibodi Pada Golongan darah ......... 24
3.3 Jenis Pemeriksaan Golongan Darah .................................. 26
3.4 Pemeriksaan Golongan Darah Dengan Slide Test
atau Tile Method ................................................................. 27
3.5 Pemeriksaan Golongan Darah Dengan Tube Test .............. 30
3.6 Pemeriksaan Golongan Darah ABO Dengan
Mcroplate Test .................................................................... 35
3.7 Pemeriksaan Golongan Darah Dengan Column
Technique (Sephadex Gel) .................................................. 40
3.8 Pemeriksaan Golongan Darah ABO Dengan Solid
Phase Tests ......................................................................... 45
3.9 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Reaksi Antigen
Antibodi Pada Pemeriksaan Golongan Darah .................... 46
3.10 Permasalahan Pada Pemeriksaan Golongan Darah ............ 48
3.11 Penanganannya Discrepancy Golongan Darah ABO ........ 50
3.12 Contoh Kasus Terkait Pemeriksaan Golongan
Darah ABO ........................................................................ 53
Daftar Pustaka ............................................................................. 57
BAB IV. PEMERIKSAAN GOLONGAN DARAH RHESUS ... 60
4.1 Golongan Darah Rhesus ..................................................... 60
4.2 Tujuan Pemeriksaan Golongan Darah Rhesus ................... 61
4.3 Prinsip Pemeriksaan Golongan Darah Rhesus ................... 61
4.4 Metode Pemeriksaan Golongan Darah Rhesus .................. 61
4.5 Pemeriksaan Golongan Darah Rhesus Dengan Metode
Slide Test ............................................................................ 62
4.6 Pemeriksaan Golongan Darah Rhesus Dengan Metode
Tube Test ............................................................................ 65
4.7 Pemeriksaan Golongan Darah Rhesus Dengan
Metode Microwell Plate atau Microplate .......................... 67
4.8 Weak D atau Du Phenotype ................................................ 68
4.9 Pemeriksaan weak D (Rhesus Du) ...................................... 69
4.10 Discrepancies dan Permasalahan Pada Pemeriksaan
Golongan Darah Rhesus ..................................................... 70
4.11 Contoh Kasus Terkait Golongan Darah Rhesus ................. 72
Daftar Pustaka .............................................................................. 80
BAB V. UJI COCOK SERASI (CROSSMATCHING) ................ 82
5.1 Definisi ............................................................................... 82
5.2 Tujuan Uji Cocok Serasi (Crossmatching) ....................... 83
5.3 Jenis-jenis Uji Cocok Serasi (Crossmatching) .................. 83
5.4 Immediate-Spin (IS) Crossmatch ....................................... 84
5.5 Crossmacthing Dengan Tube Test .................................... 86
5.6 Crossmacthing dengan Column Agglutination Test .......... 88
5.7 Computer (Electronic) Crossmatch ................................... 93
5.8 Crossmatching Pada Kondisi Khusus ................................ 95
5.9 Penyebab dan Penanganan Inkompatibilitas Pada
xi
Tabel 6.2 Panel DCT: pola hasil pemeriksaan DCT pada
Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) .................. 111
Tabel 6.3 Sumber kesalahan hasil pemeriksaan coomb’s test ... 114
Tabel 6.4 Pemeriksaan golongan darah dengan blood
grouping plate ........................................................... 118
Tabel 6.5 Pemeriksaan golongan darah ulang dengan metode
tabung ........................................................................ 118
Tabel 6.6 Pemeriksaan golongan darah ulang setelah pencucian
sel dan dikerjakan dengan metode tabung,
inkubasi 37 o C ........................................................... 119
Tabel 6.7 Hasil pemeriksaan crossmatch dengan sejumlah
donor .......................................................................... 119
Table 6.8 Persentase kasus dan hasil DCT pada masing-
masing tipe AIHA ..................................................... 121
Tabel 7.1 Contoh fenotif eritrosit dari individu homozigot dan
heterozigot ................................................................. 141
Tabel 7.2 Jenis antibodi yang bereaksi optimal pada masing-
masing fase pemeriksaan skrining antibodi ............... 147
DAFTAR GAMBAR
2
yang muncul di lapangan, akhirnya ditemukanlah sejumlah
pemeriksaan laboratorium yang dapat mencegah munculnya efek
samping transfusi darah.
Pemeriksaan laboratorium sebelum pemberian transfusi darah
(pretransfusion testing) merupakan bagian yang sangat vital dalam
kegiatan transfusi. Uji pratransfusi inilah yang menentukan apakah
produk darah yang akan ditransfusikan dapat memberikan manfaat
yang optimal atau tidak kepada pasien. Selain itu, uji pratransfusi juga
dapat memprediksi apakah transfusi akan memberikan efek samping
yang fatal atau tidak sehingga pencegahan terjadinya efek samping
pemberian transfusi dapat lebih awal dilakukan.
Laboratorium pratransfusi terus mengalami perkembangan.
Perkembangan terjadi mulai dari pemeriksaan yang sangat sederhana
sampai pemeriksaan otomatis pun telah berhasil dilakukan. Pada awal
abad ke-19, laboratorium pratransfusi hanya bisa dikerjakan terbatas
pada pemeriksaan golongan darah dan crossmatching dengan
menggunakan metode slide test dan tube test. Pada 1945 Coombs,
Mourant dan Race menemukan pemeriksaan antiglobulin untuk
mendeteksi antibodi yang mensensitisisasi sel darah merah maupun
antibodi yang bebas dalam serum. Pada 1946 Coombs dan Cowokers
melaporkan penggunaan Anti Human Globulin (AHG) untuk
mendeteksi sensitisasi sel darah merah secara in vivo pada bayi baru
lahir dengan kelainan hemolitik dan selanjutnya dikenal dengan Direct
Antiglobulin Testing (DAT). Pada 1960 mulai digunakan metode
micoplate testing untuk mendeteksi adanya antigen sel darah merah
dan antibodi dalam serum secara rutin terutama di Unit Transfusi
Darah (UTD). Metode micoplate testing ini terdiri dari 96 wells yang
digunakan untuk menggantikan metode tube test pada pemeriksaan
dengan jumlah test yang banyak.
Selanjutnya, pada 1985, Dr. Yves Lapierre dari Perancis
mengembangkan teknik gel test menggunakan berbagai media seperti
gelatin, acrylamide gel, dan glass beads. Dr. Lapierre menemukan
adanya aglutinasi selama sedimentasi dan sentrifugasi standar serta
menemukan adanya partikel gel sebagai materi yang ideal untuk
mendeteksi aglutinasi. Perkembangan selanjutnya pada 1978
Rosenfield dan Coworker pertama
kali berhasil mengaplikasikan prinsip solid-phase immunoassay untuk
pemeriksaan golongan darah dan antibodi skrining. Selanjutnya solid-
phase immunoassay mengalami perkembangan sehingga dikenal
adanya solid-phase red cell adherence (SPRCA), solid-phase protein
A dan solid- phase enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA).
Tahun 1988, Dr. Lapierre dan DiaMed A.G mengembangkan produksi
gel di Eropa dan September 1994 Food and Drug Administration
(FDA) memberikan ijin produksi dan distribusi antiglobulin anti-IgG
gel card. Penemuan terus berlanjut sehingga saat ini pemeriksaan
laboratorium immunohematology sudah berjalan dengan sistem
automation technology.
Dalam buku ini akan dibahas secara rinci mengenai berbagai
pemeriksaan laboratorium sebelum produk darah ditransfusikan kepada
pasien. Buku ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman serta
keterampilan para petugas yang terlibat dalam pelayanan transfusi
darah. Selain itu, buku ini diharapkan dapat menciptakan persepsi yang
sama baik antar petugas teknis, dokter laboratorium, para klinisi
maupun pihak manajemen yang terlibat dalam pelayanan transfusi
darah sehingga pada akhirnya pasien akan mendapatkan manfaat
transfusi secara maksimal dan risiko seminimal mungkin.
BAB II
UJI PRATRANSFUSI
2.1 Definisi
Uji pratransfusi memiliki beberapa istilah lain seperti
pretransfusion testing atau compatibility testing. Uji pratransfusi
adalah serangkaian pemeriksaan yang dilakukan sebelum produk
darah ditransfusikan pada pasien. Uji pratransfusi ini identik dengan
crossmatching (direct compatibility test) meskipun dalam aplikasinya
pada uji pratransfusi ini terdapat pemeriksaan awal serta ada
pemeriksaan lanjutan yang harus dilakukan apabila hasil
crossmatching tidak sesuai. Jadi crossmatching hanya merupakan
salah satu bagian dari uji pratransfusi (Stoe, 2011). Uji pratransfusi di
internal laboratorium pada umumnya menghabiskan waktu sekitar satu
jam. Waktu pengerjaan dapat lebih pendek ataupun lebih panjang
tergantung jenis dan metode pemeriksaan serta kendala yang dihadapi
selama prosedur berjalan.
Berdasarkan standar American Association of Blood Bank
(AABB), tahapan-tahapan uji pratransfusi tidak hanya terbatas pada
pemeriksaan laboratorium saja, tetapi juga meliputi cakupan yang
lebih luas. Mulai dari permintaan darah sampai pelabelan produk darah
sebelum didistribusikan ke pasien. Ada pun tahapan uji pratransfusi
menurut standar AABB adalah sebagai berikut:
1. Pengisian formulir permintaan darah,
2. identifikasi pasien dan pengambilan sampel darah pasien,
3. pemeriksaan terhadap sampel pasien (kelayakan sampel untuk
diperiksa, pemeriksaan golongan darah ABO dan Rhesus,
pemeriksaan skrining dan identifikasi antibodi, membandingkan
hasil pemeriksaan saat ini dengan hasil pemeriksaan
sebelumnya),
4. pemeriksaan terhadap sel darah merah donor (konfirmasi
pemeriksaan golongan darah ABO dan Rhesus),
5. pemilihan darah donor, pilih komponen darah dengan golongan
darah ABO dan Rhesus yang kompatibel dengan pasien dan
tidak mengandung unexpected allogeneic antibodies,
6. melakukan pemeriksaan crossmatch baik dengan cara serologi
maupun komputer atau elektronik,
7. melakukan pelabelan komponen darah sesuai dengan identitas
pasien dan pendistribusian produk darah (zundel, 2012).
ABO serum testing Deteksi antibodi ABO Suspensi sel donor Serum atau plasma
(reverse grouping) pasien
NAMA NO.CM
TANGGAL SAMPLING
PHLEBOTOMIS
Gambar 2.3 Tabung tutup merah dan tutup ungu untuk menampung sampel uji
pratransfusi (Saluju and Singal, 2014).
b. Umur sampel
Sampel untuk uji pratransfusi seharusnya mencerminkan status
antibodi saat itu. Umur sampel yang digunakan untuk uji pratransfusi
tidak boleh lebih dari 3 hari dengan perhitungan tanggal pengambilan
sampel merupakan hari ke-0. Pada kondisi pasien membutuhkan
transfusi berulang atau sampel yang dikirim sebelumnya tidak
mencukupi, dapat dilakukan pengambilan sampel baru (Judd, 2009;
Blaney and Howard, 2013).
Apabila uji pratransfusi sudah selesai dilakukan, sampel
darah pasien dan segmen selang dari unit donor yang digunakan
untuk crossmatching wajib disimpan selama 7 hari pada suhu 1-6oC.
Penyimpanan ini dilakukan untuk mengantisipasi dibutuhkannya
kembali sampel darah untuk penelusuran kasus-kasus reaksi transfusi
(Judd, 2009; Blaney and Howard, 2013).
Teteskan 1 tetes sel darah merah pada tabung pertama yang sudah dilabel
A Teteskan 1 tetes sel darah merah pada tabung kedua yang sudah dilabel
B Teteskan 1 tetes sel darah merah pada tabung ketiga yang sudah dilabel
tetes
No kantong darah :
:
Nama Pasien
:
Tanggal lahir
:
No Rekam Medik
:
Nama Ruangan
Golongan Darah :
Gambar 2.5 Contoh label penggunaan produk darah yang belum dilakukan
pemeriksaan crossmatch dalam situasi emergency (WHO, 2009).
3. Ambil sampel darah dari selang produk darah donor untuk
dilakukan uji pratransfusi pada kesempatan selanjutnya.
4. Distribusikan produk darah sesuai dengan standar distribusi yang
sudah ditetapkan.
5. Jika produk darah tidak segera ditransfusikan dalam waktu 30
menit, biasanya cukup untuk melakukan pemeriksaan
crossmatch menggunakan a low-ionic strength indirect
antiglobulin test (WHO,2009; Zundel, 2012; Mehdi, 2013).
Dokter yang meminta darah wajib menandatangani formulir
permintaan darah dan label uncrossmatched blood sebagai petanda
bahwa dokter setuju untuk segera memberikan respon atau penanganan
bila terjadi efek yang tidak diinginkan dari pemberian uncrossmatched
blood. Dalam situasi tertentu jika sampel darah pasien tidak bisa
didapatkan dan waktu untuk pemeriksaan golongan darah cepat tidak
bisa dilakukan, maka golongan darah O Rhesus negatif dalam bentuk
Packed Red Cells (PRC) dapat dijadikan pilihan (Makroo, 2009; WHO,
2009). Apabila PRC golongan darah O Rhesus negatif sulit didapatkan,
maka untuk pasien laki-laki dan wanita bukan anak-anak dan usia
reproduktif pemberian PRC golongan O Rhesus positif dapat
dipertimbangkan (Judd, 2009; Zundel, 2012).
Beberapa hal penting lainnya yang perlu diperhatikan terkait
kebutuhan darah dalam keadaan emergency, antara lain:
1. Selalu pastikan bahwa dokter atau staf senior mengetahui setiap
keadaan emergency yang terjadi,
2. bila produk darah dikirim dari Unit Transfusi Darah (UTD) atau
rumah sakit lain, pastikan bahwa semua petugas yang terlibat
mengetahui adanya keadaan emergency,
3. jika pengumpulan darah dilakukan dari donor yang dibawa
sendiri, lakukan persiapan dengan baik dan hubungi lebih
banyak donor,
4. selalu menjaga komunikasi dengan dokter atau staf yang terlibat
dalam penanganan pasien dan selalu waspada terhadap setiap
efek samping yang potensial terjadi,
5. pastikan bahwa seluruh data telah lengkap dan akurat untuk
selanjutnya seluruh data tersebut disimpan dengan baik. Semua
keputusan yang dibuat dan prosedur yang dilakukan oleh dokter
harus dicatat dengan jelas, termasuk nama dan tanda tangan staf
yang terlibat (WHO, 2009).
Mayor,minor,Mayor,minor,AutoAuto
donor 1donor 1donor 2donor 2controlpool
Gambar 2.6 Hasil pemeriksaan crossmatch dengan metode gel
menunjukan hasil kompatibel.
PRC dikeluarkan dari bank darah dan selanjutnya transfusi
diberikan sebanyak 2 kantong selama operasi. Tanda-tanda reaksi
transfusi agak sulit dilacak karena pasien sedang dalam pengaruh obat
anestesi. Secara klinis dijumpai adanya perdarahan dan hematuria.
Pasien direncanakan untuk diberikan transfusi berikutnya dengan
komponen PRC dan Fresh Frozen Plasma (FFP). Dikirim permintaan
darah yang kedua dengan sampel baru.
Hasil pemeriksaan golongan darah pada sampel kedua
didapatkan golongan O Rhesus positif dan crossmatch dengan donor
golongan O menunjukkan hasil kompatibel, tetapi pada permukaan
gel terlihat kemerahan. Berbeda dengan hasil crossmatch pada gambar
2.6 Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh adanya proses
hemolitik setelah proses transfusi sebelumnya.
Mayor,Mayor,minor,minor,AutoAuto
donor 1donor 2donor 1donor 2 kontrolpool
Gambar 2.7 Hasil pemeriksaan crossmatch dengan metode gel menunjukan hasil
kompatibel dengan warna kemerahan pada permukaan gel.
Kasus 2.
Pasien wanita, 48 tahun dirawat dengan diagnosis anemia
(hemoglobin 5 g/dL). Pasien ini direncanakan akan mendapat transfusi
PRC sebanyak 3 kantong. Permintaan darah dikirim dari UGD. Hasil
pemeriksaan golongan darah didapatkan bahwa golongan darah pasien
A Rhesus positif. Crossmatching dilakukan terhadap 3 darah donor dan
menunjukkan hasil kompatibel. PRC kemudian ditransfusikan
sebanyak 3 kantong dan tidak ada laporan reaksi transfusi.
Satu minggu kemudian pasien di rawat di ruang rawat biasa dan
oleh petugas ruangan dikirimkan lagi permintaan darah kedua, yaitu
PRC sebanyak 2 kantong. Hasil pemeriksaan golongan darah pada
sampel kedua adalah AB Rhesus positif. Crossmatch dengan donor
golongan darah AB kompatibel, tetapi darah belum dikeluarkan.
Dalam waktu yang berdekatan, keluarga pasien datang membawa
donor dan menunjukkan catatan bahwa pasien membutuhkan darah
golongan A. Hal ini menunjukkan bahwa golongan darah pasien
tersebut sebelumnya adalah A Rhesus positif. Oleh petugas bank darah,
kemudian dilakukan pengambilan sampel ulang dan didapatkan
golongan darah A Rhesus positif.
Penelusuran selanjutnya ditemukan bahwa dalam waktu yang
bersamaan ada 2 permintaan darah dari ruang rawat tersebut.
Permintaan
tersebut adalah satu pasien dengan golongan AB dan satu pasien
lagi dengan permintaan golongan darah A. Pasien yang sebelumnya
didapatkan A juga dilakukan pengambilan sampel ulang dan golongan
darah pada sampel kedua adalah AB.
Dari kasus tersebut hampir terjadi reaksi transfusi berat yang
juga disebabkan oleh kesalahan identifikasi dan pelabelan sampel
darah pasien. Ketepatan identifikasi dan pelabelan sampel darah
merupakan poin yang sangat kritis dalam menentukan keamanan
transfusi. Selain hal tersebut, catatan tentang riwayat transfusi dan
hasil-hasil pemeriksaan lab. sebelumnya juga menjadi penentu
keselamatan pasien (McCullough, 2012).
DAFTAR PUSTAKA
3.1 Definisi
Yang dimaksud dengan pemeriksaan golongan darah adalah
suatu prosedur laboratorium yang dilakukan untuk menentukan jenis
golongan darah. Pada uji pratransfusi, pemeriksaan golongan darah
minimal yang harus dikerjakan adalah golongan darah sistem ABO dan
Rhesus (D typing). Pemeriksaan golongan darah dilakukan baik pada
donor maupun pada pasien (WHO, 2002).
Meskipun telah dilakukan uji konfirmasi golongan darah donor
dan darah sudah dilabel ABO dan Rhesus dengan benar, pemeriksaan
golongan darah ulang tetap harus dilakukan pada semua unit darah
sebelum ditransfusikan.
Imunoglobulin G
Merupakan jenis immunoglobulin terbanyak, membentuk sekitar
73% dari total immunoglobulin dalam tubuh. IgG memiliki berat
molekul hanya sekitar 150.000 kilo Dalton (kD), dapat menembus
plasenta dan sering dikaitkan dengan kejadian Hemolytic Disease of
the New born (HDN). HDN dapat terjadi bila ibu memiliki antibodi
yang dapat melewati plasenta dan antibodi tersebut mengaglutinasi sel
darah merah janin yang mengandung antigen yang sesuai. IgG tidak
menyebabkan aglutinasi sel darah merah yang tersuspensi pada
medium salin (WHO, 2009).
Imunoglobulin M
IgM membentuk sekitar 8% dari total immunoglobulin dalam
tubuh. Berat molekul sekitar 900.000 kD. IgM tidak mampu melewati
plasenta sehingga tidak menimbulkan penyakit hemolitik pada bayi
baru lahir. Memiliki sifat mudah mengaglutinasi sel darah merah yang
tersuspensi dalam medium salin. IgM dapat mengaktifkan komplemen
selama terjadi reaksi antigen-antibodi sehingga menyebabkan
hemolisis sel darah merah (WHO, 2009).
Tabel 3.1 Perbedaan antara IgG dan IgM (WHO, 2009).
IgG IgM
Jumlah dalam tubuh 73% 8%
Berat molekul 150.000 kD 900.000 kD
Mengaglutinasi eritrosit dalam salin Tidak Ya
Mampu melewati plasenta Ya Tidak
Mengaktivasi komplemen Ya Ya
Reaksi optimal pada suhu 37 oC 4 oC
Jenis antibodi Imun Alamiah
2. Jenis sampel
Jenis sampel yang dipakai disesuaikan dengan rekomendasi
sampel yang tercantum pada insert kit reagen yang digunakan. Ada
reagen yang merekomendasikan sampel whole blood atau suspensi sel
(Cooling, 2014).
3. Reagen
Reagen yang digunakan mengandung anti-A, anti-B dan anti-AB
yang bersifat opsional (Cooling, 2014).
4. Prosedur pemeriksaan
Sebelum melakukan pemeriksaan, baca secara detail prosedur
pemeriksaan yang tertera pada petunjuk penggunaan reagen. Berikut
adalah salah satu contoh prosedur pemeriksaan golongan darah ABO
menggunakan slide test.
a. Teteskan 1 tetes anti-A pada objek gelas yang bersih dan kering,
label objek gelas.
b. Teteskan 1 tetes anti-B pada objek gelas yang bersih dan kering,
terpisah dari objek gelas pertama kemudian label objek gelas.
c. Teteskan 1 tetes anti-AB pada objek gelas ketiga, lakukan
pelabelan. Bila tidak menggunakan reagen anti-AB dapat
digantikan dengan pemeriksaan golongan darah Rhesus dengan
meneteskan anti-D.
d. Prosedur 1, 2, 3 dapat dilakukan dalam satu objek gelas.
e. Tambahkan pada masing-masing tetesan reagen 1 tetes sel darah
merah yang akan diperiksa.
f. Lakukan pencampuran reagen dan sel darah merah
menggunakan batang pengaduk, sebarkan campuran tersebut
pada area sekitar 20 mm x 40 mm.
g. Miringkan slide secara perlahan dari sisi ke sisi selama kurang
lebih 2 menit. Jangan menempatkan slide di atas permukaan
panas
h. Baca dan interpretasi hasil serta lakukan pencatatan hasil reaksi
(Cooling, 2014).
Gambar 3. 3 Contoh hasil pemeriksaan golongan darah dengan metode slide test
(Himedia, 2015).
2. Jenis sampel
Umumnya, menggunakan sampel darah beku atau dengan
antikoagulan. Sel darah merah dapat disuspensi secara autologous
dengan serum, plasma, salin atau membutuhkan pencucian terlebih
dahulu kemudian diresuspensi dalam salin. Jenis sampel disesuaikan
dengan rekomendasi insert kit reagen yang digunakan (Cooling, 2014).
3. Reagen
Reagen yang digunakan mengandung anti-A, anti-B dan anti-AB
yang bersifat opsional. Karena pemeriksaan juga dilakukan pada
sampel serum, maka reagen tambahan pada tube test adalah suspensi
sel A1, A2, B dan O 2-5% . Suspensi sel dapat dibuat sendiri di
laboratorium atau menggunakan suspensi sel yang dijual secara
komersial. Penggunaan sel A2 bersifat opsional (Cooling, 2014).
4. Prosedur pemeriksaan
Langkah-langkah pemeriksaan sel darah merah (cell grouping)
adalah sebagai berikut:
a. teteskan 1 tetes anti-A pada tabung yang bersih dan kering, label
tabung,
b. teteskan 1 tetes anti-B pada tabung yang bersih dan kering,
terpisah dari tabung pertama kemudian beri label,
c. teteskan 1 tetes anti-AB pada tabung ketiga, lakukan pelabelan
(penggunaan anti-AB bersifat opsional tergantung rekomendasi
reagen yang digunakan),
d. tambahkan pada masing-masing tabung 1 tetes suspensi sel
darah merah 2-5%,
e. campur dengan baik kemudian lakukan sentrifugasi dengan
kecepatan 1000 rpm selama 1 menit,
f. resuspensi dengan baik sel yang mengendap pada dasar tabung,
lihat ada tidaknya aglutinasi,
g. baca dan interpretasi hasil serta lakukan pencatatan hasil reaksi
pada semua tabung (Cooling, 2014).
Prosedur pemeriksaan cell grouping atau forword grouping
dengan metode tube test diilustrasikan seperti gambar berikut.
Gambar 3.4 Prosedur pemeriksaan cell grouping atau forword grouping dengan
metode tube test (Powell, 2016).
Prosedur pemeriksaan serum atau plasma (serum grouping)
dengan metode tube test adalah sebagai berikut:
1. Tambahkan masing-masing 2 tetes serum atau plasma pada 3
tabung yang bersih dan kering kemudian berikan label A1, B,
dan O,
2. tambahkan 1 tetes suspensi sel A1 2-5% ke dalam tabung yang
berlabel A1,
3. tambahkan 1 tetes suspensi sel B 2-5% ke dalam tabung yang
berlabel B,
4. tambahkan 1 tetes suspensi sel O 2-5% ke dalam tabung yang
berlabel O,
5. jika dibutuhkan pemeriksaan dengan suspensi sel A2 2-5% maka
tambahkan 1 tabung yang mengandung 2 tetes serum atau
plasma dengan suspensi sel A2 2-5%,
6. campur dengan baik kemudian lakukan sentrifugasi dengan
kecepatan 1000 rpm selama 1 menit,
7. resuspensi dengan baik sel yang mengendap pada dasar tabung,
lihat ada tidaknya aglutinasi,
8. baca dan interpretasi hasil serta lakukan pencatatan (Cooling,
2014).
Prosedur pemeriksaan serum grouping atau reverse grouping
dengan metode tube test diilustrasikan seperti gambar berikut.
Gambar 3.5 Prosedur pemeriksaan serum grouping atau reverse grouping dengan
metode tube test (Powell, 2016).
5. Interpretasi hasil
Hasil positif : bila terjadi aglutinasi kuat.
Hasil negatif : bila tidak terjadi aglunitasi setelah diresuspensi.
Apabila hasil pemeriksaan golongan darah dengan metode tube
test meragukan secara makroskopis, maka ambil satu tetes campuran
pada tabung dan letakkan di atas objek gelas kemudian baca dibawah
mikroskop. Reaksi aglutiasi yang sangat lemah dapat dideteksi secara
mikroskopis (McCullough, 2012).
Ada pun cara membaca derajat aglutinasi pada pemeriksaan
golongan darah dengan metode tube test tercantum pada gambar
berikut.
Gambar 3.6 Derajat aglutinasi pada pemeriksaan golongan darah dengan metode
tube test (NIB, 2013).
Derajat aglutinasi:
4+ : terdapat satu gumpalan besar
3+ : terdapat 2 atau 3 gumpalan
2+ : sejumlah gumpalan kecil dengan supernatan yang jernih
1+ : sejumlah gumpalan kecil dengan supernatan yang keruh
w : suspensi sel granular, sebaiknya diamati secara mikroskopis
Negatif : suspensi sel halus
Hemolisis: hemolisis parsial atau komplit, menunjukkan reaksi positif (NIB, 2013).
Berikut adalah tabel interpretasi hasil pemeriksaan cell grouping
dan serum grouping.
Gambar 3.7 V-type well, flat bottom dan U-type well (WHO, 2009).
Jenis microplate yang banyak digunakan untuk pemeriksaan
serologi golongan darah adalah U-type well karena hasil lebih mudah
dibaca pada bagian bawah U-plate (NAB, 2013).
1. Prinsip pemeriksaan
Prinsip pemeriksaan pada pemeriksaan golongan darah ABO
pada microplate test sama dengan pemeriksaan menggunakan tabung
(tube test).
2. Jenis sampel
Umumnya, menggunakan sampel darah beku atau dengan
antikoagulan. Sel darah merah dapat disuspensi secara autologous
dengan serum, plasma, salin atau membutuhkan pencucian terlebih
dahulu kemudian diresuspensi dalam salin. Jenis sampel disesuaikan
dengan rekomendasi insert kit reagen yang digunakan (Cooling, 2014).
4. Prosedur pemeriksaan
Ada pun prosedur pemeriksaan sel darah merah (cell grouping)
pada microplate test adalah sebagai berikut:
a. Teteskan 1 tetes anti-A dan 1 tetes anti-B secara terpisah pada
sumuran U-bottom microplate yang bersih dan kering. Jika
pemeriksaan dengan anti-D juga dilakukan, teteskan pada
sumuran ketiga,
b. tambahkan 1 tetes suspensi sel 2-5% pada masing-masing
microplate yang sudah mengandung anti-A, B, D,
c. lakukan pemeriksaan autokontrol pada sumuran keempat dengan
menambahkan suspensi sel sampel 2-5% dengan serum atau
plasma sampelnya sendiri,
d. campur secara perlahan dengan cara memiringkan bagian plate,
e. sentrifugasi microplate dengan kecepatan 700 × g selama 5 detik
bila menggunakan flexible U-shaped bottom microplate dan 400
× g selama 30 detik bila menggunakan rigid U-shaped bottom
microplate,
f. resuspensi dengan baik sel yang mengendap pada dasar tabung
secara manual atau menggunkan mechanical shaker, lihat ada
tidaknya aglutinasi,
g. baca dan interpretasi hasil serta lakukan pencatatan (Cooling,
2014).
5. Interpretasi hasil
Hasil positif : bila terjadi aglutinasi kuat
Hasil negatif : bila tidak terjadi aglunitasi
Interpretasi golongan darah ABO sama seperti tabel 3.3
Berikut adalah salah satu contoh gambar cara membaca pola
reaksi pada pemeriksaan golongan darah dengan microplate test.
Gambar 3.9 Pola reaksi pada pemeriksaan golongan darah dengan microplate test
(Diagast, 2016).
2. Jenis sampel
Sampel untuk pemeriksaan sebaiknya menggunakan sampel
darah segar yang ditampung pada tabung dengan antikoagulan
Ethylene diamine tetraacetic acid (EDTA) atau citrate. Untuk reverse
grouping dapat menggunakan plasma atau serum (Mehdi,2013;
Diamed, 2016).
4. Prosedur pemeriksaan
Ada pun prosedur pemeriksaan golongan darah dengan metode
gel adalah sebagai berikut:
a. Pisahkan sel darah merah dengan plasma atau serum yang akan
diperiksa
b. Biarkan larutan ID Diluent 2 ( modified LISS ) pada suhu kamar
c. Buat suspensi sel daerah merah 5% dalam larutan LISS, yaitu :
1. 500 ul diluent 2 (modified LISS) + 50 ul whole blood (WB)
2. 500 ul diluent 2 (modified LISS) + 25 ul packed red cells
Buat suspensi sel darah merah 1% dalam larutan LISS, yaitu :
1. 500 ul diluent 2 (modified LISS) + 10 ul whole blood
2. 500 ul diluent 2 (modified LISS) + 5 ul packed red cells
d. Siapkan ID-DiaClon ABOD + reverse grouping card
e. Beri label nama pasien pada ID card
f. Buka penutup card ( alumunium foil )
g. Teteskan 50 ul standar sel-A 1% ke dalam microtube nomor 5
(A1)
h. Teteskan 50 ul sel-B 1% ke dalam microtube nomor 6 ( B )
i. Teteskan 10 ul sel pasien 5% ke dalam microtube nomor 4
j. Teteskan 25 ul serum atau plasma ke dalam microtube nomor 4,
5, dan 6
k. Diamkan pada suhu kamar selama 10 menit
l. Teteskan 10 ul sel pasien suspensi 5% ke dalam microtube
nomor 1, 2, dan 3 (A, B, D)
m. Ketuk-ketuk microtube secara perlahan-lahan jika belum
tercampur
n. sentrifugasi ID- card selama 10 menit dengan ID- centrifuge,
o. baca dan catat hasilnya (Mehdi,2013; Diamed, 2016).
5. Interpretasi hasil
Hasil pemeriksaan pada ID-cards juga dapat diinterpretasikan
seperti hasil pemeriksaan pada metode tabung. Microtube 1 dan 2
sebagai forword grouping, microtube 3 untuk pemeriksaan Rhesus,
microtube 4 sebagai negative Rhesus control dan microtube 5,6
sebagai reverse grouping. Kontrol negatif harus menunjukkan hasil
negatif, jika menunjukkan aglutinasi maka pemeriksaan disimpulkan
invalid dan seluruh prosedur harus diulang (Mehdi, 2013).
Derajat aglutinasi dapat ditentukan dengan mengamati reaksi
yang terjadi pada microtube. Hasil dinyatakan negatif bila seluruh
suspensi sel darah merah mengendap pada dasar tabung. Hasil 1+ bila
sebagian besar suspensi sel darah merah mengendap pada dasar
microtube namun ada sebagian kecil yang naik dari dasar tabung. Hasil
2+ bila suspensi sel darah merah naik dari dasar microtube dan mengisi
hampir seluruh panjang microtube. Hasil 3+ bila sebagian besar
suspensi sel darah merah ada pada permukaan microtube dan hanya
sebagian kecil disepanjang microtube. Hasil 4+ bila seluruh suspensi
sel darah merah ada di permukaan microtube (Saluju and Singal,
2014). Derajat reaksi dapat diilustrasikan pada gambar berikut.
Gambar 3.10 Derajat aglutinasi hasil pemeriksaan golongan darah dengan column
technique (Saluju and Singal, 2014)
Gambar 3.11 Contoh hasil pemeriksaan golongan darah ABO/D dan reverse grouping
dengan column technique (Saluju and Singal, 2014)
2. Temperatur
Antibodi yang berbeda mempunyai kemampuan bereaksi secara
optimal pada suhu yang berbeda juga. Sebagai contoh antibodi
golongan darah ABO bereaksi optimal pada suhu 4 oC sedangkan
antibodi Rhesus bereaksi optimal pada suhu 37 oC (WHO, 2009).
3. pH
Sebagian besar antibodi golongan darah dapat bereaksi secara
optimal pada pH 6,5 sampai 7,5. Reaksi akan dihambat apabila pH
terlalu asam atau terlalu alkalis (WHO, 2009).
6. Kekuatan ionik
Kecepatan terjadinya reaksi antigen-antibodi dapat ditingkatkan
jika kekuatan ionik pada medium untuk mensuspensikan sel darah
merah menurun. Penggunaan Low Ionic Strength Solution (LISS) dapat
mengurangi periode inkubasi pada anti-human globulin test selama 15
menit (WHO, 2009).
Jik
serum grouping tidak sesuai)
a
di
sc
Jika kemungkinan ada
re
pa kesalahan sampel dan
nc
y ti
identifikasi pasien
da
Cu nga iks
k
ad
ci
de me
se sa n
a
pe
l d lin
ar da
n aa
ah n
r
Minta sampel baru
m ula
Di
er
sc
ah gi
re
pa
pa
nc
sie
yt
n
Lakukan penelusuran informasi pasien Lakukan pemeriksaan
et
Hasil pemeriksaan golongan
ap
(umur, diagnosis, pemberian obat-obatan, ulang
ad
darah ABO dapat dilaporkan
a
riwayat transfusi dan riwayat kehamilan)
Misal: Masalah ada di serum Misal: Masalah ada di eritrosit pasien Misal: Masalah ada baik di serum
pasien (reaksi lemah pada serum (reaksi lemah pada cell grouping) maupun di eritrosit pasien (reaksi
grouping) lemah pada cell dan serum
grouping)
Anti-A 4+, anti-B Anti-A 2+ mf, anti-B 0, Anti-A 1+, anti-B
4+, sel A1 0, sel B 4+ 1+,
sel A1 2+, sel B 2+ sel A1 1+, sel B 2+
Kemungkinan golongan darah AB Kemungkinan golongan darah A dengan Kemungkinan golongan darah O
dengan kemungkinan penyebab kemungkinan penyebab discrepancy dengan kemungkinan penyebab
discrepancy cold reacting antibody transfusi dengan golongan darah yang
discrepancy cold autoantibody,
(misal: anti-M, anti-P1), cold reacting berbeda (misal: transfusi golongan O pada
cold autoantibody dan
autoantibody (misal: anti-I, anti-H, anti- pasien golongan A), transplatasi
alloantibody, transplatasi
IH), passively acquired antibody sumsum tulang atau stem cell,
(plasma exchange, mismatched platelet), perdarahan feto- maternal, adanya sumsum tulang atau stem cell,
adanya Rouleaux. subgroup A3. passively acquired antibody.
Pasien Anti-A Anti-B Sel A1 Sel Sel Auto Kemungkinan penyebab Resolusi
B O kontrol
1 0 0 0 0 0 0 Golongan darah O a. Cek umur dan diagnosis pasien serta
a. pada bayi baru lahir atau orang kadar immunoglobulin jika
tua, memungkinkan
b. pasien dengan b. inkubasi serum pasien dengan reagen
hypogamaglobulinemia atau sel darah merah pada suhu ruang
agammaglobulinemia selama 30 menit,
c. konsumsi obat c. jika tidak dijumpai adanya reaksi,
immunosupresan inkubasi campuran tersebut masing-
masing pada dua kondisi yaitu suhu 4
o
C dan suhu 37 oC selama 15 menit
d. autokontrol dan reaksi serum pasien
dengan suspensi sel O harus selalu
disertakan saat pemeriksaan
2 4+ 0 1+ 4+ 0 0 Subgrup A, kemungkinan golongan a. Reaksikan sel pasien dengan anti-A1
darah A2 lectin
b. Periksa ulang serum grouping
dengan tambahan suspensi sel A1,
A2 dan sel O
c. Pemeriksaan autokontrol tetap
dilakukan
3 4+ 4+ 2+ 2+ 2+ 2+ a. Rouleaux (pasien multipel a. Cuci eritrosit pasien dengan salin
myeloma, pasien dengan rasio atau lakukan teknik salin
albumin dan globulin terbalik replacement
atau pasien dengan pemberian
plasma expanders)
b. Cold autoantibody
(kemungkinan golongan b. Lakukan inkubasi pada suhu 37 oC.
darah AB dengan auto anti-I)
Kasus 1.
Seorang wanita 60 tahun, didapatkan hasil pemeriksaan
golongan darah AB Rhesus positif. Pemeriksaan dikerjakan dengan
metode slide test hanya cell grouping. Pemeriksaan kemudian dirujuk
ke Unit Transfusi Darah (UTD) terdekat lengkap dengan permintaan
darah Pack Red Cells (PRC) 2 kantong. Hasil pemeriksaan golongan
darah sebagai berikut:
Tabel 3.5. Pemeriksaan golongan darah dengan slide test
Anti-A Anti-B Anti-D Bovin Albumin
3+ 4+ 4+ +4
Tabel 3.6 Pemeriksaan golongan darah ulang dengan tube test
1. Alat
Beberapa peralatan yang dibutuhkan untuk melakukan
pemeriksaan golongan darah Rhesus dengan metode slide test antara
lain:
1. objek gelas,
2. Rh viewbox
3. stik aplikator
Gambar 4.1 Rh viewbox untuk pemeriksaan golongan darah Rhesus dengan metode
slide test (http://www.guwsmedical.info/human-anatomy/demonstration-rh-blood-
typing.html).
2. Bahan
Sampel untuk pemeriksaan golongan darah Rhesus dapat
menggunakan sampel darah beku atau sampel darah dengan
antikoagulan. Sel darah merah dapat disuspensi secara autologous
menggunakan plasma atau serum. Suspensi sel juga dapat dibuat dalam
medium salin atau sel dicuci kemudian disuspensi dalam salin (Roback
et al, 2011; Saluju and Singal, 2014).
Saat ini ada 2 jenis reagen untuk pemeriksaan golongan darah
Rhesus yang banyak dipakai, yaitu:
1. Polyclonal human anti-D serum, antisera ini membutuhkan
potensiator seperti albumin, enzim atau Coomb’s (AHG) serum
yang bereaksi dengan IgG anti-D.
2. Monoclonal anti-D reagen, antisera ini lebih disukai dan lebih
umum dipakai karena lebih spesifik dan mampu bereaksi pada
suhu 20-37 oC baik dengan metode slide test maupun tube test.
Beberapa jenis reagen anti-D monoclonal, antara lain:
a. IgM anti-D monoclonal
b. IgG anti-D monoclonal
c. Campuran reagen anti-D IgM dan IgG monoklonal
d. Campuran reagen anti-D IgM monoklonal dan IgG
poliklonal (Makroo, 2009; Saluju and Singal, 2014).
3. Bahan kontrol.
3. Prosedur pemeriksaan
Teknik pemeriksaan golongan darah Rhesus dengan metode
slide test bersifat sederhana, mudah, tetapi kurang terpercaya. Teknik
ini paling memungkinkan digunakan di lapangan. Teknik ini juga dapat
digunakan dalam keadaan emergency jika sentrifus tidak tersedia. Slide
test tidak direkomendasikan untuk pemeriksaan rutin karena reaksi
yang lemah sering memberikan hasil negatif. Reagen IgM anti-D
monoklonal dapat bekerja dengan baik pada metode slide test.
(Makroo, 2009; Mehdi, 2013; Saluju and Singal, 2014).
Ada pun prosedur pemeriksaan golongan darah Rhesus dengan
metode slide test adalah sebagai berikut:
1. Lakukan pemanasan objek gelas menggunakan Rh viewbox pada
suhu 40-50 oC sebelum dilakukan pemeriksaan,
2. teteskan 1 tetes anti-D pada objek gelas yang bersih dan sudah
dilabel,
3. tetekan 1 tetes reagen kontrol, jika diperlukan teteskan pada
objek gelas kedua yang sudah diberi lebel, gunakan reagen
sesuai dengan petunjuk penggunaan reagen dari perusahaan
reagen,
4. pada masing-masing objek gelas, tambahkan 2 tetes suspensi sel
darah merah 40-50% yang disuspensi dalam serum atau plasma,
5. gunakan stik aplikator yang bersih untuk mengaduk campuran
suspensi sel dan reagen pada area sekitar 20-40 mm,
6. letakkan objek gelas pada viewbox dan lanjutkan pencampuran
dengan memiringkan objek gelas dengan lembut sambil melihat
ada tidaknya aglutinasi. Baca aglutinasi secara makroskopis
dalam waktu 2 menit. Jangan melakukan pembacaan bila
campuran reaksi sudah kering karena sering keliru dengan
agutinasi,
7. lakukan interpretasi dan pencatatan hasil (Roback et al, 2011;
Denomme et al, 2014).
Gambar 4.2 Contoh hasil pemeriksaan golongan darah Rhesus dengan slide test
(Saluju and Singal, 2014).
4. Interpretasi hasil
a. Aglutinasi positif pada objek gelas yang ditambahkan anti-D dan
aglutinasi negatif pada kontrol menunjukkan hasil pemeriksaan
positif atau sampel dengan D positif.
b. Tidak adanya aglutinasi baik pada objek gelas dengan
penambahan anti-D maupun kontrol, mengindikasikan hasil
negatif. Lanjutkan dengan pemeriksaan Indirect Coomb’s Test
(ICT) untuk mendeteksi adanya weak D karena tidak terdeteksi
pada metode slide test.
c. Jika dijumpai aglutinasi pada kontrol, hasil pemeriksaan pada
anti-D tidak bisa diinterpretasikan positif tanpa melakukan
pemeriksaan lanjutan (Roback et al, 2011; Denomme et al,
2014).
2. Bahan
Sampel untuk pemeriksaan dapat berupa darah beku atau
darah dengan antikoagulan. Sel darah merah dapat disuspensi secara
autologous pada serum, plasma atau salin. Cuci sel darah merah
dengan salin kemudian diresuspensi kembali dalam medium salin
(Denomme et al, 2014; Levitt, 2014).
Reagen yang digunakan dapat berupa reagen monoklonal
maupun poliklonal. Reagen digunakan sesuai dengan instruksi
penggunaan dari perusahaan reagen (Denomme et al, 2014; Levitt,
2014).
3. Prosedur Pemeriksaan
Ada pun prosedur pemeriksaan golongan darah Rhesus dengan
metode tube test adalah sebagai berikut:
a. Teteskan 1 tetes anti-D ke dalam tabung yang bersih dan sudah
diberi label. Penambahan reagen ke dalam tabung dilakukan
sebelum penambahan suspensi sel darah merah dengan tujuan
untuk menghindari adanya hasil yang negatif palsu akibat lupa
menambahkan reagen,
b. tambahkan 1 tetes reagen kontrol pada tabung kedua yang sudah
dilabel,
c. tambahkan masing-masing 1 tetes suspensi sel darah merah 2-
5%,
d. campur dengan lembut dan sentrifugasi dengan kecepatan
3000 rpm selama 1 menit atau sesuai dengan rekomendasi dari
perusahaan yang memproduksi reagen,
e. resuspensi dengan lembut endapan sel yang ada pada bagian
bawah tabung untuk melihat ada tidaknya aglutinasi,
f. tentukan derajat reaksi dan lakukan pencatatan hasil (Denomme
et al, 2014; Levitt, 2014).
`
4. Interpretasi hasil
a. Aglutinasi positif pada tabung yang ditambahkan anti-D dan
aglutinasi negatif pada kontrol mengindikasikan hasil
pemeriksaan positif atau sampel dengan D positif,
b. Tidak adanya aglutinasi pada tabung dengan anti-D maupun
kontrol menunjukkan hasil pemeriksaan negatif. Bila sampel
berasal dari pasien, dianggap sebagai Rhesus negatif. Bila
sampel berasal dari donor perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan
untuk menentukan ada tidaknya weak D antigen.
c. Aglutinasi positif pada kontrol menunjukkan hasil pemeriksaan
invalid. Pemeriksaan perlu diulang atau dibutuhkan pemeriksaan
lanjutan untuk membuang IgM atau IgG antibody pada sel darah
merah (Denomme et al, 2014; Levitt, 2014).
4.7 Pemeriksaan Golongan Darah Rhesus dengan Metode
Microwell Plate atau Microplate
1. Alat
Alat yang dibutuhkan untuk melakukan pemeriksaan golongan
darah Rhesus dengan metode microplate antara lain: microplate,
micropipette, microplate centrifuge dan microplate shaker (Denomme
et al, 2014; Levitt, 2014).
2. Bahan
Sampel yang digunakan disesuaikan dengan jenis sampel yang
direkomendasikan oleh perusahaan yang memproduksi reagen. Untuk
pemeriksaan dengan metode microplate otomatis dapat membutuhkan
sampel dengan antikoagulan spesifik (Denomme et al, 2014; Levitt,
2014).
3. Prosedur Pemeriksaan
Adapun prosedur pemeriksaan golongan darah Rhesus dengan
metode microplate adalah sebagai berikut:
a. Teteskan 1 tetes reagen anti-D pada sumuran microplate. Jika
dibutuhkan, gunakan bahan kontrol dan teteskan kontrol pada
sumuran kedua dari microplate,
b. tambahkan 1 tetes suspensi sel darah merah 2-5% yang
disuspensi dalam medium salin,
c. campur dengan baik dengan cara mengyoyangkan microplate
dengan lembut,
d. lakukan sentrifugasi pada microplate centrifuge dengan
kecepatan tertentu sesuai dengan rekomendasi perusahaan
pembuat reagen,
e. resuspensi endapan sel darah merah pada bagian bawah tabung
dengan menggoyang microplate secara lembut atau gunakan
microplate shaker.
f. periksa ada tidaknya aglutinasi, lakukan interpretasi dan
pencatatan,
g. untuk meningkatkan reaksi yang lemah, lakukan inkubasi pada
hasil yang negatif pada suhu 37 oC selama 15-30 menit dan
ulangi langkah keempat sampai keenam (Denomme et al, 2014;
Levitt, 2014).
2. Interpretasi hasil
a. Aglutinasi positif pada sumuran yang ditambahkan anti-D dan
aglutinasi negatif pada kontrol mengindikasikan hasil
pemeriksaan positif atau sampel dengan D positif,
b. Tidak adanya aglutinasi pada sumuran dengan anti-D maupun
kontrol menunjukkan hasil pemeriksaan negatif. Bila sampel
berasal dari pasien, dianggap sebagai Rhesus negatif. Bila
sampel berasal dari donor perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan
untuk menentukan ada tidaknya weak D antigen (Denomme et
al, 2014; Levitt, 2014).
2. Bahan
Bahan pemeriksaan yang digunakan disesuaikan dengan jenis
sampel yang direkomendasikan oleh perusahaan pembuat reagen.
Suspensi sel darah merah yang dibutuhkan adalah 2-5%. Reagen yang
digunakan terdiri dari reagen Anti Human Globulin (AHG) baik yang
polispesifik atau anti-IgG dan IgG-coated control cells (levitt, 2014).
3. Prosedur Pemeriksaan
a. Teteskan 1 tetes reagen anti-D pada tabung yang bersih dan
kering serta lakukan pelabelan pada tabung.
b. Teteskan 1 tetes reagen kontrol pada tabung kedua dan lakukan
pelabelan pada tabung.
c. Pada masing-masing tabung, tambahkan 1 tetes suspensi sel
eritrosit 2-5%.
d. Campur dan inkubasi kedua tabung pada suhu 37 oC selama 15-
30 menit atau disesuaikan dengan rekomendasi dari perusahaan
reagen.
e. Jika diperlukan, lakukan sentrifugasi dan baca setelah inkubasi
dengan meresuspensi endapan sel dengan lembut dan lihat ada
tidaknya aglutinasi.
f. Cuci sel darah merah dengan salin sebanyak 3 kali.
g. Tambahkan reagen Anti Human Globulin (AHG) sesuai dengan
petunjuk penggunaan reagen.
h. Campur dengan baik dan lakukan sentrifugasi.
i. Resuspensi dengan lembut dan lakukan pembacaan ada tidaknya
aglutinasi, tentukan derajatnya dan lakukan pencatatan.
j. Tambahkan IgG-coated control cells untuk mengkonfirmasi
validitas hasil yang negatif setelah penambahan reagen AHG.
k. Tidak semua reagen anti-D cocok digunakan untuk pemeriksaan
weak D. Konfirmasi dengan mengecek packed insert reagen
dari perusahaan yang mengeluarkan reagen tentang prosedur
pemeriksaan dan kontrol yang sesuai (Denomme et al, 2014;
Levitt, 2014).
4. Interpretasi hasil
a. Aglutinasi positif pada tabung yang ditambahkan anti-D dan
aglutinasi negatif pada tabung yang ditambahkan kontrol
mengindikasikan sel darah merah dengan D positif. Jadi tidak
dilaporkan sebagai “weak D positive” atau “D negative, weak D
positive” .
b. Tidak adanya aglutinasi pada tabung dengan anti-D maupun
kontrol, menunjukkan hasil pemeriksaan negatif.
c. Jika aglutinasi positif pada kontrol, menunjukkan hasil
pemeriksaan invalid. Pemeriksaan perlu diulang atau dibutuhkan
pemeriksaan lanjutan untuk membuang IgG antibody pada sel
darah merah (Levitt, 2014).
Kasus 2.
Wanita, 27 tahun. Penderita datang ke poli spesialis membawa
surat rujukan dari praktik dokter swasta untuk merencanakan proses
kelahiran bayi. Penderita saat ini sedang hamil pada trimester III dan
menceritakan bahwa golongan darahnya adalah AB Rhesus negatif.
Riwayat penyakit jantung, ginjal, kencing manis, hati disangkal dan
tidak ada keluarga yang bergolongan darah Rhesus negatif. Riwayat
abortus tidak ada, riwayat transfusi darah tidak ada. Suami penderita
memiliki golongan darah O Rhesus positif. Hasil pemeriksaan fisik,
abdomen dengan gravida 37 minggu. Pasien didiagnosis dengan
G1P0000 36-37 minggu. Rencana penanganan: pemeriksaan darah
lengkap, faal hemostasis, persiapan transfusi PRC golongan AB
Rhesus negatif dan pro Caesarean Section 2 minggu lagi.
Pada pasien ini, penderita memiliki golongan darah AB Rhesus
negatif dan menikah dengan laki-laki golongan darah O Rhesus positif.
Golongan darah AB merupakan golongan darah yang paling jarang
dalam sistem ABO dan berdasarkan sistem Rhesus, Rhesus negatif
juga merupakan darah langka. Apabila suami dengan Rhesus positif
homozigot, maka anak yang dilahirkan dari pasangan tersebut memiliki
golongan darah Rhesus positif. Ibu Rhesus negatif dengan bayi Rhesus
positif memiliki risiko terjadinya Hemolytic Disease of The Fetus and
Newborn (HDFN) karena ibu mengalami sensitisasi membentuk anti-
D setelah terpapar antigen D dari eritrosit janin atau riwayat transfusi
Rhesus positif (Provan et al, 2004).
Rh immune globulin (RhIG) mulai dikembangkan pada awal
tahun 1960 dan mendapat ijin beredar pada 1968 (Provan et al, 2004).
Sejak diperkenalkan RhIG angka kejadian Hemolytic Disease of The
Fetus and Newborn (HDFN) yang disebabkan oleh anti-D menurun
secara draktis. Sebelum penggunaan RhIG, 13% wanita Rhesus negatif
tersensitisasi setelah kehamilan. Pemberian RhIG secara rutin
menurunkan sensitisasi menjadi 11 per 10.000 kelahiran dengan
kejadian HDFN yang berat kurang dari 1 per 20.000 kelahiran (Blaney
and Howard, 2013).
RhIG dibuat dari pool plasma manusia dan tersedia dalam
sediaan intravena atau intramuskuler. RhIG akan menekan respon imun
setelah terpapar antigen D dari eritrosit fetus dan mencegah ibu untuk
memproduksi anti-D. Mekanisme penekanan respon imun tidak jelas,
kemungkinan terjadi eleminasi sel yang mengandung antigen D oleh
makrofag dengan mengeluarkan sejumlah sitokin yang menekan
respon imun (Blaney and Howard, 2013).
Untuk mencegah HDFN, skrining yang dilakukan pada ibu
hamil adalah sebagai berikut:
a. Melakukan pemeriksaan golongan darah sistem ABO dan Rh D
group saat antenatal care (ANC) pertama. Pada ibu Rhesus
negatif, sebaiknya dilakukan pemeriksaan anti-D untuk
mengetahui kemungkinan terjadi HDFN.
b. Apabila antibodi belum terbentuk pada ANC pertama, sebaiknya
dilakukan pemeriksaan ulang pada umur kehamilan 28-30
minggu.
c. Apabila antibodi sudah terbentuk pada ANC pertama, titer
antibodi harus sering dimonitor (WHO, 2002).
Titer antibodi sangat membantu dalam menentukan tindakan
yang harus dilakukan seperti menentukan waktu untuk melakukan
prosedur amniosintesis, ultrasound, color doppler ultrasonography dan
cordocentesis. Titer antibodi awal harus dicatat dan sampel dibekukan
untuk tes selanjutnya. Titer antibodi sebaiknya diperiksa serial dengan
interval 4-6 minggu. Peningkatan titer dua kali atau lebih besar
dianggap signifikan memberikan perubahan pada kondisi fetus (Blaney
and Howard, 2013).
Ada pun teknik pemeriksaan titer antibodi Rhesus adalah sebagai
berikut:
1. Prinsip
Metode semikuantitatif yang digunakan untuk menentukan titer
antibodi pada sampel serum dan direaksikan dengan sampel eritrosit
yang mampu mengekspresikan antigen yang sesuai dengan antibodi
yang diperiksa (Roback et al, 2011).
2. Sampel
Serum atau plasma yang mengandung antibodi yang akan
dititrasi (Roback et al, 2011).
3. Reagen
a. Suspensi eritrosit yang mengekspresikan antigen, tersuspensi
dalam larutan salin 2-5%.
b. Larutan salin (Roback et al, 2011).
Gambar 4.3 Pengenceran serum secara serial dengan larutan salin (Blaney and
Howard, 2013).
3. Interpretasi
Titer dinyatakan sesuai dengan hasil 1+ pada pengenceran
tertinggi (Roback et al, 2011).
Tabel 4.1 Contoh pembacaan titer antibodi Rhesus (Roback et
al, 2011).
Pengenceran Serum
1 2 4 8 16 32 64 128 256 512 Titer Skor
Sampel 1 Derajat aglutinasi 3+ 3+ 3+ 2+ 2+ 1+ 1+ ± ± 0 64
(256)
Skor 10 10 10 8 8 8 5 3 2 0 64
Sampel 2 Derajat aglutinasi 4+ 4+ 4+ 3+ 3+ 2+ 2+ 1+ ± 0 128(256)
Skor 12 12 12 10 10 8 8 5 3 0 80
Sampel 3 Derajat aglutinasi 1+ 1+ 1+ 1+ ± ± ± ± ± 0 8 (256)
Skor 5 5 5 5 3 3 3 2 2 0 33
Blaney, K.D., Howard, P.R. 2013. Rhesus Blood Group System. Basic
& Applied Conceppts of Blood Banking and Transfusion
Practices Third Edition. United States: Elsevier Mosby p. 107-
121.
Blaney, K.D., Howard, P.R. 2013. Blood Componet Preparation and
Therapy. Basic & Applied Conceppts of Blood Banking and
Transfusion Practices Third Edition. United States: Elsevier
Mosby p. 304-328.
Denomme, G., Westhoff, C. M. 2014. The Rh system. In: Fung M,
Grossman BJ, Hillyer CD, Westhoff CM, eds. Technical manual,
18th edition. Bethesda, MD: AABB. p. 317-36.
Callum, J., Barret, J., 2007. Obstetric and Intrauterin Transfusion.
Blood Banking and Transfusion Medicine Basic Principle &
Practice Second Edition. USA: Churchill Livingstone Elsevier.
p.496- 509.
Johnson, S. T., Wiler, M. 2012. The Rh Blood Group System. Blood
Groups and Serologic Testing. Modern Blood Banking &
Transfusion Practices 6th Edition. Philadelphia: F.A Davis
company. p. 148-169.
Kulkarni, S. 2015. Molecular Genotyping and its Applications
toTransfusion Medicine. Transfusion Update. Indian Society
of Blood Transfusion and Immunohaematology (ISBTI). New
Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers. p.290-295.
National Institute for Health and Clinical Excellence, 2011. Caesarean
section. NICE clinical guideline 132. Manchester. p.1-57.
Levitt, J. 2014. Standards for blood banks and transfusion services.
29th ed. AABB. Bethesda. p.31-46.
Makroo, R.N. 2009. The Rh Blood Group System. Practice of Safe
Blood Transfusion Compendium of Transfusion Medicine. New
Delhi: Kongposh. p. 66-79.
Mehdi, S.R. 2013. Rhesus Blood Group System. Essentials of Blood
Banking A Handbook for Students of Blood Banking and
Clinical
Residents. Second Edition. New Delhi: Jaypee Brothers Medical
Publishers. p.18-24.
Provan, D., Singer, C.R.J., Baglin, T., Lilleyman, J. 2004. Haemolytic
disease of the newborn. Oxford Handbook of Clinical
Haematology Second edition. Oxford New York: Oxford
University Press. p. 440-44.
Roback, J.D., Grossman, B.J., Harris, T. 2011. Technical Manual 17 th
Edition. USA: American Association of Blood Bank. p. 885-
888.
Roback, J.D., Grossman, B.J., Harris, T., Hillyer, C.D., 2011. Antibody
Detection, Identification,and Compatibility Testing. Technical
Manual 17th Editions. USA: American Association of Blood
Bank. p. 907-909.
Saluju, G. P., Singal, G. L. 2014. Rh Blood Grouping. Standard
Operating Procedures and Regulatory Guidelines Blood
Banking. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers. p. 77-
86.
WHO, 2002. Obstetric. The Clinical Use of Blood Handbook. World
Health Organization Blood Transfusion Safety. Genewa:WHO.
p. 120-135.
BAB V
UJI COCOK SERASI (CROSSMATCHING)
5.1 Definisi
Uji cocok serasi atau yang lebih sering disebut crossmacthing
memiliki beberapa sinonim antara lain uji silang serasi atau uji
kompatibilitas. Crossmacthing dilambangkan dengan XM. Istilah uji
kompatibilitas sebenarnya kurang tepat apabila disamakan dengan
crossmacthing. Crossmacthing dan uji kompatibilitas memang identik,
tetapi memiliki pengertian yang berbeda. Crossmacthing adalah suatu
prosedur untuk mereaksisilangkan komponen darah donor dan pasien.
Uji kompatibilitas adalah semua tahapan yang harus dilakukan
sehingga diperoleh darah donor yang benar-benar tepat untuk pasien.
Uji kompatibilitas meliputi: identifikasi pasien dengan akurat,
pengambilan sampel darah pasien diikuti dengan pelabelan dan
penanganan sampel yang benar, mereview riwayat pemberian transfusi
sebelumnya, melakukan pemeriksaan golongan darah sistem ABO dan
Rhesus, melakukan skrining dan identifikasi antibodi, melakukan
crossmatching, mengecek ketepatan dan kelayakan distribusi produk
darah, melakukan reindentifikasi pasien sebelum transfusi, dan
memonitoring pasien sebelum, selama dan setelah pemberian transfusi
(Blaney and Howard, 2013). Dari pengertian tersebut dapat dilihat
bahwa uji kompatibilitas memiliki cakupan yang jauh lebih luas dan
crossmatching merupakan bagian dari uji kompatibilitas (Makroo,
2009).
Berdasarkan standar dari American Association of Blood Bank
(AABB), crossmatching didefinisikan sebagai suatu pemeriksaan yang
menggunakan metode yang mampu menunjukkan inkompatibilitas
sistem ABO dan adanya antibodi signifikan terhadap antigen eritrosit
dan juga menyertakan pemeriksaan antiglobulin. Kecuali tidak tersedia
fasilitas, jika tidak ada antibodi yang signifikan pada sampel pasien
yang baru atau riwayat pemeriksaan sebelumnya, immediate spin
crossmatch
dapat digunakan untuk mendeteksi inkompatibilitas ABO (Blaney and
Howard, 2013).
1. Prinsip pemeriksaan
Prinsip dari pemeriksaan immediate-spin crossmatch adalah
reaksi antara antigen dan antibodi yang sesuai menghasilkan aglutinasi.
2. Metode Pemeriksaan
Immediate-spine crossmatch umumnya dilakukan dengan metode
tube test.
4. Prosedur pemeriksaan
Berikut adalah ilustrasi prosedur pemeriksaan immediate-spin
crossmatch.
Gambar 5.1 Prosedur pemeriksaan IS dengan motode tube test (Powell, 2016).
Reagen AHG
1. Prinsip pemeriksaan
Positif kuat
Positif lemah Negatif
3. Prosedur pemeriksaan
a. Siapkan 2 buah tabung ukuran 12x75 mm dan berikan label.
b. Tabung pertama diisi 5 µL sel darah merah donor dan
ditambahkan 500 µL LISS.
c. Tabung kedua 5 µL sel darah merah pasien dan tambahkan 500
µL LISS.
d. Beri label pada plastic card (identitas pasien dan nomor donor)
serta berikan tanda pada microtube mana reaksi mayor, minor
dan autokontrol.
e. Suspensi sel dari tabung 1 diambil 50 µL kemudian dimasukkan
ke dalam microtube dan tambahkan serum atau plasma pasien
sebanyak 25 µL (mayor).
f. Suspensi sel dari tabung 2 diambil 50 µL kemudian dimasukkan
ke dalam microtube dan tambahkan plasma donor sebanyak 25
µL (minor).
g. Suspensi sel dari tabung 2 diambil 50 µL kemudian dimasukkan
ke dalam microtube dan tambahkan serum atau plasma pasien
sebanyak 25 µL (autokontrol).
Gambar 5.5 Prosedur pemipetan sampel pada microtube
(Walker and Harmening, 2012).
Gambar 5.6 Derajat aglutinasi pada pemeriksaan crossmatch dengan metode column
agglutination test (Walker and Harmening, 2012).
Derajat aglutinasi pada gel tes dinilai dari 1+ sampai 4+ dan
reaksi mixed-field. Aglutinasi 4+ ditandai oleh mengelompoknya
seluruh sel darah merah pada permukaan microtube dan tidak ada
eritrosit disepanjang microtube atau di bagian bawahnya. Reaksi 3+
ditunjukkan oleh sebagian besar sel darah merah berada pada
permukaan gel dan beberapa mulai turun ke bagian bawah gel. Reaksi
2+, eritrosit terdistribusi disepanjang microtube. Reaksi 1+, mayoritas
eritrosit mengendap pada dasar gel dan sebagian kecil naik ke bagian
atas gel. Pada reaksi negatif seluruh eritrosit berada pada bagian bawah
gel. Pada reaksi yang mixed field, sebagian eritrosit ada dipermukaan
gel dan sebagian mengendap pada dasar gel. Eritrosit yang ada
dipermukaan gel adalah eritrosit yang mengalami aglutinasi,
sedangkan eritrosit yang mengendap di dasar gel adalah eritrosit yang
tidak mengalami aglutinasi (Walker and Harmening, 2012).
Kemungkinan
Hasil crossmatching Penanganan
penyebab
1. Periksa ulang golongan darah ABO dan
konfirmasi
ketepatan identitas pasien
1. Golongan darah ABO pasien atau
2. Lakukan pemeriksaan subgroup, telusuri riwayat
donor salah
Mayor positif, transfusi dan transplantasi pada pasien
2. Serum pasien kemungkinan
minor negatif, 3. Lakukan skrining dan identifikasi antibodi pada
mengandung antibodi ABO
autokontrol negatif, serum pasien dan ulang crossmatch dengan unit
3. Terdapat alloantibody dalam serum
darah yang tidak mengandung antigen yang
pasien yang bereaksi dengan
sesuai dengan antibodi yang ditemukan. Bila
eritrosit donor
skrining dan identifikasi antibodi tidak bisa
dilakukan crossmatch ulang dengan
beberapa unit darah donor yang lain sampai
didapatkan mayor negatif.
1. Lakukan pemeriksaan Direct Coombs’ test pada
donor, bila positif ganti darah donor
1. Darah donor kemungkinan dengan 2. Lakukan skrining dan identifikasi antibodi pada
Mayor positif,
Direct Coombs’ test (DCT) positif serum pasien dan ulang crossmatch dengan unit
minor positif,
2. Adanya alloantibody dalam serum darah yang tidak mengandung antigen yang
autokontrol negatif,
pasien yang bereaksi dengan sesuai dengan antibodi yang ditemukan. Bila
eritrosit donor. skrining dan identifikasi antibodi tidak bisa,
pemeriksaan dirujuk atau lakukan crossmatch
ulang dengan beberapa unit darah donor
yang lain.
1. Lakukan DCT pada pasien, bila positif, hasil
positif pada crossmatch minor dan autokontrol
berasal dari autoantibodi.
2. Apabila derajat positif pada minor sama atau
Mayor negatif, lebih kecil dibandingkan derajad positif pada
minor positif, Kemungkinan terdapat autoantibodi dalam autokontrol atau DCT, darah boleh
autokontrol positif, eritrosit pasien dikeluarkan.
3. Apabila derajat positif pada minor lebih
besar dibandingkan derajad positif pada
autokontrol atau DCT, darah tidak boleh
dikeluarkan. Ganti darah donor, lakukan
crossmatch lagi sampai ditemukan positif pada
minor sama atau lebih kecil dibanding
autokontrol atau DCT
Lakukan skrining dan identifikasi antibodi pada
Mayor negatif,
serum atau plasma donor atau ganti dengan darah
minor positif, Kemungkinan terdapat antibodi ireguler
donor yang lain, lakukan crossmatch lagi
autokontrol negatif, dalam serum atau plasma donor
sampai didapatkan minor negatif.
1. Lakukan autoadsopsi pada serum pasien untuk
membuang autoantibodi dan lakukan
crossmatch ulang dengan serum pasien
yang sudah diautoadsopsi
2. Lakukan DCT pada pasien, apabila positif,
Mayor positif, bandingkan derajat positif DCT dengan minor,
minor positif, Kemungkinan terdapat autoantibodi dan apabila derajat positif minor sama atau lebih
autokontrol positif, alloantibody dalam serum pasien rendah dari DCT, maka positif pada minor dapat
diabaikan, artinya positif tersebut berasal dari
autoantibodi.
3. Sedangkan positif pada mayor, disebabkan
adanya antibodi ireguler pada serum pasien,
lakukan skrining antibodi atau ganti dengan
darah donor baru sampai ditemukan hasil
mayor negatif
Pada kasus ini penyebab hasil mayor positif pada unit darah
ketiga bukan disebabkan oleh ketidaksesuain golongan darah ABO
dan Rhesus. Hasil pemeriksaan golongan darah antara pasien dan
donor sama. Kemungkinan penyebab mayor positif pada kasus ini
adalah adanya alloantibody dalam serum pasien yang bereaksi dengan
eritrosit donor. Jika fasilitas laboratorium memungkinkan sebaiknya
dilakukan pemeriksaan skrining dan identifikasi antibodi untuk
mencari kemungkinan jenis antibodi ireguler yang ada pada serum
pasien. Mengingat sudah ditemukan darah donor yang kompatibel dan
fasilitas skrining antibodi tidak tersedia, maka cara efektif yang
ditempuh adalah melakukan crossmatching ulang dengan unit darah
donor yang lain sampai didapatkan darah yang kompatibel.
Kasus 2
Pasien laki-laki 50 tahun, dengan keluhan badan lemas. Hasil
pemeriksaan darah lengkap didapatkan kadar hemoglobin 5 g/dL. Hasil
kimia klinik menunjukkan peningkatan kadar total bilirubin 4,6 mg/
dL (nilai rujukan <1,5 mg/dL). Kadar bilirubin direk 3,5 mg/dL (nilai
rujukan 0,1 – 0,5 mg/dL). Tidak ada tanda-tanda perdarahan. Penderita
rencana akan dilakukan transfusi PRC sebanyak 4 unit. Hasil
pemeriksaan golongan darah O Rhesus positif. Hasil pemeriksaan
crossmatch dengan 4 unit darah donor didapatkan hasil pada unit
pertama dan kedua, mayor negatif, minor 3+, autokontrol 3+.
Crossmatching dengan unit darah ketiga dan keempat, mayor 1+,
minor 3+, autokontrol 3+.
Penanganan kasus:
1. Dilakukan pemeriksaan golongan darah ulang pada pasien dan
donor menggunakan sampel baru. Hasil sama dengan
pemeriksaan pertama.
2. Dilakukan pemeriksaan coombs’ test, hasil pemeriksaan Direct
Coombs’ Test (DCT) positif pada C3 dan IgG dengan derajat
positif masing-masing 3+, Indirect Coombs’ Test (ICT) negatif.
3. Unit darah pertama dan kedua dengan hasil crossmatching
mayor negatif, minor 3+, autokontrol 3+ dikeluarkan.
4. Dilakukan crossmatching ulang dengan darah donor yang lain
sampai didapatkan hasil crossmatching sama dengan unit
pertama dan kedua atau dengan derajat positif yang lebih rendah.
Pada kasus ini kemungkinan penyebab hasil mayor positif pada
unit darah ketiga dan keempat adalah adanya antibodi ireguler pada
serum pasien. Bila fasilitas memungkinkan dapat dilakukan
pemeriksaan skrining antibodi untuk mengetahui jenis antibodi ireguler
tersebut. Bila
fasilitas skrining tidak ada ganti darah donor dan lakukan
crossmatching ulang sampai didapatkan mayor negatif. Hasil minor
positif dan autokontrol positif kemungkinan disebabkan adanya
autoantibodi pada sampel pasien. Pasien kemungkinan mengalami
autoimun hemolitik anemia. Hal tersebut ditunjang oleh klinis dan
laboratorium seperti penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar
bilirubin dan hasil coombs’ test positif.
DAFTAR PUSTAKA
Gambar 6.1 Prinsip pemeriksaan Direct Coomb’s Test (Green and Klostermann, 2012).
DCT berfungsi untuk mendeteksi adanya sensitisasi sel darah
merah oleh IgG atau komponen komplemen yang terjadi secara in
vivo. Setelah dilakukan proses pencucian sel darah merah sebanyak 3
kali kemudian tambahkan reagen AHG, kemudian dilihat ada tidaknya
aglutinasi. Aglutinasi akan terjadi apabila ada anti-IgG antibody atau
C3d yang menyelimuti sel darah merah (Green and Klostermann,
2012).
Gambar 6.2 Prinsip pemeriksaan Indirect Commb’s Test (Green and Klostermann,
2012).
2. Prosedur Pemeriksaan
Ada pun prosedur pemeriksaan DCT adalah sebagai berikut:
a. teteskan 1 tetes suspensi sel 2-4% yang akan diperiksa ke dalam
tabung yang bersih dan berikan label. Sampel darah harus segar,
tidak lebih dari 24 pasca pengambilan atau ditampung dalam
tabung EDTA untuk mencegah terjadinya uptake komplemen,
b. cuci sel sebanyak 3 kali menggunakan larutan salin dan buang
sebanyak mungkin salin pasca pencucian,
c. tambahkan 1-2 tetes reagen AHG,
d. campur dan sentrifugasi selama 1 menit pada kecepatan 1000
revolution per minute (rpm),
e. goyangkan tabung dan baca ada tidaknya aglutinasi,
f. jika hasil negatif, tambahkan 1 tetes control cells,
g. campur dan sentrifugasi selama 1 menit pada kecepatan 1000
rpm dan lihat adanya aglutinasi. Jika tidak ada aglutinasi, hasil
dinyatakan invalid dan pemeriksaan harus diulang.
Berikut adalah ilustrasi prosedur pemeriksaan DCT
Gambar 6.3 Prosedur pemeriksaan DCT dengan motode tube test (Powell, 2016).
6.6 Pemeriksaan ICT dengan Metode Tabung (Tube Test)
1. Alat dan bahan
Alat yang dibutuhkan adalah tabung gelas dengan ukuran 75 x
12 mm, sentrifus, dan pipet tetes.
Bahan untuk pemeriksaan meliputi serum yang akan diperiksa,
sel darah merah golongan O, reagen Anti Human Globulin (AHG), dan
kontrol sel positif.
2. Prosedur Pemeriksaan
Adapun prosedur pemeriksaan ICT adalah sebagai berikut:
a. teteskan 2 tetes serum yang akan diperiksa ke dalam tabung
yang bersih dan beri label. Sampel serum harus segar, untuk
mendeteksi adanya komplemen yang berikatan dengan antibodi,
b. tambahkan 1 tetes suspensi sel darah golongan O 2-5%,
c. inkubasi pada suhu 37 oC selama 45-60 menit,
d. amati ada tidaknya hemolisis atau aglutinasi. Hemolisis atau
aglutinasi yang terjadi pada tahap ini mencerminkan adanya
salin yang bereaksi dengan antibodi,
e. jika tidak terjadi hemolisis atau aglutinasi, cuci sampel sebanyak
3-4 kali menggunakan larutan salin dan buang sebanyak
mungkin salin pasca pencucian,
f. tambahkan 1-2 tetes reagen AHG,
g. campur dan sentrifugasi selama 1 menit pada kecepatan 1000
revolution per minute (rpm),
h. goyangkan tabung dan baca ada tidaknya aglutinasi,
i. jika hasil negatif, tambahkan 1 tetes control cells,
j. campur dan sentrifugasi selama 1 menit pada kecepatan 1000
rpm dan lihat adanya aglutinasi. Jika tidak ada aglutinasi, hasil
dinyatakan invalid dan pemeriksaan harus diulang.
k. Selalu sertakan autokontrol pada pemeriksaan ICT (Makroo,
2009).
Berikut adalah ilustrasi prosedur pemeriksaan ICT.
Gambar 6.4 Prosedur pemeriksaan IAT dengan motode tube test (Powell, 2016).
2. Medium reaksi
Beberapa medium reaksi yang bisa digunakan antara lain
albumin, LISS dan polyethylene glycol. Pada 1965, Stroup dan
Macllroy melaporkan peningkatan sensitivittas ICT jika albumin
digunakan sebagai medium reaksi. Campuran reaksi yang terdiri atas 2
tetes serum, 2 tetes bovin albumin 22% dan 1 tetes suspensi sel 3-5%
menunjukkan sensitivitas yang sama pada inkubasi 30 menit
dibandingkan inkubasi 60 menit pada medium salin. Namun, salah satu
kelemahan albumin yang dilaporkan oleh Pezt dan Coworkers adalah
tidak mampu mendeteksi beberapa jenis antibodi yang bermakna
secara klinis sehingga albumin jarang digunakan sebagai media ICT
secara rutin (Green and Klostermann, 2012).
Penggunaan Low ionic strength solutions (LISS) diperkenalkan
oleh Low dan Messeter. LISS mampu meningkatkan uptake antibodi
dan memperpendek waktu inkubasi dari 30-60 menit menjadi 10-15
menit. Penggunaan LISS juga dilaporkan oleh Moor dan Mollison
yang menemukan bahwa reaksi optimal bisa didapatkan dari
penggunaan 2 tetes serum dan 2 tetes suspensi sel 3% dalam medium
LISS (Green and Klostermann, 2012).
Polyethylene glycol (PEG) bersifat larut dalam air dan
digunakan sebagai zat tambahan untuk meningkatkan uptake antibodi.
Mekanisme kerja PEG adalah menghilangkan molekul air yang
mengelilingi eritrosit (the water of hydration theory) sehingga efektif
untuk meningkatkan konsentrasi antibodi. Beberapa peneliti telah
membandingkan penggunaan PEG dan LISS sebagai medium reaksi
dalam pemeriksaan antiglobulin. Hasil penelitian melaporkan bahwa
PEG dapat meningkatkan deteksi antibodi yang bermakna secara klinis
dan menurunkan deteksi antibodi yang tidak bermakna secara klinik
(Green and Klostermann, 2012).
3. Temperatur
Kecepatan reaksi antibodi IgG dan aktivasi komplemen optimal
pada suhu 37 oC (Green and Klostermann, 2012).
4. Waktu inkubasi
Untuk sel yang disuspensi dalam medium salin, waktu inkubasi
mencapai 30-120 menit. Mayoritas antibodi yang bermakna secara
klinis akan terdeteksi setelah menit ke-30. Jika menggunakan LISS
atau PEG, waktu inkubasi bisa diperpendek menjadi 10-15 menit.
Dengan waktu yang lebih singkat, sangat penting untuk dilakukan
inkubasi pada suhu 30 oC. Bila waktu inkubasi pada teknik LISS
diperpanjang (misal 40 menit) maka antibodi akan terelusi dari eritrosit
dan sensitivitas akan menurun (Green and Klostermann, 2012).
5. Pencucian eritrosit
Untuk pemeriksaan DCT maupun ICT, sel eritrosit harus dicuci
dengan salin minimal 3 kali sebelum dilakukan penambahan reagen
AHG. Pencucian akan menghilangkan globulin serum yang tidak
berikatan. Pencucian yang tidak adekuat dapat menyebabkan hasil
negatif palsu karena reagen AHG akan dinetralisasi oleh globulin
serum yang tidak berikatan. Hal tersebut menyebabkan fase pencucian
pada pemeriksaan DCT dan ICT menjadi tahapan yang sangat penting.
Proses pencucian sebaiknya segera dilakukan setelah proses inkubasi.
Semua sisa salin setelah pencucian terakhir harus dihilangkan karena
dapat mengencerkan reagen AHG yang berefek pada penurunan
sensitivitas pemeriksaan (Green and Klostermann, 2012).
a. Kualitas sampel yang tidak baik a. Pencucian sel yang tidak adekuat
b. Sentrifugasi berlebihan b. Kontaminasi reagen AHG dengan protein
c. Teknik pembacaan yang tidak tepat dari luar
d. Kontaminasi bakteri pada sel atau salin c. Konsentrasi paraprotein yang tinggi dalam
yang digunakan untuk pencucian serum
e. Penggunaan tabung yang kotor d. Reagen AHG tidak bekerja dengan baik,
f. Adanya fibrin dalam tabung sehingga baik oleh karena deteorisasi maupun
menyerupai aglutinasi netralisasi
g. Sel dengan hasil DCT positif dapat e. Adanya pemanasan serum atau pembekuan
memberikan hasil ICT positif palsu dan pencairan yang berulang
h. Sel dengan poliaglutinasi f. Lupa menambahkan serum atau reagen
i. Salin terkontaminasi dengan logam AHG
berat atau colloidal silica g. Sentrifugasi yang tidak adekuat atau
j. Sampel ditampung pada tabung dengan berlebihan
gel separator h. Suspensi sel terlalu encer atau terlalu pekat
6.10 Pemeriksaan ICT Menggunakan Medium LISS
Penggunaan LISS pada ICT dapat meningkatkan kecepatan dan
derajat pengikatan antibodi oleh sel darah merah dan menurunkan
waktu inkubasi. Berikut dijelaskan tentang pemeriksaan ICT pada
medium LISS (Makroo, 2009).
2. Prosedur Pemeriksaan
Ada pun prosedur pemeriksaan ICT adalah sebagai berikut:
a. Cuci sel darah merah dengan salin sebanyak 2 kali,
b. cuci sel sekali dalam medium LISS,
c. buat suspensi sel 2-4% dalam medium LISS,
d. teteskan serum dan sel yang disuspensi dalam LISS dengan
volume yang sama ke dalam tabung yang bersih dan berikan
label,
e. inkubasi selama 15 menit pada suhu 37 oC (pada kondisi
emergency, inkubasi dapat dilakukan selama 5 menit),
f. amati ada tidaknya hemolisis atau aglutinasi, catat hasil yang di
dapat,
g. jika tidak terjadi hemolisis atau aglutinasi, cuci sampel sebanyak
3 kali menggunakan larutan salin dan buang sebanyak mungkin
salin pasca pencucian,
h. tambahkan 1-2 tetes reagen AHG,
i. campur dan sentrifugasi selama 1 menit pada kecepatan 1000
revolution per minute (rpm),
j. goyangkan tabung dan baca ada tidaknya aglutinasi,
k. jika hasil negatif, tambahkan 1 tetes control cells,
l. campur dan sentrifugasi selama 1 menit pada kecepatan 1000
rpm dan lihat adanya aglutinasi. Jika tidak ada aglutinasi, hasil
dinyatakan invalid dan pemeriksaan harus diulang.
LISS, serum dan suspensi sel harus diadaptasikan dengan suhu
kamar sebelum digunakan (Makroo, 2009).
4. Gel Test
Pada gel test reaksi antigen dan antibodi akan terdeteksi pada
microtube yang mengandung polyacrylamide gel. Gel akan menjaring
sel darah merah yang beraglutinasi pada bagian atas gel dan
meloloskan sel darah merah yang tidak beraglutinasi sehingga
mengendap pada dasar tabung. Hasil reaksi dinyatakan negatif, bila
seluruh suspensi sel mengendap di dasar tabung dan hasil dinyatakan
positif bila suspensi naik di sepanjang atau seluruhnya ada di
permukaan tabung. Semakin tinggi derajat aglutinasi maka sel semakin
berada di atas permukaan tabung. Ada tiga jenis gel test, yaitu netral,
spesifik dan antiglobulin. Neutral gel tidak mengandung reagen
spesifik dan hanya digunakan untuk mendeteksi ada tidaknya
aglutinasi. Sebagian besar penggunaan neutral gel test adalah untuk
skrining dan identifikasi antibodi. Gel test yang spesifik menggunakan
reagen spesifik yang dimasukkan ke dalam gel dan sering digunakan
untuk menentukan jenis antigen. Gel test yang mengandung
antiglobulin atau yang disebut dengan The gel low ionic antiglobulin
test (GLIAT) dapat digunakan untuk pemeriksaan IAT maupun DAT.
Salah satu contoh prosedur pemeriksaan IAT menggunakan metode
gel, 50 µL suspensi sel darah merah 0,8% dimasukkan ke dalam gel
yang sudah mengandung AHG lalu tambahkan serum. Tabung
kemudian diinkubasi dalam periode tertentu dan selanjutnya dilakukan
sentrifugasi. Apabila ada aglutinasi maka akan terperangkap pada
permukaan tabung yang menandakan hasil reaksi positif. Interpretasi
sama dengan pemeriksaan golongan darah atau crossmatching
menggunakan metode gel. Jika dibandingkan dengan metode
konvensional, metode GLIAT lebih aman, handal dan hasil
pemeriksaan lebih mudah dibaca (Green and Klostermann, 2012).
6.12 Contoh Kasus Terkait Coomb’s Test
Kasus 1
Wanita, 42 tahun, menikah, datang ke Unit Gawat Darurat
(UGD) dengan keluhan sesak nafas sejak 2 hari yang lalu. Sesak
disertai batuk berdahak dan badan lemas. Kadang penderita juga
merasakan demam. Penderita sebelumnya dirawat dengan Ca mamma
sejak satu tahun yang lalu dan sudah pernah menjalani kemoterapi
sebelumnya. Riwayat penyakit jantung, ginjal, kencing manis, alergi
disangkal. Tidak ada keluarga penderita yang mengalami keluhan
serupa.
Hasil pemeriksaan fisik: keadaan umum lemah, kompos mentis,
tensi 110/70 mmHg, nadi 80 x/menit, respirasi 36 x/ menit dan suhu
aksila 37,5 o C. Dijumpai anemia, tampak konjungtiva pucat, suara
paru vesikuler dengan ronchi positif, lain-lain dalam batas normal.
Hasil pemeriksaan radiologi menyimpulkan adanya pneumonia.
Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan penurunan kadar
hemoglobin dari 8,9 g/dL menjadi 5,1 g/dL dalam waktu 6 hari tanpa
disertai tanda-tanda perdarahan. Dokter merencanakan untuk
melakukan transfusi Pack Red Cells (PRC) 5 Unit.
Hasil pemeriksaan golongan darah adalah sebagai berikut :
Auto
Suspensi Suspensi Suspensi Bovin
Anti-A Anti-B Anti-D Kontrol
sel A sel B sel O Albumin
4+
3+ 4+ 3+ 3+ 3+ 4+ 4+
Tabel 6.6 Pemeriksaan golongan darah ulang setelah pencucian
sel dan dikerjakan dengan metode tabung, inkubasi 37 o C.
Auto
Suspensi Suspensi Suspensi Bovin
Anti-A Anti-B Anti-D Kontrol
sel A sel B sel O Albumin
4+
Negatif Negatif 3+ 3+ Negatif 4+ Negatif
Auto
Golongan darah
NO Donor Mayor Minor Kontrol
donor
1 Donor 1 O Rhesus + 2+ 3+ 4+
2 Donor 2 O Rhesus + 2+ 3+ 4+
3 Donor 3 O Rhesus + 3+ 4+ 4+
4 Donor 4 O Rhesus + 2+ 3+ 4+
5 Donor 5 O Rhesus + 2+ 3+ 4+
6 Donor 6 O Rhesus + 3+ 4+ 4+
7 Donor 7 O Rhesus + 3+ 4+ 4+
8 Donor 8 O Rhesus + 2+ 3+ 4+
Kasus 2.
Laki-laki, 65 tahun, masuk rumah sakit dengan keluhan sesak
dan mata kuning. Hasil pemeriksaan fisik, tekanan darah 105/65
mmHg, nadi 92 kali/menit dan lien teraba 2 cm di bawah arkus kosta.
Penderita pernah menjalani cholecystectomy 15 tahun yang lalu dan 3
tahun terakhir didiagnosis dengan coronary artery disease. Saat ini
penderita
mendapat terapi Atenolol, Ramipril, Simvastatin dan Aspirin. Hasil
pemeriksaan laboatorium: hemoglobin 4,8 g/dl, retikulosit 263x109/L
(22%), Mean Cells Volume (MCV) 84 fl, White Blood Cells (WBC)
8,5x109/L, trombosit 277x109/L, bilirubin total 128 µmol/l (conjugated
bilirubin 12 µmol/l), kalium 4.5 mmol/l, kreatinin 176 mmol/l, Lactate
dehydrogenase (LDH) 3407 µ/l (normal: <240 µ/l). Pasien memiliki
golongan darah A Rhesus positif. Hasil pemeriksaan Direct Coombs’
test (DCT) positif kuat dengan anti-IgG dan anti-C3d positif dan
Indirect Coombs’ test juga positif (Mijovic, 2012).
Berdasarkan kondisi klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium,
penderita didiagnosis dengan Autoimmune hemolytic anemia (AIHA),
“warm antibody type.” Hasil laboratorium yang menunjukkan adanya
proses hemolisis adalah peningkatan unconjugated bilirubin, LDH
dan retikulosit. Hasil pemeriksaan DCT juga menunjang AIHA. Pada
40% kasus AIHA dapat menunjukkan adanya jaundice dan sekitar
50% terjadi splenomegaly ringan sampai sedang. Dua indikator terbaik
untuk menunjukkan adanya proses hemolisis adalah peningkatan kadar
LDH dan penurunan haptoglobin. Kedua indikator tersebut memiliki
sensitivitas sekitar 85% dan spesifisitas haptoglobin 96%. Haptoglobin
memiliki spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan LDH yang hanya
61%. Meskipun DCT merupakan indikator kuat untuk menentukan
AIHA, tetapi hasil DCT yang negatif tidak menyingkirkan adanya
AIHA. Hemolisis yang signifikan dapat terjadi bila jumlah sel darah
merah yang berikatan dengan molekul IgG kurang dari batas deteksi
metode pemeriksaan serologi yang digunakan (<300-400 per eritrosit).
Sebaliknya, DCT dapat positif pada beberapa kondisi tanpa adanya
hemolisis. Sekitar 15% pasien yang dirawat di rumah sakit mempunyai
hasil DCT positif lemah tanpa adanya gejala hemolisis dan 1 dari
1.000-
10.000 donor sehat mempunyai hasil DCT positif. Beberapa kondisi-
kondisi yang dijumpai dengan hasil DCT positif antara lain:
a. Autoimmune hemolytic anemia (tipe hangat, tipe dingin dan
AIHA yang diinduksi oleh obat-obatan).
b. Alloimmune hemolysis (Hemolytic disease of the newborn/
fetus, reaksi transfusi hemolitik, Passive alloantibody transfer,
transplantasi organ).
c. Nonspecific protein uptake (peningkatan kadar globulin plasma,
Drugs that modify red cell membrane).
d. Individu sehat dengan hasil DCT positif (Mijovic, 2012).
Untuk mengkonfirmasi hasil pemeriksaan golongan darah dan
Coombs’ test disarankan untuk melakukan pemeriksaan ulang dengan
memeriksa plasma pasien menggunakan panel sel darah merah dan sel
pasien sendiri. Hasil reaksi semuanya positif atau memberikan pola
“panreactive”. Pemeriksaan serologi untuk mendapatkan darah yang
kompatibel sulit dilakukan sehingga pasien ditransfusi menggunakan
komponen darah yang ”least incompatible” (Mijovic, 2012).
Transfusi pada pasien AIHA bukan merupakan suatu tindakan
tanpa risiko. Pada kasus ini sulit untuk mendapatkan darah yang
kompatibel dan risiko hemolisis oleh autoantibodi sangat besar.
Masalah lain adalah risiko terjadinya overload cairan karena pasien
mengalami kelainan jantung yang disertai anemia berat. Kadar
hemoglobin di bawah 5 g/dl biasanya berasosiasi dengan gejala anemia
berat, khususnya jika proses hemolitik bersifat akut. Hemolitik yang
akut umumnya akan menampilkan klinis hemoglobinuria, mental
confusion, somnolence, fever, nyeri abdomen, nyeri punggung dan
dada. Gejala-gejala tersebut dapat terjadi pada kadar hemoglobin yang
lebih tinggi, khususnya pada pasien usia tua dan pasien dengan
kelainan jantung. Gejala-gejala tersebut mengindikasikan bahwa
transfusi sel darah merah harus segera dilakukan terlepas dari hasil
compatibility tests yang positif. Untuk mengurangi risiko overload dan
gagal jantung, target transfusi adalah pada kadar hemoglobin (Hb) 8
g/dl. Pada sebagian besar pasien, kadar Hb 8 g/dl dianggap mampu
menjaga pengangkutan oksigen ke jaringan. Perhatian lain terkait
pemberian transfusi adalah transfusi diberikan dengan kecepatan
lambat 1 ml/kg/jam (dalam kondisi biasa kecepatan transfusi umumnya
3-5 ml/kg/jam) (Mijovic, 2012).
DAFTAR PUSTAKA
7.1 Definisi
Deteksi antibodi yang langsung berikatan dengan antigen sel
darah merah merupakan poin yang kritis dalam uji kompatibilitas.
Pemeriksaan tersebut merupakan salah satu upaya untuk mengurangi
terjadinya reaksi transfusi hemolitik. Selain itu, deteksi antibodi juga
membantu mengurangi risiko bayi lahir dengan Hemolytic Disease of
The Fetus and Newborn (HDFN). Pemeriksan skrining dan identifikasi
antibodi adalah suatu pemeriksaan untuk mendeteksi antibodi yang
lebih fokus pada antibodi ireguler atau unexpected antibodies di luar
dari antibodi dalam sistem ABO. Unexpected antibodies merupakan
immune alloantibodies yang diproduksi sebagai respon terhadap
masuknya antigen eritrosit yang distimulasi melalui transfusi,
transplantasi atau kehamilan (Makroo, 2009; Blaney and Howard,
2013; Trudell, 2014).
Skrining dan identifikasi antibodi dapat dilakukan pada pasien,
donor maupun kondisi antenatal. Deteksi dini antibodi dalam serum
ibu dapat membantu dokter anak dalam mengambil keputusan
penanganan bayi pasca dilahirkan termasuk pemberian transfusi tukar
pada neonatus. Jika antibodi yang tidak diharapkan terdeteksi selama
pemeriksaan crossmatch, beberapa strategi penyelesaian dapat
ditempuh tergantung dari fasilitas yang dimiliki oleh Unit Transfusi
Darah (UTD). Jika tersedia fasilitas yang lengkap sangat penting untuk
melakukan skrining dan identifikasi antibodi dengan bantuan sel panel,
selanjutnya pilih unit darah yang tidak mengandung antigen yang
sesuai dengan antibodi yang diidentifikasi. Jika fasilitas skrining dan
identifikasi antibodi tidak tersedia, maka perlu dilakukan pengulangan
crossmatch dengan beberapa donor sampai di dapatkan darah yang
kompatibel (Mehdi, 2013).
Persentase populasi dengan antibodi eritrosit positif sebenarnya
tidak terlalu tinggi. Hanya 0,2-2%. Meskipun demikian, standar
American Association of Blood Bank (AABB) merekomendasikan
untuk melakukan skrining antibodi guna mendeteksi antibodi yang
signifikan bermakna klinis sebagai bagian dari pretransfusion
compatibility testing baik pada sampel donor maupun pasien (Trudell,
2014).
Gambar 7.2 Prosedur pemeriksaan skrining dan identifikasi antibodi dengan metode
tabung (Trudell, 2014).
Suspensi sel pasien yang Contoh sel panel nomor 11, Hasil identifikasi antibodi
akan direaksikan dengan mengandung antigen D, C, c, e, dengan 11 sel panel dan
serum atau plasma pasien k, Kpb, Jsb, Fya, Fyb, Jkb, Leb, P1, autokontrol pada 3 fase
sendiri (autokontrol) M, N, S, s, Lub, Xga pemeriksaan
Aglutinasi
positif Aglutinasi
negatif
Gambar 7.8 Beda gambaran antibodi yang diekspesikan secara homozigot dan
heterozigot (Trudell, 2014).
Gambar 7.9 Contoh teknik eksklusi atau rule out pada tahapan interpretasi identifikasi
antibodi (Trudell, 2014).
Gambar 7.10 Contoh pemberian tanda pada jenis antigen yang tidak ada coretan
setelah tahap rule out (Trudell, 2014).
3 Sel positif
3 Sel negatif
c. Lama inkubasi
Reaksi antigen-antibodi berada dalam keseimbangan yang
dinamis. Jika waktu inkubasi singkat, maka akan sedikit sel darah
merah yang tersensitisasi terdeteksi dengan metode rutin. Jika waktu
inkubasi diperpanjang, maka antibodi yang terikat dapat melepaskan
diri dari sel darah merah. Waktu inkubasi juga ditentukan oleh medium
reaksi. Pada medium salin, waktu yang dibutuhkan dapat berkisar
antara 30 menit
sampai 1 jam, namum pada medium lain waktu inkubasi dapat lebih
singkat, misalnya 10 menit (Trudell, 2014).
A
Apheresis 1
Anti Human Globulin (AHG) 2, 69-70, 87, 97, 105, 107, 109, 115, 132
Antiglobulin anti-IgG gel card 2
Antigen ekstra 49
Antigen lemah 49
Antibodi ekstra 49, 55
Antibodi lemah 49
Antenatal care (ANC) 74
Antiglobulin crossmatch
83
Autologous 95
Alloantibody 96, 98, 100, 142-143, 148
Auto immune hemolytic anemia (AIHA) 104, 111, 125
Autoantibody 131
Albumin technique 133
Antigram chart 135
B
C
Crossmatcing 2, 4, 82, 95-101
Compatibility testing 4
Column technique 25, 41-44
Caesarean Section 73, 78-79
Crossmatch mayor 83, 86
Crossmatch minor 83, 86
Coombs control cells (CCC) 87, 112, 132, 136, 138
Computer crossmatch 93-94
Coombs’ test 101, 104-113, 116
Cold Aglutinin Disease (CAD)
124 Cold antibodies 131
D
Direct Antiglobulin Testing (DAT) 2, 105
Discrepancy 47-, 71
Du Phenotype 68-69, 73
Direct Coombs’ test (DCT) 98, 107, 123, 125, 134
Direct Antiglobulin Test (DAT) 104
E
Ethylenediaminetetraacetic acid(EDTA) 9, 41, 85, 132
Emergency 16-18
Enzyme-Linked Antiglobulin Test (ELAT) 118-119
Enhancement reagent 132, 135
F
Forward grouping 5, 19-20, 29-, 56
Fase albumin 87
G
H
I
In vivo 2, 46, 104, 106
Identifikasi pasien 6
Immediate-spin crossmatch 16, 82, 83-86, 93, 96
Imunoglobulin 23-25
In vitro 46, 104, 143
Indirect Coomb’s Test (ICT) 61 , 64, 68, 104, 106, 125, 134
Uji cocok serasi 82
Indirect Antiglobulin Test (IAT) 87, 136
Immediate spin 72, 134-135, 150
Immune alloantibodies 130
Identifikasi antibodi 130-151
J
K
Kontrol kualitas 12
Kalibrasi 12
L
Lipemik 11
Low Ionic Strength Solution (LISS) 47, 90, 114, 117, 137
Low-Ionic Polybrene technique (LIP) 118
Lactic Dehydrogenase (LDH) 123
Least incompatible 124-126
M
Micoplate testing 2, 25, 35-40
Makroskopis sampel 10
Mixed-field 49, 93, 138, 143
Monoclonal 62
Microwell Plate 66, 132
Microplate sentrifuse 66-67
Microplate shaker 66-67
Medium salin 86
Mixed AIHA 123-124
Mean Cells Volume (MCV)
125 Microtiter wells 139-142
N
O
Overtransfusion 125
P
Pretransfusion testing 1
Penampungan sampel 9
Pemisahan serum/plasma 13
Pencucian sel 14
Packed Red Cells (PRC) 17-19, 54, 72,74, 100
pH 46, 151
Polyclonal 62
Partial D 68, 71
Polymerase Chain Reaction (PCR) 71
Plastic card 89-91, 132, 137
Prewarming technique 123, 124
Panreactive126
Potentiators
136
Prozone 149
Postzone 149
Phase reactivity 149
Q
Quality control 12, 13
R
Refrigerated centrifuge 1, 12
Reverse grouping 5, 19-20, 29-32, 56
Reagen 11, 12, 13
Rhesus D negative 60
Rhesus D positif 60
Rh viewbox 61, 63
Rouleaux 97, 143, 151
Role out 143, 145-146
Rule of three 147
S
Slide test 2, 18, 25-29, 54, 56, 61-65
Solid-phase immunoassay 2, 44, 118-119, 132
Solid-phase red cell adherence (SPRCA) 2, 44
Solid-phase protein A 2
Solid-phase enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) 2, 44
Standard Operating Procedures (SPO) 12, 48
Suspensi sel 14
Serologic crossmatch 83
Skrining antibodi 130-151
Sel panel 132-133
Solid phase adherence 139-142
T
Tube test 2, 19, 25, 29-35, 54, 56, 61-65, 88, 107, 132
Titer antibodi 75-78
The gel low ionic antiglobulin test (GLIAT) 119
The 3 and 3 rule 147
U
Unexpected allogeneic antibodies 4, 130
Umur sampel 10
Uji validasi 15
Uncross-matched blood 16-17
Unit Transfusi Darah (UTD) 19, 130
V
W
Word Health Organization (WHO) 5, 15
Weak D 61, 68-69, 71-74
Warm AIHA 124
Wash Red Cells (WRC) 124
White Blood Cells (WBC) 125
X
Y
Z
Zeta Potensial 46