Anda di halaman 1dari 187

LABORATORIUM

PRATRANSFUSI
UP DATE

i
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta


Pasal 1
1. Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip
deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ketentuan Pidana
Pasal 113
1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf I untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan / atau pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan / atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf
c, huruf d, huruf f, dan / atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan / atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).

ii
LABORATORIUM
PRATRANSFUSI
UP DATE

dr. Ni Kadek Mulyantari, Sp.PK(K)


Dr.dr. I Wayan Putu Sutirta Yasa, MSi

Udayana UnIveRSIty PReSS


2016

iii
LABORATORIUM
PRATRANSFUSI
UP DATE
Penulis:
dr. ni Kadek Mulyantari, Sp.PK(K)
dr.dr. I Wayan Putu Sutirta yasa, MSi

Editor:
Jiwa atmaja

Cover & Ilustrasi:


Repro

Design & Lay Out:


I Wayan Madita

Diterbitkan oleh:
Udayana University Press
Kampus Universitas Udayana denpasar
Jl. P.B. Sudirman, denpasar - Bali telp. (0361) 255128
unudpress@gmail.com http://udayanapress.unud.ac.id

Cetakan Pertama:
2016, xvii + 154 hlm, 15 x 23 cm

ISBN: 978-602-294-151-4

Hak Cipta pada Penulis.


Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang :
dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit.

iv
Special for our family “Thank you for the time we spent together,
Thank you for never leaving me in the bad times,
Thank you for understanding me and all the motivation.
However, the most important is thanks for
loving me like you love yourself.”

Suami tercinta dr. I Ketut Widiyasa, MPH


Ananda Putu Bagus Alden Putra Naresha
Kadek Ellisya Ayu Heradiva Naresha
Komang Aqila Dharmaswari Naresha

dr. Ni Kadek Mulyantari, Sp.PK(K)

Istri tercinta Ni Putu Sudani. S.IP. MM


Ananda dr. Gede Agus Eka Tirta Putra
Gede Agus Ari Tirta Yasa, S.Farm. Apt

Dr. dr. I Wayan Putu Sutirta Yasa, MSi

v
PRAKATA

Laboratorium pratransfusi merupakan serangkaian pemeriksaan


lab. yang dilakukan sebelum produk darah didistribusikan ke ruang
perawatan pasien. Bagian ini merupakan tahapan akhir yang
menentukan apakah produk darah layak atau tidak ditransfusikan
kepada pasien. Seluruh prosedur dapat menjadi komponen kritis dalam
menentukan keselamatan pasien.
Dalam pelaksanaannya, tidak semua hasil pemeriksaan
laboratorium pratransfusi memberikan hasil sesuai dengan harapan.
Sangat banyak permasalahan baik yang disebabkan oleh faktor
teknis maupun faktor pasien dan donor, sehingga hasil pemeriksaan
menyimpang dari yang seharusnya. Dalam buku ini, dibahas secara
rinci mengenai prosedur teknis pemeriksaan laboratorium pratranfusi,
permasalahan yang muncul, serta cara mengatasinya.
Penulis berharap buku ini dapat membantu berbagai pihak yang
terlibat dalam pelayanan transfusi darah baik teknisi laboratorium,
dokter laboratorium, klinisi maupun pihak manajemen sehingga
menambah wawasan dan memiliki persepsi yang sama tentang
pemeriksaan laboratorium terkait transfusi.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan buku ini.
Akhir kata, tidak ada sesuatu yang sempurna. Mohon maaf apabila ada
kesalahan dalam penulisan. Kritik atau saran dari pembaca sangat kami
harapkan untuk perbaikan penulisan di kemudian hari.

Denpasar, Januari 2017


Penulis
SAMBUTAN
REKTOR UNIVERSITAS UDAYANA

Om Swastiastu
Perkembangan ilmu kedokteran begitu pesat, agar para dokter
dapat memberikan pelayanan kesehatan kepada para penderita
dengan baik dibutuhkan pemutahiran ilmu pengetahuan. Pembaruan
dan pemutahiran (updating) ilmu kedokteran, khususnya dalam
bidang laboratorium pratransfusi akan membantu kecermatan dan
keselamatan serta menghindarkan bahaya transfusi kepada individu
yang memerlukan.
Saya menyambut baik terbitnya buku yang berjudul
“Laboratorium Pratransfusi Up Date”. Besar harapan saya agar
buku ini mampu menjadi pedoman dan solusi bagi sebagian besar
permasalahan terkait pelayanan transfusi darah, dan membuka
wawasan semua pihak yang terlibat dalam kegiatan pelayanan darah
sehingga bisa membangun kesatuan persepsi dalam penatalaksanaan
pasien. Buku ini juga diharapkan menjadi bahan bacaan bagi para
mahasiswa kedokteran sebagai bekal pengetahuan setelah mereka lulus
sebagai dokter.
Akhir kata saya mengucapkan selamat kepada penulis dan
penghargaan yang setinggi-tingginya atas waktu, upaya dan kerja
kerasnya dalam penulisan buku ini. Semoga niat baik ini mampu
membuahkan hasil semaksimal mungkin, membantu dalam
peningkatan kualitas pelayanan kesehatan khususnya dibidang
transfusi darah yang berujung pada keamanan dan keselamatan pasien.
Om Shanti, Shanti, Shanti

Denpasar, Januari 2017


Rektor Universitas Udayana

Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD

vii
DAFTAR ISI

Prakata ......................................................................................... vi
Sambutan Rektor Universitas Udayana ........................................ vii
Daftar Isi ....................................................................................... viii
Daftar Tabel .................................................................................. xi
Daftar Gambar .............................................................................. xiii
Daftar Singkatan ........................................................................... xvi
BAB I. PENDAHULUAN ........................................................... 1
BAB II. UJI PRATRANSFUSI .................................................... 4
2.1 Definisi ............................................................................... 4
2.2 Jenis Uji Pratransfusi .......................................................... 5
2.3 Persiapan Uji Pretransfusi .................................................. 6
2.4 Pemisahan Serum atau Plasma, Pencucian Sel Darah
Merah dan Pembuatan Suspensi Sel Darah ........................ 13
2.5 Uji Pratransfusi Pada Kondisi Emergency .......................... 16
2.6 Beberapa Kasus Terkait Tahapan Uji Pratransfusi ............. 18
Daftar Pustaka .............................................................................. 22
BAB III. PEMERIKSAAN GOLONGAN DARAH ABO .......... 24
3.1 Definisi .............................................................................. 24
3.2 Sistem Antigen dan Antibodi Pada Golongan darah ......... 24
3.3 Jenis Pemeriksaan Golongan Darah .................................. 26
3.4 Pemeriksaan Golongan Darah Dengan Slide Test
atau Tile Method ................................................................. 27
3.5 Pemeriksaan Golongan Darah Dengan Tube Test .............. 30
3.6 Pemeriksaan Golongan Darah ABO Dengan
Mcroplate Test .................................................................... 35
3.7 Pemeriksaan Golongan Darah Dengan Column
Technique (Sephadex Gel) .................................................. 40
3.8 Pemeriksaan Golongan Darah ABO Dengan Solid
Phase Tests ......................................................................... 45
3.9 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Reaksi Antigen
Antibodi Pada Pemeriksaan Golongan Darah .................... 46
3.10 Permasalahan Pada Pemeriksaan Golongan Darah ............ 48
3.11 Penanganannya Discrepancy Golongan Darah ABO ........ 50
3.12 Contoh Kasus Terkait Pemeriksaan Golongan
Darah ABO ........................................................................ 53
Daftar Pustaka ............................................................................. 57
BAB IV. PEMERIKSAAN GOLONGAN DARAH RHESUS ... 60
4.1 Golongan Darah Rhesus ..................................................... 60
4.2 Tujuan Pemeriksaan Golongan Darah Rhesus ................... 61
4.3 Prinsip Pemeriksaan Golongan Darah Rhesus ................... 61
4.4 Metode Pemeriksaan Golongan Darah Rhesus .................. 61
4.5 Pemeriksaan Golongan Darah Rhesus Dengan Metode
Slide Test ............................................................................ 62
4.6 Pemeriksaan Golongan Darah Rhesus Dengan Metode
Tube Test ............................................................................ 65
4.7 Pemeriksaan Golongan Darah Rhesus Dengan
Metode Microwell Plate atau Microplate .......................... 67
4.8 Weak D atau Du Phenotype ................................................ 68
4.9 Pemeriksaan weak D (Rhesus Du) ...................................... 69
4.10 Discrepancies dan Permasalahan Pada Pemeriksaan
Golongan Darah Rhesus ..................................................... 70
4.11 Contoh Kasus Terkait Golongan Darah Rhesus ................. 72
Daftar Pustaka .............................................................................. 80
BAB V. UJI COCOK SERASI (CROSSMATCHING) ................ 82
5.1 Definisi ............................................................................... 82
5.2 Tujuan Uji Cocok Serasi (Crossmatching) ....................... 83
5.3 Jenis-jenis Uji Cocok Serasi (Crossmatching) .................. 83
5.4 Immediate-Spin (IS) Crossmatch ....................................... 84
5.5 Crossmacthing Dengan Tube Test .................................... 86
5.6 Crossmacthing dengan Column Agglutination Test .......... 88
5.7 Computer (Electronic) Crossmatch ................................... 93
5.8 Crossmatching Pada Kondisi Khusus ................................ 95
5.9 Penyebab dan Penanganan Inkompatibilitas Pada

Hasil Crossmatching .......................................................... 96


5.10 Contoh Kasus Terkait Crossmatching ............................... 99
Daftar Pustaka...................................................................................102
BAB VI. ANTIGLOBULIN TEST (COOMB’S TEST)...................104
6.1 Definisi Coomb’s Test.............................................................104
6.2 Tujuan Coomb’s Test..............................................................104
6.3 Prinsip Pemeriksaan Coomb’s Test.........................................105
6.4 Metode Pemeriksaan Coomb’s Test........................................106
6.5 Pemeriksaan DCT Dengan Metode Tabung (Tube Test).........107
6.6 Pemeriksaan ICT Dengan Metode Tabung (Tube Test)...........109
6.7 Interpretasi Hasil Coomb’s Test..............................................111
6.8 Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil pemeriksaan
Coomb’s Test..........................................................................111
6.9 Sumber Kesalahan Pemeriksaan Coomb’s Test.......................114
6.10 Pemeriksaan ICT menggunakan medium LISS.......................115
6.11 Beberapa modifikasi dan automatisasi pemeriksaan
Coomb’s Test...........................................................................116
6.12 Contoh Kasus Terkait Coomb’s Test.......................................118
Daftar Pustaka...................................................................................125
BAB VII. PEMERIKSAAN SKRINING DAN IDENTIFIKASI
ANTIBODI.......................................................................................127
7.1 Definisi....................................................................................127
7.2 Tujuan Pemeriksaan................................................................128
7.3 Prinsip Pemeriksaan................................................................128
7.4 Metode Pemeriksaan...............................................................129
7.5 Alat dan Bahan........................................................................129
7.6 Prosedur Pemeriksaan.............................................................130
7.7 Interpretasi Hasil.....................................................................139
7.8 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Sensitivitas
Skrining Antibodi....................................................................146
7.9 Penyebab Kesalahan Hasil Pemeriksaan Skrining dan
Identifikasi Antibodi................................................................148
Daftar Pustaka...................................................................................149
INDEK..............................................................................................150
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Prosedur rutin uji pratransfusi ................................... 15


Tabel 2.2 Perbandingan jumlah sel darah merah dan NaCl
pada prosedur pembuatan suspensi sel..........................15
Tabel 3.1 Perbedaan antara IgG dan IgM ................................. 26
Tabel 3.2 Interpretasi hasil pemeriksaan golongan darah
dengan metode slide test ........................................... 29
Tabel 3.3 Interpretasi hasil pemeriksaan golongan darah
ABO pada sampel eritrosit dan serum ...................... 34
Tabel 3.4 Contoh ABO discrepancy antara cell grouping dan
serum grouping ......................................................... 52
Tabel 3.5 Pemeriksaan golongan darah dengan slide test ......... 53
Tabel 3.6 Pemeriksaan golongan darah ulang dengan tube test 54
Tabel 3.7 Pemeriksaan golongan darah ulang setelah
pencucian sel dan dikerjakan dengan metode
tabung, inkubasi 37 o C ............................................. 54
Tabel 3.8 Hasil pemeriksaan golongan darah dengan slide test 55
Tabel 3.9 Hasil pemeriksaan golongan darah ulang pada
sampel yang sama dengan tube test .......................... 55
Tabel 3.10 Hasil pemeriksaan golongan darah dengan slide test 56
Tabel 3.11 Hasil pemeriksaan golongan darah ulang pada
sampel yang sama dengan tube test .......................... 56
Tabel 4.1 Contoh pembacaan titer antibodi Rhesus .................. 77
Tabel 4.2 Derajat dan skor aglutinasi...............................................77
Tabel 5.1 Penyebab dan penanganan inkompatibilitas pada
hasil crossmatching..........................................................98
Tabel 6.1 Tujuan dari masing-masing tahapan
pemeriksaan ICT............................................................110

xi
Tabel 6.2 Panel DCT: pola hasil pemeriksaan DCT pada
Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) .................. 111
Tabel 6.3 Sumber kesalahan hasil pemeriksaan coomb’s test ... 114
Tabel 6.4 Pemeriksaan golongan darah dengan blood
grouping plate ........................................................... 118
Tabel 6.5 Pemeriksaan golongan darah ulang dengan metode
tabung ........................................................................ 118
Tabel 6.6 Pemeriksaan golongan darah ulang setelah pencucian
sel dan dikerjakan dengan metode tabung,
inkubasi 37 o C ........................................................... 119
Tabel 6.7 Hasil pemeriksaan crossmatch dengan sejumlah
donor .......................................................................... 119
Table 6.8 Persentase kasus dan hasil DCT pada masing-
masing tipe AIHA ..................................................... 121
Tabel 7.1 Contoh fenotif eritrosit dari individu homozigot dan
heterozigot ................................................................. 141
Tabel 7.2 Jenis antibodi yang bereaksi optimal pada masing-
masing fase pemeriksaan skrining antibodi ............... 147
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Mencocokan identitas sampel darah dengan


gelang identitas pasien ........................................ 7
Gambar 2.2 Contoh pelabelan sampel darah untuk uji
pretransfusi ......................................................... 8
Gambar 2.3 Tabung tutup merah dan tutup ungu
untuk menampung sampel uji pratransfusi ......... 9
Gambar 2.4 Contoh prosedur pembuatan suspensi sel 5% ..... 15
Gambar 2.5 Contoh label penggunaan produk darah yang
belum dilakukan pemeriksaan crossmatch
dalam situasi emergency ..................................... 16
Gambar 2.6 Hasil pemeriksaan crossmatch dengan
metode gel menunjukan hasil kompatibel .......... 18
Gambar 2.7 Hasil pemeriksaan crossmatch dengan
metode gel menunjukan hasil kompatibel
dengan warna kemerahan pada permukaan gel .. 19
Gambar 3.1 Struktur molekul IgG dan IgM ........................... 25
Gambar 3.2 Prosedur pemeriksaan golongan darah
dengan metode slide test ..................................... 28
Gambar 3.3 Contoh hasil pemeriksaan golongan darah
dengan metode slide test ..................................... 29
Gambar 3.4 Prosedur pemeriksaan cell grouping atau
forword grouping dengan metode tube test ....... 31
Gambar 3.5 Prosedur pemeriksaan serum grouping atau
reverse grouping dengan metode tube test ......... 32
Gambar 3.6 Derajat aglutinasi pada pemeriksaan golongan
darah dengan metode tube test ........................... 33
Gambar 3.7 V-type well, flat bottom dan U-type well ............ 35
Gambar 3.8 U-shaped bottom microplate .............................. 37
Gambar 3.9 Pola reaksi pada pemeriksaan golongan darah
dengan microplate test ........................................ 39
Gambar 3.10 Derajat aglutinasi hasil pemeriksaan golongan
darah dengan column technique .......................... 43
Gambar 3.11 Contoh hasil pemeriksaan golongan darah
ABO/D dan reverse grouping dengan
column technique ................................................ 44
Gambar 3.12 Algoritme penanganan kasus discrepancy
golongan darah .................................................... 51
Gambar 3.13 Rouleaux dan agglutination ............................... 53
Gambar 4.1 Rh viewbox untuk pemeriksaan golongan
darah Rhesus dengan metode slide test ............... 62
Gambar 4.2 Contoh hasil pemeriksaan golongan darah
Rhesus dengan slide test ..................................... 64
Gambar 4.3 Pengenceran serum secara serial dengan
larutan salin ......................................................... 76
Gambar 5.1 Prosedur pemeriksaan IS dengan motode
tube test ............................................................... 85
Gambar 5.2 Prosedur pemeriksaan croosmatch fase III ......... 88
Gambar 5.3 Prinsip pemeriksaan crossmatch metode
column agglutination test ................................... 89
Gambar 5.4 Sentrifus dan inkubator yang sesuai dengan
ukuran plastic card ............................................. 90
Gambar 5.5 Prosedur pemipetan sampel pada microtube ...... 91
Gambar 5.6 Derajat aglutinasi pada pemeriksaan crossmatch
dengan metode column agglutination test .......... 92
Gambar 6.1 Prinsip pemeriksaan Direct Coomb’s Test ......... 105
Gambar 6.2 Prinsip pemeriksaan Indirect Commb’s Test ...... 106
Gambar 6.3 Prosedur pemeriksaan DCT dengan motode
tube test ............................................................... 108
Gambar 6.4 Prosedur pemeriksaan IAT dengan motode
tube test ............................................................... 110
Gambar 7.1 Contoh komposisi sel panel primer .................... 130
Gambar 7.2 Prosedur pemeriksaan skiring dan identifikasi
antibodi dengan metode tabung ........................... 132
Gambar 7.3 Contoh hasil pemeriksaan identifikasi antibodi .. 134
Gambar 7.4 Hasil pemeriksaan dengan metode gel ................ 135
Gambar 7.5 Sistem solid phase adherence test ....................... 136
Gambar 7.6 Prosedur pemeriksaan skrining dan identifikasi
antibodi menggunakan metode solid phase
adherence ............................................................ 137
Gambar 7.7 Perbandingan derajat positif pemeriksaan
skrining dan identifikasi antibodi antara metode
tabung dan metode solid phase adherence .......... 138
Gambar 7.8 Beda gambaran antibodi yang diekspesikan
secara homozigot dan heterozigot ....................... 141
Gambar 7.9 Contoh teknik eksklusi atau rule out pada
tahapan interpretasi identifikasi antibodi ............ 142
Gambar 7.10 Contoh pemberian tanda pada jenis antigen yang
tidak ada coretan setelah tahap rule out .............. 143
Gambar 7.11 Contoh teknik inklusi .......................................... 144
Gambar 7.12 Rule of three terpenuhi ........................................ 144
DAFTAR SINGKATAN

AABB : American Association of Blood Bank


ANC : Antenatal care
AHG : Anti Human Globulin
ARV : Anti Retro Viral
AIHA : Auto Immune Hemolytic Anemia
HDN : Hemolytic Disease of New Born
BDRS : Bank Darah Rumah Sakit
CS : Caesarean Section
CAS : Cold Agglutinin Syndroma
PCH : Paroxysmal Cold Hemoglobinuria
CAD : Cold Aglutinin Disease
CCC : Coomb’s Control Cells
DCT : Direct Coombs’ test
DAT : Direct Antiglobulin Test
DL : Darah Lengkap
ICT : Indirect Coomb’s test
EDTA : Ethylene Diamine Tetraacetic Acid
ELAT : Enzyme-Linked Antiglobulin Test
ELISA : Enzyme-linked immunosorbent assay
FDA : Food and Drug Administration
FFP : Fresh Frozen Plasma
HDFN : Hemolytic Disease of the Fetus and Newborn
HDN : Hemolytic Disease of the New born
HIV : Human Immunodeficiency Virus
HSV : Herpes Simplex Virus
IAT : Indirect Antiglobulin Test
ICT : Indirect Coomb’s Test
LISS : Low Ionic Strength Solution
LIP : Low-Ionic Polybrene technique
LDH : Lactic Dehydrogenase
MCV : Mean Cells Volume
PCR : Polymerase Chain Reaction
PRC : Packed Red Cell
PEG : Polyethylene glycol
RhIG : Rh immune globulin
RCFs : Relative Centrifugal Forces
SPRCA : Solid-Phase Red Cell Adherence
RSUD : Rumah Sakit Umum Daerah
SPO : Standard Operating Procedures
GLIAT : The gel low ionic antiglobulin test
UTD : Unit Transfusi Darah
UGD : Unit Gawat Darurat
WAIHA : Warm Autoimmune Hemolytic Anemia
WRC : Wash Red Cells
WBC : White Blood Cells
WHO : Word Health Organization
xviii
BAB I
PENDAHULUAN

Transfusi darah merupakan salah satu komponen terapi yang


sangat penting dalam penatalaksanaan pasien. Pemberian transfusi
darah harus berpegang pada prinsip bahwa manfaat yang akan diterima
oleh pasien jauh lebih besar dibandingkan risiko yang akan
ditanggung, sehingga semboyan “Getting the right blood to the right
patient at the right time and the right place” harus benar-benar
dilaksanakan.
Transfusi darah sudah dikenal sejak ratusan tahun yang lalu.
Pada awal diperkenalkan, kegiatan transfusi darah sering mengalami
kegagalan, bahkan menimbulkan kematian pada sejumlah pasien.
Semakin lama kegiatan transfusi darah semakin menemukan titik
terang sehingga cukup banyak nyawa yang bisa terselamatkan. Titik
terang tersebut mulai terlihat saat ditemukannya sistem golongan darah
ABO oleh Karl Landsteiner pada abad ke-19. Tahun 1904, Charles
Richard Drew menemukan bahwa plasma darah atau cairan yang tidak
mengandung sel darah merah dapat dibekukan dan disimpan dalam
waktu lama tanpa mengalami kerusakan. Berdasarkan temuan tersebut
mulailah dilakukan pemisahan komponen darah dan dibuka bank
penyimpanan darah. Pada 1950 Carl Walter dan W.P. Murphy
memperkenalkan kantong plastik untuk mengumpulkan darah donor
sehingga darah dapat dikemas dengan lebih aman dan praktis. Pada
tahun 1953 mulai dikembangkan refrigerated centrifuge untuk
memisahkan komponen darah menjadi beberapa jenis komponen dan
saat ini pemisahan tersebut sudah dapat dilakukan secara otomatis
dengan mesin apheresis.
Meskipun telah ditemukan teknik dan peralatan yang menunjang
dalam kegiatan pelayanan transfusi, ternyata masih ditemukan banyak
masalah terkait transfusi darah. Misalnya, meskipun golongan darah
ABO antara pasien dan donor sudah sama, tetapi sejumlah reaksi
selama dan setelah transfusi tetap terjadi. Berdasarkan berbagai
1
permasalahan

2
yang muncul di lapangan, akhirnya ditemukanlah sejumlah
pemeriksaan laboratorium yang dapat mencegah munculnya efek
samping transfusi darah.
Pemeriksaan laboratorium sebelum pemberian transfusi darah
(pretransfusion testing) merupakan bagian yang sangat vital dalam
kegiatan transfusi. Uji pratransfusi inilah yang menentukan apakah
produk darah yang akan ditransfusikan dapat memberikan manfaat
yang optimal atau tidak kepada pasien. Selain itu, uji pratransfusi juga
dapat memprediksi apakah transfusi akan memberikan efek samping
yang fatal atau tidak sehingga pencegahan terjadinya efek samping
pemberian transfusi dapat lebih awal dilakukan.
Laboratorium pratransfusi terus mengalami perkembangan.
Perkembangan terjadi mulai dari pemeriksaan yang sangat sederhana
sampai pemeriksaan otomatis pun telah berhasil dilakukan. Pada awal
abad ke-19, laboratorium pratransfusi hanya bisa dikerjakan terbatas
pada pemeriksaan golongan darah dan crossmatching dengan
menggunakan metode slide test dan tube test. Pada 1945 Coombs,
Mourant dan Race menemukan pemeriksaan antiglobulin untuk
mendeteksi antibodi yang mensensitisisasi sel darah merah maupun
antibodi yang bebas dalam serum. Pada 1946 Coombs dan Cowokers
melaporkan penggunaan Anti Human Globulin (AHG) untuk
mendeteksi sensitisasi sel darah merah secara in vivo pada bayi baru
lahir dengan kelainan hemolitik dan selanjutnya dikenal dengan Direct
Antiglobulin Testing (DAT). Pada 1960 mulai digunakan metode
micoplate testing untuk mendeteksi adanya antigen sel darah merah
dan antibodi dalam serum secara rutin terutama di Unit Transfusi
Darah (UTD). Metode micoplate testing ini terdiri dari 96 wells yang
digunakan untuk menggantikan metode tube test pada pemeriksaan
dengan jumlah test yang banyak.
Selanjutnya, pada 1985, Dr. Yves Lapierre dari Perancis
mengembangkan teknik gel test menggunakan berbagai media seperti
gelatin, acrylamide gel, dan glass beads. Dr. Lapierre menemukan
adanya aglutinasi selama sedimentasi dan sentrifugasi standar serta
menemukan adanya partikel gel sebagai materi yang ideal untuk
mendeteksi aglutinasi. Perkembangan selanjutnya pada 1978
Rosenfield dan Coworker pertama
kali berhasil mengaplikasikan prinsip solid-phase immunoassay untuk
pemeriksaan golongan darah dan antibodi skrining. Selanjutnya solid-
phase immunoassay mengalami perkembangan sehingga dikenal
adanya solid-phase red cell adherence (SPRCA), solid-phase protein
A dan solid- phase enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA).
Tahun 1988, Dr. Lapierre dan DiaMed A.G mengembangkan produksi
gel di Eropa dan September 1994 Food and Drug Administration
(FDA) memberikan ijin produksi dan distribusi antiglobulin anti-IgG
gel card. Penemuan terus berlanjut sehingga saat ini pemeriksaan
laboratorium immunohematology sudah berjalan dengan sistem
automation technology.
Dalam buku ini akan dibahas secara rinci mengenai berbagai
pemeriksaan laboratorium sebelum produk darah ditransfusikan kepada
pasien. Buku ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman serta
keterampilan para petugas yang terlibat dalam pelayanan transfusi
darah. Selain itu, buku ini diharapkan dapat menciptakan persepsi yang
sama baik antar petugas teknis, dokter laboratorium, para klinisi
maupun pihak manajemen yang terlibat dalam pelayanan transfusi
darah sehingga pada akhirnya pasien akan mendapatkan manfaat
transfusi secara maksimal dan risiko seminimal mungkin.
BAB II
UJI PRATRANSFUSI

2.1 Definisi
Uji pratransfusi memiliki beberapa istilah lain seperti
pretransfusion testing atau compatibility testing. Uji pratransfusi
adalah serangkaian pemeriksaan yang dilakukan sebelum produk
darah ditransfusikan pada pasien. Uji pratransfusi ini identik dengan
crossmatching (direct compatibility test) meskipun dalam aplikasinya
pada uji pratransfusi ini terdapat pemeriksaan awal serta ada
pemeriksaan lanjutan yang harus dilakukan apabila hasil
crossmatching tidak sesuai. Jadi crossmatching hanya merupakan
salah satu bagian dari uji pratransfusi (Stoe, 2011). Uji pratransfusi di
internal laboratorium pada umumnya menghabiskan waktu sekitar satu
jam. Waktu pengerjaan dapat lebih pendek ataupun lebih panjang
tergantung jenis dan metode pemeriksaan serta kendala yang dihadapi
selama prosedur berjalan.
Berdasarkan standar American Association of Blood Bank
(AABB), tahapan-tahapan uji pratransfusi tidak hanya terbatas pada
pemeriksaan laboratorium saja, tetapi juga meliputi cakupan yang
lebih luas. Mulai dari permintaan darah sampai pelabelan produk darah
sebelum didistribusikan ke pasien. Ada pun tahapan uji pratransfusi
menurut standar AABB adalah sebagai berikut:
1. Pengisian formulir permintaan darah,
2. identifikasi pasien dan pengambilan sampel darah pasien,
3. pemeriksaan terhadap sampel pasien (kelayakan sampel untuk
diperiksa, pemeriksaan golongan darah ABO dan Rhesus,
pemeriksaan skrining dan identifikasi antibodi, membandingkan
hasil pemeriksaan saat ini dengan hasil pemeriksaan
sebelumnya),
4. pemeriksaan terhadap sel darah merah donor (konfirmasi
pemeriksaan golongan darah ABO dan Rhesus),
5. pemilihan darah donor, pilih komponen darah dengan golongan
darah ABO dan Rhesus yang kompatibel dengan pasien dan
tidak mengandung unexpected allogeneic antibodies,
6. melakukan pemeriksaan crossmatch baik dengan cara serologi
maupun komputer atau elektronik,
7. melakukan pelabelan komponen darah sesuai dengan identitas
pasien dan pendistribusian produk darah (zundel, 2012).

2.2 Jenis Uji Pratransfusi


Word Health Organization (WHO) merekomendasikan uji
pratransfusi minimal yang harus dikerjakan di laboratorium adalah
pemeriksaan golongan darah sistem ABO dan Rhesus serta
crossmatching (WHO, 2002). Sumber lain menyebutkan bahwa uji
pratransfusi (pretransfusion testing) meliputi pemeriksaan golongan
darah ABO dan Rhesus (D phenotype), antibodi skrining dan
crossmatching (Zundel, 2012; Blaney and Howard, 2013). Berikut
adalah rangkuman prosedur rutin uji pratransfusi yang dilakukan di
laboratorium imunohematologi.

Tabel 2.1 Prosedur rutin uji pratransfusi


(Stoe, 2011; Blaney and Howard, 2013).

Jenis pemeriksaan Tujuan Sumber antigen Sumber antibodi


ABO/D typing Mendeteksi adanya Sel darah merah Anti-A, Anti-B, Anti
(forward grouping) antigen A,B dan D pasien D komersial

ABO serum testing Deteksi antibodi ABO Suspensi sel donor Serum atau plasma
(reverse grouping) pasien

Skrining antibodi Mendeteksi antibodi Sel panel Serum atau plasma


dengan antigen pasien
spesifik pada sel darah
merah

Crossmatching Menentukan Sel darah merah Serum atau plasma


kompatibilitas serologi donor dan pasien donor dan pasien
antara donor dan
pasien sebelum
transfusi
2.3 Persiapan Uji Pratransfusi
Langkah-langkah uji pratransfusi merupakan sebuah proses yang
dimulai dari pasien dan berakhir pada pasien juga. Proses tersebut
membutuhkan sebuah rancangan yang dapat menjamin keamanan baik
bagi donor maupun pasien (recipient). Berikut adalah tahapan-tahapan
tentang persiapan uji pratransfusi.

1. Melakukan identifikasi pasien dengan akurat


Salah satu penyebab mayor reaksi transfusi hemolitik yang fatal
adalah pemberian darah dengan golongan yang tidak sesuai akibat
kesalahan identifikasi saat pengambilan dan pelabelan sampel pasien.
Pengambilan dan pelabelan sampel darah pasien dianggap sebagai
bagian yang kritis dalam menjamin keamanan transfusi. Angka
kesalahan pelabelan sampel mencapai 1:2.900 sampai 1:6.000 kasus.
Sedangkan angka kesalahan identifikasi dan pelabelan sampel
mencapai 1:15.000 sampai 1:30.000, dan 70% di antara kejadian
tersebut berlangsung secara bedside (McCullough, 2012).
Salah satu fasilitas yang menunjang ketepatan identifikasi adalah
gelang identitas pasien. Pada gelang pasien akan tercantum nama
lengkap, tanggal lahir dan nomor rekam medik pasien. Informasi yang
ada pada permintaan dan sampel darah harus dicocokkan dengan
gelang pasien. Bila terdapat ketidaksesuaian maka sampel darah tidak
bisa digunakan. Bila pasien tidak menggunakan gelang identitas maka
petugas harus mengikuti prosedur identifikasi yang ditetapkan oleh
rumah sakit dan seharusnya petugas rumah sakit memasang gelang
identitas pasien sebelum pengambilan sampel dilakukan (WHO, 2002;
Judd, 2009). Gambar berikut mengilustrasikan salah satu prosedur
standar yang harus dilakukan petugas ruangan untuk memastikan
identitas sampel darah pasien.
Gambar 2.1 Mencocokan identitas sampel darah dengan gelang identitas pasien
(Zundel, 2012).

Pada umumnya, petugas bank darah tidak terlibat dalam


pengambilan sampel darah maupun dalam proses pengisian formulir
permintaan darah. Sampel darah pasien biasanya dikumpulkan oleh
perawat di ruang perawatan dan penyiapkan formulir permintaan darah
dilakukan bersama dengan dokter penanggung jawab pasien. Untuk itu,
kewajiban pertama yang harus dilakukan oleh petugas di bank darah
pada saat menerima sampel dan permintaan adalah wajib melakukan
pengecekan kembali kesesuaian identitas dan kelengkapan formulir
permintaan darah. Jika ditemukan ketidaksesuaian, maka harus
dilakukan pengambilan sampel ulang. Petugas bank darah tidak
diperbolehkan melakukan perubahan atau koreksi pada data pasien.
Akurasi data pada sampel dan formulir permintaan merupakan faktor
utama dalam menjamin keamanan dan keakuratan uji pratransfusi
(McCullough, 2012; Blaney and Howard, 2013).
Label sampel minimal harus mencantumkan 2 identitas, yaitu
nama lengkap pasien dan nomor catatan medik. Standar pelabelan
sampel yang lengkap harus mencantumkan nama lengkap pasien,
nomor rekam medik, tanggal pengambilan sampel, tanda tangan
dan inisial nama
petugas pengambil sampel. Hal lain yang perlu diperhatikan pada label
adalah label harus terbaca dan tidak terhapus. Berikut adalah contoh
pemberian label sampel untuk uji pratransfusi (Blaney and Howard,
2013).

NAMA NO.CM
TANGGAL SAMPLING
PHLEBOTOMIS

Gambar 2.2 Contoh pelabelan sampel darah untuk uji pratransfusi


(Blaney and Howard, 2013).

Saat ini banyak rumah sakit telah menerapkan sistem teknologi


barcode untuk membantu pencatatan identitas pasien. Sistem ini
diharapkan dapat mengurangi kesalahan akibat pencatatan ulang yang
dilakukan secara manual. Selain itu pelabelan sampel harus dilakukan
secara bedside, segera setelah sampel diambil dan petugas tidak
diperkenankan melakukan pekerjaan apapun sebelum proses pelabelan
selesai dilakukan (Blaney and Howard, 2013).
Informasi pada label sampel harus sama dengan informasi pada
permintaan darah. Formulir juga harus mencantumkan jenis produk
yang diminta, nama dan tanda tangan dokter yang meminta, lokasi
perawatan pasien, diagnosis, jenis kelamin, tanggal permintaan, jenis
permintaan berdasarkan indikator prioritas (cito, rutin, preoperatif, siap
pakai) (Blaney and Howard, 2013).

2. Mengecek kondisi sampel


Proses mengecek kondisi sampel adalah kegiatan yang
dilakukan oleh petugas bank darah untuk memastikan kondisi sampel
layak atau
tidak diperiksa. Proses ini dilakukan setelah dipastikan data yang
tercantum pada label sampel sudah sesuai dengan data pada formulir
permintaan darah. Selain itu, seluruh data pada formulir permintaan
sudah terisi dengan lengkap sebelum proses ini dimulai. Beberapa
kondisi yang perlu diperiksa pada sampel antara lain:

a. Tabung penampungan sampel


Sampel untuk uji pratransfusi umumnya diambil dari darah vena
menggunakan tabung tanpa antikoagulan (tutup merah) atau tabung
dengan antikoagulan EDTA (Ethylenediaminetetraacetic acid) yang
bertutup ungu. Antikoagulan lain tidak direkomendasikan karena dapat
bersifat sebagai anti-komplemen dan kemungkinan akan menyebabkan
adanya fibrin dalam plasma sehingga beberapa antibodi yang
bermakna secara klinis tidak dapat dideteksi.
Pada kasus-kasus kegawatdaruratan, penampungan sampel pada
tabung dengan tutup merah perlu dipertimbangkan. Sampel pada
tabung tutup merah harus didiamkan beberapa menit (sekitar 30 menit)
agar darah membeku untuk mendapatkan serum. Sedangkan pada
tabung dengan antikoagulan EDTA, darah dapat segera disentrifugasi
untuk mendapatkan plasma (Blaney and Howard, 2013). Penampungan
sampel dengan menggunakan tabung yang mengandung clot activator
atau tabung dengan lapisan silikon juga tidak direkomendasikan (Stoe,
2011).
Gambar berikut adalah gambar jenis tabung yang bisa digunakan
untuk menampung sampel uji pratransfusi.

Gambar 2.3 Tabung tutup merah dan tutup ungu untuk menampung sampel uji
pratransfusi (Saluju and Singal, 2014).
b. Umur sampel
Sampel untuk uji pratransfusi seharusnya mencerminkan status
antibodi saat itu. Umur sampel yang digunakan untuk uji pratransfusi
tidak boleh lebih dari 3 hari dengan perhitungan tanggal pengambilan
sampel merupakan hari ke-0. Pada kondisi pasien membutuhkan
transfusi berulang atau sampel yang dikirim sebelumnya tidak
mencukupi, dapat dilakukan pengambilan sampel baru (Judd, 2009;
Blaney and Howard, 2013).
Apabila uji pratransfusi sudah selesai dilakukan, sampel
darah pasien dan segmen selang dari unit donor yang digunakan
untuk crossmatching wajib disimpan selama 7 hari pada suhu 1-6oC.
Penyimpanan ini dilakukan untuk mengantisipasi dibutuhkannya
kembali sampel darah untuk penelusuran kasus-kasus reaksi transfusi
(Judd, 2009; Blaney and Howard, 2013).

c. Penampilan atau makroskopis sampel


Sampel darah yang lisis selama proses pengambilan sampel
tidak bisa diterima dan seharusnya dilakukan pengambilan sampel
ulang. Hemolisis secara mekanik dapat disebabkan beberapa faktor
seperti penggunaan jarum dengan ukuran yang terlalu kecil, trauma
pada pembuluh darah kecil atau kesulitan melakukan akses vena,
tekanan saat memasukkan sampel ke dalam tabung di mana sampel
harus melewati ulang ukuran jarum yang kecil, atau sentrifugasi
dilakukan pada saat darah belum membeku sempurna (khusus untuk
sampel serum).
Hemolisis mekanik dapat menutupi deteksi hemolisis yang
diinduksi oleh antibodi. Beberapa antibodi yang diketahui dapat
menyebabkan hemolisis antara lain ABO, P1, Lewis, Kidd, atau Vel
blood group system (Stoe, 2011; Blaney and Howard, 2013).
Sampel yang potensial terdilusi oleh cairan infus (misal ringer
laktat) juga tidak dapat diterima karena berpotensi menghilangkan
antibodi lemah atau menginduksi reaksi positif palsu yang disebabkan
oleh molekul pada cairan intravena. Sampel untuk bank darah dan
semua pemeriksaan laboratorium idealnya diambil dari lengan yang
tidak terpasang infus. Jika lokasi infus merupakan satu-satunya lokasi
yang dapat diakses untuk pengambilan sampel, maka aliran infus harus
dihentikan sementara dan dibilas dengan salin serta 5-10 ml darah
pertama harus dibuang (Stoe, 2011; Blaney and Howard, 2013).
Selain adanya kemungkinan sampel mengalami lisis dan
potensial terdilusi oleh cairan infus, sampel yang lipemik (serum
tampak berlemak) juga tidak layak diterima. Sampel yang lisis dan
lipemik dapat menyulitkan dalam melaksanakan interpretasi hasil
crossmatching (Blaney and Howard, 2013).

3. Membandingkan dengan data pasien sebelumnya


Standar American Association of Blood Bank (AABB)
menganjurkan untuk melakukan perbandingan hasil pemeriksaan
golongan darah sistem ABO dan Rhesus (D typing) selama 12 bulan
terakhir. Beberapa indikator yang harus ditelusuri adalah data golongan
darah, riwayat kelainan golongan darah, adanya antibodi yang secara
signifikan bermakna klinis, kejadian reaksi transfusi dan kebutuhan
transfusi yang khusus. Adanya riwayat inkonsistensi atau
permasalahan lain yang dijumpai dalam proses ini harus segera dilacak
dan diselesaikan sebelum transfusi dilakukan (Stoe, 2011; Blaney and
Howard, 2013).

4. Pemilihan reagen untuk menunjang uji pratransfusi


Food and Drug Administration (FDA) telah menetapkan standar
minimum terkait sensitivitas dan spesifisitas reagen yang digunakan
di bank darah atau unit transfusi darah. FDA menetapkan standar ini
sebelum ijin peredaran reagen dikeluarkan secara komersial.
Spesifisitas reagen berkaitan dengan kemampuannya mengenali
antigen determinan secara spesifik sesuai dengan jenis molekul
antibodi yang ditambahkan. Sebagai contoh adalah anti-D dalam
reagen yang mampu bereaksi dengan sel darah merah yang memiliki
antigen D namun tidak akan bereaksi dengan sel darah merah yang
tidak memiliki antigen D. Contoh lainnya adalah anti-A dalam reagen
akan menunjukkan aglutinasi kuat (3+ atau 4+) hanya dengan sel darah
merah yang memiliki antigen A (Blaney and Howard, 2013).
Dalam memilih reagen yang akan digunakan, ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan. Selain rekomendasi FDA, reagen yang
dipilih juga harus mencantumkan masa kadaluwarsanya serta harus
mencantumkan nomor ijin produk pada label produk. Berdasarkan
ketentuan FDA, reagen yang rutin dipakai di bank darah tidak dapat
digunakan apabila telah memasuki masa kadaluwarsa. Namun, hal ini
dikecualikan pada antisera atau sel darah merah langka. Pada kedua
kondisi tersebut, reagen masih dapat digunakan jika hasil kontrol
kualitas (quality control) dapat diterima.
Reagen yang dipilih juga harus dilengkapi dengan product
insert. Product insert memuat informasi detail tentang reagen seperti
tujuan penggunaan, ringkasan, jenis sampel yang direkomendasikan,
prinsip pemeriksaan, prosedur penggunaan, dan keterbatasan reagen.
Jika reagen diproduksi dan digunakan sendiri di internal pelayanan, ijin
tidak diperlukan tapi FDA mewajibkan agar spesifisitas dan
kemampuan reagen terpenuhi dan didokumentasikan (Blaney and
Howard, 2013).

5. Melakukan kontrol kualitas reagen dan peralatan


Kontrol kualitas (quality control) adalah pemeriksaan yang
dilakukan untuk menentukan akurasi dan presisi (ketepatan dan
ketelitian) peralatan dan reagen yang digunakan serta prosedur yang
dilakukan. Quality control dilakukan sebelum melakukan pemeriksaan
sampel pasien dan donor (Blaney and Howard, 2013).
Kontrol kualitas terhadap peralatan meliputi kalibrasi alat
seperti sentrifus, mikropipet, refrigerator dan alat-alat penunjang
lainnya. Kalibrasi sebaiknya dilakukan secara rutin minimal setahun
sekali dan kalibrasi dapat dipercepat apabila frekuensi penggunaan
alat semakin sering. Quality control juga dilakukan dengan melakukan
monitoring suhu dan kelembaban ruangan, penyimpanan reagen dan
sampel serta pengawasan terhadap jalannya pelaksanaan pemeriksaan
sesuai dengan dengan standar yang tercantum dalam SPO (Standard
Operating Procedures).
Khusus untuk reagen, indikator dalam program quality control
terdiri atas:
a. Kriteria penerimaan reagen
Kriteria penerimaan reagen wajib dituangkan dalam SPO.
Secara umum, indikator untuk menentukan kualitas reagen adalah
kemampuannya untuk menimbulkan reaksi aglutinasi terhadap antigen
eritrosit. Seperti saat pengujian reagen anti-A, aglutinasi positif terjadi
jika reagen ditambahkan eritrosit golongan A (terjadi aglutinasi 3+ atau
4+) dan aglutinasi negatif bila direaksikan dengan eritrosit golongan B.
Reagen tersebut dianggap layak untuk digunakan. Bila derajat
aglutinasi kurang dari 3+ (misal 2+ atau lebih rendah) maka
kemampuan reagen anti-A dianggap tidak baik atau tidak layak
digunakan. Hilangnya kemampuan menimbulkan aglutinasi kuat (3+
atau 4+) selama jangka waktu tertentu juga dapat dipakai sebagai
indikator bahwa reagen tersebut tidak layak digunakan (Blaney and
Howard, 2013).
Selain pengujian tersebut, reagen juga wajib dilihat secara
visual. Adanya perubahan warna atau kekeruhan pada reagen dapat
mengindikasikan terjadinya kontaminasi bakteri. Khusus untuk reagen
suspensi sel darah merah, inspeksi ada tidaknya hemolisis juga wajib
dilihat. Suspensi sel yang sudah mengalami hemolisis tidak dapat
digunakan untuk pemeriksaan (Blaney and Howard, 2013).
b. Dokumentasi penggunaan reagen
Reagen yang sudah dievaluasi dan hasil dari kontrol kualitas
yang telah dilakukan harus dicatat dan didokumentasikan. Pencatatan
tersebut meliputi hasil quality control, interpretasi, tanggal
pemeriksaan, dan identitas petugas yang melakukan pemeriksaan
(Blaney and Howard, 2013).
c. Prosedur yang dilakukan bila terjadi permasalahan pada
reagen
Semua prosedur yang harus dilakukan bila perjadi permasalahan
pada reagen seharusnya dituangkan dalam SPO (Blaney and Howard,
2013).

2.4 Pemisahan Serum atau Plasma, Pencucian Sel Darah Merah


dan Pembuatan Suspensi Sel Darah
1. Pemisahan serum atau plasma
Pemisahan serum atau plasma dari sel darah merah bertujuan
untuk mendapatkan serum atau plasma yang bebas dari sel darah
merah. Beberapa peralatan yang dibutuhkan untuk prosedur tersebut di
antaranya: sentrifus, pipet pasteur, dan tabung reaksi ukuran 12 x 75
mm beserta raknya. Darah yang akan dipisahkan dapat berupa darah
beku atau darah dengan antikoagulan (whole blood).
Ada pun prosedur pemisahan serum atau plasma adalah sebagai
berikut:
a. Masukan darah ke dalam tabung yang telah diberi label sesuai
dengan sampel,
b. putar/sentrifugasi 3000 selama 1 menit,
c. pisahkan serum/plasma yang jernih dari sel darah merah dengan
pipet pasteur ke dalam tabung lain yg sudah diberi label sesuai
dengan sampel.
Hasil pemisahan adalah serum atau plasma dan sel darah merah
pekat (Mehdi, 2013).

2. Pencucian sel darah merah


Pencucian sel darah merah bertujuan untuk mendapatkan sel
darah merah yang bebas dari protein atau globulin yang dapat
mengganggu sejumlah pemeriksaan serologi. Ada pun prosedur
pencucian sel adalah 0,5 mL sel darah merah pekat dimasukkan ke
dalam tabung kemudian tambahkan larutan salin atau Natrium Clorida
0,9% (NaCl 0,9%) sampai mengisis 3/4 bagian tabung. Lakukan
sentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 1 menit dan buang
seluruh supernatant. Lakukan pencucian sebanyak 3 kali atau sesuai
kebutuhan dan buang seluruh supernatan pada akhir pencucian,
sehingga hasil akhirnya adalah sel darah merah yang sudah dicuci
(Mehdi, 2013).

3. Pembuatan suspensi sel


Pada beberapa jenis uji pratransfusi membutuhkan suspensi sel
darah merah. Pembuatan suspensi sel bertujuan untuk mengoptimalkan
reaksi antigen-antibodi sehingga reaksi yang muncul dapat diamati
dengan jelas. Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa suspensi sel
3% banyak dipakai untuk pemeriksaan serologi. Namun, berdasarkan
Word Health Organization, suspensi sel 5% umum dipakai untuk
prosedur serologi (WHO, 2013).
Berikut adalah contoh prosedur pembuatan suspensi sel 5%.

Label 3 buah tabung masing-masing dengan label A, B, O

Teteskan 1 tetes sel darah merah pada tabung pertama yang sudah dilabel

A Teteskan 1 tetes sel darah merah pada tabung kedua yang sudah dilabel

B Teteskan 1 tetes sel darah merah pada tabung ketiga yang sudah dilabel

Tambahkan ke masing-masing tabung larutan NaCl 0,9% sampai terisi ¾ tabung

Sentrifugasi ketiga tabung dengan kecepatan 3000 rpm selama 1


menit (lakukan pencucian sebanyak 3 kali)

Buang seluruh supernatant yang ada pada permukaan tabung

Untuk membuat suspensi sel 5% tambahkan NaCl 0,9% sebanyak 19

tetes

Gambar 2.4 Contoh prosedur pembuatan suspensi sel 5% (WHO, 2013).

Untuk hasil pemeriksaan terbaik gunakan suspensi sel darah


merah pada hari pembuatan setelah dilakukan uji validasi dengan
menambahkan antisera A dan B dan hasil pemeriksaan menunjukkan
derajat aglutinasi kuat (3+ atau 4+). Jadi teknisi laboratorium
seharusnya menyiapkan suspensi sel darah merah golongan A, B dan O
setiap pagi untuk penggunaan rutin. Suspensi sel masih dapat
digunakan pada hari berikutnya bila hasil uji validasi masih baik
(WHO, 2013).
Tabel 2.2 Perbandingan jumlah sel darah merah dan NaCl pada
prosedur pembuatan suspensi sel.
Perbandingan
Keterangan
Suspensi Prosentase Sel Darah Merah NaCl Diperkecil
(eritrosit:salin)
Pekat 100% 0,9%
3% 3:100 3 tetes 97 tetes 1:32,3
5% 5:100 5 tetes 95 tetes 1:19
10% 10:100 10 tetes 90 tetes 1:9
40% 40:100 40 tetes 60 tetes 2:3
50% 50:100 50 tetes 50 tetes 1:1
2.5 Uji Pratransfusi Pada Kondisi Emergency
Pada kondisi emergency dan waktu untuk melakukan uji
pratransfusi sangat terbatas, maka darah dapat dikeluarkan setelah
dilakukan pemeriksaan golongan darah ABO dan Rhesus baik pada
donor maupun pada pasien dan diikuti dengan immediate-spin
crossmatch. Namun, sebisa mungkin dianjurkan untuk tetap dapat
melakukan crossmatch secara komplit sebelum darah didistribusikan.
Pada situasi yang ekstrim (hanya tersedia waktu 10-15 menit), jika
tidak mungkin dilakukan pemeriksaan crossmatch maka komunikasi
dengan dokter yang meminta tentang prosedur penyiapan darah tanpa
melalui pemeriksaan rutin wajib dilakukan (Makroo, 2009; WHO,
2009).
Langkah-langkah berikut dapat digunakan sebagai panduan
untuk menangani kebutuhan darah dalam situasi emergency.
1. Lakukan pemeriksaan golongan darah ABO dan Rhesus pada
sampel darah pasien dengan menggunakan motode cepat (rapid
test) kemudian pilihlah produk darah donor yang sesuai dengan
golongan ABO dan Rhesus pasien.
2. Lakukan pelabelan produk darah secara benar dan detail dan
cantumkan label “UNCROSS-MATCHED BLOOD” dengan
jelas. Contoh label dapat seperti gambar berikut.

PERINGATAN: “UNCROSS-MATCHED BLOOD”

No kantong darah :
:
Nama Pasien
:
Tanggal lahir
:
No Rekam Medik
:
Nama Ruangan
Golongan Darah :

Tanggal: Tanda tangan

SEGERA KEMBALIKAN KE BANK DARAH BILA TIDAK DIGUNAKAN

Gambar 2.5 Contoh label penggunaan produk darah yang belum dilakukan
pemeriksaan crossmatch dalam situasi emergency (WHO, 2009).
3. Ambil sampel darah dari selang produk darah donor untuk
dilakukan uji pratransfusi pada kesempatan selanjutnya.
4. Distribusikan produk darah sesuai dengan standar distribusi yang
sudah ditetapkan.
5. Jika produk darah tidak segera ditransfusikan dalam waktu 30
menit, biasanya cukup untuk melakukan pemeriksaan
crossmatch menggunakan a low-ionic strength indirect
antiglobulin test (WHO,2009; Zundel, 2012; Mehdi, 2013).
Dokter yang meminta darah wajib menandatangani formulir
permintaan darah dan label uncrossmatched blood sebagai petanda
bahwa dokter setuju untuk segera memberikan respon atau penanganan
bila terjadi efek yang tidak diinginkan dari pemberian uncrossmatched
blood. Dalam situasi tertentu jika sampel darah pasien tidak bisa
didapatkan dan waktu untuk pemeriksaan golongan darah cepat tidak
bisa dilakukan, maka golongan darah O Rhesus negatif dalam bentuk
Packed Red Cells (PRC) dapat dijadikan pilihan (Makroo, 2009; WHO,
2009). Apabila PRC golongan darah O Rhesus negatif sulit didapatkan,
maka untuk pasien laki-laki dan wanita bukan anak-anak dan usia
reproduktif pemberian PRC golongan O Rhesus positif dapat
dipertimbangkan (Judd, 2009; Zundel, 2012).
Beberapa hal penting lainnya yang perlu diperhatikan terkait
kebutuhan darah dalam keadaan emergency, antara lain:
1. Selalu pastikan bahwa dokter atau staf senior mengetahui setiap
keadaan emergency yang terjadi,
2. bila produk darah dikirim dari Unit Transfusi Darah (UTD) atau
rumah sakit lain, pastikan bahwa semua petugas yang terlibat
mengetahui adanya keadaan emergency,
3. jika pengumpulan darah dilakukan dari donor yang dibawa
sendiri, lakukan persiapan dengan baik dan hubungi lebih
banyak donor,
4. selalu menjaga komunikasi dengan dokter atau staf yang terlibat
dalam penanganan pasien dan selalu waspada terhadap setiap
efek samping yang potensial terjadi,
5. pastikan bahwa seluruh data telah lengkap dan akurat untuk
selanjutnya seluruh data tersebut disimpan dengan baik. Semua
keputusan yang dibuat dan prosedur yang dilakukan oleh dokter
harus dicatat dengan jelas, termasuk nama dan tanda tangan staf
yang terlibat (WHO, 2009).

2.6 Beberapa Kasus Terkait Tahapan Uji Pratransfusi


Kasus 1.
Pasien laki-laki , 54 tahun, datang ke Unit Gawat Darurat (UGD)
pada malam hari dan merupakan kiriman dari Rumah Sakit Umum
Daerah (RSUD) Kabupaten dengan diagnosis peritonitis, suspek gastic
ulcer. Rencana akan dilakukan tindakan laparotomi. Dari hasil
pemeriksaan darah lengkap didapatkan kadar hemoglobin 6,41 g/dl,
sehingga pasien direncanakan untuk transfusi 4 kantong Packed Red
Cell (PRC) selama operasi. Sampel darah dan formulir permintaan
darah dikirim ke bank darah.
Setelah dilakukan pencocokan identitas sampel dan formulir
permintaan, langkah selanjutnya dilakukan pemeriksaan golongan
darah awal dengan metode slide test dan didapatkan hasil B Rhesus
positif. Tidak ada catatan riwayat transfusi sebelumnya. Disiapkan
komponen darah donor PRC golongan B Rhesus positif. Pemeriksaan
golongan darah baik pasien maupun donor dilanjutkan dengan metode
tube test dan didapatkan golongan darah sama yaitu B Rhesus positif.
Hasil pemeriksaan crossmatch dengan 2 donor adalah kompatibel.

Mayor,minor,Mayor,minor,AutoAuto
donor 1donor 1donor 2donor 2controlpool
Gambar 2.6 Hasil pemeriksaan crossmatch dengan metode gel
menunjukan hasil kompatibel.
PRC dikeluarkan dari bank darah dan selanjutnya transfusi
diberikan sebanyak 2 kantong selama operasi. Tanda-tanda reaksi
transfusi agak sulit dilacak karena pasien sedang dalam pengaruh obat
anestesi. Secara klinis dijumpai adanya perdarahan dan hematuria.
Pasien direncanakan untuk diberikan transfusi berikutnya dengan
komponen PRC dan Fresh Frozen Plasma (FFP). Dikirim permintaan
darah yang kedua dengan sampel baru.
Hasil pemeriksaan golongan darah pada sampel kedua
didapatkan golongan O Rhesus positif dan crossmatch dengan donor
golongan O menunjukkan hasil kompatibel, tetapi pada permukaan
gel terlihat kemerahan. Berbeda dengan hasil crossmatch pada gambar
2.6 Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh adanya proses
hemolitik setelah proses transfusi sebelumnya.

Mayor,Mayor,minor,minor,AutoAuto
donor 1donor 2donor 1donor 2 kontrolpool

   

Gambar 2.7 Hasil pemeriksaan crossmatch dengan metode gel menunjukan hasil
kompatibel dengan warna kemerahan pada permukaan gel.

Karena dijumpai adanya perbedaan golongan darah antara


sampel pertama dan kedua, maka petugas bank darah meminta sampel
ulang. Hasil pemeriksaan pada sampel ketiga didapatkan golongan O
Rhesus positif. Transfusi ditunda dan pasien ditangani sebagai kasus
reaksi transfusi berat, tetapi penanganan tersebut tidak berhasil
menyelamatkan pasien dan pasien meninggal.
Setelah ditelusuri kembali waktu pengiriman sampel yang
pertama ke bank darah, dijumpai ada 2 permintaan darah dari UGD
yang dikirim
secara bersamaan. Satu pasien didapatkan golongan O Rhesus positif,
satu pasien dengan golongan B Rhesus positif. Pasien dengan golongan
O Rhesus positif dilakukan pengambilan sampel ulang dan didapatkan
hasil pemeriksaan golongan darah B Rhesus positif. Berdasarkan
informasi dari petugas yang mengambil sampel darah pertama,
memang dalam waktu yang bersamaan ada 2 pasien yang
membutuhkan darah dan sampel diambil pada jam yang hampir sama.
Pasien yang akan dioperasi dengan permintaan cito dan pasien yang
lagi satu rencana transfusi besok pagi.
Dari kasus tersebut telah terjadi reaksi transfusi yang fatal yang
kemungkinan besar disebabkan oleh kesalahan identifikasi dan
pelabelan sampel darah pasien.

Kasus 2.
Pasien wanita, 48 tahun dirawat dengan diagnosis anemia
(hemoglobin 5 g/dL). Pasien ini direncanakan akan mendapat transfusi
PRC sebanyak 3 kantong. Permintaan darah dikirim dari UGD. Hasil
pemeriksaan golongan darah didapatkan bahwa golongan darah pasien
A Rhesus positif. Crossmatching dilakukan terhadap 3 darah donor dan
menunjukkan hasil kompatibel. PRC kemudian ditransfusikan
sebanyak 3 kantong dan tidak ada laporan reaksi transfusi.
Satu minggu kemudian pasien di rawat di ruang rawat biasa dan
oleh petugas ruangan dikirimkan lagi permintaan darah kedua, yaitu
PRC sebanyak 2 kantong. Hasil pemeriksaan golongan darah pada
sampel kedua adalah AB Rhesus positif. Crossmatch dengan donor
golongan darah AB kompatibel, tetapi darah belum dikeluarkan.
Dalam waktu yang berdekatan, keluarga pasien datang membawa
donor dan menunjukkan catatan bahwa pasien membutuhkan darah
golongan A. Hal ini menunjukkan bahwa golongan darah pasien
tersebut sebelumnya adalah A Rhesus positif. Oleh petugas bank darah,
kemudian dilakukan pengambilan sampel ulang dan didapatkan
golongan darah A Rhesus positif.
Penelusuran selanjutnya ditemukan bahwa dalam waktu yang
bersamaan ada 2 permintaan darah dari ruang rawat tersebut.
Permintaan
tersebut adalah satu pasien dengan golongan AB dan satu pasien
lagi dengan permintaan golongan darah A. Pasien yang sebelumnya
didapatkan A juga dilakukan pengambilan sampel ulang dan golongan
darah pada sampel kedua adalah AB.
Dari kasus tersebut hampir terjadi reaksi transfusi berat yang
juga disebabkan oleh kesalahan identifikasi dan pelabelan sampel
darah pasien. Ketepatan identifikasi dan pelabelan sampel darah
merupakan poin yang sangat kritis dalam menentukan keamanan
transfusi. Selain hal tersebut, catatan tentang riwayat transfusi dan
hasil-hasil pemeriksaan lab. sebelumnya juga menjadi penentu
keselamatan pasien (McCullough, 2012).
DAFTAR PUSTAKA

Blaney, K.D., Howard, P.R. 2013. Compatibility Testing.


Basic&Applied Concepts of Blood Banking and Transfusion
Practices. Third Edition. United States: Elsevier Mosby. p. 188-
201.
Makroo, R.N. 2009. Compatibility Testing (Pre Transfusion Testing).
Practice of Safe Blood Transfusion Compendium of Transfusion
Medicine. New Delhi: Kongposh. p. 123-133.
Judd, W.J. 2009. Red Cell Immunology and Compatibility Testing.
Rossi’s Principles of Transfusion Medicine Fourth Edition. UK:
Wiley-Blackwell. p. 69-87.
McCullough, J. 2012.Techniques of Blood Transfusion. Transfusion
Medicine Third Edition. UK: Wiley-Blackwell. p. 362- 375.
Mehdi, S.R. 2013. ABO Blood Group System. Essentials of Blood
Banking A Handbook for Students of Blood Banking and
Clinical Residents. Second Edition. New Delhi: Jaypee Brothers
Medical Publishers. p. 7-17.
Mehdi, S.R. 2013. Cross-matching (compatibility testing). Essentials
of Blood Banking A Handbook for Students of Blood Banking
and Clinical Residents. Second Edition. New Delhi: Jaypee
Brothers Medical Publishers. p. 46-49.
Saluju, G.P., Singal, G. L. 2014. Collection of Blood Sample for
Grouping/Cross-matching. Standard Operating Procedures
and Regulatory Guidelines Blood Banking. New Delhi: Jaypee
Brothers Medical Publishers. p. 46-54.
Stoe, M. 2011. Pretransfusion Testing. Immunohematology Principles
and Practice Third Edition. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins. p. 107- 117.
Zundel, W.B. 2012. Pretransfusion Testing. Blood Groups and
Serologic Testing. In: Harmening, D.M. Modern Blood Banking
& Transfusion Practices 6th Edition. Philadelphia: F.A Davis
company. p. 241-259.
WHO, 2002. Clinical Transfusion Procedures. The Clinical Use of
Blood Handbook. Genewa: WHO. p. 37- 58.
WHO, 2009. Compatibility Testing and Issuing Blood. Safe Blood and
Blood Product. Genewa: WHO. p. 41-73.
WHO, 2013. Standar Operating Prosedure for Blood Transfusion.
Genewa:WHO. p. 18-20.
BAB III
PEMERIKSAAN GOLONGAN
DARAH ABO

3.1 Definisi
Yang dimaksud dengan pemeriksaan golongan darah adalah
suatu prosedur laboratorium yang dilakukan untuk menentukan jenis
golongan darah. Pada uji pratransfusi, pemeriksaan golongan darah
minimal yang harus dikerjakan adalah golongan darah sistem ABO dan
Rhesus (D typing). Pemeriksaan golongan darah dilakukan baik pada
donor maupun pada pasien (WHO, 2002).
Meskipun telah dilakukan uji konfirmasi golongan darah donor
dan darah sudah dilabel ABO dan Rhesus dengan benar, pemeriksaan
golongan darah ulang tetap harus dilakukan pada semua unit darah
sebelum ditransfusikan.

3.2 Sistem Antigen dan Antibodi pada Golongan Darah


Sebelum membahas tentang teknis pemeriksaan golongan darah,
sangat penting untuk memahami sistem antigen dan antibodi pada
golongan darah. Pemahaman tersebut merupakan dasar untuk
melakukan prosedur test dan menginterpretasikan hasil pemeriksaan.
Antigen adalah setiap zat yang dianggap sebagai benda asing
yang masuk ke dalam tubuh dan merangsang sistem kekebalan tubuh
untuk merespon masuknya antigen tersebut. Antibodi adalah produk
dari respon imun dan akan bereaksi dengan antigen dengan beberapa
cara yang dapat diamati. Nama lain dari antibodi adalah
imunoglobulin (Ig) dan merupakan bagian dari protein plasma. Ada 5
jenis immunoglobulin, yaitu IgG, IgM, IgA, IgD, IgE, tetapi yang
banyak berperanan dalam sistem golongan darah adalah
immunoglobulin G dan M (WHO, 2009). IgG hanya memiliki 4 rantai
yang terdiri atas 2 rantai kecil yang disebut dengan rantai ringan (light
chains) dan 2 rantai besar yang disebut dengan rantai berat (heavy
chains). Dibandingkan dengan IgM, struktur
IgG jauh lebih kecil. IgM memiliki 10 rantai ringan dan 10 rantai berat
sehingga berat molekulnya jauh lebih besar dibandingkan IgG (WHO,
2009). Perbedaan antara kedua molekul antibodi tersebut tampak pada
gambar berikut.

Gambar 3.1 Struktur molekul IgG dan IgM (WHO, 2009).

Imunoglobulin G
Merupakan jenis immunoglobulin terbanyak, membentuk sekitar
73% dari total immunoglobulin dalam tubuh. IgG memiliki berat
molekul hanya sekitar 150.000 kilo Dalton (kD), dapat menembus
plasenta dan sering dikaitkan dengan kejadian Hemolytic Disease of
the New born (HDN). HDN dapat terjadi bila ibu memiliki antibodi
yang dapat melewati plasenta dan antibodi tersebut mengaglutinasi sel
darah merah janin yang mengandung antigen yang sesuai. IgG tidak
menyebabkan aglutinasi sel darah merah yang tersuspensi pada
medium salin (WHO, 2009).

Imunoglobulin M
IgM membentuk sekitar 8% dari total immunoglobulin dalam
tubuh. Berat molekul sekitar 900.000 kD. IgM tidak mampu melewati
plasenta sehingga tidak menimbulkan penyakit hemolitik pada bayi
baru lahir. Memiliki sifat mudah mengaglutinasi sel darah merah yang
tersuspensi dalam medium salin. IgM dapat mengaktifkan komplemen
selama terjadi reaksi antigen-antibodi sehingga menyebabkan
hemolisis sel darah merah (WHO, 2009).
Tabel 3.1 Perbedaan antara IgG dan IgM (WHO, 2009).

IgG IgM
Jumlah dalam tubuh 73% 8%
Berat molekul 150.000 kD 900.000 kD
Mengaglutinasi eritrosit dalam salin Tidak Ya
Mampu melewati plasenta Ya Tidak
Mengaktivasi komplemen Ya Ya
Reaksi optimal pada suhu 37 oC 4 oC
Jenis antibodi Imun Alamiah

Berdasarkan sistem ABO, ada 4 jenis golongan darah sesuai


dengan jenis antigen dan antibodi yang dimiliki masing-masing
golongan. Individu dengan golongan darah A memiliki antigen A pada
sel darah merahnya dan antibodi B dalam plasmanya. Individu dengan
golongan darah B memiliki antigen B dan antibodi A, sedangkan
individu golongan darah AB mempunyai antigen A maupun antigen B
dan tidak memiliki antibodi A maupun B dalam plasmanya. Individu
dengan golongan darah O tidak memiliki antigen A maupun B tetapi
mempunyai antibodi A dan B dalam plasmanya (McClelland, 2007).

3.3 Jenis Pemeriksaan Golongan Darah


Berdasarkan jenis peralatan penunjang yang digunakan,
pemeriksaan golongan darah secara manual dapat dikerjakan dengan
tiga metode, yaitu
1. Slide test atau glass slide atau white porcelain tile
2. Tube test
3. Microwell plate atau microplate test.
Beberapa teknik lain yang sudah dikembangkan saat ini dan dapat
dikerjakan secara otomatis, antara lain:
1. Column technique (sephadex gel)
2. Solid phase tests (NIB, 2013).
Berikut akan dibahas satu per satu mengenai teknik pemeriksaan
golongan darah.

3.4 Pemeriksaan Golongan Darah dengan Slide Test atau Tile


Method
1. Prinsip pemeriksaan
Prinsip pemeriksaan adalah apabila sel darah merah
mengandung antigen yang sesuai dengan jenis antibodi yang
ditambahkan pada reagen, maka akan terjadi aglutinasi atau hemolisis.
Aglutinasi adalah penggumpalan sel darah merah yang disebabkan
oleh ikatan antibodi dengan antigen pada sel darah merah sehingga
menghasilkan ikatan yang menggandeng beberapa sel secara bersama-
sama. Ada 2 tahapan untuk pembentukan aglutinasi, yaitu:
Tahap 1: Antibodi mengikat antigen sel darah merah segera
setelah terjadi kontak antigen antibodi, ikatan tersebut belum
menimbulkan aglutinasi. Hanya sebatas melapisi atau mensensitisasi
sel.
Tahap 2: Pembentukan lattice yang menghasilkan gumpalan
atau aglutinasi, merupakan kelanjutan dari tahap 1(WHO, 2009).
Hemolisis sel darah merah dapat disebabkan oleh antibodi
jenis IgM dan hanya sedikit yang disebabkan oleh IgG. Setelah
antigen berikatan dengan antibodi, jalur komplemen akan diaktivasi
sehingga menyebabkan sel darah merah ruptur atau lisis. Lisis juga
mengindikasikan adanya reaksi antara antigen dan antibodi seperti
pada aglutinasi (WHO, 2009).

2. Jenis sampel
Jenis sampel yang dipakai disesuaikan dengan rekomendasi
sampel yang tercantum pada insert kit reagen yang digunakan. Ada
reagen yang merekomendasikan sampel whole blood atau suspensi sel
(Cooling, 2014).

3. Reagen
Reagen yang digunakan mengandung anti-A, anti-B dan anti-AB
yang bersifat opsional (Cooling, 2014).
4. Prosedur pemeriksaan
Sebelum melakukan pemeriksaan, baca secara detail prosedur
pemeriksaan yang tertera pada petunjuk penggunaan reagen. Berikut
adalah salah satu contoh prosedur pemeriksaan golongan darah ABO
menggunakan slide test.
a. Teteskan 1 tetes anti-A pada objek gelas yang bersih dan kering,
label objek gelas.
b. Teteskan 1 tetes anti-B pada objek gelas yang bersih dan kering,
terpisah dari objek gelas pertama kemudian label objek gelas.
c. Teteskan 1 tetes anti-AB pada objek gelas ketiga, lakukan
pelabelan. Bila tidak menggunakan reagen anti-AB dapat
digantikan dengan pemeriksaan golongan darah Rhesus dengan
meneteskan anti-D.
d. Prosedur 1, 2, 3 dapat dilakukan dalam satu objek gelas.
e. Tambahkan pada masing-masing tetesan reagen 1 tetes sel darah
merah yang akan diperiksa.
f. Lakukan pencampuran reagen dan sel darah merah
menggunakan batang pengaduk, sebarkan campuran tersebut
pada area sekitar 20 mm x 40 mm.
g. Miringkan slide secara perlahan dari sisi ke sisi selama kurang
lebih 2 menit. Jangan menempatkan slide di atas permukaan
panas
h. Baca dan interpretasi hasil serta lakukan pencatatan hasil reaksi
(Cooling, 2014).

Blood drop Blood drop Blood drop


+ + +
Anti A Anti B Anti RhD

Gambar 3. 2 Prosedur pemeriksaan golongan darah dengan metode slide test


(Himedia, 2015).
5. Interpretasi hasil
Hasil positif : bila terjadi aglutinasi kuat
Hasil negatif : bila tidak terjadi aglunitasi pada akhir menit
kedua

Gambar 3. 3 Contoh hasil pemeriksaan golongan darah dengan metode slide test
(Himedia, 2015).

Tabel 3.2 Interpretasi hasil pemeriksaan golongan darah dengan


metode slide test (Himedia, 2015).
Nomor slide Anti-A Anti-B Anti-D Golongan darah
Slide 1 Positif Negatif Positif A Rhesus positif
Slide 2 Negatif Positif Positif B Rhesus positif
Slide 3 Positif Positif Positif AB Rhesus positif
Slide 4 Negatif Negatif Positif O Rhesus positif

Sampel yang memberikan hasil reaksi aglutinasi lemah atau


meragukan harus diulang dengan menggunakan tes tabung (tube test),
bukan diulang dengan slide test. Beberapa catatan penting yang perlu
diperhatikan pada slide test antara lain:
a. Semua reagen harus digunakan berdasarkan instruksi perusahaan
yang memproduksi reagen,
b. Risiko penularan infeksi sangat besar sehingga keamanan dan
keselamatan dalam melakukan prosedur pemeriksaan benar-
benar harus diperhatikan,
c. Slide test tidak cocok digunakan untuk deteksi antibodi ABO
pada serum atau plasma (Cooling, 2014).
6. Keuntungan dan kelemahan slide test
Pemeriksaan golongan darah dengan slide test memiliki
beberapa keuntungan yaitu sangat mudah dan cepat digunakan untuk
menentukan golongan darah ABO dalam keadaan emergency, dapat
digunakan sebagai penentu golongan darah awal apabila pemeriksaan
dilakukan di lapangan atau di luar ruangan (NIB, 2013).
Pemeriksaan golongan darah dengan slide test tidak
direkomendasikan untuk penggunaan rutin, karena tidak handal atau
tidak terpercaya untuk kasus-kasus dengan antigen yang bereaksi
lemah dan titer anti-A dan anti-B lemah pada serum. Beberapa
kelemahan dari metode slide test antara lain:
a. kurang sensitif dibandingkan metode tabung,
b. campuran reaksi yang sudah mengering dapat menimbulkan
agregrat yang memberikan hasil positif palsu,
c. sulit menginterpretasi hasil dengan reaksi lemah (NIB, 2013).

3.5 Pemeriksaan Golongan Darah dengan Tube Test


1. Prinsip pemeriksaan
Prinsip pemeriksaan adalah apabila sel darah merah
mengandung antigen yang sesuai dengan jenis antibodi yang
ditambahkan pada reagen maka akan terjadi aglutinasi.

2. Jenis sampel
Umumnya, menggunakan sampel darah beku atau dengan
antikoagulan. Sel darah merah dapat disuspensi secara autologous
dengan serum, plasma, salin atau membutuhkan pencucian terlebih
dahulu kemudian diresuspensi dalam salin. Jenis sampel disesuaikan
dengan rekomendasi insert kit reagen yang digunakan (Cooling, 2014).

3. Reagen
Reagen yang digunakan mengandung anti-A, anti-B dan anti-AB
yang bersifat opsional. Karena pemeriksaan juga dilakukan pada
sampel serum, maka reagen tambahan pada tube test adalah suspensi
sel A1, A2, B dan O 2-5% . Suspensi sel dapat dibuat sendiri di
laboratorium atau menggunakan suspensi sel yang dijual secara
komersial. Penggunaan sel A2 bersifat opsional (Cooling, 2014).
4. Prosedur pemeriksaan
Langkah-langkah pemeriksaan sel darah merah (cell grouping)
adalah sebagai berikut:
a. teteskan 1 tetes anti-A pada tabung yang bersih dan kering, label
tabung,
b. teteskan 1 tetes anti-B pada tabung yang bersih dan kering,
terpisah dari tabung pertama kemudian beri label,
c. teteskan 1 tetes anti-AB pada tabung ketiga, lakukan pelabelan
(penggunaan anti-AB bersifat opsional tergantung rekomendasi
reagen yang digunakan),
d. tambahkan pada masing-masing tabung 1 tetes suspensi sel
darah merah 2-5%,
e. campur dengan baik kemudian lakukan sentrifugasi dengan
kecepatan 1000 rpm selama 1 menit,
f. resuspensi dengan baik sel yang mengendap pada dasar tabung,
lihat ada tidaknya aglutinasi,
g. baca dan interpretasi hasil serta lakukan pencatatan hasil reaksi
pada semua tabung (Cooling, 2014).
Prosedur pemeriksaan cell grouping atau forword grouping
dengan metode tube test diilustrasikan seperti gambar berikut.

Gambar 3.4 Prosedur pemeriksaan cell grouping atau forword grouping dengan
metode tube test (Powell, 2016).
Prosedur pemeriksaan serum atau plasma (serum grouping)
dengan metode tube test adalah sebagai berikut:
1. Tambahkan masing-masing 2 tetes serum atau plasma pada 3
tabung yang bersih dan kering kemudian berikan label A1, B,
dan O,
2. tambahkan 1 tetes suspensi sel A1 2-5% ke dalam tabung yang
berlabel A1,
3. tambahkan 1 tetes suspensi sel B 2-5% ke dalam tabung yang
berlabel B,
4. tambahkan 1 tetes suspensi sel O 2-5% ke dalam tabung yang
berlabel O,
5. jika dibutuhkan pemeriksaan dengan suspensi sel A2 2-5% maka
tambahkan 1 tabung yang mengandung 2 tetes serum atau
plasma dengan suspensi sel A2 2-5%,
6. campur dengan baik kemudian lakukan sentrifugasi dengan
kecepatan 1000 rpm selama 1 menit,
7. resuspensi dengan baik sel yang mengendap pada dasar tabung,
lihat ada tidaknya aglutinasi,
8. baca dan interpretasi hasil serta lakukan pencatatan (Cooling,
2014).
Prosedur pemeriksaan serum grouping atau reverse grouping
dengan metode tube test diilustrasikan seperti gambar berikut.

Gambar 3.5 Prosedur pemeriksaan serum grouping atau reverse grouping dengan
metode tube test (Powell, 2016).
5. Interpretasi hasil
Hasil positif : bila terjadi aglutinasi kuat.
Hasil negatif : bila tidak terjadi aglunitasi setelah diresuspensi.
Apabila hasil pemeriksaan golongan darah dengan metode tube
test meragukan secara makroskopis, maka ambil satu tetes campuran
pada tabung dan letakkan di atas objek gelas kemudian baca dibawah
mikroskop. Reaksi aglutiasi yang sangat lemah dapat dideteksi secara
mikroskopis (McCullough, 2012).
Ada pun cara membaca derajat aglutinasi pada pemeriksaan
golongan darah dengan metode tube test tercantum pada gambar
berikut.

Gambar 3.6 Derajat aglutinasi pada pemeriksaan golongan darah dengan metode
tube test (NIB, 2013).

Derajat aglutinasi:
4+ : terdapat satu gumpalan besar
3+ : terdapat 2 atau 3 gumpalan
2+ : sejumlah gumpalan kecil dengan supernatan yang jernih
1+ : sejumlah gumpalan kecil dengan supernatan yang keruh
w : suspensi sel granular, sebaiknya diamati secara mikroskopis
Negatif : suspensi sel halus
Hemolisis: hemolisis parsial atau komplit, menunjukkan reaksi positif (NIB, 2013).
Berikut adalah tabel interpretasi hasil pemeriksaan cell grouping
dan serum grouping.

Tabel 3.3. Interpretasi hasil pemeriksaan golongan darah ABO


pada sampel eritrosit dan serum (Cooling, 2014).
Cell grouping Serum grouping Interpretasi
Anti-A Anti-B Sel A1 Sel B Sel O ABO Group
0 0 + + 0 O
+ 0 0 + 0 A
0 + + 0 0 B
+ + 0 0 0 AB
0 0 + + + O Bombay

Adanya ketidaksesuaian (discrepancy) antara hasil pada cell


grouping dan serum grouping harus diselesaikan sebelum melakukan
pencatatan golongan darah pasien dan donor dengan tepat. Adanya
mixed-field agglutination (sebagian sel beraglutinasi, sebagian tidak
beraglutinasi) harus ditelusuri lebih lanjut kemungkinan penyebabnya.
Penyebab yang paling sering adalah adanya riwayat transfusi dengan
golongan darah yang berbeda.
Beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan pada tube test
antara lain:
a. Semua reagen harus digunakan berdasarkan intruksi perusahaan
yang memproduksi reagen,
b. reaksi positif kuat ditandai oleh aglutinasi derajat 3+ sampai 4+
dengan penambahan reagen yang mengandung ABO antibodi.
Reaksi pada serum grouping sering lebih lemah sehingga perlu
dilakukan inkubasi 5-15 menit sebelum sentrifugasi sehingga
reaksi lemah menjadi lebih kuat (Cooling, 2014).
6. Keuntungan dan kelemahan pemeriksaan golongan darah
dengan tube t est
Beberapa keuntungan pemeriksaan golongan darah dengan
metode tube test antara lain:
a. proses inkubasi tidak menyebabkan pengeringan pada isi tabung
seperti pada slide test,
b. sentrifugasi membantu mendeteksi reaksi antigen antibodi yang
lemah,
c. pembacaan dan penentuan derajat aglutinasi lebih mudah,
d. lebih bersih dan higienis dibandingkan metode slide,
e. jumlah reagen yang dibutuhkan lebih sedikit,
f. lebih sensitif dibandingkan metode slide (NIB, 2013).
Beberapa kelemahan pemeriksaan golongan darah dengan
metode tube test adalah dibutuhkan tabung dalam jumlah yang banyak,
membutuhkan waktu yang lebih lama apabila jumlah test banyak,
membutuhkan keterampilan dalam teknik pembacaan hasil,
pengarsipan hasil pemeriksaan sulit dilakukan dan membutuhkan
banyak tempat dan waktu.

3.6 Pemeriksaan Golongan Darah ABO Dengan Microplate Test


Microplate memiliki 96 sumuran yang masing-masing dapat
menampung 200-300 µL sampel atau reagen. Teknik microplate ini
digunakan secara luas pada tempat-tempat dengan beban pemeriksaan
yang banyak dan saat ini sudah tersedia prosedur pemeriksaan dengan
autoanalyzer. Ada tiga jenis microplate yang tersedia yaitu:
1. V-type well
2. Flat-bottom
3. U-type well

Gambar 3.7 V-type well, flat bottom dan U-type well (WHO, 2009).
Jenis microplate yang banyak digunakan untuk pemeriksaan
serologi golongan darah adalah U-type well karena hasil lebih mudah
dibaca pada bagian bawah U-plate (NAB, 2013).

1. Prinsip pemeriksaan
Prinsip pemeriksaan pada pemeriksaan golongan darah ABO
pada microplate test sama dengan pemeriksaan menggunakan tabung
(tube test).

2. Jenis sampel
Umumnya, menggunakan sampel darah beku atau dengan
antikoagulan. Sel darah merah dapat disuspensi secara autologous
dengan serum, plasma, salin atau membutuhkan pencucian terlebih
dahulu kemudian diresuspensi dalam salin. Jenis sampel disesuaikan
dengan rekomendasi insert kit reagen yang digunakan (Cooling, 2014).

3. Alat dan reagen


Pada pemeriksaan dengan microplate dibutuhkan beberapa
tambahan peralatan seperti:
a. microplate : umumnya dipakai microplate dengan 96 sumuran.
b. dispenser (bersifat opsional): berguna untuk mendapatkan
volume sampel atau reagen yang sama dalam satu baris
sumuran. Bila tidak tersedia dapat menggunakan multicanel
micropipette atau dikerjakan secara manual dengan single
micropipette.
c. microplate reader (opsional): fotometer automatis dapat
digunakan untuk membaca hasil pada microplate berdasarkan
derajat absorbance dalam U-shape bottom wells untuk
membedakan hasil positif dan negatif. Microplate reader juga
dilengkapi dengan komponen mikroprosesor untuk membaca
dan menginterpreasi reaksi dan mencetak hasil pemeriksaan.
Apabila microplate reader tidak tersedia, pembacaan dan
interpretasi dapat dilakukan secara manual.
d. sentrifus : sentrifus yang digunakan khusus untuk melakukan
sentrifugasi microplate. Informasi spesifik yang perlu
ditanyakan
pada perusahaan sentrifus adalah untuk flexible U-shaped
bottom microplate: 700 × g selama 5 detik, untuk rigid U-
shaped bottom microplate: 400 × g selama 30 detik baik untuk
pemeriksaan sel darah merah maupun serum atau plasma.

Gambar 3.8 U-shaped bottom microplate

4. Prosedur pemeriksaan
Ada pun prosedur pemeriksaan sel darah merah (cell grouping)
pada microplate test adalah sebagai berikut:
a. Teteskan 1 tetes anti-A dan 1 tetes anti-B secara terpisah pada
sumuran U-bottom microplate yang bersih dan kering. Jika
pemeriksaan dengan anti-D juga dilakukan, teteskan pada
sumuran ketiga,
b. tambahkan 1 tetes suspensi sel 2-5% pada masing-masing
microplate yang sudah mengandung anti-A, B, D,
c. lakukan pemeriksaan autokontrol pada sumuran keempat dengan
menambahkan suspensi sel sampel 2-5% dengan serum atau
plasma sampelnya sendiri,
d. campur secara perlahan dengan cara memiringkan bagian plate,
e. sentrifugasi microplate dengan kecepatan 700 × g selama 5 detik
bila menggunakan flexible U-shaped bottom microplate dan 400
× g selama 30 detik bila menggunakan rigid U-shaped bottom
microplate,
f. resuspensi dengan baik sel yang mengendap pada dasar tabung
secara manual atau menggunkan mechanical shaker, lihat ada
tidaknya aglutinasi,
g. baca dan interpretasi hasil serta lakukan pencatatan (Cooling,
2014).

Prosedur pemeriksaan serum atau plasma (serum grouping) pada


microplate test adalah sebagai berikut:
a. Tambahkan 1 tetes serum atau plasma pada bagian bawah
masing- masing sumuran,
b. tambahkan 1 tetes reagen suspensi sel A, sel B 2-5% pada
sumuran kelima dan keenam,
c. sentrifugasi microplate dengan kecepatan 700 × g selama 5 detik
bila menggunakan flexible U-shaped bottom microplate dan 400
× g selama 30 detik bila menggunakan rigid U-shaped bottom
microplate,
d. resuspensi dengan baik sel yang mengendap pada dasar tabung
secara manual atau menggunkan mechanical shaker, lihat ada
tidaknya aglutinasi,
e. baca dan interpretasi hasil kemudian lakukan pencatatan
(Cooling, 2014).

5. Interpretasi hasil
Hasil positif : bila terjadi aglutinasi kuat
Hasil negatif : bila tidak terjadi aglunitasi
Interpretasi golongan darah ABO sama seperti tabel 3.3
Berikut adalah salah satu contoh gambar cara membaca pola
reaksi pada pemeriksaan golongan darah dengan microplate test.
Gambar 3.9 Pola reaksi pada pemeriksaan golongan darah dengan microplate test
(Diagast, 2016).

Dari gambar 3.9 terlihat pola reaksi pemeriksaan golongan


darah dengan microplate test. Dari 96 sumuran pada microplate, dapat
dilakukan pemeriksaan golongan darah baik cell grouping maupun
serum grouping untuk 16 sampel secara bersamaan. Kolom 1 reaksi
antara suspensi sel darah merah sampel dengan reagen anti-A, kolom
2 reaksi antara suspensi sel darah merah sampel dengan reagen anti-B,
kolom 3 reaksi antara suspensi sel darah merah sampel dengan reagen
anti-D, kolom 4 reaksi antara suspensi sel darah merah sampel dengan
negative Rhesus control, kolom 5 reaksi antara serum/plasma sampel
dengan reagen suspensi sel darah merah golongan A, dan kolom 6
reaksi antara serum/plasma sampel dengan reagen suspensi sel darah
merah golongan B. Demikian juga untuk kolom 7 sampai 12 sama
seperti kolom 1 sampai 6. Reaksi dikatakan positif apabila suspensi
memusat pada bagian sentral sumuran dan reaksi dikatakan negatif
apabila suspensi sel menyebar secara homogen pada seluruh sumuran
(Diagast, 2016).

6. Keuntungan dan kelemahan microplate test


Beberapa keuntungan dari pemeriksaan golongan darah dengan
metode microplate antara lain:
a. Bersifat cost-effective karena volume sampel dan reagen yang
digunakan lebih sedikit,
b. penanganan microplate lebih mudah dan mampu menggantikan
96 jumlah tabung biasa,
c. hasil pemeriksaan sampel dapat diarsip tanpa menghabiskan
banyak waktu dan tempat,
d. pada jumlah test yang banyak, pengerjaan sampel dapat
dilakukan bersamaan sehingga mengurangi waktu pemeriksaan,
e. teknik pemeriksaan golongan darah dapat dilakukan secara
otomatis dengan data on line,
f. kesalahan pembacaan dan interpretasi hasil dapat dikurangi,
g. menghemat waktu staf,
h. identifikasi sampel dan microplate dapat menggunakan sistem
barcode sehingga risiko sampel tertukar dapat dikurangi,
i. penyimpanan data hasil pemeriksaan dapat terintegrasi dengan
sistem komputer.
Kelemahan dari metode microplate test adalah tidak efektif dan
efisien digunakan pada laboratorium dengan jumlah test yang masih
sedikit.

3.7 Pemeriksaan Golongan Darah dengan Column Technique


(Sephadex Gel)
1. Prinsip pemeriksaan
Prinsip dasar dari metode gel hampir sama dengan metode
tabung, serum dan suspensi sel direaksikan pada tabung kecil dengan
ukuran panjang 15 mm dan lebar 4 mm. Masing-masing microtube
mengandung 35 µL dextran acrylamide gel yang disiapkan dalam
larutan buffer seperti Low Ionic Strength Solution (LISS) atau salin.
Gel juga mengandung elemen yang lain seperti sodium azide, bovin
serum albumin dan reagen spesifik seperti anti-IgG atau Red Blood
Cell- specific antisera (ABO dan D). Jika gel mengandung reagen
spesifik, reagen ditambahkan selama penyiapan oleh pabrik sebelum
pengisian microtube. Reagen akan tersebar di sepanjang gel column.
Gel column terdiri dari 75% gel pekat dan 25 % cairan. Enam buah
microtube di tanam dalam plastic card untuk memudahkan
penanganan, pemeriksaan, pembacaan dan pembuangan. Sejumlah
volume serum atau plasma atau
suspensi sel darah merah yang akan diperiksa dimasukkan ke dalam
microtube diikuti oleh proses inkubasi dan sentrifugasi (Rumsey and
Ciesielski, 2000; Walker and Harmening, 2012 ).
Selama proses inkubasi, antigen pada permukaan sel darah
merah akan berikatan dengan antibodi yang sesuai sehingga
membentuk aglutinasi. Selama proses sentrifugasi, sel yang
beraglutinasi kuat akan tertangkap pada bagian atas matrik gel
sedangkan sel yang beraglutinasi lemah akan pindah ke bagian bawah
matrik gel. Bila aglutinasi tidak terjadi maka semua sel akan
mengendap ke bagian bawah matrik gel (McCullough, 2012; Sanguin
Blood Supply, 2016).
Berikut akan dijelaskan salah satu teknik pemeriksaan golongan
darah dengan column technique atau metode gel yang diambil dari
salah satu reagen komersial yang beredar di pasaran. Untuk masing-
masing reagen, prosedur pemeriksaan harus disesuaikan dengan
panduan yang sudah ditetapkan oleh pabriknya.

2. Jenis sampel
Sampel untuk pemeriksaan sebaiknya menggunakan sampel
darah segar yang ditampung pada tabung dengan antikoagulan
Ethylene diamine tetraacetic acid (EDTA) atau citrate. Untuk reverse
grouping dapat menggunakan plasma atau serum (Mehdi,2013;
Diamed, 2016).

3. Alat dan reagen


Jenis peralatan yang dibutuhkan untuk menunjang pemeriksaan
antara lain:
a. ID. Centrifuge
b. ID. Working table ( ID card holder & tube holder )
c. ID. Pipetor
d. Tips
e. ID. Dispenser ( ukuran 0.5 mL)
Beberapa reagen dan sampel darah yang dibutuhkan untuk pemeriksaan
antara lain:
a. ID card : ID-DiaClon ABOD + reverse grouping card
b. larutan ID Diluent 2 (modified LISS )
c. standar sel A 1% dan standar sel B 1% dalam Diluent 2.
d. sel pasien suspensi 5% dalam Diluent 2
e. serum atau plasma pasien atau donor (Mehdi, 2013; Diamed,
2016)

4. Prosedur pemeriksaan
Ada pun prosedur pemeriksaan golongan darah dengan metode
gel adalah sebagai berikut:
a. Pisahkan sel darah merah dengan plasma atau serum yang akan
diperiksa
b. Biarkan larutan ID Diluent 2 ( modified LISS ) pada suhu kamar
c. Buat suspensi sel daerah merah 5% dalam larutan LISS, yaitu :
1. 500 ul diluent 2 (modified LISS) + 50 ul whole blood (WB)
2. 500 ul diluent 2 (modified LISS) + 25 ul packed red cells
Buat suspensi sel darah merah 1% dalam larutan LISS, yaitu :
1. 500 ul diluent 2 (modified LISS) + 10 ul whole blood
2. 500 ul diluent 2 (modified LISS) + 5 ul packed red cells
d. Siapkan ID-DiaClon ABOD + reverse grouping card
e. Beri label nama pasien pada ID card
f. Buka penutup card ( alumunium foil )
g. Teteskan 50 ul standar sel-A 1% ke dalam microtube nomor 5
(A1)
h. Teteskan 50 ul sel-B 1% ke dalam microtube nomor 6 ( B )
i. Teteskan 10 ul sel pasien 5% ke dalam microtube nomor 4
j. Teteskan 25 ul serum atau plasma ke dalam microtube nomor 4,
5, dan 6
k. Diamkan pada suhu kamar selama 10 menit
l. Teteskan 10 ul sel pasien suspensi 5% ke dalam microtube
nomor 1, 2, dan 3 (A, B, D)
m. Ketuk-ketuk microtube secara perlahan-lahan jika belum
tercampur
n. sentrifugasi ID- card selama 10 menit dengan ID- centrifuge,
o. baca dan catat hasilnya (Mehdi,2013; Diamed, 2016).
5. Interpretasi hasil
Hasil pemeriksaan pada ID-cards juga dapat diinterpretasikan
seperti hasil pemeriksaan pada metode tabung. Microtube 1 dan 2
sebagai forword grouping, microtube 3 untuk pemeriksaan Rhesus,
microtube 4 sebagai negative Rhesus control dan microtube 5,6
sebagai reverse grouping. Kontrol negatif harus menunjukkan hasil
negatif, jika menunjukkan aglutinasi maka pemeriksaan disimpulkan
invalid dan seluruh prosedur harus diulang (Mehdi, 2013).
Derajat aglutinasi dapat ditentukan dengan mengamati reaksi
yang terjadi pada microtube. Hasil dinyatakan negatif bila seluruh
suspensi sel darah merah mengendap pada dasar tabung. Hasil 1+ bila
sebagian besar suspensi sel darah merah mengendap pada dasar
microtube namun ada sebagian kecil yang naik dari dasar tabung. Hasil
2+ bila suspensi sel darah merah naik dari dasar microtube dan mengisi
hampir seluruh panjang microtube. Hasil 3+ bila sebagian besar
suspensi sel darah merah ada pada permukaan microtube dan hanya
sebagian kecil disepanjang microtube. Hasil 4+ bila seluruh suspensi
sel darah merah ada di permukaan microtube (Saluju and Singal,
2014). Derajat reaksi dapat diilustrasikan pada gambar berikut.

Gambar 3.10 Derajat aglutinasi hasil pemeriksaan golongan darah dengan column
technique (Saluju and Singal, 2014)
Gambar 3.11 Contoh hasil pemeriksaan golongan darah ABO/D dan reverse grouping
dengan column technique (Saluju and Singal, 2014)

Pada gambar di atas hasil pemeriksaan forword grouping dengan


anti-A 4+, anti-B 4+, anti-D 4+, negative Rhesus control negatif dan
hasil pemeriksaan reverse grouping baik pada sel A1 dan sel B
keduanya negatif. Dari hasil pemeriksaan golongan darah tersebut
disimpulkan golongan darah AB Rhesus positif.

6. Keuntungan dan kelemahan column technique


Salah satu keuntungan utama dari column technique adalah
microtube digabung dalam satu kartu sehingga menyederhanakan
fasilitas dan pelabelan. Beberapa keuntungan yang lain di antaranya:
a. Dapat mengurangi kesalahan dan meningkatkan keamanan.
Untuk pemeriksaan antigen golongan darah, tidak perlu
dilakukan penambahan reagen. Reagen sudah ada di dalam
microtube dan sudah diberikan label untuk masing-masing jenis
reagen,
b. hasil pemeriksaan dapat diarsip dalam bentuk soft copy, baik
dengan cara difoto, foto kopi maupun dengan cara discan,
c. secara teknis tempat pemeriksaan lebih bersih, tersedia rak
khusus untuk menempatkan sample tube dan typing card,
d. jika dibutuhkan pemeriksaan ulang, hasil pemeriksaan
sebelumnya dapat disimpan dan stabil dalam beberapa jam
bahkan beberapa hari jika card ditutup dan disimpan pada suhu
refrigerator,
e. tidak perlu dilakukan pencucian sel dan hasil dapat langsung
dibaca setelah sentrifugasi,
f. jumlah sampel yang dibutuhkan lebih sedikit,
g. beberapa microtyping card sudah terintegrasi sekaligus dapat
digunakan pemeriksaan kontrol dan reverse gouping
h. pemeriksaan dapat dilakukan dengan autoanalyzer (Makroo,
2009).
Salah satu kelemahan dari pemeriksaan golongan darah dengan
column technique adalah membutuhkan biaya yang lebih besar
dibandingkan metode slide maupun tube test. Untuk sampel darah
dengan rouleaux dan bekuan yang inkomplit dapat memberikan hasil
positif palsu (Saluju and Singal, 2014).

3.8 Pemeriksaan Golongan Darah ABO dengan Solid Phase


Tests
Solid phase immunoassay diperkenalkan pertama kali oleh
Rosenfield dan Coworkers pada 1978 untuk melakukan pemeriksaan
Red Blood Cell (RBC) typing dan skrining antibodi. Salah satu bagian
test yang akan direaksikan (antigen atau antibodi) diikatkan pada fase
padat (umumnya menggunakan microtiter well) sebelum test dimulai.
Dalam waktu singkat diikuti oleh para ilmuwan lainnya dan berhasil
mengembangkan teknologi Solid-Phase Test. Pada 1984 Plapp dan
Coworkers melaporkan penggunaan Solid-Phase Red Cell Adherence
(SPRCA) untuk mendeteksi antigen antibodi sel darah merah.
Teknologi Solid-Phase Test yang lain adalah Solid-Phase Protein A,
dan Solid- Phase Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
(Walker and Harmening, 2012; Blaney and Howard, 2013).
Beberapa tahun terakhir pemeriksaan solid phase immunoassay
telah digunakan secara luas di laboratorium kimia dan imunologi.
Khusus di Bank Darah, saat ini generasi pertama dan kedua SPRCA
telah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk
pemeriksaan skrining dan identifikasi antibodi, direct antiglobulin test,
weak D test dan IgG crossmatch (Walker and Harmening, 2012;
Blaney and Howard, 2013).

3.9 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Reaksi Antigen Antibodi


pada Pemeriksaan Golongan Darah
Aglutinasi sel darah merah dapat berlangsung melalui dua
tahapan. Tahap pertama antibodi berikatan dengan permukaan sel
darah merah, tahap kedua antibodi berinteraksi dengan sel darah merah
sehingga sel- sel saling berdekatan dan terjadilah aglutinasi. Tahap
pertama aglutinasi dipengaruhi oleh suhu, pH medium, konstanta
afinitas antibodi, waktu atau lama inkubasi, kekuatan ion pada
medium, dan rasio antigen antibodi. Tahap kedua aglutinasi
dipengaruhi oleh jarak antar sel, muatan molekul dalam suspensi,
deformitas membran, molekul permukaan membran dan struktur
molekul (McCullough, 2012).
Berikut adalah beberapa faktor yang dapat mempengaruhi reaksi
antigen dan antibodi pada pemeriksaan golongan darah.

1. Muatan ion sel darah merah


Dalam kondisi fisiologis, sel darah merah tidak pernah berikatan
satu sama lain atau menggumpal secara spontan, baik selama berada
di dalam tubuh (in vivo) maupun selama di dalam tabung (in vitro)
karena masing-masing membran memiliki muatan negatif. Muatan
negatif dihasilkan oleh kelompok neuraminic acid yang terdapat pada
permukaan membran sel darah merah (WHO, 2009).
Bila sel darah merah disuspensikan dalam larutan elektrolit,
maka ion positif akan ditarik oleh muatan negatif pada sel darah
merah, sehingga sel darah merah tersebut akan dikelilingi oleh 2
lapisan yang diffuse (Zeta Potensial). Bila ada antibodi yang menempel
pada sel darah merah, maka sel darah merah akan mengurangi muatan
negatif pada permukaannya, sehingga memungkinkan sel tersebut
saling mendekat satu sama lainnya. Karena antibodi tersebut bivalent,
maka mereka
akan membentuk jembatan antara sel yang satu dengan sel yang
lainnya (Depkes RI, 2008).

2. Temperatur
Antibodi yang berbeda mempunyai kemampuan bereaksi secara
optimal pada suhu yang berbeda juga. Sebagai contoh antibodi
golongan darah ABO bereaksi optimal pada suhu 4 oC sedangkan
antibodi Rhesus bereaksi optimal pada suhu 37 oC (WHO, 2009).

3. pH
Sebagian besar antibodi golongan darah dapat bereaksi secara
optimal pada pH 6,5 sampai 7,5. Reaksi akan dihambat apabila pH
terlalu asam atau terlalu alkalis (WHO, 2009).

4. Usia serum dan eritrosit sampel


Reaksi yang paling baik umumnya didapatkan jika
menggunakan sampel serum dan eritrosit segar. Untuk alasan tersebut
disarankan selalu menggunakan sel darah merah segar atau menyimpan
serum pada suhu
-20 oC atau suhu lebih rendah apabila tidak segera digunakan (WHO,
2009).

5. Rasio antigen dan antibodi


Rasio antigen dan antibodi sangat penting dalam menentukan
kuat lemahnya reaksi. Semakin banyak antibodi yang berikatan dengan
antigen yang ada pada permukaan eritrosit maka reaksi yang terjadi
akan semakin kuat. Penting untuk memastikan keakuratan suspensi sel
darah merah yang disiapkan karena suspensi sel yang terlalu pekat
akan sedikit mengikat antibodi sehingga reaksi yang muncul lebih
lemah. Suspensi sel yang dianggap mampu memberikan reaksi optimal
pada tes aglutinasi adalah suspensi sel 2-5% (WHO, 2009).

6. Kekuatan ionik
Kecepatan terjadinya reaksi antigen-antibodi dapat ditingkatkan
jika kekuatan ionik pada medium untuk mensuspensikan sel darah
merah menurun. Penggunaan Low Ionic Strength Solution (LISS) dapat
mengurangi periode inkubasi pada anti-human globulin test selama 15
menit (WHO, 2009).

3.10 Permasalahan pada Pemeriksaan Golongan Darah


Salah satu permasalahan pada pemeriksaan golongan darah
yang cukup sering dijumpai adalah terjadinya discrepancy golongan
darah. Discrepancy golongan darah adalah terjadinya ketidaksesuaian
atau ketidakcocokan hasil pada pemeriksaan cell grouping dengan
serum grouping. Dengan kata lain, cells grouping tidak setuju dengan
serum grouping. Discrepancy wajib dikenali dan diselesaikan
sebelum pemeriksaan crossmatch dilakukan. Langkah pertama yang
harus dilakukan untuk menyelesaikan masalah discrepancy adalah
mengidentifikasi sumber discrepancy. Apakah bersumber dari
kesalahan teknis atau discrepancy yang disebabkan oleh sampel itu
sendiri (Blaney and Howard, 2013).
Sebelum memastikan bahwa discrepancy ABO terjadi,
beberapa informasi tentang pasien harus ditelusuri, informasi tersebut
antara lain:
1. Umur pasien,
2. diagnosis penyakit,
3. riwayat pemberian transfusi,
4. obat-obatan yang dikonsumsi pasien,
5. status imum pasien,
6. riwayat kehamilan (Mehdi, 2013).
Secara garis besar, penyebab discrepancy terbagi menjadi dua
yaitu kesalahan teknis dan permasalahan pada sampel baik sampel
eritrosit maupun serum atau plasma. Sumber discrepancy dari
kesalahan teknis antara lain:
1. Kesalahan identifikasi dan dokumentasi, dapat berasal dari:
a. salah melabel sampel dan jenis tabung yang digunakan,
b. pencatatan yang salah,
c. interpretasi hasil yang tidak tepat.
2. Kesalahan pada reagen dan peralatan, seperti:
a. quality control reagen tidak dilakukan dengan baik,
b. reagen terkontaminasi dan hemolisis,
c. waktu sentrifugasi tidak tepat atau peralatan tidak
dikalibrasi dengan teratur.
3. kesalahan pada Standard Operating Procedure (SOP), seperti:
a. prosedur tidak sesuai dengan instruksi dari pabrik reagen,
b. penambahan reagen atau sampel yang tidak tepat,
c. konsentrasi suspensi sel darah merah tidak tepat,
d. endapan sel pada bagian bawah tersuspensi secara komplit
sebelum derajat aglutinasi ditentukan (Blaney and
Howard, 2013).

Sumber discrepancy dari permasalahan pada sampel antara lain:


1. permasalahan pada sampel eritrosit
a. Ada antigen ekstra (extra antigens), dapat disebabkan
oleh beberapa faktor berikut: grup A dengan antigen B
dapatan, B(A) phenotype, polyagglutination, rouleaux,
hematopoetic progenitor cell.
b. Antigen lemah atau hilang (missing or weak antigens),
bisa disebabkan oleh ABO subgroup, penyebab patologis,
dan kasus-kasus transplantasi.
2. permasalahan pada sampel serum atau plasma
a. Ada antibodi ekstra (extra antibodies), misalnya pada
kasus A subgroups dengan anti-A1, cold alloantibodies,
cold autoantibodies, intravenous immunoglobulin.
b. Antibodi lemah atau hilang (missing or weak antibodies),
dijumpai pada newborn, usia tua (eldery), kondisi
patologis, terapi immunosupresif untuk transplatasi
3. mixed-field reaction, dapat disebabkan oleh kondisi berikut:
a. transfusi golongan darah O pada pasien dengan golongan
darah A, B, AB
b. hematopoetic progenitor stem cell transplants
c. A3 phenotype (Blaney and Howard, 2013).
3.11 Penanganannya Discrepancy Golongan Darah ABO
Sebelum melangkah lebih jauh untuk menyelesaikan perbedaan
hasil antara cell grouping dan serum grouping, sebaiknya terlebih
dahulu singkirkan penyebab discrepancy yang umum terutama yang
bersumber dari kesalahan teknis. Langkah-langkah yang bisa
membantu untuk mengatasi discrepancy antara lain:
a. jika kemungkinan penyebabnya adalah kesalahan pengambilan
sampel atau identifikasi pasien, minta sampel baru, lakukan
pemeriksaan ulang. Bila discrepancy tidak dijumpai lagi, hasil
pemeriksaan golongan darah dapat dilaporkan,
b. jika discrepancy tetap ditemukan, lakukan pencucian sel dengan
salin 3-4 kali dan lakukan pemeriksaan ulang. Bila discrepancy
tidak dijumpai lagi, hasil pemeriksaan golongan darah dapat
dilaporkan,
c. jika discrepancy tetap ditemukan, lakukan penelusuran terhadap
informasi pasien meliputi: umur, diagnosis, pemberian obat-
obatan, riwayat transfusi dan riwayat kehamilan,
d. evaluasi hasil pemeriksaan yang didapat kemudian bedakan
apakah discrepancy terjadi pada cell grouping atau serum
grouping atau cell grouping dan serum grouping dengan melihat
dejarat reaktivitasnya (Harmening et al, 2012; Mehdi, 2013).

Berikut adalah salah satu contoh algoritme penanganan kasus


discrepancy golongan darah.
ABO Discrepacy (Cell grouping dan

Jik
serum grouping tidak sesuai)
a
di
sc
Jika kemungkinan ada
re
pa kesalahan sampel dan
nc
y ti
identifikasi pasien
da

Cu nga iks
k
ad

ci
de me

se sa n
a

pe

l d lin
ar da
n aa

ah n
r
Minta sampel baru

m ula
Di

er
sc

ah gi
re
pa

pa
nc

sie
yt

n
Lakukan penelusuran informasi pasien Lakukan pemeriksaan

et
Hasil pemeriksaan golongan

ap
(umur, diagnosis, pemberian obat-obatan, ulang

ad
darah ABO dapat dilaporkan

a
riwayat transfusi dan riwayat kehamilan)

Jika discrepancy tidak


Bedakan apakah discrepancy terjadi
ada
pada serum grouping atau cell grouping
atau keduanya dengan melihat derajat
reaktifitasnya Hasil pemeriksaan
golongan darah ABO
dapat dilaporkan

Misal: Masalah ada di serum Misal: Masalah ada di eritrosit pasien Misal: Masalah ada baik di serum
pasien (reaksi lemah pada serum (reaksi lemah pada cell grouping) maupun di eritrosit pasien (reaksi
grouping) lemah pada cell dan serum
grouping)
Anti-A 4+, anti-B Anti-A 2+ mf, anti-B 0, Anti-A 1+, anti-B
4+, sel A1 0, sel B 4+ 1+,
sel A1 2+, sel B 2+ sel A1 1+, sel B 2+
Kemungkinan golongan darah AB Kemungkinan golongan darah A dengan Kemungkinan golongan darah O
dengan kemungkinan penyebab kemungkinan penyebab discrepancy dengan kemungkinan penyebab
discrepancy cold reacting antibody transfusi dengan golongan darah yang
discrepancy cold autoantibody,
(misal: anti-M, anti-P1), cold reacting berbeda (misal: transfusi golongan O pada
cold autoantibody dan
autoantibody (misal: anti-I, anti-H, anti- pasien golongan A), transplatasi
alloantibody, transplatasi
IH), passively acquired antibody sumsum tulang atau stem cell,
(plasma exchange, mismatched platelet), perdarahan feto- maternal, adanya sumsum tulang atau stem cell,
adanya Rouleaux. subgroup A3. passively acquired antibody.

Resolusi: Resolusi: Resolusi:


1. Antibodi skrining 1. Direct antiglobulin test Cuci eritrosit pasien dengan
2. pemeriksaan autokontrol 2. pemeriksaan autokontrol salin hangat dan periksa ulang
3. salin replacement pada Direct antiglobulin test dan
rouleaux formation. pemeriksaan autokontrol
Antibodi skrining

Gambar 3.12 Algoritme penanganan kasus discrepancy golongan darah


(Harmening et al, 2012).
Tabel 3.4 Contoh ABO discrepancy antara cell grouping dan
serum grouping (Harmening et al, 2012; Mehdi, 2013).

Pasien Anti-A Anti-B Sel A1 Sel Sel Auto Kemungkinan penyebab Resolusi
B O kontrol
1 0 0 0 0 0 0 Golongan darah O a. Cek umur dan diagnosis pasien serta
a. pada bayi baru lahir atau orang kadar immunoglobulin jika
tua, memungkinkan
b. pasien dengan b. inkubasi serum pasien dengan reagen
hypogamaglobulinemia atau sel darah merah pada suhu ruang
agammaglobulinemia selama 30 menit,
c. konsumsi obat c. jika tidak dijumpai adanya reaksi,
immunosupresan inkubasi campuran tersebut masing-
masing pada dua kondisi yaitu suhu 4
o
C dan suhu 37 oC selama 15 menit
d. autokontrol dan reaksi serum pasien
dengan suspensi sel O harus selalu
disertakan saat pemeriksaan
2 4+ 0 1+ 4+ 0 0 Subgrup A, kemungkinan golongan a. Reaksikan sel pasien dengan anti-A1
darah A2 lectin
b. Periksa ulang serum grouping
dengan tambahan suspensi sel A1,
A2 dan sel O
c. Pemeriksaan autokontrol tetap
dilakukan
3 4+ 4+ 2+ 2+ 2+ 2+ a. Rouleaux (pasien multipel a. Cuci eritrosit pasien dengan salin
myeloma, pasien dengan rasio atau lakukan teknik salin
albumin dan globulin terbalik replacement
atau pasien dengan pemberian
plasma expanders)
b. Cold autoantibody
(kemungkinan golongan b. Lakukan inkubasi pada suhu 37 oC.
darah AB dengan auto anti-I)

4 4+ 4+ 1+ 0 0 0 Subgrup AB (kemungkinan Gunakan anti-A lectin, lakukan serum


golongan darah A2B dengan anti- grouping ulang dengan penambahan sel
A1 A1, A2 dan O
5 4+ 0 0 4+ 3+ 0 Golongan darah A1 dengan Konfirmasi golongan darah A1 dengan
kemungkinan adanya anti-H anti-A1 lectin, tambahkan pemeriksaan
dengan suspensi sel A2, O, A1 dan Oh
jika tersedia
6 0 0 4+ 4+ 4+ 0 Oh Bombay Periksa dengan anti-H lectin, tambahkan
pemeriksaan dengan suspensi sel Oh jika
tersedia, rujuk ke laboratorium rujukan
untuk konfirmasi
7 0 0 2+ 4+ 0 0 Subgrup A, kemungkinan Ax Lakukan saliva studies atau
dengan anti-A1 absorption/elution
8 4+ 2+ 0 4+ 0 0 Golongan darah A dengan acquired a. Telusuri riwayat pasien apakah ada
B antigen masalah di saluran cerna bagian
bawah atau mengalami septikemia
b. Lakukan pengasamkan reagen anti-
B sehingga pH mencapai 6,0 dengan
menambahkan 1-2 tetes larutan HCL
ke dalam 1 mL anti-B. serum yang
diasamkan akan beraglutinasi hanya
dengan “true B antigen” dan tidak
beraglutinasi dengan “acquired B
antigen”
9 4+ 4+ 2+ 0 2+ 0 Golongan darah AB dengan Lakukan pemeriksaan skrining dan
alloantibody identifikasi antibodi
Lakukan pemeriksaan serum grouping
pada suhu 37 oC.
10 0 4+ 4+ 1+ 1+ 1+ Golongan darah B dengan cold Lakukan prewarmed testing atau
autoantibody enzyme-treat red blood cells dan
autoabsorption
Untuk membedakan bentukan rouleaux dan aglutinasi dapat
dilakukan dengan pencucian sel dengan salin atau melakukan salin
replacement technic. Pada aglutiasi penambahan salin tidak
menyebabkan sel terpisah sedangkan pada rouleaux formation sel akan
terpisah. Pada kasus Whartons’s jelly yang juga menyebabkan
pembentukan rouleaux, sel harus dicuci minimal 8 kali (Harmening et
al, 2012; Mehdi, 2013). Berikut adalah gambar sel darah merah untuk
membedakan rouleaux formation dan agglutination.

Gambar 3.13 Rouleaux dan aglutination (Harmening et al, 2012).

3.12 Contoh Kasus Terkait Pemeriksaan Golongan Darah ABO

Kasus 1.
Seorang wanita 60 tahun, didapatkan hasil pemeriksaan
golongan darah AB Rhesus positif. Pemeriksaan dikerjakan dengan
metode slide test hanya cell grouping. Pemeriksaan kemudian dirujuk
ke Unit Transfusi Darah (UTD) terdekat lengkap dengan permintaan
darah Pack Red Cells (PRC) 2 kantong. Hasil pemeriksaan golongan
darah sebagai berikut:
Tabel 3.5. Pemeriksaan golongan darah dengan slide test
Anti-A Anti-B Anti-D Bovin Albumin
3+ 4+ 4+ +4
Tabel 3.6 Pemeriksaan golongan darah ulang dengan tube test

Suspensi Suspensi Bovin


Anti-A Anti-B Suspensi sel O Anti-D Autokontrol
sel A sel B Albumin
3+ 4+ 3+ 3+ 3+ 4+ 4+ 4+

Tabel 3.7 Pemeriksaan golongan darah ulang setelah pencucian


sel dan dikerjakan dengan metode tabung, inkubasi 37 o C.
Suspensi Suspensi Suspensi Bovin
Anti-A Anti-B Anti-D Autokontrol
sel A sel B sel O Albumin
Negatif Negatif 3+ 3+ Negatif 4+ Negatif 4+

Kesimpulan : Penderita golongan darah O Rh positif

Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk


memecahkan kasus di atas antara lain:
1. telusuri diagnosis dan riwayat golongan darah pasien,
2. lakukan inkubasi pada suhu 37 oC dan pencucian eritrosit dengan
larutan salin.

Hasil pemeriksaan golongan darah menunjukan adanya


discrepancy antara cells grouping dan serum grouping. Aglutinasi
yang positif pada cells grouping, serum grouping, bovin albumin
maupun autokontrol kemungkinan disebabkan karena proses aglutinasi
sudah berlangsung sebelum sampel dianalisis akibat adanya
autoantibodi yang menyelimuti eritrosit pasien ataupun yang beredar
dalam serum. Munculnya aglutinasi pada semua metode pemeriksaan
golongan darah kemungkinan disebabkan adanya extra antibody. Jika
extra antibody tersebut bersifat cold, untuk melepaskan aglutinasi
tersebut bisa dilakukan inkubasi pada 37 oC dan pencucian eritrosit
dengan larutan salin. Pada pencucian sampel dengan salin dan
prewarming technique (inkubasi 37o C) kemungkinan terjadi migrasi
reaktivitas autoantibodi sehingga golongan darah menjadi jelas (Shaz
and Hillyer, 2009).
Kasus 2.
Laki-laki 70 tahun dengan perut membesar, pucat, berak hitam
sejak 1 minggu dan sudah dirawat dengan hepatitis B sejak 3 tahun
yang lalu. Dari hasil pemeriksaan golongan darah didapatkan data
sebagai berikut:

Tabel 3.8 Hasil pemeriksaan golongan darah dengan slide test


Anti-A Anti-B Anti-D Bovin Albumin
Negatif 4+ 4+ Negatif

Tabel 3.9 Hasil pemeriksaan golongan darah ulang pada sampel


yang sama dengan tube test

Suspe nsi Suspensi Su sp e n si Bovin Auto


Anti-A Anti-B Anti-D
sel A sel B sel O Albumin kontrol
Negatif 4+ +2 1+ 1+ 4+ Negatif Negatif

Setelah dikirim sampel baru dan dilakukan pemeriksaan


golongan darah ulang didapatkan hasil yang sama seperti di atas.
Hasil pemeriksaan golongan darah menunjukkan hasil cell
(forward) grouping tidak sesuai atau tidak setuju dengan hasil serum
(reverse) grouping. Pada cell grouping, aglutinasi 4+ dengan anti-B
dan aglutinasi negatif dengan anti-A. Jika hanya berdasarkan cell
grouping, maka golongan darah dapat disimpulkan golongan darah B.
Pada serum grouping, aglutinasi 2+ dengan suspensi sel A, 1+ dengan
suspensi sel B dan 1+ dengan suspensi sel O. Hasil pemeriksaan serum
grouping sulit disimpulkan. Aglutinasi pada masing-masing suspensi
sel bersifat lemah (tidak mencapai 3+ atau 4+). Jika dianggap golongan
O karena aglutinasi positif pada sel A dan sel B maka tidak sesuai
dengan hasil reaksi pada sel O dan cell grouping. Golongan darah yang
mungkin pada pasien ini adalah golongan darah B Rh positif.
Munculnya aglutinasi pada sel B dan sel O kemungkinan disebabkan
adanya extra antibody yang perlu ditelusuri lebih lanjut dengan
pemeriksaan skrining dan identifikasi antibodi (Nester and Aubuchon,
2011).
Kasus 3.
Hasil pemeriksaan golongan darah pasien didapatkan data sebagai
berikut:
Tabel 3.10 Hasil pemeriksaan golongan darah dengan slide test
Anti-A Anti-B Anti-D Bovin Albumin
Negatif Negatif 3+ Negatif

Tabel 3.11 Hasil pemeriksaan golongan darah ulang pada


sampel yang sama dengan tube test
Suspensi Suspensi Suspensi Bovin Auto
Anti-A Anti-B Anti-D
sel A sel B sel O Albumin kontrol
Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif 3+ Negatif Negatif

Dari hasil pemeriksaan golongan darah kesan cells grouping


adalah golongan darah O dan kesan serum grouping adalah golongan
darah AB. Pada kasus di atas sangat penting untuk menelusuri data
pasien meliputi umur, diagnosis, dan kadar imunoglobulin jika
memungkinkan. Umur pasien merupakan faktor yang paling penting
karena konsentrasi antibodi ABO rendah pada bayi yang baru lahir dan
penderita usia lanjut. Data diagnosis pasien juga penting karena
penurunan konsentrasi antibodi ABO juga dapat disebabkan oleh
beberapa kondisi patologis seperti pada kasus Chronic lymphocytic
leukemia, Congenital hypergammaglobulinemia atau Acquired
hypogammaglobulinemia, Congenital agammaglobulinemia atau
aquired agammaglobulinemia, Immunosupressive therapy, Bone
marrow transplant dan Multiple myeloma (Blaney and Howard, 2013).
Ada pun penanganan lanjutan yang bisa dilakukan untuk
menentukan golongan darah pasien adalah melakukan inkubasi serum
grouping pada suhu ruang selama 15-30 menit. Selanjutnya lakukan
sentrifugasi dan baca apakah ada aglutinasi atau tidak (Blaney and
Howard, 2013).
DAFTAR PUSTAKA

Blaney, K.D., Howard, P.R. 2013. Compatibility Testing.


Basic&Applied Concepts of Blood Banking and Transfusion
Practices. Third Edition. United States: Elsevier Mosby. pp.188-
201.
Cooling, L. 2014. ABO, H, and Lewis blood groups and structurally
related antigens. In: Fung, M., Grossman, B.J., Hillyer, C.D.,
Westhoff, C.M., eds. Technical manual. 18th edition. Bethesda,
MD: AABB :291-315.
Depkes RI.2008. Serologi Golongan Darah. Modul 2 Pelatihan Crash
Program Petugas Teknis Transfusi Darah Bagi Petugas UTDRS.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI. hal 73-120.
Diagast. 2016. User instruction ABO Rh 1 reagent.
Diamed. 2016. User instruction ABO/D + Reverse grouping reagent.
Himedia. 2015. HiPer® Blood Grouping Teaching Kit. India. Himedia
Laboratories.p.3-6.
Harmening, D. M., Forneris, G., Tubby, B. J. 2012. The ABO Blood
Group System. Blood Groups and Serologic Testing. Modern
Blood Banking & Transfusion Practices 6th Edition. Philadelphia:
F.A Davis company. p.119-148.
McClelland, D.B.L. 2012. Blood products and transfusion procedures.
Handbook of Transfusion Medicine. London: TSO (The
Stationery Office). pp. 5-22.
McCullough, J. 2012. Laboratory Detection of Blood Groups and
Provision of Red Cells. Transfusion Medicine Third Edition.
UK: Wiley-Blackwell. p. 207-233.
Makroo, R.N. 2009. ABO Blood group System. Practice of Safe Blood
Transfusion Compendium of Transfusion Medicine. New Delhi:
Kongposh. p. 39-64.
Mehdi, S.R. 2013. ABO blood group system. Essentials of Blood
Banking A Handbook for Students of Blood Banking and
Clinical Residents. Second Edition. New Delhi: Jaypee Brothers
Medical Publishers. p. 6-18.
Nester, T., Aubuchon, J.P. 2011. Hemotherapy Decisions and Their
Outcomes. Technical Manual 17th AABB. Bank United State:
American Association of Blood. p. 571-604.
NIB. 2013. Guidance Manual on “ABO and Rh Blood Grouping”.
National Institute of Biologicals. Ministry of Health & Family
Welfare Government of India. p. 9-31.
Ortho Clinical Diagnostic, 2016. User instruction The ID-Micro
Typing SystemTM reagent.
Powell, V. I. 2016. Blood Group Antigen and Antibodies. NYU
Langone Medical Center.
Rumsey, D. H., Ciesielski, D. J. 2000. New Protocols in Serology
Testing: A Review of Techniques To Mee Today,s Challenges.
Immunohematology. Journal of Blood Group Serology and
Education, 16(4): 1-9.
Shaz, B.H, Hillyer, C.D. 2009. Autoimmune Hemolytic Anemias.
Transfusion Medicine and Hemostasis Clinical and Laboratory
Aspect. USA: Elsevier. p.251-258.
Sanguin Blood Supply. 2016. User Instruction Blood group serology
products.
Saluju, G. P., Singal, G. L. 2014. Alternative Technologiesin Blood
Banking. Standard Operating Procedures and Regulatory
Guidelines Blood Banking.New Delhi: Jaypee Brothers Medical
Publishers. p. 104-110.
Voak, D., Napier, J.A.P., Boulton, F.E., Cann, R., Finney, R.D., Fraser,
I.D., Wagstaff, W., Water, A.H., Wood, J.K., Doughty, R.W.,
Brazier, D., Cant, B., Hedley, G., Knight, R., Milkins, C., Poole,
G.D., Ross, D.W., Sangster, J., Scott, M. 1990. Guidelines
for microplate technique in liquid-phase blood grouping and
antibody screening. A Joint Publication of The British Society
For Haematology and The British Blood Transfusion Society.
Journal of Clinical Laboratory Haematology, 12: 437-460.
Walker, P. S., Harmening, D. M. 2012. Other Technologies and
Automation. Blood Groups and Serologic Testing. Modern
Blood Banking & Transfusion Practices 6th Edition.
Philadelphia: F.A
Davis company. p. 273-285.
WHO. 2002. Blood Transfusion Safety. The Clinical Use of Blood.
Genewa: WHO. p 1-121.
WHO, 2009. Basic Blood Group Immunology. Safe Blood and Blood
Product. Genewa: WHO. p. 16-24.
WHO, 2009. The ABO Blood Group System. Safe Blood and Blood
Product. Genewa: WHO. p. 25-34.
BAB IV
PEMERIKSAAN GOLONGAN
DARAH RHESUS

4.1 Golongan Darah Rhesus


Golongan darah Rhesus merupakan sistem golongan darah
terpenting kedua dalam pelayanan transfusi. Antigen Rhesus bersifat
sangat imunogenik. Antibodi Rhesus baru terbentuk bila ada paparan
antigen Rhesus. Istilah Rhesus positif dan Rhesus negatif rutin
digunakan di masyarakat dan para ahli, ketika menyebutkan jenis
golongan darah. Misalnya A-positif atau A-negatif. Rhesus positif
mengindikasikan adanya salah satu antigen Rhesus pada sel darah
merah, umumnya antigen D. Rhesus negatif mengindikasikan tidak
adanya antigen D pada sel darah merah seseorang (Johnson and Wiler,
2012).
Sistem golongan darah Rhesus termasuk sistem golongan darah
yang kompleks. Beberapa aspek genetik dan nomenklatur belum
diketahui dengan baik. Antibodi yang bereaksi terhadap antigen D
pertama kali ditemukan oleh Levin dan Stetson pada tahun 1939. Saat
itu ditemukan adanya reaksi transfusi pada pasien golongan darah O
dengan riwayat persalinan sebelumnya (Mehdi, 2013).
Pada 1940 Lansteiner dan Wiener menemukan adanya
peningkatan antibodi dalam serum kelinci yang diimunisasi dengan
eritrosit monyet Rhesus. Antibodi yang sama dijumpai mengalutinasi
85% eritrosit manusia. Antibodi tersebut kemudian diberi nama anti-
Rhesus (Mehdi, 2013).
Berbeda dengan antigen ABO, antigen Rhesus hanya
diekspresikan oleh sel eritrosit dan tidak oleh jaringan tubuh yang lain
termasuk leukosit dan trombosit. Antigen D memiliki makna klinis
yang signifikan sama seperti antigen A dan B. Antibodi D tidak
ditemukan pada semua individu golongan darah Rhesus negatif. Anti-D
baru terbentuk setelah seseorang dengan Rhesus negatif terpapar
Rhesus positif. Misalnya setelah mendapat transfusi atau setelah proses
kehamilan. Lebih dari 80% individu dengan Rhesus D negative akan
membentuk anti-D setelah transfusi dengan golongan darah Rhesus D
positif (Mehdi, 2013).
4.2 Tujuan Pemeriksaan Golongan Darah Rhesus
Tujuan utama dari pemeriksaan golongan darah Rhesus adalah
untuk mendeteksi ada tidaknya antigen D. Sebenarnya ada beberapa
jenis antigen Rhesus, namun antigen D memiliki sifat yang paling
imunogenik di antara antigen lainnya sehingga rutin diperiksa bersama
dengan antigen golongan darah sistem ABO (Blaney and Howard,
2013).

4.3 Prinsip Pemeriksaan Golongan Darah Rhesus


Prinsip pemeriksaan golongan darah Rhesus sama dengan
golongan darah ABO yaitu apabila antigen direaksikan dengan
antibodi yang sesuai maka akan terjadi aglutinasi. Sistem Rhesus
merupakan golongan darah dengan tingkat imunogenitas yang tinggi
dan komplek serta memiliki nilai klinis yang signifikan. Karena
memiliki konsekuensi klinis secara langsung, maka pemeriksaan
golongan darah Rhesus rutin dikerjakan pada uji pratransfusi (Levitt,
2014).
Beberapa golongan darah Rhesus dapat bersifat weak D antigens
yang hanya dikenali dengan prosedur pemeriksaan Indirect Coomb’s
Test (ICT). Pada hasil pemeriksan rutin yang negatif perlu dilakukan
pemeriksaan lanjutan untuk mendeteksi adanya weak D. Standar dari
American Association of Blood Bank (AABB) menganjurkan untuk
rutin mendeteksi weak D pada pemeriksaan darah donor, tetapi tidak
rutin pada sampel pasien (Levitt, 2014).

4.4 Metode Pemeriksaan Golongan Darah Rhesus


Ada 3jenis metode manual yang bisa digunakan untuk
pemeriksaan golongan darah Rhesus yaitu:
1. Slide test atau white tile.
2. tube test
3. Microwell plate atau Microplate (Roback et al, 2011; Saluju and
Singal, 2014).
Pada buku ini hanya akan dibahas pemeriksaan golongan darah
Rhesus dengan 3 metode manual, 2 metode lainnya hampir sama
dengan pemeriksaan golongan darah ABO hanya berbeda pada jenis
reagen yang digunakan.
4.5 Pemeriksaan Golongan Darah Rhesus dengan Metode Slide
Test
Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan pada pemeriksaan
golongan darah menggunakan metode slide test antara lain: risiko
terpapar bahan infeksius sangat besar sehingga keamanan dan
keselamatan kerja menjadi perhatian yang sangat penting, penguapan
pada bahan yang direaksikan dapat menimbulkan agregat sehingga
sering diinterpretasikan sebagai aglutinasi positif, pemeriksaan
terhadap weak D tidak dapat dilakukan dengan metode slide test
(Roback et al, 2011).

1. Alat
Beberapa peralatan yang dibutuhkan untuk melakukan
pemeriksaan golongan darah Rhesus dengan metode slide test antara
lain:
1. objek gelas,
2. Rh viewbox
3. stik aplikator

Mixture of blood and anti-D serum Plate heated to 45oC (113oF)

Gambar 4.1 Rh viewbox untuk pemeriksaan golongan darah Rhesus dengan metode
slide test (http://www.guwsmedical.info/human-anatomy/demonstration-rh-blood-
typing.html).
2. Bahan
Sampel untuk pemeriksaan golongan darah Rhesus dapat
menggunakan sampel darah beku atau sampel darah dengan
antikoagulan. Sel darah merah dapat disuspensi secara autologous
menggunakan plasma atau serum. Suspensi sel juga dapat dibuat dalam
medium salin atau sel dicuci kemudian disuspensi dalam salin (Roback
et al, 2011; Saluju and Singal, 2014).
Saat ini ada 2 jenis reagen untuk pemeriksaan golongan darah
Rhesus yang banyak dipakai, yaitu:
1. Polyclonal human anti-D serum, antisera ini membutuhkan
potensiator seperti albumin, enzim atau Coomb’s (AHG) serum
yang bereaksi dengan IgG anti-D.
2. Monoclonal anti-D reagen, antisera ini lebih disukai dan lebih
umum dipakai karena lebih spesifik dan mampu bereaksi pada
suhu 20-37 oC baik dengan metode slide test maupun tube test.
Beberapa jenis reagen anti-D monoclonal, antara lain:
a. IgM anti-D monoclonal
b. IgG anti-D monoclonal
c. Campuran reagen anti-D IgM dan IgG monoklonal
d. Campuran reagen anti-D IgM monoklonal dan IgG
poliklonal (Makroo, 2009; Saluju and Singal, 2014).
3. Bahan kontrol.

3. Prosedur pemeriksaan
Teknik pemeriksaan golongan darah Rhesus dengan metode
slide test bersifat sederhana, mudah, tetapi kurang terpercaya. Teknik
ini paling memungkinkan digunakan di lapangan. Teknik ini juga dapat
digunakan dalam keadaan emergency jika sentrifus tidak tersedia. Slide
test tidak direkomendasikan untuk pemeriksaan rutin karena reaksi
yang lemah sering memberikan hasil negatif. Reagen IgM anti-D
monoklonal dapat bekerja dengan baik pada metode slide test.
(Makroo, 2009; Mehdi, 2013; Saluju and Singal, 2014).
Ada pun prosedur pemeriksaan golongan darah Rhesus dengan
metode slide test adalah sebagai berikut:
1. Lakukan pemanasan objek gelas menggunakan Rh viewbox pada
suhu 40-50 oC sebelum dilakukan pemeriksaan,
2. teteskan 1 tetes anti-D pada objek gelas yang bersih dan sudah
dilabel,
3. tetekan 1 tetes reagen kontrol, jika diperlukan teteskan pada
objek gelas kedua yang sudah diberi lebel, gunakan reagen
sesuai dengan petunjuk penggunaan reagen dari perusahaan
reagen,
4. pada masing-masing objek gelas, tambahkan 2 tetes suspensi sel
darah merah 40-50% yang disuspensi dalam serum atau plasma,
5. gunakan stik aplikator yang bersih untuk mengaduk campuran
suspensi sel dan reagen pada area sekitar 20-40 mm,
6. letakkan objek gelas pada viewbox dan lanjutkan pencampuran
dengan memiringkan objek gelas dengan lembut sambil melihat
ada tidaknya aglutinasi. Baca aglutinasi secara makroskopis
dalam waktu 2 menit. Jangan melakukan pembacaan bila
campuran reaksi sudah kering karena sering keliru dengan
agutinasi,
7. lakukan interpretasi dan pencatatan hasil (Roback et al, 2011;
Denomme et al, 2014).

Gambar 4.2 Contoh hasil pemeriksaan golongan darah Rhesus dengan slide test
(Saluju and Singal, 2014).
4. Interpretasi hasil
a. Aglutinasi positif pada objek gelas yang ditambahkan anti-D dan
aglutinasi negatif pada kontrol menunjukkan hasil pemeriksaan
positif atau sampel dengan D positif.
b. Tidak adanya aglutinasi baik pada objek gelas dengan
penambahan anti-D maupun kontrol, mengindikasikan hasil
negatif. Lanjutkan dengan pemeriksaan Indirect Coomb’s Test
(ICT) untuk mendeteksi adanya weak D karena tidak terdeteksi
pada metode slide test.
c. Jika dijumpai aglutinasi pada kontrol, hasil pemeriksaan pada
anti-D tidak bisa diinterpretasikan positif tanpa melakukan
pemeriksaan lanjutan (Roback et al, 2011; Denomme et al,
2014).

4.6 Pemeriksaan Golongan Darah Rhesus dengan Metode Tube


Test
1. Alat
Peralatan yang dibutuhkan untuk melakukan pemeriksaan
golongan darah Rhesus dengan metode tube test adalah tabung reaksi
dan sentrifus (Denomme et al, 2014; Levitt, 2014).

2. Bahan
Sampel untuk pemeriksaan dapat berupa darah beku atau
darah dengan antikoagulan. Sel darah merah dapat disuspensi secara
autologous pada serum, plasma atau salin. Cuci sel darah merah
dengan salin kemudian diresuspensi kembali dalam medium salin
(Denomme et al, 2014; Levitt, 2014).
Reagen yang digunakan dapat berupa reagen monoklonal
maupun poliklonal. Reagen digunakan sesuai dengan instruksi
penggunaan dari perusahaan reagen (Denomme et al, 2014; Levitt,
2014).

3. Prosedur Pemeriksaan
Ada pun prosedur pemeriksaan golongan darah Rhesus dengan
metode tube test adalah sebagai berikut:
a. Teteskan 1 tetes anti-D ke dalam tabung yang bersih dan sudah
diberi label. Penambahan reagen ke dalam tabung dilakukan
sebelum penambahan suspensi sel darah merah dengan tujuan
untuk menghindari adanya hasil yang negatif palsu akibat lupa
menambahkan reagen,
b. tambahkan 1 tetes reagen kontrol pada tabung kedua yang sudah
dilabel,
c. tambahkan masing-masing 1 tetes suspensi sel darah merah 2-
5%,
d. campur dengan lembut dan sentrifugasi dengan kecepatan
3000 rpm selama 1 menit atau sesuai dengan rekomendasi dari
perusahaan yang memproduksi reagen,
e. resuspensi dengan lembut endapan sel yang ada pada bagian
bawah tabung untuk melihat ada tidaknya aglutinasi,
f. tentukan derajat reaksi dan lakukan pencatatan hasil (Denomme
et al, 2014; Levitt, 2014).
`
4. Interpretasi hasil
a. Aglutinasi positif pada tabung yang ditambahkan anti-D dan
aglutinasi negatif pada kontrol mengindikasikan hasil
pemeriksaan positif atau sampel dengan D positif,
b. Tidak adanya aglutinasi pada tabung dengan anti-D maupun
kontrol menunjukkan hasil pemeriksaan negatif. Bila sampel
berasal dari pasien, dianggap sebagai Rhesus negatif. Bila
sampel berasal dari donor perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan
untuk menentukan ada tidaknya weak D antigen.
c. Aglutinasi positif pada kontrol menunjukkan hasil pemeriksaan
invalid. Pemeriksaan perlu diulang atau dibutuhkan pemeriksaan
lanjutan untuk membuang IgM atau IgG antibody pada sel darah
merah (Denomme et al, 2014; Levitt, 2014).
4.7 Pemeriksaan Golongan Darah Rhesus dengan Metode
Microwell Plate atau Microplate
1. Alat
Alat yang dibutuhkan untuk melakukan pemeriksaan golongan
darah Rhesus dengan metode microplate antara lain: microplate,
micropipette, microplate centrifuge dan microplate shaker (Denomme
et al, 2014; Levitt, 2014).

2. Bahan
Sampel yang digunakan disesuaikan dengan jenis sampel yang
direkomendasikan oleh perusahaan yang memproduksi reagen. Untuk
pemeriksaan dengan metode microplate otomatis dapat membutuhkan
sampel dengan antikoagulan spesifik (Denomme et al, 2014; Levitt,
2014).

3. Prosedur Pemeriksaan
Adapun prosedur pemeriksaan golongan darah Rhesus dengan
metode microplate adalah sebagai berikut:
a. Teteskan 1 tetes reagen anti-D pada sumuran microplate. Jika
dibutuhkan, gunakan bahan kontrol dan teteskan kontrol pada
sumuran kedua dari microplate,
b. tambahkan 1 tetes suspensi sel darah merah 2-5% yang
disuspensi dalam medium salin,
c. campur dengan baik dengan cara mengyoyangkan microplate
dengan lembut,
d. lakukan sentrifugasi pada microplate centrifuge dengan
kecepatan tertentu sesuai dengan rekomendasi perusahaan
pembuat reagen,
e. resuspensi endapan sel darah merah pada bagian bawah tabung
dengan menggoyang microplate secara lembut atau gunakan
microplate shaker.
f. periksa ada tidaknya aglutinasi, lakukan interpretasi dan
pencatatan,
g. untuk meningkatkan reaksi yang lemah, lakukan inkubasi pada
hasil yang negatif pada suhu 37 oC selama 15-30 menit dan
ulangi langkah keempat sampai keenam (Denomme et al, 2014;
Levitt, 2014).
2. Interpretasi hasil
a. Aglutinasi positif pada sumuran yang ditambahkan anti-D dan
aglutinasi negatif pada kontrol mengindikasikan hasil
pemeriksaan positif atau sampel dengan D positif,
b. Tidak adanya aglutinasi pada sumuran dengan anti-D maupun
kontrol menunjukkan hasil pemeriksaan negatif. Bila sampel
berasal dari pasien, dianggap sebagai Rhesus negatif. Bila
sampel berasal dari donor perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan
untuk menentukan ada tidaknya weak D antigen (Denomme et
al, 2014; Levitt, 2014).

4.8 Weak D atau Du Phenotype


Setelah penentuan antigen A dan B, pemeriksaan serologi untuk
menentukan status antigen D sangat penting dalam praktik transfusi
dan kadang-kadang menjadi masalah yang dapat disebabkan oleh
banyak faktor baik oleh perbedaan motode pemeriksaan, perbedaan
reagen maupun oleh perbedaan kemampuan mengekspresikan antigen
D dari eritrosit sehingga menimbulkan discrepancies hasil
pemeriksaan. Variasi antigen D dapat bersifat lemah (weak D) dan
dapat bersifat partial D. Weak D terjadi karena menurunnya jumlah D
antigen site pada eritrosit tanpa adanya pengurangan jumlah epitop.
Partial D terjadi karena adanya variasi kualitas antigen D, jumlah D
antigen site pada eritrosit tidak berkurang tetapi terdapat pengurangan
satu atau lebih jumlah epitop. Weak D dan partial D penting
diidentifikasi pada donor karena dapat menimbulkan respon imun jika
darah donor ditransfusikan ke pasien Rhesus negatif. Pasien dengan
weak D atau partial D masih aman ditransfusikan darah Rhesus negatif
tetapi akan menjadi sangat penting untuk mengkoreksi golongan darah
pasien ketika pasien berubah status menjadi donor. Pada bank darah
umumnya sulit untuk menentukan apakah golongan darah termasuk
weak D atau partial D dan umumnya semua menggunakan istilah weak
D (Saluji and Singal, 2014).
Pada beberapa kasus juga dapat dijumpai eritrosit dengan antigen
D positif, tidak diaglutinasi oleh antisera D namun memberikan hasil
positif pada pemeriksaan Indirect Coombs Test (ICT). Fenomena
tersebut dapat disebabkan oleh ekspresi antigen D yang lemah (Du).
Du bukan merupakan antigen yang berbeda, tetapi merupakan ekspresi
yang lemah dari antigen D (Mehdi, 2013).
Ada 2 jenis Du yaitu high grade Du dan low grade Du . High
grade Du dapat menunjukkan aglutinasi dengan penambahan anti-D,
namun sebagain besar low grade Du hanya memberikan hasil positif
pada pemeriksaan ICT (Makroo, 2009).
Terkait dengan kebijakan transfusi, semua donor dengan Du
positif dianggap sebagai Rhesus positif dan transfusi hanya boleh
diberikan pada pasien dengan Rhesus positif. sedangkan semua pasien
dengan Du positif dianggap sebagain Rhesus negatif dan paling aman
diberikan transfusi darah Rhesus negatif (Makroo, 2009; Mehdi, 2013).

4.9 Pemeriksaan weak D (Rhesus Du)


1. Alat
Peralatan yang dibutuhkan untuk melakukan pemeriksaan weak
D (Rhesus Du) antara lain: tabung reaksi, inkubator dan sentrifus.

2. Bahan
Bahan pemeriksaan yang digunakan disesuaikan dengan jenis
sampel yang direkomendasikan oleh perusahaan pembuat reagen.
Suspensi sel darah merah yang dibutuhkan adalah 2-5%. Reagen yang
digunakan terdiri dari reagen Anti Human Globulin (AHG) baik yang
polispesifik atau anti-IgG dan IgG-coated control cells (levitt, 2014).

3. Prosedur Pemeriksaan
a. Teteskan 1 tetes reagen anti-D pada tabung yang bersih dan
kering serta lakukan pelabelan pada tabung.
b. Teteskan 1 tetes reagen kontrol pada tabung kedua dan lakukan
pelabelan pada tabung.
c. Pada masing-masing tabung, tambahkan 1 tetes suspensi sel
eritrosit 2-5%.
d. Campur dan inkubasi kedua tabung pada suhu 37 oC selama 15-
30 menit atau disesuaikan dengan rekomendasi dari perusahaan
reagen.
e. Jika diperlukan, lakukan sentrifugasi dan baca setelah inkubasi
dengan meresuspensi endapan sel dengan lembut dan lihat ada
tidaknya aglutinasi.
f. Cuci sel darah merah dengan salin sebanyak 3 kali.
g. Tambahkan reagen Anti Human Globulin (AHG) sesuai dengan
petunjuk penggunaan reagen.
h. Campur dengan baik dan lakukan sentrifugasi.
i. Resuspensi dengan lembut dan lakukan pembacaan ada tidaknya
aglutinasi, tentukan derajatnya dan lakukan pencatatan.
j. Tambahkan IgG-coated control cells untuk mengkonfirmasi
validitas hasil yang negatif setelah penambahan reagen AHG.
k. Tidak semua reagen anti-D cocok digunakan untuk pemeriksaan
weak D. Konfirmasi dengan mengecek packed insert reagen
dari perusahaan yang mengeluarkan reagen tentang prosedur
pemeriksaan dan kontrol yang sesuai (Denomme et al, 2014;
Levitt, 2014).

4. Interpretasi hasil
a. Aglutinasi positif pada tabung yang ditambahkan anti-D dan
aglutinasi negatif pada tabung yang ditambahkan kontrol
mengindikasikan sel darah merah dengan D positif. Jadi tidak
dilaporkan sebagai “weak D positive” atau “D negative, weak D
positive” .
b. Tidak adanya aglutinasi pada tabung dengan anti-D maupun
kontrol, menunjukkan hasil pemeriksaan negatif.
c. Jika aglutinasi positif pada kontrol, menunjukkan hasil
pemeriksaan invalid. Pemeriksaan perlu diulang atau dibutuhkan
pemeriksaan lanjutan untuk membuang IgG antibody pada sel
darah merah (Levitt, 2014).

4.10 Discrepancies dan Permasalahan pada Pemeriksaan Golongan


Darah Rhesus
Discrepancy golongan darah Rhesus dapat meningkat bila individu
mempunyai varian antigen D. Varian tersebut dapat diidentifikasi
sebagai Rhesus positif atau negatif tergantung jenis reagen dan teknik
yang digunakan pada masing-masing laboratorium. Varian tersebut
mempunyai arti klinis yang sangat penting dan seharusnya
diidentifikasi karena dapat membentuk anti-D bila mendapat transfusi
sel darah merah Rhesus positif. Penggunaan 2 jenis reagen anti-D di
bank darah mungkin belum mampu mengidentifikasi varian D dan juga
belum mampu membedakan antara partial D dan weak D. Identifikasi
tersebut penting untuk menentukan individu sebagai Rhesus positif jika
menjadi donor dan sebagai Rhesus negatif jika menjadi pasien. Pada
kasus- kasus antenatal, sangat penting untuk mengidentifikasi status
weak D atau partial D pada ibu karena berisiko membentuk anti-D
setelah tersensitisasi oleh antigen yang dibawa oleh bayinya.
Pemeriksaan untuk mendeteksi varian D telah berkembang sampai
tingkat molekuler yang bisa dikerjakan dengan metode Polymerase
Chain Reaction (PCR) (Kulkarni, 2015).
Discrepancies dan permasalahan pada pemeriksaan golongan
darah Rhesus dapat disebabkan oleh beberapa kondisi, antara lain:
a. Proses pencucian eritrosit yang tidak tepat atau tidak adekuat
sehingga menyebabkan terjadinya pseudoaglutinasi oleh sisa
makromolekul serum dalam suspensi sel,
b. adanya autoaglutinin kuat pada serum pasien atau donor yang
menimbulkan aglutinasi. Pencucian yang tepat dan penggunaan
kontrol dapat mencegah dan mendeteksi masalah tersebut,
c. antibodi yang menyelimuti eritrosit dapat menyebabkan hasil
positif palsu, khususnya pada weak D test. DCT akan
mendeteksi kejadian tersebut,
d. reaksi negatif palsu dapat terjadi akibat adanya “blocking
phenomenon”. Hal tersebut terjadi pada sebagian besar kasus
Hemolytic Disease of the Fetus and Newborn (HDFN). Pada
HDFN sel darah merah bayi sudah diselimuti anti-D ibu dengan
kuat sehingga tidak bereaksi dengan reagen yang ditambahkan.
e. hasil positif atau negatif palsu pada pemeriksaan golongan darah
Rhesus dapat disebabkan oleh kesalahan teknis (Saluji and
Singal, 2014).
Ada pun resolusi yang bisa dilakukan dari beberapa
permasalahan di atas antara lain:
a. Jika transfusi segera diperlukan dan permasalahn belum teratasi
berikan transfusi Packed Red Cell (PRC) Rhesus negatif,
b. jika hasil pemeriksaan immediate spin invalid, ulangi
pemeriksaan dengan menggunakan suspensi sel baru yang telah
dicuci 2 kali dengan salin hangat,
c. jika hasil pemeriksaan weak D invalid dengan hasil DCT positif,
tambahkan chloroquine atau glycibe-EDTA pada eritrosit pasien
dan ulangi pemeriksaan DCT. Jika DCT negatif, weak D test
dapat di ulang.
d. pasien dengan weak D, hasil reaksi kurang dari +2 dilaporkan
sebagai Rhesus positif. Pasien seharusnya ditransfusi dengan
komponen seluler golongan darah Rhesus negatif,
e. donor dengan weak D, hasil reaksi kurang dari 2+ dilabel
sebagai darah dengan golongan Rhesus positif (Saluji and
Singal, 2014).

4.11 Contoh Kasus Terkait Golongan Darah Rhesus


Kasus 1.
Wanita, 23 tahun, warga Negara asing. Datang ke Rumah
Sakit dengan keluhan luka pasca kecelakaan lalu lintas. Dari hasil
pemeriksaan radiologi didapatkan adanya fraktur femur sinistra. Hasil
pemeriksaan laboratorium menunjukkan kadar hemoglobin 5 g/dl.
Dokter merencanakan untuk tindakan operasi dengan penyiapan
komponen pack red cells (PRC) sebanyak 5 kantong. Riwayat
pemeriksaan golongan darah di Negaranya adalah golongan darah A
Rhesus positif. Sampel dan permintaan darah dikirim ke bank darah.
Hasil pemeriksaan golongan darah pertama dengan metode slide
test didapatkan golongan darah A Rhesus negatif. Dilakukan
pemeriksaan golongan darah kedua menggunakan metode tabung
didapatkan pasien dengan golongan darah A Rhesus negatif.
Pemeriksaan lanjutan untuk mendeteksi weak D (Rhesus Du)
dilakukan dan didapatkan hasil 1+. Pasien disimpulkan dengan
golongan darah A Rhesus positif dan diberikan transfusi PRC golongan
A Rhesus negatif.
Pada kasus ini meskipun disimpulkan penderita dengan
golongan darah A Rhesus positif, tetapi transfusi tetap dilakukan
dengan PRC golongan A Rhesus negatif dengan pertimbangan pasien
seorang wanita yang sedang berada pada usia reproduktif dengan kadar
hemoglobin < 7 g/dl . Meskipun dijumpai kesulitan untuk
menyediakan komponen PRC Rhesus negatif, tetapi pilihan tersebut
dianggap paling aman untuk kondisi pasien saat itu. Meskipun hasil
pemeriksaan weak D hanya menunjukkan hasil 1+, tetapi hal tersebut
mempunyai arti klinis yang sangat penting karena dapat membentuk
anti-D bila mendapat transfusi sel darah merah Rhesus positif. Pada
wanita usia reproduktif, terbentuknya anti-D dapat menimbulkan
masalah baru pada proses kehamilan (Kulkarni, 2015).

Kasus 2.
Wanita, 27 tahun. Penderita datang ke poli spesialis membawa
surat rujukan dari praktik dokter swasta untuk merencanakan proses
kelahiran bayi. Penderita saat ini sedang hamil pada trimester III dan
menceritakan bahwa golongan darahnya adalah AB Rhesus negatif.
Riwayat penyakit jantung, ginjal, kencing manis, hati disangkal dan
tidak ada keluarga yang bergolongan darah Rhesus negatif. Riwayat
abortus tidak ada, riwayat transfusi darah tidak ada. Suami penderita
memiliki golongan darah O Rhesus positif. Hasil pemeriksaan fisik,
abdomen dengan gravida 37 minggu. Pasien didiagnosis dengan
G1P0000 36-37 minggu. Rencana penanganan: pemeriksaan darah
lengkap, faal hemostasis, persiapan transfusi PRC golongan AB
Rhesus negatif dan pro Caesarean Section 2 minggu lagi.
Pada pasien ini, penderita memiliki golongan darah AB Rhesus
negatif dan menikah dengan laki-laki golongan darah O Rhesus positif.
Golongan darah AB merupakan golongan darah yang paling jarang
dalam sistem ABO dan berdasarkan sistem Rhesus, Rhesus negatif
juga merupakan darah langka. Apabila suami dengan Rhesus positif
homozigot, maka anak yang dilahirkan dari pasangan tersebut memiliki
golongan darah Rhesus positif. Ibu Rhesus negatif dengan bayi Rhesus
positif memiliki risiko terjadinya Hemolytic Disease of The Fetus and
Newborn (HDFN) karena ibu mengalami sensitisasi membentuk anti-
D setelah terpapar antigen D dari eritrosit janin atau riwayat transfusi
Rhesus positif (Provan et al, 2004).
Rh immune globulin (RhIG) mulai dikembangkan pada awal
tahun 1960 dan mendapat ijin beredar pada 1968 (Provan et al, 2004).
Sejak diperkenalkan RhIG angka kejadian Hemolytic Disease of The
Fetus and Newborn (HDFN) yang disebabkan oleh anti-D menurun
secara draktis. Sebelum penggunaan RhIG, 13% wanita Rhesus negatif
tersensitisasi setelah kehamilan. Pemberian RhIG secara rutin
menurunkan sensitisasi menjadi 11 per 10.000 kelahiran dengan
kejadian HDFN yang berat kurang dari 1 per 20.000 kelahiran (Blaney
and Howard, 2013).
RhIG dibuat dari pool plasma manusia dan tersedia dalam
sediaan intravena atau intramuskuler. RhIG akan menekan respon imun
setelah terpapar antigen D dari eritrosit fetus dan mencegah ibu untuk
memproduksi anti-D. Mekanisme penekanan respon imun tidak jelas,
kemungkinan terjadi eleminasi sel yang mengandung antigen D oleh
makrofag dengan mengeluarkan sejumlah sitokin yang menekan
respon imun (Blaney and Howard, 2013).
Untuk mencegah HDFN, skrining yang dilakukan pada ibu
hamil adalah sebagai berikut:
a. Melakukan pemeriksaan golongan darah sistem ABO dan Rh D
group saat antenatal care (ANC) pertama. Pada ibu Rhesus
negatif, sebaiknya dilakukan pemeriksaan anti-D untuk
mengetahui kemungkinan terjadi HDFN.
b. Apabila antibodi belum terbentuk pada ANC pertama, sebaiknya
dilakukan pemeriksaan ulang pada umur kehamilan 28-30
minggu.
c. Apabila antibodi sudah terbentuk pada ANC pertama, titer
antibodi harus sering dimonitor (WHO, 2002).
Titer antibodi sangat membantu dalam menentukan tindakan
yang harus dilakukan seperti menentukan waktu untuk melakukan
prosedur amniosintesis, ultrasound, color doppler ultrasonography dan
cordocentesis. Titer antibodi awal harus dicatat dan sampel dibekukan
untuk tes selanjutnya. Titer antibodi sebaiknya diperiksa serial dengan
interval 4-6 minggu. Peningkatan titer dua kali atau lebih besar
dianggap signifikan memberikan perubahan pada kondisi fetus (Blaney
and Howard, 2013).
Ada pun teknik pemeriksaan titer antibodi Rhesus adalah sebagai
berikut:

1. Prinsip
Metode semikuantitatif yang digunakan untuk menentukan titer
antibodi pada sampel serum dan direaksikan dengan sampel eritrosit
yang mampu mengekspresikan antigen yang sesuai dengan antibodi
yang diperiksa (Roback et al, 2011).

2. Sampel
Serum atau plasma yang mengandung antibodi yang akan
dititrasi (Roback et al, 2011).

3. Reagen
a. Suspensi eritrosit yang mengekspresikan antigen, tersuspensi
dalam larutan salin 2-5%.
b. Larutan salin (Roback et al, 2011).

4. Prosedur pemeriksaan titer antibodi Rhesus


a. Label 10 tabung reaksi untuk melakukan pengenceran serum
secara serial.
b. Tambahkan 2 volume serum pada tabung pertama.
c. Tambahkan 1 volume salin pada tabung kedua sampai tabung
kesepuluh.
d. Pindahkan 1 volume serum pada tabung kedua sehingga volume
serum sama dengan volume salin (pengenceran 1:2) dan campur
dengan baik.
e. Pindahkan sebagian campuran pada tabung kedua ke tabung
ketiga sehingga diperoleh titer 1:4, demikian seterusnya sampai
mendapat pengenceran dengan titer 1:512.
f. Ganti pipet dan gunakan pipet yang bersih pada setiap
pencampuran atau pemindahan larutan.
g. Buang 1 volume pengeceran serum dari tabung terakhir atau
simpan jika diperlukan pengenceran lebih lanjut.

Gambar 4.3 Pengenceran serum secara serial dengan larutan salin (Blaney and
Howard, 2013).

h. Label 10 tabung reaksi.


i. Gunakan pipet terpisah pada masing-masing pengenceran untuk
memindahkan 2 tetes pengenceran pada masing-masing tabung
yang telah dilabel.
j. Tambahkan 2 tetes supensi sel 2% ke dalam masing-masing
tabung yang telah berisi serum yang diencerkan.
k. Campur dengan baik dan baca reaksi secara makroskopis (Roback
et al, 2011).

3. Interpretasi
Titer dinyatakan sesuai dengan hasil 1+ pada pengenceran
tertinggi (Roback et al, 2011).
Tabel 4.1 Contoh pembacaan titer antibodi Rhesus (Roback et
al, 2011).
Pengenceran Serum
1 2 4 8 16 32 64 128 256 512 Titer Skor
Sampel 1 Derajat aglutinasi 3+ 3+ 3+ 2+ 2+ 1+ 1+ ± ± 0 64
(256)
Skor 10 10 10 8 8 8 5 3 2 0 64
Sampel 2 Derajat aglutinasi 4+ 4+ 4+ 3+ 3+ 2+ 2+ 1+ ± 0 128(256)
Skor 12 12 12 10 10 8 8 5 3 0 80
Sampel 3 Derajat aglutinasi 1+ 1+ 1+ 1+ ± ± ± ± ± 0 8 (256)
Skor 5 5 5 5 3 3 3 2 2 0 33

Tabel 4.2 Derajat dan skor aglutinasi (Roback et al, 2011).


Pembacaan secara makroskopis Derajat aglutinasi Skor
Satu aglutinate besar 4+ 12
Beberapa aglutinate besar 3+ 10
Aglutinate dengan ukuran sedang dan latar belakang 2+ 8
jernih
Alutinate kecil-kecil dengan latar belakang keruh 1+ 5
Alutinate sangat kecil-kecil dengan latar belakang keruh 1+w 4
Hampir tidak terlihat agglutinate, latar belakang keruh w+ atau +/- 2
Tidak ada aglutinasi 0 0
Sebagain beraglutinasi sebagian tidak beraglutinasi mf
Hemolisis komplit H
Partial hemolysis PH

Saat ini beberapa negara merekomendasikan bahwa semua ibu


hamil golongan darah Rhesus negatif sebaiknya mendapatkan RhIG
propilaksis. Ada 2 pilihan dosis intramuskular yang bisa diberikan
dan keduanya memiliki efektivitas yang sama dalam mencegah HDFN
yaitu:
a. Dosis 500 mg pada umur kehamilan 28 dan 34 minggu,
b. dosis tunggal 1.200 mg pada awal trimester ketiga (WHO,
2002).
Pemberian RhIG postpartum prophylaxis diberikan dengan dosis
sebagai berikut:
a. Dosis 500 mg intramuskular dalam waktu 72 jam pasca
melahirkan, pemberian dosis tersebut memberi proteksi sekitar 4
mL terhadap eritrosit fetus yang masuk dalam sirkulasi ibu.
b. Dosis 125 mg/1,0 mL jika darah fetus yang masuk dalam
sirkulasi ibu lebih dari 4 mL (WHO, 2002).
Kombinasi pemberian RhIG antepartum dan pospartum efektif
menurunkan risiko sensitisasi sebesar 0,1%. Pada sebuah penelitian
klinis menemukan bahwa semua wanita golongan darah Rhesus negatif
tidak mengalami sensitisasi setelah mengandung janin Rhesus positif
dan mendapatkan suntikan RhIG pada umur kehamilan 28 minggu dan
setelah melahirkan (Callum and Barrett, 2007).
Pada pasien ini antibodi Rhesus belum terbentuk, penderita
mengatakan bahwa titer antibodi sudah pernah diperiksa. Pemberian
RhIG propilaksis pada saat antenatal sudah dilakukan satu kali pada
umur kehamilan 28 minggu dan diulang postpartum sebelum 72 jam
namun pasien tidak bisa menjelaskan dosis yang diberikan.
Berdasarkan National Institute for Health and Clinical
Excellence Guideline, wanita hamil hanya dengan Rhesus negatif dan
mengandung bayi Rhesus positif tidak masuk dalam indikasi persalinan
Caesarean section (CS) berencana. Persalinan CS berencana dapat
dilakukan pada kondisi berikut:
1. Placenta previa,
2. morbidly adherent placenta,
3. wanita dengan cephalopelvic disproportion,
4. wanita hamil terinfeksi HIV yang belum mendapat anti retro
viral (ARV) dan yang sudah mendapat ARV namun viral load ≥
400 kopi/ml.
5. wanita hamil dengan infeksi hepatitis C dan HIV secara
bersamaan, sebaiknya dilakukan tindakan CS berencana untuk
menurunkan risiko penularan hepatitis C dan HIV dari ibu ke
anak.
6. wanita hamil dengan primary genital herpes simplex virus
(HSV) infection yang terjadi pada trimester ketiga sebaiknya
dilakukan tindakan CS berencana untuk menurunkan risiko
infeksi HSV pada neonatus.
Waktu yang baik untuk melakukan tindakan Caesarean section
adalah pada umur kehamilan 39 minggu ke atas. Pada umur kehamilan
tersebut risiko kematian akibat gangguan pernafasan signifikan
mengalami penurunan (National Institute for Health and Clinical
Excellence, 2011).
Pada keadaan normal, kehilangan darah selama proses
persalinan hanya 200 mL pada persalinan pervagina dan 500 mL pada
persalinan CS. Kehilangan darah pada volume tersebut sangat jarang
membutuhkan transfusi apabila kadar hemoglobin ibu sebelum
melahirkan berada pada rentang 10.0-11.0 g/dl. Pemeriksaan lanjutan
dibutuhkan jika kadar hemoglobin tidak kembali normal dalam waktu
8 minggu pasca persalinan (WHO, 2002).
Pada pasien ini indikasi persalinan CS tidak ada, tetapi proses
persalinan dilakukan dengan tindakan elective Caesarean Section (atas
permintaan pasien dan keluarga) pada umur kehamilan 39 minggu.
Meskipun indikasi transfusi tidak ada (kadar hemoglobin masih di
atas 10 mg/dL dan faal hemostasis dalam batas normal), keluarga dan
dokter tetap minta agar disiapkan darah AB Rhesus negatif. Persiapan
telah dilakukan seminggu sebelumnya dengan cara mencari nama,
alamat, nomor telp donor pada daftar donor langka dan memanggil
donor tersebut untuk mendonorkan darahnya. Sampai akhir rawat inap,
tindakan transfusi tidak dilakukan karena perdarahan selama operasi
minimal dan darah yang sudah disiapkan diberikan pasien lain yang
bergolongan darah AB Rhesus positif.
DAFTAR PUSTAKA

Blaney, K.D., Howard, P.R. 2013. Rhesus Blood Group System. Basic
& Applied Conceppts of Blood Banking and Transfusion
Practices Third Edition. United States: Elsevier Mosby p. 107-
121.
Blaney, K.D., Howard, P.R. 2013. Blood Componet Preparation and
Therapy. Basic & Applied Conceppts of Blood Banking and
Transfusion Practices Third Edition. United States: Elsevier
Mosby p. 304-328.
Denomme, G., Westhoff, C. M. 2014. The Rh system. In: Fung M,
Grossman BJ, Hillyer CD, Westhoff CM, eds. Technical manual,
18th edition. Bethesda, MD: AABB. p. 317-36.
Callum, J., Barret, J., 2007. Obstetric and Intrauterin Transfusion.
Blood Banking and Transfusion Medicine Basic Principle &
Practice Second Edition. USA: Churchill Livingstone Elsevier.
p.496- 509.
Johnson, S. T., Wiler, M. 2012. The Rh Blood Group System. Blood
Groups and Serologic Testing. Modern Blood Banking &
Transfusion Practices 6th Edition. Philadelphia: F.A Davis
company. p. 148-169.
Kulkarni, S. 2015. Molecular Genotyping and its Applications
toTransfusion Medicine. Transfusion Update. Indian Society
of Blood Transfusion and Immunohaematology (ISBTI). New
Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers. p.290-295.
National Institute for Health and Clinical Excellence, 2011. Caesarean
section. NICE clinical guideline 132. Manchester. p.1-57.
Levitt, J. 2014. Standards for blood banks and transfusion services.
29th ed. AABB. Bethesda. p.31-46.
Makroo, R.N. 2009. The Rh Blood Group System. Practice of Safe
Blood Transfusion Compendium of Transfusion Medicine. New
Delhi: Kongposh. p. 66-79.
Mehdi, S.R. 2013. Rhesus Blood Group System. Essentials of Blood
Banking A Handbook for Students of Blood Banking and
Clinical
Residents. Second Edition. New Delhi: Jaypee Brothers Medical
Publishers. p.18-24.
Provan, D., Singer, C.R.J., Baglin, T., Lilleyman, J. 2004. Haemolytic
disease of the newborn. Oxford Handbook of Clinical
Haematology Second edition. Oxford New York: Oxford
University Press. p. 440-44.
Roback, J.D., Grossman, B.J., Harris, T. 2011. Technical Manual 17 th
Edition. USA: American Association of Blood Bank. p. 885-
888.
Roback, J.D., Grossman, B.J., Harris, T., Hillyer, C.D., 2011. Antibody
Detection, Identification,and Compatibility Testing. Technical
Manual 17th Editions. USA: American Association of Blood
Bank. p. 907-909.
Saluju, G. P., Singal, G. L. 2014. Rh Blood Grouping. Standard
Operating Procedures and Regulatory Guidelines Blood
Banking. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers. p. 77-
86.
WHO, 2002. Obstetric. The Clinical Use of Blood Handbook. World
Health Organization Blood Transfusion Safety. Genewa:WHO.
p. 120-135.
BAB V
UJI COCOK SERASI (CROSSMATCHING)

5.1 Definisi
Uji cocok serasi atau yang lebih sering disebut crossmacthing
memiliki beberapa sinonim antara lain uji silang serasi atau uji
kompatibilitas. Crossmacthing dilambangkan dengan XM. Istilah uji
kompatibilitas sebenarnya kurang tepat apabila disamakan dengan
crossmacthing. Crossmacthing dan uji kompatibilitas memang identik,
tetapi memiliki pengertian yang berbeda. Crossmacthing adalah suatu
prosedur untuk mereaksisilangkan komponen darah donor dan pasien.
Uji kompatibilitas adalah semua tahapan yang harus dilakukan
sehingga diperoleh darah donor yang benar-benar tepat untuk pasien.
Uji kompatibilitas meliputi: identifikasi pasien dengan akurat,
pengambilan sampel darah pasien diikuti dengan pelabelan dan
penanganan sampel yang benar, mereview riwayat pemberian transfusi
sebelumnya, melakukan pemeriksaan golongan darah sistem ABO dan
Rhesus, melakukan skrining dan identifikasi antibodi, melakukan
crossmatching, mengecek ketepatan dan kelayakan distribusi produk
darah, melakukan reindentifikasi pasien sebelum transfusi, dan
memonitoring pasien sebelum, selama dan setelah pemberian transfusi
(Blaney and Howard, 2013). Dari pengertian tersebut dapat dilihat
bahwa uji kompatibilitas memiliki cakupan yang jauh lebih luas dan
crossmatching merupakan bagian dari uji kompatibilitas (Makroo,
2009).
Berdasarkan standar dari American Association of Blood Bank
(AABB), crossmatching didefinisikan sebagai suatu pemeriksaan yang
menggunakan metode yang mampu menunjukkan inkompatibilitas
sistem ABO dan adanya antibodi signifikan terhadap antigen eritrosit
dan juga menyertakan pemeriksaan antiglobulin. Kecuali tidak tersedia
fasilitas, jika tidak ada antibodi yang signifikan pada sampel pasien
yang baru atau riwayat pemeriksaan sebelumnya, immediate spin
crossmatch
dapat digunakan untuk mendeteksi inkompatibilitas ABO (Blaney and
Howard, 2013).

5.2 Tujuan Uji Cocok Serasi (Crossmatching)


Tujuan utama crossmatching adalah untuk mencegah terjadinya
reaksi transfusi baik reaksi transfusi yang bersifat mengancam nyawa
maupun reaksi transfusi ringan atau sedang yang dapat mengganggu
kenyamanan pasien. Tujuan yang tidak kalah penting lainnya adalah
memaksimalkan masa hidup in vivo sel-sel darah yang ditransfusikan
(Blaney and Howard, 2013).
Crossmatching dilakukan untuk meyakinkan bahwa tidak ada
antibodi di dalam serum pasien yang akan bereaksi dengan sel darah
donor jika transfusi dilakukan. Dua fungsi utama crossmatching adalah
1. untuk pengecekkan terakhir bahwa golongan darah ABO antara
donor dan pasien sudah sesuai,
2. untuk mendeteksi ada tidaknya antibodi dalam serum pasien
yang akan bereaksi dengan antigen pada sel darah merah donor
terutama pada kondisi antibodi tidak terdeteksi dengan skrining
antibodi karena tidak adanya antigen yang sesuai pada panel sel
skrining (Makroo, 2009).
Berdasarkan jenis komponen darah pasien dan donor yang direaksikan,
crossmatching memiliki dua tujuan, yaitu:
1. mendeteksi adanya antibodi dalam serum pasien (termasuk anti-
A & anti-B) yang dapat menghancurkan eritrosit yg
ditransfusikan,
2. mendeteksi antibodi dalam serum donor yang akan masuk ke
dalam tubuh pasien.
Kedua tujuan di atas berkaitan dengan jenis crossmatch mayor
dan minor yang akan dibahas lebih lanjut pada bahasan berikutnya
(Blaney and Howard, 2013).

5.3 Jenis-jenis Uji Cocok Serasi (Crossmatching)


Crossmatching dapat dilakukan secara serologik dan elektronik
atau komputerisasi. Di Negara-negara berkembang seperti Indonesia,
jenis pemeriksaan crossmatch baru bisa dilakukan secara serologik.
Serologic crossmatch dibedakan menjadi immediate-spin crossmatch
dan antiglobulin crossmatch. Antiglobulin crossmatch dapat dilakukan
dengan cara tube test maupun column agglutination. Berikut akan
dibahas satu persatu jenis pemeriksaan crossmatch.

5.4 Immediate-Spin (IS) Crossmatch


Immediate-spin crossmatch sangat baik untuk mengeksklusi
adanya kesalahan golongan darah ABO, tetapi kurang adekuat untuk
mendeteksi jenis IgG antibodi yang bermakna secara klinis.
Immediate- spin crossmatch juga kurang baik khususnya bila skrining
antibodi tidak dilakukan sebelumnya (Makroo, 2009).

1. Prinsip pemeriksaan
Prinsip dari pemeriksaan immediate-spin crossmatch adalah
reaksi antara antigen dan antibodi yang sesuai menghasilkan aglutinasi.

2. Metode Pemeriksaan
Immediate-spine crossmatch umumnya dilakukan dengan metode
tube test.

3. Alat dan Bahan


Peralatan yang dibutuhkan antara lain: tabung reaksi, sentrifus,
dan pipet tetes. Bahan yang dibutuhkan adalah sel darah merah donor,
serum atau plasma pasien. Sampel donor diambil langsung dari
kantong darah atau salah satu segmen dari selang yang terhubung
dengan kantong darah. Nomor kantong darah harus selalu dicatat untuk
melakukan identifikasi dengan benar (Mehdi, 2013).

4. Prosedur pemeriksaan
Berikut adalah ilustrasi prosedur pemeriksaan immediate-spin
crossmatch.
Gambar 5.1 Prosedur pemeriksaan IS dengan motode tube test (Powell, 2016).

Ada pun tahapan pemeriksaan immediate-spine crossmatch


adalah sebagai berikut:
a. Siapkan suspensi sel darah merah donor 2-5% yang disuspensi
dalam larutan normal salin atau Ethylene Diamine Tetraacetic
Acid (EDTA) salin. Beberapa ahli serologi menggunakan sampel
serum yang direaksikan dengan sel darah merah donor yang
disuspensi dalam larutan EDTA salin karena titer anti-A atau
anti-B yang tinggi dapat menginisiasi pelapisan komplemen
sehingga menghalangi aglutinasi. Penggunaan sampel pasien
yang ditampung dalam tabung EDTA dapat digunakan sebagai
alternatif untuk mencegah fenomena tersebut,
b. label tabung untuk masing-masing suspensi sel darah merah
donor yang akan dites dengan serum pasien,
c. tambahkan 2 tetes serum atau plasma pasien ke dalam masing-
masing tabung,
d. tambahkan 1 tetes suspensi sel darah merah donor pada tabung
sesuai dengan label,
e. campur isi tabung dan lakukan sentrifugasi dengan kecepatan
3000 rpm selama 1 menit,
f. baca ada tidakya hemolisis, resuspensi endapan eritrosit pada
bagian bawah tabung dan baca ada tidaknya aglutinasi,
g. lakukan interpretasi dan catat hasil pemeriksaan (Levitt, 2014;
Downes, 2014).
5. Interpretasi Hasil Immediate-Spine Crossmatch
Adanya aglutinasi atau hemolisis mengindikasikan hasil positif
(inkompatibel). Hasil negatif ditunjukkan oleh suspensi halus sel-sel
eritrosit setelah dilakukan resuspensi eritrosit yang mengendap pada
bagian bawah tabung atau tidak adanya aglutinasi atau hemolisis. Hasil
yang negatif juga disebut kompatibel (Levitt, 2014; Downes, 2014).

5.5 Crossmacthing dengan Tube Test


Crossmacthing dengan tes tabung dapat dikerjakan untuk
crossmatch mayor maupun crossmatch minor. Crossmatch mayor
adalah reaksi antara sel darah merah donor dengan serum atau plasma
pasien, sedangkan crossmatch minor adalah reaksi antara sel darah
merah pasien dengan plasma donor. Di Negara-negara yang sudah
maju, crossmatch minor sudah tidak dikerjakan lagi karena sampel
darah donor sudah dilakukan skrining antibodi sebelumnya untuk
mendeteksi adanya antibodi ireguler (Makroo, 2009). Di Indonesia,
crossmatch minor masih dikerjakan secara rutin hampir disemua unit
Bank Darah Rumah Sakit (BDRS) atau Unit Transfusi Darah (UTD).

1. Prosedur pemeriksaan crossmatch mayor dan minor


Pada setiap pemeriksaan crossmatch mayor dan minor selalu
sertakan autokontrol. Pemeriksaan tersebut terdiri dari 3 fase, yaitu:
Fase I. Medium salin (salin room temperature technique)
a. Siapkan tiga buah tabung gelas yang bersih dan kering, masing-
masing tabung berisi komponen berikut:
• tabung I (crossmatch mayor): 2 tetes serum pasien + 1
tetes suspensi sel donor 2-5%,
• tabung II(crossmatch minor): 2 tetes plasma donor + 1
tetes suspensi sel pasien 2-5%,
• tabung III (autokontrol): 2 tetes serum pasien + 1 tetes
suspensi sel pasien 2-5%
b. Campur masing-masing tabung dan inkubasi selama 45-60
menit.
c. Lakukan sentrifugasi selama satu menit pada kecepatan 1000
rpm.
d. Amati adanya aglutinasi atau hemolisis pada tabung.
e. Jika terjadi hemolisis atau aglutinasi pada semua atau salah
satu tabung pada tahap ini, maka hasil croosmatch dinyatakan
tidak cocok atau incompatible dan fase berikutnya tidak perlu
dilanjutkan. Bila reaksi negatif atau kompatibel, lanjutkan ke
fase II (Mehdi, 2013).
Fase II. Fase albumin
a. Tambahkan 2 tetes bovin albumin 22% ke dalam semua tabung
pada fase I yang memberikan hasil negatif.
b. Inkubasi semua tabung pada suhu 37 oC selama 30 menit.
c. Lakukan sentrifugasi dengan kecepatan 1000 rpm selama 1
menit.
d. Baca ada tidaknya hemolisis atau aglutinasi (Mehdi, 2013).
Hemolisis atau aglutinasi pada semua atau salah satu tabung
menandakan hasil positif atau inkompatibel dan pemeriksaan tidak
perlu dilanjutkan ke fase III. Apabila hasil negatif pada semua tabung,
lanjutkan ke fase III.
Fase III. Fase Anti Human Globulin (AHG) atau fase Indirect
Antiglobulin Test (IAT)
a. Cuci sel sebanyak 3 kali dengan menggunakan salin pada semua
tabung yang memberikan hasil negatif pada fase II.
b. Buang seluruh supernatan bekas pencucian.
c. Tambahkan 2 tetes reagen AHG.
d. Lakukan sentrifugasi dengan kecepatan 1000 rpm selama 1
menit.
e. Resuspensi dengan lembut endapan sel pada bagian bawah
tabung.
f. Lihat dan catat ada tidaknya aglutinasi (Mehdi, 2013).
Bila aglutinasi atau hemolisis positif hasil crossmath dinyatakan
inkompatibel. Bila aglutinasi atau hemolisis negatif pada semua
tabung, hasil dinyatakan negatif atau kompatibel dan lanjutkan
dengan penambahan coombs control cells (CCC) sebanyak 1 tetes dan
dilanjutkan dengan sentrifugasi selama 1 menit pada kecepatan 1000
rpm. Penambahan CCC akan memberikan hasil positif pada semua
hasil negatif yang menunjukkan hasil pemeriksaan valid. Bila dengan
penambahan CCC reaksi tetap negatif, maka pemeriksaan dinyatakan
invalid dan harus dilakukan pengulangan (Depkes RI, 2008).
Berikut adalah ilustrasi prosedur pemeriksaan crossmatch fase
III.

Reagen AHG

Gambar 5.2 Prosedur pemeriksaan croosmatch fase III (Powell, 2016).

5.6 Crossmacthing dengan Column Agglutination Test


Saat ini metode column agglutination test atau yang lebih umum
disebut gel test telah digunakan secara luas menggantikan metode
manual atau tube test. Metode gel test memiliki banyak kelebihan
dibandingkan metode tabung. Selain menghemat waktu pemeriksaan,
prosedur tes juga lebih sederhana dan pembacaan hasil lebih mudah
dilakukan. Tidak ada proses pencucian dan penambahan CCC. Berikut
akan dibahas salah satu prosedur pemeriksaan gel test yang banyak
digunakan.

1. Prinsip pemeriksaan

Positif kuat
Positif lemah Negatif

Gambar 5.3 Prinsip pemeriksaan crossmatch metode column agglutination test


(Walker and Harmening, 2012).

Sejumlah volume suspensi sel darah merah dan serum atau


plasma dari donor dan pasien dimasukkan ke dalam microtube diikuti
oleh proses inkubasi dan sentrifugasi. Tahap inkubasi akan memberi
kesempatan antigen pada permukaan sel darah merah berikatan dengan
antibodi pada serum atau plasma sehingga membentuk aglutinasi. Pada
tahap sentrifugasi, sel yang beraglutinasi kuat akan tertangkap pada
bagian atas matrik gel sedangkan sel yang beraglutinasi lemah akan
pindah ke bagian bawah matrik gel. Bila aglutinasi tidak terjadi maka
semua sel akan mengendap ke bagian bawah matrik gel (McCullough,
2012; Walker and Harmening, 2012 ).

2. Alat dan Bahan


Alat-alat yang dibutuhkan untuk melakukan pemeriksaan
crossmatch dengan metode gel, antara lain:
a. micropipet volume 5 µL,
b. dispenser 500 µL,
c. tabung reaksi ukuran 12x75 mm dengan raknya,
d. sentrifus yang sesuai dengan ukuran plastic card
e. inkubator dengan suhu 37 oC yang sesuai dengan ukuran plastic
card
Gambar 5.4 Sentrifus dan inkubator yang sesuai dengan ukuran plastic card
(Walker and Harmening, 2012).

Bahan-bahan yang dibutuhkan adalah sampel darah pasien


maupun donor, Low Ionic Strength Solution (LISS), plastic card yang
terdiri atas 6 microtube yang mengandung gel di dalamnya.

3. Prosedur pemeriksaan
a. Siapkan 2 buah tabung ukuran 12x75 mm dan berikan label.
b. Tabung pertama diisi 5 µL sel darah merah donor dan
ditambahkan 500 µL LISS.
c. Tabung kedua 5 µL sel darah merah pasien dan tambahkan 500
µL LISS.
d. Beri label pada plastic card (identitas pasien dan nomor donor)
serta berikan tanda pada microtube mana reaksi mayor, minor
dan autokontrol.
e. Suspensi sel dari tabung 1 diambil 50 µL kemudian dimasukkan
ke dalam microtube dan tambahkan serum atau plasma pasien
sebanyak 25 µL (mayor).
f. Suspensi sel dari tabung 2 diambil 50 µL kemudian dimasukkan
ke dalam microtube dan tambahkan plasma donor sebanyak 25
µL (minor).
g. Suspensi sel dari tabung 2 diambil 50 µL kemudian dimasukkan
ke dalam microtube dan tambahkan serum atau plasma pasien
sebanyak 25 µL (autokontrol).
Gambar 5.5 Prosedur pemipetan sampel pada microtube
(Walker and Harmening, 2012).

h. Sampel dimasukkan ke dalam microtube dengan posisi miring.


Suspensi sel darah merah dan serum atau plasma dimasukkan
tepat pada reaction chamber dalam microtube.
i. Plastic card diinkubasi pada suhu 37 oC selama 15 menit
j. Plastic card disentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan
1000 rpm.
k. Baca dan catat hasil reaksi yang terjadi.
4. Interpretasi hasil

Agglutinated cells form a Agglutinated cells disperse


cell layer at the top of throughout the gel media
the gel media. and may concentrated
toward the bottom of the
microtube.

Agglutinated cells begins All cells pass through the


to disperse into gel media gel media and form a cell
and are concentrated buttom at the bottom of
near the top of the the microtube.
microtube.

Agglutinated cells Aglutinated cells form a layer


disperse into the gel at the top of the gel media.
media and are observed Unagglunated cells pass to
throughout the length of the bottom of the microtube.
the microtube.

Gambar 5.6 Derajat aglutinasi pada pemeriksaan crossmatch dengan metode column
agglutination test (Walker and Harmening, 2012).
Derajat aglutinasi pada gel tes dinilai dari 1+ sampai 4+ dan
reaksi mixed-field. Aglutinasi 4+ ditandai oleh mengelompoknya
seluruh sel darah merah pada permukaan microtube dan tidak ada
eritrosit disepanjang microtube atau di bagian bawahnya. Reaksi 3+
ditunjukkan oleh sebagian besar sel darah merah berada pada
permukaan gel dan beberapa mulai turun ke bagian bawah gel. Reaksi
2+, eritrosit terdistribusi disepanjang microtube. Reaksi 1+, mayoritas
eritrosit mengendap pada dasar gel dan sebagian kecil naik ke bagian
atas gel. Pada reaksi negatif seluruh eritrosit berada pada bagian bawah
gel. Pada reaksi yang mixed field, sebagian eritrosit ada dipermukaan
gel dan sebagian mengendap pada dasar gel. Eritrosit yang ada
dipermukaan gel adalah eritrosit yang mengalami aglutinasi,
sedangkan eritrosit yang mengendap di dasar gel adalah eritrosit yang
tidak mengalami aglutinasi (Walker and Harmening, 2012).

5.7 Computer (Electronic) Crossmatch


Evolusi terkini dalam tahapan compatibility testing untuk
mengkonfirmasi kompatibilitas ABO dengan metode lain selain
pemeriksaan laboratorium adalah menggunakan computer crossmatch.
Pada computer crossmatch, data hasil pemeriksaan laboratorium pasien
dan donor telah tersimpan dalam komputer. Beberapa opini tentang
computer crossmatch menyatakan bahwa computer crossmatch sama
amannya dengan immediated spin test untuk mendeteksi
inkompatibilitas ABO. Pendapat lain menyatakan bahwa computer
crossmatch lebih aman dari immediated spin karena adanya integritas
dari software komputer untuk mendeteksi inkompatibilitas ABO antara
sampel pasien dan donor. Salah satu penelitian menyebutkan bahwa
angka kegagalan dari penggunaan computer crossmatch ini adalah 1:
257.400, artinya dari
257.400 unit darah yang dicrossmatch hanya 1 unit yang menimbulkan
kesalahan transfusi (McCullough, 2017).
Computer crossmatch menggunakan komputer untuk
pengecekan terakhir ada tidaknya inkompatibilitas ABO dan
menseleksi unit darah yang sesuai untuk ditransfusikan pada pasien.
Program komputer harus mampu memberikan peringatan apakah
pasien layak atau tidak dilakukan computer crossmatch (Blaney and
Howard, 2013).
Beberapa keuntungan dari computer crossmatch antara lain
menghemat waktu dan biaya pemeriksaan, mengurangi kebutuhan
sampel, mengurangi kontak dengan bahan biologis, dan mengurangi
hasil positif palsu (Zundel, 2012; Downes and Shulman, 2014).
Keuntungan lain dari computer crossmatch adalah signifikan
mengurangi volume sampah medis dan beban kerja laboratorium serta
sangat potensial dilakukan secara sentralisasi di Unit Transfusi Darah
(UTD) (Blaney and Howard, 2013; Klein and Anstee, 2014).
Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk melakukan
computer crossmatch, antara lain:
a. Komputer harus divalidasi pada saat akan digunakan dan harus
ada jaminan bahwa inkompatibilitas sistem ABO terdeteksi
sehingga darah yang inkompatibel tidak sampai keluar,
b. sistem golongan darah ABO sudah ditentukan dengan sampel
yang benar, sesuai dengan identitas pasien dan juga sudah
dikonfirmasi dengan pemeriksaan pada sampel kedua atau
konfirmasi dengan data sebelumnya (data hasil pemeriksaan
pasien sebelumnya mudah diakses dan datanya valid) atau
golongan darah ABO sudah diperiksa oleh 2 analis atau 2 sampel
harus dikumpulkan dalam waktu yang berbeda,
c. komputer harus berisi data golongan darah ABO, Rhesus, dan
hasil pemeriksaan skrining antibodi pasien,
d. sistem komputer harus mencantumkan informasi donor yang
meliputi: jenis produk darah, nomor donor, golongan darah ABO
dan Rhesus serta hasil pemeriksaan konfirmasi golongan darah,
e. sistem komputer harus dilengkapi metode untuk memverifikasi
ketepatan data yang dimasukkan sebelum produk darah
dikeluarkan,
f. komputer dilengkapi dengan sistem alarm atau peringatan bila
terdapat inkompatibilitas antara donor dan pasien dan antara
label unit darah dan pemeriksaan konfirmasi ABO (McClelland,
2007; Stoe, 2011; Blaney and Howard, 2013).
5.8 Crossmatching pada Kondisi Khusus
1. Crossmatching pada darah autologous
Darah autologous adalah darah yang didonorkan oleh pasien
untuk digunakan sendiri di kemudian hari, umumnya dilakukan pada
kasus-kasus pembedahan berencana. Pada kondisi ini, dibutuhkan
prosedur untuk meyakinkan bahwa produk darah diberikan pada pasien
yang tepat. Jenis uji pratransfusi yang dilakukan bervariasi tergantung
fasilitas yang ada. Sistem yang ada juga harus mampu meyakinkan
bahwa darah autologous ditransfusikan sebelum darah dari donor lain
masuk ke dalam tubuh pasien. Pelacakan melalui komputer dapat
membantu mempermudah tahapan ini, tetapi juga harus bisa dilakukan
secara manual bila dibutuhkan (Blaney and Howard, 2013).
Unit yang mengkoleksi darah pasien diharuskan untuk
melakukan pemeriksaan golongan darah ABO dan Rhesus. Unit darah
harus dilabel “hanya untuk penggunaan autologous”. Pemeriksaan
terhadap unexpected antibodies dan crossmatching pada transfusi
autologous bersifat opsional (Zundel, 2012).

2. Crossmatching pada bayi berusia < 4 bulan


Bayi berusia kurang dari 4 bulan, belum mampu memproduksi
antibodi dengan baik. Antibodi yang terdeteksi dalam sirkulasi
umumnya berasal dari antibodi ibu. Umur 4-6 bulan, bayi mulai
mampu memproduksi antibodi dengan baik.
Uji pratransfusi awal pada bayi harus menyertakan pemeriksaan
golongan darah ABO dan Rhesus. Karena antibodi ABO belum
terbentuk sempurna, pemeriksaan serum grouping untuk sistem ABO
tidak perlu dilakukan. Skrining antibodi perlu dilakukan baik terhadap
sampel darah ibu maupun bayi. Jika antibodi yang bermakna secara
klinis ditemukan, maka transfusi membutuhkan komponen darah
dengan kandungan antigen negatif (Blaney and Howard, 2013).

3. Crossmatching pada komponen noneritrosit


Uji pratransfusi untuk komponen plasma sebenarnya tidak rutin
dibutuhkan, tetapi untuk transfusi dengan volume plasma yang besar,
crossmatching antara plasma donor dan eritrosit pasien dapat
dilakukan, meskipun standar terkini tidak mengharuskan untuk
dilakukan crossmatching. Tujuan utama dari pemeriksaan tersebut
adalah untuk mendeteksi inkompatibilitas ABO antara donor dan
pasien, dalam hal ini immediate spin crossmatch cukup untuk
dilakukan (Stoe, 2011; Zundel, 2012).

5.9 Penyebab dan Penanganan Inkompatibilitas pada Hasil


Crossmatching
Hasil crossmatcing yang dianggap aman untuk pasien dan
transfusi bisa dilakukan adalah mayor, minor dan autokontrol
semuanya negatif. Pada kondisi tersebut, darah donor
dinyatakan kompatibel dengan
darah pasien. Bila hasil crossmatcing salah satu atau lebih dari satu
atau semuanya positif, darah donor dinyatakan inkompatibel dengan
pasien. Tujuan utama dari crossmatcing adalah mendeteksi adanya
antibodi dalam serum pasien, termasuk anti-A dan anti-B yang dapat
menghancurkan eritrosit donor. Hasil crossmatching yang positif
membutuhkan penjelasan dan pasien seharusnya tidak ditransfusi
sampai penyebab inkompatibilitas dapat ditentukan. Secara garis besar,
penyebab inkompatibilitas pada hasil crossmatching ada 3, yaitu
masalah klerikal, masalah teknis dan masalah pada kondisi pasien
atau donor.
Beberapa penyebab hasil positif pada crossmatch mayor antara lain:
1. Kesalahan golongan darah ABO pada pasien atau donor.
Pada kondisi ini, pemeriksaan golongan darah harus segera
diulang, khususnya jika hasil menunjukkan reaksi kuat dan
dijumpai setelah immediate spin. Pengulangan pemeriksaan
dilakukan menggunakan sampel pasien yang sama dengan
pemeriksaan pertama dan sampel donor diambil langsung dari
kantong darahnya.
2. adanya alloantibodi pada serum pasien yang bereaksi dengan
antigen yang terdapat pada sel darah merah donor.
a. Jika sel darah merah donor yang dites inkompatibel
dengan serum pasien dan antibodi skrining juga positif,
mengindikasikan adanya antibodi yang mengaglutinasi
antigen dari insiden yang tinggi atau antibodi multipel.
b. Jika skrining antibodi negatif dan hanya satu unit donor
yang inkompatibel, mengindikasikan adanya antibodi
pada serum pasien yang mengaglutinasi antigen sel darah
merah donor dengan insiden yang rendah.
c. Jika skrining antibodi negatif, tetapi serum pasien
kemungkinan menggandung antibodi misal anti A1,
periksa kembali serum grouping pasien dan konfirmasi
ada tidaknya anti A1 dengan menggunakan sel yang sudah
diketahui mengandung antigen A1.
3. Adanya autoantibodi pada serum pasien yang bereaksi dengan
antigen sel darah donor. Pada kasus ini autokontrol akan
positif. Skrining antibodi pada serum pasien akan menunjukkan
hasil positif. Salah satu teknik yang bisa ditempuh untuk
menghilangkan autoantibodi pada serum pasien adalah teknik
autoadsorpsion. Pemeriksaan crossmatch dilakukan setelah
teknik autoadsorpsion.
4. Sel darah merah donor di coated dengan protein yang dapat
memberikan hasil crossmatch yang inkompatibel.
5. Terdapat masalah pada serum pasien, misalnya pada pasien
dengan multiple myeloma dan makroglobulinemia dapat
menghasilkan rouleaux formation. Rouleaux biasanya akan
bertambah kuat pada inkubasi 37 oC dan tidak bertahan setelah
pencucian sebelum penambahan Anti Human Globulin (AHG).
Rouleaux dapat ditangani dengan salin replacement technique.
6. Adanya kontaminasi dalam sistem pemeriksaan. Kontaminasi
dapat berasal dari tabung gelas yang kotor, kontaminasi bakteri
pada sampel, kontaminasi salin oleh bahan kimia atau bahan lain
dan adanya bekuan fibrin pada sampel (Makroo, 2009; Zundel,
2012).
Berikut adalah ringkasan tentang penyebab dan penanganan
inkompatibilitas pada hasil crossmatching.
Tabel 5.1 Penyebab dan penanganan inkompatibilitas pada hasil
crossmatching (Makroo, 2009; Zundel, 2012).

Kemungkinan
Hasil crossmatching Penanganan
penyebab
1. Periksa ulang golongan darah ABO dan
konfirmasi
ketepatan identitas pasien
1. Golongan darah ABO pasien atau
2. Lakukan pemeriksaan subgroup, telusuri riwayat
donor salah
Mayor positif, transfusi dan transplantasi pada pasien
2. Serum pasien kemungkinan
minor negatif, 3. Lakukan skrining dan identifikasi antibodi pada
mengandung antibodi ABO
autokontrol negatif, serum pasien dan ulang crossmatch dengan unit
3. Terdapat alloantibody dalam serum
darah yang tidak mengandung antigen yang
pasien yang bereaksi dengan
sesuai dengan antibodi yang ditemukan. Bila
eritrosit donor
skrining dan identifikasi antibodi tidak bisa
dilakukan crossmatch ulang dengan
beberapa unit darah donor yang lain sampai
didapatkan mayor negatif.
1. Lakukan pemeriksaan Direct Coombs’ test pada
donor, bila positif ganti darah donor
1. Darah donor kemungkinan dengan 2. Lakukan skrining dan identifikasi antibodi pada
Mayor positif,
Direct Coombs’ test (DCT) positif serum pasien dan ulang crossmatch dengan unit
minor positif,
2. Adanya alloantibody dalam serum darah yang tidak mengandung antigen yang
autokontrol negatif,
pasien yang bereaksi dengan sesuai dengan antibodi yang ditemukan. Bila
eritrosit donor. skrining dan identifikasi antibodi tidak bisa,
pemeriksaan dirujuk atau lakukan crossmatch
ulang dengan beberapa unit darah donor
yang lain.
1. Lakukan DCT pada pasien, bila positif, hasil
positif pada crossmatch minor dan autokontrol
berasal dari autoantibodi.
2. Apabila derajat positif pada minor sama atau
Mayor negatif, lebih kecil dibandingkan derajad positif pada
minor positif, Kemungkinan terdapat autoantibodi dalam autokontrol atau DCT, darah boleh
autokontrol positif, eritrosit pasien dikeluarkan.
3. Apabila derajat positif pada minor lebih
besar dibandingkan derajad positif pada
autokontrol atau DCT, darah tidak boleh
dikeluarkan. Ganti darah donor, lakukan
crossmatch lagi sampai ditemukan positif pada
minor sama atau lebih kecil dibanding
autokontrol atau DCT
Lakukan skrining dan identifikasi antibodi pada
Mayor negatif,
serum atau plasma donor atau ganti dengan darah
minor positif, Kemungkinan terdapat antibodi ireguler
donor yang lain, lakukan crossmatch lagi
autokontrol negatif, dalam serum atau plasma donor
sampai didapatkan minor negatif.
1. Lakukan autoadsopsi pada serum pasien untuk
membuang autoantibodi dan lakukan
crossmatch ulang dengan serum pasien
yang sudah diautoadsopsi
2. Lakukan DCT pada pasien, apabila positif,
Mayor positif, bandingkan derajat positif DCT dengan minor,
minor positif, Kemungkinan terdapat autoantibodi dan apabila derajat positif minor sama atau lebih
autokontrol positif, alloantibody dalam serum pasien rendah dari DCT, maka positif pada minor dapat
diabaikan, artinya positif tersebut berasal dari
autoantibodi.
3. Sedangkan positif pada mayor, disebabkan
adanya antibodi ireguler pada serum pasien,
lakukan skrining antibodi atau ganti dengan
darah donor baru sampai ditemukan hasil
mayor negatif

5.10 Contoh Kasus Terkait Crossmatching


Kasus 1
Pasien wanita 30 tahun, akan menjalani tindakan pembedahan
karena ada tumor pada daerah abdomen. Pasien membutuhkan 3 unit
Packed Red Cells (PRC). Hasil pemeriksaan golongan darah
didapatkan golongan B Rhesus positif. Hasil pemeriksaan crossmatch
dengan 3 unit PRC didapatkan unit pertama negatif, unit kedua negatif,
unit ketiga mayor positif, minor negatif dan autokontrol negatif.
Pemeriksaan crossmatch dilakukan dengan metode gel.
Penanganan kasus:
1. Dilakukan pemeriksaan golongan darah ulang (ABO dan
Rhesus) terhadap pasien dan unit darah donor ketiga. Hasil
pemeriksaan baik donor maupun pasien B Rhesus positif.
2. Dilakukan crossmatch ulang dengan beberapa unit darah donor
yang lain sampai didapatkan hasil yang kompatibel.

Pada kasus ini penyebab hasil mayor positif pada unit darah
ketiga bukan disebabkan oleh ketidaksesuain golongan darah ABO
dan Rhesus. Hasil pemeriksaan golongan darah antara pasien dan
donor sama. Kemungkinan penyebab mayor positif pada kasus ini
adalah adanya alloantibody dalam serum pasien yang bereaksi dengan
eritrosit donor. Jika fasilitas laboratorium memungkinkan sebaiknya
dilakukan pemeriksaan skrining dan identifikasi antibodi untuk
mencari kemungkinan jenis antibodi ireguler yang ada pada serum
pasien. Mengingat sudah ditemukan darah donor yang kompatibel dan
fasilitas skrining antibodi tidak tersedia, maka cara efektif yang
ditempuh adalah melakukan crossmatching ulang dengan unit darah
donor yang lain sampai didapatkan darah yang kompatibel.

Kasus 2
Pasien laki-laki 50 tahun, dengan keluhan badan lemas. Hasil
pemeriksaan darah lengkap didapatkan kadar hemoglobin 5 g/dL. Hasil
kimia klinik menunjukkan peningkatan kadar total bilirubin 4,6 mg/
dL (nilai rujukan <1,5 mg/dL). Kadar bilirubin direk 3,5 mg/dL (nilai
rujukan 0,1 – 0,5 mg/dL). Tidak ada tanda-tanda perdarahan. Penderita
rencana akan dilakukan transfusi PRC sebanyak 4 unit. Hasil
pemeriksaan golongan darah O Rhesus positif. Hasil pemeriksaan
crossmatch dengan 4 unit darah donor didapatkan hasil pada unit
pertama dan kedua, mayor negatif, minor 3+, autokontrol 3+.
Crossmatching dengan unit darah ketiga dan keempat, mayor 1+,
minor 3+, autokontrol 3+.
Penanganan kasus:
1. Dilakukan pemeriksaan golongan darah ulang pada pasien dan
donor menggunakan sampel baru. Hasil sama dengan
pemeriksaan pertama.
2. Dilakukan pemeriksaan coombs’ test, hasil pemeriksaan Direct
Coombs’ Test (DCT) positif pada C3 dan IgG dengan derajat
positif masing-masing 3+, Indirect Coombs’ Test (ICT) negatif.
3. Unit darah pertama dan kedua dengan hasil crossmatching
mayor negatif, minor 3+, autokontrol 3+ dikeluarkan.
4. Dilakukan crossmatching ulang dengan darah donor yang lain
sampai didapatkan hasil crossmatching sama dengan unit
pertama dan kedua atau dengan derajat positif yang lebih rendah.
Pada kasus ini kemungkinan penyebab hasil mayor positif pada
unit darah ketiga dan keempat adalah adanya antibodi ireguler pada
serum pasien. Bila fasilitas memungkinkan dapat dilakukan
pemeriksaan skrining antibodi untuk mengetahui jenis antibodi ireguler
tersebut. Bila
fasilitas skrining tidak ada ganti darah donor dan lakukan
crossmatching ulang sampai didapatkan mayor negatif. Hasil minor
positif dan autokontrol positif kemungkinan disebabkan adanya
autoantibodi pada sampel pasien. Pasien kemungkinan mengalami
autoimun hemolitik anemia. Hal tersebut ditunjang oleh klinis dan
laboratorium seperti penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar
bilirubin dan hasil coombs’ test positif.
DAFTAR PUSTAKA

Blaney, K.D., Howard, P.R. 2013. Compatibility Testing.


Basic&Applied Concepts of Blood Banking and Transfusion
Practices. Third Edition. United States: Elsevier Mosby. p.188-
201.
Depkes RI. 2008. Pemeriksaan Uji Silang Serasi. Modul 2 Pelatihan
Crash Program Petugas Teknis Transfusi Darah Bagi Petugas
UTDRS. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. hal 121-128.
Downes, K.A., Shulman, I.A. 2014. Pretransfusion testing. In: Fung,
M., Grossman, B.J., Hillyer, C.D., Westhoff, C.M. eds.
Technical manual 18th edition. Bethesda, MD: AABB. p. 367-
390.
Klein, H. G., Anstee, D. J. 2014. Blood Grouping Techniques.
Mollison’s Blood Transfusion in Clinical Medicine 12 th Edition.
UK: Wiley- Blackwell. p. 303-347.
Levitt, J. 2014. Standards for blood banks and transfusion services 29 th
edition. Bethesda, MD: AABB.
Makroo, R.N. 2009. Compatibility Testing (Pre Transfusion Testing).
Practice of Safe Blood Transfusion Compendium of Transfusion
Medicine. New Delhi: Kongposh. p. 123-131.
McClelland, D.B.L. 2007. Blood products and transfusion procedures.
Handbook of Transfusion Medicine United Kingdom Blood
Services 4th Edition. UK: The Stationery Office p. 5-22.
McCullough, J. 2017. Laboratory Detection of Blood Groups and
Provision of Red Cells.Transfusion Medicine 4th Edition. UK:
Wiley Blackwell. p. 210-241
Mehdi, S.R. 2013. Cross-matching (compatibility testing). Essentials
of Blood Banking A Handbook for Students of Blood Banking
and Clinical Residents Second Edition. New Delhi: Jaypee
Brothers Medical Publishers. p. 45-49.
Powell, V. I. 2016. Blood Group Antigen and Antibodies. NYU
Langone Medical Center.
Stoe, M. 2011. Pretransfusion Testing. In Quinley, E.D.
Immunohematology Principle & Practice Third Edition.
Philadelphia: Wiliams & Wilkins. p. 105-118.
Walker, P. S., Harmening, D. M. 2012. Other Technologies and
Automation. Blood Groups and Serologic Testing. Modern
Blood Banking & Transfusion Practices 6th Edition.
Philadelphia: F.A Davis company. p. 273-285.
Zundel, W. B. 2012. Pretransfusion Testing. Blood Groups and
Serologic Testing. In: Harmening, D.M. Modern Blood Banking
& Transfusion Practices 6th Edition. Philadelphia: F.A Davis
company. p. 241-259.
BAB VI
ANTIGLOBULIN TEST (COOMB’S TEST)

6.1 Definisi Coomb’s Test


Antiglobulin test yang popular disebut dengan Coomb’s test,
ditemukan pertama kali oleh Coombs, Mourant dan Race pada tahun
1945 untuk mendeteksi antibodi yang tidak beraglutinasi dalam serum
(Makroo, 2009; Green and Klostermann, 2012). Coomb’s test menjadi
sangat penting karena dapat mendeteksi antibodi IgG dan komplemen
yang menghancurkan sel darah merah baik secara in vivo maupun in
vitro tanpa menunjukkan adanya aglutinasi. Jadi perdefinisi Coomb’s
test adalah suatu pemeriksaan yang digunakan untuk mendeteksi
antibodi yang mengikat sel darah merah baik secara in vivo maupun in
vitro (Blaney and Howard, 2013).

6.2 Tujuan Coomb’s Test


Ada dua jenis Antiglobulin test yaitu Direct Antiglobulin Test
(DAT) atau Direct Coomb’s test (DCT) dan Indirect Antiglobulin
Test (IAT) atau Indirect Coomb’s test (ICT). Tujuan dari DCT adalah
untuk mendeteksi adanya antibodi imun baik IgG maupun komponen
komplemen (umumnya C3d) yang menyelimuti atau mensensitisasi
sel darah merah secara in vivo. Pemeriksaan ICT bertujuan untuk
mendeteksi adanya antibodi inkomplit atau komplemen yang ada di
dalam serum setelah diinkubasi dengan sel darah merah secara in vitro
(Makroo, 2009).
Pemeriksaan DCT sering digunakan untuk membantu diagnosis
kasus-kasus berikut:
a. hemolytic disease of new born (HDN),
b. auto immune hemolytic anemia (AIHA),
c. pemeriksaan adanya sensitisasi sel darah merah yang diinduksi
oleh obat-obatan,
d. pemeriksaan kasus hemolitik yang disebabkan oleh reaksi
transfusi (Makroo, 2009).
Pemeriksaan ICT digunakan untuk kasus-kasus berikut:
a. compatibility testing,
b. skrining dan identifikasi antibodi yang tidak diharapkan dalam
serum,
c. mendeteksi antigen sel darah merah menggunakan antibodi
spesifik yang hanya bereaksi dengan antiglobulin seperti Fya,
Fyb, JKa, Jkb dan lain-lain (Makroo, 2009).

6.3 Prinsip Pemeriksaan Coomb’s Test


Prinsip sederhana dari pemeriksaan antiglobulin adalah sebagai
berikut:
a. Molekul antibodi dan komplemen adalah globulin,
b. human globulin yang diinjeksikan pada hewan (kelinci) akan
merangsang produksi antibodi, yaitu Anti Human Globulin
(AHG). Pemeriksaan serologi yang berkembang menggunakan
reagen AHG yang dapat bereaksi dengan berbagai jenis globulin
manusia meliputi anti-IgG antibody dan C3d yang merupakan
komponen komplemen pada manusia.
c. AHG akan bereaksi dengan molekul human globulin baik yang
terikat dengan sel darah merah maupun yang bebas dalam serum
(Green and Klostermann, 2012).

1. Prinsip pemeriksaan DCT

Gambar 6.1 Prinsip pemeriksaan Direct Coomb’s Test (Green and Klostermann, 2012).
DCT berfungsi untuk mendeteksi adanya sensitisasi sel darah
merah oleh IgG atau komponen komplemen yang terjadi secara in
vivo. Setelah dilakukan proses pencucian sel darah merah sebanyak 3
kali kemudian tambahkan reagen AHG, kemudian dilihat ada tidaknya
aglutinasi. Aglutinasi akan terjadi apabila ada anti-IgG antibody atau
C3d yang menyelimuti sel darah merah (Green and Klostermann,
2012).

2. Prinsip pemerikaan ICT

Gambar 6.2 Prinsip pemeriksaan Indirect Commb’s Test (Green and Klostermann,
2012).

ICT berfungsi untuk mendeteksi adanya sensitisasi sel darah


merah oleh IgG atau komponen komplemen yang terjadi secara in
vitro. Reagen sel darah merah ditambahkan serum pasien kemudian
dilakukan proses inkubasi. Inkubasi bertujuan untuk memberi
kesempatan anti- IgG antibody dan C3d yang bebas dalam serum
mensensitisasi sel darah merah secara in vitro. Setelah sensitisasi
terjadi lalu tambahkan reagen AHG dan amati ada tidaknya aglutinasi
(Green and Klostermann, 2012).

6.4 Metode Pemeriksaan Coomb’s Test


Metode konvensional untuk pemeriksaan coomb’s test adalah
menggunakan metode tabung (tube test). Beberapa metode modifikasi
lain yang bisa digunakan dalam situasi khusus seperti Low-Ionic
Polybrene technique (LIP), Enzyme-Linked Antiglobulin Test (ELAT),
solid phase technology, dan gel test (Green and Klostermann, 2012).

6.5 Pemeriksaan DCT dengan Metode Tabung (Tube Test)


1. Alat dan bahan
Alat-alat yang dibutuhkan, antara lain: tabung gelas dengan
ukuran 75 x 12 mm, sentrifus, dan pipet tetes.
Bahan untuk pemeriksaan coomb’s test dengan metode tabung,
antara lain: sel darah merah yang akan diperiksa, reagen Anti Human
Globulin (AHG), dan kontrol positif.
Ada dua tipe reagen AHG yang tersedia, yaitu:
a. Reagen AHG polispesifik
Reagen AHG polispesifik umumnya mengandung anti-IgG dan
anti-C3d namun juga dapat mengandung anti C3b dan anti C4b.
Pembuatan AHG dilakukan dengan cara menyuntikkan human
globulin ke dalam tubuh hewan, prosedur tersebut selanjutnya
akan menghasilkan antibodi spesifik untuk immunoglobulin
manusia dan sistem faktor komplemen manusia.
b. Reagen AHG monospesifik
Reagen monospesifik masing-masing mengandung anti-IgG,
IgM, IgA atau komponen komplemen yang sudah terpisah-pisah
(Makroo, 2009).
Kontrol sel positif dibuat dari golongan darah O Rhesus positif
yang direaksikan dengan anti-D, reagen AHG dan dibantu dengan alat
dan bahan lain seperti salin dan tabung reaksi ukuran 75 x 12 mm.
Berikut adalah teknik pembuatan kontrol sel positif:
a. cuci sel darah merah golongan O Rhesus positif sebanyak tiga
kali menggunakan larutan salin,
b. letakkan 0,5 mL sel darah merah yang sudah dicuci ke dalam
tabung reaksi,
c. tambahkan 2-3 tetes anti-D,
d. campur dan inkubasi pada suhu 37 oC selama 30 menit. Jika
aglutinasi positif, ulangi prosedur dengan menambahkan anti-D
yang sudah diencerkan,
e. cuci sel sebanyak 4 kali kemudian buat suspensi sel 5% dalam
medium salin,
f. ambil satu volume suspensi sel 5% dan tambahkan 2 volume
reagen AHG. Campur dengan baik dan sentrifugasi. Reaksi yang
didapat harus +2,
g. kontrol sel positif dapat disimpan selama 48 jam pada suhu 4 oC
(Makroo, 2009).

2. Prosedur Pemeriksaan
Ada pun prosedur pemeriksaan DCT adalah sebagai berikut:
a. teteskan 1 tetes suspensi sel 2-4% yang akan diperiksa ke dalam
tabung yang bersih dan berikan label. Sampel darah harus segar,
tidak lebih dari 24 pasca pengambilan atau ditampung dalam
tabung EDTA untuk mencegah terjadinya uptake komplemen,
b. cuci sel sebanyak 3 kali menggunakan larutan salin dan buang
sebanyak mungkin salin pasca pencucian,
c. tambahkan 1-2 tetes reagen AHG,
d. campur dan sentrifugasi selama 1 menit pada kecepatan 1000
revolution per minute (rpm),
e. goyangkan tabung dan baca ada tidaknya aglutinasi,
f. jika hasil negatif, tambahkan 1 tetes control cells,
g. campur dan sentrifugasi selama 1 menit pada kecepatan 1000
rpm dan lihat adanya aglutinasi. Jika tidak ada aglutinasi, hasil
dinyatakan invalid dan pemeriksaan harus diulang.
Berikut adalah ilustrasi prosedur pemeriksaan DCT

Gambar 6.3 Prosedur pemeriksaan DCT dengan motode tube test (Powell, 2016).
6.6 Pemeriksaan ICT dengan Metode Tabung (Tube Test)
1. Alat dan bahan
Alat yang dibutuhkan adalah tabung gelas dengan ukuran 75 x
12 mm, sentrifus, dan pipet tetes.
Bahan untuk pemeriksaan meliputi serum yang akan diperiksa,
sel darah merah golongan O, reagen Anti Human Globulin (AHG), dan
kontrol sel positif.

2. Prosedur Pemeriksaan
Adapun prosedur pemeriksaan ICT adalah sebagai berikut:
a. teteskan 2 tetes serum yang akan diperiksa ke dalam tabung
yang bersih dan beri label. Sampel serum harus segar, untuk
mendeteksi adanya komplemen yang berikatan dengan antibodi,
b. tambahkan 1 tetes suspensi sel darah golongan O 2-5%,
c. inkubasi pada suhu 37 oC selama 45-60 menit,
d. amati ada tidaknya hemolisis atau aglutinasi. Hemolisis atau
aglutinasi yang terjadi pada tahap ini mencerminkan adanya
salin yang bereaksi dengan antibodi,
e. jika tidak terjadi hemolisis atau aglutinasi, cuci sampel sebanyak
3-4 kali menggunakan larutan salin dan buang sebanyak
mungkin salin pasca pencucian,
f. tambahkan 1-2 tetes reagen AHG,
g. campur dan sentrifugasi selama 1 menit pada kecepatan 1000
revolution per minute (rpm),
h. goyangkan tabung dan baca ada tidaknya aglutinasi,
i. jika hasil negatif, tambahkan 1 tetes control cells,
j. campur dan sentrifugasi selama 1 menit pada kecepatan 1000
rpm dan lihat adanya aglutinasi. Jika tidak ada aglutinasi, hasil
dinyatakan invalid dan pemeriksaan harus diulang.
k. Selalu sertakan autokontrol pada pemeriksaan ICT (Makroo,
2009).
Berikut adalah ilustrasi prosedur pemeriksaan ICT.

Gambar 6.4 Prosedur pemeriksaan IAT dengan motode tube test (Powell, 2016).

Ringkasan tujuan dari masing-masing tahapan pemeriksaan ICT


tercantum pada tabel berikut.

Tabel 6.1 Tujuan dari masing-masing tahapan pemeriksaan ICT


(Green and Klostermann, 2012).
Tahapan pemeriksaan Tujuan
Inkubasi sel darah merah dengan serum Memberikan kesempatan antibodi yang ada pada
pasien serum pasien menyelimuti antigen sel darah merah
Pencucian sel dengan salin sebanyak 3 Menghilangkan molekul globulin bebas atau yang
kali tidak terikat
Membentuk aglutinasi sel darah merah melalui
Penambahan reagen AHG ikatan antigen eritrosit + antibodi + anti-IgG

Mempercepat proses aglutinasi dengan cara


Sentrifugasi
mendekatkan sel satu sama lain
Memberikan interpretasi hasil pemeriksaan apakah
Pembacaan aglutinasi
positif atau negatif
Menentukan derajat aglutinasi Menentukan kuat lemahnya reaksi yang terjadi
Untuk memastikan bahwa hasil yang negatif bukan
Penambahan Coombs’ control cells pada
disebabkan oleh netralisasi reagen AHG oleh
hasil yang negatif
molekul globulin bebas
6.7 Interpretasi Hasil Coomb’s Test
Pemeriksaan DCT tidak dibutuhkan secara rutin dalam protokol
pretransfusion testing. Hasil DCT yang positif secara tersendiri
bukan merupakan sebuah diagnosis. Interpretasi hasil yang positif
membutuhkan informasi tentang diagnosis klinis pasien, riwayat
pemberian obat-obatan, kehamilan, riwayat transfusi sebelumnya dan
informasi lain terkait adanya proses hemolitik.
Tabel berikut hanya membantu dalam memperkirakan
kemungkinan interpretasi hasil pemeriksaan DCT dengan tetap harus
mempertimbangkan kondisi klinis pasien.

Tabel 6.2 Panel DCT: pola hasil pemeriksaan DCT pada


Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA)
(Green and Klostermann, 2012).

Anti-IgG Anti-C3d Jenis AIHA


Warm Autoimmune Hemolytic Anemia (WAIHA)
+ +
WAIHA
+ -
Cold Agglutinin Syndroma (CAS), Paroxysmal Cold Hemoglobinuria
- + (PCH), WAIHA

+ + Mixed-type AIHA (cold dan warm)

6.8 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Pemeriksaan


Coomb’s Test
DCT dapat mendeteksi kadar molekul IgG pada level 100-500
per eritrosit dan 400-1.100 molekul C3d per eritrosit. Sedangkan ICT
mampu mendeteksi kadar molekul IgG atau C3d pada level 100-200
pada sel dengan reaksi positif. Jumlah molekul IgG yang
mensensitisasi eritrosit dan kecepatan terjadinya sensitisasi
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:

1. Rasio serum dan sel


Peningkatan rasio serum dan sel akan meningkatkan sensitivitas
pemeriksaan. Umumnya, rasio minimum adalah 40:1 yang bisa
didapat dengan menambahkan 2 tetes serum dan 1 tetes suspensi sel
eritrosit 5%. Jika menggunakan sel yang disuspensi dalam salin, maka
dapat meningkatkan rasio serum dan sel yang memiliki kemampuan
mendeteksi antibodi lemah (misal: 4 tetes serum dengan 1 tetes
suspensi sel 3% akan memberikan rasio 133:1) (Green and
Klostermann, 2012).

2. Medium reaksi
Beberapa medium reaksi yang bisa digunakan antara lain
albumin, LISS dan polyethylene glycol. Pada 1965, Stroup dan
Macllroy melaporkan peningkatan sensitivittas ICT jika albumin
digunakan sebagai medium reaksi. Campuran reaksi yang terdiri atas 2
tetes serum, 2 tetes bovin albumin 22% dan 1 tetes suspensi sel 3-5%
menunjukkan sensitivitas yang sama pada inkubasi 30 menit
dibandingkan inkubasi 60 menit pada medium salin. Namun, salah satu
kelemahan albumin yang dilaporkan oleh Pezt dan Coworkers adalah
tidak mampu mendeteksi beberapa jenis antibodi yang bermakna
secara klinis sehingga albumin jarang digunakan sebagai media ICT
secara rutin (Green and Klostermann, 2012).
Penggunaan Low ionic strength solutions (LISS) diperkenalkan
oleh Low dan Messeter. LISS mampu meningkatkan uptake antibodi
dan memperpendek waktu inkubasi dari 30-60 menit menjadi 10-15
menit. Penggunaan LISS juga dilaporkan oleh Moor dan Mollison
yang menemukan bahwa reaksi optimal bisa didapatkan dari
penggunaan 2 tetes serum dan 2 tetes suspensi sel 3% dalam medium
LISS (Green and Klostermann, 2012).
Polyethylene glycol (PEG) bersifat larut dalam air dan
digunakan sebagai zat tambahan untuk meningkatkan uptake antibodi.
Mekanisme kerja PEG adalah menghilangkan molekul air yang
mengelilingi eritrosit (the water of hydration theory) sehingga efektif
untuk meningkatkan konsentrasi antibodi. Beberapa peneliti telah
membandingkan penggunaan PEG dan LISS sebagai medium reaksi
dalam pemeriksaan antiglobulin. Hasil penelitian melaporkan bahwa
PEG dapat meningkatkan deteksi antibodi yang bermakna secara klinis
dan menurunkan deteksi antibodi yang tidak bermakna secara klinik
(Green and Klostermann, 2012).
3. Temperatur
Kecepatan reaksi antibodi IgG dan aktivasi komplemen optimal
pada suhu 37 oC (Green and Klostermann, 2012).

4. Waktu inkubasi
Untuk sel yang disuspensi dalam medium salin, waktu inkubasi
mencapai 30-120 menit. Mayoritas antibodi yang bermakna secara
klinis akan terdeteksi setelah menit ke-30. Jika menggunakan LISS
atau PEG, waktu inkubasi bisa diperpendek menjadi 10-15 menit.
Dengan waktu yang lebih singkat, sangat penting untuk dilakukan
inkubasi pada suhu 30 oC. Bila waktu inkubasi pada teknik LISS
diperpanjang (misal 40 menit) maka antibodi akan terelusi dari eritrosit
dan sensitivitas akan menurun (Green and Klostermann, 2012).

5. Pencucian eritrosit
Untuk pemeriksaan DCT maupun ICT, sel eritrosit harus dicuci
dengan salin minimal 3 kali sebelum dilakukan penambahan reagen
AHG. Pencucian akan menghilangkan globulin serum yang tidak
berikatan. Pencucian yang tidak adekuat dapat menyebabkan hasil
negatif palsu karena reagen AHG akan dinetralisasi oleh globulin
serum yang tidak berikatan. Hal tersebut menyebabkan fase pencucian
pada pemeriksaan DCT dan ICT menjadi tahapan yang sangat penting.
Proses pencucian sebaiknya segera dilakukan setelah proses inkubasi.
Semua sisa salin setelah pencucian terakhir harus dihilangkan karena
dapat mengencerkan reagen AHG yang berefek pada penurunan
sensitivitas pemeriksaan (Green and Klostermann, 2012).

6. Salin untuk pencucian


Idealnya salin yang digunakan untuk pencucian harus segar
dan mempunyai pH 7,2-7,4. Salin yang disimpan terlalu lama dalam
wadah plastik menunjukkan penurunan pH sehingga meningkatkan
kecepatan elusi antibodi selama proses pencucian dan memberikan
efek hasil negatif palsu. Adanya kontaminasi bakteri pada salin juga
pernah dilaporkan dan hal tersebut berkontribusi dalam memberikan
hasil positif palsu (Green and Klostermann, 2012).
7. Penambahan AHG
Reagen AHG seharusnya ditambahkan segera setelah proses
pencucian untuk mengurangi elusi antibodi dan berdampak pada
netralisasis reagen AHG. Jumlah AHG yang ditambahkan disesuaikan
dengan ketentuan perusahaan reagen (Green and Klostermann, 2012).

8. Sentrifugasi untuk pembacaan


Sentrifugasi pada campuran sel untuk membaca hemaglutinasi
merupakan langkah yang krusial dalam pemeriksaan. Sentrifugasi yang
direkomendasikan adalah 1000 Relative Centrifugal Forces (RCFs)
selama 20 detik. Kecepatan sentrifugasi yang tidak standar dapat
memberikan hasil positif palsu karena resuspensi menjadi inadekuat
dan dapat memberikan hasil negatif palsu karena resuspensi terlalu
kuat (Green and Klostermann, 2012).

6.9 Sumber Kesalahan Pemeriksaan Coomb’s Test


Berikut adalah tabel yang memuat ringkasan tentang penyebab
hasil pemeriksaan Coomb’s test positif palsu dan negatif palsu.

Tabel 6.3 Sumber kesalahan hasil pemeriksaan coomb’s test


(Makoo, 2009;WHO, 2009; Green and Klostermann,
2012; Mehdi, 2013).
Penyebab hasil positif palsu Penyebab hasil negatif palsu

a. Kualitas sampel yang tidak baik a. Pencucian sel yang tidak adekuat
b. Sentrifugasi berlebihan b. Kontaminasi reagen AHG dengan protein
c. Teknik pembacaan yang tidak tepat dari luar
d. Kontaminasi bakteri pada sel atau salin c. Konsentrasi paraprotein yang tinggi dalam
yang digunakan untuk pencucian serum
e. Penggunaan tabung yang kotor d. Reagen AHG tidak bekerja dengan baik,
f. Adanya fibrin dalam tabung sehingga baik oleh karena deteorisasi maupun
menyerupai aglutinasi netralisasi
g. Sel dengan hasil DCT positif dapat e. Adanya pemanasan serum atau pembekuan
memberikan hasil ICT positif palsu dan pencairan yang berulang
h. Sel dengan poliaglutinasi f. Lupa menambahkan serum atau reagen
i. Salin terkontaminasi dengan logam AHG
berat atau colloidal silica g. Sentrifugasi yang tidak adekuat atau
j. Sampel ditampung pada tabung dengan berlebihan
gel separator h. Suspensi sel terlalu encer atau terlalu pekat
6.10 Pemeriksaan ICT Menggunakan Medium LISS
Penggunaan LISS pada ICT dapat meningkatkan kecepatan dan
derajat pengikatan antibodi oleh sel darah merah dan menurunkan
waktu inkubasi. Berikut dijelaskan tentang pemeriksaan ICT pada
medium LISS (Makroo, 2009).

1. Alat dan bahan


Alat-alat yang dibutuhkan meliputi tabung gelas dengan ukuran
75 x 12 mm, sentrifus, dan pipet tetes.
Beberapa bahan yang dibutuhkan, antara lain:
a. Low ionic strength solution (LISS)
b. Serum yang akan diperiksa
c. Sel darah merah golongan O
d. Reagen anti human globulin (AHG)
e. Kontrol sel positif

2. Prosedur Pemeriksaan
Ada pun prosedur pemeriksaan ICT adalah sebagai berikut:
a. Cuci sel darah merah dengan salin sebanyak 2 kali,
b. cuci sel sekali dalam medium LISS,
c. buat suspensi sel 2-4% dalam medium LISS,
d. teteskan serum dan sel yang disuspensi dalam LISS dengan
volume yang sama ke dalam tabung yang bersih dan berikan
label,
e. inkubasi selama 15 menit pada suhu 37 oC (pada kondisi
emergency, inkubasi dapat dilakukan selama 5 menit),
f. amati ada tidaknya hemolisis atau aglutinasi, catat hasil yang di
dapat,
g. jika tidak terjadi hemolisis atau aglutinasi, cuci sampel sebanyak
3 kali menggunakan larutan salin dan buang sebanyak mungkin
salin pasca pencucian,
h. tambahkan 1-2 tetes reagen AHG,
i. campur dan sentrifugasi selama 1 menit pada kecepatan 1000
revolution per minute (rpm),
j. goyangkan tabung dan baca ada tidaknya aglutinasi,
k. jika hasil negatif, tambahkan 1 tetes control cells,
l. campur dan sentrifugasi selama 1 menit pada kecepatan 1000
rpm dan lihat adanya aglutinasi. Jika tidak ada aglutinasi, hasil
dinyatakan invalid dan pemeriksaan harus diulang.
LISS, serum dan suspensi sel harus diadaptasikan dengan suhu
kamar sebelum digunakan (Makroo, 2009).

6.11 Beberapa Modifikasi dan Automatisasi Pemeriksaan


Coomb’s Test
Ada beberapa jenis modifikasi pemeriksaan coomb’s test yang
bisa digunakan dalam situasi khusus seperti Low-Ionic Polybrene
technique (LIP), Enzyme-Linked Antiglobulin Test (ELAT), solid
phase technology, dan gel test (Green and Klostermann, 2012).

1. Low-Ionic Polybrene technique (LIP)


Teknik LIP diperkenalkan pada 1980 oleh Lalezari dan Jiang.
Teknik ini dapat mensensitisasi sel dengan antibodi dalam waktu cepat.
Namun teknik ini memiliki kelemahan yaitu sensitivitasnya rendah
untuk mendeteksi anti-Jka dan anti-Jkb (Green and Klostermann,
2012).

2. Enzyme-Linked Antiglobulin Test (ELAT)


Pada teknik ELAT, suspensi eritrosit ditambahkan pada
microtiter well dan dicuci dengan salin kemudian ditambahkan reagen
AHG yang sudah dilabel dengan enzim. Reagen AHG yang sudah
dilabel dengan enzim akan berikatan dengan eritrosit yang disensitisasi
dengan IgG. Kelebihan antibodi akan dihilangkan dengan proses
pencucian. Setelah penambahan substrate akan terjadi perubahan
warna yang selanjutnya dapat diukur dengan spektrofotometer pada
panjang gelombang tertentu (umumnya pada panjang gelombang 405
nm). Perubahan warna yang terjadi sebanding dengan jumlah antibodi
yang ada pada sampel (Green and Klostermann, 2012).
3. Solid Phase Technology
Solid-phase technology untuk pemeriksaan antiglobulin dapat
dilakukan dengan menggunakan test tubes maupun microplates. Baik
pemeriksaan DCT maupun ICT dapat dikerjakan dengan motode solid-
phase (Green and Klostermann, 2012).

4. Gel Test
Pada gel test reaksi antigen dan antibodi akan terdeteksi pada
microtube yang mengandung polyacrylamide gel. Gel akan menjaring
sel darah merah yang beraglutinasi pada bagian atas gel dan
meloloskan sel darah merah yang tidak beraglutinasi sehingga
mengendap pada dasar tabung. Hasil reaksi dinyatakan negatif, bila
seluruh suspensi sel mengendap di dasar tabung dan hasil dinyatakan
positif bila suspensi naik di sepanjang atau seluruhnya ada di
permukaan tabung. Semakin tinggi derajat aglutinasi maka sel semakin
berada di atas permukaan tabung. Ada tiga jenis gel test, yaitu netral,
spesifik dan antiglobulin. Neutral gel tidak mengandung reagen
spesifik dan hanya digunakan untuk mendeteksi ada tidaknya
aglutinasi. Sebagian besar penggunaan neutral gel test adalah untuk
skrining dan identifikasi antibodi. Gel test yang spesifik menggunakan
reagen spesifik yang dimasukkan ke dalam gel dan sering digunakan
untuk menentukan jenis antigen. Gel test yang mengandung
antiglobulin atau yang disebut dengan The gel low ionic antiglobulin
test (GLIAT) dapat digunakan untuk pemeriksaan IAT maupun DAT.
Salah satu contoh prosedur pemeriksaan IAT menggunakan metode
gel, 50 µL suspensi sel darah merah 0,8% dimasukkan ke dalam gel
yang sudah mengandung AHG lalu tambahkan serum. Tabung
kemudian diinkubasi dalam periode tertentu dan selanjutnya dilakukan
sentrifugasi. Apabila ada aglutinasi maka akan terperangkap pada
permukaan tabung yang menandakan hasil reaksi positif. Interpretasi
sama dengan pemeriksaan golongan darah atau crossmatching
menggunakan metode gel. Jika dibandingkan dengan metode
konvensional, metode GLIAT lebih aman, handal dan hasil
pemeriksaan lebih mudah dibaca (Green and Klostermann, 2012).
6.12 Contoh Kasus Terkait Coomb’s Test
Kasus 1
Wanita, 42 tahun, menikah, datang ke Unit Gawat Darurat
(UGD) dengan keluhan sesak nafas sejak 2 hari yang lalu. Sesak
disertai batuk berdahak dan badan lemas. Kadang penderita juga
merasakan demam. Penderita sebelumnya dirawat dengan Ca mamma
sejak satu tahun yang lalu dan sudah pernah menjalani kemoterapi
sebelumnya. Riwayat penyakit jantung, ginjal, kencing manis, alergi
disangkal. Tidak ada keluarga penderita yang mengalami keluhan
serupa.
Hasil pemeriksaan fisik: keadaan umum lemah, kompos mentis,
tensi 110/70 mmHg, nadi 80 x/menit, respirasi 36 x/ menit dan suhu
aksila 37,5 o C. Dijumpai anemia, tampak konjungtiva pucat, suara
paru vesikuler dengan ronchi positif, lain-lain dalam batas normal.
Hasil pemeriksaan radiologi menyimpulkan adanya pneumonia.
Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan penurunan kadar
hemoglobin dari 8,9 g/dL menjadi 5,1 g/dL dalam waktu 6 hari tanpa
disertai tanda-tanda perdarahan. Dokter merencanakan untuk
melakukan transfusi Pack Red Cells (PRC) 5 Unit.
Hasil pemeriksaan golongan darah adalah sebagai berikut :

Tabel 6.4 Pemeriksaan golongan darah dengan blood


grouping plate
Auto
Suspensi Suspensi Suspensi Bovin
Anti-A Anti-B Anti-D Kontrol
sel A sel B sel O Albumin
3+ 4+ +3 3+ 3+ 4+ +4 4

Tabel 6.5 Pemeriksaan golongan darah ulang dengan metode


tabung

Auto
Suspensi Suspensi Suspensi Bovin
Anti-A Anti-B Anti-D Kontrol
sel A sel B sel O Albumin
4+
3+ 4+ 3+ 3+ 3+ 4+ 4+
Tabel 6.6 Pemeriksaan golongan darah ulang setelah pencucian
sel dan dikerjakan dengan metode tabung, inkubasi 37 o C.

Auto
Suspensi Suspensi Suspensi Bovin
Anti-A Anti-B Anti-D Kontrol
sel A sel B sel O Albumin
4+
Negatif Negatif 3+ 3+ Negatif 4+ Negatif

Kesimpulan : Penderita golongan darah O Rh positif

Tabel 6.7 Hasil pemeriksaan crossmatch dengan sejumlah donor.

Auto
Golongan darah
NO Donor Mayor Minor Kontrol
donor
1 Donor 1 O Rhesus + 2+ 3+ 4+
2 Donor 2 O Rhesus + 2+ 3+ 4+
3 Donor 3 O Rhesus + 3+ 4+ 4+
4 Donor 4 O Rhesus + 2+ 3+ 4+
5 Donor 5 O Rhesus + 2+ 3+ 4+
6 Donor 6 O Rhesus + 3+ 4+ 4+
7 Donor 7 O Rhesus + 3+ 4+ 4+
8 Donor 8 O Rhesus + 2+ 3+ 4+

Hasil coomb’s test :


Penderita golongan darah O Rh positif.
Ditemukan adanya auto immune antibody (DCT: positif) juga anti IgG
dan C3 yang coated pada sel darah merah penderita.
Ditemukan adanya irregular allo antibody yang bebas di dalam serum
(ICT: positif) yang reaktif pada suhu 20 o C dan 37 o C.
Diagnosis : Ca mamma, Penumonia, Autoimmune hemolytic
anemia (AIHA).
Sebagian besar kasus AIHA bersifat idiopatik, beberapa kasus
dapat disebabkan oleh infeksi virus, obat-obat kemoterapi, dapat
berasosiasi dengan kondisi autoimun lain atau kelainan hematologi dan
keganasan (Morris et al, 2008).
Pada kasus ini pasien menderita carcinoma mammae disertai
dengan Autoimmune hemolytic anemia (AIHA). Penyebab AIHA
pada pasien ini tidak diketahui secara pasti. Kemungkinan oleh karena
adanya proses keganasan sehingga mengganggu sistem imum
penderita. Beberapa jenis molekul pada permukaan sel tumor dapat
membangkitkan respons antibodi autologous (Kresno, 2011). Beberapa
kelainan yang sering mencetuskan AIHA adalah Connecting tissue
disease (Rheumatoid arthritis, Scleroderma, Systemic lupus
erythematosus), idiopatic, Immunodeficiency state (Dysglobulinemia,
hypogammaglobulinemia), infeksi (Human Immunodeficiency Virus,
Mycoplasma, Mononucleosis), malignancy (lymphoma, leukemia,
multiple myeloma, carcinoma) (Desai and Isa-Pratt, 2000). Pada pasien
ini kanker payudara diduga sebagai pencetus munculnya AIHA.
Diagnosis Ca mammae dapat ditegakkan dari klinis, radiologi
dan biopsi (SIGN, 2005). Pada pasien ini diagnosis Ca mammae sudah
tegak secara klinis, radiologi maupun biopsi bahkan penderita sudah
pernah mendapatkan kemoterapi sebelumnya.
Pada kasus AIHA, selain dari klinis, diagnosis dapat ditegakkan
dari beberapa pemeriksaan laboratorium. Klinis pasien AIHA dapat
berupa anemia, jaundice dan splenomegali. Pemeriksaan laboratorium
yang mendukung adalah Darah Lengkap (DL) dengan penurunan kadar
hemoglobin, peningkatan retikulosit, peningkatan serum bilirubin dan
Lactic Dehydrogenase (LDH) serta penurunan haptoglobin. Pada
AIHA tipe hangat umumnya dijumpai sferosit atau aglutinasi eritrosit.
Pada urinalisis menunjukkan hemoglobinuria jika proses hemolisis
berlangsung intravaskuler. Pemeriksaan laboratorium yang utama pada
AIHA adalah Direct Coomb,sTest (DCT) (Shaz and Hillyer, 2009).
Pada kasus ini, selain klinis, pemeriksaan laboratorium yang
menunjang diagnosis AIHA adalah kadar hemoglobin rendah pada
darah lengkap dan DAT positif. Saat pemeriksaan golongan darah
sempat terjadi kesulitan dalam menginterpretasi hasil karena semua
menunjukkan aglutinasi. Hasil pemeriksaan golongan darah
menunjukan adanya discrepancy antara cells grouping dan serum
grouping. Aglutinasi yang positif pada cells grouping, serum
grouping, bovin albumin maupun autokontrol kemungkinan
disebabkan karena proses aglutinasi sudah berlangsung sebelum
sampel dianalisis akibat adanya autoantibodi yang menyelimuti
eritrosit pasien ataupun yang beredar dalam serum.
Munculnya aglutinasi pada semua metode pemeriksaan golongan darah
kemungkinan disebabkan adanya extra antibody. Jika extra antibody
tersebut bersifat cold, untuk melepaskan aglutinasi tersebut bisa
dilakukan inkubasi pada 37 oC dan pencucian eritrosit dengan larutan
salin. Pada pencucian sampel dengan salin dan prewarming technique
(inkubasi 37o C) kemungkinan terjadi migrasi reaktiviti autoantibodi
sehingga golongan darah menjadi jelas (Shaz and Hillyer, 2009).
Hasil pemeriksaan golongan darah pada pemeriksaan pertama
dan diulang dengan metode tabung pada pemeriksaan kedua
menunjukkan adanya ABO discrepancies.
1. Reaksi aglutinasi kuat dijumpai pada cells grouping dan sesuai
dengan golongan darah AB.
2. Hasil pemeriksaan serum grouping sesuai dengan golongan
darah O.
Dari hasil DCT yang menunjukkan aglutinasi pada IgG dan C3,
kemungkinan pasien menderita AIHA tipe campuran (mixed AIHA).
Sebagian besar kasus AIHA dengan IgG dan C3 positif adalah mixed
AIHA (Shaz and Hillyer 2009). Di samping itu setelah dilakukan
prewarming technique pada pemeriksaan golongan darah, interpretasi
hasil menjadi lebih jelas. Berikut adalah tabel hasil pemeriksaan DCT
dan persentase kasus pada masing-masing jenis AIHA.

Table 6.8 Persentase kasus dan hasil DCT pada masing-masing


tipe AIHA (Shaz and Hillyer, 2009).
Warm AIHA Cold Aglutinin
Mixed AIHA
(WAIHA) Disease (CAD)
Persentase
48-70% 16-32% 7-8%
kasus
IgG 20-66%, IgG + C3 24-
DCT C3 91-98% IgG + C3 71-100%
63%, C3 7-14%
Tipe Ig IgG (jarang IgA atau IgM) IgM IgG + IgM

First line treatment untuk pasien AIHA adalah kortikosteroid.


Terapi lain adalah splenektomi, Rituximab, Imunoglobulin intravena
dan obat imunosupresan alternatif lainnya. Pasien anemia berat disertai
disfungsi jantung atau otak membutuhkan penanganan yang urgen
termasuk pemberian transfusi Pack Red Cells (PRC). Selama serangan
akut, pasien yang baru terdiagnosis AIHA sangat sulit mendapatkan
darah yang kompatibel. Pada kondisi tersebut, transfusi PRC dapat
dilakukan dengan memberikan darah ”least incompatible” artinya
memilih unit darah dengan hasil pemeriksaan crossmatch yang paling
kurang reaktif ( Morris et al, 2008; Shaz and Hillyer, 2009).
Pada pasien ini kadar hemoglobin 5,1 g/dL dan urgen
membutuhkan transfusi. Transfusi akhirnya dilakukan dengan memilih
komponen darah yang ”least incompatible”. Dokter yang merawat
merencanakan transfusi dengan 5 unit PRC dengan harapan Hb pasien
bisa menjadi 10 g/dL. Setelah tranfusi PRC yang kedua, pasien sempat
mengalami alergi sehingga untuk transfusi selanjutnya dokter meminta
Wash Red Cells (WRC). Pemeriksaan darah lengkap setelah transfusi 5
unit menunjukkan kadar Hb 12 g/dL. Peningkatan Hb melebihi target
kemungkinan disebabkan karena proses Autoimmune hemolytic sudah
teratasi dan sumsum tulang juga telah melakukan kompensasi terhadap
keadaan anemia. Selain itu, penderita dianggap memiliki respon yang
baik terhadap terapi kortikosteroid. Peningkatan kadar Hb yang ideal
setelah transfusi adalah kurang dari 11 g/dL. Peningkatan kadar Hb
lebih dari 11 g/dL pasca transfusi dianggap telah terjadi
overtransfusion.
Selama transfusi, pasien juga mendapatkan premedikasi
furosemide 20 mg iv. Jika premedikasi diberikan secara intravena,
transfusi dilakukan 10 menit setelah pemberian obat. Apabila
premedikasi diberikan per oral, transfusi dilakukan 30-60 setelah
pemberian obat. Pemberian obat-obatan profilaksis secara rutin
sebelum transfusi tidak dianjurkan (WHO, 2002).

Kasus 2.
Laki-laki, 65 tahun, masuk rumah sakit dengan keluhan sesak
dan mata kuning. Hasil pemeriksaan fisik, tekanan darah 105/65
mmHg, nadi 92 kali/menit dan lien teraba 2 cm di bawah arkus kosta.
Penderita pernah menjalani cholecystectomy 15 tahun yang lalu dan 3
tahun terakhir didiagnosis dengan coronary artery disease. Saat ini
penderita
mendapat terapi Atenolol, Ramipril, Simvastatin dan Aspirin. Hasil
pemeriksaan laboatorium: hemoglobin 4,8 g/dl, retikulosit 263x109/L
(22%), Mean Cells Volume (MCV) 84 fl, White Blood Cells (WBC)
8,5x109/L, trombosit 277x109/L, bilirubin total 128 µmol/l (conjugated
bilirubin 12 µmol/l), kalium 4.5 mmol/l, kreatinin 176 mmol/l, Lactate
dehydrogenase (LDH) 3407 µ/l (normal: <240 µ/l). Pasien memiliki
golongan darah A Rhesus positif. Hasil pemeriksaan Direct Coombs’
test (DCT) positif kuat dengan anti-IgG dan anti-C3d positif dan
Indirect Coombs’ test juga positif (Mijovic, 2012).
Berdasarkan kondisi klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium,
penderita didiagnosis dengan Autoimmune hemolytic anemia (AIHA),
“warm antibody type.” Hasil laboratorium yang menunjukkan adanya
proses hemolisis adalah peningkatan unconjugated bilirubin, LDH
dan retikulosit. Hasil pemeriksaan DCT juga menunjang AIHA. Pada
40% kasus AIHA dapat menunjukkan adanya jaundice dan sekitar
50% terjadi splenomegaly ringan sampai sedang. Dua indikator terbaik
untuk menunjukkan adanya proses hemolisis adalah peningkatan kadar
LDH dan penurunan haptoglobin. Kedua indikator tersebut memiliki
sensitivitas sekitar 85% dan spesifisitas haptoglobin 96%. Haptoglobin
memiliki spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan LDH yang hanya
61%. Meskipun DCT merupakan indikator kuat untuk menentukan
AIHA, tetapi hasil DCT yang negatif tidak menyingkirkan adanya
AIHA. Hemolisis yang signifikan dapat terjadi bila jumlah sel darah
merah yang berikatan dengan molekul IgG kurang dari batas deteksi
metode pemeriksaan serologi yang digunakan (<300-400 per eritrosit).
Sebaliknya, DCT dapat positif pada beberapa kondisi tanpa adanya
hemolisis. Sekitar 15% pasien yang dirawat di rumah sakit mempunyai
hasil DCT positif lemah tanpa adanya gejala hemolisis dan 1 dari
1.000-
10.000 donor sehat mempunyai hasil DCT positif. Beberapa kondisi-
kondisi yang dijumpai dengan hasil DCT positif antara lain:
a. Autoimmune hemolytic anemia (tipe hangat, tipe dingin dan
AIHA yang diinduksi oleh obat-obatan).
b. Alloimmune hemolysis (Hemolytic disease of the newborn/
fetus, reaksi transfusi hemolitik, Passive alloantibody transfer,
transplantasi organ).
c. Nonspecific protein uptake (peningkatan kadar globulin plasma,
Drugs that modify red cell membrane).
d. Individu sehat dengan hasil DCT positif (Mijovic, 2012).
Untuk mengkonfirmasi hasil pemeriksaan golongan darah dan
Coombs’ test disarankan untuk melakukan pemeriksaan ulang dengan
memeriksa plasma pasien menggunakan panel sel darah merah dan sel
pasien sendiri. Hasil reaksi semuanya positif atau memberikan pola
“panreactive”. Pemeriksaan serologi untuk mendapatkan darah yang
kompatibel sulit dilakukan sehingga pasien ditransfusi menggunakan
komponen darah yang ”least incompatible” (Mijovic, 2012).
Transfusi pada pasien AIHA bukan merupakan suatu tindakan
tanpa risiko. Pada kasus ini sulit untuk mendapatkan darah yang
kompatibel dan risiko hemolisis oleh autoantibodi sangat besar.
Masalah lain adalah risiko terjadinya overload cairan karena pasien
mengalami kelainan jantung yang disertai anemia berat. Kadar
hemoglobin di bawah 5 g/dl biasanya berasosiasi dengan gejala anemia
berat, khususnya jika proses hemolitik bersifat akut. Hemolitik yang
akut umumnya akan menampilkan klinis hemoglobinuria, mental
confusion, somnolence, fever, nyeri abdomen, nyeri punggung dan
dada. Gejala-gejala tersebut dapat terjadi pada kadar hemoglobin yang
lebih tinggi, khususnya pada pasien usia tua dan pasien dengan
kelainan jantung. Gejala-gejala tersebut mengindikasikan bahwa
transfusi sel darah merah harus segera dilakukan terlepas dari hasil
compatibility tests yang positif. Untuk mengurangi risiko overload dan
gagal jantung, target transfusi adalah pada kadar hemoglobin (Hb) 8
g/dl. Pada sebagian besar pasien, kadar Hb 8 g/dl dianggap mampu
menjaga pengangkutan oksigen ke jaringan. Perhatian lain terkait
pemberian transfusi adalah transfusi diberikan dengan kecepatan
lambat 1 ml/kg/jam (dalam kondisi biasa kecepatan transfusi umumnya
3-5 ml/kg/jam) (Mijovic, 2012).
DAFTAR PUSTAKA

Blaney, K.D., Howard, P.R. 2013. Blood Banking Reagents: Overview


and Applications. Basic&Applied Concepts of Blood Banking
and Transfusion Practices. Third Edition. United States:
Elsevier Mosby. p.28-54.
Chaffin, D. J. 2012. Transfusion Reaction. Blood Bank Guy Podcast.
(serial online), [cited 2016 Jan. 8]. Available from: URL: http:/
www. bbguy.org.
Desai, S.P., Isa-Pratt, S. 2000. Anemia. Clinical’s Guide to Laboratory
Medicine. USA: Lexi-Comp Inc. p.9-151.
Green, R. A. B., Klostermann, D. A. 2012. The Antiglobulin Test.
Blood Groups and Serologic Testing. Modern Blood Banking
& Transfusion Practices 6th Edition. Philadelphia: F.A Davis
company. p. 101-117.
Kresno, S.B. 2011. Kanker dan Sistem Imun. Ilmu Dasar Onkologi
Edisi Kedua. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Hal. 284-312.
Makroo, R.N. 2009. Antiglobulin Test. Practice of Safe Blood
Transfusion Compendium of Transfusion Medicine. New Delhi:
Kongposh. p. 100-105.
Mehdi, S.R. 2013. Antihuman globulin (Coombs’) test. Essentials of
Blood Banking A Handbook for Students of Blood Banking and
Clinical Residents. Second Edition. New Delhi: Jaypee Brothers
Medical Publishers. p. 30-37.
Mijovic, A. 2012. Case 2 Send Another Sample, Please. Transfusion
Medicine Case Studies and Clinical Management. London:
Springer-Verlag. p. 5-7.
Morris, P.G., Swords, R., Sukor, S., Fortune, A., Donnell, D.M.,
Conneally, E. 2008. Autoimmune Hemolytic Anemia Associated
With Ovarian Cancer. Journal of clinical oncology. 17: 4993-
4995.
Powell, V. I. 2016. Blood Group Antigen and Antibodies. NYU
Langone Medical Center.
SIGN. 2005. Management of breast cancer in women A national
clinical guideline. Scottish Intercollegiate Guidelines Network.
Scotland. p.1-42.
Shaz, B.H., Hillyer, C.D. 2009. Autoimmune Hemolytic Anemias.
Transdfusion Medicine and Hemostasis Clinical and Laboratory
Aspect. USA: Elsevier. p.251-258.
SIGN. 2005. Management of breast cancer in women A national
clinical guideline. Scottish Intercollegiate Guidelines
Network. Scotland. p.1-42.
Shaz, B.H., Hillyer, C.D. 2009. Autoimmune Hemolytic
Anemias. Transdfusion Medicine and Hemostasis
Clinical and Laboratory Aspect. USA: Elsevier. p.251-
258.
WHO, 2002. Clinical Transfusion Procedures. The Clinical Use of
Blood Handbook. World Health Organization Blood Transfusion
Safety. Genewa: WHO. p. 37-58.
WHO, 2009. Techniques for Blood Grouping and Compatibility Testing.
Safe Blood and Blood Product. Genewa: WHO. p. 74- 92.
BAB VII
PEMERIKSAAN SKRINING DAN
IDENTIFIKASI ANTIBODI

7.1 Definisi
Deteksi antibodi yang langsung berikatan dengan antigen sel
darah merah merupakan poin yang kritis dalam uji kompatibilitas.
Pemeriksaan tersebut merupakan salah satu upaya untuk mengurangi
terjadinya reaksi transfusi hemolitik. Selain itu, deteksi antibodi juga
membantu mengurangi risiko bayi lahir dengan Hemolytic Disease of
The Fetus and Newborn (HDFN). Pemeriksan skrining dan identifikasi
antibodi adalah suatu pemeriksaan untuk mendeteksi antibodi yang
lebih fokus pada antibodi ireguler atau unexpected antibodies di luar
dari antibodi dalam sistem ABO. Unexpected antibodies merupakan
immune alloantibodies yang diproduksi sebagai respon terhadap
masuknya antigen eritrosit yang distimulasi melalui transfusi,
transplantasi atau kehamilan (Makroo, 2009; Blaney and Howard,
2013; Trudell, 2014).
Skrining dan identifikasi antibodi dapat dilakukan pada pasien,
donor maupun kondisi antenatal. Deteksi dini antibodi dalam serum
ibu dapat membantu dokter anak dalam mengambil keputusan
penanganan bayi pasca dilahirkan termasuk pemberian transfusi tukar
pada neonatus. Jika antibodi yang tidak diharapkan terdeteksi selama
pemeriksaan crossmatch, beberapa strategi penyelesaian dapat
ditempuh tergantung dari fasilitas yang dimiliki oleh Unit Transfusi
Darah (UTD). Jika tersedia fasilitas yang lengkap sangat penting untuk
melakukan skrining dan identifikasi antibodi dengan bantuan sel panel,
selanjutnya pilih unit darah yang tidak mengandung antigen yang
sesuai dengan antibodi yang diidentifikasi. Jika fasilitas skrining dan
identifikasi antibodi tidak tersedia, maka perlu dilakukan pengulangan
crossmatch dengan beberapa donor sampai di dapatkan darah yang
kompatibel (Mehdi, 2013).
Persentase populasi dengan antibodi eritrosit positif sebenarnya
tidak terlalu tinggi. Hanya 0,2-2%. Meskipun demikian, standar
American Association of Blood Bank (AABB) merekomendasikan
untuk melakukan skrining antibodi guna mendeteksi antibodi yang
signifikan bermakna klinis sebagai bagian dari pretransfusion
compatibility testing baik pada sampel donor maupun pasien (Trudell,
2014).

7.2 Tujuan Pemeriksaan


Tujuan pemeriksaan skrining dan identifikasi antibodi adalah
mendeteksi antibodi sel darah merah selain anti-A dan anti-B atau
mendeteksi unexpected antibody yang bermakna secara klinis.
Kondisi- kondisi yang membutuhkan pemeriksaan skrining dan
identifikasi antibodi, antara lain:
1. Pasien yang membutuhkan transfusi,
2. wanita yang sedang hamil atau melahirkan,
3. pasien dengan kecurigaan mengalami reaksi transfusi,
4. individu yang melakukan donor darah (Blaney and Howard,
2013).
Pada pasien yang membutuhkan transfusi, skrining dan
identifikasi antibodi bertujuan untuk memastikan bahwa sel-sel darah
merah yang ditransfusikan bisa bertahan dalam waktu yang lama dan
aman bagi pasien (Saluju and Singal, 2014).

7.3 Prinsip Pemeriksaan


Skrining antibodi akan mengetes serum atau plasma pasien
dengan 2 atau 3 jenis sel panel yang sudah diketahui komposisi
antigenya. Pemeriksaan dilakukan pada beberapa fase antara lain fase
medium salin atau immediate spin, fase enzim pada suhu 37 oC dan
fase Anti Human Globulin (AHG). Apabila serum pasien mengandung
antibodi yang sesuai dengan antigen yang terdapat pada sel panel,
maka akan terjadi aglutinasi atau hemolisis yang mengindikasikan
hasil tes positif. Pada hasil pemeriksaan skrining yang positif,
dilanjutkan dengan pemeriksaan identifikasi antibodi menggunakan sel
panel sekunder yang terdiri dari minimal 10 jenis sel panel yang sudah
diketahui kandungan antigennya.
Reaksi positif pada setiap fase menunjukkan adanya alloantibody atau
autoantibody dalam serum. Fase salin akan mengidentifikasi cold
antibodies (anti-M, anti-N, anti-Lea, anti-Leb, anti-P). Fase enzim akan
mendeteksi anti-Rh, Lewis dan Kidd. Fase AHG mengidentifikasi
antibodi jenis IgG dan komplemen ((Saluju and Singal, 2014).

7.4 Metode Pemeriksaan


Pemeriksaan skrining dan identifikasi antibodi dapat dilakukan
dengan beberapa metode berikut:
a. Metode tabung (tube method),
b. metoge gel (gel method),
c. solid phase adherence method (Trudell, 2014).

7.5 Alat dan Bahan


Peralatan yang dibutuhkan untuk melakukan pemeriksaan
skrining dan identifikasi antibodi disesuaikan dengan jenis metode
pemeriksaan yang digunakan. Peralatan dasar yang dibutuhkan antara
lain tabung reaksi, pipet atau mikropipet, sentrifus dan inkubator.
Untuk pemeriksaan yang menggunakan metode gel dan solid phase
adherence method membutuhkan sentrifus dan ikubator khusus yang
kompatibel dengan plastic card dan microtiter wells.
Bahan untuk pemeriksaan skrining dan identifikasi antibodi
antara lain: sampel pasien, sel panel, reagen Anti Human Globulin
(AHG), larutan salin, enhancement reagent, Coomb’s Control Cells
(CCC).
a. Sampel yang akan diperiksa
Sampel untuk pemeriksaan skrining dan identifikasi antibodi
dapat berupa sampel serum atau plasma. Sampel plasma
umumnya berupa plasma Ethylene Diamine Tetraacetic Acid
(EDTA).
b. Sel panel untuk skrining dan identifikasi antibodi
Ada dua jenis sel panel untuk pemeriksaan skrining dan
identifikasi
antibodi yaitu:
1. Sel panel kecil (panel primer)
Sel panel kecil terdiri atas dua atau tiga kelompok suspensi sel
O 3%, dikenal sebagai OR1R1, OR2R2 dan OR3R3 yang membawa
antigen utama seperti Rhesus, Duffy, Kell, Kidd, MNSs, P dan Lewis.
Sel-sel ini digunakan untuk skrining antibodi (Nance, 2011; Mehdi,
2013). Berikut adalah contoh gambar komposisi sel panel primer.

Gambar 7.1 Contoh komposisi sel panel primer (Trudell, 2014).

Pada gambar di atas terdiri atas 3 sel panel primer dengan


kandungan antigen yang sudah diketahui. Sebagai contoh, sel panel
pertama dengan kode R1R1-29 mengandung antigen Rhesus (D, C, e),
antigen MNS (M, S), antigen Lutheran (Lu b), antigen P1, antigen Lewis
(Lea), antigen Kell (k), antigen Duffy (Fya), dan antigen Kidd (Jka).
2. Sel panel besar (panel sekunder)
Sel panel besar terdiri atas 11 kelompok suspensi sel O 3% yang
dikumpulkan dari donor yang berbeda. Sel-sel ini membawa jumlah
maksimum antigen yaitu D, C, E, c, e, K, k, Fy a, Fyb, S, s, Jka, Jkb, P,
Lea, Leb, Lua dan Lub. Selain tersedia secara komersial, sel panel juga
dapat dibuat di laboratorium. Sel-sel dipilih dengan hati-hati untuk
memudahkan identifikasi adanya dua jenis antibodi dalam satu
individu atau adanya kombinasi antibodi (Mehdi, 2013).

7.6 Prosedur Pemeriksaan


Prosedur pemeriksaan skrining antibodi terus mengalami
perkembangan, tetapi prosedur tunggal untuk mendeteksi semua jenis
antibodi golongan darah belum tersedia. Untuk mengatasi masalah
tersebut sangat perlu untuk mengkombinasi berbagai teknik yang
berbeda sehingga antibodi yang bermakna secara klinis dapat dideteksi.
Beberapa kombinasi teknik pemeriksaan yang umum dilakukan antara
lain:
a. salin test pada suhu ruang
b. enzyme (papain cysteine) techniques pada suhu 37 oC
c. albumin technique pada suhu 37 oC
d. indirect antiglobulin test (Makroo, 2009).
Secara garis besar tahapan pemeriksaan skrining dan identifikasi
antibodi terdiri dari 2 tahapan. Tahap pertama adalah pemeriksaan
skrining antibodi. Pemeriksaan skrining antibodi dilakukan dengan
menggunakan sel panel primer. Pemeriksaan skrining antibodi
umumnya dilakukan dalam 3 fase, yaitu fase medium salin atau
immediate spin, fase enzim pada suhu 37 oC dan fase AHG atau
Indirect Coomb’s Test (ICT). Secara pararel juga dilakukan
pemeriksaan autokontrol dengan mereaksikan sel dan serum dari
individu yang sama. Hasil yang positif ditunjukkan dengan adanya
aglutinasi atau hemolisis. Tahap kedua pemeriksaan adalah melakukan
identifikasi antibodi. Identifikasi antibodi dilakukan bila hasil skrining
positif dan pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan sel panel
sekunder. Sebelum melakukan identifikasi sebaiknya dilakukan
penelusuran terhadap kondisi pasien seperti riwayat pemberian
transfusi, kehamilan dan riwayat pemakaian obat-obatan serta
melakukan pemeriksaan ulang golongan darah ABO, Rhesus dan
Direct Coomb’s Test (DCT). (WHO, 2009; Mehdi, 2013).
Baik pemeriksaan skrining maupun identifikasi antibodi memiliki
tahapan atau prosedur yang sama untuk masing-masing metode.
Hanya berbeda dalam jenis sel panel yang digunakan. Pemeriksaan
skrining antibodi menggunakan sel panel primer sedang identifikasi
menggunakan sel panel sekunder dan identifikasi baru dikerjakan bila
hasil pemeriksaan skrining positif. Berikut adalah ilustrasi prosedur
pemeriksaan skrining dan identifikasi antibodi dengan metode tabung.
Fase Immediate Spin
Fase suhu 37 oC, Fase Anti Human
(bersifat opsional),
lakukan sentrifugasi Globuli (AHG),
lakukan sentrifugasi
untuk melihat ada lakukan sentrifugasi
untuk melihat ada
tidaknya hemolisis untuk melihat ada
tidaknya hemolisis dan
dan aglutinasi tidaknya hemolisis
aglutinasi
dan aglutinasi

2 tetes Tambahkan Cuci 3 kali Tambahkan 2 tetes Konfirmasi hasil


plasma enhancement reagent dengan normal reagen AHG, yang negatif
pasien + 1 (bersifat opsional), salin untuk eritrosit yang dengan
tetes inkubasi 37 oC. Jika ada menghilangkan tersensitisasi akan penambahan
screen cell antibodi maka antibodi yang tidak diikat oleh antibodi coomb’s control
reagent sensitisasi eritrosit akan terikat pada AHG cells
terjadi pada tahap ini

Gambar 7.2 Prosedur pemeriksaan skrining dan identifikasi antibodi dengan metode
tabung (Trudell, 2014).

Ada pun tahapan skrining dan identifikasi antibodi dibedakan


menjadi tiga fase, yaitu:

1. Immediate spin atau fase salin (pada suhu ruang)


a. Siapkan 12 tabung (untuk 11 sel panel, 1 tabung untuk
autokontrol), berikan label pada masing-masing tabung.
b. Teteskan 2 tetes serum pasien ke dalam masing-masing tabung.
c. Tambahkan masing-masing 1 tetes sel panel pada 11 tabung,
tambahkan 1 tetes suspensi sel pasien ke dalam tabung nomor
12.
d. Campur dengan baik dan inkubasi pada suhu ruang selama 1
jam.
e. Lakukan sentrifugasi dengan kecepatan 1000 rpm selama 1
menit.
f. Goyangkan tabung dan baca ada tidaknya hemolisis atau
aglutinasi.
g. Hasil yang negatif sebaiknya dikonfirmasi secara mikroskopis.
h. Catat hasil yang didapat pada kartu sel panel (antigram chart)
yang sudah disiapkan (Mehdi, 2013; Trudell, 2014).
Setelah fase immediate spin, dapat dilakukan penambahan
enahancement reagent atau potentiators. Penambahan tersebut
bertujuan untuk menurunkan zeta potensial disekitar eritrosit sehingga
interaksi antara eritrosit lebih baik dan meningkatkan peluang
terjadinya aglutinasi. Yang termasuk enahancement reagent adalah
albumin 22%, Low Ionic Strength Solution (LISS), dan Polyethylene
glycol (PEG) (McCullough, 2012; Klein and Anstee, 2014; Trudell,
2014).

2. Fase enzim pada suhu 37 oC


a. Tambahkan 1 tetes enzim papain pada masing-masing tabung
pada fase salin.
b. Campur dengan baik dan inkubasi pada suhu 37 oC selama 1
jam.
c. Langkah berikutnya sama dengan fase salin (langkah e-h)
(Mehdi, 2013; Trudell, 2014).

3. Indirect antiglobulin test


a. Lakuan pencucian 3 kali dengan normal salin pada kedua belas
tabung yang digunakan pada fase enzim untuk menghilangkan
antibodi yang tidak terikat.
b. Tambahkan 2 tetes reagen AHG, eritrosit yang tersensitisasi
akan diikat oleh antibodi pada AHG.
c. Langkah berikutnya sama dengan fase salin (langkah e-h).
d. Konfirmasi hasil yang negatif dengan penambahan coomb’s
control cells (Mehdi, 2013; Trudell, 2014).
Tahapan pemeriksaan, IS: fase Immediate spin atau fase salin
Sel panel sekunder, terdiri dari 11
(pada suhu ruang), 37: fase enzim pada suhu 37 oC, AHG: fase
jenis sel panel yang sudah penambahan AHG, CC: penambahan coomb’s control cells
diketahui komposisi antigennya. pada hasil yang negatif

Suspensi sel pasien yang Contoh sel panel nomor 11, Hasil identifikasi antibodi
akan direaksikan dengan mengandung antigen D, C, c, e, dengan 11 sel panel dan
serum atau plasma pasien k, Kpb, Jsb, Fya, Fyb, Jkb, Leb, P1, autokontrol pada 3 fase
sendiri (autokontrol) M, N, S, s, Lub, Xga pemeriksaan

Gambar 7.3 Contoh hasil pemeriksaan identifikasi antibodi (Trudell, 2014).

Pada pemeriksaan skrining dan identifikasi antibodi dengan


metode gel, prosedur pemeriksaan dilakukan pada microtube yang
sudah diisi dengan dextran acrylamide gel. Sel panel yang digunakan
pada metode gel sama dengan metode tabung tetapi sel disuspensi
dalam medium Low Ionic Strength Solution (LISS) pada konsentrasi
0,8%. Dengan teknik ini, sel panel dan serum atau plasma pasien
ditambahkan pada sumuran microtube yang sudah mengandung gel.
Satu plastic card terdiri dari 6 sumuran/gel microtube. Setelah
penambahan sel panel dan serum atau plasma pasien, plastic card
diinkubasi pada suhu 37 oC selama 15 menit sampai 1 jam. Selanjutnya
lakukan sentrifugasi selama 10 menit. Selama sentrifugasi, suspensi sel
darah merah akan turun dan mengendap di dasar gel. Gel mengandung
anti-IgG. Jika sensitisasi terjadi, anti-IgG akan bereaksi dengan
antibodi yang menyelimuti eritrosit sehingga menghasilkan aglutinasi.
Aglutinasi yang terjadi akan terjebak di permukaan gel. Semakin besar
derajat aglutinasi maka
semakin banyak sel yang terjebak dipermukaan gel. Bila aglutinasi
tidak terjadi semua sel akan turun melewati gel dan mengendap di
bagian bawah yang menandakan hasil negatif. Gambar berikut
menunjukkan hasil positif dan negatif.

Aglutinasi
positif Aglutinasi
negatif

Gambar 7.4 Hasil pemeriksaan dengan metode gel (Trudell, 2014).

Ada beberapa keuntungan dari metode gel untuk pemeriksaan


skrining dan identifikasi antibodi antara lain:
a. Sensitivitas lebih tinggi dibandingkan metode tabung,
b. tidak ada tahap pencucian sel dan penambahan Coombs’ control
cells,
c. hasil reaksi stabil sampai 24 jam dan bisa disimpan dalam
bentuk foto atau hasil scan,
d. derajat aglutinasi bisa distandarisasi dan mudah diinterpretasi,
e. reaksi mixed-field terlihat jelas pada metode gel,
f. keuntungan terbesar adalah prosedur pemeriksaan dan
pembacaan hasil bisa dilakukan dengan alat otomatis.
Salah satu kelemahan metode gel adalah membutuhkan
inkubator dan sentrifus khusus yang bisa mengakomodasi gel cards
(Trudell, 2014).
Metode ketiga yang umum digunakan untuk pemeriksaan
skrining dan identifikasi antibodi adalah metode solid phase
adherence. Adapun prinsip pemeriksaan dari metode ini dijelaskan
pada gambar berikut.
Gambar 7.5 Sistem solid phase adherence test (Trudell, 2014).

Gambar A menunjukkan ilustrasi Microtiter wells yang sudah


dilapisi antigen eritrosit. Gambar B menunjukkan antibodi pasien
berikatan dengan antigen eritrosit dalam Microtiter wells. Gambar C
menunjukkan reaksi yang terjadi antara antibodi pasien dan indikator
sel dan hasil akhir yang bisa dilihat adalah sel menyebar pada
Microtiter wells yang menandakan hasil positif. Gambar D
menjelaskan bila tidak ada antibodi pada serum pasien, indikator sel
akan membentuk endapan pada dasar sumuran yang menandakan hasil
negatif (Trudell, 2014).
Pada metode ini antigen eritrosit sudah dilapisi pada microtiter
wells. Serum atau plasma pasien ditambahkan pada masing-masing
sumuran bersama LISS. Dilanjutkan dengan inkubasi pada suhu 37 oC
untuk memberi kesempatan antibodi bereaksi dengan antigen.
Microtiter wells kemudian dicuci untuk menghilangkan antibodi yang
tidak terikat. Berbeda dari reagen AHG tradisional, indikator sel darah
merah sudah dilapisi dengan anti-IgG. Sumuran kemudian
disentrifugasi selama beberapa menit. Jika sensitisasi terjadi, indikator
sel akan bereaksi dengan antibodi yang berikatan dengan antigen yang
telah dilapisi pada Microtiter wells, sehingga membentuk pola
menyebar di dalam sumuran. Berikut adalah ilustrasi prosedur
pemeriksaan skrining dan identifikasi antibodi menggunakan metode
solid phase adherence.
Gambar 7.6 Prosedur pemeriksaan skrining dan identifikasi antibodi menggunakan
metode solid phase adherence (Walker and Harmening, 2012).

Interpretasi hasil dapat dilakukan dengan mengamati pola


penyebaran eritrosit di dalam sumuran. Derajat positif mulai dari 1+
sampai 4+. Berikut adalah gambar yang membandingkan derajat positif
pada hasil pemeriksaan dengan metode tabung dan metode solid phase
adherence.
Gambar 7.7 Perbandingan derajat positif pemeriksaan skrining dan identifikasi antibodi
antara metode tabung dan metode solid phase adherence
(Walker and Harmening, 2012).

Metode solid phase adherence test sudah bisa dikerjakan secara


otomatis baik dari segi langkah-langkah pemeriksaan maupun cara
membaca derajat reaktifnya. Keuntungan lain dari metode ini adalah
jumlah sampel yang dibutuhkan sangat sedikit jika dibandingkan
metode tabung. Jadi, sangat baik untuk kasus-kasus pediatrik. Selain
itu, reagen LISS akan mengalami perubahan warna bila ditambahkan
serum atau plasma sehingga lebih meyakinkan bahwa sampel sudah
ditambahkan. Beberapa kelemahan metode ini adalah membutuhkan
ketelitian dalam pemipetan bila pemeriksaan dilakukan secara manual
mengingat jumlah sampel dan reagen yang dibutuhkan sangat kecil.
Kelemahan selanjutnya adalah perlu ketelitian dalam menginterpretasi
hasil pada alat otomatis jika sampel dalam kondisi hemolisis, ikterik
dan lipemik karena dapat memberikan interferen terhadap hasil. Bila
teknisi sudah terbiasa menggunakan metode tabung, hasil positif pada
metode solid phase adherence sering diinterpretasikan negatif dan
hasil negatif diinterpretasikan positif karena tampilan reaksi pada
metode solid phase adherence terbalik dengan metode tabung.
Kelemahan terakhir dari metode solid phase adherence adalah
membutuhkan peralatan penunjang khusus yang sesuai dengan format
microtiter well seperti incubator, washer dan sentrifus (Trudell, 2014).

7.7 Interpretasi hasil


Aglutinasi atau hemolisis pada pemeriksaan skrining antibodi
menyatakan hasil positif dan mengindikasikan pemeriksaan identifikasi
antibodi perlu dilakukan. Hasil pemeriksaan skrining antibodi dan
autokontrol dapat menjadi petunjuk atau arah bagi pemeriksaan
identifikasi dan resolusi terhadap jenis antibodi yang positif. Beberapa
pertanyaan yang perlu dicarikan jawabannya untuk membantu
interpretasi hasil pemeriksaan skrining dan identifikasi antibodi antara
lain:
a. Pada fase apa reaksi ditemukan positif?
Antibodi kelas IgM umumnya bereaksi pada suhu kamar atau
suhu yang lebih rendah dan mampu menyebabkan aglutinasi
pada eritrosit yang disuspensi pada medium salin (fase
immediate spin). Antibodi kelas IgG bereaksi baik pada fase
AHG. Termasuk antibodi kelas IgM adalah anti-N, anti-I dan
anti-P1. Termasuk antibodi kelas IgG adalah antibodi Rhesus,
Kell, Kidd, Duffy dan Ss. Antibodi Lewis dan antibodi M
termasuk kelas IgG, IgM atau campuran (Friedman et al, 2016).
b. Apakah hasil pemeriksaan autokontrol positif atau negatif?
Autokontrol adalah reaksi antara sel darah merah pasien dengan
serum atau plasmanya sendiri. Hasil skrining antibodi positif,
tetapi autokontrol negatif mengindikasikan adanya alloantibody.
Autokontrol positif menunjukkan adanya autoantibodi. Jika
pasien pernah mendapat transfusi (misalnya 3 bulan
sebelumnya), hasil positif pada autokontrol dapat disebabkan
oleh alloantibody yang menyelimuti sel darah merah donor di
sirkulasi.
c. Apakah hasil positif pada pemeriksaan skrining antibodi lebih
dari satu? Jika iya, pada fase apa memberikan hasil positif?
Pada pasien-pasien dengan multipel antibodi, hasil pemeriksaan
skrining antibodi positif dapat lebih dari satu. Multipel antibodi
umumnya positif pada fase yang berbeda dan adanya
autoantibodi dapat diperkirakan dari hasil autokontrol yang
positif.
d. Apakah terdapat hemolisis atau aglutinasi mixed-field?
Beberapa antibodi seperti anti-Le a, anti-Leb, anti-PP1Pk dan anti-
Vel diketahui dapat menyebabkan hemolisis in vitro. Aglutinasi
mixed-field dapat disebabkan oleh anti-Sda dan antibodi
Lutheran.
e. Apakah sel benar-benar beraglutinasi atau menunjukkan bentukan
rouleaux?
Serum pasien dengan rasio albumin-globulin terbalik (misal
pada pasien multiple myeloma) atau pasien yang mendapat high-
molecular- weight plasma expanders (misal dextran) dapat
menyebabkan agregasi nonspesifik pada eritrosit yang dikenal dengan
rouleaux. Bentukan rouleaux tidak memiliki arti yang bermakna pada
pemeriksaan skrining antibodi tetapi dapat mengecohkan pembentukan
aglutinasi (Trudell, 2014).
Langkah-langkah untuk melakukan interpretasi terhadap hasil
pemeriksaan skrining dan identifikasi antibodi adalah sebagai berikut:
1. Melakukan eksklusi atau rule-out
Langkah pertama untuk melakukan interpretasi hasil
pemeriksaan skrining dan identifikasi antibodi adalah melakukan
eksklusi atau rule out. Eksklusi dilakukan dengan cara mengecek
kembali hasil reaksi yang negatif pada semua fase pemeriksaan.
Teknik rule out dilakukan pada antigen yang diekspesikan secara
homozigot. Hal tersebut untuk
menghindari eksklusi pada antibodi lemah yang kemungkinan baru
dapat memberi hasil positif pada dosis yang lebih besar. Dalam hal
ini yang dimaksud adalah antibodi yang heterozigot sehingga antibodi
yang heterozigot tidak diekslusi. Untuk menentukan suatu antigen
diekspresikan secara homozigot atau heterozigot dapat digunakan
panduan tabel berikut dan gambar berikut.

Tabel 7.1 Contoh fenotif eritrosit dari individu homozigot dan


heterozigot (Trudell, 2014.
Fenotif Jenis antigen Homozigot atau heterozigot
b
Jk (a-b+) Jk Homozigot
a b
Jk (a+b+) Jk dan Jk Heterozigot
Fy (a+b-) Fya Homozigot
Fy (a+b+) Fya dan Fyb Heterozigot
M+N- M Homozigot
M+N+ M danN Heterozigot

Gambar 7.8 Beda gambaran antibodi yang diekspesikan secara homozigot dan
heterozigot (Trudell, 2014).

Berikut adalah contoh hasil pemeriksaan identifikasi antibodi dan


teknik rule out.
Antigen yang tidak Antigen yang dieksklusi, sel panel 2,5,8,9 hasil
dieksklusi, diekspresikan diekspresikan secara negatif pada semua fase,
secara heterozigot homozogot lakukan rule out.

Gambar 7.9 Contoh teknik eksklusi atau rule out pada tahapan interpretasi identifikasi
antibodi (Trudell, 2014).

Sel panel nomor 1,3,4,6,7,10 dan 11 memberikan hasil positif


dan tidak dapat dilakukan eksklusi. Sel nomor 2, 5, 8,9
memberikan hasil negatif pada semua fase pemeriksaan dan
perlu dilakukan rule out. Rule out dilakukan pada antigen
homozigot dengan hasil positif, misalnya dengan memberi tanda
coretan. Pada antibodi yang diekspresikan secara heterozigot dan
memberikan hasil positif tidak dilakukan rule out, misalnya
dengan memberi tanda lingkaran.

2. Tandai atau lingkari jenis antigen yang tidak ada coretan.


Berikut adalah contoh hasil pemeriksaan identifikasi antibodi
dan pemberian tanda jenis antigen yang tidak ada coretan.
Antigen yang tidak ada coretan

Gambar 7.10 Contoh pemberian tanda pada jenis antigen yang tidak ada coretan
setelah tahap rule out (Trudell, 2014).

3. Pertimbangkan jenis antibodi yang mungkin reaktif pada


masing- masing fase pemeriksaan. Pada kasus ini, antibodi
reaktif pada fase AHG. Antibodi yang bereaksi baik pada fase
AHG adalah antibodi kelas IgG. Termasuk antibodi kelas IgG
adalah antibodi Rhesus (D, C, E, c, e. f, V, Cw), Kell (K, k), Kidd
(Jka, Jkb), Duffy (Fya, Fyb), dan Ss.

4. Lakukan teknik inklusi dengan mencocokkan pola reaksi yang


positif pada hasil pemeriksaan dengan pola antigen pada sel
panel. Pada contoh ini reaksi yang sesuai dengan hasil
pemeriksaan adalah pada antigen Fya.
Gambar 7.11 Contoh teknik inklusi (Trudell, 2014).

5. Lakukan pengecekan apakah The 3 and 3 rule atau rule of three


terpenuhi. Artinya minimal ada 3 sel yang positif dan 3 sel yang
negatif pada pola antigen sel panel. Pada contoh ini untuk
antigen Fya ada 7 sel yang positif dan 4 negatif, artinya The 3
and 3 rule terpenuhi.

3 Sel positif

3 Sel negatif

Gambar 7.12 Rule of three terpenuhi (Trudell, 2014).

6. Melakukan uji statistik, untuk memastikan bahwa pola reaksi


yang didapat bukan hanya suatu kebetulan saja. Uji statistik
yang bisa dilakukan adalah The Fischer exact test untuk
menentukan P value (Probability). Nilai P ≤ 0,05 menyatakan
hasil identifikasi valid.
Interpretasi hasil pemeriksaan skrining dan identifikasi antibodi
seharusnya dilakukan dengan langkah-langkah yang logis untuk
memastikan identifikasi sudah dilakukan dengan tepat dan terhindar
dari tidak teridentifikasinya antibodi yang tertutup oleh antibodi lain
(Trudell, 2014).
Derajat positif yang kuat belum tentu mengindikasikan antibodi
signifikan secara klinis. Kekuatan reaksi dapat berhubungan dengan
dosis (sel dengan ekspresi antigen homozigot memberikan reaksi yang
lebih kuat dibandingkan sel dengan ekspresi antigen heterozigot).
Perbedaan kekuatan reaksi juga mengindikasikan ada tidaknya antibodi
yang lebih dari satu. Sel dengan jumlah antigen target lebih dari satu
juga mempunyai kekuatan reaksi yang lebih tinggi dibandingkan sel
dengan antigen target hanya satu (Trudell, 2014).
Reaksi sel tertentu pada satu fase dan sel yang berbeda pada fase
lain mengindikasikan adanya multipel antibodi. Sel yang bereaksi pada
berbagai fase menandakan adanya antibodi dosis rendah. Fase
reaktivitas sangat membantu dalam menentukan apakah suatu antibodi
signifikan bermakna klinis atau tidak. IgM umumnya tidak signifikan
dan paling sering bereaksi pada fase immediate spin. Antibodi
signifikan paling sering terdeteksi pada fase AHG. Beberapa antibodi
seperti D, E, dan K bereaksi pada fase inkubasi 37 oC (Mijovic, 2012;
Trudell, 2014).
Jika alloantibody bersifat tunggal, pola reaktivitas umumnya
sama persis dengan pola antigen yang diekspresikan. Seperti contoh
kasus di atas, reaktivitas serum sama dengan pola Fy a. Serum
memberi hasil yang positif dengan semua sel Fy a positif (1, 3, 4, 6,
7,10, dan 11) dan memberi hasil negatif pada semua sel Fya negatif (2,
5, 8, dan 9). Variasi kekuatan reaksi pada tahap AHG ditentukan oleh
dosis antigen. Semua sel yang menghasilkan reaksi 2+ termasuk Fya
heterozigot dan semua sel yang menghasilkan reaksi 3+ termasuk Fy a
homozigot (Trudel, 2014).
Pada contoh hasil pemeriksaan di atas autokontrol negatif. Hal
ini menandakan bahwa reaksi positif disebabkan oleh alloantibody,
bukan oleh autoantibodi. Kehadiran autoantibodi dapat menutupi
kehadiran alloantibodies, dan mempersulit proses identifikasi antibodi
sehingga diperlukan teknik khusus untk mengatasi masalah tersebut,
misalnya dengan teknik adsorpsi (Trudell, 2014).
7.8 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sensitivitas Skrining
Antibodi
Reagen skrining antibodi didesain untuk mendeteksi sejumlah
antibodi yang signifikan bermakna klinis dan tidak mendeteksi
antibodi yang insignifikan. Pada penggunaan tiga sel panel, hasil yang
negatif pada ketiga sel panel mencerminkan 95% tidak ada antibodi
yang signifikan bermakna klinis. Namun, ada beberapa keterbatasan
dari skrining antibodi. Skrining antibodi tidak akan mendeteksi
antibodi bila titer antibodi sangat rendah, kurang dari batas
kemampuan deteksi metode yang digunakan. Skrining juga tidak dapat
mendeteksi antibodi terhadap antigen dengan prevalensi rendah karena
reagen (sel panel) yang digunakan tidak mengandung antigen tersebut.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi sensitivitas pemeriksaan
skrining antibodi antara lain: rasio sel dan serum, suhu dan phase
reactivity, lama inkubasi dan derajat keasaman (pH) (Trudell, 2014).
Berikut akan dibahas satu persatu faktor-faktor tersebut.

a. Rasio sel dan serum


Jika antibodi pada sampel berlebihan dibandingkan konsentrasi
antigen pada reagen, maka akan terjadi fenomena prozone yang
memberikan dampak hasil negatif palsu. Demikian juga pada kondisi
terbalik, jika antigen yang berlebihan akan terjadi fenomena postzone
yang juga memberikan dampak hasil negatif palsu. Rasio yang ideal
adalah 2 tetes serum ditambahakan 1 tetes suspensi eritrosit sehingga
memberikan zona equivalence. Rasio tersebut dapat berbeda
tergantung jenis metode pemeriksaan yang digunakan. Pada kondisi
tertentu, jika antibodi lemah maka jumlah serum ditingkatkan menjadi
4-10 tetes sehingga lebih banyak antibodi yang bereaksi dengan
antigen (Trudell, 2014).

b. Suhu dan phase reactivity


Suhu optimal dimana antibodi mampu bereaksi dengan antigen
merupakan kondisi yang sangat berguna dalam menentukan identitas
antibodi. Antibodi yang bermakna secara klinis umumnya bereaksi
pada
suhu 37 oC atau bereaksi dengan penambahan reagen AHG. Beberapa
prosedur terkadang tidak menyertakan fase immediate spin atau fase
suhu kamar untuk membatasi terdeteksinya insignificant cold antibody.
Namun, pada kondisi tertentu penting untuk mengidentifikasi antibodi
yang bereaksi pada suhu ruang, hal tersebut dapat dilakukan dengan
melakukan inkubasi pada suhu 18 oC atau suhu 4 oC untuk
meningkatkan reakstivitas (Trudell, 2014). Tabel berikut merangkum
jenis antibodi yang bereaksi optimal pada masing-masing fase
pemeriksaan skrining antibodi.

Tabel 7.2 Jenis antibodi yang bereaksi optimal pada masing-


masing fase pemeriksaan skrining antibodi (Trudell, 2014).

Fase Immediate spin Fase


Fase Inkubasi 37 oC
(suhu ruang) Antiglobulin

Potent cold antibodies


Cold autoantibodies Antibodi
Jenis antibodi (khususnya yang
(I, H, IH) Rhesus
menyebabkan hemolisis)
Beberapawarmantibodies,
Lea, Leb jika titernya tinggi (misal: Kell
D, E, dan K)
M, N Duffy
P1 Kidd
Lua S,s
Lub
Xga
Umumnya IgG, IgM yang
Kelas imunoglobulin IgM IgG
mengaktivasi komplemen
Bermakna secara klinis Tidak Ya Ya

c. Lama inkubasi
Reaksi antigen-antibodi berada dalam keseimbangan yang
dinamis. Jika waktu inkubasi singkat, maka akan sedikit sel darah
merah yang tersensitisasi terdeteksi dengan metode rutin. Jika waktu
inkubasi diperpanjang, maka antibodi yang terikat dapat melepaskan
diri dari sel darah merah. Waktu inkubasi juga ditentukan oleh medium
reaksi. Pada medium salin, waktu yang dibutuhkan dapat berkisar
antara 30 menit
sampai 1 jam, namum pada medium lain waktu inkubasi dapat lebih
singkat, misalnya 10 menit (Trudell, 2014).

d. Derajat keasaman (pH)


Sebagian besar antibodi bereaksi pada pH yang netral yaitu
antara 6,8 – 7,2. Namum beberapa jenis antibodi, misalnya anti-M
bereaksi pada pH 6,5. Pada kondisi tersebut teknik pengasaman dalam
sistem pemeriksaan sangat dibutuhkan untuk membedakan anti-M
dengan jenis antibodi yang lain (Trudell, 2014).

7.9 Penyebab Kesalahan Hasil Pemeriksaan Skrining dan


Identifikasi Antibodi
Beberapa faktor yang menyebabkan hasil positif palsu pada
pemeriksaan skrining dan identifikasi antibodi adalah bentukan
rouleaux, adanya fibrin, kontaminasi sampel, adanya cryoprecipitate
dari sampel yang dibekukan (Blaney and Howard, 2013).
DAFTAR PUSTAKA

Blaney, K.D., Howard, P.R. 2013. Antibody Detection and


Identification. Basic & Applied Conceppts of Blood Banking
and Transfusion Practices Third Edition. . United States:
Elsevier Mosby.p. 158- 187.
Friedman, M. T., West, K. A., Bizargity, P. 2016. Basic Single
Antibody Identification: How Hard Can It Be?.
Immunohematology and Transfusion Medicine A Case Study
Approach. Switzerland : Springer International Publishing.. p. 1-
4.
Klein, H. G., Anstee, D. J. 2014. Blood Grouping Techniques.
Mollison’s Blood Transfusion in Clinical Medicine 12 th Edition.
UK: Wiley- Blackwell. p. 303-347.
McCullough, J. 2012. Laboratory Detection of Blood Groups and
Provision of Red Cells. Transfusion Medicine Third Edition.
UK: Wiley-Blackwell. p. 207-233.
Mehdi, S.R. 2013. Detection and identification of antibodies.
Essentials of Blood Banking A Handbook for Students of Blood
Banking and Clinical Residents. Second Edition. New Delhi:
Jaypee Brothers Medical Publishers. p. 37-44.
Mijovic, A. 2012. Case 8 Dial M for HeMolysis. Transfusion Medicine
Case Studies and Clinical Management. London: Springer-
Verlag. p. 31-34.
Nance, S. 2011. Red Cell Antibody Detection and Identification.
Immunohematology Principle and Practice Third Edition.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.. p. 75-94.
Saluju, G. P., Singal, G. L. 2014. Antibody Screening. Standard
Operating Procedures and Regulatory Guidelines Blood
Banking. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers.. p.
87-90.
Trudell, K.S. 2014. Detection and Identification of Antibodies. In:
Harmening, D.M.Modern Blood Banking & Transfusion
Practices Sixh Edition. United States of America: F. A. Davis
Company. p. 216-240.
WHO, 2009. Detection and identification of antibodies. Safe Blood
and Blood Product. Genewa: WHO. p. 38-44.
INDEK

A
Apheresis 1
Anti Human Globulin (AHG) 2, 69-70, 87, 97, 105, 107, 109, 115, 132
Antiglobulin anti-IgG gel card 2
Antigen ekstra 49
Antigen lemah 49
Antibodi ekstra 49, 55
Antibodi lemah 49
Antenatal care (ANC) 74
Antiglobulin crossmatch
83
Autologous 95
Alloantibody 96, 98, 100, 142-143, 148
Auto immune hemolytic anemia (AIHA) 104, 111, 125
Autoantibody 131
Albumin technique 133
Antigram chart 135

B
C
Crossmatcing 2, 4, 82, 95-101
Compatibility testing 4
Column technique 25, 41-44
Caesarean Section 73, 78-79
Crossmatch mayor 83, 86
Crossmatch minor 83, 86
Coombs control cells (CCC) 87, 112, 132, 136, 138
Computer crossmatch 93-94
Coombs’ test 101, 104-113, 116
Cold Aglutinin Disease (CAD)
124 Cold antibodies 131
D
Direct Antiglobulin Testing (DAT) 2, 105
Discrepancy 47-, 71
Du Phenotype 68-69, 73
Direct Coombs’ test (DCT) 98, 107, 123, 125, 134
Direct Antiglobulin Test (DAT) 104

E
Ethylenediaminetetraacetic acid(EDTA) 9, 41, 85, 132
Emergency 16-18
Enzyme-Linked Antiglobulin Test (ELAT) 118-119
Enhancement reagent 132, 135

F
Forward grouping 5, 19-20, 29-, 56
Fase albumin 87

G
H
I
In vivo 2, 46, 104, 106
Identifikasi pasien 6
Immediate-spin crossmatch 16, 82, 83-86, 93, 96
Imunoglobulin 23-25
In vitro 46, 104, 143
Indirect Coomb’s Test (ICT) 61 , 64, 68, 104, 106, 125, 134
Uji cocok serasi 82
Indirect Antiglobulin Test (IAT) 87, 136
Immediate spin 72, 134-135, 150
Immune alloantibodies 130
Identifikasi antibodi 130-151
J
K
Kontrol kualitas 12
Kalibrasi 12

L
Lipemik 11
Low Ionic Strength Solution (LISS) 47, 90, 114, 117, 137
Low-Ionic Polybrene technique (LIP) 118
Lactic Dehydrogenase (LDH) 123
Least incompatible 124-126

M
Micoplate testing 2, 25, 35-40
Makroskopis sampel 10
Mixed-field 49, 93, 138, 143
Monoclonal 62
Microwell Plate 66, 132
Microplate sentrifuse 66-67
Microplate shaker 66-67
Medium salin 86
Mixed AIHA 123-124
Mean Cells Volume (MCV)
125 Microtiter wells 139-142

N
O
Overtransfusion 125

P
Pretransfusion testing 1
Penampungan sampel 9
Pemisahan serum/plasma 13
Pencucian sel 14
Packed Red Cells (PRC) 17-19, 54, 72,74, 100
pH 46, 151
Polyclonal 62
Partial D 68, 71
Polymerase Chain Reaction (PCR) 71
Plastic card 89-91, 132, 137
Prewarming technique 123, 124
Panreactive126
Potentiators
136
Prozone 149
Postzone 149
Phase reactivity 149

Q
Quality control 12, 13

R
Refrigerated centrifuge 1, 12
Reverse grouping 5, 19-20, 29-32, 56
Reagen 11, 12, 13
Rhesus D negative 60
Rhesus D positif 60
Rh viewbox 61, 63
Rouleaux 97, 143, 151
Role out 143, 145-146
Rule of three 147

S
Slide test 2, 18, 25-29, 54, 56, 61-65
Solid-phase immunoassay 2, 44, 118-119, 132
Solid-phase red cell adherence (SPRCA) 2, 44
Solid-phase protein A 2
Solid-phase enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) 2, 44
Standard Operating Procedures (SPO) 12, 48
Suspensi sel 14
Serologic crossmatch 83
Skrining antibodi 130-151
Sel panel 132-133
Solid phase adherence 139-142

T
Tube test 2, 19, 25, 29-35, 54, 56, 61-65, 88, 107, 132
Titer antibodi 75-78
The gel low ionic antiglobulin test (GLIAT) 119
The 3 and 3 rule 147

U
Unexpected allogeneic antibodies 4, 130
Umur sampel 10
Uji validasi 15
Uncross-matched blood 16-17
Unit Transfusi Darah (UTD) 19, 130

V
W
Word Health Organization (WHO) 5, 15
Weak D 61, 68-69, 71-74
Warm AIHA 124
Wash Red Cells (WRC) 124
White Blood Cells (WBC) 125

X
Y
Z
Zeta Potensial 46

Anda mungkin juga menyukai