Anda di halaman 1dari 12

APABILA BATAL SESUATU MAKA BATAL JUGA APA-APA YANG MENJADI

TANGGUNGANNYA DAN APA-APA YANG DIBANGUN ATASNYA

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Qawaid Fiqhiyyah

Dosen pengampu: Dr. H. Edy Setyawan, Lc., MA

Disusun Oleh:

Siti Fitria : 2008201108

HUKUM KELUARGA ISLAM 3 C

FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM

IAIN SYEKH NURJATI CIREBON

2021
KATA PENGANTAR

Tak ada kata yang indah saya ucapkan selain “Alhamdulillah”. puji serta syukur
terpanjatkan selalu kepada Allah SWT yang telah memberikan nikmat yang tak terhitung,
Yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Penulis bersyukur
kepada Allah SWT atas waktu, kesempatan dan kekuatan yang di berikan-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun dengan baik. segala pujian hanyalah bagi Allah SWT.

Sholawat beriring salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada utusan Allah,
baginda kita, Nabi agung Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari zaman
kegelapan hingga zaman yang terang benderang, dari zaman kebodohan hingga kepada
zaman yang serba canggih seperti sekarang ini.

Dalam program sebagai tugas UTS mata kuliah Qawaid Fiqhiyyah ini yaitu
pembuatan makalah yang mana bertujuan untuk pengenalan bagi kami sebagai
mahasiswa, Kami yakin dengan tugas UTS ini dapat bermanfaaat bagi kami dan sebagai
pelajaran di masa yang akan datang.

Cirebon, 30 Oktober 2021

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................... ................... i

DAFTAR ISI ..................................................................................... ................... ii

BAB I. PENDAHULUAN ..................................................................................... 3

1.1 Latar Belakang ............................................................................ ................... 3


1.2 Ruang lingkup permasalahan ....................................................... ................... 5
1.3 Maksud Dan Tujuan..................................................................... ................... 5

1.4 Metodologi penelitian ................................................................. ................... 5

1.5 Sistematika penulisan................................................................... ................... 6

1.6 Biografi Singkat Peneliti .............................................................. ................... 6

BAB II. PEMBAHASAN ...................................................................................... 7

2.1 Sumber Qaidahnya, baik dari dalil al-Qur’an maupun Hadis Rasulullah saw .... 7

2.2 Makna Qaidah dan penjelasannya ................................................ ................... 8

2.3 Berilah contoh aplikasinya dalam Fikih Muamalah ...................... ................... 9

BAB III. PENUTUPAN ....................................................................................... 11

3.1 Kesimpulan ............................................................................................. 11

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 12

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Perkawinan dapat dibatalkan, apabila :


1. Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum
(Pasal 27 UU No. 1 Tahun 1974).
2. Salah satu pihak memalsukan identitas dirinya (Pasal 27 UU No. 1
Tahun 1974). Identitas palsu misalnya tentang status, usia atau agama.
3. Suami/istri yang masih mempunyai ikatan perkawinan melakukan
perkawinan tanpa seijin dan sepengetahuan pihak lainnya (Pasal 24 UU
No. 1 Tahun 1974).
4. Perkawinan yang tidak sesuai dengan syarat-syarat perkawinan (Pasal 22
UU No. 1 Tahun 1974).
Kemudian akibat dari pembatalan perkawinan itu sendiri, ada beberapa hal yang tidak
berlaku surut atas putusan pengadilan mengenai batalnya suatu perkawinan seperti yang
dibahas dalam UU No.1/1974 pasal 28 ayat (2) sebagai berikut :
a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
b. Suami atau isteri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap
harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya
perkawinan lain.
c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang
mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan
tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Sedangkan pembatalan perkawinan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 85


berlaku asas pokok, bahwa tiada suatu perkawinan menjadi batal karena hukum, “pernyataan
batal” suatu perkawinan yang bertentangan dengan undang-undang disyaratkan adanya

3
keputusan pengadilan. Keputusan yang demikian hanya boleh dijatuhkan dalam hal-hal yang
diatur oleh undang-undang dan atas gugatan orang-orang yang dinyatakan berwenang untuk itu
dan untuk kedudukan anak dalam pembatalan perkawinan menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata adalah merupakan tetap anak yang sah dari orang tua yang membatalkan
perkawinan tersebut. Pada pasal 95 KUHPerdata, suatu perkawinan, walaupun telah dinyatakan
batal, mempunyai segala akibat perdatanya, baik terhadap suamiistri, maupun terhadap anak-
anak mereka, bila perkawinan itu dilangsungkan dengan itikad baik oleh kedua suami-istri itu.

1
Dalam pasal tersebut di atas intinya menyebutkan bahwa putusan pembatalan perkawinan tidak
berlaku surut terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Jadi walaupun perkawinan
kedua orangtuanya oleh pengadilan telah diputuskan dibatalkan, akan tetapi putusan pengadilan
tidak mempengaruhi kedudukan anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut dan mereka
tetap dianggap anak sah yang dilahirkan dari suatu perkawinan yang sah.

Berdasarkan hal tersebut dapat diartikan bahwa kekuasaan orang tua hanya berlaku selama
mereka hidup dalam perkawinan, tetapi dalam Pasal 45 (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa kewajiban orangtua berlaku terus sampai anak
mencapai kedewasaan meskipun perkawinan antara kedua orangtuanya putus. Selain itu dalam
Pasal 298 (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ditentukan bahwa orangtua wajib
memelihara dan mendidik anak mereka yang belum dewasa.2

1 Soetojo Prawirohamidjojo 2006. Pluralisme dalam perundang-undangan perkawinan di


Indonesia. Airlangga University Press. Hal. 73
2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ibid., hal 546
4
1.2 Ruang Lingkup Permasalahan
1. Apa sumber qaidahnya, baik dari dalil al-qur’an maupun hadis rasulullah saw ?
2. Apa makna qaidah dan penjelasannya ?
3. Apa contoh aplikasinya dalam Fikih Muamalah ?
4. Mengapa pemalsuan identitas dilakukan oleh calon mempelai ?
5. Apa pertimbangan hakim dikabulkannya permohonan pembatalan perkawinan ?

1.3. Maksud dan Tujuan

1. Untuk mengetahui qaidah, dan dalil al-quran maupun hadis rasulullah saw
2. Untuk mengetahui qaidah dan penjelasannya
3. Untuk mengetahui contoh aplikasinnya dalam fiqh muamalah

1.4 Metodologi Penelitian


Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis
normatif dan sosiologis. Sehingga dengan menggunakan metode ini akan menjadi acuan dalam
penelitian, dan untuk menganalisis suatu permasalahan dengan menggunakan ketentuan-
ketentuan hukum yang berkaitan dengan pembatalan perkawinan.

1.5 Sistematika penulisan


Bab I adalah Pendahuluan yang berisikan tentang latar belakang masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian.
Bab II adalah Tinjauan Pustaka yang akan menguraikan tentang pembahasan tentang yang
berkaitan dengan pembatalan perkawinan.
Bab III adalah Hasil Pembahasan yang menguraikan kesimpulan

1.6 Biografi singkat peneliti


Nama : Siti Fitria

5
Nim : 2008201108
Jurusan / kelas : HKI 3C
TTL : Cirebon, 13 desember 2001
Email : sitifitriaaa13@gmail.com
No HP : 089510777632

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Sumber Qaidahnya, baik dari dalil al-Qur’an maupun Hadis Rasulullah saw
Dalam kaidah Ad-Dhararu Yuza-lu menunjukkan bahwa kemadharatan itutelah terjadi atau akan
terjadi, dengan demikian setiap kemadharatan memang harus dihilangkan. Berda-sarkan
permasalahan yang terjadi dalam pembahasan penulis yakni dengan cara penipuan atau
pemalsuan dari salah satu pihak menimbulkan kemadharatan terhadap pihak lain, sehingga
kemadharatan ini haruslah dihilangkan. Dalam hal ini Allah SWT firman dalam surat Al-A’raf
ayat 56 :

‫ط َمعًا خ َْوفًا َوادْعُ ْواهُ اِص ََْلحِ َها بَ ْع ادَ ْالَ ْر ِ ا‬


‫ض فِى ت ُ ْف ِسد ُْوا َو َلا‬ َ ‫ِن َّو‬ ‫ْال ُم ْح ِسنِيْنَا ِِّمنَا قَ ِريْبا ٰا‬
‫ّللاِ َر ْح َامتَا ا َّا‬

Artinnya : Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah)
memperbaikinya dan berdoalah kepadanya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan
(akan dikabulkan). Sesung-guhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat
baik.

Dengan demikian, cara menjaga diri dari kehancuran atau posisi yang sangat mudharat sekali,
maka dalam keadaan seperti ini kemudharatan itu membolehkan sesuatu yang dilarang.
Berdasarkan menurut para ulama bahwa dharar adalah kesulitan yang sangatmenentukan
eksistensi manusia, jika tidak diselesaikan maka akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta
kehormatan manusia. Para ulama fiqih membuat kaidah-kaidah umum (prinsip-prinsip syari’ah)
yang bersumber dari al-Qur’an dan hadits untuk memudahkan manusia dalam menjalankan
6
hukum yang dibebankan oleh Allah, secara garis besar dapat dikelompokkan kepada dua bagian
yaitu:menolak kerusakan dan Menghilangkan kesulitan 3

Para ulama menurunkan beberapa prinsip diantaranya :

1. Wajib menolak kerusakan sebelum ia terjadi, dengan segala cara yang memungkinkan.
2. Wajib meng-hilangkan kerusakan setelah terjadi.4
3. Tidak diperbolehkan menghilangkan sebuah kerusakan dengan mendatangkan kerusakan
yang sama.
4. Kerusakan yang lebih berat boleh dihilangkan dengan mendatangkan kerusakan yang
lebih ringan.
5. Keterpaksaan itu tidak boleh membatalkan hak orang lain.
6. Menolak kerusakan itu lebih utama daripada menarik kemanfaatan.

Dengan demikian, terjadinya pembatalan perkawinan memiliki kaitan dengan kaidah ‚ Ad-
Dhararu Yuzalu‛suatu kemudharatan atau kesulitan yang harus dihilangkan. Jadi, hak bagi setiap
manusia yakni harus dijauhkan dari idhrar(tindakan menyakiti), baik oleh dirinya sendiri maupun
orang lain, dan tidak se-mestinya ia menimbulkan bahaya (menyakiti) pada orang lain. Dan
apabila kemudharatan atau kesulitan itu sudah bisa diatasi bahkan dihi-langkan maka manusia
akan merasa hidup merdeka, nyaman dan tentram.

2.2 Makna Qaidah dan penjelasannya


Pembatalan Perkawinan juga bisa karena adannya Kawin Paksa (Studi Putusan Hakim
Pengadilan Agama Arga Makmur Tahun 2012/2013), dapat disimpulkan sebagai berikut :
Aspek yuridis dan pertimbangan serta dasar hukum Pengadilan Agama Arga Makmur tentang
perkara pembatalan perkawinan karena kawin paksa,yakni sangat sesuai dengan hukum
berlaku,baik itu Kompilasi Hukum Islam atau Undang-Undang 1Tahun1974 tentang
perkawinan,dengan melihat bukti-bukti, mendengar keterangan kedua belah pihak dan Putusan
disertai dengan alasan-alasan hukum. Hakim juga menggunakan Kompilasi Hukum Islam Pasal
71 huruf (f) yang menyatakan, “Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila Perkawinan yang

3 Muchlis Usman,Op, cit,h. 140


4 Abdurrahman dan Riduan Syahrani, Masalah-masalah Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung, Alumni, 1978.
7
dilaksanakan dengan paksaan”, dan Undang-Undang 1 Tahun1974 tentang perkawinan pasal 27
ayat 1 yakni “Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan
apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum”.Kawin paksa
dalam hukum Islam tidak dibenarkan hal ini dapat di lihat dari dalil nash baik dalam al-Qur’an
maupun hadits, dan ijma’ ulama. Rasulullah menetapkan suatu ketetapan hukum tentang
keberadaan hak seorang wanita dalam menentukan pasangan hidupnya, serta membatalkan
hukum suatu perkawinan yang dilandasi oleh pemaksaan dan keterpaksaan meskipun yang
memaksa dalam hal ini adalah seorang ayah. Abu Hanifah dan para pengikutnya menetapkan:
ayah tidak boleh memaksa anak putri yang sudah dewasa untuk menikah dengan seseorang, ayah
atau wali wajib merundingkan masalah perkawinan itu dengan anak putrinya, kalau putrinya itu
mau maka akad nikanya sah, tetapai kalau putrinya tidak mau maka tidak sah akad nikah itu.
Majelis hakim dalam menjatuhkan putusan perkara cerai talak karena adanya kawin paksa yaitu
mengacu pada Pasal 1 undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Pasal 3
Kompilasi Hukum Islam, Al-Qur’an Surat Ar-Rum ayat 21, dan pasal 19 huruf f Peraturan
Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 junto Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam.

2.3 Contoh Aplikasinya

Suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan jika perkawinan
dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum, Apabila ancaman telah berhenti dan
dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak
menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.

Alasan Perceraian

Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:


a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya
yang sukar disembuhkan;
b. salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin
pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

8
c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat
setelah perkawinan berlangsung.
d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak
yang lain.
e. salah satu pih5ak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.6
f. antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
g. suami melanggar taklik-talak.
h. peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah
tangga.

Sebagai contoh, dalam Putusan Pengadilan Agama Wonosobo Nomor:


1175/Pdt.G/2011/PA.Wsb., Pemohon mengajukan permohonan pembatalan nikah karena
pernikahan antara Pemohon dan Termohon terjadi karena dijodohkan oleh orangtua Pemohon
dan dipaksa untuk segera menikah. Pemohon menyebutkan bahwa ia tidak mengenal Termohon
secara baik sehingga Pemohon tidak mencintai Termohon. Pemohon mau menikah dengan
Termohon karena rasa takut dan ingin mengabdi kepada orangtua Pemohon. Setelah menikah
Pemohon dan Termohon tinggal bersama di rumah orangtua Termohon selama 2 minggu,
kemudian pisah sampai sekarang (saat permohonan ini) sudah 1 tahun. Atas permohonan
tersebut, Hakim memutuskan mengabulkan permohonan Pemohon dan membatalkan pernikahan
Pemohon dan Termohon.

Contoh lain adalah Putusan Pengadilan Agama Arga Makmur Nomor


0116/Pdt.G/2014/PA.AGM, dimana Pemohon mengajukan permohonan pembatalan nikah
karena pernikahan tersebut terlaksana atas paksaan dan ancaman dari pihak keluarga Termohon,
yang mana pihak keluarga Termohon mengancam akan melaporkan Pemohon ke pihak
kepolisian atas tuduhan bahwa Pemohon telah melakukan hubungan sebagaimana layaknya

5 AL-SYAKHSHIYYAH: Jurnal Hukum Keluarga Islam dan Kemanusiaan


p-ISSN 2685-3248; e-ISSN 2685-5887
Vol. 2; No. 2;
Desember 2020
6 Abdul Azis Dahlan, Ensilopedi Hukum Islam, Jakarta, Ikhtiar Baru, 2003.
9
suami isteri terhadap Termohon, padahal tuduhan tersebut tidak pernah Pemohon lakukan. Akan
tetapi, berdasarkan keterangan saksi-saksi yang ada, tidak ada paksaan, sehingga Hakim
memutuskan tidak menolak permohonan Pemohon.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Dalam hukum Islam pembatalan perkawinan dapat terjadi karena dua hal, yaitu: terdapat
hal-hal yang membatalkan aqad nikah yang dilaksanakan; Serta, terdapat hal baru yang
dialami sesudah aqad nikah terjadi dan hubungan perkawinan sementara berlangsung.

2. Konsekuensi hukum dari pembatalan perkawinan yaitu: berakibat terhadap anak;


terhadap harta yang diperoleh selama perkawinan; terhadap pihak ketiga.

3. faktor-faktor yang mempe-ngaruhi pembatalan perkawinan adalah faktor internal dan


faktor eksternal, antara lain sebagai berikut: Faktor internal adalah sesuatu yang berasal
dari dalam perkawinan itu sendiri hal ini suami sebagai Pemohon pembatalan perkawinan
dan istri sebagai Termohon yang disebabkan memalsukan identitas, mengaku masih gadis
belum pernah menikah tetapi sebenarnya sudah pernah menikah dengan laki-laki lain.
Pemohon pun merasa tertipu dan salah sangka.

4. Adapun faktor eksternal adalah sesuatu atau sebab yang berasal dari luar perkawinan
tersebut dimana seorang kakak yang me-ngajukan pembatalan perkawinan adiknya,
berkedudukan sebagai Pemohon dan sang adik sebagai (Termohon II)dan suami
(Termohon I) hal ini dikarenakan memalsukan identitas dan wali yang tidak berhak
menikahkan. Kedua, Manfaat atau akibat dari adanya pembatalan perka-winan adalah

10
untuk melindungi hak individu (pelaku) yang melakukan perkawinan dan Menghilangkan
ke-madharatan dan mendorong kemas-lahatan pada aspek menjaga akal dan kehidupan
seseorang dari pihak yang bertindak tidak adil.

DAFTAR PUSTAKA

Soetojo Prawirohamidjojo 2006. Pluralisme dalam perundang-undangan perkawinan di


Indonesia. Airlangga University Press. Hal. 73

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ibid., hal 546

Muchlis Usman,Op, cit,h. 140

Abdurrahman dan Riduan Syahrani, Masalah-masalah Hukum Perkawinan di Indonesia,


Bandung, Alumni, 1978.

AL-SYAKHSHIYYAH: Jurnal Hukum Keluarga Islam dan Kemanusiaan


p-ISSN 2685-3248; e-ISSN 2685-5887
Vol. 2; No. 2;
Desember 2020

Abdul Azis Dahlan, Ensilopedi Hukum Islam, Jakarta, Ikhtiar Baru, 2003.

11

Anda mungkin juga menyukai