Anda di halaman 1dari 28

PENDIDIKAN ISLAM BERBASIS MULTIKULTURAL

Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Isu-Isu
Aktual Dalam Pendidikan
Disusun Oleh:

PAI- 1&2/ Semester VII


Kelompok: 7

Azhari Munthe NIM 0301183230

Emmi Yusrah Hasibuan NIM 0301181045

Fitri Zakiyah Sagala NIM 0301181053

Mulya Hasby NIM 0301183273

Nurul Afdina Siregar NIM 0301182180

Roma Illan Siregar NIM 0301182194

Dosen Pengampu:

Dr. Mohammad al-Farabi, M.Ag

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA MEDAN
2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Alhamdulillah puji syukur kami ucapkan atas khadirat Allah swt. dimana masih
memberikan kita semua kesehatan terutama kepada penulis, sehingga dapat
menyelesaikan makalah tentang “Pendidikan Islam Berbasis Multikultural” guna untuk
memenuhi salah satu tugas dari Mata Kuliah Isu-Isu Aktual Dalam Pendidikan.

Makalah ini kami buat dan kami susun dengan usaha yang maksimal. Terlepas
dari semua itu, kami mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak yang telah
membantu dalam pembuatan makalah ini, terutama kepada rekan-rekan sekelompok
yang sudah ikut andil dalam hal waktu, tenaga dan fikiran sehingga tugas ini dapat
terselesaikan.

Terlepas dari semua itu, kami juga menyadari masih banyak kekurangan dalam
penulisan makalah ini. Mungkin dari segi bahasa, susunan kalimat atau hal yang lainnya.
Untuk itu, kritik dan saran yang konstruktif kami harapkan guna untuk perbaikan
makalah-makalah kami selanjutnya. Dan semoga makalah ini dapat bermanfat bagi
pembaca sekalian. Akhir kata kami ucapkan terima kasih atas segala perhatiannya.

Medan, 24 Oktober 2021


Penulis,

Kelompok VII

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................i

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

A. Latar Belakang .................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ............................................................................................... 2

C. Tujuan Penulisan ................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 3

A. Ragam Problematika Pendidikan Multikultural di Indonesia ............................. 3

B. Ragam Solusi Saat ini Terhadap Problematika Tersebut .................................. 12

C. Analisis Terhadap Solusi Saat ini dan Tawaran Solusi Lain ............................. 14

BAB III PENUTUP .............................................................................................. 22

A. Kesimpulan ....................................................................................................... 22

B. Saran ............................................................................................................... 22

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 23

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan Multikultural merupakan isu sangat strategis dan penting untuk
dibahas karena sebuah bangsa lahir dari multikultural, sehingga pengelolaan
pendidikan multikultural atau keanekaragaman budaya menjadi pendorong bagi
perkembangan dan kebaikan sebuah bangsa. Pendidikan multikultural adalah
sebuah konsep yang dibuat dengan tujuan untuk menciptakan persamaan peluang
pendidikan bagi semua siswa yang berbeda-beda ras, etnis,kelas sosial dan
kelompok budaya, serta untuk membantu semua siswa agar memperoleh
pengetahuan,sikap dan keterampilan yang diperlukan dalam menjalankan peran-
peran seefektif mungkin pada masyarakat demokratik-pluralistik serta diperlukan
untuk berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi dengan warga dari kelompok
beragam agar tercipta sebuah tatanan masyarakat bermoral yang berjalan untuk
kebaikan bersama.Melalui pendidikan multikultural, peserta didik diharapkan
memiliki kompetensi yang baik, bersikap dan menerapkan nilai-nilai demokratis,
humanisme disekolah dan di luar sekolah.
Terkait dengan pendidikan multikutural, Islam memandang bahwa, subtansi
“multikultural” bukanlah hal yang baru. Esensi multikultural yang menghendaki
pengakuan dan penghormatan terhadap orang lain yang berbeda ras, suku, bahasa,
adat istiadat, bahkan agama sekalipun, sebagaimana Islam menegaskan bahwa
keaneragaman manusia (jenis kelamin, suku, bangsa, dll) dalam kehidupan adalah
sunnatullah atau alamiah sebagaimana yang terurai di dalam Qs. Al-Hujurat 49:13
ۤ
ٰ ‫ٰوقَبَا ِٕى َلٰلِتَ َع َارفُ ْوآٰٰاِ َّنٰاَ ْكَرَم ُك ْم‬
ِٰ‫ٰعِنْ َدٰاّلل‬ َّ ‫ٰشعُ ْواًب‬
ُ ‫ىٰو َج َعلْن ُك ْم‬ ِ
َ ‫َّٰخلَ ْقن ُك ْمٰم ْنٰذَ َك ٍر َّٰواُنْث‬
ِ ‫يٰٓاَيُّهاٰالن‬
َ ‫َّاسٰاَّن‬
ُ َ
ِ ‫اَتْ قى ُكمٰٓاِ َّنٰاّلل‬
ٌ‫ٰخبِْٰي‬
َ ‫ٰعلْي ٌم‬
ََ ْ
Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang
paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.
Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.
Dalam ayat ini paling tidak bisa diketahui dengan keragaman manusia

1
tersebut, manusia di harapkan mampu menciptakan kedamaian dengan saling
mengenal dan berlomba dalam kebaikan. Fakta ayat ini menyebutkan bahwa Islam
memperkokoh toleransi dan memberikan aspirasi terhadap multikultural, dan
menegaskan terdapat hubungan yang kuat antara nilai-nilai (agama) dalam
kebangsaan dengan dilandasi semangat humanitas dan universalitas Islam.
Namun, Pendidikan Multikultural masih menuai pemahaman yang berbeda-
beda di ‘pikiran’ masyarakat, sehingga masalah dalam pendidikan multikultural
masih saja menjadi pembahasan yang belum terselesaikan hingga sekarang ini.
Maka dari itu, berdasarkan latar belakang tersebut selanjutnya uraian
paragraf di bawah ini akan menjelaskan lebih lanjut mengenai Pendidikan Islam
Berbasis Multikultural
B. Rumusan Masalah

1. Apa saja ragam problematika pendidikan multikultural di Indonesia?

2. Apa saja ragam solusi saat ini terhadap problematika tersebut;?

3. Bagaimana analisis terhadap solusi saat ini dan tawaran solusi lain?

C. Tujuan Penulisan
4. Untuk mengetahui ragam problematika pendidikan multikultural di Indonesia.
5. Untuk mengetahui ragam solusi saat ini terhadap problematika tersebut.
6. Untuk mengetahui fenomena analisis terhadap solusi saat ini dan tawaran
solusi lain.

BAB II

PEMBAHASAN

2
A. Ragam Problematika Pendidikan Multikultural di Indonesia
1. Konsep Pendidikan Multikultural
Pendidikan multikultural telah didefinisikan dalam banyak pandangan dan
banyak latar belakang bidang keilmuan seperti antropologi, sosilogi, filsafat, dan
psikologi. Pendidikan multikultural lahir karena permasalahan manusia yang
ditindas hanya karena perbedaan. Pendidikan multikultural itu sangat memuliakan
manusia karena memandang semua manusia setara, dapat bekerjasama dan saling
menghormati walaupun kita berbeda budaya, ras, etnis, agama, jenis kelamin, dan
cara pandang.
James A. Banks mendefinisikan pendidikan multikultural adalah sebuah
ide, Banks menyatakan bahwa semua siswa, tanpa memandang gender, kelas sosial,
etins, ras, atau budaya harus memiliki kesempatan yang sama untuk belajar.
Argumen Banks tentang hal ini adalah beberapa siswa, karena ras, jenis kelamin,
atau kelas sosial, memiliki kesempatan yang lebih baik untuk belajar di sekolah
daripada siswa yang menjadi anggota kelompok lain yang memiliki karaktersitik
budaya yang berbeda.1
Kebutuhan pendidikan multikultural muncul dari tekanan pertemuan lintas
budaya karena kita hidup di era global, di mana hambatan, ras, etnis, jarak, dan
peradaban terus runtuh. Domnwachukwu mendefinisikan multikultural pendidikan
sebagai proses pendidikan atau strategi yang melibatkan lebih dari satu budaya,
seperti bahasa, etnis, atau ras. Definisi ini dipandang sebagai upaya untuk
menciptakan kesadaran dan toleransi antar budaya dan relasi dunia. Dewan
reformasi pendidikan Taiwan mengatakan, gagasan pendidikan multikultural
merupakan pengakuan nilai-nilai nividu dan pengembangan potensi individu
sehingga individu mampu menghargai budaya etnis mereka sendiri serta
menghargai budaya etnis mereka sendiri serta menghargai kebudayaan kelompok
etnis lainnya di seluruh dunia.2
2. Pendidikan Multikultural di Indonesia
Pendidikan multikultural di Inonesia sudah melalui jalan panjang dan
bergamam tahapan. Kehadiran pendidikan multikultural di Indonesia tidak berada

1
Murniati Agustian, Pendidikan Multikultural, (Jakarta:Universitas Katolik Indonesia
Atma Jaya,2019), h. 8
2
Ibid., h. 9

3
diruang hampa. Kehadiran pendidikan multikultural ditengah-tengah masyarakat
sejalan dengan gelombang perubahan struksur social dan politik masyarakat. 3
Implementasi pendidikan multikultural di berbagai negara berbeda-beda.
Bila melihat salah satu contoh pendidikan multikultural di Amerika, sebagaimana
dikutip oleh Tilaar dari hasil penelitian Banks, implementasi pendidikan
multikultural di Amerika meliputi berbagai dimensi, yakni; (1) Dimensi
Kurikum;(2) Dimensi ilmu pengetahuan; (3) Perlakuan pembelajaran yang adil,
yakni bahwa perlakuan dalam pembelajaran harus disampaikan secara fair dan adil,
tanpa membedakan perlakuan terhadap mereka yang berasal dari etnik tertentu, atau
dari strata ekonomi tertentu;(4) Pemberdayaan budaya sekolah, yakni bahwa
lingkungan sekolah sebagai hidden curriculum, harus memberi dukungan terhadap
pengembangan dan pembinaan multikultural, baik dalam penyediaan fasilitas
belajar, fasilitas ibadah, layanan adminisitrasi maupun berbagai layanan lainnya.4
Dengan mengutip pengalaman Amerika, prosedur yang harus ditempuh
dalam implementasi pendidikan multikultural di Indonesia adalah, penyiapan
kurikulum, yakni menyisipkan berbagai kompetensi yang harus dimiliki siswa
tentang multikultural pada mata pelajaran yang relevan, karena multikultural baru
sebuah gerakan dan belum menjadi sebuah ilmu yang komprehensif. Kemudian,
diikuti dengan perumusan berbagai materi yang sesuai dengan kompetensi yang
hendak dicapai, dan diikuti dengan rumusan proses pembelajaran yang lebih
memberikan peluang bagi para siswa untuk pembinaan dan pengembangan sikap,
di samping pengetahuan dan keterampilan sosial yang terkait dengan upaya
pengembangan sikap multikulturalistik. Indonesia sendiri belum memiliki
pengalaman pendidikan multikultural yang terdesain secara terencana, karena
belum ada pengalaman yang dikontrol dalam sebuah penelitian akademik. Akan
tetapi, jika mengutip Will Kymlicka, yang mencoba mendeskripsikan
Multicultural Citizenship, pengalaman di Amerika Utara, maka materi-
materi yang seharusnya dihantarkan dalam pendidikan multikulural adalah sebagai
berikut; (1) Tentang hak-hak individual dan hak-hak kolektif dari setiap anggota

3
Okta Hadi Nurcahyono, Pendidikan Multikultural di Indonesia:Analisis Sinkronisasi dan
Diakronis, Habits Jurnal Pendidikan, Sosiologi dan Antropologi, Vol. 2, No. 1, Maret 2018. h. 13
4
Dede Rosyada, Pendidikan Multikultural di Indonesia Sebuah Pandangan
Konsepsional,Jurnal Sosio Didaktika, Vol. 1, No. 1, Mei 2004, h. 12

4
masyarakat, yakni setiap individu dari suatu bangsa memiliki hak yang sama untuk
terpenuhi seluruh hak-hak asasi kemanusiaannya, seperti hak untuk memeluk
sebuah agama, hak untuk memperoleh kehidupan yang layak, hak atas kesempatan
berusaha dan yang sebangsanya. Demikian pula, secara kolektif, walaupun mereka
berasal dari kelompok etnik minoritas dan tidak memiliki perwakilan dalam
birokrasi dan lembaga legislatif, tapi mereka memiliki hak yang sama dengan
kelompok mayoritas untuk menyampaikan aspirasi politiknya, mengembangkan
budayanya, dan yang sebagainya.5
Lebih dari itu, Indonesia bukan berarti semena-mena mengadopsi secara
‘mentah’ konsep Pendidikan Multikultural di Amerika, karena sejatinya istilah
‘Multikultural’ itu sendiri sudah melekat pada bangsa Indonesia sebelum Amerika
menggalakkan Pendidikan Multikultural di Negaranya. Hanya saja wacana
multikulturalisme dalam konteks Indonesia menemukan momentumnya ketika ada
permasalahan politik terkait dengan jatuhnya rezim Soeharto. Saat itu, keadaan
negara menjadi kacau yang ditandai dengan berbagai konflik antarsuku bangsa dan
antar golongan yang menimbulkan ketidaknyamanan bagi masyarakat, sehingga
konsep multikultural terabaikan pada saat itu.
Konsep pendidikan multikultural dalam perjalanannya menyebar luas ke
kawasan di luar Amerika khususnya di negara-negara yang memiliki keragaman
etnis, ras, agama, dan budaya seperti Indonesia. Pada saat ini, pendidikan
multikultural secara umum mencakup ide pluralitas budaya dan agama. Tema
umum yang dibahas meliputi pemahaman budaya, penghargaan budaya dari
kelompok yang beragam dan persiapan untuk hidup dalam masyarakat pluralistik.
Paradigma pendidikan multikulturalisme sangat bermanfaat untuk membangun
kohesivitas, soliditas, dan intimidasi di antara keragaman etnis, ras, agama,
budaya, dan berbagai hal yang lain di antara kita. Permasalahan di atas juga
memberi dorongan dan spirit bagi lembaga pendidikan nasional untuk mau
menanamkan sikap kepada peserta didik untuk menghargai orang, budaya, agama,
dan keyakinan lain. Oleh karena itu diharapkan bahwa dengan implementasi
pendidikan yang berwawasan multikultural, akan membantu siswa mengerti,
menerima, dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya, dan nilai

5
Ibid., h. 13

5
kepribadian. Lewat penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah,
akan menjadi media pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk
menerima perbedaan budaya, agama, ras, etnis, dan lainnya di antara sesama serta
mau hidup bersama secara damai. Agar proses ini berjalan sesuai harapan, maka
seyogianya kita mau menerima jika pendidikan multikultural disosialisasikan
melalui lembaga pendidikan, bahkan apabila memungkinkan dapat ditetapkan
sebagai bagian dari kurikulum pendidikan di berbagai jenjang dan jenis
pendidikan.6
3. Ragam Problematika Pendidikan Multikultural di Indonesia
Pelaksanaan pendidikan multikultural di Indonesia masih menghadapi
berbagai kendala atau permasalahan. Masalah pendidikan multikultural di
Indonesia unik dan tidak sama dengan masalah yang dihadapi negara lain. Keunikan
faktor geografis, demografis, historis dan sosial ekonomi dapat memicu munculnya
permasalahan pendidikan multikultural di Indonesia. Secara umum, permasalahan
pendidikan multikultural di Indonesia dapat dibagi menjadi dua hal yaitu: Problem
Kemasyarakatan Pendidikan Multikultural, dan Problem Pembelajaran Pendidikan
Multikultural.
a) Problem Kemasyarakatan Pendidikan Multikultural
Dalam studi sosial, ajakan untuk selalu hidup bersama dalam damai
(peaceful coexistence) merupakan salah satu cara untuk mensosialisasikan nilai-
nilai yang terkandung dalam multikultural. Kesadaran akan pentingnya pluralisme
mulai muncul seiring dengan gagalnya upaya nasionalisme negara, yang dikritik
karena menekankan persatuan di atas keragaman. Dari kenyataan tersebut, kini
dirasakan kebutuhan akan kebijakan multikultural yang mendukung keragaman.
Namun dalam pelaksanaannya, pendidikan multikultural menghadapi berbagai
permasalahan di masyarakat, sehingga sulit untuk menerapkan pendidikan
multikultural dalam pendidikan. Masalah-masalah ini meliputi:
1) Masalah Konflik Antar Etnis
Sesuai dengan kodratnya sebagai makhluk sosial, manusia selalu
membutuhkan kehadiran orang lain di sekitarnya. Tanpa kehadiran orang lain,

6
R. Ibnu Ambarudin, Pendidikan Multikultural untuk Membangun Bangsa yang
Nasionalis Religius. Jurnal Crivis, Vol. 13 No. 1, Juni 2016

6
manusia tidak akan berarti apa-apa. Kondisi ini akan berakibat terjadinya interaksi
sosial antar manusia. Sebagai dampak dari interaksi tersebut, terjadi pertemuan
beberapa karakter, bahkan beberapa kebudayaan yang dibawa oleh masing-masing
individu. Akibatnya, dari bertemunya individu-individu tersebut menyebabkan:
Pertama Tolak-menolak (konfrontasi), apabila pihak-pihak yang berinteraksi tidak
dapat saling menyesuaikan diri. Kedua, Asimilasi, apabila pihak-pihak yang
berinteraksi dapat saling menyerap sehingga muncul budaya baru demi
berlangsungnya kehidupan di masyarakat tersebut. Ketiga, Akulturasi, apabila
keduanya saling mengambil unsur sehingga terjadi saling menyesuaikan diri.
2) Masalah Konflik Antar Agama
Menurut Clifford Geertz, agama merupakan unsur perekat yang
menimbulkan keharmonisan sekaligus unsur pembelah yang dapat menimbulkan
disintegrasi. Dalam pandangan fungsional, agama adalah sesuatu yang
mempersatukan inspirasi paling luhur, memberikan pedoman moral, serta
memberikan ketenangan individu dan kedamainan bagi masyarakat. 7 Namun, pada
saat yang sama, kadang-kadang agama dijadikan sebagai alat untuk memecah
persatuan bangsa. Agama dijadikan sebagai kedok untuk mencapai ambisi yang
diinginkan. Akibatnya, masyarakat mempunyai pemikiran sempit, dan mudah
terbakar dengan segala macam isu yang dihembuskan oleh orang-orang yang tidak
bertanggung jawab.Kondisi demikian harus segera diatasi secepatnya. Konflik
antar agama awalnya hanya satu masalah kecil. Namun, karena tidak ada
penanganan yang serius, akhirnya tumbuh menjadi permasalahan yang sangat
besar. Banyak pengalaman dan peristiwa yang dapat dijadikan hikmah. Oleh karena
itu, usaha mengembangkan toleransi antar umat beragama dan membiarkan orang
lain melakukan kegiatan keagamaan merupakan suatu keharusan yang perlu
dilakukan.
3) Masalah Konflik antara Mayoritas dengan Minoritas
Keragaman yang dimiliki bangsa Indonesia adalah sebuah kekayaan yang
tidak ternilai harganya. Namun, keragaman ini akan menjadi bencana seandainya
tidak dikelola dengan baik. Keragaman sangat berpotensi untuk
memunculkan konflik. Di Indonesia masih banyak dijumpai adanya perasaan

7
Nuning Wuryanti, Sosiologi, (Jakarta: Arya Duta, 2007), h. 141.

7
sebagai etnis yang merasa paling berkuasa di wilayahnya. Akibatnya, etnis lain
yang secara ekonomi lebih mapan dapat menjadi pemicu terjadinya konflik. Oleh
karena itu, setiap etnis harus dapat menghargai setiap perbedaan yang ada, karena
perbedaan adalah sebuah anugerah, bukan musibah. 8
4) Keberagaman Identitas Budaya Daerah
Keberagaman ini merupakan modal sekaligus potensi konflik. Memang,
keragaman budaya daerah memperkaya khasanah budaya dan menjadi aset
berharga dalam membangun Indonesia yang multikultural. Namun, neka-kultural
ini berpotensi memecah belah dan menjadi lahan subur konflik dan kecemburuan
sosial. Masalah ini muncul ketika tidak ada komunikasi antar budaya daerah.
Kurangnya komunikasi dan pemahaman dalam berbagai budaya lain dapat menjadi
konflik dan menghambat proses pendidikan multikultural. Dengan adanya
pendidikan multikultural diharapkan setiap penduduk suatu daerah dapat saling
mengenal, memahami, menghargai dan berkomunikasi satu sama lain.
5) Pergeseran Kekuasaan dari Pusat ke Daerah
Sejak arus reformasi dan demokratisasi melanda Indonesia, Indonesia
menghadapi beberapa tantangan baru yang sangat kompleks. Salah satu yang paling
menonjol adalah mata pelajaran kebudayaan. Di bidang budaya, transfer kekuasaan
dari pusat ke daerah berdampak besar pada pengakuan budaya lokal dan
keanekaragamannya. Kebudayaan sebagai kekayaan bangsa tidak lagi dapat diatur
oleh kebijakan pusat, tetapi dapat berkembang dalam konteks kebudayaan daerah
masing-masing. Ketika sesuatu bersentuhan dengan kekuasaan, berbagai hal dapat
digunakan untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan, termasuk isu-isu
regional. Oleh karena itu, pendidikan multikultural sangat dibutuhkan untuk
menganalisis sudut pandang yang sempit terhadap isu-isu daerah guna
mengembangkan toleransi dan harmonisasi.
6) Kurang kokohnya nasionalisme
Keanekaragaman budaya ini membutuhkan kekuatan yang
mengintegrasikan seluruh kemajemukan bangsa ini. Pancasila sebagai visi hidup,
kepribadian bangsa, dan ideologi negara berfungsi sebagai kekuatan

8
Ridwan, Problematika Keragaman Kebudayaan dan Alternatif Pemecahan. Jurnal
Madaniyah Vol. 02. Edisi IX. DI unduh Pada Tanggal 23 Oktober 2021.

8
pengintegrasi. Saat ini, Pancasila kurang mendapat perhatian dan posisi
sebagaimana mestinya seiring dengan semakin maraknya isu-isu daerah. Banyak
orang membuat persepsi sederhana dan salah dengan menyamakan pancasila
dengan ideologi Orde Baru yang perlu ditinggalkan. Tidak semua di Orde Baru itu
buruk, juga tidak semuanya baik. Ada hal-hal yang perlu dikembangkan. Oleh
karena itu, pendidikan multikultural dapat menjadi salah satu cara untuk
memperkuat nasionalisme dalam koridor kebhinekaan bangsa yang majemuk ini.
7) Fanatisme sempit
Fanatisme dalam arti luas memang diperlukan. Namun yang salah adalah
fanatisme sempit yang menganggap kelompoknya paling benar, paling baik, dan
harus melawan kelompok lain. Gejala fanatisme sempit yang memakan banyak
korban ini sangat meluas di masyarakat. Di sinilah pendidikan multikultural
berperan penting sebagai wahana untuk mereduksi kefanatikan yang sempit.
Karena dalam pendidikan multikultural terdapat pelajaran untuk menghormati
seseorang atau kelompok lain, meskipun berbeda suku, agama, selera atau
golongan.
8) Konflik Kesatuan Nasional dan Multikultural
Ada tarik ulur antara kepentingan persatuan nasional dan gerakan
multikultural. Di satu sisi, ingin menjaga persatuan nasional dengan bergerak
menuju stabilitas nasional. Namun dalam praktiknya, masyarakat Indonesia telah
bereksperimen dengan memanipulasi konsep stabilitas nasional untuk mencapai
kepentingan politik tertentu. Dari sisi multikultural, kita melihat adanya upaya-
upaya pemisahan dari kekuasaan pusat atas dasar justifikasi kultural selain
pemerintah pusat Jawa. Salah satu contohnya adalah gerakan Organisasi Papua
Merdeka (OPM) di 9Papua. Oleh karena itu, pendidikan multikultural diharapkan
dapat mengatasi perbedaan-perbedaan tersebut sehingga tidak terjadi benturan
antara persatuan nasional dan multikultural.
9) Kesejahteraan ekonomi yang tidak merata di antara kelompok budaya
Orang mudah terintimidasi untuk mengambil tindakan tanpa hukum ketika
krisis ekonomi melanda mereka. Mereka akan melampiaskan frustrasi mereka
dalam kelompok yang sudah mapan dan dipandang sebagai kekayaan yang tidak

9
H.A.R. Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan, (Magelang :Indonesia Tera, 2003) h.171

9
dapat mereka capai. Jadi, adanya tekanan ekonomi memaksa orang untuk bertindak
destruktif. Berangkat dari hal ini, pendidikan multikultural diharapkan dapat
mendidik seseorang untuk berperilaku menurut aturan yang berlaku. Selain itu,
pendidikan multikultural diharapkan dapat mengajarkan perbedaan-perbedaan yang
dijumpai di masyarakat karena di masyarakat terdiri dari beragam lapisan, seperti
si kaya dan si miskin atau golongan borjuis dan proletar. Untuk itu pendidikan
multikultural perlu diajarkan untuk saling menghormati dan menghargai satu sama
lain, tidak peduli dari lapisan mana seseorang itu berasal. 10
b) Problem Pembelajaran Pendidikan Multikultural di Indonesia
Beberapa permasalahan awal pembelajaran berbasis budaya (multikultural)
pada tahap persiapan awal, antara lain: Pertama, guru kurang mengenal budayanya
sendiri, budaya lokal maupun budaya peserta didik. Kedua, guru kurang menguasai
garis besar struktur dan budaya etnis peserta didiknya, terutama dalam konteks mata
pelajaran yang akan diajarkannya. Ketiga, Rendahnya kemampuan guru dalam
mempersiapkan peralatan yang dapat merangsang minat, ingatan, dan pengenalan
kembali peserta didik terhadap khasanah budaya masing-masing dalam konteks
budaya masing-masing serta dalam dimensi pengalaman belajar yang diperoleh.
Pada keyataannya berbagai dimensi dari keberagaman budaya Indonesia
dapat menimbulkan masalah dalam proses pembelajaran, terutama dalam kelas
yang budaya etnis peserta didiknya sangat beragam, antara lain :
1) Masalah seleksi dan integrasi isi (content selection and integration) mata
pelajaran
Implementasi pendidikan mutikultural dapat terhambat oleh problem seleksi
dan integrasi isi mata pelajaran yang akan diajarkan. Masalah yang muncul dapat
berupa ketidakmampuan guru memilih aspek dan unsur budaya yang relevan
dengan isi dan topik mata pelajaran. Selain itu masih banyak guru yang belum dapat
mengintegrasikan budaya lokal dalam mata pelajaran yang diajarkan, sehingga
pembelajaran menjadi kurang bermakna bagi peserta didik.
2) Masalah "proses megkonstrusikan pengetahuan" (the knowledge
construction process)
Jika peserta didik terdiri dari berbagai budaya, etnis, agama, dan golongan

10
Ibid.,h. 185

10
dapat memunculkan kesulitan tersendiri untuk menyusun sebuah bangunan
pengetahuan yang berlandaskan atas dasar perbedaan dan keragaman budaya.
Seringkali muncul kesulitan dalam menentukan aspek budaya mana yang dapat
dipilih untuk membantu peserta didik memahami konsep kunci secara tepat. Selain
itu, guru juga masih banyak yang belum dapat menggunakan frame of reference
dari budaya tertentu dan mengembangkannya dari perspektif ilmiah. Hal ini terkait
kurangnya pengetahuan dari guru tentang keragaman budaya.
3) Masalah mengurangi prasangka (prejudice reduction)
Salah satu masalah lain yang muncul dalam pembelajaran muti kultural
adalah adanya prasangka dari peserta didik terhadap guru bahwa guru tertentu
cenderung mengutamakan unsur budaya kelompok tertentu. Selain itu, guru belum
dapat mengusahakan kerjasama dan pengertian bahwa strategi pemakaian budaya
tertentu bukan merupakan kompetisi, tetapi sebuah kebersamaan. Oleh karena itu
guru harus mengusahakan bagaimana agar peserta didik yang belum mengenal
budaya yang dijadikan media pembelajaran menjadi tidak berprasangka bahwa guru
cenderung mengutamakan budaya tertentu. Contoh, jika guru memilih Bagong
(tokoh wayang di Jawa Tengah) untuk pembelajaran, maka guru harus menjelaskan
siapa Bagong dan mampu mengidentifikasi tokoh serupa seperti Cepot (Jawa
Barat), Sangut (Bali), Dawala dan Bawok (pesisir utara Jawa).
Dengan mengambil contoh yang sepadan, guru dapat menghindari
prasangka bahwa dia mengutamakan unsur budaya tertentu. Situasi tersebut
mendorong kebersamaan antar peserta didik dan saling memperkaya unsur budaya
masing-masing.
4) Masalah kesetaraan paedagogi (equity paedagogy)
Masalah ini muncul apabila guru terlalu banyak memakai budaya etnis atau
kelompok tertentu dan (secara tidak sadar) menafikan budaya kelompok lain. Untuk
mempersiapkan atau memilih unsur budaya membutuhkan waktu, tenaga dan
referensi dari berbagai sumber dan pustaka sehingga guru dapat melaksanakan
kesetaraan paedagogi. Guru harus memiliki "Khasanah budaya" mengenai berbagai
unsur budaya dalam tema tertentu. Misalnya jika menerangkan tentang kesenian
teater, guru dapat menyebutkan dan mengidentifikasi beragam kesenian dari
berbagai daerah seperti Ludruk (Jawa Timur), Wayang Wong Jawa Tengah),

11
Lenong (Betawi), dan Ketoprak (Yogyakarta)
Konklusinya, penerapan pendidikan mutikultural di Indonesia masih
mengalami berbagai problem atau masalah, yang dapat diidentifikasi menjadi dua
problem utama yaitu problem kemasyarakatan dan problem pembelajaran
pendidikan mutikultural.11
B. Ragam Solusi Terhadap Problematika Pendidikan di Indonesia
Lingkungan masyarakat terdiri atas beragam adat istiadat, budaya,
keyakinan agama, tingkat ekonomi dan tingkat pendidikan. Keragaman tersebut
disebut multikultural. Masyarakat multicultural merupakan masyarakat terdiri atas
banyak struktur kebudayaan. Dengan banyaknya suku bangsa di Indonesia yang
memilki struktur sendiri-sendiri dan beragam. Seperti keanekaragaman agama,
suku, ras, etnis, bahasa, warna kulit, profesi, pola pikir, kemampuan ekonomi
adalah contoh-contoh dari keanekaragaman social dalam masyarakat.
Keanekaragaman sering berpotensi konflik dalam masyarakat. Misalnya perlakuan
kelompok masyarakat yang berasal dari suku betawi yang menertawakan tata cara
berbicara orang-orang Jawa dengan logat mereka yang khas (medok), sedangkan
mereka yang berasal dari kelompok Jawa merasa tidak dihargai, tersinggung dan
sakit hati atas perlakuan orang-orang Betawi. Maka, terjadilah konflik diantara dua
kelompok suku yang berbeda tersebut. Jika saling menghargai dan memahami,
dengan menerima segala perbedaan yang ada dalam kehidupan dan manajemen
konflik, sehingga terhindar dari konflik dan dapat digunakan sebagai strategi
penanggulangan konflik.
Gibson, menyebutkan langkah penanganan konflik secara efektif jika
konflik telah terjadi; (1) menjabarkan kepentingan teknik penyelesaian konflik; (2)
membangun hubungan kerja yang baik; (3) memberikan pilihan yang baik; (4)
dilihat sebagai keabsahan; (5) pengenalan alternatif prosedural suatu pihak; (6)
memperbaiki komunikasi ; (7) mengarahkan ke komitmen yang bijaksana.12
1) Menjabarkan kepentingan teknik penyelesaian konflik yang ditempuh melalui:
(1) memudahkan pencarian kepentingan yang seragam dan tidak berkonflik
dari kedua kelompok; (2) membicarakan kepentingan setiap kelompok kepada

11
Jurnal Pendidikan Islam Iqra,Vol. 11 Nomor 2 Tahun 2017
12
Gibson, Organization Behaviour-Structure Process. Boston: Irwin Homewood. Alih
Bahasa: Djoekban Wahid, (Jakarta: Erlangga, 1996).

12
yang lain tanpa menyorot secara tidak pantas kelompok yang lain untuk
memaksakan kepentingan dengan dasar kepentingan tertentu.
2) Membangun hubungan kerja yang baik. Teknik penyelesaian konflik ini
ditempuh melalui: (1) memberi kesempatan kepada kelompok untuk mengatasi
perbedaan-perbedaannya dalam perdebatan yang hangat; (2) memelihara jenis
hubungan yang diinginkan oleh kelompok tapi sesuai; (3) mempermudah
kelompok untuk mengatasi bersama-sama bila konflik timbul lagi.
3) Memberikan pilihan yang baik. Teknik penyelesaian konflik ini ditempuh
melalui: (1) memacu kelompok untuk sumbang saran beberapa pilihan
sebelum mengevaluasi mereka dan memilih di antara mereka; (2)
mendorong/memberi semangat kepada kelompok untuk mencari jalan keluar
untuk menciptakan nilai-nilai untuk perolehan bersama.
4) Dilihat sebagai keabsahan. Teknik penyelesaian konflik ini ditempuh melalui:
(1) dengan tidak dipandang oleh kelompok sebagai pengganggu; (2) dengan
menanamkan pada kelompok rasa bahwa penyelesaian yang dibuat adil dan
memadai.
5) Pengenalan alternatif prosedural suatu pihak. Teknik penyelesaian konflik ini
ditempuh dengan membolehkan kedua pihak untuk mengembangkan penilaian
mereka sendiri yang realistis dan alternatif pokok pihak lain.
6) Memperbaiki komunikasi. Teknik penyelesaian konflik ini ditempuh melalui:
(1) memperbanyak pertanyaan dan pengujian dari yang menjadi dasar
perkiraan; (2) mempermudah pengertian dan diskusi dari pandangan pengikut;
(3) membentuk komunikasi antar kelompok dua arah yang efektif.
7) Mengarahkan kekomitmen yang bijaksana. Teknik penyelesaian konflik ini
ditempuh melalui: (1) memberi kesempatan kelompok untuk merancang
kebijaksanaan yang realistis, operasional dan cendrung terlaksana; (2)
menempatkan pihak-pihak dengan sumber yang efektif untuk acara di kejadian
yang mereka gagal untuk mencapai persetujuan akhir atau kejadian yang tidak
terlaksana.13

Pemilihan strategi di atas didasarkan atas pemikiran konflik multikultural di

13
Supardan, Manusia, Kekerasan, Multikultural dan Transformasi Pendidikan, (Bandung:
Rizqi Press, 2015).

13
Indonesia memiliki banyak variasi karena penyebab konflik yang berbeda beda.
Ketujuh langkah di atas memiliki lingkup lebih luas sehingga diharapkan mampu
menyelesaikan konflik dari yang paling ringan hinggakonflik yang paling berat.
Beberapa cara yang digunakan untuk menyelesaikan konflik: (1) penarikan
diri, yaitu proses penyelesain konflik antara dua atau lebih pihak; (2) taktik
penghalusan dan damai, yaitu dengan melakukan tindakan perdamain dengan pihak
lawan; (3) bujukan, yaitu dengan membujuk pihak lain untuk mengubah posisinya
untuk mempertimbangkan informasi faktual; (4) taktik paksaan dan penekanan
yang menggunakan kekuasaan formal dengan menunjukkan kekuatan melalui sikap
otoriter; (5) taktik yang berorientasi pada tawar-menawar dan pertukaran
persetujuan sehingga tercapai suatu kompromi. 14
Solusi pelaksanaan pendidikan multikultural di Indonesia yang sering
terjadi adalah dengan menyerahkan berbagai bentuk keragaman dan perbedaan,
seperti; suku, agama, ras dan adat istiadat, sehingga saling menhargai dalam segala
bidang dan kegiatan, memahami kondisi masing-masing dan harmonis. Dengan
demikian tidak terjadi sementasi, struktur dalam lembaga yang non komplementer,
konflik, tidak terjadi integrasi dengan paksaan dan tidak ada dominasi politik
terhadap kelompok lain.
C. Analisis Terhadap Solusi Saat ini Terhadap Problematika Tersebut
1. Al-Qur’an sebagai Pedoman dan Rasulullah Sebagai Teladan
Terkait dengan judul besar makalah, yaitu Pendidikan Islam Berbasis
Multikultural, maka tidak ada salahnya jika kita mengambil solusi dari Al-Quran
yang diturunkan sebagai petunjuk, pedoman, pembeda, dan penyembuh bagi
ummat Islam, terlebih Rasulullah sebagai suri tauladan yang memplopori makna
toleransi yang sebenarnya melalui lisan dan sikapnya.
Secara normatif teologis, Islam telah mengajarkan nilai-nilai Pendidikan
Multikultural. Melalui representasi pesan-pesan Allah dalam Al-Qur’an,
sesungguhnya telah memberikan pedoman yang menjadi solusi baik secara eksplisit
maupun implisit. Diantaranya sebagaimana yang disebutkan dalam salah satu
firman-Nya dalam QS Al-Hujurat ayat 34 yang berbunyi:

14
AzyumardiAzra, Identitas Dan Krisis Budaya Membangun Multikulturalisme Indonesia,
(1997), h. 37

14
ۤ
ِٰ‫ٰوقَبَا ِٕى َلٰلِتَ َع َارفُ ْوآٰٰاِ َّنٰاَ ْكَرَم ُك ْمٰعِنْ َدٰاّلل‬
َّ ‫ٰشعُ ْواًب‬
ُ ‫ىٰو َج َعلْن ُك ْم‬ ِ
َ ‫َّٰخلَ ْقن ُك ْمٰم ْنٰذَ َك ٍر َّٰواُنْث‬
ِ ‫يٰٓاَيُّهاٰالن‬
َ ‫َّاسٰاَّن‬
ُ َ
ِ ‫اَتْ قى ُكمٰٓاِ َّنٰاّلل‬
ٌ‫ٰخبِْٰي‬
َ ‫ٰعلْي ٌم‬
ََ ْ
Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.
Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang
yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.
Al-Alusi menyebutkan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan Abu
Hind yang pekerjaanya sehari-hari adalah pembekam. Nabi meminta kepada Bani
Bayadah agar menikahkan salah seorang putri mereka dengan Abu Hind, tetapi
mereka enggan dengan alasan tidak wajar mereka menikahkan putri mereka
dengannya yang merupakan salah seorang budak mereka. Hal ini dikecam oleh Al-
Qur’an bahwa kemuliaan di sisi Tuhan bukan karena keturunan atau garis
kebangsawanan, tetapi karena ketakwaan. Dalam konteks ini, Al-Alusi juga
menerangkan bahwa sewaktu haji wada’, nabi berpesan antara lain. “wahai seluruh
manusia, sesungguhnya Tuhan kamu Esa, Ayah kamu satu, tiada kelebihan orang
Arab atas non Arab, tidak juga non Arab atas Arab, atau orang berkulit hitam atas
yang berkulit putih, tidak juga sebaliknya kecuali dengan takwa, sesungguhnya
semulia-mulia kamu di sisi Tuhanmu adalah yang paling takwa.” Hal tersebut
memperkuat konsep kesetaraan manusia dalam Islam. Manusia dalam Islam
memiliki hak, kewajiban dan tanggung jawabnya sebagai manusia, baik di mata
hukum dan pemerintah.15
Dalam ayat tersebut Quraish Shihab menafsirkan kata lita’arafuu, bukan
hanya berarti berinteraksi, tapi berinteraksi positif, selanjutnya dari akar kata yang
sama pula setiap perbuatan baik dinamakan ma’ruf. Dengan demikian, pluralitas
memang dikehendaki-Nya. Sehingga memberi isyarat atas kesatuan asal-usul
manusia dengan menunjukkan konsep kesamaan derajat kemanusiaan di antara
manusia. Hal ini kemudian menjadi berlaku universal dan menjadi bagian dari
semangat multikulturalisme. Demikian pluralitas yang dimaksud adalah interaksi

15
Fita Mustafida, Pendidikan Islam Multikultural, (Depok:Raja Grafindo, 2020), h. 13.

15
saling yang berimplikasi positif. Hal ini tercermin penggunaan kata mukhtalifin
dalam (QS Huud : 118), artinya “jikalau Tuhanmu Menghendaki, tentu Dia
menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih
pendapat.”Ayat ini berkonotoasi postifi, take and give, kasih sayang saling
menghormati secara damai terbentuk dalam perbedaan.16
Di dalam Islam, sejak awal kedatangan sang pembawa ajaran ini telah
memberikan contoh yang baik mengenai bagaimana mempersatukan etnis-etnis
Arab yang berbeda dan bermusuhan, bagaimana beliau menanakan dalam
keyakinan yang mendasar bahwa semua orang Islam itu laksana sebuah tubuh,
bahwa manusia yang terbaik adalah manusia yang paling berguna bagi orang lain,
manusia yang tidak menyayangi manusia lainnya tidak akan disayangi oleh Allah
dan banyak lagi contoh-contoh kemuliaan yang merupakan wujud penghargaan
terhadap multikultur dalam ajaran Islam. 17
Terlebih lagi Rasullah ‫ﷺ‬yang menjadi teladan utama dalam menyikapi
toleransi dan menghargai perbedaan dengan sebaik-baik sikap, sikap nya dengan
orang-orang kafir, sikapnya dengan yang lebih tua maupun muda, sikap nya yang
tak memandang bentuk rupa dan warna kulit. Maka layak beliau menjadi solusi
untuk diri yang masih menganggap kelompoknya paling suci, kelompoknya paling
terpandang dan dimuliakan.
Inilah Islam Rahmatanlil’alamin dengan ajaran-Nya berupa Al-Qur’an dan

perantara manusia suci, Rasulullah ‫ﷺ‬, yang patut untuk dipatuhi dan diteladani.

2. Integrasi Nilai-nilai Multikultural Pada Agama Islam dengan Materi


Pendidikan Agama Islam di Sekolah/Madrasah
Dalam rangka membangun keberagamaan yang inklusif di sekolah ada
beberapa materi pendidikan agama Islam yang bisa dikembangkan dengan nuansa
multikultural, antara lain:
Pertama, materi al-Qur’an, dalam menentukan ayat-ayat
pilihan, selain ayat-ayat tentang keimanan juga perlu ditambah dengan ayat-ayat
yang dapat memberikan pemahaman dan penanaman sikap ketika berinteraksi

16
Ibid., h. 14.
17
Sirajun Nasihin, Pendidikan Multikultural dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadits,
Jurnal Al-Muta'aliyah STAI Darul Kamal NW Kembang Kerang, Vol. 01, No. 01, 2017, h. 167.

16
dengan orang yang berlainan agama, sehingga sedini mungkin sudah tertanam
sikap toleran, inklusif pada peserta didik, yaitu a) materi yang berhubungan
dengan pengakuan Al-Qur’an akan adanya pluralitas dan berlomba dalam
kebaikan misalnya yang ada pada surat al-Baqarah ayat 148; b) Materi yang
berhubungan dengan pengakuan koeksistensi damai dalam hubungan antar umat
beragama missal dalam surat Al-Mumtahanah ayat 8 dan 9); c) materi yang
berhubungan dengan keadilan dan persamaan seperti dalam an-Nisa’: 135.
Kedua, materi fikih dapat diperluas dengan kajian fikih siasah
(pemerintahan) yang di dalamnya terkandung konsep-konsep kebangsaan yang
telah dicontohkan pada zaman Nabi Muhammad maupun khalifah-khalifah
sesudahnya. Pada zaman Nabi misalnya, cara Nabi mengelola dan memimpin
masyarakat Madinah yang multi-etnis, multi-kultur, dan multi-agama. Keadaan
masyarakat Madinah pada waktu itu tidak jauh berbeda dengan masyarakat
Indonesia, yang juga multi-etnis, multi-kultur, dan multi-agama.18
Ketiga, materi akhlak yang memfokuskan kajiannya pada perilaku baik-
buruk terhadap Allah, Rasul, sesama manusia, diri sendiri, serta lingkungan, penting
artinya bagi peletakan dasar-dasar kebangsaan. Hal ini berangkat dari pernyataan
normatif yang terbukti secara historis bahwa “keberlangsungan” suatu bangsa
tergantung pada akhlak anak bangsa tersebut.
Keempat, materi SKI, materi yang bersumber pada fakta dan realitas historis
dapat dicontohkan praktik-praktik interaksi sosial yang diterapkan Nabi
Muhammad ketika membangun masyarakat Madinah. Dari sisi historis proses
pembangunan Madinah yang dilakukan Nabi dapat ditemukan fakta tentang adanya
pengakuan dan penghargaan atas nilai pluralitas dan toleransi. Agar pemahaman
pluralitas dan toleransi dapat tertanam dengan baik pada peserta didik, maka perlu
ditambahkan uraian tentang proses pembangunan masyarakat Madinah dalam
materi keadaan masyarakat Madinah pasca Hijrahnya nabi yang dalam hal ini dapat
ditelusuri pada Piagam Madinah. Sebagai salah satu produk
sejarah umat Islam, Piagam Madinah merupakan bukti bahwa Nabi Muhammad
berhasil memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan, penegakan hukum,

18
Ibnu Ambarudin, Pendidikan Multikultural untuk Membangun Bangsa yang Nasionalis
Religius, Jurnal Civics Vol. 13 No. 1, 2016, h. 42.

17
jaminan kesejahteraan bagi semua warga serta perlindungan terhadap kelompok
minoritas. Beberapa ahli tentang sejarah Islam menyebut Piagam Madinah sebagai
loncatan sejarah yang luar biasa. Dalam konstitusi itulah pertama kalinya
dirumuskan ide-ide kemasyarakatan dan kenegaraan yang kini menjadi pandangan
hidup modern di dunia, seperti kebebasan beragama, hak setiap kelompok untuk
mengatur hidup sesuai dengan keyakinannya, kemerdekaan hubungan ekonomi
antar golongan dan lain-lain.
3. Peran Stakeholder Pendidikan/Sekolah dalam Mengatasi Masalah
Pendidikan Multikultural
Stakeholder sekolah merupakan kumpulan sejumlah orang yang saling
berkolaborasi dan berinteraksi demi mencapai tujuan bersama untuk sekolah.
Intinya Stakeholder sekolah adalah kumpulan sejumlah individu yang bergabung
dan mempunyai komitmen yang sama untuk mencapai tujuan bersama. Stakeholder
menjadi kunci keberhasilan pengelolaan sebuah lembaga pendidikan atau sekolah.
Sekolah yang memiliki stakeholder lemah, maka sekolah itu akan sulit berkembang
atau bahkan semakin mundur. Stakeholder terdiri dari kepala sekolah, guru,
karyawan sekolah.19
Terkait masalah pendidikan multikulutral sebagaimana yang telah
dipaparkan pada halaman sebelumnya, seperti rendahnya kemampuan guru dalam
mengimplementasikan konsep pendidikan multikultural, masalah integrasi isi mata
pelajaran dan masalah-masalah lain yang berhubungan dengan kualitas stakeholder
pendidikan. Ini semua harus menyadarkan kembali terkhusus kepala sekolah dan
guru yang menjadi bagian urgent dalam penerapan pendidikan multikultural.
Untuk mengatasi masalah tersebut, maka kepala sekolah harus menerapkan
kebijakan, mulai dari aktivitas mentoring hingga memperbaiki suasana lingkungan
sekolah agar dapat berguna bagi seluruh guru dan siswa . Selain itu, pada sekolah
dengan jumlah guru dari berbagai latar belakang budaya membutuhkan tingkat
pengetahuan multikultural yang cukup agar mereka dapat bekerja secara tim dan
membangun kualitas pendidikan di sekolah mereka. Dengan demikian, kepala
sekolah harus mampu menjalankan kegiatan mentoring orientasi, terutama bagi

19
Datu Jatmiko, Peran Stakeholder Sekolah dalam Mengatasi Berbagai Macam Kekerasan
di Kalangan Siswa, Jurnal Nusantara PGRI Kediri, Vol 04 No. 01, 2017, h.11.

18
guru.
Kepala sekolah juga harus memonitor kegiatan mentoring agar guru
memiliki kompetensi dan pengetahuan baru untuk mengatasi masalah perilaku
dengan orang lain di sekolah atau di kelas. Mengembangkan langkah-langkah
keterampilan tertentu, melalui analisis tugas kerja, juga penting agar terlatih dalam
menggunakan metode pengajaran yang pro-aktif. Hal ini dapat dilaksanakan
dengan lebih efektif lagi, bila sistem informasi diterapkan di sekolah yang
terintegrasi dengan aktivitas dan penjadwalan mentoring, terutama dengan melacak
pola masalah perilaku sebagai bahan dalam mentoring guru.
Guru-guru dituntut kreatif dan inovatif sehingga mampu mengolah dan
menciptakan desain pembelajaran yang sesuai. Termasuk memberikan dan
membangkitkan motivasi belajar siswa, serta memperkenalkan dan
mengembangkan nilai-nilai dan sikap toleransi, solidaritas, empati, musyawarah,
dan egaliter kepada sesama. Para siswa pun bisa menjadi lebih memahami kearifan
lokal yang menjadi bagian dari budaya bangsa.
Dengan kebijakan yang diterapkan kepala sekolah, maka secara tidak
langsung guru terlatih dan sadar untuk menerapkan pendidikan multikultural di
kelas maupun lingkungan sekolah.
4. Menyadarkan Tiga Pilar Pendidikan
Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa ada tiga pilar pendidikan yaitu
pendidikan formal, pendidikan non formal, dan pendidikan informal.
Sebagai lembaga, sekolah melaksanakan berbagai-bagai fungsi.
Sebagaimana fungsi pendidikan pada umumnya. Fungsi sekolah dapat dibedakan
menjadi tiga yaitu; 1) sebagai lembaga sosialisasi yang membantu anak-anak dalam
mempelajari cara-cara hidup ditempat mereka belajar, 2) mentransmisikan dan
mentransformasikan budaya, dan 3) menyeleksi murid untuk melanjutkan
pendidikan yang lebih tinggi.Sebagai lembaga yang memiliki hak otonom khusus
dalam pengembangan karakter bangsa seharusnya lembaga formal dapat
memberikan kontribusi yang matang bagi peserta didik. Berbagai kebijakan dan
program dapat direncanakan sesuatu dengan visi dan misi lemga tersebut. Peranan
lembaga formal setidaknya dapat diarahkan guna dapat merevitalisasikan karakter

19
bangsa yang akhir-akhir ini mengalami kemunduran. 20
Para sosiolog juga meyakini bahwa keluarga memiliki peran penting dalam
menentukan kemajuan suatu bangsa, sehingga mereka berteori bahwa keluarga
adalah unit yang penting sekali dalam masyarakat. Oleh karena itu para sosiolog
yakin, segala macam kebobrokan masyarakat merupakan akibat lemahnya institusi
keluarga. Bagi seorang anak keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi
pertumbuhan dan perkembangnnya. Menurut resolusi Majelis Umum PBB, fungsi
utama keluarga adalah sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh dan
mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar
dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta, memberikan
kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga sejahtera.21
Masyarakat pun memiliki peran yang tidak kalah pentingnya dalam upaya
pembentukan sikap toleransi anak bangsa. Dalam hal ini yang dimaksud dengan
masyarakat disini adalah orang yang lebih tua yang “ tidak dekat “, “ tidak dikenal”,
“ tidak memiliki ikatan famili “ dengan anak tetapi saat itu ada di lingkungan sang
anak atau melihat tingkah laku si anak. Orang-orang inilah yang dapat memberikan
contoh, mengajak, atau melarang anak dalam melakukan suatau perbuatan. 22
Terkait dengan masalah siswa yang intoleran, bahkan guru yang belum
memiliki sikap menerima perbedaan, maka tiga bentuk pendidikan adalah
solusinya. Stakeholder pendidikan yang ada di sekolah hanya salah satu wadah
untuk membentuk karakter peserta didik. Lebih dari itu, peran orang tua dan
lingkungan masyarakat pasti dan akan membentuk sikap dan pola pikir individu.
Sikap toleransi, menerima perbedaan, saling menghormati, adalah karakter
yang melekat pada seorang individu, maka untuk membentuk karakter yang baik
pada indvidu, tidak bisa hanya mengandalkan 1 wadah saja. Bukankah ketika
seorang anak yang dilahirkan dari keluarga dengan pendidikan yang berkualitas
bisa ‘rusak’ pola pikirnya hanya karena pengaruh temannya?, begitupun sebaliknya.
Maka 3 pilar pendidikan perlu disadarkan lagi untuk saling bekerjasama untuk
menerapkan sikap pluralistik yang akan membentuk sikap toleransi pada peserta

20
Eriyanto. Revitalisasi Karakter Bangsa Melalui Lembaga Pendidikan Islam di Tengah
Masyarakat Berkarakter, Jurnal Tarbiyatuna Vol. 10 No. 02 , 2017, h. 212.
21
Jito Subianto, Peran Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat dalam Pembentukan Karakter
Berkualitas, Jurnal Edukasia Pendidikan Islam, Vol. 8 No. 2, 2013. h. 335
22
Ibid., h.349.

20
didik.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

21
Pendidikan Islam Berbasis Multikultural adalah pendidikan yang
menerapkan bagaimana Stakeholder pendidikan di sekolah mengaktualisasikan
nilai-nilai multikultural yang tertuang dalam Al-Qur’an dan Hadits pada lingkungan
sekolah ataupun di masing-masing kelas. Pendidikan Islam berbasis multikultural
dicanangkan dengan tujuan agar setiap suku, ras, agama, mendapatkan kesempatan
yang sama untuk belajar, untuk dihargai, dan di terima masyarakat luas.
Namun, permasalahan pendidikan multikultural masih menjadi isu yang
diperbincangkan sebagaimana yang telah dipaparkan pada isi makalah seperti
masalah Kemasyarakatan Pendidikan Multikultural, masalah Pembelajaran
Pendidikan Multikultural, dan masalah Proses Mengkontruksikan Pengetahuan.
Ke-3 masalah yang ‘dikerucutkan’ ini, pemakalah telah memberi solusinya dengan
kembali pada Al-Qur’an dan Hadits, Mengintegrasikan nilai-nilai multikultural
Islam pada proses pembelajaran, meningkatkan kualitas Stakeholder pada sekolah-
sekolah, dan menyadarkan 3 pilar pendidikan yang menjadi wadah untuk
membentuk pola pikir, karakter, dan sikap toleransi pada diri individu.
B. Saran
Demikian makalah yang dapat kami lampirkan, semoga apa yang kami
sampaikan dapat menjadi rujukan untuk menambah wawasan terkait Pendidikan
Islam Berbasis Multikultural, serta problematika dan pemecahan solusi terhadap hal
itu.

DAFTAR PUSTAKA
Ambarudin, Ibnu. 2016.Pendidikan Multikultural untuk Membangun Bangsa yang
Nasionalis Religius, Jurnal Civics Vol. 13 No. 1.
AzyumardiAzra. 1997. Identitas Dan Krisis Budaya Membangun Multikulturalisme

22
Indonesia.
Eriyanto. 2017. Revitalisasi Karakter Bangsa Melalui Lembaga Pendidikan Islam
di Tengah Masyarakat Berkarakter, Jurnal Tarbiyatuna Vol. 10 No. 02 ,
2017.
Fita Mustafida. 2020. Pendidikan Islam Multikultural. Depok:Raja Grafindo.
H.A.R. Tilaar. 2003. Kekuasaan dan Pendidikan. Magelang :Indonesia Tera.
Jatmiko, Datu. 2017.Peran Stakeholder Sekolah dalam Mengatasi Berbagai
Macam Kekerasan di Kalangan Siswa, Jurnal Nusantara PGRI Kediri, Vol
04 No. 01.
Jurnal Pendidikan Islam Iqra,Vol. 11 Nomor 2 Tahun 2017
Murniati Agustian, Murniati. 2019.Pendidikan Multikultural. Jakarta:Universitas
Katolik Indonesia Atma Jaya.
Nasihin, Sirajun 2017. Pendidikan Multikultural dalam Perspektif Al-Qur’an dan
Hadits, Jurnal Al-Muta'aliyah STAI Darul Kamal NW Kembang Kerang,
Vol. 01, No. 01.
Okta Hadi Nurcahyono. 2018. Pendidikan Multikultural di Indonesia:Analisis
Sinkronisasi dan Diakronis, Habits Jurnal Pendidikan, Sosiologi dan
Antropologi, Vol. 2, No. 1.
R. Ibnu Ambarudin. 2016. Pendidikan Multikultural untuk Membangun Bangsa
yang Nasionalis Religius. Jurnal Crivis, Vol. 13 No. 1.
Ridwan. Problematika Keragaman Kebudayaan dan Alternatif Pemecahan. Jurnal
Madaniyah Vol. 02. Edisi IX. DI unduh Pada Tanggal 23 Oktober 2021
Rosyada, Dede. 2004. Pendidikan Multikultural di Indonesia Sebuah Pandangan
Konsepsional,Jurnal Sosio Didaktika, Vol. 1, No. 1.
Subianto, Jito. 2013. Peran Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat dalam
Pembentukan Karakter Berkualitas, Jurnal Edukasia Pendidikan Islam, Vol.
8 No. 2.
Supardan. 2015. Manusia, Kekerasan, Multikultural dan Transformasi Pendidikan.
Bandung: Rizqi Press.
Wuryanti, Nunin. 2007. Sosiologi. Jakarta: Arya Duta.

23
24
25

Anda mungkin juga menyukai