Prodi : 3 PAI B
“Al-Jarh Wa Al-Ta’dil”
Ta’dil adalah kebalikan dari jarh, yaitu menilai bersih terhadap seorang rawi
dan menghukuminya bahwa ia adil atau dhabith. Sedangkan secara istilah Al-Ta’dil
yaitu pensifatan perawi dengan sifat-sifat yang mesucikannya, sehingga nampak
ke’adalahannya, dan diterima beritanya.2
Ilmu al-jarh wa al-ta’dil adalah “timbangan” bagi para rawi hadis. Rawi
yang “berat” timbangannya, merupakan rawi yang diterima riwayatnya dan rawi
yang “ringan” merupakan rawi yang di tolak riwayatnya. Dengan adanya ilmu ini
kita bisa membedakannya dengan periwayat yang tidak dapat diterima haditsnya.
1
Nuruddin ‘Itr, ‘UlumulHadits (Bandung : PT REMAJA ROSDAKARYA), 2017), hal. 84.
2
Muh.Haris Zubaidillah, Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta’dil hal. 2.
Secara istilahnya Ilmual-jarh wa al-Ta’dil ialah ilmu yang menerangkan tentang
cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta’dilannya
(memandang lurus perangai para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus
dan untuk menerima atau menolak riwayat mereka.
Para ulama’ menganjurkan untuk melakukan jarh dan ta’dil, dan tidak
menganggap hal itu sebagai perbuatan ghibah yang terlarang ;
3
Nuruddin ‘Itr, ‘UlumulHadits (Bandung : PT REMAJA ROSDAKARYA), 2017), hal. 85.
2. Beberapa hal yang tidak disyaratkan bagi ulama’ al-jarh wa al-ta’dil4
a. Dan tidak disyaratkan harus laki-laki
b. Suatu pendapat menyatakan bahwa tidak dapat diterima al-jarh wa al-ta’dil
kecuali dengan pernyataan dua orang seperti dalam kasus kesaksian lainnya
.
3. Tata tertib Ulama’ al-jarh wa al-Ta’dil5
a. Bersikap objektif dalam tazkiyah, sehingga ia tidak meninggalkan seorang
rawi dari martabat yang sebenarnya atau merendahkannya sebagaimana
yang terjadi bagi kebanyakan manusia dewasa ini.
b. Tidak boleh jarh melebihi kebutuhan, karena jarh itu disyari’atkan lantaran
darurat; sementara darurat itu ada batasnya.
c. Tidak boleh mengutip jarh saja sehubungan dengan orang yang dinilai jarh
oleh sebagian kritikus tetapi dinilai adil oleh sebagian lainnya, karena sikap
yang demikian berarti telah merampas hak rawi yang bersangkutan dan para
muhadditsin mencela sikap yang demikian.
d. Tidak boleh jarh terhadap rawi yang tidak perlu di-jarh, karena hukumnya
disyari’atkan lantaran darurat. Maka dalam kondisi tidak ada daruratnya
jarh tidak dapat dilaksanakan.
4. Syarat diterimanya al-jarh wa al-Ta’dil
a. Diucapkan oleh ulama’yang telah memenuhi segala syarat sebagai ulama’
al-jarh wa al-Ta’dil.
b. Jarh Tidak dapat diterima kecuali dijelaskan sebab-sebabnya.
c. Dapat diterima jarh yang sederhanatanpa dijelaskan sebab-sebabnya bagi
periwayat yang sama sekali tidak ada yang menta’dilinya.
4
Nuruddin ‘Itr, ‘UlumulHadits (Bandung : PT REMAJA ROSDAKARYA), 2017), hal. 86.
Permulaan tumbuhnya ilmu ini seperti yang dinukil oleh nabi saw
sebagaimana yang telah disebutkan. Dari hal ini kemudian banyak para sahabat,
tabi’in, dan orang setelah mereka, karena takut terjadi seperti apa yang di
peringatkan oleh Rasulullah .
1. Popularitas para perawi di kalangan para ahli ilmu bahwa mereka dikenal
sebagai orang yang adil, atau rawi yang mempunyai ‘aib.
2. Berdasarkan pujian atau pen-tarjih-an dari rawi lain yang adil.
6
Muh.Haris Zubaidillah, Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta’dil hal. 4.
7
Muh.Haris Zubaidillah, Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta’dil hal. 6.
Dan orang yang melakukan ta’dil dan tarjih harus memiliki syarat : berilmu
pengetahuan, taqwa, wara’, jujur, menjauhi sifat fanatik terhadap
golongan dan mengetahui ruang lingkup ilmu jarh dan ta’dil ini.
D. Sebab-sebab Perawi Dikenakan Jarh Dan Ta’dil8
1. Bid’ah : melakukan tindakan tercela diluar ketentuan syara. Orang yang
disifati bid’ah adalah orang yang dikafirkan dan adakalanya orang yang
difasikan.
2. Mukhalafah : Menyalahi periwayatan orang yang lebih tsiqat (Seorang
yang terpercaya dalam periwayatan hadits)
3. Yang dimaksud dengan ghalath ialah banyak kekeliruan dalam
meriwayatkan.
4. Jahalah al- hal : tidak dikenal identitasnya, maksud perawi yang belum
dikenal identitasnya ialah haditsnya tidak dapat diterima.
5. Da’wa al-‘inqitha’ : Diduga keras sanadnya terputus, semisal menda’wa
(mengklaim) perawi, mentadliskan (membuang rowi yang dianggap lemah
atau tidak masyhur lalu ditukar dengan nama rowi lain yang tsiqoh atau
terpercaya serta masyhur.) atau mengirsalkan (membuang rawi dalam
sanad) suatu hadits.
E. Sejarah Perkembangan Awal Jarh wa Ta’dil9
8
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah... hlm. 279
9
Imron, Ali, 2017.Dasar-dasar Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta’dil. Jurnal Studi Islam. Hal. 293-294, Vol
2, No. 2, Desember 2017
perawi tersebut, sehingga mereka benar-benar mengetahui secara jelas mana
perawi kualits hafalannya baik, yang cerdas, baik, dan lain sebagainya.
Di depan telah disebutkan bahwa Nabi Saw. Telah mekakukan jarh dan
ta’dil kepada para shahabat beliau. Hal ini ternyata juga dilanjutkan oleh para
shahabat, tabi’in, tabi’it-tabi’in, dan lain seterusnya.
Meski hal ini pada zaman nabi Saw. Dan para shahabatnya tampaknya
belum begitu semarak, namun tidak bisa dikatakan bahwa hal itu tidak ada.
Beberapa riwayat dengan jelas menyebutkan bahwa ‘Umar bin Khathab
meminta kesaksian pihak lain sebelum beliau menerima riwayat tentang Nabi
dari seseorang. Demikian pula Ali bin Abi Thalib. Hal ini terus berlanjut pada
masa tabi’in, tabi’it tabi’in, dan seterusnya.
Syu’bah bin Hajjaj (w. 160 H), seorang generasi yang sedikit lebih senior
daripada Imam Syafi’l, ketika ditanya tentang hadis hadis yang diriwayatkan
Hakim bin Jabir, maka ia menjawab, “Aku takut neraka.” Syu’bah ini memang
dalam sejarah terkenal sebegai ulama keras terhadap para pendusta hadis.
Karena itulah Imam Syafi’I berkata, “Jika tidak ada Syu’bah, niscaya aku tidak
tahu hadis di Irak.”10
Para ulama hadits dalam melakukan jarh wa ta’dil adalah tidak pandang bulu.
Bisa dikatakan, motif mereka adalah untuk menjaga orisinalitas atau keaslian
agama semata, bukan yang lain.
Ali Ibnu Madini (w. 234 H), salah seorang guru al-Bukhari, satu ketika
ditanya seseorang tentang ayahnya, maka beliau menjawab, “Bertanyalah
kepada orang lain.” Orang itu kembali mengulangi pertanyaan yang sama, maka
beliau pun menjawab, “Ia (ayahku) itu lemah.”
Para ulama juga berlaku sangat ketat dalam masalah ini. Mereka meneliti
dengan seksama hal ihwal para perawi dengan seksama. Imam al-Sya’bi
berkata, Demi Allah, seandainya aku telah benar 99 kali dan salah 1 kali,
10
Muhammad Ajjal al-Khathib, Ushul al-Hadits... hlm. 261.
niscaya mereka menghitungku berdasarkan yang satu itu. Mereka juga menaruh
perhatian yang sangat besar dalam hal ini.
Tersebut pula nama-nama seperti Imam Ahmad bin Hambal (w. 241 H), dan
Ali bin Abdullah al-Madini (w. 234 H). Hampir semua nama di atas adalah
tokoh-tokoh yang pernah menjadi guru Imam al-Bukhari. Setelah itu,
muncullah nama-nama lain seperti Abu Hatim (w. 277 H), Abu Zur’ah (w. 264
H), dan lain-lain.12
11
Muhammad Ajjal al-Khathib, Ushul al-Hadits... hlm. 261.
12
Muhammad Ajjal al-Khathib, Ushul al-Hadits... hlm. 265.
13
Imron, Ali, 2017.Dasar-dasar Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta’dil. Jurnal Studi Islam. Hal. 296-297, Vol
2, No. 2, Desember 2017
Tingkatan pertama, yakni para shahabat. Di sini terdapat satu jargon
yang cukup terkenal: kullu shahabat ‘udul (semua shahabat adalah adil).
Tingkatan ketiga, yakni tingkatan orang-orang yang dipuji para ulama dengan
ungkapan ganda yang berbeda, misalnya tsabat harbefizh (kuat lagi hafal),
tsiqqah tsabat (tsiqqah lagi kuat), dan lain-lain; atau dengan satu ungkapan yang
diulang, misalnya tsiqqatu tsiqqah, dan lain-lain. Pengulangan ungkapan yang
paling banyak adalah yang dilakukan Ibnu ‘Uyaynah ketika memberikan
penilaian terhadap ‘Amr bin Dinar. Ibnu ‘Uyaynah berkata, “Dia itu tsiqqah,
tsiqqah, tsiqqah, tsiqqah...., (hingga sembilan kali).”
b. Tingkatan Jarh
Kedua, tingkatan yang lebih buruk dari tingkatan di atasnya, yakni para
perawi yang dikomentari para ulama dengan unkapan ungkapan seperti la
yuhtaju bihi (ia tidak dibutuhkan), mudhtharib al-hadits (haditsnya kacau),
lahu ma yunkaru (haditsnya dingkari para ulama), haditsuhu munkar
(hadistnya munkar), lahu manakir (ia punya hadits-hadits munkar), dhaif
(lemah), atau munkar menurut selain al-Bukhari, sebab al-Bukari sendiri
pernah berkata, “Setiap perawi yang aku komentari sebagai munkirul hadits,
maka tidak halal meriwayatkan hadits darinya.
14
Imron, Ali, 2017.Dasar-dasar Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta’dil. Jurnal Studi Islam. Hal. 296
Kesimpulan
Kita tidak boleh menerima begitu saja penilaian seorang ulama terhadap
ulama lainnya, terkadang pernyataan-pernyataan ulama tentang tajrih dan ta’dil
terhadap orang yang sama bisa bertentangan. Oleh sebab itu, ada beberapa
syarat yang harus dipenuhi (kriteria yang dimiliki) bagi orang yang men-Ta’dil-
kan (Mu’addil) dan orang yang men-jarah-kan (Jarih). Salahsatunya harus
berilmu, takwa, wara’, jujur, tidak fanatik terhadap golongan, dan mengetahui
sebab-sebab untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan.
15
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah... hlm. 374. 20 Muhammad ‘Ajjal al-Khathib, Ushul al-
Hadits... hlm. 265.
DAFTAR PUSTAKA