Anda di halaman 1dari 11

Nama Kelompok : Annisa Riyaningsih (20101816)

Miko Andriyan (20101809)

Safira Nur Ramadhani (20101830)

Prodi : 3 PAI B

Mata Kuliah : ‘Ulumul Hadits

Dosen Pengampu : Ibu Umi Aflahah

Jenis Tugas : Resume Buku

“Al-Jarh Wa Al-Ta’dil”

A. Pengertian Al-Jarh Wa Al-Ta’dil

Jarh menurut muhadditsin adalah menunjukkan sifat-sifat celah rawi


sehingga mengangkat atau mencacatkan ‘adalah atau ke-dhabith-annya. 1Al-Jarh
juga merupakan isim mashdar yang berarti luka yang mengalirkan darah atau
sesuatu yang dapat menggugurkan ke’adalahan seseorang. Sedangan menurut
istilah Al-Jarh ialah terlihatnya sifat pada seorang perawi yang dapat menjatuhkan
ke’adalahannya, dan merusak hafalan ingatannya, sehingga menyebabkan gugur
riwayatnya, atau melemahkannya hingga kemudian ditolak.

Ta’dil adalah kebalikan dari jarh, yaitu menilai bersih terhadap seorang rawi
dan menghukuminya bahwa ia adil atau dhabith. Sedangkan secara istilah Al-Ta’dil
yaitu pensifatan perawi dengan sifat-sifat yang mesucikannya, sehingga nampak
ke’adalahannya, dan diterima beritanya.2

Ilmu al-jarh wa al-ta’dil adalah “timbangan” bagi para rawi hadis. Rawi
yang “berat” timbangannya, merupakan rawi yang diterima riwayatnya dan rawi
yang “ringan” merupakan rawi yang di tolak riwayatnya. Dengan adanya ilmu ini
kita bisa membedakannya dengan periwayat yang tidak dapat diterima haditsnya.

1
Nuruddin ‘Itr, ‘UlumulHadits (Bandung : PT REMAJA ROSDAKARYA), 2017), hal. 84.
2
Muh.Haris Zubaidillah, Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta’dil hal. 2.
Secara istilahnya Ilmual-jarh wa al-Ta’dil ialah ilmu yang menerangkan tentang
cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta’dilannya
(memandang lurus perangai para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus
dan untuk menerima atau menolak riwayat mereka.

Para ulama’ menganjurkan untuk melakukan jarh dan ta’dil, dan tidak
menganggap hal itu sebagai perbuatan ghibah yang terlarang ;

- Sabda Rasulullah SAW kepada seorang laki-laki : “(Dan) itu sburuk-buruk


saudara ditengah-tengah keluarganya”. (HR. Bukhari)
- Sabda Rasulullah SAW kepada Fathiman biti Qais yang menanyakan tentang
Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm yang tengah melamarnya : “ Adapun
Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya (suka
memukul), sedangkan Mu’awiyyah seorang yang miskin tidak mempunyai
harta” . (HR. Muslim)
1. Syarat Ulama’ al-jarh wa al-ta’dil3
a. Berilmu, bertakwa, wara’, dan jujur, karena jika tidak memiliki sifat-sifat
ini maka dengan apa menghukumi orang lain dengan al- jarh wa al-ta’dil
yang senantiasa membutuhkan keadilan. Dan al-jarh wa al-ta’dil ini tidak
diterima kecuali dari orang yang adil dan kuat ingatannya. Yakni orang
yang mampu mengungkapkan ingatannya sehingga menjadikannya
berhati-hati dan ingat dengan tepat terhadap hadits yang diucapkan (Al-
Hafizh).
b. Ia Mengetahui sebab-sebab al-jarh wa al-ta’dil. Al-Hafizh Ibnu Hajar
menjelaskan dalam syarh al-Nukhbah “ Tazkiyah (pembersihan pada diri
orang lain) dapat diterima apabila dilakukan oleh orang yang mengetahui
sebab-sebabnya, bukan dari orang yang tidak mengetahuinya, agar tidak
memberikan tazkiyah hanya dengan apa yang kelihatan olehnya.
c. Pengetahuannya dalam penggunaan kalimat-kalimat bahasa Arab sehingga
suatu lafadz yang digunakan tidak di pakai untuk selain maknanya atau
men-jarh dengan lafaz yang tidak sesuai untuk men-jarh.

3
Nuruddin ‘Itr, ‘UlumulHadits (Bandung : PT REMAJA ROSDAKARYA), 2017), hal. 85.
2. Beberapa hal yang tidak disyaratkan bagi ulama’ al-jarh wa al-ta’dil4
a. Dan tidak disyaratkan harus laki-laki
b. Suatu pendapat menyatakan bahwa tidak dapat diterima al-jarh wa al-ta’dil
kecuali dengan pernyataan dua orang seperti dalam kasus kesaksian lainnya
.
3. Tata tertib Ulama’ al-jarh wa al-Ta’dil5
a. Bersikap objektif dalam tazkiyah, sehingga ia tidak meninggalkan seorang
rawi dari martabat yang sebenarnya atau merendahkannya sebagaimana
yang terjadi bagi kebanyakan manusia dewasa ini.
b. Tidak boleh jarh melebihi kebutuhan, karena jarh itu disyari’atkan lantaran
darurat; sementara darurat itu ada batasnya.
c. Tidak boleh mengutip jarh saja sehubungan dengan orang yang dinilai jarh
oleh sebagian kritikus tetapi dinilai adil oleh sebagian lainnya, karena sikap
yang demikian berarti telah merampas hak rawi yang bersangkutan dan para
muhadditsin mencela sikap yang demikian.
d. Tidak boleh jarh terhadap rawi yang tidak perlu di-jarh, karena hukumnya
disyari’atkan lantaran darurat. Maka dalam kondisi tidak ada daruratnya
jarh tidak dapat dilaksanakan.
4. Syarat diterimanya al-jarh wa al-Ta’dil
a. Diucapkan oleh ulama’yang telah memenuhi segala syarat sebagai ulama’
al-jarh wa al-Ta’dil.
b. Jarh Tidak dapat diterima kecuali dijelaskan sebab-sebabnya.
c. Dapat diterima jarh yang sederhanatanpa dijelaskan sebab-sebabnya bagi
periwayat yang sama sekali tidak ada yang menta’dilinya.

4
Nuruddin ‘Itr, ‘UlumulHadits (Bandung : PT REMAJA ROSDAKARYA), 2017), hal. 86.

Nuruddin ‘Itr, ‘UlumulHadits (Bandung : PT REMAJA ROSDAKARYA), 2017), hal. 87.


5
B. Perkembangan Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta’dil6

Ilmu ini ini tumbuh bersama-sama dengan tumbuhnya periwayatan


dalam islam, karena untuk mengetahui hadis-hadis yang shahi perlu mengetahui
keadaan rawinya, secara yang memungkinkan ahli ilmu menetapkan kebenaran
rawi atau kedustaannya hingga dapatlah membedakan antara yang diterima dan
yang ditolak.

Permulaan tumbuhnya ilmu ini seperti yang dinukil oleh nabi saw
sebagaimana yang telah disebutkan. Dari hal ini kemudian banyak para sahabat,
tabi’in, dan orang setelah mereka, karena takut terjadi seperti apa yang di
peringatkan oleh Rasulullah .

Al-Jarh dan Al-Ta’dil dalam ilmu hadits menjadi berkembang


dikalangan sahabat, tabi’in, dan para ulama setelahnya hingga saat ini karena
takut tentang apa yang diperingatkan oleh Rasulullah saw : “ Akan ada pada
umatku yang terakhir nanti orang-orang yang menceritakan hadits kepada
kalian apa yang belum pernah kalian dan juga bapak-bapak kalian mendengar
sebelumnya. Maka waspadalah terhadap mereka dan waspadailah mereka”.
(HR. Muslim)

C. Kegunaan Ilmu Al-Jarh wa Al-Ta’dil

Ilmu al-jarh wa al-ta’dil berguna untuk mementukan kualitas perawi dan


nilai hadisnya. Jelasnya ilmu al-jarh wa al-ta’dil ini dipergunakan untuk
menetapkan apakah periwayatan seorang perawi itu bisa diterima atau harus
ditolak sama sekali.

Ta’dilnya seorang perawi dapat diketahui 2 jalur :7

1. Popularitas para perawi di kalangan para ahli ilmu bahwa mereka dikenal
sebagai orang yang adil, atau rawi yang mempunyai ‘aib.
2. Berdasarkan pujian atau pen-tarjih-an dari rawi lain yang adil.

6
Muh.Haris Zubaidillah, Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta’dil hal. 4.
7
Muh.Haris Zubaidillah, Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta’dil hal. 6.
Dan orang yang melakukan ta’dil dan tarjih harus memiliki syarat : berilmu
pengetahuan, taqwa, wara’, jujur, menjauhi sifat fanatik terhadap
golongan dan mengetahui ruang lingkup ilmu jarh dan ta’dil ini.
D. Sebab-sebab Perawi Dikenakan Jarh Dan Ta’dil8
1. Bid’ah : melakukan tindakan tercela diluar ketentuan syara. Orang yang
disifati bid’ah adalah orang yang dikafirkan dan adakalanya orang yang
difasikan.
2. Mukhalafah : Menyalahi periwayatan orang yang lebih tsiqat (Seorang
yang terpercaya dalam periwayatan hadits)
3. Yang dimaksud dengan ghalath ialah banyak kekeliruan dalam
meriwayatkan.
4. Jahalah al- hal : tidak dikenal identitasnya, maksud perawi yang belum
dikenal identitasnya ialah haditsnya tidak dapat diterima.
5. Da’wa al-‘inqitha’ : Diduga keras sanadnya terputus, semisal menda’wa
(mengklaim) perawi, mentadliskan (membuang rowi yang dianggap lemah
atau tidak masyhur lalu ditukar dengan nama rowi lain yang tsiqoh atau
terpercaya serta masyhur.) atau mengirsalkan (membuang rawi dalam
sanad) suatu hadits.
E. Sejarah Perkembangan Awal Jarh wa Ta’dil9

Sejarah perkembangan jarh wa ta’dil adalah seiring dengan sejarah


periwayatan dalam Islam. Ketika untuk mendapatkan kabar yang shahih, orang
mau tidak mau harus terlebih dulu mengetahui para perawinya, mengetahui
dedikasi mereka sebagai ahli ilmu (jujur ataukah tidak), sehingga dengan
demikian dapat diketahui kabar mana yang perlu ditolak dan mana yang
diterima, maka merekapun ikut pula menanyakan hal ihwal para perawi
tersebut, berbagai kegiatan ilmiahnya, bahkan berbagai tingkah lakunya dalam
keseharian. Mereka kemudian menyelidiki dengan seksama keadaan para

8
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah... hlm. 279

9
Imron, Ali, 2017.Dasar-dasar Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta’dil. Jurnal Studi Islam. Hal. 293-294, Vol
2, No. 2, Desember 2017
perawi tersebut, sehingga mereka benar-benar mengetahui secara jelas mana
perawi kualits hafalannya baik, yang cerdas, baik, dan lain sebagainya.

Di depan telah disebutkan bahwa Nabi Saw. Telah mekakukan jarh dan
ta’dil kepada para shahabat beliau. Hal ini ternyata juga dilanjutkan oleh para
shahabat, tabi’in, tabi’it-tabi’in, dan lain seterusnya.

Meski hal ini pada zaman nabi Saw. Dan para shahabatnya tampaknya
belum begitu semarak, namun tidak bisa dikatakan bahwa hal itu tidak ada.
Beberapa riwayat dengan jelas menyebutkan bahwa ‘Umar bin Khathab
meminta kesaksian pihak lain sebelum beliau menerima riwayat tentang Nabi
dari seseorang. Demikian pula Ali bin Abi Thalib. Hal ini terus berlanjut pada
masa tabi’in, tabi’it tabi’in, dan seterusnya.

Syu’bah bin Hajjaj (w. 160 H), seorang generasi yang sedikit lebih senior
daripada Imam Syafi’l, ketika ditanya tentang hadis hadis yang diriwayatkan
Hakim bin Jabir, maka ia menjawab, “Aku takut neraka.” Syu’bah ini memang
dalam sejarah terkenal sebegai ulama keras terhadap para pendusta hadis.
Karena itulah Imam Syafi’I berkata, “Jika tidak ada Syu’bah, niscaya aku tidak
tahu hadis di Irak.”10

Para ulama hadits dalam melakukan jarh wa ta’dil adalah tidak pandang bulu.
Bisa dikatakan, motif mereka adalah untuk menjaga orisinalitas atau keaslian
agama semata, bukan yang lain.

Ali Ibnu Madini (w. 234 H), salah seorang guru al-Bukhari, satu ketika
ditanya seseorang tentang ayahnya, maka beliau menjawab, “Bertanyalah
kepada orang lain.” Orang itu kembali mengulangi pertanyaan yang sama, maka
beliau pun menjawab, “Ia (ayahku) itu lemah.”

Para ulama juga berlaku sangat ketat dalam masalah ini. Mereka meneliti
dengan seksama hal ihwal para perawi dengan seksama. Imam al-Sya’bi
berkata, Demi Allah, seandainya aku telah benar 99 kali dan salah 1 kali,

10
Muhammad Ajjal al-Khathib, Ushul al-Hadits... hlm. 261.
niscaya mereka menghitungku berdasarkan yang satu itu. Mereka juga menaruh
perhatian yang sangat besar dalam hal ini.

F. Tokoh-tokoh Ulama yang Terkenal11

Di antara tokoh-tokoh jarh wa ta’dil yang cukup terkenal dari kalangan


sahabat adalah Ibnu Sirin (w. 110 H), Amir al-Sya’bi (w. 103 H), dan Hasan al-
Bashri (w.). Pasca mereka, tersebutlah nama nama seperti Syu’bah bin Hajjaj
(w. 160 H), Malik bin Anas (w. 179. H), dan lain-lain.

Setalah masa mereka, muncullah nama-nama seperti Sufyan bin ‘Uyaynah


(w. 198 H), ‘Abdurrahman bin Mahdi (w. 198 H), dan tokoh yang paling
terkenal pada thabaqah ini adalah Yahya bin Ma’in (w. 233 H), imam jarh wa
ta’dil pada masanya.

Tersebut pula nama-nama seperti Imam Ahmad bin Hambal (w. 241 H), dan
Ali bin Abdullah al-Madini (w. 234 H). Hampir semua nama di atas adalah
tokoh-tokoh yang pernah menjadi guru Imam al-Bukhari. Setelah itu,
muncullah nama-nama lain seperti Abu Hatim (w. 277 H), Abu Zur’ah (w. 264
H), dan lain-lain.12

Generasi-genarasi tersebut terus berganti. Misalnya pada. Abad 6 H,


muncullah imam Nawawi, Ibnu Shalah, dan lain-lain. Pada abad 9 dan 10 H,
muncullah nama al-Syakhawi, al-Syuyuthi, al-Iraqi, dan lain-lain. Tokoh yang
belakangan muncul pada kurun ini adalah Syeikh Nashiruddin al-Albani.

G. Tingkatan-tingkatan Jarh wa Ta’dil13


a. Tingkatan Ta’dil

Dalam melakukan jarh, para ulama telah menetapkan adanya


beberapa tingkatan, antara lain:

11
Muhammad Ajjal al-Khathib, Ushul al-Hadits... hlm. 261.

12
Muhammad Ajjal al-Khathib, Ushul al-Hadits... hlm. 265.
13
Imron, Ali, 2017.Dasar-dasar Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta’dil. Jurnal Studi Islam. Hal. 296-297, Vol
2, No. 2, Desember 2017
Tingkatan pertama, yakni para shahabat. Di sini terdapat satu jargon
yang cukup terkenal: kullu shahabat ‘udul (semua shahabat adalah adil).

Tingkatan kedua, yakni tingkatan orang-orang yang direkomendasikan para


ulama dengan menggunakan ungkapan ungkapan yang hiperbolis, misalnya
awtsaqu al-nas (manusia paling tsiqqah), adhbath al-nas (manusia paling
cerdas), ilayhi muntaha al tatsbit (dialah puncak kesahhahihan), dan lain-lain.

Tingkatan ketiga, yakni tingkatan orang-orang yang dipuji para ulama dengan
ungkapan ganda yang berbeda, misalnya tsabat harbefizh (kuat lagi hafal),
tsiqqah tsabat (tsiqqah lagi kuat), dan lain-lain; atau dengan satu ungkapan yang
diulang, misalnya tsiqqatu tsiqqah, dan lain-lain. Pengulangan ungkapan yang
paling banyak adalah yang dilakukan Ibnu ‘Uyaynah ketika memberikan
penilaian terhadap ‘Amr bin Dinar. Ibnu ‘Uyaynah berkata, “Dia itu tsiqqah,
tsiqqah, tsiqqah, tsiqqah...., (hingga sembilan kali).”

Tingkatan keempat, yakni tingkatan orang-orang yang dipuji para ulama


dengan memakai satu ungkapan yang menunjukkan bahwa orang yang
bersangkutan adalah tsiqqah, misalnya dengan kata-kata tsabat, hujjah, ka
annahu mushaf, ‘adil, dhabit, qawi, dan lain-lain.

b. Tingkatan Jarh

Sebagaimana ta’dil yang menggunakan banyak ragam ungkapan,


jarh juga sama, yakni menggunakan ungkapan yang berbeda-beda. Berikut
ini tingkatan-tingkatan jarh dari yang paling ringan (agak mendingan)
hingga yang paling parah.

Pertama, tingkatan para perawi yang dikomentari para ulama dengan


unkapan-ungkapan seperti fihi maqal (ada yang diperbincangkan dalam
dirinya), fihi adna maqal (apa yang diperbincangkan adalah sesuatu yang
paling rendah), laysa bi al qawi, laysa bi al-matin (tidak kuat), laysa bi
hujjah (tidak bisa dipakai hujjah), laysa bi al-hafizd (bukan orang hafidz),
dan lain-lain.

Kedua, tingkatan yang lebih buruk dari tingkatan di atasnya, yakni para
perawi yang dikomentari para ulama dengan unkapan ungkapan seperti la
yuhtaju bihi (ia tidak dibutuhkan), mudhtharib al-hadits (haditsnya kacau),
lahu ma yunkaru (haditsnya dingkari para ulama), haditsuhu munkar
(hadistnya munkar), lahu manakir (ia punya hadits-hadits munkar), dhaif
(lemah), atau munkar menurut selain al-Bukhari, sebab al-Bukari sendiri
pernah berkata, “Setiap perawi yang aku komentari sebagai munkirul hadits,
maka tidak halal meriwayatkan hadits darinya.

Ketiga, tingkatan yang lebih buruk dari tingkatan di atasnya, yakni


para perawi yang dikomentari para ulama dengan unkapan ungkapan seperti
fulan rudda haditshuhu (ia ditolak haditsnya), mardud al-hadits (haditsnya
ditolak), dhaif jiddan (sangat lemah), la yuktab haditshusu (haditsnya tidak
boleh ditulis), mathruh al-hadist (hadits yang diriwayatkannya harus
dibuang), mathruh (dibuang), la tahillu kitabah haditsuhu (tidak halal
menulis haditsnya), laysa bi syai’in (tidak ada apa-apanya), la yastasyhidu
bi haditsihi (hadistnya tidak boleh dipakai sebagai penguat), dan lain-lain.

H. Etika dalam Jarh wa Ta’dil14

Dalam melakukan jarh wa ta’dil, ada beberapa etika yang harus


diperhatikan. Antara lain adalah sebagai berikut. Nududdin ‘Itr dalam bukunya
yang berjudul Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al Hadits menyebutkan empat etika
dalam jarh wa ta’dil. Namun pada dasarnya, poin penting yang ada di sana
hanya tiga, sedang yang satu hanya bersifat pengembangan. Tiga poin tersebut
adalah sebagai berikut:

1. Dilakukan secara proporsianal, tidak terlalu tinggi dalam men ta’dil


seorang perawi, tetapi juga tidak terlalu menjatuhkan dalam menjarhnya.
2. Tidak boleh melakukan jarh melebihi keperluan, karena disyari’atkannya
jarh pada dasarnya adalah karena keadaan dharurat, sedang keadaan darurat
hanya membolehkan sesuatu secukupnya.
3. Tidak boleh hanya melakukan jarh saja, tanpa melakukan ta’dil, jika
memang orang yang bersangkutan juga memiliki nilai-nilai positif.

14
Imron, Ali, 2017.Dasar-dasar Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta’dil. Jurnal Studi Islam. Hal. 296
Kesimpulan

Ilmu Al-Jarh wa Al-Ta’dil merupakan materi pembahasan dari cabang ilmu


hadis yang membahas cacat atau adilnya seorang yang meriwayatkan hadis
yang berpengaruh besar terhadap klarifikasi hadisnya. Dengan mengetahui ilmu
al-Jarh wa at-ta’dil, kita juga akan bisa menyeleksi mana hadist shohih, hasan,
maupun hadist yang dho’if, terutama dari segi kualitas rawi, bukan dari
matannya.15

Kita tidak boleh menerima begitu saja penilaian seorang ulama terhadap
ulama lainnya, terkadang pernyataan-pernyataan ulama tentang tajrih dan ta’dil
terhadap orang yang sama bisa bertentangan. Oleh sebab itu, ada beberapa
syarat yang harus dipenuhi (kriteria yang dimiliki) bagi orang yang men-Ta’dil-
kan (Mu’addil) dan orang yang men-jarah-kan (Jarih). Salahsatunya harus
berilmu, takwa, wara’, jujur, tidak fanatik terhadap golongan, dan mengetahui
sebab-sebab untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan.

Dalam menentukan sebuah hadis, konsep mendahulukan jarh daripada ta’dil


bukan merupakan konsep yang mutlak, tetapi merupakan konsep dari mayoritas
ulama. Kemudian lafazh-lafazh yang digunakan untuk men-tajrih dan men-
ta’dil itu memiliki tingkatan. Para ahli ilmu mempergunakan hadis-hadis yang
diriwayatkan oleh rawi-rawi yang di-ta’dil-kan menurut tingkatan pertama
sampai tingkatan keempat sebagai hujjah. Sedangkan orang yang di-tajrih
menurut tingkat pertama sampai dengan tingkat keempat, hadisnya tidak dapat
dibuat hujjah sama sekali.

Dengan demikian, Ilmu Al-Jarh wa Al-Ta’dil merupakan bagian penting


dari cabang ilmu ‘ulumul hadis dalam proses penyeleksian sebuah hadits.
Sehingga bisa diterima atau tidaknya sebuah hadits tersebut.

15
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah... hlm. 374. 20 Muhammad ‘Ajjal al-Khathib, Ushul al-
Hadits... hlm. 265.
DAFTAR PUSTAKA

‘Itr Nuruddin.2017.‘Ulumul Hadits, Bandung : PT REMAJA


ROSDAKARYA

Muh.Haris Zubaidillah, Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta’dil

Muhammad Ajjal al-Khathib, Ushul al-Hadits... hlm. 261.

Muhammad Ajjal al-Khathib, Ushul al-Hadits... hlm. 265.

M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah... hlm. 374. 20 Muhammad ‘Ajjal al-Khathib,


Ushul al-Hadits... hlm. 265.

M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah... hlm. 279

Anda mungkin juga menyukai