Biofarmasetika Kelas A
Biofarmasetika Kelas A
Anggraini
TUGAS BIOFARMASETIKA
BIOAVAILABILITAS
Dosen Pengampu: Tri Puspita Yuliana, M.Farm., Apt
1. Bioavailabilitas merupakan persentase dan kecepatan zat aktif dalam suatu produk
obat yang mencapai atau tersedia dalam sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh atau
aktif setelah pemberian produk obat tersebut,diukur dari kadarnya dalam darah
terhadap waktu dari ekskresinya dalam urin (BPOM, 2004). Sirkulasi sistemik disini
mencangkup vena (kecuali vena porta) dan arteri selama fase absorpsi setelah ruteper
oral (Abdou,1989). Banyak proses dilalui oleh obat sebelum obat mencapai sirkulasi
sistemik seperti disolusi, difusi, proses pengosongan pada lambung, waktu transit di
usus dan absorpsi intrinsik obat di tempatnya yang berbeda setelah obat melarut
(Swarbrick, 1970).
2. Hubungan antara sifat fisikokimia obat dengan bioavailabilitas
a. pKa dan Derajat Ionisasi
Obat berupa larutan dalam air dapat diklasifikasi menjadi 3 kategori, yaitu :
Elektrolit kuat ; seluruhnya berupa ion (contoh : Na, K, Cl)
Non elektrolit ; tidak terdisosiasi (contoh : gula, steroid)
Elektrolit lemah ; campuran bentuk ion & molekul
Konsentrasi relatif bentuk ion/molekul bergantung pada pKa obat dan pH lingkungan.
Kebanyakan obat dalam bentuk asam lemah atau basa lemah, yang terabsorpsi secara
difusi aktif, sehingga hanya bentuk molekul (tidak terionisasi) yang terabsorpsi.
Akibatnya perbandingan ion/molekul sangat menentukan absorpsi.
Konsentrasi ion dari obat berupa asam lemah (misal asetosal) meningkat dengan
peningkatan pH media air. Sebaliknya Konsentrasi molekul dari obat berupa asam
lemah (misal alkaloid)meningkat dengan apeningkatan pH media air. Sehingga asam
lemah lebih banyak diabsorpsi pada suasana asam (di lambung, pH 1-3), sedangkan
basa lemah lebih banyak diabsorpsi di usus (pH 6-8).
b. Bentuk solven dan hidrat pada saat pembentukan kristal,cairan pelarut dapat
membentuk ikatan stabil dengan obat, disebut solvat. Jika pelarutnya adalah air,
ikatan ini disebut hidrat. Bentuk hidrat memilik isifat-sifat yang berbeda dengan
bentukan hidrat , terutama kecepatan disolusi . Ampisilinaan hidrat lebih mudah larut
daripada ampisilian trihidrat.
c. Pengaruh Polimorfisme
Fenomena polimorfisme terjadi jika suatu zat menghablur dalam berbagai bentuk
Kristal yang berbeda, akibat suhu, teakanan, dan kondisi penyimpanan. Polimorfisme
terjadi antara lain pada steroid, sulanilamida, barbiturat, kloramfenikol.
Kloramfenikol palmitat terdapat dalam bentuk polimorf A, B, C, dan amorf. Tetapi
hanya bentuk polimorf B dan bentuk amorf yang dapat dihidrolisis oleh usus.
d. Excipient
Obat jarang diberikan tunggal dalam bahan aktif . Biasanya dibuat dalam bentuk
sediaan tertentu yang membutuhkan bahan-bahan tambahan (excipients) . Obat harus
dilepaskan (liberated) dari bentuk –bentuk sediaannya sebelum mengalami disolusi ,
sehingga excipients dapat mengakibatkan perubahan disolusi dana absorpsi obat.
Contoh kasus pengaruh excipient pada bioavailabilitas terjadi pada tahun 1971 di
Australia . Banyak pasien yang mengkonsumsi tablet fenitoinmem perlihatkan gejala
keracunan , meskipun kadar fenitoin tablet tersebut tepat . Ternyata bahan pengisi
pada formula tablet tersebut menggunakan laktosa , sebelumnya kalsium sulfat .
Penggantian laktosa menyebabkan peningkatan bioavailabilitas sehingga terjadi
efektoksis. Zat-zat aktif permukaan (seperti tween dan span) atau zat hidrofil yang
mudah larut dalam air (polivinilpirolidon , carbowax) , dapat meningkatkan kecepatan
disolusi tablet . Sebaliknya, zat-zat hidrofob yang digunakan sebagai lubricant (misal
magnesium stearat) dapat menghambat disolusi. Kini lebih umum digunakan aerosol
sebagai lubricant karena tidak menghambat disolusi. Zat pengikat (padatablet) dan zat
pengental (pada suspensi), seperti gom dan gelatin umumnya juga memperlambat
disolusi. Sebaliknya zat penghancur seperti amilum justru mempercepat disolusi.
Pemilihan basis suppositoria juga mempengaruhi kecepatan absorpsi obat . Kini lebih
umum basis sintetis dibandingkan oleumcacao. Tetapi beberapa obat sukar dilepaskan
dari basis ini. Sehingga indometasin dan kloralhidrat lebih baik dibuat dalam basis
carbowax, sedangkan aminofilin dalam basis oleumcacao.
e. Ukuran partikel
Penurunan ukuran partikel dapat meningkatkan laju absorbsi bila pengecilan
ukuran partikel tersebut mempengaruhi proses pelarutan. Pengurangan ukuran partikel
berperan tidak hanya pada laju penyerapan tetapi juga pada kecilnya derajat
kelarutan suatu senyawa
Cara Pemberian Obat (Rektal) Obat sering diberikan secara rektal untuk efek lokal
dan jarang untuk efek sistemik. Pemberian obat secara rektal juga disarankan jika
cara oral terhalang oleh muntah atau pasien tidak sadar atau tidak mampu menelan
obat dengan baik. Obat yang diabsorbsi melalui rektal tidak melewati hati sebelum
masuk ke dalam sirkulasi sistemik obat cepat rusak dalam hati (first pass effect)
4/16/2013 9
Cara Pemberian Obat (Parenteral) 3 Cara utama dalam pemberian parenteral
adalah subkutan, intramuskular, dan intravena. Absorbsi melalui parenteral tidak
hanya lebih cepat daripada pemberian oral, tapi kadar obat dalam darah yang
dihasilkan jauh lebih bisa diramalkan karena sedikit yang hilang setelah
penyuntikan. Cara pemberian parenteral terutama berguna dalam pengobatan pada
pasien yang tidak dapat bekerja sama, kehilangan kesadaran, atau tidak dapat
menerima obat secara oral.
Cara Pemberian Obat (Epikutan) Absorbsi obat melalui kulit meningkat jika obat
berada dalam larutan, jika obat mempunyai koefisien partisi lipid/air yang baik,
dan jika berupa nonelektrolit. Obat-obat yang dipakai pada kulit untuk kerja lokal
antara lain: antiseptik, antifungi, antiradang, anestetik lokal, emoliens kulit, dan
pelindung terhadap matahari, angin, hama, dan zat-zat kimia yang merangsang.
4/16/20
Pertimbangan dalam perencanaan bentuk sediaan (biofarmasetika)
Bioavailabilitas adalah persentase zat aktif yang ada di dalam darah
dibandingkan dengan dosis yang diberikan.
Pemberian secara oral dapat mempengaruhi kondisi zat aktif
Pada saat ditelan, obat-obatan yang diberikan secara oral, melewati anatomi
dan lingkungan fisiologis yang sangat berbeda dalam perjalanannya.
Nilai pH, misalnya, perubahan dari 1-3 di perut menjadi 5-7 di dalam
duodenum, dan 7-8 di dalam ileum.
Luas permukaan spesifik juga berubah secara drastis dari perut hingga usus
kecil, di mana absorbsi terjadi.
Sebelum memasuki usus, sediaan farmasi yang terkena konsentrasi proton
tinggi, hidrolisis, flokulasi, dan presipitasi dapat terjadi pada pH rendah di
perut.
Tapi ini tidak hanya asam yang memiliki efek; seluruh isi materi perut dapat
berefek.
Waktu, kuantitas, dan jenis makanan yang dikonsumsi menentukan laju di
mana obatobatan masuk dan meninggalkan usus serta kondisi di mana mereka
melakukannya.