Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENGERTIAN SISTEM POLITIK


Pengantar

Sebagai suatu sistem, politik dapat dipandang sebagai supra sistem,


yakni sistem utama yang mengandung berbagai sub-sub sistem. Dalam hal ini,
politik sebagai sistem antara lain dapat terdiri dari sub sistem pemerintahan,
perwakilan politik dan partisipasi publik, kepartaian dan pemilihan umum, dan
sebagainya.

Di sisi lain, politik adalah sub sistem dari sistem yang lebih besar yakni
sistem negara. Dalam kedudukan ini, bersama-sama dengan sub sistem ekonomi,
sub sistem hukum, sub sistem sosial dan sebagainya, sub sistem politik membentuk
suatu sistem bernegara (1). Dengan kata lain, dalam suatu negara, keseluruhan
sub sistem tersebut tidak dapat dipisahkan, sebaliknya saling memberikan
pengaruh terhadap sub sistem lainnya. Dalam bab ini akan dipaparkan teori sistem
yang diiciptakan Davis Easton, dirangkai teori struktural fungsional sebagai revisi dari
teori sistem tersebut.

A. Teori Sistem by David Easton


Pengertian sistem politik menurut David Easton masih memegang posisi
kunci dalam studi politik negara. Pengertian struktural fungsional dari Gabriel
Almond mempertajam konsep David Easton tersebut. Sistem adalah kesatuan
seperangkat struktur yang memiliki fungsi masing-masing yang bekerja untuk
mencapai tujuan tertentu. Sistem politik adalah kesatuan (kolektivitas) seperangkat
struktur politik yang memiliki fungsi masing-masing yang bekerja untuk mencapai
tujuan suatu negara. Pendekatan sistem politik ditujukan untuk memberi penjelasan
yang bersifat ilmiah terhadap fenomena politik (2). Pendekatan sistem politik
dimaksudkan juga untuk menggantikan pendekatan klasik ilmu politik yang hanya
mengandalkan analisis pada negara dan kekuasaan. Pendekatan sistem politik
diinspirasikan oleh sistem yang berjalan pada makhluk hidup (dari disiplin biologi).

Hand Out Sistem Politik Indonesia 1


  Ronald H. Chilcote menyatakan bahwa pemikiran Easton dapat dirujuk pada
tiga tulisannya yaitu The Political System, A Framework for Political Analysis, dan A
System Analysis of Political Life.[3] Di dalam buku pertama yang terbit tahun 1953
(The Political System) Easton mengajukan argumentasi seputar perlunya
membangun satu teori umum yang mampu menjelaskan sistem politik secara
lengkap. Teori tersebut harus mampu mensistematisasikan fakta-fakta kegiatan
politik yang tercerai-berai ke dalam suatu penjelasan yang runtut dan tertata rapi. 

Easton mendefinisikan politik sebagai proses alokasi nilai dalam masyarakat


secara otoritatif. Kata secara otoritatif membuat konsep sistem politik Easton
langsung terhubungan dengan negara.[4] Atas definisi Easton ini Michael Saward
menyatakan adanya konsekuensi-konsekuensi logis berikut:[5]
1. Bagi Easton hanya ada satu otoritas yaitu otoritas negara;
2. Peran dalam mekanisme output (keputusan dan tindakan) bersifat eksklusif yaitu
hanya di tangan lembaga yang memiliki otoritas;
3. Easton menekankan pada keputusan yang mengikat dari pemerintah, dan sebab
itu: (a) keputusan selalu dibuat oleh pemerintah yang legitimasinya bersumber
dari konstitusi dan (b) Legitimasi keputusan oleh konstitusi dimaksudkan untuk
menghindari chaos politik; dan

4. Bagi Easton sangat penting bagi negara untuk selalu beroperasi secara legitimate.

Menurut Chilcote, dalam tulisannya di The Political System, Easton


mengembangkan empat asumsi (anggapan dasar) mengenai perlunya suatu teori
umum (grand theory) sebagai cara menjelaskan kinerja sistem politik, dan Chilcote
menyebutkan terdiri atas:[6]

1. Ilmu pengetahuan memerlukan suatu konstruksi untuk mensistematisasikan


fakta-fakta yang ditemukan.
2. Para pengkaji kehidupan politik harus memandang sistem politik sebagai
keseluruhan, bukan parsial.

Hand Out Sistem Politik Indonesia 2


3. Riset sistem politik terdiri atas dua jenis data: data psikologis dan data
situasional. Data psikologis terdiri atas karakteristik personal serta motivasi
para partisipan politik. Data situasional terdiri atas semua aktivitas yang
muncul akibat pengaruh lingkungan. Pengaruh lingkungan ini muncul dari
lingkungan fisik (topografi, geografis), lingkungan organis nonmanusia (flora,
fauna), dan lingkungan sosial (rakyat, aksi dan reaksinya).

4. Sistem politik harus dianggap berada dalam suatu disequilibrium


(ketidakseimbangan).

Politik adalah suatu ilmu pengetahuan dan sebagai ilmu pengetahuan politik
memiliki dimensi ontologis, epistemologis dan aksiologis. Easton memaksudkan teori
yang dibangunnya mampu mewakili ketiga unsur ilmiah tersebut. Easton juga
memandang sistem politik tidak dapat lepas dari konteksnya. Sebab itu pengamatan
atas suatu sistem politik harus mempertimbangkan pengaruh lingkungan.

Pengaruh lingkungan ini disistematisasi ke dalam dua jenis data, psikologis


dan situasional. Kendati masih abstrak, Easton sudah mengantisipasi pentingnya
data di level individu. Namun, level ini lebih dimaksudkan pada tingkatan unit-unit
sosial dalam masyarakat ketimbang perilaku warganegara (seperti umum dalam
pendekatan behavioralisme). Easton menekankan pada motif politik saat suatu
entitas masyarakat melakukan kegiatan di dalam sistem politik. Menarik pula dari
Easton ini yaitu antisipasinya atas pengaruh lingkungan anorganik seperti lokasi
geografis ataupun topografi wilayah yang ia anggap punya pengaruh tersendiri atas
sistem politik, selain tentunya lingkungan sistem sosial (masyarakat) yang terdapat
di dalam ataupun di luar sistem politik (7).

Easton juga menghendaki dilihatnya penempatan nilai dalam kondisi


disequilibriun (tidak seimbang). Ketidakseimbangan inilah yang merupakan bahan
bakar sehingga sistem politik dapat selalu bekerja. Easton mengidentifikasi empat
atribut yang perlu diperhatikan dalam setiap kajian sistem politik, yang terdiri atas:
[7]

Hand Out Sistem Politik Indonesia 3


1.    Unit-unit dan batasan-batasan suatu sistem politik

Serupa dengan paradigma fungsionalisme, dalam kerangka kerja sistem politik pun
terdapat unit-unit yang satu sama lain saling berkaitan dan saling bekerja sama
untuk mengerakkan roda kerja sistem politik. Unit-unit ini adalah lembaga-lembaga
yang sifatnya otoritatif untuk menjalankan sistem politik seperti legislatif, eksekutif,
yudikatif, partai politik, lembaga masyarakat sipil, dan sejenisnya. Unit-unit ini
bekerja di dalam batasan sistem politik, misalnya dalam cakupan wilayah negara
atau hukum, wilayah tugas, dan sejenisnya.

2.    Input-output

Input merupakan masukan dari masyarakat ke dalam sistem politik. Input yang
masuk dari masyarakat ke dalam sistem politik dapat berupa tuntutan dan
dukungan. Tuntutan secara sederhana dapat disebut seperangkat kepentingan yang
alokasinya belum merata atas ejumlah unit masyarakat dalam sistem politik.
Dukungan secara sederhana adalah upaya masyarakat untuk mendukung
keberadaan sistem politik agar terus berjalan. Output adalah hasil kerja sistem
politik yang berasal baik dari tuntutan maupun dukungan masyarakat. Output
terbagi dua yaitu keputusan dan tindakan yang biasanya dilakukan oleh pemerintah.
Keputusan adalah pemilihan satu atau beberapa pilihan tindakan sesuai tuntutan
atau dukungan yang masuk. Sementara itu, tindakan adalah implementasi konkrit
pemerintah atas keputusan yang dibuat.

3.    Diferensiasi dalam sistem

Sistem yang baik harus memiliki diferensiasi (pembedaan dan pemisahan) kerja. Di
masyarakat modern yang rumit tidak mungkin satu lembaga dapat menyelesaikan
seluruh masalah. Misalkan saja dalam proses penyusunan Undang-undang Pemilu,
tidak bisa hanya mengandalkan DPR sebagai penyusun utama, melainkan pula harus
melibatkan Komisi Pemilihan Umum, lembaga-lembaga pemantau kegiatan pemilu,
kepresidenan, ataupun kepentingan-kepentingan partai politik serta lembaga-
lembaga swadaya masyarakat sehingga dalam konteks undang-undang pemilu ini,

Hand Out Sistem Politik Indonesia 4


terdapat sejumlah struktur (aktor) yang masing-masing memiliki fungsi sendiri-
sendiri.

4.    Integrasi dalam sistem

Integrasi adalah keterpaduan kerja antar unit yang berbeda untuk mencapai tujuan
bersama. Undang-undang Pemilihan Umum tidak akan diputuskan serta
ditindaklanjuti jika tidak ada kerja yang terintegrasi antara DPR, Kepresidenan, KPU,
Bawaslu, Partai Politik, dan media massa.

Hasil pemikiran tahap pertama Easton adalah sebagai berikut:[8]

Skema Kerja Sistem Politik Easton

Dalam gambar di atas, Easton memisahkan sistem politik dengan masyarakat


secara keseluruhan oleh sebab bagi Easton sistem politik adalah suatu sistem yang
berupaya mengalokasikan nilai-nilai di tengah masyarakat secara otoritatif. Alokasi
nilai hanya dilakukan oleh lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan yang
legitimate (otoritatif) di mata warganegara dan konstitusi. Suatu sistem politik
bekerja untuk menghasilkan suatu keputusan (decision) dan tindakan (action) yang
disebut kebijakan (policy) guna mengalokasikan nilai.

Unit-unit dalam sistem politik menurut Easton adalah tindakan politik


(political actions) yaitu kondisi seperti pembuatan UU, pengawasan DPR terhadap
Presiden, tuntutan elemen masyarakat terhadap pemerintah, dan sejenisnya. Dalam
awal kerjanya, sistem politik memperoleh masukan dari unit input.

Input adalah pemberi makan sistem politik. Input terdiri atas dua jenis: tuntutan dan
dukungan. Tuntutan dapat muncul baik dalam sistem politik maupun dari lingkungan

Hand Out Sistem Politik Indonesia 5


intrasocietal maupun extrasocietal. Tuntutan ini dapat berkenaan dengan barang
dan pelayanan (misalnya upah, hukum ketenagakerjaan, jalan, sembako), berkenaan
dengan regulasi (misalnya keamanan umum, hubungan industrial), ataupun
berkenaan dengan partisipasi dalam sistem politik (misalnya mendirikan partai
politik, kebebasan berorganisasi).

Tuntutan yang sudah terstimulasi kemudian menjadi garapan aktor-aktor di


dalam sistem politik yang bersiap untuk menentukan masalah yang penting untuk
didiskusikan melalui saluran-saluran yang ada di dalam sistem politik. Di sisi lain,
dukungan (support) merupakan tindakan atau orientasi untuk melestarikan ataupun
menolak sistem politik. Jadi, secara sederhana dapat disebutkan bahwa dukungan
memiliki dua corak yaitu positif (forwarding) dan negatif (rejecting) kinerja sebuah
sistem politik.

Setelah tuntutan dan dukungan diproses di dalam sistem politik, keluarannya


disebut sebagai output, yang menurut Easton berkisar pada dua entitas yaitu
keputusan (decision) dan tindakan (action). Output ini pada kondisi lebih lanjut akan
memunculkan feedback (umpan balik) baik dari kalangan dalam sistem politik
maupun lingkungan. Reaksi ini akan diterjemahkan kembali ke dalam format
tuntutan dan dukungan, dan secara lebih lanjut meneruskan kinerja sistem politik.
Demikian proses kerja ini berlangsung dalam pola siklus.

Di dalam karyanya yang lain - A Framework for Political Analysis (1965) dan A
System Analysis of Political Life (1965) Chilcote menyebutkan bahwa Easton mulai
mengembangkan serta merinci konsep-konsep yang mendukung karya sebelumnya
– penjelasan-penjelasannya yang abstrak – dengan coba mengaplikasikannya pada
kegiatan politik konkrit dengan menegaskan hal-hal sebagai berikut:[9]

 Masyarakat terdiri atas seluruh sistem yang terdapat di dalamnya serta bersifat
terbuka;
 Sistem politik adalah seperangkat interaksi yang diabstraksikan dari totalitas
perilaku sosial, dengan mana nilai-nilai dialokasikan ke dalam masyarakat secara
otoritatif. Kalimat ini sekaligus merupakan definisi politik dari Easton; dan

Hand Out Sistem Politik Indonesia 6


 Lingkungan terdiri atas intrasocietal dan extrasocietal.
Lingkungan intrasocietal terdiri atas lingkungan fisik serta sosial yang terletak di
luar batasan sistem politik tetapi masih di dalam masyarakat yang sama.
Lingkungan intrasocietal terdiri atas:[10]
 Lingkungan ekologis (fisik, non manusia), misal: kondisi geografis wilayah yang
didominasi.
 Lingkungan biologis (berhubungan dengan keturunan ras).

 Lingkungan psikologis contoh adalah postcolonial, bekas penjajah, maju,


berkembang, terbelakang, ataupun superpower.

 Lingkungan sosial misal dari lingkungan ini adalah budaya, struktur sosial, kondisi
ekonomi dan demografis.

Lingkungan extrasocietal adalah bagian dari lingkungan fisik serta sosial yang
terletak di luar batasan sistem politik dan masyarakat tempat sistem politik berada.
Lingkungan extrasocietal terdiri atas:

 Sistem Sosial Internasional. Misal dari sistem sosial internasional adalah kondisi
pergaulan masyarakat dunia, sistem ekonomi dunia, gerakan feminisme, gerakan
revivalisme Islam, dan sejenisnya, atau mudahnya apa yang kini dikenal dalam
terminologi International Regime (rezim internasional) yang sangat banyak
variannya.
 Sistem ekologi internasional. Misal dari sistem ekologi internasional adalah
keterpisahan negara berdasar benua, kelangkaan sumber daya alam, geografi
wilayah berdasar lautan (asia pasifik, atlantik), isu lingkungan seperti global
warming atau berkurangnya hutan atau paru-paru dunia.

 Sistem politik internasional. Misal dari sistem politik internasional adalah PBB,
NATO, ASEAN, ANZUS, Europa Union, kelompok negara-negara Asia Afrika, blok-
blok perdagangan dan poros-poros politik khas dan menjadi fenomena di aneka
belahan dunia. Termasuk ke dalam sistem politik internasional adalah pola-pola

Hand Out Sistem Politik Indonesia 7


hubungan politik antar negara seperti hegemoni, polarisasi kekuatan dan tata
hubungan dalam lembaga-lembaga internasional.

Seluruh pikiran Easton mengenai pengaruh lingkungan ini dapat dilihat di dalam
bagan model arus sistem politik berikut:

Model Arus Sistem Politik Easton

Model arus sistem politik di atas hendak menunjukkan peran lingkungan,


baik intrasocietal maupun extrasocietal, mampu mempengaruhi tuntutan dan
dukungan yang masuk ke dalam sistem politik.

Tuntutan dan dukungan dikonversi di dalam sistem politik yang bermuara pada
output yang dikeluarkan oleh Otoritas. Otoritas di sini berarti lembaga yang memiliki
kewenangan untuk mengeluarkan keputusan maupun tindakan dalam bentuk policy
(kebijakan), bukan sembarang lembaga, melainkan menurut Easton diposisikan oleh
negara (state). Output ini kemudian kembali dipersepsi oleh lingkungan dan proses
siklis kembali berlangsung.

B. Teori Stuktural fungsional by Gabriel Abraham Almond

Hand Out Sistem Politik Indonesia 8


Gabriel Abraham Almond adalah salah satu pengguna teori sistem politik
Easton. Namun, Almond kurang sependapat dengan pendekatan Easton yang
terlampau abstrak. Almond juga menyayangkan kurangnya perhatian Easton pada
kajian-kajian politik dalam skala mikro.Menurut Chilcote, pada tahun 1956 – jadi
sekitar tiga tahun setelah David Easton meluncurkan karyanya The Political System
tahun 1953 -  Gabriel Abraham Almond menerapkan teori sistem tersebut atas
sistem politik suatu bangsa sebagai bentuk metode trial and error layaknya sebuah
teori. Namun, Almond melakukan sejumlah modifikasi atas teori Easton. Jika Easton
membangun suatu grand theory maka Almond membangun suatu middle-range
theory. Secara umum, teori sistem yang dibangun Almond terdiri atas tiga tahap.
Pentahapan pemikiran Easton ini mengikuti pendapat Ronald H. Chilcote yang
mengacu pada karya-karya penelitian Almond.[11]

Di dalam tulisannya Comparative Polititical System tahun 1956 Almond


mengajukan tiga asumsi yang harus dipertimbangkan dalam kajian sistem politik
yang terdiri atas:

1. Sistem menandai totalitas interaksi di antara unit-unitnya dan keseimbangan


di dalam sistem selalu berubah;
2. Hal penting dalam sistem politik bukan semata-mata lembaga formal,
melainkan juga struktur informal serta peran yang dijalankannya; dan

3. Budaya politik adalah kecenderungan utama dalam sistem politik, di mana


budaya inilah yang membedakan satu sistem politik dengan sistem politik
lain.
Bagi Almond, sistem politik adalah totalitas interaksi antar unit-unit yang ada di
dalamnya. Interaksi tersebut tidak hanya sebatas pada lembaga-lembaga (aktor-
aktor) politik formal melainkan pula informal. Dapat dibayangkan pengaruh politik
struktur-struktur non formal yang dipimpin oleh Kardinal Sin sewaktu perubahan
politik Filipina, Uskup Bello saat Timor Timur masih berada di wilayah Indonesia, M.
Amien Rais dan K. H. Abdurrachman Wahid yang mewakili Muhammadiyah dan
Nahdlatul Ulama dalam pentas politik Indonesia, ataupun pengaruh Pakubuwana

Hand Out Sistem Politik Indonesia 9


secara spiritual bagi politik di tanah Jawa. Easton menghindari kajian atas struktur-
struktur seperti ini sementara Almond justru mengapresiasi signifikansinya.

Keseimbangan di dalam sistem politik menurut Almond selalu berubah


sehingga sistem politik lebih bersifat dinamis ketimbang statis. Perubahan
keseimbangan ini tentu saja tidak lepas dari pengaruh lingkungan intrasocietal dan
extrasocietal. Pengaruh tersebut membuat perimbangan kekuatan antar struktur
formal berubah dan contoh paling mudah adalah dominannya kekuatan lembaga
kepresidenan atas legislatif dan yudikatif di masa pra transisi politik 1998 berganti
dengan persamaan dan penyetaraan kekuatan di antara ketiga lembaga tersebut
pasca transisi.

Kecenderungan orientasi politik individu atas sistem politik – atau biasa disebut
budaya politik – juga berbeda baik antar negara atau bahkan di dalam negara itu
sendiri. Almond bersama Sidney Verba secara khusus menyelidiki budaya politik ini
yang tersusun di dalam buku The Civic Culture: Political Attitudes and Democracy in
Five Nations yang terbit tahun 1963(12). Pada perkembangannya, konsep budaya
politik ini semakin populer dan luas digunakan para peneliti di dunia termasuk
Indonesia. Budaya politik di masing-masing individu sifatnya subyektif. Subyektivitas
ini mendorong terdapatnya lebih dari satu macam budaya politik di dalam
masyarakat suatu bangsa. Layaknya budaya yang bersifat sosial (budaya daerah atau
lokal), budaya politik masyarakat dalam satu negara sangat mungkin berbeda.

Pustaka:
[1] Kedelapan nilai ini diutarakan Harold D. Lasswell dikutip dalam Miriam Budiardjo,
Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 2003) h. 33. Lasswell menyebut ke-
8 nilai ini berkembang di Amerika Serikat modern. Untuk kondisi Indoesia
seharusnya ditambah nilai-nilai kebudayaan lokal dan keagamaan.
[2] Ronald H. Chilcote, Theories of Comparative Politics: The Search for a Paradigm,
(Colorado: Westview Press, 1981) p. 145-82. Gagasan dan penjelasan penulis di
dalam buku ini mendasarkan diri pada Chilcote ini.
[3] Ibid.

Hand Out Sistem Politik Indonesia 10


[4] Michael Saward, The Wider Canvas: Representation and Democracy in State and
Society dalam Sonia Alonso, John Keane, and Wolfgang Merkel, eds., The Future
of Representative Democracy (New York: Cambridge University Press, 2011)
P.80.
[5] Ibid., p. 80-3.
[6] Ronald H. Chilcote, Theories ..., op.cit., p.146.
[7] Ibid.
(8) Skema diambil dari Ronald H. Chilcote, Theories ..., op.cit., p.147.
[9] Ibid.
[10] Ibid. p. 145-50.
[11] Gabriel A. Almond, The Study of Political Culture dalam Dirk Berg-Schlosse and
Ralf Rytlewski, eds., Political Culture in Germany (New York: St. Martin’s Press,
Inc., 1993) p.15.
(12) Ibid.

BAB II

Hand Out Sistem Politik Indonesia 11


TIPE-TIPE BUDAYA POLITIK

Budaya politik adalah "distribusi pola-pola orientasi khusus individu terhadap


objek-objek politik di antara masyarakat bangsa" (Gabriel, 1933). Berdasarkan
definisi ini maka tipe budaya politik suatu masyarakat atau bangsa akan dapat
terlihat setelah terlebih dahulu dilakukan survei terhadap individu-individu anggota
masyarakat atau bangsa itu. Dengan kata lain, definisi ini dapat digunakan untuk
mengukur dan menilai budaya politik suatu masyarakat atau bangsa menurut tipe-
tipe budaya politik tertentu. Jadi budaya politik dalam suatu masyarakat atau bangsa
dapat diketahui melalui tipe-tipe budaya politik yang ada. Dengan kata lain, melalui
pengukuran terhadap sejumah sampel atau responder dari masyarakat atau bangsa
itu, tipe- tipe budaya politik itu terlihat dari karakteristiknya, yaitu frekuensi (tingkat
kognisi atau afeksi atau evaluasi terhadap objek-objek politik dari sejumlah sampel
atau anggota masyarakat) pada tipe-tipe sel sesuai dengan aspek dan objek politik
dalam negeri.Berikut akan dipaparkan tiga tipe budaya politik, yaitu parokial,
subjek dan partisipan.

A. Budaya Politik Parokial


Budaya politik parokial ditunjukkan oleh frekuensi terhadap keempat jenis
objek politik yang mendekati nol. Contoh masyarakat yang memiliki budaya politik
demikian adalah masyarakat suku-suku di Afrika atau komunitas-komunitas lokal
yang otonom (kerajaan sentralistis) di Afrika atau di benua lain di dunia.
Beberapa ciri yang menonjol dari budaya politik parokial di antaranya
sebagai berikut:
1.Tidak adanya peran-peran politik yang bersifat khusus. Kepala suku, kepala
kampung atau dukun merupakan pemencar peran-peran yang bersifat politik,
ekonomi dan keagamaan. Orientasi anggota-anggota masyarakat terhadap peran-
peran ini juga tidak terpisah dari orientasi religius dan sosial mereka.

Hand Out Sistem Politik Indonesia 12


2. Orientasi parokial juga memperlihatkan ketiadaan harapan terhadap perubahan-
perubahan yang berarti yang diinisiatifkan oleh sistem politik.
Kaum parokial tidak mengharapkan spa pun dari sistem politik. Secara relatif
parokialisme (budaya politik parokial) yang murni terdapat pada masyarakat yang
memiliki sistem tradisional yang lebih sederhana dengan tingkat spesialisasi politik
yang sangat minim. Namun demikian pada masyarakat yang lebih besar juga masih
tetap memiliki budaya politik parokial. Parokialisme dalam sistem politik yang
deferensiatif (masyarakat yang besar) lebih bersifat afektif dan normative daripada
kognitif. Contohnya adalah suku-suku bangsa di Nigeria dan Ghana. Bisa saja mereka
mengetahui akan suramnya rezim politik central, tetapi perasaannya terhadap hal
tersebut bersifat negatif dan mereka tdiak membakukan berbagai norms untuk
mengatur hubungan dengan hal-hal tersebut.

B. Budaya Politik Subjek


Dalam budaya politik subjek terdapat frekuensi orientasi yang tinggi terhadap
sistem politik yang diferensiatif dan objek-objek output dari sistem itu, tetapi
frekuensi orientasi terhadap objek-objek input dan pribadi sebagai partisipan yang
aktif (aktor politik) mendekati nol. Beberapa ciri yang menonjol dari budaya politik
subjek di antaranya adalah:
1. Para subjek (anggota masyarakat yang memiliki budaya subjek) menyadari
adanya otoritas pemerintah (sistem politik), mereka secara efektif diarahkan
terhadap otoritas tersebut, mereka juga mungkin merasa bangga terhadap sistem
itu atau sebaliknya tidak menyukainya dan mereka menilainya absah atau
sebaliknya.
2. Hubungan pars subjek dengan sistem secara umum dan terhadap output,
administrative atau "downward flovV'nya (alur pelaksanaan kebijakan dari sistem
politik itu secara esensial merupakan hubungan yang pasif, walaupun mereka
memiliki bentuk kompetensi (kemampuan) secara terbatas. Orientasi subjek yang
murni terdapat pada masyarakat yang tidak memiliki struktur input yang
dideferensiasikan. Orientasi subjek dalam sistem politik yang telah

Hand Out Sistem Politik Indonesia 13


mengembangkan pranata-pranata demokrasi lebih bersifat afektif dan normative
daripada kognitif. Contoh dari tipe orientasi ini adalah golongan bangsawan
Perancis. Mereka sangat menyadari akan adanya institusi demokrasi, tetapi
secara sederhana hal ini tidak memberi keabsahan pada mereka.

C. Budaya Politik Partisipan


Tipe budaya politik partisipan adalah satu bentuk budaya yang anggota-
anggota masyarakatnya cenderung memiliki orientasi yang nyata terhadap sistem
secara keseluruhan, struktur dan proses politik serta administratif (objek-objek
input dan output). Demikian pula anggota-anggota pemerintah yang partisipatif
secara menyenangkan atau sebaliknya diarahkan kepada berbagai objek politik yang
serba ragam. Mereka cenderung diarahkan kepada peranan pribadi sebagai aktivis
masyarakat, meskipun perasaan dan penilaian mereka terhadap peranan yang
demikian bisa menerima atau justru menolaknya. Dengan kata lain, tipe budaya
politik ini ditandai oleh anggota masyarakat atau warga negara yang memiliki
pengetahuan dan kesadaran politik, perhatian dan kepedulian terhadap keseluruhan
objek-objek politik yang sangat tinggi. Meskipun mereka sendiri bisa saja bersikap
positif atau negatif terhadap objek-objek politik tersebut. Contoh masyarakat atau
bangsa yang memiliki tipe budaya politik partisipan, menurut studi Almond dan
Verba adalah Inggris dan Amerika Serikat.
Tipe budaya politik partisipan secara umum tidak akan menanggalkan tipe-
tipe terdahulu yaitu parokial dan subjek, karena ketidaksamaan kondisi di masing-
masing masyarakat atau negara. Ketidaksempurnaan proses-proses sosialisasi
politik, pembatasan dalam pendidikan atau kesempatan untuk belajar yang
menyebabkan tipe budaya politik parokial dan subjek akan terus ada. Bahkan di
negara demokrasi yang sudah terhitung mapan dan stabil.
Begitu pula dengan kebudayaan parokial akan tetap bertahan walaupun dalam
kebudayaan subyek yang tinggi. Bila dianalisa lebih jauh, budaya-budaya politik itu
dapat disejajarkan dengan struktur-struktur sistem politik atau sebaliknya.
Keharmonisan akan tercipta bilamana struktur politik yang ada di suatu negara

Hand Out Sistem Politik Indonesia 14


sesuai dengan kebudayaan politiknya. Pada umumnya budaya parokial, subjek dan
partisipan hampir sama dan sebangun dengan struktur politik tradisional, struktur
otorian yang sentralistis dan struktur politik demokratis. Secara visual kesejajaran itu
dapat diskemakan seperti berikut:
Budaya Paroksial ――― Struktur Politik Tradisional
Budaya Subjek ――― Struktur Politik Otoritarian Sentralistis
Budaya Partisipan ――― Struktur Politik Demokratis

Dari skema di atas, tampak bahwa budaya politik parokial sejajar dengan
struktur politik tradisional. Struktur politik tradisional ini banyak terdapat, misalnya
pada struktur komunitas di desa atau suku yang terpencil.Bila ditafsirkan sebaliknya,
maka dapat diartikan bahwa struktur politik tradisional sangat cocok diterapkan
pada masyarakat yang memiliki budaya politik parokial. Struktur politik yang
otoritarian sentralistis hanya cocok diterapkan pada masyarakat atau bangsa yang
memiliki budaya politik subjek. Struktur politik yang demokratis sangat cocok
diterapkan pada masyarakat atau bangsa yang telah memasuki taraf budaya politik
partisipan.
Jika struktur politik diterapkan pada masyarakat atau bangsa yang tidak
sesuai budaya politiknya maka bisa jadi akan timbul ketidakharmonisan.
Ketidakharmonisan itu bisa dalam bentuk tidak berjalannya atau tidak berfungsinya
sistem politik atau bahkan timbul kekacauan politik pada masyarakat atau bangsa
itu. Ketiga macam tipe budaya politik seperti yang tercantum dalam tabel di atas
merupakan tipe-tipe budaya politik yang bersifat murni. Kombinasi antara tipe-tipe
budaya politik tersebut di atas dapat membentuk tipe-tipe budaya politik campuran.
Secara konseptual ada tiga bentuk budaya politik campuran, yaitu: budaya subjek
parokial, budaya subjek partisipan, dan budaya parokial –partisipan.

a. Budaya Subjek – Parokial


Ini adalah tipe budaya politik yang sebagian besar penduduknya menolak tuntutan-
tuntutan ekslusif (khusus) masyarakat kesukuan atau desa atau otoritas feodal dan

Hand Out Sistem Politik Indonesia 15


telah mengembangkan kesetiaan terhadap sistem politik yang lebih kompleks
dengan struktur-struktur pemerintahan pusat yang bersifat khusus. Bentuk budaya
campuran ini merupakan peralihan atau perubahan dari pola budaya parokial
(parokialisme lokal) menuju pola budaya subjek (pemerintahan yang sentralistis).
Sejumlah bangsa di belahan dunia mengalami peristiwa ini. Bentuk-bentuk klasik
kerajaan merupakan contoh budaya ini, seperti kerajaan-kerajaan di Afrika, Rusia
(Jerman) dan The Ottoman Empire (Kekaisaran Turki).

2. Budaya Subjek – Partisipan


Budaya politik campuran ini merupakan peralihan atau perubahan dari
budaya subjek (pemerintahan yang sentralistis) menuju budaya partisipan
(demokratis). Cara-cara yang berlangsung dalam proses peralihan dari budaya
parokial dan lokal turut mendukung pembangunan infrastruktur demokratis. Gejala
ini terjadi pada politik Inggris. Kekuasaan-kekuasaan lokal, lembaga atau unit
pemerintah kota praja, komunitas religius dan kelompok-kelompok pedagang
mendukung proses perkembangan demokrasi di Inggris.
Dalam budaya subjek – partisipan yang bersifat campuran itu sebagian besar
penduduk telah memperoleh orientasi-orientasi input yang bersifat khusus dan
serangkaian orientasi pribadi sebagai seorang aktivis, sementara itu penduduk
lainnya terns diorientasikan ke arah suatu struktur pemerintahan otoritarian dan
secara relatif memiliki orientasi pribadi yang pasif. Secara mudah dapat dikatakan,
pada masyarakat ini ada kelompok yang berorientasi pada pemerintahan otoritarian.
Pada masyarakat yang berorientasi partisipan (demokrat) tidak dapat menjadi
pranata sosial yang mandiri dan berwibawa, karena dihadang oleh kemampuan
budaya subjek (otoritarian). Lagi pula dalam budaya subjek partisipan terdapat
ketidakstabilan pemerintahan yaitu tumpulnya infrastruktur demokratis dan sistem
pemerintahan yang cenderung menghasilkan keterasingan di antara penduduk yang
berorientasi demokratik. Jika budaya campuran ini berlangsung lama, akan
mengubah karakter sub budaya subjek, karena terjadi persaingan antara kelompok-
kelompok yang berorientasi otoritarian. Walaupun tidak mengubah seluruhnya sub

Hand Out Sistem Politik Indonesia 16


budaya subjek menuju budaya demokratis, namun akan melahirkan perubahan
sehingga membentuk pemerintahan yang berlainan dari sebelumnya. Contoh negara
yang memiliki tipe budaya ini adalah Perancis, Jerman dan Italia pada abad ke-19
dan saat ini.

3. Budaya Parokial — Partisipan


Tipe budaya ini banyak terdapat pada negara-negara berkembang yang sedang
melaksanakan pembangunan politik. Di sejumlah negara ini pada umumnya budaya
politik yang dominan adalah budaya parokial. Norma-norms struktural yang
diperkenalkan biasanya bersifat partisipan dan demi keselarasan mereka menuntut
suatu budaya partisipan. Persoalan yang muncul adalah seringkali terjadi
ketimpangan antara struktur yang menghendaki sifat partisipan dengan budaya
alamiah yang masih bersifat parokial. Oleh karena itu, satu hal yang harus
ditanggulangi adalah upaya mengembangkan input dan output secara perlahan-
lahan. Sehingga tidak mengherankan jika sistem politik ini berjalan tidak stabil yang
suatu ketika ke arah otoritarian, namun saat yang lain ke arah demokrasi. Birokrasi
tidak bisa menjembatani masyarakat, sedangkan infrastruktur tidak mengakar
dengan kuat di masyarakat.

Hand Out Sistem Politik Indonesia 17


BAB III
REALITAS SISTEM POLITIK DEMOKRASI
DAN PEMERINTAHAN

A. Sistem Partisipasi Politik Warga Negara


Hasil evaluasi penyelenggaraan Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD Tahun
2009 dari segi partisipasi politik warga negara menunjukkan fakta berikut:
Pertama, kuantitas dan kualitas Daftar Pemilih Tetap (DPT) berdasarkan hasil
penelitian Komnas HAM dan Panitia Angket DPR tentang Penggunaan Hak Pilih, dan
berbagai LSM masih bermasalah. Audit yang dilakukan oleh LP3ES terhadap Daftar
Pemilih Sementara di seluruh Indonesia pada tahun 2008 menunjukkan derajad
cakupan hanya mencapai sekitar 80%, sedangkan derajad kemutahiran dan akurasi
berada di bawah 80%.
Kedua, jumlah pemilih terdaftar lebih dari 171 juta, akan tetapi 30 persen di
antaranya tidak menggunakan hak pilih (non voters) dan 14,41 persen dari 70 persen
jumlah pemilih terdaftar yang menggunakan hak pilih tersebut dinyatakan tidak sah
(invalid votes). Jumlah suara tidak sah yang mencapai 16 juta tersebut jelas
merupakan akibat dari kompleksitas surat suara dan tata cara pemberian suara yang
masih membingungkan sebagian pemilih.
Ketiga, pelayanan yang memudahkan pemilih terdaftar menggunakan hak pilih
belum tersedia secara memadai. Demikian pula pelayanan yang memudahkan
pemilih menggunakan hak pilihnya masih terbatas.
Keempat, sistem pemilu, sebagaimana tampak pada format surat suara, masih
terlalu kompleks (karena terlalu banyak parpol dan terlalu banyak calon yang harus
dipertimbangkan) untuk dinilai dan dipilih tidak saja bagi pemilih buta huruf tetapi
juga pemilih terpelajar dan peduli politik.
Kelima, warga negara yang menjadi anggota partai politik tidak dilibatkan
dalam proses seleksi dan penentuan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD
kabupaten/Kota, pasangan calon presiden dan wakil presiden, dan pasangan calon
kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Hand Out Sistem Politik Indonesia 18


Keenam, partisipasi pemilih dalam melakukan pengawasan juga dinilai makin
menurun bila dibandingkan dengan pemilu sebelumnya karena keberadaan
Bawaslu/Panwas lebih banyak menjadi alasan bagi warga masyarakat dan parpol
peserta pemilu untuk tidak melakukan pengawasan daripada mendorong partisipasi
warga masyarakat dan parpol melakukan pengawasan pemilu.
Ketujuh, sistem konversi suara rakyat menjadi kursi, khususnya kursi DPR dan
DPRD tidak hanya membingungkan penyelenggara pemilu tetapi juga menimbulkan
banyak penafsiran bagi peserta sehingga peserta menggugat keputusan KPU kepada
Mahkamah Agung dan sebagian lagi mempersoalkan UU Pemilu kepada Mahkamah
Konstitusi.
Kedelapan, setelah calon terpilih melaksanakan tugasnya tidaklah tersedia
kesempatan yang memadai bagi para pemilih secara kolektif untuk mempengaruhi
wakil rakyat. Hal itu terjadi tidak hanya karena parpol dan wakil rakyat tidak takut
kepada konstituen, tetapi juga karena konstituen juga jarang diajak bicara oleh wakil
rakyat. Kesembilan, partisipasi politik warga negara melalui berbagai organisasi
masyarakat sipil masih terbatas. Kesepuluh, para pemilih harus menunggu lima
tahun untuk menyatakan penilaiannya terhadap kinerja partai dan wakil rakyat
tetapi para pemilih sudah lupa yang dikerjakan dan yang tidak dikerjakan oleh parpol
dan wakil rakyat. Singkat kata, partisipasi politik warga negara dalam memilih dan
mempengaruhi penyelenggara negara pada tingkat nasional dan daerah masih
sangat terbatas.

B. Sistem Kepartaian Pluralisme


Setelah tiga kali pemilu pasca-Orde Baru tampaknya sistem kepartaian
pluralisme ekstrem yang terjadi selama ini masih lebih banyak sebagai sumber
masalah daripada solusi. Setidak-tidaknya terdapat sejumlah permasalahan yang
berkaitan dengan sistem kepartaian di Indonesia:
Pertama, parpol lebih tampil sebagai alat memobilisasi dukungan dari warga
masyarakat pada pemilu daripada sebagai sarana bagi warga negara
memperjuangkan aspirasi dan kepentingannya. Yang dilakukan parpol di DPR dan

Hand Out Sistem Politik Indonesia 19


DPRD dan pemerintahan tingkat pusat dan daerah tidak memiliki relevansi dengan
hal yang dirasakan dan dilakukan oleh berbagai kelompok dan golongan dalam
masyarakat.
Kedua, sejak Pemilu 1999 sampai Pemilu 2009, perilaku memilih rakyat
Indonesia menunjukkan fenomena yang dalam ilmu politik disebut sebagai volatile
voting behavior. Fenomena ini menunjukkan tingkat kepercayaan pemilih yang
rendah kepada parpol.
Ketiga, pengelolaan parpol tidak saja belum menggambarkan statusnya
sebagai badan publik, tetapi juga belum menggambarkan prinsip penyelenggaraan
negara yang demokratis sebagaimana diamanatkan UUD. Pengelolaan parpol masih
lebih banyak berdasarkan keputusan pengurus di bawah kepemimpinan yang
sentralistik, oligarki dan personalistik daripada kepemimpinan demokratis
berdasarkan keputusan rapat anggota.
Keempat, jumlah parpol peserta pemilu masih terlalu banyak, yaitu 48 parpol
pada Pemilu 1999, 24 parpol pada Pemilu 2004, dan 38 parpol pada Pemilu 2009.
Kondisi itu lebih membingungkan ketimbang memudahkan rakyat dalam menilai dan
memilih parpol dan calon yang diajukan. Karena belum ada sistem yang baku dalam
penentuan parpol peserta pemilu, setiap menjelang pemilu banyak waktu dan
energi dihabiskan untuk memperdebatkan persyaratan parpol untuk bisa menjadi
peserta pemilu.
Kelima, dari empat peran parpol sebagai peserta pemilu anggota DPR dan
DPRD, yaitu rekrutmen, kaderisasi, pencalonan, dan penetapan calon terpilih
(melalui penentuan nomor urut calon), tampaknya hanya pencalonan saja yang
masih dilaksanakan oleh parpol. Rekrutmen dan kaderisasi belum dilakukan secara
sistematis dan berkesinambungan. Sedangkan penetapan calon terpilih menjadi
hilang ketika KPU bersedia “dipaksa” Mahkamah Konstitusi menggunakan formula
“urutan suara terbanyak” dalam penetapan calon terpilih pada Pemilu Anggota DPR
dan DPRD tahun 2009. Penetapan calon terpilih berdasarkan urutan suara terbanyak
mengurangi peran parpol sebagai peserta pemilu anggota DPR dan
DPRD.Kewenangan parpol yang begitu besar dalam rekrutmen politik menyebabkan

Hand Out Sistem Politik Indonesia 20


kelemahan parpol menjadi tampak lebih buruk. Karena posisi dewan pimpinan pusat
(DPP) parpol sangat kuat dalam legislatif dan kepemimpinan parpol bersifat
personalistik, pemimpin parpol pun tidak mempunyai insentif untuk
mengembangkan organisasi parpol. Karena posisi parpol yang begitu kuat,
pemimpin parpol cenderung berperilaku tanpa kontrol.

C. Sistem Perwakilan Politik Kolutif


Fakta-fakta berikut menunjukkan bahwa tujuh indikator sistem perwakilan
politik masih belum menjadi kenyataan:
Pertama, sistem perwakilan politik yang diamanatkan oleh UUD 1945 saja
belum menjadi kenyataan karena DPD tidak hanya tidak memiliki hak suara tetapi
juga tidak memiliki hak bicara.
Kedua, pembagian kursi DPR kepada provinsi belum sepenuhnya menurut
jumlah penduduk berdasarkan prinsip equal representation (kesetaraan
keterwakilan berdasarkan prinsip satu orang, satu suara, dan satu nilai/setara)
karena harus mempertimbangkan faktor kesetaraan wilayah. Kalaupun
mempertimbangkan faktor kesetaraan wilayah, alokasi kursi DPR kepada provinsi
masih belum menjamin keadilan karena prinsip itu diterapkan secara tidak
konsisten. Pembagian kursi DPR untuk Pemilu 2009 misalnya, menunjukkan Provinsi
Sulawesi Selatan sebagai over represented (berdasarkan jumlah penduduk paling
banyak 21 kursi, tetapi DPR mengalokasikan 24 kursi). Demikian juga Provinsi Aceh
mengalami kelebihan satu kursi, dan Sumatra Barat menerima kelebihan dua kursi.
Sebaliknya, Provinsi Jawa Barat mengalami under represented (berdasarkan jumlah
penduduk seharusnya memperoleh 96 kursi, tetapi DPR mengalokasikan 91 kursi).
Demikian pula Provinsi Riau dan Kepulauan Riau mengalami under represented
karena satu kursi DPR untuk Riau senilai 500.000 penduduk.
Ketiga, terjadi inkonsistensi dalam model representasi politik antara tata cara
penetapan calon terpilih dalam sistem pemilu anggota DPR dan DPRD dan
mekanisme pengambilan keputusan di DPR dan DPD.

Hand Out Sistem Politik Indonesia 21


Penetapan calon terpilih anggota DPR dan DPRD berdasarkan urutan suara
terbanyak mengharuskan para kader parpol yang menjadi anggota DPR dan DPRD
melaksanakan fungsi representasi atas kepentingan konstituen masing-masing. Akan
tetapi pengambilan keputusan di DPR dan DPRD tidak dilakukan oleh para anggota,
melainkan oleh pimpinan parpol melalui fraksi masing-masing.
Keempat, baik representasi substantif maupun representasi deskriptif belum
dapat terakomodasi di DPR dan DPRD. Tidak saja karena representasi formalistik
tanpa akuntabilitas lebih mendominasi dalam pembuatan keputusan (termasuk
dalam penentuan kebijakan tentang sistem perwakilan melalui UU Pemilu), tetapi
juga karena upaya berbagai unsur masyarakat belum cukup efektif memperjuangkan
keterwakilan.Representasi deskriptif perempuan berdasarkan hasil Pemilu 2009
sudah meningkat dari 11 persen menjadi 18 persen di DPR, 16% di DPRD Provinsi
dan 12% di DPRD Kabupaten/Kota. Akan tetapi peningkatan itu masih jauh dari
target yang ditentukan sekurang-kurangnya sebanyak 30 persen. Satu suara dan
setara” mempunyai landasan konstitusi (Pasal 27 ayat (2) UUD 1945), tetapi
pembagian kursi DPR kepada semua provinsi masih cenderung dilihat sebagai isu
politik yang diputuskan oleh para kader parpol di DPR dan pemerintahan. Tidak
hanya proses pembagian kursi DPR kepada provinsi cenderung diputuskan secara
tertutup oleh wakil parpol, tetapi juga paling tidak sampai tulisan ini dibuat
ketentuan tentang pembagian kursi DPR kepada provinsi belum pernah digugat ke
Mahkamah Konstitusi.
Kelima, derajat keterwakilan DPR dan DPRD masih jauh lebih tinggi daripada
akuntabilitas wakil rakyat terhadap konstituen. Menurut perkiraan hanya sekitar 10
persen anggota DPR yang melakukan interaksi secara tetap dan periodik dengan
konstituen. Sebagian besar hanya bertemu konstituen pada masa reses, tetapi itu
pun tidaklah bersifat substantif melainkan bersifat seremonial belaka. Representasi
formalistik tanpa akuntabilitas inilah yang tampaknya menjadi penyebab ,mengapa
hanya sekitar 35 persen anggota DPR periode 2004-2009 yang terpilih kembali
menjadi anggota DPR periode 2009-2014.

Hand Out Sistem Politik Indonesia 22


Keenam, model representasi yang diterapkan tidak jelas apakah
mandat/delegasi ataukah trustee/independen karena yang membuat keputusan di
DPR dan DPRD bukan para anggota berdasarkan suara terbanyak melainkan
pengurus fraksi sebagai perpanjangan tangan parpol. Hal ini juga berkaitan dengan
kenyataan parpol tidak melaksanakan fungsi representasi politik dari konstituen dan
bangsa. Kenyataan seperti inilah yang menyebabkan yang dilakukan DPR dan DPRD
tidak memiliki relevansi besar dengan yang dipikirkan dan dirasakan warga
masyarakat.
Ketujuh, kebijakan tentang ambang-batas (threshold) masuk DPR sekurang-
kurangnya 2,5 persen dari total suara sah hasil pemilu anggota DPR berdasarkan UU
Nomor 10 Tahun 2008 sudah berhasil mengurangi jumlah parpol dari 16 parpol
(hasil Pemilu 2004) menjadi 9 parpol (Pemilu 2009). Namun jumlah ini dipandang
masih terlalu banyak karena untuk membangun koalisi parpol yang mampu
mencapai lebih dari 50 persen kursi DPR masih harus melibatkan 4 atau lebih parpol.
Kebijakan ambang-batas belum diterapkan di daerah sehingga jumlah parpol di
DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota pada umumnya lebih banyak daripada
jumlah partai di DPR. Jumlah partai politik di DPRD Provinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota seluruh Indonesia berkisar 10 sampai 19 partai. Karena itu tidak
mengherankan apabila interaksi antar fraksi di DPR dan DPRD lebih banyak bersifat
kolutif (bancakan pasal, anggaran, atau posisi) demi kepentingan elite parpol
daripada bersifat kompetitif demi kepentingan konstituen. Tidak ada parpol yang
berani bersikap konsisten dalam memperjuangkan kepentingan konstituen karena
kuatir tidak mendapat bagian dalam pembagian sumberdaya tersebut. Berkolusi
atau berkompromi dianggap pilihan tindakan yang paling rasional (mendapatkan
hasil yang lebih besar) daripada secara konsisten memperjuangkan kepentingan
konstituen.
Salah satu alasan keengganan anggota DPR bertemu dengan konstituen
adalah kecenderungan berbagai kelompok masyarakat dari daerah pemilihan untuk
meminta sumbangan kepada anggota DPR. Setidak-tidaknya tiga orang anggota DPR
hasil Pemilu 2004, masing-masing Dapil Papua, Papua Barat, dan Sulawesi Tengah,

Hand Out Sistem Politik Indonesia 23


sama sekali tidak pernah mengunjungi daerah pemilihannya karena kursi yang
diduduki mereka terbukti di Pengadilan sebagai produk manipulasi hasil perhitungan
suara dengan menyuap anggota KPU Kabupaten di ketiga provinsi tersebut.
Kedelapan, proses pengambilan keputusan di DPR dan DPRD tidak hanya
belum memberi kesempatan luas bagi para anggota dari semua fraksi untuk
melakukan deliberasi secara terbuka (sehingga perdebatan atas nama “interupsi”
justru berlangsung seru pada sidang paripurna), tetapi juga belum menjamin akses
yang memadai bagi non electoral representation (organisasi masyarakat sipil,
akademisi) dan bagi partisipasi warga negara (participatory democracy). Barangkali
inilah menjadi salah satu penyebab rapat dengar pendapat yang dilakukan berbagai
komisi dan/atau alat kelengkapan DPR dengan berbagai kalangan dan unsur
masyarakat belum efektif mempengaruhi keputusan yang dibuat oleh DPR.

D. Pemerintahan Presidensial yang Tidak Efektif


Pemerintahan presidensial di Indonesia belum efektif mewujudkan kehendak
rakyat tidak hanya karena kuantitas dan kualitas partisipasi politik warga negara
masih rendah, sistem kepartaian pluralisme moderat belum terwujud dan sistem
perwakilan politik yang dicitacitakan belum menjadi kenyataan. Keinginan itu belum
terwujud juga karena belum tersedianya semua delapan faktor yang diperlukan
untuk menciptakan pemerintahan presidensial yang efektif.
Pertama, berdasarkan sistem pemilu presiden dan wakil presiden, terutama
formula pemilihan sebagaimana diatur dalam Pasal 6A ayat (3) UUD 1945, presiden
dan wakil presiden terpilih tidak hanya memiliki legitimasi yang kuat dari rakyat
(popular vote lebih dari 50 persen) tetapi juga dari segi sebaran dukungan daerah
(harus mendapat dukungan sekurang-kurangnya 20 persen suara dari lebih 50
persen provinsi).
Kedua, Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 memberi kewenangan kepada presiden
tidak saja mengajukan RUU, tetapi juga ikut membahas semua RUU bersama DPR
untuk mencapai kesepakatan. Bahkan Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 memberi
kewenangan kepada presiden untuk mengajukan RUU APBN. Tidak ada undang-

Hand Out Sistem Politik Indonesia 24


undang kalau tidak mendapat persetujuan presiden. Karena itu kalaupun secara
formal tidak diberi hak veto, presiden sesungguhnya memiliki hak veto karena kalau
presiden tidak menyetujui RUU yang disusun oleh DPR maka RUU itu tidak akan
dapat menjadi undang-undang. Singkat kata, Indonesia memenuhi faktor pertama
dan kedua untuk menciptakan pemerintahan presidensial yang efektif.
Ketiga, presiden tidak memiliki dukungan yang solid dari DPR karena koalisi
enam parpol (yang menguasai 2/3 kursi DPR) yang dibentuk presiden lebih bersifat
transaksional jabatan daripada kesepakatan tentang visi, misi dan program
transformasi bangsa. Yang terjadi tidak saja “pemerintahan terbelah” antara
eksekutif dengan legislatif, tetapi juga di dalam eksekutif sendiri. Yang terjadi tidak
saja parpol anggota koalisi dalam banyak hal bertindak sebagai oposisi, tetapi juga
parpol oposisi bertindak sebagai pendukung koalisi. Karena itu ketentuan dalam UU
Pemilu Presiden yang menyatakan partai politik atau gabungan partai politik dapat
mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden jika memiliki sekurang-
kurangnya 20% kursi DPR atau 25% suara hasil Pemilu Anggota DPR, terbukti gagal
menjamin dukungan DPR kepada presiden.
Keempat, tipe kepemimpinan yang dimiliki oleh presiden hasil Pemilu 2004
dan 2009 tampaknya tidak sesuai dengan tantangan dan permasalahan yang
dihadapi bangsa Indonesia. Kepemimpinan politik tidak hanya tidak efektif dalam
menggalang kesepakatan dan dukungan setidak-tidaknya dari parpol anggota koalisi
dan berbagai organisasi masyarakat sipil, tetapi juga dari anggota kabinet yang
sebagian berasal dari kalangan profesional (non parpol) dan sebagian lagi dari parpol
anggota koalisi.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merupakan presiden yang terpilih
berdasarkan suara terbesar di dunia dari negara yang menerapkan bentuk
pemerintahan presidensial, yaitu lebih dari 60 persen baik pada Pemilu Presiden
2004 dan 64% pada Pemilu Presiden 2009. Akan tetapi 11 Negara yang menerapkan
bentuk pemerintahan presidensial adalah Amerika Serikat, Brasil, dukungan sebesar
ini ternyata tidak digerakkan untuk mendukung berbagai rencana pelaksanaan visi,
misi dan program pembangunan bangsa yang dijanjikan pada pemilu.

Hand Out Sistem Politik Indonesia 25


Meksiko, Argentina, Indonesia, Nigeria, dan Afrika Selatan. Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono pada tahun 2009 mencapai 64 persen, Presiden Amerika
Serikat Barack Obama pada tahun 2008 hanya mendapatkan sekitar 51 persen suara
dan Presiden Brasil Dilma Rousseff pada tahun 2010 mendapat suara sekitar 56
persen. Kepemimpinan administrasi dalam menggerakkan birokrasi untuk
melaksanakan kebijakan publik yang sudah ditentukan juga tidak efektif. Tidak saja
karena birokrasi masih lebih berperilaku sebagai pembuat kebijakan daripada
pelaksana kebijakan dan lebih banyak berperilaku sebagai penguasa yang minta
dilayani daripada sebagai pelayan warga negara, tetapi juga karena birokrasi tidak
berada dalam kendali elected officials.
Kelima, keberadaan political appointees di Indonesia tidak hanya masih dalam
jumlah kecil, tetapi juga tidak memenuhi persyaratan sebagai political appointees.
Yang masuk kategori political appointee di Indonesia hanyalah para menteri yang
memimpin kementerian atau penjabat setingkat menteri yang memimpin lembaga
pemerintah non kementerian yang jumlahnya tidak lebih 50 orang. Kedua bidang
tugas political appointee sebagaimana dikemukakan di atas tidak dikerjakan oleh
para menteri melainkan oleh wakil menteri, penjabat eselon I dan eselon II yang
diduduki oleh pegawai negeri. Tidak semua menteri dan penjabat setingkat menteri
yang menjadi political appointee tersebut memenuhi kedua persyaratan menjadi
penjabat politik yang ditunjuk. Bahkan jabatan wakil menteri yang seharusnya
menjadi jabatan politik (political appointee) seperti jabatan menteri ternyata diisi
oleh pegawai negeri eselon I senior. Karena hanya memiliki dalam jumlah kecil dan
itu pun sebagian besar tidak memenuhi kedua persyaratan menjadi political
appointee, yang dijanjikan presiden kepada rakyat tidak hanya tidak dapat
diterjemahkan menjadi RUU tetapi juga tidak dapat dijabarkan menjadi kebijakan
operasional untuk dilaksanakan oleh birokrasi.
Keenam, eselon I dan II dalam jajaran birokrasi di Indonesia lebih banyak
melaksanakan fungsi politik, yaitu kedua fungsi political appointee yang disebutkan
di atas, ketimbang fungsi administrasi melaksanakan kebijakan publik secara efisien.
Sedangkan jajaran birokrasi lainnya, termasuk jajaran birokrasi garis depan (front

Hand Out Sistem Politik Indonesia 26


stage bureaucracy), cenderung minta dilayani daripada melayani warga masyarakat.
Padahal, salah satu karakteristik sistem politik demokrasi adalah birokrasi yang
efisien berada di bawah pengarahan dan pengendalian elected officials
(penyelenggara negara yang dipilih oleh rakyat melalui pemilu) dan political
appointee. Pada akhirnya rakyat akan menilai kinerja penyelenggara negara tersebut
dari apa yang dikerjakan oleh birokrasi, baik yang bekerja di belakang meja maupun
yang bekerja di garis depan (front stage bureaucracy). Mampu-tidaknya birokrasi
menjadi pendukung demokrasi tergantung pada seberapa efektif dan efisien
birokrasi melaksanakan kebijakan yang ditetapkan dan diarahkan oleh
penyelenggara negara yang dipilih langsung oleh rakyat.
Ketujuh, karena koalisi parpol yang memerintah dan koalisi parpol yang
menjadi oposisi tidak jelas, yang antara lain ditandai oleh perilaku parpol yang
menjadi anggota koalisi yang memerintah yang lebih oposan daripada parpol yang
tidak menjadi anggota koalisi yang memerintah, yang terjadi kemudian adalah
sebagian besar parpol anggota koalisi di DPR menjadi oposisi terhadap kebijakan
pemerintah. Perilaku oposan dari parpol yang menjadi anggota koalisi pemerintah
tampaknya cenderung lebih sebagai sarana transaksional untuk mendapatkan
sesuatu (jabatan, kebijakan, perlakuan khusus, dan sebagainya) dari presiden
daripada sebagai upaya mewujudkan tujuan negara. Oposisi seperti ini sangat jelas
tidak membantu terwujudnya pemerintahan presidensial yang efektif, malahan
memperkuat pemerintahan yang terbelah (divided government).
Kedelapan, akhirnya, penyelenggaraan pemerintahan negara belum
sepenuhnya transparan dalam arti secara proaktif menjelaskan apa saja yang
dilakukan dan yang tidak dilakukan beserta alasan mengapa melakukan atau tidak
melakukan tindakan tersebut. Yang cenderung dilakukan bukanlah transparansi,
melainkan memberikan informasi yang tidak apa adanya. Yang diberikan hanya
informasi yang dapat membentuk citra pemerintah yang positif bagi warga
masyarakat. Karenanya, tidak heran bila muncul tuduhan bahwa pemerintah
telahmelakukan pembohongan kepada publik secara sistematik. Presiden
tampaknya belum pernah melaporkan bagian mana dari visi, misi dan program yang

Hand Out Sistem Politik Indonesia 27


sudah dilaksanakan beserta hasilnya, termasuk bagaimana yang akan dan yang
belum dilaksanakan. Laporan tahunan seperti ini merupakan wujud akuntabilitas
politik seorang presiden. Karena tidak ada laporan seperti ini, tidaklah
mengherankan mengapa begitu banyak pandangan dan persepsi yang buruk dalam
masyarakat tentang kinerja presiden.
Pemerintahan presidensial di Indonesia belum berlangsung efektif karena 6
dari 8 faktor yang diperlukan untuk menciptakan pemerintahan presidensial yang
efektif belum terwujud. Faktor ke-3 sampai ke-8 tersebut tidak diatur dalam UUD
1945 sehingga harus diciptakan melalui peraturan perundang-undangan.

E. Pemerintahan Daerah yang Tidak Efektif


Berikut adalah sejumlah faktor yang menunjukkan pemerintahan daerah di
Indonesia belum efektif. Pertama, sistem pemerintahan daerah belum mengadopsi
pluralisme otonomi daerah dan pluralisme daerah otonom. Yang terjadi adalah
penyeragaman urusan pemerintahan di antara kabupaten/kota dan di antara
provinsi tanpa mempertimbangkan keragaman geografis, kultural, jenis sumberdaya
dan kemampuan ekonomi setiap daerah. Selain itu, pemerintahan daerah juga
menangani urusan yang sesungguhnya merupakan otonomi masyarakat ekonomi
(swasta berdasarkan mekanisme pasar ataupun koperasi berdasarkan asas
kekeluargaan), urusan yang menjadi otonomi organisasi masyarakat sipil (civil
societyorganizations yang bertindak berdasarkan kebebasan, kesetaraan, dan
persaudaraan). Pemerintah nasional dan pemerintah daerah seharusnya tidak hanya
menghormati otonomi masyarakat ekonomi dan otonomi organisasi masyarakat sipil
tetapi juga otonomi komunitas agama yang bertindak berdasarkan kaidah agama
yang bersangkutan ataupun otonomi komunitas suku yang bertindak atas dasar
adat-istiadat suku yang bersangkutan.
Apabila tiga macam urusan yang disebutkan terakhir diatur dan diurus oleh
pemerintahan daerah, hal itu tidak saja mencampuri otonomi masyarakat, tetapi
juga akan menguras anggaran yang cukup besar.Dana yang besar tidak digunakan

Hand Out Sistem Politik Indonesia 28


untuk pengembangan masyarakat, melainkan untuk pembentukan dinas dengan
struktur organisasi, pegawai, dan anggaran rutin yang besar.
Kedua, kepala daerah yang terpilih karena mendapat suara lebih dari 50
persen memiliki legitimasi yang lebih tinggi, karena itu cenderung menghasilkan
pemerintahan daerah yang efektif daripada kepala daerah yang terpilih kurang dari
50 persen suara.
Ketiga, sebagian terbesar pemerintahan daerah mengalami keterbelahan
pemerintahan antara pemerintah daerah dan DPRD sehingga kesepakatan yang
terjadi antara kepala daerah dengan parpol/fraksi di DPRD lebih berupa kesepakatan
transaksional daripada kesepakatan dalam kebijakan publik untuk pembangunan
daerah. Para anggota DPRD yang tidak mendukung rencana kebijakan kepala daerah
tidak hanya berasal dari parpol yang tidak mengusulkan pasangan calon kepala
daerah tersebut, tetapi juga berasal dari parpol yang mengusulkan pasangan calon
kepala daerah dan wakil kepala daerah tersebut. Kalaupun parpol yang mengusulkan
konsisten mendukung kepala daerah, dukungan itu juga tidak cukup karena tidak
mencapai mayoritas. Karena itu ketentuan dalam UU yang menyatakan partai politik
atau gabungan partai politik dapat mengusulkan pasangan calon kepala daerah dan
wakil kepala daerah apabila memiliki sekurang-kurangnya 15% kursi DPRD atau 15%
suara Pemilu Anggota DPRD daerah yang bersangkutan terbukti gagal menjamin
dukungan DPRD kepada Kepala Daerah. Jumlah parpol/fraksi di DPRD hasil Pemilu
2009 berkisar antara 10 sampai dengan 19 partai politik dengan distribusi kursi yang
relatif seimbang. Jumlah DPRD di Indonesia yang mayoritas anggotanya berasal dari
satu parpol/fraksi dapat dihitung dengan jari. Kepala daerah yang berasal dari parpol
yang tidak memiliki kursi di DPRD atau yang berasal dari calon perseorangan niscaya
akan mengalami kesukaran mendapatkan dukungan dari DPRD.
Keempat, kebanyakan kepala daerah terpilih tidak memiliki kepemimpinan
politik untuk menggalang dukungan parpol di DPRD, organisasi masyarakat sipil,
masyarakat ekonomi, dan pemilih terhadap rencana kebijakan yang diajukan, serta
kepemimpinan administrasi untuk mengarahkan dan mengendalikan birokrasi untuk
melaksanakan kebijakan yang sudah disepakati bersama dengan DPRD. Kalau faktor

Hand Out Sistem Politik Indonesia 29


keempat ini terpenuhi, faktor keterbelahan pemerintahan daerah di beberapa
daerah sedikit-banyak dapat diminimalkan. Akan tetapi kebanyakan kepala daerah di
Indonesia lima tahun terakhir memimpin daerah tidak dengan kepemimpinan
transformatif, melainkan dengan kepemimpinan transaksional (dukungan diperoleh
dengan memberikan uang, jabatan, ataupun fasilitas lain) dengan parpol, dengan
berbagai unsur masyarakat dan sebagian pemilih.
Kelima, sama sekali tidak tersedia “penjabat politik yang ditunjuk” (political
appointee) yang memenuhi dua persyaratan menjadi penjabat politik dalam jumlah
yang memadai untuk melaksanakan dua fungsi politik. Kedua persyaratan itu adalah
memiliki keahlian dalam urusan pemerintahan daerah serta memiliki pemahaman
dan komitmen melaksanakan visi, misi, dan program pembangunan daerah yang
ditawarkan kepala daerah terpilih kepada pemilih dalam pemilu kepala daerah
(pilkada). Kedua fungsi penjabat politik yang ditunjuk ini adalah menerjemahkan visi,
misi, dan program pembangunan daerah dalam urusan pemerintahan yang
diserahkan kepada daerah, menjadi RAPBD dan RPD Non-APBD untuk diperjuangkan
kepada DPRD dan menerjemahkan Perda APBD dan Perda Non-APBD menjadi
Peraturan Kepala Daerah (Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati, Peraturan
Walikota) dan kebijakan operasional lainnya untuk dilaksanakan oleh birokrasi
daerah.Tidaklah mengherankan bila visi, misi, dan program pembangunan daerah
yang dijanjikan oleh kepala daerah pada masa kampanye hanya sekadar janji tanpa
realisasi yang memadai karena yang menjanjikan adalah kepala daerah terpilih,
sedangkan pihak yang menerjemahkan, menjabarkan, dan melaksanakannya adalah
birokrasi.
Keenam, dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak jelas parpol
yang memerintah dan parpol yang menjadi oposisi. Para anggota DPRD atau
parpol/fraksi bersikap“galak” terhadap kepala daerah bukan untuk menegakkan
peraturan perundang-undangan, melainkan demi meningkatkan daya tawar dalam
transaksi, bukan demi kesejahteraan warga daerah melainkan demi kesejahteraan
mereka sendiri.

Hand Out Sistem Politik Indonesia 30


Ketujuh, birokrasi yang efisien untuk melaksanakan kebijakan operasional yang
sudah ditetapkan dan dijabarkan oleh penjabat politik yang ditunjuk. Sebagaimana
dikemukakan di atas, birokrasilah yang melaksanakan kedua fungsi politik tersebut
karena memang tidak ada jabatan politik di daerah selain DPRD serta kepala daerah
dan wakil kepala daerah. Birokrasi di daerah belum efisien tidak saja karena struktur
yang membengkak, karena sebagian menangani urusan masyarakat, lebih banyak
menangani pekerjaan politik (kedua fungsi politik yang seharusnya ditangani pejabat
politik) daripada tugas implementasi dan lebih terbiasa dilayani daripada melayani
warga masyarakat.Singkat kata, birokrasi di daerah belum diarahkan dan
dikendalikan oleh pejabat politik yang dipilih langsung oleh warga daerah dan oleh
pejabat politik yang ditunjuk. Bahkan sebaliknya, dalam banyak hal birokrasilah yang
menentukan penjabat politik tersebut.
Terakhir, kedelapan, pelaksanaan pemerintahan daerah oleh kepala daerah
berlangsung secara transparan dan akuntabel secara politik dan hukum. Dengan
sejumlah daerah sebagai perkecualian, sebagian besar penyelenggaraan
pemerintahan daerah lima tahun terakhir belum dilaksanakan secara transparan dan
akuntabel. Satu-satunya akuntabilitas yang menonjol dua tahun terakhir adalah
akuntabilitas hukum, yaitu ketika lebih dari 180 kepala daerah (gubernur, bupati,
dan walikota, dan/atau wakilnya) menjadi tersangka, terdakwa atau terpidana
korupsi. Sejumlah daerah yang termasuk perkecualian ini antara lain Fadel
Muhammad ketika menjadi Gubernur Gorontalo (terpilih dua kali masa jabatan),
Masfuk ketika menjadi Bupati Lamongan (Provinsi Jawa Timur) selama dua periode,
Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto (yang sekarang tengah melaksanakan jabatan
kedua), Joko Widodo yang sekarang menjadi Wali Kota Surakarta (Provinsi Jawa
Tengah) untuk masa jabatan kedua, serta Ishak Mekki, Bupati Ogan Komering Ilir
(Provinsi Sumatera Selatan) yang sekarang melaksanakan masa jabatan kedua.

CATATAN:
BAB IV bersumber buku Merancang Sistem Politik Demokratis
Menuju Pemerintahan Presidensial yang Efektif karya :
Utama Sandjaja, dkk. Terbitan Kemitraan Patnership tahun 2011

Hand Out Sistem Politik Indonesia 31


BAB IV
SISTEM PEMILU

1. Pengertian Pemilu
Demokrasi mempercayai bahwa pemilu memainkan peranan vital untuk
menentukan masa depan bangsa. Sebagaimana transisi demokrasi, pemilu dalam
proses konsolidasi demokrasi membutuhkan prakondisi yang spesifik. Pada
dasarnya ada, ada tiga tujuan dalam pemilihan umum. Ramlan Surbakti
menyebutkan tujuan pemilu sebagai berikut:
Pertama, sebagai mekanisme untuk menyeleksi pada pemimpin
pemerintahan dan alternatif dan alternatif kebijakan umum (public policy). Dalam
demokrasi. Sesuai dengan prinsip demokrasi yang memandang rakyat yang
berdaulat, tetapi pelaksanaannya dilakukan oleh wakil-wakilnya (demokrasi
perwakilan). Oleh karena itu, pemilihan umum merupakan mekanisme
penyeleksian dan pendelegasian atau penyerahan kedaulatan kepada orang atau
partai yang dipercayai. Untuk menentukan alternatif kebijakan yang harus ditempuh
oleh pemerintah biasanya yang menyangkut hal yang prinsipiil beberapa negara
menyelenggarakan pemilihan umum sebagai mekanisme penyeleksian kebijakan
umum. Biasanya rakyat yang memilih diminta untuk menyatakan ”setuju” atau
”tidak setuju” terhadap kebijakan yang ditawarkan pemerintah. Pemilihan umum
menentukan kebijakan umum yang fundamental ini disebut referendum.
Kedua, pemilihan umum juga dapat dikatakan sebagai mekanisme
memindahkan konflik kepentingan dari masyarakat kepada badan-badan
perwakilan rakyat melalui wakil-wakil rakyat yang terpilih atau melalui partai-
partai yang memenangkan kursi sehingga integrasi masyarakat tetap terjamin.
Hal ini didasarkan atas anggapan di dalam masyarakat terdapat berbagai
kepentingan yang tidak hanya berbeda, tetapi juga kadang-kadang malahan
saling bertentangan, dan dalam sistem demokrasi perbedaan atau pertentangan

Hand Out Sistem Politik Indonesia 32


kepentingan tidak diselesaikan dengan kekerasan, melainkan melalui proses
musyawarah (deliberation).
Ketiga, pemilu merupakan sarana memobilisasikan dan/atau menggalang
dukungan rakyat terhadap negara dan pemerintahan dengan jalan ikut serta
dalam proses politik. Hal yang ketiga ini tidak hanya berlaku di negara-negara
berkembang, tetapi juga di negara-negara yang menganut demokrasi liberal
(negara-negara industri maju) kendati sifatnya berbeda.
Dalam rangka mewujudkan pemilihan umum yang demokratis, diperlukan
sebuah sistem yang mendukung ke arah tersebut. Sistem adalah adalah bagian-
bagian atau komponen-komponen yang saling bergantung kepada yang lain dan
saling mengadakan interaksi. Ciri sebuah sistem adalah pertama, bahwa setiap
perubahan dalam satu bagian dari sistem itu mempengaruhi seluruh sistem. Kedua,
bahwa sistem itu bekerja dalam suatu lingkungan yang lebih luas dan bahwa
ada perbatasan antara sistem dengan lingkungannya. Juga perlu diperhatikan
bahwa sistem mengadakan interaksi dengan lingkungan dan dipengaruhi oleh
lingkungan itu.
Lawrence M. Friedman ketika mengupas mengenai legal system
menyebutkan bahwa sistem adalah sebuah unit yang beroperasi dengan batas-
batas tertentu. Sistem bisa bersifat mekanis, organis, atau sosial. Friedman
mencontohkan bahwa tubuh manusia, sebuah mesin pinball, dan gereja Katolik
Roma, semuanya adalah sistem.
Oleh karena itu, sistem pemilihan umum, dimaknai tidak terbatas pada
mekanisme teknis penghitungan suara terhadap pilihan yang dilakukan oleh
rakyat dalam ikut terlibat menentukan kebijakan negara melalui pemilihan
umum. Sistem sebagaimana pengertian sederhana mengenai mekanisme teknis
penghitungan suara adalah salah satu komponen dari sebuah sistem pemilihan
umum. Dengan demikian, sistem pemilihan umum adalah bagian-bagian atau
mengenai politik dan pemilihan umum. komponen-komponen yang saling
bergantung kepada yang lain dan saling mengadakan interaksi dalam proses
pemilihan umum.

Hand Out Sistem Politik Indonesia 33


2. Pemilihan Presiden/Wakil Presiden
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung tahun 2004
disahkan melalui amandemen terhadap Pasal 6 UUD 1945 yang terjadi pada tahun
2001 dan 2002. Ketentuan-ketentuan berdasarkan amandemen tersebut adalah:
a. Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh
rakyat.
b. Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh parpol atau
gabungan parpol peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu.
c. Mekanisme pemilihan dan penghitungan suara dalam Pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden.
d. Pasangan calon Presiden & Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari
50% dari jumlah suara dalam pemilu dengan sedikitnya 20% suara di setiap
provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia,
dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
e. Apabila tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih dalam
pemilu presiden putaran pertama, maka dua pasangan calon yang memperoleh
suara terbanyak pertama pertama dan kedua dalam pemilu dipilih oleh rakyat
secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik
sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

Pelaksanaan Pemilu 2009


Pelaksanaan Pemilu 2009 tidak jauh berbeda dengan pemilu 2004, yaitu
sistem proporsional dengan daftar calon terbuka untuk pemilu DPR dan DPRD,
sistem distrik berwakil banyak untuk anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah), dan
sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung.

Hand Out Sistem Politik Indonesia 34


Sistem Pemilihan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Adapun sistim Pemilihan Umum untuk Anggota DPR, DPRD Provinsi danDPRD
Kabupaten/Kota adalah adalah Sistem Proporsional dengan Daftar Calon
Terbuka. Sesuai dengan prinsip sistem proporsional maka perolehan kursi dari
setiap parpol peserta pemilu akan sesuai atau proporsional dengan perolehan
suaranya dalam pemilu.
Perbedaan utama antara sistem proporsional daftar calon terbuka
dengan sistem proporsional yang selama ini diterapkan di Indonesia adalah
bahwa sistem yang baru ini memungkinkan pemilih untuk dapat memilih caleg.
Perbedaan ini tampak pula pada struktur surat suara yang akan menampilkan tanda
gambar parpol dan daftar nama caleg yang dicalonkan oleh parpol. Salah satu yang
membedakan antara sistem pemilu 2009 dengan sistem pemilu 2004 adalah
terletak pada penetapan suara terbanyak yang duduk di kursi parlemen.
Penetapan ini merupakan hasil dari putusan Mahkamah Konstitusi. Dengan
penetapan ini faktor nomor urut tidak terpakai lagi.

Sistem Pemilihan Anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah)


Pada pemilihan anggota DPD maka daerah pemilihan adalah provinsi dan
setiap provinsi memiliki 4 kursi DPD. Dalam pemilu 2004, pemilih memberikan
suaranya dengan mencoblos satu (1) calon anggota DPD yang nama dan
fotonya tercantum di surat suara. Empat (4) calon anggota DPD yang
memperoleh suara terbanyak di provinsi tersebut dinyatakan sebagai pemenang
pemilihan anggota DPD. Jika terdapat calon terpilih yang memperoleh suara yang
sama (di urutan ke empat), calon dengan penyebaran perolehan suara yang
lebih merata menjadi pemenang.

Hand Out Sistem Politik Indonesia 35

Anda mungkin juga menyukai