Anda di halaman 1dari 6

TUGAS MAKALAH SISTEM POLITIK INDONESIA

Nama : Alief aulia maulana

Prodi : Ilmu komunikasi

Tugas : sistem politik indonesia

MASALAH Civil society baru hangat dibicarakan tahun 1990-an di Indonesia. Hal ini lebih
disebabkan oleh kuatnya tekanan pemerintah Orde Baru pada tatanan kehidupan masyarakat
Indonesia. Para ahli ilmu sosial, tokoh intelektual, pejuang demokrasi, dan cendekiawan,
tampaknya kesulitan mencari formula yang tepat untuk memaknai suatu perjuangan menuju
perubahan yang dicita-citakan. Dalam keadaan galau dan gamang itu bangsa Indonesia
berpaling pada civil society yang dijadikan primadona untuk memperbaiki tatanan kehidupan
masyarakat kita yang nyaris lumpuh.  Civil society bergulir dengan pemaknaan yang variatif
oleh berbagai kalangan. Ada yang menerjemahkan sebagai masyarakat sipil, masyarakat
kewargaan, masyarakat madani, dan ada juga yang tetap menggunakan civil society. Semua
terjemahan tersebut disuguhkan kepada publik dengan argumentasi masing-masing, dan
karenanya masyarakat atau publik juga memahaminya menurut selera dan kepentingannya.
Civil society sebenarnya merupakan suatu ide yang terus diperjuangkan manifestasinya agar
pada akhirnya terbentuk suatu masyarakat bermoral, masyarakat sadar hukum, masyarakat
beradab atau terbentuknya suatu tatanan sosial yang baik, teratur dan progresif.
Kata civil cenderung dikonotasikan sebagai lawan dari militer. Demikian pula madani dalam
masyarakat madani cenderung dikonotasikan dengan madaniyah atau Medina, yang
dikonotasikan bernuansa Arab. Padahal arti madaniyah sebagai sumber munculnya kata
madani adalah peradaban atau civilization. Lain lagi dengan kewargaan yang merupakan
terjemahan dari bahasa latin yakni, civilis atau civis. Atas pijakan yang demikian itulah
kebanyakan orang sepakat untuk konsisten menggunakan civil society karena terjemahan
yang lain dianggap kurang sesuai dengan konsep aslinya.

Sebagai sebuah konsep, Civil society, datang dari Barat. Proses demokratisasi yang lebih
dulu  berlangsung di Barat telah menjadikan civil  society bagian penting dari  kehidupan
sosial, politik, ekonomi, serta kebudayaan mereka. Terutama dalam meretas peradaban yang
dibangunnya. Bagi mereka, kehidupan negara dan bangsa yang ideal itu terwujud dengan
memberikan peran lewat pola bottom-up yang lebih kuat pada masyarakat. Seiring dengan
hembusan demokrasi yang kian menguat, konsep ini terus berlanjut dan menguat di berbagai
belahan bumi lainnya.  Selanjutnya kita berbicara pemikiran dan pandangan Gramsci  tentang
civil society mirip pendapat Marx.  Perbedaannya terletak pada memposisikan civil society
bukan pada basik material tetapi pada tataran suprastruktur, sebagai wadah kompetisi untuk
memperebutkan hegemoni kekuasaan. Peran civil society pada konteks yang demikian oleh
Gramsci ditempatkan sebagai kekuatan pengimbang di luar kekuatan negara. Pandangan
Gramsci ini lebih bernuansa ideologis ketimbang pragmatik. Dalam perjalanan waktu,
akhirnya konsep Gramsci ini dikembangkan oleh Habermas seorang tokoh mahdzab
Frankfurt melalui konsep the free public sphere atau ruang publik yang bebas, di mana rakyat
sebagai citizen memiliki akses atas setiap kegiatan publik.

Rasulullah dan Civil Society

Realita di atas sangat kontras dengan paradigma Islam yang mengakui konsep kemapanan
tauhid sebagai satu-satunya landasan nilai dan worldview  yang mampu menegaskan dirinya
selalu relevan, tidak terbatas ruang dan waktu. Konsepsi civil society pada hakikatnya
memiliki preseden historis dalam sejarah peradaban Islam. Hal tersebut juga telah
diaplikasikan secara gamblang oleh Nabi Muhammad SAW ketika beliau melaksanakan
hijrah dari Mekkah ke Madinah. Beberapa struktur fundamental Masyarakat Madani telah
diinisiasikan secara sistematis oleh Rasullullah SAW. Beberapa diantaranya adalah Bai’at
(social contract), penandatanganan Piagam Madinah, dan konsolidasi internal kaum
muslimin.

Konsep Bai’at mirip dengan konsep kontrak sosial. Ketika itu, beberapa orang dari kaum
muslimin Madinah menyatakan keislaman. Mereka juga membaiat Nabi sebagai seorang
pemimpin yang harus dilindungi dari setiap ancaman dan bahaya. Piagam Madinah secara
eksplisit mengakui dimensi persamaan seluruh individu dihadapan hukum Islam, kebebasan
beragama, dan pakta persekutuan dengan masyarakat non-muslim (Yahudi dan Arab
Paganisme).

Kemudian konsolidasi internal kaum muslim ditunjukkan dengan integrasi kaum Muhajirin
dan Anshar dalam satu kesatuan Ukhuwwah Islamiyyah. Inilah pioneer institusi politik dan
sosial masyarakat madani yang pernah tercatat dalam sejarah manusia 14 abad yang lalu.
Sekali lagi, sistem kemasyarakatan dengan pondasi tauhid ini memformulasikan beberapa
elemen asasi diantaranya persamaan, kebebasan dan persaudaraan. Pada poin ini, Islam dan
demokrasi menemukan titik korelasi yang harmonis. Keduanya mengakui ketiga elemen
diatas sebagai bagian dari unsur-unsur terpenting bagi pembentukan civil society.

Desakralisasi Struktur Nilai

Proses desakralisasi (disenchantment) pada domain perpolitikan masyarakat Barat merupakan


imbas konflik historis antara kaum agamawan (church) dan ilmuan (science). Institusi gereja
ini merupakan struktur hierarki kependetaan yang merefleksikan kekuasaan Tuhan di bumi
dan mengidentikkan diri dengan sikap pemisahan diri dari identitas sosial sebagaimana
lazimnya diasosiasikan terhadap masyarakat biasa. Akibatnya, institusi gereja ini
mendapatkan banyak sekali perlawanan yang kebanyakan mengusung isu pembebasan dari
belenggu ajaran-ajaran gereja yang dogmatis, tradisional, irasional dan bahkan kontradiktif
terhadap bermacam pembuktian-pembuktian yang diinduksikan oleh ilmu pengetahuan
modern.
Gelombang desakralisasi ini juga dirasakan pada wilayah politik, utamanya sekitar ide-ide
tentang upaya pembentukan civil society dengan menunjuk kepada bermacam aliran-aliran
ideologis. Beberapa diantara aliran itu adalah Demokrasi, Sosialisme, Marxisme,
Komunisme, Kapitalisme dan lain-lain, yang kemudian mengerucut pada perdebatan seputar
diskursus korelasi agama dan politik.

Bermacam ideologi tersebut diatas menawarkan bermacam sistem kemasyarakatan (sosial,


ekonomi dan politik) yang, meskipun pada tataran tertentu memiliki kompleksitas konsep dan
teori-teori yang kontradiktif antara satu dengan lainnya, bertujuan menciptakan sebuah
kemapanan masyarakat (civil society). Bahwa kesempurnaan yang dicapai melalui bermacam
metode dan jalur, telah melahirkan heterogenitas ideologi kemasyarakatan yang variatif dan
meskipun sebenarnya sangat problematis.

Sekularisasi

Dampak yang ditimbulkan oleh proses desakralisasi pada tataran ini berupa sekularisasi atau
pemisahan agama dari politik. Hal ini kemudian berimbas pada, diantaranya, munculnya
model-model pendekatan perpolitikan yang kosong akan nilai-nilai religi serta struktur
kemasyarakatan yang pluralis, sekuler, dikotomis dan menafikan pretensi-pretensi
transenden. Diantara model pendekatan tersebut adalah Realisme dan Idealisme.

Model pendekatan perpolitikan realisme secara eksplisit menyatakan bahwa power


(kekuatan/ kekuasaan) adalah faktor paling esensial dalam setiap aktifitas perpolitikan. Oleh
karena itu politik dianggap sebagai sebuah instrumen menuju kekuasaan. Ideologi kedua
yakni Idealisme merupakan bahan rujukan (frame of reference) Amerika Serikat selama
terjadi perang dunia I hingga perang dingin. Ideologi ini menekankan moralitas manusiawi,
bahwa manusia memiliki kecenderungan alamiah terhadap nilai-nilai kebaikan.
Pertanyaannya kemudian adalah, sejauh manakah akuntabilitas moral manusia (Barat) dapat
dipertanggungjawabkan sedangkan mereka sama sekali tidak mengenal sandaran moral yang
hakiki (agama)?

Demokrasi Tanpa Nilai

Demokrasi memiliki catatan sejarah perkembangan yang berubah-ubah. Ia juga merupakan


sebuah ideologi yang rentan terhadap segala macam perubahan sosial sehingga seringkali
diartikan secara bias oleh individu berdasar kehendak zaman. Hal ini sejalan dengan
semangat keilmiahan Barat yang cenderung menyangsikan sebuah kemapanan. Kesangsian
yang kemudian diikuti tindakan evaluatif kritis dan diakhiri dengan penemuan teori-teori baru
yang seringkali mengeliminir teori-teori lama.

Inilah salah satu ciri khas masyarakat progresif ala Barat, sebuah paradigma yang
menitikberatkan superioritas rasio atau inderawi terhadap pencarian hakekat
kebenaran. Karena berasal dari olah pikir inderawi, maka orientasi civil society ala Barat
adalah struktur kemasyarakatan yang dibangun di atas pilar-pilar pemikiran yang bersifat
empirik, positif dan logis namun rentan terhadap perubahan temporal atau bahkan total
(revolusi). Karenanya, problem relatifitas dan aplikabilitas civil society ini sering
dipertanyakan.

Demokrasi Barat

Demokrasi Barat merupakan salah satu konsepsi pemikiran politik modern yang berupaya
memberikan arahan-arahan teoritis disertai elemen-elemen pendukung lainnya. Hal tersebut
guna menciptakan civil society yang bermuara pada satu proposisi yang menyatakan bahwa
rakyat merupakan unsur tunggal pemilik dan penentu kekuasaan (power). Jargon yang sering
diteriakkan adalah; pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Ini berarti bahwa rakyat adalah
elemen terpenting dalam setiap pemerintahan demokratis, suara rakyat adalah suara Tuhan.

Nampaknya konsep demokrasi Barat ini sejalan parallel dengan semangat pendekatan
perpolitikan yang ditawarkan oleh kaum realis dan idealis. Titik terpentingnya adalah
pertama, asumsi yang menyatakan bahwa kekuasaan (power) merupakan tujuan akhir dari
setiap aktifitas perpolitikan dan karenanya harus diraih dengan segala cara. Kedua; manusia
mampu menentukan kebaikan untuk diri mereka sendiri tanpa pertolongan dari unsur apapun
dan manapun.

Sikap pertama menegaskan betapa kotor ranah perpolitikan dunia. Ini karena setiap individu
dituntut untuk megejar dan mempertahankan kepentingan (interest) kekuasaanya tanpa
mengindahkan norma-norma kemanusian. Sikap kedua –(over) confidence- ini menandaskan
kemampuan individual manusia untuk mengklasifikasikan yang baik dari yang tidak baik dan
menafikan worldview  (pandangan hidup) teologis sebagai format rujukan tertinggi.

Maka sekali lagi kita boleh bertanya, sejauh manakah kekuatan individu, yang rentan
terhadap bermacam perubahan yang diakibatkan oleh faktor-faktor psikologis, afektif, dan
lain-lain, mampu menentukan moralitas pribadi dan masyarakatnya? Maka paradigma
demokrasi Barat diatas layak untuk dikritisi (disalahkan). Kekhawatiran yang muncul
kemudian adalah bahwa sebuah struktur worldview  yang salah akan melahirkan person yang
memiliki cara pandang dan tindakan yang salah pula. Demokrasi tanpa nilai (religi) tentu
akan melahirkan civil society yang kosong akan orientasi nilai pula, naudzubillah.

Perjalanan Civic Society di Indonesia


 Di era Soekarno dan Soeharto, pelaksanaan civil society hampir identik dengan pola political
society. Pembungkaman hak partisipasi masyarakat menjadi ciri utama dalam dua
pemerintahan ini. Soekarno, Misalnya dengan Dekrit 5 Juli 1959 yang melahirkan demokrasi
terpimpin membungkam  banyak unsur civil society seperti pers, mahasiswa dan intelektual,
seniman dan membubarkan parlemen. Demikian juga dengan Soeharto, atas nama stabilitas
politik dan ekonomi, pembungkaman partisipasi masyarakat dalam negara dilakukan dengan
menguatnya peran militer dalam Bidang politik,
 
ekonomi, dan sosial budaya. Aktivitas mahasiswa di kerangkeng dengan
 NKK/BKK dan pers yang dianggap “kiri” di bredel bahkan yang lebih tragis
lagi adalah dilarang berkumpul apalagi berbisik-bisik, kalau tidak bandel esok harinya intel
atau kodim akan mengangkat kita untuk diamankan. Apa yang dilakukan oleh Soeharto
selama hampir 32 tahun menumbuhkan stigma dan trauma yang mendalam dalam sanubari
masyarakat Indonesia yang kelak akan meledak secara radikal. Civil society di Indonesia
mulai menampakkan wujudnya setelah Soeharto tumbang dan digantikan oleh Habibie. Di
masa ini, dapat dikatakan bahwa terdapat masa peralihan antara Political Society dan Civil
Society. Civil society makin perkasa dibawah era Presiden Gus Dur. Ketika Gus Dur menjadi
presiden, seluruh elemen civil society di berdayakan, pers bebas di gagas, sistem
pengambilan keputusan Gus Dur bersifat Bottom up dengan cara melontarkan isu-isu
ketengah masyarakat, LSM bebas berpendapat, kebebasan intelektual dibuka. Meski
tindakannya justru mmembahayakan kewibawaannya. Beberapa oknum menghina cacat
fisiknya di layar televisi.  Namun sekali lagi, Gusdur menjunjung tinggi kebebasan
berpendapat. Ia tidak menahan orang-orang yang berselisih pendapat dengannya
6. Walaupun demikian, dari era Soekarno hingga Gusdur, presiden dipilih  berdasarkan hasil
perundingan parlemen dimana pemenang suara terbanyak di parlemen cenderung menjadi
presiden kala itu. Ini tentu ada ketidaksesuaian dengan karakteristik Civil Society dimana
masyarakat diajarkan untuk berdemokrasi. Baru kemudian di era Megawati perjalanan Civil
Society di Indonesia berlanjut. Di era ini, pemerintah melaksanakan  pemilu langsung di
tahun 2004 untuk pertama kalinya dalam sejarah  perpolitikan Indonesia
7. Dalam perjalanan mewujudkan Civil society di indonesia bukan berati tidak ada hambatan-
hambatan. Feodalisme dan label status quo para pejabat  baik di pusat maupun didaerah serta
dosa-dosa masa lalu dalam era Soeharto yang sering disebut dengan Orang ORBA, membuat
civil society menjadi
6.  Syah Sirikit. 2014.
Membincang Pers, Kepala Negara, dan Etika Media.
 Jakarta: Gramedia.
7.  Hastusi Rita Sri dan De Fretes Yvonne. 2012
. megawati Anak Sang Putra Fajar.
 Jakarta: Kompas Gramedia

 
momok yang menakutkan bagi mereka. Ditambah lagi dengan beberapa  persoalan dalam
masyarakat seperti tingkat pendidikan, pendapatan dan kesadaran hukum masyarakat yang
masih sangat rendah. Di sisi lain, masih terdapat kultur masyarakat yang belum sesuai dengan
kultur demokrasi, misalnya, sikap paternalistik dan sikap belum menerima perbedaan
pendapat sebagian masyarakat. Apalagi pada saat ini muncul gejala baru dalam kehidupan
negara di mana terjadi persaingan para elite politik yang lebih  berorientasi kepada
kepentingan kelompok masing-masing dengan berusaha melemahkan atau menjatuhkan
kelompok lainnya, tanpa menghiraukan nilai-nilai etika dan moral politik. Bahkan disinyalir
pula, bahwa terjadinya serangkaian konflik dan kekerasan tersebut tidak terlepas dari
provokasi sejumlah elite politik yang tidak menghendaki terwujudnya kondisi negara yang
stabil. Banyak kalangan mensinyalir, bahwa kekerasan-kekerasan masyarakat yang terjadi di
Maluku, Poso dan di berbagai daerah lainnya. Baru-baru ini tersiar kabar bahwa adanya kasus
bom bunuh diri oleh teroris di beberapa titik di Surabaya. Kasus ini mengganggu kestabilan
dan keamanan negara. Dampaknya sangat terasa bagi golongan tertentu dimana ada stigma
negatif bahwa golongan tersebut termasuk ke dalam kelompok teroris. Bukan hanya itu,
mereka juga dicekal untuk menikmati fasilitas  publik. Dari sini terlihat bahwa karena
oknum-oknum tertentu, pluralisme sebagai bagian dari karakteristik Civic Society terganggu.
Masyarakat belum mampu menghormati, menghargai, dan memahami adanya perbedaan
dengan  berasumsi bahwa golongan terterntu merupakan bagian dari teroris hanya karena
satu-dua sudut padang. Fenomena ini tak lain adalah hanya mencoba mengganggu
terwujudnya civil society yang ideal di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai