Anda di halaman 1dari 3

MERANGKUM KETIDAKLANGSUNGAN EKSPRESI PUISI

Kajian Puisi

Nama : Anisah Mutiara Salvadillah

Kelas : 2B

Nim : 19213002

Di muka telah dikemukakan bahwa sastra (puisi) itu merupakan sistem tanda semiotik
tingkat kedua yang mempergunakan medium bahasa, semiotik tingkat kedua yang
mempergunakan medium bahasa, semiotik tingkat pertama. Sastra merupakan sistem tanda
(tingkat kedua) yang mempergunakan bahasa yang sudah merupakan sistem tanda sebelum
dipergunakan dalam sastra. Oleh karena itu, dipandang dari sudut sastra, bahasa merupakan
sistem tanda tingkat pertama dan sastra merupakan sistem tanda tingkat kedua.

Ketidaklangsungan pernyataan puisi itu menurut Riffatrre (1978 : 2) disebabkan oleh


tiga hal : penggantian arti (displacing), penyimpanan arti (distorsing), dan penciptaan arti
(creating of meaning). Seperti pada contoh puisi Tragedi Winka & Sihka

1. Penggantian Arti
Pada umumnya, kata-kata kiasan mnggganti arti sesuatu yang lain, lebih-lebih
metafora dan metomini (Riffatere, 17978 : 2). Daam pergantian arti ini, suatu kata (kiasan)
berarti yang lain (tidak menurut sesungguhnya). Misalnya dalam sajak Chairil ini (1959 :19).
Yang berjudul Sajak Putih di dalam buku Pengkajian Puisi.
Contohnya “di hitam matamu kembang mawar melati” : mawar dan melati adalah
metafora dalam baris itu, berarti yang lain : sesuatu yang indah atau cinta yang murni. Jadi
dalam mata kekasih si aku itu tmpak sesuatu (cinta) yang indah atau cinta yang
menggairahkan dan murni seperti keindahan bunga mawar (yang merah) dan melati (putih)
yang mekar. Metafota itu adalah bahasa kiasa yang menyatakan sesuatu seharga dengan hal
lain yang sesungguhnya tidak sama (Alternberd, 1970 : 15). Secara umum dalam
pembicaraan puisi, bahasa kiasan seperti perbandingan, personifikasi, sinekdoki dan
metomini itu biasa disebut saja dengan metafora meskipun sesungguhnya metafora itu
berbeda dengan kiasan lain, mempunyai sifat sendiri. Metafora itu melihat sesuatu dengan
perantaraan hal dan benda lain.

2. Penyimpangan Arti
1. Ambiguitas
Dalam puisi, kata-kata, frase dan kalimat sering mempunyai arti ganda,
menimbulkan banyak tafsir atau ambigu. Misalnya dalam “Sajak Putih” Chairil
Anwar bait ke 3 dan ke 4, baris-baris itu sesungguhnya ambigu: “Hidup dari
hidupku, pintu terbuka/selama matamu bagiku menengadah”. Ini dapat ditafsirkan
dengan arti ganda bahwa si aku akan selalu ada jalan keluar, ada harapan-harapan,
atau kegairahan selama kekasihnya masih suka memandang dia, masih
mencintainya, masih setia kepadanya, masih percaya kepadanya, masih
menghendakinya, masih membutuhkan si aku.
Dengan ambiguitas seperti itu, puisi memberikan kesempatan kepada pembaca
untuk memberikan arti sesuai dengan asosiasinya. Dengan demikian, setiap kali
sajak ini dibaca selalu memberikan arti baru.

2. Kontradiksi
Dalam sajak modern banyak ironi, yaitu salah satu cara menyampaikan
maksud secara berlawanan atau berbalikan. Ironi ini biasanya untuk megejek
sesuatu yang keterlaluan. Ironi ini menarik perhatian dengan cara membuat
pembaca berpikir. Sering juga untuk membuat orang tersenyum atau membuat
orang berbelaskasihan terhadap sesuatu yang menyedihkan. Seperti yang terdapat
pada contoh sajak Subagio (dalam halaman 222) menyatakan bahwa dalam sajak
itu Subagio menyatakan suatu hal atau maksud secara kontradiktoris atau
berbalikan. Dalam sajak itu, ia mengkritik orang kulit putih, khususnya di Afrika
Selatan atas kebiadannya : merampok, membunuh dengan bangsa kulit hitam.
Seharusnya orang kulit putih memberikan cinta kasih kepada orang hitam, tetapo
kenyataannya mereka egois, membangun gedung, rel kereta api dan lain-lain.

3. Nonsense
Nonsense merupakan bentuk kata-kata yang secara linguistik tidak
mempunyai arti, sebab tidak terdapat dalam kosa kata, misalnya
penggabungan dua kata atau lebih (sepisaupi, sepisaupa) menjadi bentuk baru,
pengulangan suku kata dalam satu kata : terkekehkekeh-kehkehkeh. Nonsense
itu menimbulkan suasana aneh, suasana gaib, ataupun suasana lucu. Seperti
sajak Sutardji yang banyak contoh nonsensenya.

3. Penciptaan Arti

Terjadi penciptaan arti (Riffatere, 1978 : 2) bila ruang teks (spasi teks) berlaku
sebagai prinsip pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar dari hal-hal
ketatabahasaan yang sesungguhnya secara linguistik tidak ada artinya, misalnya simitri, rima,
enjambement, ekuivalensi-ekuivalensi makna (semantik) diantara persamaan-persamaan
posisi dalam bait (homologues).

Anda mungkin juga menyukai