“ MYASTHENIA GRAVIS”
Pembimbing :
Disusun Oleh :
MOJOKERTO 2021/2022
1
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini.Shalawat serta salam smoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafaatnya diakhiat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SW atas limpahan nikmat sehat-Nya,baik itu berupa
sehat fisik maupun akal pikiran,sehingga penulis mampu menyelesaikan pembuatan makalah
dengan judul “ MYASTHENIA GRAVIS”.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya.Untuk itu penulis mengharapkan kritik serta
saran dari pembaca untuk makalah ini,supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang
lebih baik lagi.kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon
maaf yang sebesar-besarnya.
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................... 2
DAFTAR ISI.......................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................... 6
E. Pathway................................................................................................. 8
A. Pengkajian............................................................................................. 13
B. Diagnosa Keperawatan........................................................................ 15
3
C. Intervensi Keperawatan....................................................................... 16
D. Implementasi Keperawatan................................................................. 18
E. Evaluasi................................................................................................. 20
3.1 Kesimpulan............................................................................................... 22
3.2 Saran.......................................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 23
4
BAB I
PENDAHULUAN
Miastenia gravis merupakan penyakit kelemahan otot yang parah. Penyakit ini
merupakan penyakit neuromuscular yang merupakan gabungan antara cepatnya terjadi kelelahan
otot-otot volunter dan lambatnya pemulihan. Pada masa lampau kematian akibat dari penyakit ini
bisa mencapai 90%, tetapi setelah ditemukannya obat-obatan dan tersedianya unit-unit perawatan
pernafasan, maka sejak itulah jumlah kematian akibat penyakit ini bisa dikurangi. Sindrom
klinis ini ditemukan pertama kali pada tahun 1600, dan pada akhir tahun 1800. Miastenia gravis
dibedakan dari kelemahan otot akibat paralisis burbar. Pada tahun 1920 seorang dokter yang
menderita penyakit Miastenia gravis merasa lebih baik setelah minum obat efidrin yang
sebenarnya obat ini ditujukan untuk mengatasi kram menstruasi. Dan pada tahun 1934 seorang
dokter dari Inggris bernama Mary Walker melihat adanya gejala-gejala yang serupa antara
Miastenia gravis dengan keracunan kurare. Mary Walker menggunakan antagonis kurare yaitu
fisiotigmin untuk mengobati Miastenia gravis dan ternyata ada kemajuan nyata dalam
penyembuhan penyakit ini. Miastenia gravis banyak timbul antara umur 10-30 tahun. Pada umur
dibawah 40 tahun miastenia gravis lebih banyak dijumpai pada wanita. Sementara itu diatas 40
tahun lebih banyak pada pria (Harsono, 1996). Insidens miastenia gravis di Amerika Serikat
sering dinyatakan sebagai 1 dalam 10.000. Tetapi beberapa ahli menganggap angka ini terlalu
rendah karena sesungguhnya banyak kasus yang tidak pernah terdiagnosis.
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi Myasthenia Gravis.
5
2. Untuk mengetahui etiologi pada Myasthenia Gravis.
3. Untuk mengetahui tanda dan gejala pada Myasthenia Gravis.
4. Untuk mengetahui patofisiologi pada Myasthenia Gravis.
5. Untuk mengetahui pathway pada Myasthenia Gravis.
6. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang pada Myasthenia Gravis.
7. Untuk mengetahui komplikasi pada Myasthenia Gravis.
8. Untuk mengetahui penatalaksanaan medis pada Myasthenia Gravis.
9. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada Myasthenia Gravis.
10. Untuk mengetahui hasil trend dan issue pada Myasthenia Gravis.
11. Untuk mengetahui edvance bassed practice terkait masalah pada Myasthenia Gravis.
12. Untuk mengetahui tindakan pada pasien Myasthenia Gravis.
6
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi.
B. Etiologi.
Kelainan primer pada myasthenia gravis di hubungkan dengan gangguan transmisi pada
neuron muscular junction, yaitu antara unsur saraf dan unsur otot. Pada ujung akson motor
neuron terdapat partikel-partikel yang merupakan penimbunan asetilkolin (ACh). Jika
rangsangan motorik tiba pada ujung akson, artikel globuler pecah dan ACh dibebaskan yang
dapat memindahkan gaya saraf yang kemudian bereaksi dengan ACh Reseptor (AChR) pada
membran postsinaptik. Reaksi ini membuka saluran ion pada membran serat otot dan
menyebabkan masuknya kation, terutama Na, sehingga dengan demikian terjadilah kontraksi
otot. Penyebab pasti gangguan transmisi neuromuskular pada myasthenia gravis tidak diketahui.
Dua dikatakan pada myasthenia gravis terdapat kekurangan ACh atau kelebihan kholinesterase,
tetapi menurut teori terakhir, faktor imunologik yang paling banyak berperan.
Kelelahan.
Wajah tanpa ekspresi.
Kelemahan secara umum, khususnya pada wajah, rahang, leher,lengan, tangan dan atau
tungkai. Kelemahan meningkat pada saat pergerakan.
Kesulitan dalam menyangkut lengan diatas kepala atau meluruskan jari.
Kesulitan mengunyah.
Kelemahan, nada tinggi, suara lembut.
Ptosis dari satu atau kedua kelopak mata.
Kelumpuhan okular.
Diplopia.
Ketidakseimbangan berjalan dengan tumit ; namun berjalan dengan jari kaki.
7
Kekuatan makin menurun sesuai dengan perkembangan.
Inkontinensia stress.
Kelemahan pada sphincter anal.
Pernafasan dalam, menurun kapsitas vital, penggunaan otot - otot aksesori.
D. Patofisiologi.
8
E. Pathway
Miastenia Gravis
Kelemahan progesif ringan hingga berat dan keletihan abnormal pada otot
Otot Otot Okular Otot Wajah, Laring, Faring Otot Volunter Otot pernapasan
Kematian
9
F. Pemeriksaan Penunjang.
1. Laboratorium.
Anti-striated muscle.
a. Pada 84% pasien dengan timoma dengan usia kurang dari 40 tahun.
Interleukin-2 receptor.
2. Imaging.
X-ray thoraks.
a. Foto polos posisi AP dan Lateral dapat mengidentifikasi timoma sebagai massa
mediatinum anterior.
CT scan thoraks.
a. Identifikasi timoma.
a. Menyingkirkan penyebab lain defisit Nn. Craniales, tidak digunakan secara rutin.
3. Pemeriksaan Klinis.
Menatap tanpa kedip pada suatu benda yang terletak diatas bidang kedua mata selama 30
detik akan terjadi ptosis.
Melirik ke samping terus menerus akan terjadi diplopia.
Menghitung atau membaca keras selama 3 menit akan terjadi kelemahan pita suara, suara
hilang.
Tes untuk otot leher dengan mengangkat kepala dengan 1 menit dalam posisi berbaring.
Tes exercise untuk otot ekstremitas, dengan mempertahankan posisi saat mengangkat
kaki dengan sudut 45° pada posisi tidur telentang 3 menit, atau duduk-berdiri 20-30 kali.
Jalan diatas tumit atau jari 30 langkah, tes tidur-bangkit 5-10 kali.
10
Tes tensilon (edrophonium chloride).
Suntikkan tensilon 10 mg (1 ml) i.v, secara bertahap. Mula-mula 2 mg apabila perbaikan
(-) dalam 45 detik, berikan 3 mg lagi apabila perbaikan (-), berikan 5 mg lagi. Efek
tensilon akan berakhir 4-5menit.
Efek samping : ventrikel fibrilasi dan henti jantung.
Dapat ditambahkan atropin untuk mengurangi efek seperti nausea, vomitus, berkeringat.
Perbaikan tjd pd 10-15 menit,mencapai puncak dlm 30 menit, berakhir dalam 2-3 jam5.
5. Pemeriksaan EMNG.
Pada stimulasi berulang 3 Hz terdapat penurunan amplitudo (decrement respons) > 10%
antara stimulasi I dan V. Myasthenia Gravis ringan penurunan mencapai 50%,
Myasthenia Gravis sedang sampai berat dapat sampai 80%..
Antibodi AChR ditemukan pada 85-90% penderita Myasthenia Gravis generalis, dan
70% pada Myasthenia Gravis okular. Kadar ini tidak berkorelasi dengan beratnya
penyakit.
7. Evaluasi Timus.
Sekitar 75% penderita Myasthenia Gravis didapatkan timus yang abnormal, terbanyak
berubah adalah hiperplasia, sedangkan 15% tinoma. Adanya tinoma dapat dilihat
dengan CT scan mediastinum, tetapi pada timus hiperplasia hasil CT sering normal.
8. Diagnosis Banding.
Sindroma Eaton-Lambert.
Botulism.
11
9. Pengobatan.
G. Komplikasi.
Komplikasi myasthenia gravis yang paling berbahaya adalah myasthenic crisis. Kondisi
ini terjadi ketika otot tenggorokan dan diafragma terlalu lemah untuk mendukung proses
pernapasan, sehingga penderitanya mengalami sesak napas akibat kelumpuhan otot-otot
pernapasan. Myasthenic crisis dapat dipicu oleh beberapa faktor, seperti infeksi saluran
pernapasan, stres, atau komplikasi dari prosedur operasi. Pada myasthenic crisis yang parah,
penderita bisa berhenti bernapas. Dalam kondisi ini, dibutuhkan alat bantu napas (ventilator)
untuk membantu penderita bernapas, sampai otot-otot pernapasan dapat kembali bergerak. Selain
henti napas, penderita myasthenia gravis juga berisiko tinggi mengalami penyakit autoimun lain,
seperti tirotoksikosis, lupus, dan rheumatoid arthritis.
Gagal nafas.
Disfagia.
Krisis miastenik.
Krisis cholinergic.
Komplikasi sekunder dari terapi obat penggunaan steroid yang lama.
12
Osteoporosis, katarak, hiperglikemi.
Gastritis, penyakit peptic ulcer.
Pneumocystis carini prognosis.
Tanpa pengobatan angka kematian myasthenia gravis 25-31%.
Myasthenia gravis yang mendapat pengobatan, angka kematian 4%
40% hanya gejala okuler.
H. Penatalaksanaan Medis.
Medika Mentosa.
Timektomi.
o Efektif sebagai terapi jangka pendek pada pasien Myasthenia Gravis dengan
exaserasi akut. Pada plasma ferensis dilakukan pengantian darah dengan sel darah
merah, sehingga plasma darah dibuang dan diganti dengan suplemen yaitu human
albumin dan larutan normalsalin.
13
Intavenous, Imunoglobulin ( IV, IG).
Pembedahan.
Plasmapharesis.
Thymectomy.
Terapi fisik.
Dukungan nutrisi.
A. Pengkajian.
1. Identitas.
Identitas klien, meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, agama, pekerjaan, suku
bangsa, status perkawinan, alamat, diagnosa medis, No. RM/CM, tanggal masuk, tanggal
gaji dan ruangan tempat klien dirawat. Data penanggung jawab mencakup nama, umur,
jenis kelamin, agama, suku bangsa, hubungan dengan klien dan alamat.
2. Keluhan Utama.
3. Riwayat Kesehatan.
Diagnosa Myastenia Gravis didasarkan pada riwayat dan presentasi klinis. Riwayat
kelemahan otot setelah aktivitas dan pemulihan kekuatan parsial setelah istirahat
sangatlah menunjukkan myastenia gravis. Pasien mungkin mengeluh kelemahan setelah
melakukan pekerjaan fisik yang sederhana. Riwayat adanya jatuhnya kelopak mata pada
pandangan atas dapat menjadi signifikan, juga bukti tentang kelemahan otot.
4. Riwayat Keperawatan.
Kelemahan otot ( meningkat dengan pengerahan tenaga, membaik bila istirahat, tiba tiba
cepat lelah ), kesulitan menelan dan mengunyah, diplobia, tumor kelenjar timus.
14
5. Psikososial.
Usia, jenis kelamin, pekerjaan, peran dan tanggung jawab yang biasa dilakukan,
penerimaan terhadap kondisi, koping yang biasa digunakan, status ekonomi dan
penghasilan.
7. Pemeriksaan Fisik.
a) B1 (Breathing).
Auskultasi buny nafas tambahan seperti ronkhi atau stridor pada klien,
menunjukkan adanya akumulasi secret pada jalan nafas dan penurunan
kemampuan otot-otot pernapasan.
b) B2 (Blood).
c) B3 (Brain).
Saraf I (olfaktorius).
Saraf II (optikus).
15
Sering didapatkan adanya ptosis. Adanya oftalmoplegia, mimic dari
pseudointernuklearoftalmoplegia akibat gangguan motorik padanervus VI.
Saraf V (trigeminus).
Saraf XI (aksesorius).
Lidah tidak simentris, adanya deviasi pada satu sisi akibat kelemahan otot
motorik pada lidah.
d) B4 (Bladder).
e) B5 (Bowel).
f) B6 (Bone).
B. Diagnosa Keperawatan.
16
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan.
C. Intervensi Keperawatan.
17
Edukasi :
1. Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan.
2. Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu.
(I.01014).
2. Gangguan mobilitas Setelah dilakukan tindakan Observasi :
fisik b.d kelemahan keperawatan selama 1 x 24 1. Identifikasi adanya hari atau
otot-otot rangka. jam diharapkan mobilitas keluhan fisik lainnya.
(D.0054). fisik meningkat. 2. Identifikasi toleransi fisik
Kriteria Hasil : melakukan pergerakan.
1. Kekuatan otot 3. Monitor frekuensi jantung
meningkat. dan tekanan darah sebelum
2. Kecemasan memulai mobilisasi.
menurun. 4. Monitor kondisi umum
3. Kaku sendi selama melakukan
menurun. mobilisasi.
(L.05042). Terapeutik :
1. Fasilitasi aktivitas
mobilisasi dengan alat bantu
(misalnya pake tempat
tidur).
2. Fasilitasi melakukan
pergerakan, jika perlu.
3. Libatkan keluarga untuk
membantu pasien dalam
meningkatkan pergerakan.
Edukasi :
1. Jelaskan tujuan dari
prosedur mobilisasi.
2. Anjurkan melakukan
18
mobilisasi dini.
3. Ajarkan mobilisasi
sederhana yang harus
dilakukan (misalnya Didik
di tempat tidur, duduk di sisi
tempat tidur, pindah dari
tempat tidur ke kursi).
(I.05173).
D. Implementasi Keperawatan.
19
pemantauan.
2. Menginformasikan hasil pemantauan, jika
perlu. (I.01014).
2. Gangguan mobilitas fisik b.d Observasi :
kelemahan otot-otot rangka. 1. Mengidentifikasi adanya hari atau keluhan
(D.0054). fisik lainnya.
2. Mengidentifikasi toleransi fisik melakukan
pergerakan.
3. Memonitor frekuensi jantung dan tekanan
darah sebelum memulai mobilisasi.
4. Memonitor kondisi umum selama
melakukan mobilisasi.
Terapeutik :
1. Memfasilitasi aktivitas mobilisasi dengan
alat bantu (misalnya pake tempat tidur).
2. Memfasilitasi melakukan pergerakan, jika
perlu.
3. Melibatkan keluarga untuk membantu
pasien dalam meningkatkan pergerakan.
Edukasi :
1. Menjelaskan tujuan dari prosedur
mobilisasi.
2. Menganjurkan melakukan mobilisasi dini.
3. Mengajarkan mobilisasi sederhana yang
harus dilakukan (misalnya Didik di tempat
tidur, duduk di sisi tempat tidur, pindah
dari tempat tidur ke kursi). (I.05173).
E. Evaluasi.
20
1. Pola napas membaik.
2. Mobilitas fisik meningkat.
Menurut world health organization (WHO) pada tahun 2009 mencacat angka kejadian
Myasthenia Gravis bervariasi antara 1,7 sampai 21,3 kasus per satu juta penduduk bergantung
pada lokasi penelitian.Sedangkan angka prevalensi berkisar antara 15 sampai 179 kasus per satu
juta penduduk. Kejadian Myasthenia Gravis ditentukan oleh jenis kelamin dan umur. Wanita
terkena hampir tiga kali lebih sering daripada pria selama dewasa awal (<40 tahun), sedangkan
kejadian antara wanita dan pria hampir sama pada saat pubertas dan setelah usia 40 tahun.
Setelah usia 50 tahun, kejadian lebih banyak ditemukan pada pria. Di Indonesia, penulis belum
menemukan data epidemiologi baik tentang Myasthenia Gravis maupun MC dari laman Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) maupun hasil publikasi penelitian lainnya. Sebagian besar MC
pada pasien Myasthenia Gravis disebabkan oleh faktor pemicu tertentu, meskipun pada 30-40%
kasus faktor tersebut tidak ditemukan.Myasthenia gravis (MG) merupakan suatu penyakit
autoimun dari neuromuscular junction (NMJ) yang disebabkan oleh antibodi yang menyerang
komponen dari membran postsinaptik, mengganggu transmisi neuromuskular, dan menyebabkan
kelemahan dan kelelahan otot rangka.Pasien laki-laki berusia 39 tahun datang dengan keluhan
sesak napas (dyspneu) sejak tiga hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan disertai dengan
kelopak mata kanan yang turun mendadak, keluhan sudah sering dirasakan namun membaik
setelah beristirahat. Tiga hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh sesak napas yang
semakin memberat disertai sulit menelan dan sulit bicara sehingga pasien dibawa ke rumah sakit.
Di rumah sakit keluhan sesak semakin berat hingga pasien dirawat di ruang ICU selama enam
hari, setelah itu keluhan pasien berkurang sehingga pasien dipindahkan ke ruang rawat inap
dengan keluhan masih sulit menelan dan batuk. Pada pemeriksaan fisik ditemukan pemeriksaan
jantung dan paru dalam batas normal, laju respirasi meningkat yaitu 32 x/menit, ptosis palpebra
kanan, disartria dan disfagia yang dapat menunjukkan adanya gambaran kecurigaan parese
nervus okulomotorius (III), nervus glosofaringeus (IX), dan nervus vagus (X), sehingga pasien
didiagnosis secara klinis sebagai Myasthenia Gravis dan diberikan penatalaksanaan umum tirah
baring dan pemantauan tanda vital, serta diberikan asetilkolinesterase inhibitor yaitu
piridostigmin 3x60 mg dan kortikosteroid yaitu metilprednisolon injeksi 125 mg/8 jam.
Sejak tiga hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan disertai dengan kelopak mata kanan
yang turun mendadak, keluhan sudah sering dirasakan namun membaik setelah beristirahat. Tiga
hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh sesak napas yang semakin memberat disertai
sulit menelan dan sulit bicara sehingga pasien dibawa ke rumah sakit. Di rumah sakit keluhan
sesak semakin berat hingga pasien dirawat di ruang ICU selama enam hari, setelah itu keluhan
pasien berkurang sehingga pasien dipindahkan ke ruang rawat inap dengan keluhan masih sulit
menelan dan batuk. Pada pemeriksaan fisik ditemukan pemeriksaan jantung dan paru dalam
21
batas normal, laju respirasi meningkat yaitu 32 x/menit, ptosis palpebra kanan, disartria dan
disfagia yang dapat menunjukkan adanya gambaran kecurigaan parese nervus okulomotorius
(III), nervus glosofaringeus (IX), dan nervus vagus (X), sehingga pasien didiagnosis secara klinis
sebagai Myasthenia Gravis dan diberikan penatalaksanaan umum tirah baring dan pemantauan
tanda vital, serta diberikan asetilkolinesterase inhibitor yaitu piridostigmin 3x60 mg dan
kortikosteroid yaitu metilprednisolon injeksi 125 mg/8 jam. Pasien pulang dengan perbaikan
pada keadaan umum dan diedukasi untuk segera mencari pertolongan medis apabila keluhan
muncul kembali. Myasthenia gravis merupakan kasus yang jarang terjadi namun bila mengenai
otot-otot pernapasan dapat menyebabkan gejala sesak napas dan mengancam jiwa.
3. Baringkan klien dalamposisi yang nyaman dalam posisi duduk. Peruntungan diafragma
memperluas daerah dada sehingga ekspansi paru bisa maksimal.
BAB III
PENUTUP
22
A. Kesimpulan.
Myasthenia gravis ialah penyakit dengan gangguan pada ujung-ujung saraf motorik di
dalam otot yang mengakibatkan otot menjadi lekas lelah. Otot-otot pada pergerakan berulang-
ulang atau terus-menerus menjadi lelah dan ampuh. Miastenia gravis merupakan penyakit kronis,
neuromuskular. Autoimun yang bisa menurunkan jumlah dan aktifitas reseptorAcethylcholaline
(ACH) pada Neuromuscular junction. Meskipun faktor persipitasi masih belum jelas, tetapi
menurut penelitian menunjukkan bahwa kelemahan myasthenic diakibatkan dari sirkulasi
antibodi ke reseptor Ach. Tanda dan gejala klien myasthenia gravis meliputi Kelelahan, Wajah
tanpa ekspresi, Kelemahan secara umum, khususnya pada wajah, rahang, leher, lengan, tangan
dan atau tungkai. Kelemahan meningkat pada saat pergerakan, Kesulitan dalam menyangkut
lengan diatas kepala atau meluruskan jari, Kesulitan mengunyah, Kelemahan, nada tinggi, suara
lembut, Ptosis dari satu atau kedua kelopak mata, Kelumpuhan okular. Diplopia,
Ketidakseimbangan berjalan dengan tumit: namun berjalan dengan jari kaki. Kekuatan makin
menurun sesuai dengan perkembangan Inkontinensia stress, Kelemahan pada sphincter anal.
Pernapasan dalam, menurun kapsitas vital, penggunaan otot-otot aksesori.
B. Saran
1. Mahasiswa.
Setelah membaca makalah ini diharapkan mahasiswa dapat memahami dan mempelajari
asuhan keperawatan yang tepat untuk pasien dengan Myasthenia Gravis.
2. Tenaga Kesehatan.
Setelah membaca makalah ini diharapkan tenaga kesehatan baikPrimer maupum spesialis
dapat memberikan asuhan keperawatan yangtepat untuk pasien dengan Myasthenia
Gravis.
3. Masyarakat.
Setelah membaca makalah ini diharapkan masyarakat dapat memahami dan mengetahui
pengertian, tanda dan gejala, komplikasi dan penatalaksanaan apa saja yang harus
dilakukan secara mandiri terkait dengan Myasthenia Gravis.
DAFTAR PUSTAKA
23
Hudak & Gallo. (1996). Keperawatan kritis : pendekatan holistic. Vol. 2.EGC.jakarta.Ramali, A.
( 2000 ).
Ann Neurol16: Page: 519-534.1984.Lewis, R.A, Selwa J.F, Lisak, R.P. Myasthenia Gravis:
ImmunologicalMechanisms and Immunotherapy.
Penyakit Degeneratif dan Gangguan Lain Pada SistemSaraf, dalam S.A. Price, L.M. Wilson,
(eds).
24