Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH (KMB)

“ MYASTHENIA GRAVIS”

Pembimbing :

Edy Siswantoro, S.Kep., Ns., M.Kep

Disusun Oleh :

1. Desi Murdaini (0119009 )


2. Eva Rosita Ari Wardana (0119018)
3. Maria Ulfa (0119027)
4. Meyra Adelia Putri S. ( 0119029 )
5. Reki Novita Kaesti ( 0119043 )

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN DIAN HUSADA

MOJOKERTO 2021/2022

1
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini.Shalawat serta salam smoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafaatnya diakhiat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SW atas limpahan nikmat sehat-Nya,baik itu berupa
sehat fisik maupun akal pikiran,sehingga penulis mampu menyelesaikan pembuatan makalah
dengan judul “ MYASTHENIA GRAVIS”.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya.Untuk itu penulis mengharapkan kritik serta
saran dari pembaca untuk makalah ini,supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang
lebih baik lagi.kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon
maaf yang sebesar-besarnya.

Demikian,semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Mojokerto, 18 September 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

COVER / HALAMAN JUDUL......................................................................... 1

KATA PENGANTAR.......................................................................................... 2

DAFTAR ISI.......................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 4

1.1 Latar Belakang............................................................................................ 4


1.2 Rumusan Masalah...................................................................................... 4
1.3 Tujuan.......................................................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................... 6

2.1 KONSEP TEORI...................................................................................... 6

A. Definisi Myasthenia Gravis................................................................ 6

B. Etiologi Myasthenia Gravis................................................................. 6

C. Tanda Dan Gejala Myasthenia Gravis...............................................6

D. Ptofisiologi Myasthenia Gravis.......................................................... 7

E. Pathway................................................................................................. 8

F. Pemeriksaan Penunjang Pada Myasthenia Gravis............................9

G. Komplikasi Pada Myasthenia Gravis................................................. 11

H. Penatalaksanaan Medis Pada Myasthenia Gravis............................. 12

2.2 ASUHAN KEPERAWATAN PADA MYASTHENIA GRAVIS..... 13

A. Pengkajian............................................................................................. 13

B. Diagnosa Keperawatan........................................................................ 15

3
C. Intervensi Keperawatan....................................................................... 16

D. Implementasi Keperawatan................................................................. 18

E. Evaluasi................................................................................................. 20

2.3 HASIL TREND DAN ISSUE PADA MYASTHENIA GRAVIS....20

2.4 EDVANCE BASSED PRACTICE TERKAIT MASALAH..............20

2.5 TINDAKAN PADA PASIEN MYASTHENIA GRAVIS.................21

BAB III PENUTUP............................................................................................... 22

3.1 Kesimpulan............................................................................................... 22

3.2 Saran.......................................................................................................... 22

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 23

4
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Miastenia gravis merupakan penyakit kelemahan otot yang parah. Penyakit ini
merupakan penyakit neuromuscular yang merupakan gabungan antara cepatnya terjadi kelelahan
otot-otot volunter dan lambatnya pemulihan. Pada masa lampau kematian akibat dari penyakit ini
bisa mencapai 90%, tetapi setelah ditemukannya obat-obatan dan tersedianya unit-unit perawatan
pernafasan, maka sejak itulah jumlah kematian akibat penyakit ini bisa dikurangi. Sindrom
klinis ini ditemukan pertama kali pada tahun 1600, dan pada akhir tahun 1800. Miastenia gravis
dibedakan dari kelemahan otot akibat paralisis burbar. Pada tahun 1920 seorang dokter yang
menderita penyakit Miastenia gravis merasa lebih baik setelah minum obat efidrin yang
sebenarnya obat ini ditujukan untuk mengatasi kram menstruasi. Dan pada tahun 1934 seorang
dokter dari Inggris bernama Mary Walker melihat adanya gejala-gejala yang serupa antara
Miastenia gravis dengan keracunan kurare. Mary Walker menggunakan antagonis kurare yaitu
fisiotigmin untuk mengobati Miastenia gravis dan ternyata ada kemajuan nyata dalam
penyembuhan penyakit ini. Miastenia gravis banyak timbul antara umur 10-30 tahun. Pada umur
dibawah 40 tahun miastenia gravis lebih banyak dijumpai pada wanita. Sementara itu diatas 40
tahun lebih banyak pada pria (Harsono, 1996). Insidens miastenia gravis di Amerika Serikat
sering dinyatakan sebagai 1 dalam 10.000. Tetapi beberapa ahli menganggap angka ini terlalu
rendah karena sesungguhnya banyak kasus yang tidak pernah terdiagnosis.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa definisi Myasthenia Gravis?


2. Apa saja etiologi pada Myasthenia Gravis?
3. Apa saja tanda dan gejala pada Myasthenia Gravis?
4. Apa patofisiologi pada Myasthenia Gravis?
5. Bagaimana pathway pada Myasthenia Gravis?
6. Apa saja pemeriksaan penunjang pada Myasthenia Gravis?
7. Apa saja komplikasi pada Myasthenia Gravis?
8. Bagaimana penatalaksanaan medis pada Myasthenia Gravis?
9. Bagaimana asuhan keperawatan pada Myasthenia Gravis?
10. Bagaimana hasil trend dan issue pada Myasthenia Gravis?
11. Bagaimana edvance bassed practice terkait masalah pada Myasthenia Gravis?
12. Bagaimana tindakan pada pasien Myasthenia Gravis?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi Myasthenia Gravis.

5
2. Untuk mengetahui etiologi pada Myasthenia Gravis.
3. Untuk mengetahui tanda dan gejala pada Myasthenia Gravis.
4. Untuk mengetahui patofisiologi pada Myasthenia Gravis.
5. Untuk mengetahui pathway pada Myasthenia Gravis.
6. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang pada Myasthenia Gravis.
7. Untuk mengetahui komplikasi pada Myasthenia Gravis.
8. Untuk mengetahui penatalaksanaan medis pada Myasthenia Gravis.
9. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada Myasthenia Gravis.
10. Untuk mengetahui hasil trend dan issue pada Myasthenia Gravis.
11. Untuk mengetahui edvance bassed practice terkait masalah pada Myasthenia Gravis.
12. Untuk mengetahui tindakan pada pasien Myasthenia Gravis.

6
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 KONSEP TEORI.

A. Definisi.

Myasthenia gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi transmisi neuro muskular


pada otot tubuh yang kerjanya di bawah kesadaran seseorang (volunter). Karakteristik yang
muncul berupa kelemahan yang berlebihan dan umumnya terjadi kelelahan pada otot volunter
dan hal itu dipengaruhi oleh fungsi saraf serangan dapat terjadi pada beberapa usia, ini terlihat
paling sering pada wanita 15 - 35 tahun dan pada pria sampai 40 tahun.

B. Etiologi.

Kelainan primer pada myasthenia gravis di hubungkan dengan gangguan transmisi pada
neuron muscular junction, yaitu antara unsur saraf dan unsur otot. Pada ujung akson motor
neuron terdapat partikel-partikel yang merupakan penimbunan asetilkolin (ACh). Jika
rangsangan motorik tiba pada ujung akson, artikel globuler pecah dan ACh dibebaskan yang
dapat memindahkan gaya saraf yang kemudian bereaksi dengan ACh Reseptor (AChR) pada
membran postsinaptik. Reaksi ini membuka saluran ion pada membran serat otot dan
menyebabkan masuknya kation, terutama Na, sehingga dengan demikian terjadilah kontraksi
otot. Penyebab pasti gangguan transmisi neuromuskular pada myasthenia gravis tidak diketahui.
Dua dikatakan pada myasthenia gravis terdapat kekurangan ACh atau kelebihan kholinesterase,
tetapi menurut teori terakhir, faktor imunologik yang paling banyak berperan.

C. Tanda dan Gejala.

Tanda dan gejala klien myasthenia gravis meliputi :

 Kelelahan.
 Wajah tanpa ekspresi.
 Kelemahan secara umum, khususnya pada wajah, rahang, leher,lengan, tangan dan atau
tungkai. Kelemahan meningkat pada saat pergerakan.
 Kesulitan dalam menyangkut lengan diatas kepala atau meluruskan jari.
 Kesulitan mengunyah.
 Kelemahan, nada tinggi, suara lembut.
 Ptosis dari satu atau kedua kelopak mata.
 Kelumpuhan okular.
 Diplopia.
 Ketidakseimbangan berjalan dengan tumit ; namun berjalan dengan jari kaki.

7
 Kekuatan makin menurun sesuai dengan perkembangan.
 Inkontinensia stress.
 Kelemahan pada sphincter anal.
 Pernafasan dalam, menurun kapsitas vital, penggunaan otot - otot aksesori.

D. Patofisiologi.

Pada keadaan normal, neurotransmiter Ach dilepaskan neuromuscular junction, menyebar


melalui Celap sinar dan bergabung dengan reseptor Ach pada membran pasca sinap dari serabut
otot. Hal ini merubah permeabilitas membran terhadap kalium dan natrium, sehingga terjadi
depolarisasi. Bila sudah mencapai depolarisasi maka potensial aksi anak terjadi bersamaan
dengan terpencarnya sarkolema yang menimbulkan kontraksi serabut otot. ACH dihancurkan
oleh enzim Acethylcolinesterease setelah terjadi pengiriman menuju neuromuscular junction.
Patologi utama kelainan miastenia gravis adalah ketidakmampuan menyebarkan rangsang saraf
ke otot sketel pada neuromuscular junction, kelainan terlihat akibat kekurangan Ach yang
dilepaskan dari terminal membran sebelum sinap atau karena adanya penurunan jumlah
normalreseptor Ach. Kemungkinan diakibatkan adanya cidera pada autoimmune. Pada sekitar
60-90 % orang menderita Myasthenia Gravis dan bayi dengan neonatalmyasthenia pada protein
reseptor Ach terdapat antibodi. Antibodi ini tidak bertambah dengan reseptor Ach pada membran
pasca sinap. Tidak ada petunjuk yang jelas apakah Myasthenia Gravis termasuk dalam penyakit
saraf pusat atau perifer. Penampilan otot secara mikroskopis biasa tanpa adanya atropi. Secara
mikroskopis infiltrasi limposit dapat terlihat dalam otot-otot dan organ lain dengan menggunakan
mikroskop, tetapi penemuan ini tidak tetap. Kelenjar timus sering abnormal. Tumor kelenjar
timus atautimoma, diperkirakan telah terajdi sekitar 15% kasus dan yang menunjukkan
hiperplasia pada timus sekitar 80 % kasus. Belum diketahui secara pasti apa yang sebenarnya
peranan thymus. Tetapi diperkirakan sebagai stimulus sntigenik yang memproduksi Anti Ach
reseptor antibosi, dan ada juga hubungan yang sangat erat antara Myasthenia Gravis dengan
hipertiroidism.

8
E. Pathway

Miastenia Gravis

Terjadinya pelemahan, penyekatan, dan penghancuran lokasi reseptor ACh


pada membrane pascasinaptik sel otot oleh antibody ( Anti AChR )

Berkurangnya jumlah tempat AChR membatasi hantaran dan kecepatan implus


saraf normal untuk menyebrangi celah sinaps

Kontraksi otot tidak dapat dimulai

Kelemahan progesif ringan hingga berat dan keletihan abnormal pada otot

Otot Otot Okular Otot Wajah, Laring, Faring Otot Volunter Otot pernapasan

Gangguan Otot Regurgitasi makanan ke Kelemahan Otot Ketidakmampuan


Levator Palpebra hidung pada saat menelan , Otot Rangka batuk Efektif,
suara abnormal, Kelemahan otot
Ketidakmampuan menutup otot pernapasan
Ptosis dan Diplopia rahang Dx :
Gangguan Dx :

Dx : Gangguan Citra Dx : mobilitas fisik Pola Napas Tidak


Tubuh ( d.0083 ) ( d.0054 ) Efektif ( d.0005 )
Resiko Aspirasi ( d.0006 )
Defisit Nutrisi ( d.0019 ) Intoleransi aktivitas Bersihan Jalan
( d. 0056 ) Napas Tidak Efektif (
Gangguan Komunikasi
d.0001 )
Verbal ( d.0119 )
Krisis Miastenia

Kematian

9
F. Pemeriksaan Penunjang.

1. Laboratorium.

 Anti-acetylcholine receptor antibody.

a. 85% pada miastenia umum.


b. 60% pada pasien dengan miastenia okuler.

 Anti-striated muscle.

a. Pada 84% pasien dengan timoma dengan usia kurang dari 40 tahun.

 Interleukin-2 receptor.

a. Meningkat pada Myasthenia Gravis.


b. Peningkatan berhubungan dengan progresifitas penyakit.

2. Imaging.

 X-ray thoraks.

a. Foto polos posisi AP dan Lateral dapat mengidentifikasi timoma sebagai massa
mediatinum anterior.

 CT scan thoraks.

a. Identifikasi timoma.

 MRI otak dan orbita.

a. Menyingkirkan penyebab lain defisit Nn. Craniales, tidak digunakan secara rutin.

3. Pemeriksaan Klinis.

 Menatap tanpa kedip pada suatu benda yang terletak diatas bidang kedua mata selama 30
detik akan terjadi ptosis.
 Melirik ke samping terus menerus akan terjadi diplopia.
 Menghitung atau membaca keras selama 3 menit akan terjadi kelemahan pita suara, suara
hilang.
 Tes untuk otot leher dengan mengangkat kepala dengan 1 menit dalam posisi berbaring.
 Tes exercise untuk otot ekstremitas, dengan mempertahankan posisi saat mengangkat
kaki dengan sudut 45° pada posisi tidur telentang 3 menit, atau duduk-berdiri 20-30 kali.
Jalan diatas tumit atau jari 30 langkah, tes tidur-bangkit 5-10 kali.

10
 Tes tensilon (edrophonium chloride).
 Suntikkan tensilon 10 mg (1 ml) i.v, secara bertahap. Mula-mula 2 mg apabila perbaikan
(-) dalam 45 detik, berikan 3 mg lagi apabila perbaikan (-), berikan 5 mg lagi. Efek
tensilon akan berakhir 4-5menit.
 Efek samping : ventrikel fibrilasi dan henti jantung.

4. Tes Prostigmin (Neostigmin).

 Injeksi prostigmin 1,5 mg im.

 Dapat ditambahkan atropin untuk mengurangi efek seperti nausea, vomitus, berkeringat.
Perbaikan tjd pd 10-15 menit,mencapai puncak dlm 30 menit, berakhir dalam 2-3 jam5.

5. Pemeriksaan EMNG.

 Pada stimulasi berulang 3 Hz terdapat penurunan amplitudo (decrement respons) > 10%
antara stimulasi I dan V. Myasthenia Gravis ringan penurunan mencapai 50%,
Myasthenia Gravis sedang sampai berat dapat sampai 80%..

6. Pemeriksaan Antibodi AChR.

 Antibodi AChR ditemukan pada 85-90% penderita Myasthenia Gravis generalis, dan
70% pada Myasthenia Gravis okular. Kadar ini tidak berkorelasi dengan beratnya
penyakit.

7. Evaluasi Timus.

 Sekitar 75% penderita Myasthenia Gravis didapatkan timus yang abnormal, terbanyak
berubah adalah hiperplasia, sedangkan 15% tinoma. Adanya tinoma dapat dilihat
dengan CT scan mediastinum, tetapi pada timus hiperplasia hasil CT sering normal.

8. Diagnosis Banding.

 Sindroma Eaton-Lambert.

a. Sering terjadi bersamaan dengan small cell Ca dari paru.


b. Lesi terjadi di membran pre sinaptik dimana ‘release’ Ach tidak dapat
berlangsung dengan baik.

 Botulism.

a. Penyebab : neurotoksin dari Clostridium botulinum, yang dapat masuk melalui


makanan yang terkontaminasi.
b. Dengan cara menghambat/menghalang-halangi pelepasan Ach dari ujung terminal
akson persinaptik.

11
9. Pengobatan.

 Anti kolinesterase : menghambat destruksi Ach.


 Piridostigmin bromide (Mestinon, Regonol). Dosis awal 30-60 mg tiap 6-8 jam atau
setiap 3-4 jam. Dosis optimal bervariasitgt kebutuhan mulai 30-120 mg setiap 4 jam. Bila
> 120 mg tiap 3 jam dapat menimbulkan Krisis Kolinergik (G/ : dispneu, miosis,
lakrimasi, hipersalivasi, emesis, diare.
 Neostigmin Bromide (Prostigmin). Kerja lebih pendek, dosis15 mg tiap 3-4 jam.
 Kortikosteroid : Mulai dosis rendah (12-50 mg prednison) kemudian dinaikkan pelan-
pelan sampai respon optimal (maksimal 50-60 mg prednison). Dosis dipertahankan
sampai perbaikan mencapai plateau (biasanya 6-12 bulan). Turunkan dosis sangat pelan-
pelan sampai dosis pemeliharaan minimal. Awasi efek samping obat.
 Obat : azathiprine 1-2,5 mg/minggu. Biasanya dipakai bersama prednison.
 Obat lain : Cyclosporine, Cyclophosphamide, Mycophenolatemofetil.
 Intravenous, Imunoglobulin.
 Dosis : 0,4 gr/kg BB/hari selama 5 hari berturut turut.
 Pada Myasthenia Gravis berat.
 Plasmapharesis.
 Pada Myasthenia Gravis berat untuk menghilangkan atau menurunkan antibodi yang
beredar dalam serum penderita.

G. Komplikasi.

Komplikasi myasthenia gravis yang paling berbahaya adalah myasthenic crisis. Kondisi
ini terjadi ketika otot tenggorokan dan diafragma terlalu lemah untuk mendukung proses
pernapasan, sehingga penderitanya mengalami sesak napas akibat kelumpuhan otot-otot
pernapasan. Myasthenic crisis dapat dipicu oleh beberapa faktor, seperti infeksi saluran
pernapasan, stres, atau komplikasi dari prosedur operasi. Pada myasthenic crisis yang parah,
penderita bisa berhenti bernapas. Dalam kondisi ini, dibutuhkan alat bantu napas (ventilator)
untuk membantu penderita bernapas, sampai otot-otot pernapasan dapat kembali bergerak. Selain
henti napas, penderita myasthenia gravis juga berisiko tinggi mengalami penyakit autoimun lain,
seperti tirotoksikosis, lupus, dan rheumatoid arthritis.

Komplikasi pada Myasthenia Gravis antara lain :

 Gagal nafas.
 Disfagia.
 Krisis miastenik.
 Krisis cholinergic.
 Komplikasi sekunder dari terapi obat penggunaan steroid yang lama.

12
 Osteoporosis, katarak, hiperglikemi.
 Gastritis, penyakit peptic ulcer.
 Pneumocystis carini prognosis.
 Tanpa pengobatan angka kematian myasthenia gravis 25-31%.
 Myasthenia gravis yang mendapat pengobatan, angka kematian 4%
 40% hanya gejala okuler.

H. Penatalaksanaan Medis.

Penatalaksanaan medis klien Myasthenia Gravis meliputi :

 Medika Mentosa.

o Piridostigmin ( tablet 60 mg) Dosis awal 4 x 15 mg ( ¼ tablet ) setelah 2 hari


ditingkatkan menjadi 4 x 30 mg jika perlu dapat ditingkatkan menjadi 4 x 60 mg.
Dosis maksimum 6 table / hari ( 360 mg /hari). Jika tidak berespons dapat diberi
kortikosteroid maupun Azathioprine. Bila pasien usia <45 tahun dengan AChR
+ ,dapat dipertimbangkan timektomi dini.
o Kortikosteroid ( Prednison) dapat diberikan selang beberapa hari. Dosis mencapai
1,5mg / kg/selang sehari atau misalnya 100 mg /hari. Dosis ini dipertahankan
sampai pasien menagalami remisi ( beberapa bulan ). Dosis dapat dikurangi per
10 mg setiap 3-4 mgg sampai 20 mg / selang sehari. Dosis kemudian dikurangi 1
mg setiap bulan dan diberikan kembali dengan dosis tinggi bila relaps.
o Azathiropin, dapat diberikan dengan dosis awal 2 x 25 mg. Dosis dapat
ditingkatkan menjadi 25 /hari sampai mencapai 2,5 mg /kg/hari. Sebelum
dilakukan terapi dilakukan evaluasi darah rutin ( hitung jenis dan fungsi hati).
Evaluasi dilakukan setiap 3 minggu selama 8 minggu kemudian setiap 3 bulan.

 Timektomi.

o Kelenjar Timus memproduksi T- Limfosit yang berperan dalam system imun.


Ada penderita Miastenia Gravis, kelenjar timus dapat mengalami peningkatan
jumlah sel (hyperplasiatimus) atau tumor ( Tinoma ), sehingga merangsang
pembentukan antibody berlebihan. Tindakan timektomi terbukti meperbaiki
kondisi klinis paseien Myasthenia Gravis (Dewanto dkk, 2009 : 64).

 Plasmaferesis ( Plasma Exchange).

o Efektif sebagai terapi jangka pendek pada pasien Myasthenia Gravis dengan
exaserasi akut. Pada plasma ferensis dilakukan pengantian darah dengan sel darah
merah, sehingga plasma darah dibuang dan diganti dengan suplemen yaitu human
albumin dan larutan normalsalin.

13
 Intavenous, Imunoglobulin ( IV, IG).

 Mekanisme kerja adalah mengurangi kemotaksis atau aktivasi makrofag.

 Pembedahan.

 Plasmapharesis.

 Thymectomy.

 Ventilasi mekanik/terapi oksigen.

 Terapi fisik.

 Obat-obatan : anticholinesterase, kortikosteroid, hormon pituitary.

 Dukungan nutrisi.

2.2 ASUHAN KEPERAWATAN PADA MYASTHENIA GRAVIS.

A. Pengkajian.

1. Identitas.

Identitas klien, meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, agama, pekerjaan, suku
bangsa, status perkawinan, alamat, diagnosa medis, No. RM/CM, tanggal masuk, tanggal
gaji dan ruangan tempat klien dirawat. Data penanggung jawab mencakup nama, umur,
jenis kelamin, agama, suku bangsa, hubungan dengan klien dan alamat.

2. Keluhan Utama.

Keluhan yang dirasakan pasien biasanya kelemahan otot.

3. Riwayat Kesehatan.

Diagnosa Myastenia Gravis didasarkan pada riwayat dan presentasi klinis. Riwayat
kelemahan otot setelah aktivitas dan pemulihan kekuatan parsial setelah istirahat
sangatlah menunjukkan myastenia gravis. Pasien mungkin mengeluh kelemahan setelah
melakukan pekerjaan fisik yang sederhana. Riwayat adanya jatuhnya kelopak mata pada
pandangan atas dapat menjadi signifikan, juga bukti tentang kelemahan otot.

4. Riwayat Keperawatan.

Kelemahan otot ( meningkat dengan pengerahan tenaga, membaik bila istirahat, tiba tiba
cepat lelah ), kesulitan menelan dan mengunyah, diplobia, tumor kelenjar timus.

14
5. Psikososial.

Usia, jenis kelamin, pekerjaan, peran dan tanggung jawab yang biasa dilakukan,
penerimaan terhadap kondisi, koping yang biasa digunakan, status ekonomi dan
penghasilan.

6. Riwayat Pengetahuan Klien Dan Keluarga.

Pemahaman tentang penyakit, komplikasi, prognosa dan pengobatan, kemampuan


membaca dan belajar.

7. Pemeriksaan Fisik.

a) B1 (Breathing).

 Inspeksi apakah klien mengalami kemampuan atau penurunan batuk


efektif, produksi sputum, sesak nafas, penggunaan otot bantu nafas, dan
peningkatan frekuensi pernapasan yang sering didapatkan pada klien yang
disertai adanya kelemahan otot-otot pernapasan.

 Auskultasi buny nafas tambahan seperti ronkhi atau stridor pada klien,
menunjukkan adanya akumulasi secret pada jalan nafas dan penurunan
kemampuan otot-otot pernapasan.

b) B2 (Blood).

Pengkajian pada system kardiovaskuler terutama dilakukan untuk memantau


perkembangan dari status kardiovaskular, terutama denyut nadi dan tekanan darah
yang secara progresif akan berubah sesuai dengan kondisi tidak membaiknya
status pernafasan.

c) B3 (Brain).

Pengkajian saraf kranial :

 Saraf I (olfaktorius).

Biasanya pada klien tidak ada kelainan, terutama fungsi penciuman.

 Saraf II (optikus).

Penurunan pada tes ketajaman penglihatan, klien sering mengeluh adanya


penglihatan ganda.

 Saraf III, IV dan VI (okulomotoris, troklearis, abdusens).

15
Sering didapatkan adanya ptosis. Adanya oftalmoplegia, mimic dari
pseudointernuklearoftalmoplegia akibat gangguan motorik padanervus VI.

 Saraf V (trigeminus).

Didapatkan adanya paralisis pada otot wajah akibat kelumpuhan pada


otot-otot wajah.

 Saraf VII (fasialis).

Persepsi pengecapan terganggu akibat adanya gangguan motorik lidah.

 Saraf VIII (akustikus).

Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.

 Saraf IX dan X (glosofaringeus, vagus).

Ketidakmampuan dalam menelan.

 Saraf XI (aksesorius).

Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.

 Saraf XII ( hipoglosus).

Lidah tidak simentris, adanya deviasi pada satu sisi akibat kelemahan otot
motorik pada lidah.

d) B4 (Bladder).

Pemeriksaan pada system perkemihan biasanya menunjukkan berkurangnya


volume pengeluaran urin yang berhubungan dengan penurunan perfusi dan
penurunan curah jantung ke ginjal.

e) B5 (Bowel).

Mual sampai muntah akibat peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan


nutrisi pada klien miestania gravismenurun karena ketidakmampuan menelan
makanan sekunder dari kelemahan otot-otot menelan.

f) B6 (Bone).

Adanya kelemahan otot-otot volunter memberikan hambatan pada mobilitas dan


mengganggu aktivitas perawatan diri (Arif Muttaqin, 2008).

B. Diagnosa Keperawatan.

16
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan.

2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan otot - otot rangka.

C. Intervensi Keperawatan.

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi


Keperawatan Hasil
1. Pola napas tidak Setelah dilakukan tindakan Observasi :
efektif b.d keperawatan selama 1 x 24 1. Monitor frekuensi, irama,
kelemahan otot jam diharapkan pola napas kedalaman dan upaya napas.
pernafasan. membaik. 2. Monitor pola napas (seperti
(D.0005). Kriteria Hasil : bradipnea, takipnea,
1. Dispnea menurun. hiperventilasi, kusmaul,
2. Penggunaan otot cheyne stokes, biot,
bantu nafas ataksik).
menurun. 3. Monitor kemampuan batuk
3. Pemanjangan fase efektif.
ekspirasi menurun. 4. Monitor adanya produksi
4. Ortopnea menurun. sputum.
5. Pernapasan pursed- 5. Monitor adanya sumbatan
tip menurun. jalan napas.
6. Pernapasan cuping 6. Palpasi kesimetrisan
hidung menurun. ekspansi paru.
7. Frekuensi nafas 7. Auskultasi bunyi nafas.
membaik. 8. Monitor saturasi oksigen.
(L.01004). 9. Monitor nilai AGD.
10. Monitor hasil x-ray thorax.
Terapeutik :
1. Atur interval pemantauan
respirasi sesuai kondisi
pasien.
2. Dokumentasikan hasil
pemantauan.

17
Edukasi :
1. Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan.
2. Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu.
(I.01014).
2. Gangguan mobilitas Setelah dilakukan tindakan Observasi :
fisik b.d kelemahan keperawatan selama 1 x 24 1. Identifikasi adanya hari atau
otot-otot rangka. jam diharapkan mobilitas keluhan fisik lainnya.
(D.0054). fisik meningkat. 2. Identifikasi toleransi fisik
Kriteria Hasil : melakukan pergerakan.
1. Kekuatan otot 3. Monitor frekuensi jantung
meningkat. dan tekanan darah sebelum
2. Kecemasan memulai mobilisasi.
menurun. 4. Monitor kondisi umum
3. Kaku sendi selama melakukan
menurun. mobilisasi.
(L.05042). Terapeutik :
1. Fasilitasi aktivitas
mobilisasi dengan alat bantu
(misalnya pake tempat
tidur).
2. Fasilitasi melakukan
pergerakan, jika perlu.
3. Libatkan keluarga untuk
membantu pasien dalam
meningkatkan pergerakan.
Edukasi :
1. Jelaskan tujuan dari
prosedur mobilisasi.
2. Anjurkan melakukan

18
mobilisasi dini.
3. Ajarkan mobilisasi
sederhana yang harus
dilakukan (misalnya Didik
di tempat tidur, duduk di sisi
tempat tidur, pindah dari
tempat tidur ke kursi).
(I.05173).

D. Implementasi Keperawatan.

No Diagnosa Keperawatan Implementasi


1. Pola napas tidak efektif b.d Observasi :
kelemahan otot pernafasan. 1. Memonitor frekuensi, irama, kedalaman
(D.0005). dan upaya napas.
2. Memonitor pola napas (seperti bradipnea,
takipnea, hiperventilasi, kusmaul, cheyne
stokes, biot, ataksik).
3. Memonitor kemampuan batuk efektif.
4. Memonitor adanya produksi sputum.
5. Memonitor adanya sumbatan jalan napas.
6. Mempalpasi kesimetrisan ekspansi paru.
7. Mengauskultasi bunyi nafas.
8. Memonitor saturasi oksigen.
9. Memonitor nilai AGD.
10. Memonitor hasil x-ray thorax.
Terapeutik :
1. Mengatur interval pemantauan respirasi
sesuai kondisi pasien.
2. Mendokumentasikan hasil pemantauan.
Edukasi :
1. Menjelaskan tujuan dan prosedur

19
pemantauan.
2. Menginformasikan hasil pemantauan, jika
perlu. (I.01014).
2. Gangguan mobilitas fisik b.d Observasi :
kelemahan otot-otot rangka. 1. Mengidentifikasi adanya hari atau keluhan
(D.0054). fisik lainnya.
2. Mengidentifikasi toleransi fisik melakukan
pergerakan.
3. Memonitor frekuensi jantung dan tekanan
darah sebelum memulai mobilisasi.
4. Memonitor kondisi umum selama
melakukan mobilisasi.
Terapeutik :
1. Memfasilitasi aktivitas mobilisasi dengan
alat bantu (misalnya pake tempat tidur).
2. Memfasilitasi melakukan pergerakan, jika
perlu.
3. Melibatkan keluarga untuk membantu
pasien dalam meningkatkan pergerakan.
Edukasi :
1. Menjelaskan tujuan dari prosedur
mobilisasi.
2. Menganjurkan melakukan mobilisasi dini.
3. Mengajarkan mobilisasi sederhana yang
harus dilakukan (misalnya Didik di tempat
tidur, duduk di sisi tempat tidur, pindah
dari tempat tidur ke kursi). (I.05173).

E. Evaluasi.

Setelah mendapat implementasi keperawatan, pasien dengan Myasthenia Gravis diharapkan


sebagai berikut :

20
1. Pola napas membaik.
2. Mobilitas fisik meningkat.

2.3 HASIL TREND DAN ISSUE PADA MYASTHENIA GRAVIS.

Menurut world health organization (WHO) pada tahun 2009 mencacat angka kejadian
Myasthenia Gravis bervariasi antara 1,7 sampai 21,3 kasus per satu juta penduduk bergantung
pada lokasi penelitian.Sedangkan angka prevalensi berkisar antara 15 sampai 179 kasus per satu
juta penduduk. Kejadian Myasthenia Gravis ditentukan oleh jenis kelamin dan umur. Wanita
terkena hampir tiga kali lebih sering daripada pria selama dewasa awal (<40 tahun), sedangkan
kejadian antara wanita dan pria hampir sama pada saat pubertas dan setelah usia 40 tahun.
Setelah usia 50 tahun, kejadian lebih banyak ditemukan pada pria. Di Indonesia, penulis belum
menemukan data epidemiologi baik tentang Myasthenia Gravis maupun MC dari laman Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) maupun hasil publikasi penelitian lainnya. Sebagian besar MC
pada pasien Myasthenia Gravis disebabkan oleh faktor pemicu tertentu, meskipun pada 30-40%
kasus faktor tersebut tidak ditemukan.Myasthenia gravis (MG) merupakan suatu penyakit
autoimun dari neuromuscular junction (NMJ) yang disebabkan oleh antibodi yang menyerang
komponen dari membran postsinaptik, mengganggu transmisi neuromuskular, dan menyebabkan
kelemahan dan kelelahan otot rangka.Pasien laki-laki berusia 39 tahun datang dengan keluhan
sesak napas (dyspneu) sejak tiga hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan disertai dengan
kelopak mata kanan yang turun mendadak, keluhan sudah sering dirasakan namun membaik
setelah beristirahat. Tiga hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh sesak napas yang
semakin memberat disertai sulit menelan dan sulit bicara sehingga pasien dibawa ke rumah sakit.
Di rumah sakit keluhan sesak semakin berat hingga pasien dirawat di ruang ICU selama enam
hari, setelah itu keluhan pasien berkurang sehingga pasien dipindahkan ke ruang rawat inap
dengan keluhan masih sulit menelan dan batuk. Pada pemeriksaan fisik ditemukan pemeriksaan
jantung dan paru dalam batas normal, laju respirasi meningkat yaitu 32 x/menit, ptosis palpebra
kanan, disartria dan disfagia yang dapat menunjukkan adanya gambaran kecurigaan parese
nervus okulomotorius (III), nervus glosofaringeus (IX), dan nervus vagus (X), sehingga pasien
didiagnosis secara klinis sebagai Myasthenia Gravis dan diberikan penatalaksanaan umum tirah
baring dan pemantauan tanda vital, serta diberikan asetilkolinesterase inhibitor yaitu
piridostigmin 3x60 mg dan kortikosteroid yaitu metilprednisolon injeksi 125 mg/8 jam.

2.4 EDVANCE BASSED PRACTICE TERKAIT MASALAH.

Sejak tiga hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan disertai dengan kelopak mata kanan
yang turun mendadak, keluhan sudah sering dirasakan namun membaik setelah beristirahat. Tiga
hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh sesak napas yang semakin memberat disertai
sulit menelan dan sulit bicara sehingga pasien dibawa ke rumah sakit. Di rumah sakit keluhan
sesak semakin berat hingga pasien dirawat di ruang ICU selama enam hari, setelah itu keluhan
pasien berkurang sehingga pasien dipindahkan ke ruang rawat inap dengan keluhan masih sulit
menelan dan batuk. Pada pemeriksaan fisik ditemukan pemeriksaan jantung dan paru dalam

21
batas normal, laju respirasi meningkat yaitu 32 x/menit, ptosis palpebra kanan, disartria dan
disfagia yang dapat menunjukkan adanya gambaran kecurigaan parese nervus okulomotorius
(III), nervus glosofaringeus (IX), dan nervus vagus (X), sehingga pasien didiagnosis secara klinis
sebagai Myasthenia Gravis dan diberikan penatalaksanaan umum tirah baring dan pemantauan
tanda vital, serta diberikan asetilkolinesterase inhibitor yaitu piridostigmin 3x60 mg dan
kortikosteroid yaitu metilprednisolon injeksi 125 mg/8 jam. Pasien pulang dengan perbaikan
pada keadaan umum dan diedukasi untuk segera mencari pertolongan medis apabila keluhan
muncul kembali. Myasthenia gravis merupakan kasus yang jarang terjadi namun bila mengenai
otot-otot pernapasan dapat menyebabkan gejala sesak napas dan mengancam jiwa.

2.5 TINDAKAN PADA PASIEN MYASTHENIA GRAVIS.

1. Kaji kemampuan ventilasi.

2. Kajikualitas, frekuensi, dan kedalaman pernapasan,laporkan setiap perubahan yang


terjadi

3. Baringkan klien dalamposisi yang nyaman dalam posisi duduk. Peruntungan diafragma
memperluas daerah dada sehingga ekspansi paru bisa maksimal.

4. Observasi tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, pernafasan, suhu).

BAB III

PENUTUP

22
A. Kesimpulan.

Myasthenia gravis ialah penyakit dengan gangguan pada ujung-ujung saraf motorik di
dalam otot yang mengakibatkan otot menjadi lekas lelah. Otot-otot pada pergerakan berulang-
ulang atau terus-menerus menjadi lelah dan ampuh. Miastenia gravis merupakan penyakit kronis,
neuromuskular. Autoimun yang bisa menurunkan jumlah dan aktifitas reseptorAcethylcholaline
(ACH) pada Neuromuscular junction. Meskipun faktor persipitasi masih belum jelas, tetapi
menurut penelitian menunjukkan bahwa kelemahan myasthenic diakibatkan dari sirkulasi
antibodi ke reseptor Ach. Tanda dan gejala klien myasthenia gravis meliputi Kelelahan, Wajah
tanpa ekspresi, Kelemahan secara umum, khususnya pada wajah, rahang, leher, lengan, tangan
dan atau tungkai. Kelemahan meningkat pada saat pergerakan, Kesulitan dalam menyangkut
lengan diatas kepala atau meluruskan jari, Kesulitan mengunyah, Kelemahan, nada tinggi, suara
lembut, Ptosis dari satu atau kedua kelopak mata, Kelumpuhan okular. Diplopia,
Ketidakseimbangan berjalan dengan tumit: namun berjalan dengan jari kaki. Kekuatan makin
menurun sesuai dengan perkembangan Inkontinensia stress, Kelemahan pada sphincter anal.
Pernapasan dalam, menurun kapsitas vital, penggunaan otot-otot aksesori.

B. Saran

1. Mahasiswa.

Setelah membaca makalah ini diharapkan mahasiswa dapat memahami dan mempelajari
asuhan keperawatan yang tepat untuk pasien dengan Myasthenia Gravis.

2. Tenaga Kesehatan.

Setelah membaca makalah ini diharapkan tenaga kesehatan baikPrimer maupum spesialis
dapat memberikan asuhan keperawatan yangtepat untuk pasien dengan Myasthenia
Gravis.

3. Masyarakat.

Setelah membaca makalah ini diharapkan masyarakat dapat memahami dan mengetahui
pengertian, tanda dan gejala, komplikasi dan penatalaksanaan apa saja yang harus
dilakukan secara mandiri terkait dengan Myasthenia Gravis.

DAFTAR PUSTAKA

23
Hudak & Gallo. (1996). Keperawatan kritis : pendekatan holistic. Vol. 2.EGC.jakarta.Ramali, A.
( 2000 ).

Kamus Kedokteran. Djambatan, Jakarta.Engel, A. G. MD. Myasthenia Gravis and Myasthenic


Syndromes.

Ann Neurol16: Page: 519-534.1984.Lewis, R.A, Selwa J.F, Lisak, R.P. Myasthenia Gravis:
ImmunologicalMechanisms and Immunotherapy.

Ann Neurol. 37(S1):S51-S62. 1995. Ngoerah, I. G. N. G, Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf.


Airlanga University Press.Page: 301-305. 1991. Nanda . 2009 - 2011 .

Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGCJudith, M. Wilkinson . 2007.

Diagnosa Keperawatan NIC dan NOC . Jakarta :EGC.Lombardo,M.C., 1995.

Penyakit Degeneratif dan Gangguan Lain Pada SistemSaraf, dalam S.A. Price, L.M. Wilson,
(eds).

Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit 4th ed. EGC, jakarta

Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). 2017.Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia


(SDKI).Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat PPNI.

Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). 2017.Standar Luaran Keperawatan Indonesia


(SLKI). Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat PPNI.

Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). 2017.Standar Intervensi Keperawatan Indonesia


(SIKI). Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat PPNI.

24

Anda mungkin juga menyukai