Anda di halaman 1dari 2

DETEKSI DINI KORBAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK

(KtP/A) TERMASUK TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (TPPO)

Skrining kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, adalah pemeriksaan awal
yang dilakukan oleh petugas kesehatan yang terlatih terhadap perempuan dan anak
yang diduga atau dicurigasi mengalami tindakan kekerasan. Skrining dapat
dilakukan dengan cara melihat, memeriksa atau mengenali tanda-tanda yang
ditemukan pada korban.
Tanda-tanda pada korban perempuan dewasa dapat berupa ketidaknyamanan yang
terlihat ketika membicarakan hubungan dalam rumah tangga, luka atau memar yang
tidak dapat dijelaskan dengan baik dan tidak konsisten dengan latar belakang
kejadian, adanya keluhan subyektif namun tidak ditemukan kelainan pada
pemeriksaan fisiknya (keluhan somatik), mengalami bermacam-macam Infeksi
Menular Seksual (IMS), infeksi urin dan vaginal, kehamilan yang tidak diinginkan,
keguguran dan aborsi atau percobaan bunuh diri.
Jika korban bukan merupakan rujukan dari institusi berwenang, tetapi dicurigai
sebagai korban kekerasan, petugas dapat menggunakan formulir Skrining
kekerasan pada perempuan (Woman Abuse Screening Tools/WAST). Formulir
tersebut berisi beberapa pertanyaan skrining yang bisa dipakai untuk
mengidentifikasi korban kekerasan terhadap perempuan.
Tanda-tanda pada korban anak dan remaja yaitu masalah perkembangan dan
tingkah laku, seperti kemunduran perkembangan (kembali ngompol, bertingkah tidak
sesuai dengan usianya dan atau sifat-sifat sebelumnya, dll). Luka/memar yang tidak
sesuai dengan waktu kejadian. Masalah psikologis seperti masalah dalam membina
kedekatan dengan orang dewasa (attachment problems), kecemasan, kelainan tidur
atau makan, serangan panik dan masalah penyalahgunaan zat adiktif.
Tanda-tanda kemungkinan terjadinya emotional abuse pada anak seringkali tidak
sejelas gejala-gejala kekerasan lainnya. Penampilan anak seringkali tidak
memperlihatkan derajat penderitaan yang dialaminya. Cara berpakaian, keadaan
gizi, dan kondisi fisik pada umumnya cukup memadai, namun ekspresi wajah, gerak-
gerik bahasa tubuh seringkali dapat mengungkapkan adanya kesedihan, keraguan
diri, kebingungan, kecemasan, ketakutan atau amarah yang terpendam.
Tanda-tanda kemungkinan terjadinya penelantaran (neglect) pada anak yaitu gagal
tumbuh fisik maupun mental, malnutrisi, tanpa dasar organik yang sesuai, dehidrasi,
luka atau penyakit yang dibiarkan tidak diobati, kulit kotor tidak terawat, rambut
dengan kutu-kutu, pakaian lusuh dan kotor, keterlambatan perkembangan serta
keadaan umum yang lemah, letargik, lelah berkepanjangan.
Kecurigaan adanya kekerasan fisik saat ditemukan adanya memar atau bilur, luka
lecet, luka robek, patah tulang, luka bakar, cedera pada kepala. Kecurigaan adanya
kekerasan seksual saat ditemukan adanya gejala/penyakit infeksi menular seksual
(IMS), infeksi vagina rekuren pada anak < 12 tahun, nyeri/perdarahan/sekret dari
vagina, nyeri /gangguan pengendalian BAB dan BAK, cedera pada buah dada,
bokong, perut bagian bawah, paha, sekitar alat kelamin atau dubur, pakaian dalam
robek atau bercak darah dalam pakaian dalam, ditemukan cairan mani di sekitar
mulut, genital, anus atau pakaian. Kecurigaan adanya kekerasan psikis yaitu berupa
takut berlebihan, siaga berlebihan, panik, perubahan sikap dari periang menjadi
pendiam dan kemunduran perkembangan (misal; kembali ngompol).
Setelah petugas melakukan skrining korban kekerasan (KtP/KtA), langkah
selanjutnya adalah melakukan penggalian informasi kepada korban dan atau
pendamping korban. Informasi yang harus digali dari korban kekerasan atau
pendamping, adalah faktor risiko kekerasan terhadap perempuan dan anak
termasuk TPPO serta perilaku dan emosi sebagai dampak kekerasan pada anak.
Faktor risiko kekerasan terhadap perempuan meliputi faktor individu, faktor
hubungan atau interaksi dengan pasangan, faktor lingkungan kecil dan faktor
masyarakat luas. Sedangkan faktor risiko kekerasan terhadap anak meliputi faktor
masyarakat atau sosial, faktor orang tua atau situasi keluarga dan faktor anak.
Kekerasan pada anak akan berdampak pada perilaku dan emosi anak dimana
dampak yang muncul berbeda berdasarkan usia anak. Pada usia dua sampai lima
tahun dapat muncul cemas perpisahan, perilaku regresif, kehilangan kemampuan
lain yang baru dicapai, mimpi buruk dan mengigau. Pada usia enam hingga dua
belas tahun dapat muncul kesulitan belajar, cemas pasca trauma, agresif, depresi,
sulit tidur dan bertingkah laku seperti anak yang lebih kecil.Untuk usia tiga belas
hingga delapan belas tahun dapat terjadi perilaku yang merusak diri sendiri, keluhan
fisik yang tidak jelas penyebabnya, kecemasan yang terus menerus serta
kegugupan.
Secara umum, alasan ekonomi menjadi pemicu utama orang terjebak menjadi
korban TPPO. Berbagai bentuk penipuan yang menjerat korban sebagian besar
terkait dengan kesempatan kerja untuk mendapatkan peluang memperbaiki kondisi
ekonomi. Orang-orang yang rentan menjadi target TPPO adalah anak-anak,
perempuan, kelompok sosial ekonomi lemah, kelompok yang termarginalisasi,
kelompok berpendidikan rendah dan orang yang tinggal di daerah dengan
instabilitas politik, perang, konflik, pengungsi terutama perempuan dan anak-anak.
Dalam penggalian informasi korban kekerasan, pada dasarnya petugas kesehatan
melakukan teknik wawancara untuk mendapatkan informasi yang diharapkan sesuai
dengan hasil skrining. Penggalian informasi harus diawali dengan membina
hubungan baik dan kepercayaan dari korban untuk menjawab pertanyaan yang
diajukan, menjaga privasi dan kerahasiaan serta memberi rasa aman dan nyaman.
Pada penggalian informasi kekerasan pada anak, tanyakan pertanyaan terbuka dan
konkrit yang saling berkaitan. Dalam melakukan wawancara usahakan untuk
membantu pasien agar ia mampu mengingat suatu kejadian. Gunakan bahasa yang
mudah dimengerti oleh anak, jangan gunakan bahasa yang jarang digunakan atau
tidak populer. Gunakan nama panggilan daripada nama resminya. Jika perlu dapat
digunakan pertanyaan tertutup.

Anda mungkin juga menyukai