Anda di halaman 1dari 15

BAB II

PEMBAHASAN

A.      Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis


Terdapat kenyataan bahwa orang gelandangan itu tidak hidup di perdesaan tetapi
hidup di perkotaan dan semakin besar tingkat perkembangan kota maka akan semakin banyak
jumlah orang gelandangan nya. Adanya orang gelandangan merupakan konsekuensi dari
perkembangan kota. Masalah gelandangan juga karena adanya tekanan-tekanan ekonomi dan
rasa aman sebagian warga desa dan yang kemudian terpaksa harus mencari tempat yang
diduga dapat memberi kesempatan bagi suatu kehidupan yang lebih baik di kota. Selain
gelandangan, pengemis juga merupakan salah satu potret kemiskinan perkotaan. Dalam
ukuran status sosial, kedudukan gelandangan lebih terhormat dari pengemis karena ia
mempunyai pekerjaan yang tetap. Sedangkan pengemis hanya mengharapkan belas kasihan
orang lain.
Ada tiga cara penanggulangan gelandangan dan pengemis yang selama ini dilakukan
pemerintah, yaitu melalui usaha-usaha preventif, represif, dan rehabilitatif. Adapun tujuan
dari penanggulangan gelandangan dan pengemis adalah agar tidak terjadi pergelandangan dan
pengemisan, serta mencegah meluasnya pengaruh akibat pergelandangan dan pengemisan di
dalam masyarakat dan memasyarakatkan kembali gelandangan dan pengemis menjadi
anggota masyarakat yang menghayati harga diri, serta memungkinkan pengembangan para
gelandangan dan pengemis untuk memiliki kembali kemampuan guna mencapai taraf hidup,
kehidupan, dan penghidupan yang layak sesuai dengan harkat dan martabat manusia.
Adapun yang dimaksud dengan usaha preventif adalah usaha secara terorganisir yang
meliputi penyuluhan, bimbingan, latihan dan pendidikan, pemberian bantuan, pengawasan
serta pembinaan lanjut kepada berbagai pihak yang ada hubungannya dengan pergelandangan
dan pengemisan. Usaha preventif dimaksudkan untuk mencegah:
a)        Pergelandangan dan pengemisan oleh individu atau keluarga-keluarga, terutama yang
sedang berada dalam keadaan sulit penghidupannya.
b)        Meluasnya pengaruh dan akibat adanya pergelandangan dan pengemisan di dalam
masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban dan kesejahteraan pada umumnya.
c)        Pergelandangan dan pengemisan kembali oleh para gelandangan dan pengemis yang
telah direhabilitasi dan telah ditrasmigrasikan ke daerah pemukiman baru ataupun telah
dikembalikan ke tengah masyarakat.
Sementara itu usaha represif adalah usaha-usaha yang terorganisir dimaksudkan untuk
mengurangi atau meniadakan gelandangan dan pengemis yang ditujukan baik kepada
seseorang maupun kelompok orang yang disangka melakukan pergelandangan dan
pengemisan. Usaha represif ini dilakukan dengan razia, penampungan sementara untuk
diseleksi, dan pelimpahan gelandangan dan pengemis ke panti rehabilitasi.
Usaha rehabilitatif adalah usaha-usaha yang terorganisir yang meliputi usaha-usaha
penyantunan, pemberian pelatihan dan pendidikan, pemulihan kemampuan dan penyaluran
kembali, baik ke daerah-daerah pemukiman baru melalui transmigrasi, maupun ke tengah-
tengah masyarakat, pengawasan serta pembinaan lanjut sehingga dengan demikian
gelandangan dan pengemis kembali memiliki kemampuan untuk hidup secara layak sesuai
dengan martabat manusia sebagai Warganegara Republik Indonesia.
B.       Manfaat dan Mudarat
Dengan adanya gelandangan dan pengemis yang berada di tempat umum akan
menimbulkan banyak sekali masalah sosial di tengah kehidupan bermasyarakat di antaranya:
a.    Masalah lingkungan (tata ruang)
Gelandangan dan pengemis pada umumnya tidak memiliki tempat tinggal tetap, tinggal di
wilayah yang sebanarnya dilarang dijadika tepat tinggal, seperti : taman taman, bawah
jembatan dan pinggiran kali. Oleh karena itu mereka di kota besar sangat mengganggu
ketertiban umum, ketenangan masyarakat dan kebersihan serta keindahan kota.
b.    Masalah kependudukan
Gelandangan dan pengemis yang hidupnya berkeliaran di jalan dan tempat umum,
kebanyakan tidak memiliki kartu identitas (KTP/KK) yang tercatat di kelurahan (RT/RW)
setempat dan sebagian besar dari mereka hidup bersama sebagai suami istri tanpa ikatan
perkawinan yang sah.
c.    Masalah keamanan dan ketertiban
Maraknya gelandangan dan pengemis di suatu wilayah dapat menimbulkan kerawanan sosial
mengganggu keamanan dan ketertiban di wilayah tersebut.
d.   Masalah kriminalitas
Memang tak dapat kita sangka banyak sekali faktor penyebab dari kriminalitas ini di
lakuakan oleh para gelandangan dan pengemis di tempat keramaian mulai dari pencurian
kekerasan hingga sampai pelecehan seksual ini kerap sekali terjadi.
Gelandangan dan pengemis merupakan masalah sosial yang kompleks serta multi
dimensi. Menghadapi masalah sosial ini al-Qur’an menawarkan beberapa prinsip dalam
pemberdayaan gelandangan dan pengemis sebagai berikut:
Pertama, prinsip ta’awun, yakni prinsip kerjasama dan bantu membantu diantara
lembaga pemerintah seperti Depsos, Dinas Sosial Tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota,
Lembaga Swadaya Masyarakat, kalangan perguruan tinggi, organisasi profesi pekerja sosial,
para relawan dan dermawan, serta penyandang masalah kesejahteraan sosial, guna menolong
gelandangan dan pengemis agar mereka dapat menolong diri mereka sendiri dalam mengatasi
kemiskinan yang dihadapinya. Prinsip ta’awun ini merupakan perintah Allah kepada orang-
orang beriman sebagaimana tersurat pada ayat:
“Dan tolong menolonglah kamu sekalian (orang-orang beriman) untuk mewujudkan
kebaikan dan ketakwaan, dan janganlah kamu tolong menolong dalam berbuat dosa dan
permusuhan. Dan bertakwalah kamu sekalian kepada Allah sesungguhnya Allah sangat
berat siksaan-Nya”(QS.al-Ma’idah:2).
Bentuk ta’awun ini meliputi kelembagaan, manajemen, finansial, sumber daya manusia,
program, metodologi, dan kebijakan sehingga melahirkan kekuatan terpadu dalam mengatasi
gelandangan dan pengemis.
Kedua, prinsip syura’, yakni prinsip musyawarah diantara pemerintah dan pihak-
pihak yang disebutkan di atas dalam satu program kepedulian terhadap masalah gelandangan
dan pengemis dengan mengidentifikasi masalah-masalah sosial yang menyebabkan
munculnya fenomena gelandangan dan pengemis, serta merumuskan langkah-langkah
penanggulangan yang berkesinambungan. Agenda syura’ ini terutama berkenaan dengan
cara-cara mengenali masalah dengan tepat, menemukann data yang akurat, melahirkan
langkah yang cepat, menyamakan persepsi dalam mengatasi gelandangan dan pengemis.
Sebab mengatasi masalah tersebut tanpa social capital di atas tidak akan mengalami
pengakaran tetapi akan rapu seperti bayt al-‘ankabut (rumah laba-laba), jika dilakukan tanpa
berpegang teguh kepada prinsip sura’. Sebab prinsip sura’ berai pengakuan dan penghargaan
atas eksistensi pemikiran, ide, kehendak, pengalaman dari setiap komponen dari komunitas.
Dengan mekanisme sura’ berarti memperluas tingkat ketertiban dan partisipasi setiap
komponen masyarakat dalam setiap tahapan pemberdayaan gelandangan dan pengemis.
Ketiga, pemberdayaan gelandangan dan pengemis itu dilakukan dengan berpegang
kepada prisip bahwa mereka memiliki kemampuan untuk mengubah diri mereka dengan
penguatan kekayaan mentalitasnya, yakni keimanan dan ketakwaan, serta penguatan life-skill
kecakapan hidup yang terpendam. Tugas para pendamping dalam pemberdayaan gelandangan
dan pengemis itu menolong mereka untuk bisa menolong diri mereka sendiri dengan
melibatkan para gelandanghan dan pengemis dalam lengkah-langkah pemberdayaan berikut:
1.      Menghadirkan kembali pengalaman yang memberdayakan dan pengalaman yang tidak
memberdayakan (recall depowering and empowering experinces) yang menyebabkan mereka
menjadi gelandangan dan pengemis disatu pihak, serta menyadarkan kembali bahwa mereka
memiliki kemampuan untuk hidup layak dan bermartabat tanpa menjadi gelandangan dan
pengemis.
2.      Mendiskusikan alasan mengapa terjasdi pemberdayaan (discuss reason for depowerment
and empowerment) pada diri mereka guna menguatkan tekad mereka untuk berubah.
3.      Mengidentifikasi suatu masalah yang muncul pada waktu melakukan pemberdayaan
(identify one problem or project) dengan merumuskannya pada kategori kekuatan,
kelemahan, peluang, dan ancaman.
4.      Mengidentifikasi basis daya yang bermakna bagi pemberdayaan (indentify useful power
basis), terutama berkenaan dengan life-skill education.
5.      Mewngembangkan rencana-rencana aksi pemberdayaan dan mengimplementasikannya
(develop and implement action plans) setelah kembali kepada masyarakat guna menjalani
hidup yang layak dan bermartabat.
Keempat, pemberdayaan gelandangan dan pengemis didasarkan atas prinsip kasih
sayang dan berbagi diantara kaum aghniya dan dhu’afa. Pola ini bisa diwujudkan dalam
bentuk pemanfaatan dana zakat, infak, dan sedekah untuk kepentingan pemberdayaan mereka
dan pengembangan para mantan gelandangan dan pengemis tersebut untuk bisa hidup
mandiri melalui program pelatihan keterampilan, peningkatan kualitas keterampilan,
memasarkan produk keterampilan, menghubungkannya dengan jaringan permodalan dan
pasar yang lebih luas, menanamkan budaya menabung, serta mengembangkan budaya belajar
untuk hidup lebih baik. Untuk itu,mereka perlu ditampung dalam forum komunitas mantan
gelandangan dan pengemis. Sebab masyarakat yang berhasil mengembangkan dirinya adalah
masyarakat yang berhasil menciptakan suasana dan semangat pembelajaran yang mandiri
diantara mereka sehingga mereka memenuhi pesan al-Qur’an:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengembangkan) kebaikan dan ketakwaan
dan janganlah kamu tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan”. (Q.S. al-
Ma’idah: 2).
Kelima, pemberdayaan kaum dhu’afa secara umum dan pemberdayaan gelandangan
dan pengemis hendaklah untuk hidup lebih baik setelah melewati tahapan penyadaran hendak
dilakukan oleh komunitas mantan gelandangan dan pengemis itu sendiri. Mereka hendaklah
berpegan kepada prinsip bahwa setiap individu dalam komunitas mantan gelandangan dan
pengemis itu memiliki saham dan tanggung jawab yang sama dalam mengembangkan potensi
yang dimiliki komunitas tersebut, serta dalam menghadapi dan memecahkan masalah-
masalah sosial yang mereka hadapi. Beberapa individu yang memiliki pengalaman
keberhasilan berbagi dengan mereka yang masih mengalami kesulitan dan dalam
pengembangan diri untuk bisa lebih berdaya.
Keenam, kaum muslim yang memiliki aset kekayaan dan tergolong dalam kelompopk
muslim al-aghniya perlu senantiasa menyadari dengan penuh keinsafan bahwa di dalam harta
mereka ada hak kaum dhu’afa, yakni kaum fuqatua’ dan masakin. Dengan demikian,
pemberdayaan dan pengembangan kaum dhu’afa itu hendaklah, selain berbasis social capital
seperti prinsip ta’awun, prinsip syura’ dan prinsip pendistribusian aset komunitas dengan
merata, tetapi juga dilaksanakan dengan modal finansial yang berasal dari komunia al-
aghniya (orang yang mampu) melalui zakat, infak, dan sedekah, yang dialokasi bagi
pengembangan kaum dhu’afa (orang-orang lemah), ditengah-tengah masyarakat seoerti
disebutkan diatas hindari kemungkinan pemberdayaan dhu’afa denbgan mengandalkan
bantuan dana asing, lebih-lebih dengan cara mengutang. Sebab, baik bantuan berupa hibah,
maupun berupa pinjaman, akan menjadi diri kita tergantung pada bantuan asing. Rasullah
dalam salah satu doa beliau bermunajad kepada Allah: “ Ya Allah, aku berlindung kepada-
Mu dari sifat malas, dililit utang, dan dikuasai seseorang.” Alih-alih memberdayakan dhu’afa
malah diri kita tanpa kita sadari menjadi tidak berdaya terhadap kekuatan asing. Wa Allah
A’lam bi ash-Shawab.
Ada dua kategori dari pengemis seperti :
1. Pengemis yang cacat (difabel), dan tidak berkemampuan produktif secara ekonomi,
ketidakmampuan mungkin pantas bagi mereka untuk menjadi alasan sebagai latar belakang
mereka untuk memilih jalan menjadi pengemis dan mencari tahu siapa yang seharusnya
bertanggung jawab atas mereka
2. Pengemis yang tidak cacat (non difabel), dan berkemampuan produktif        secara
ekonomi, menjadikan mengemis sebagai sebuah profesi atau pekerjaan tetap, mungkin alasan
yang tepat bagi mereka adalah kemalasan yang berkepanjangan.
Faktor kemiskinan (struktural, kultural, natural, dan mental) sangat memengaruhi
terjadinya perilaku seseorang yang ujungnya adalah munculnya fenomena peminta-minta
atau pengemis. Semakin banyak jumlah orang miskin semakin potensial mereka menjadi
pengemis. Dalam bahasa pembangunan terjadinya kebergantungan ekonomi pada orang lain
yang semakin tinggi. Bertambahnya kemiskinan juga dipengaruhi ketidak pedulian
pemerintah terhadap rakyatnya.
Faktor-faktor seseorang memilih untuk menjadi pengemis :
Pertama, mengemis karena yang bersangkutan tidak berdaya sama sekali dalam segi materi,
karena cacat fisik, tidak berpendidikan, tidak punya rumah tetap atau gelandangan, dan orang
lanjut usia miskin yang sudah tidak punya saudara sama sekali. Mengemis menjadi bentuk
keterpaksaan. Tak ada pilihan lain.
Kedua, mengemis seperti sudah menjadi kegiatan ekonomi menggiurkan. Mulanya mengemis
karena unsur kelangkaan aset ekonomi. Namun setelah beberapa tahun walau sudah memiliki
aset produksi atau simpanan bahkan rumah dan tanah dari hasil mengemis tetapi mereka tetap
saja mengemis. Jadi alasan mengemis karena tidak memiliki aset atau ketidakberdayaan
ekonomi, untuk tipe pengemis ini tidak berlaku lagi. Sang pengemis sudah merasa keenakan.
Tanpa rasa malu dan tanpa beban moril di depan masyarakat.
Ketiga, mengemis musiman, misalnya menjelang dan saat bulan ramadhan, hari idul fitri, dan
tahun baru. Biasanya mereka kembali ke tempat asal setelah mengumpulkan uang sejumlah
tertentu. Namun tidak tertutup kemungkinan terjadinya perubahan status dari pengemis
temporer menjadi pengemis permanen.
Keempat, mengemis karena miskin mental. Mereka ini tidak tergolong miskin sepenuhnya.
Kondisi fisik termasuk pakaiannya relatif prima. Namun ketika mengemis, posturnya berubah
180 derajat; apakah dilihat dari kondisi luka artifisial atau baju yang kumel. Maksudnya agar
membangun rasa belas kasihan orang lain. Pengemis seperti ini tergolong individu yang
sangat malas bekerja. Dan potensial untuk menganggap mengemis sebagai bentuk kegiatan
profesinya.
Kelima, mengemis yang terkoordinasi dalam suatu sindikat. Sudah semacam organisasi tanpa
bentuk. Dengan dikoordinasi seseorang yang dianggap bos penolong, setiap pengemis
(“anggota”) setia menyetor sebagian dari hasil mengemisnya kepada sindikat. Bisa dilakukan
harian bisa bulanan. Maka mengemis dianggap sudah menjadi “profesi”. Ada semacam
pewilayahan operasi dengan anggota-anggota tersendiri.
Untuk menarik simpati banyak orang, pengemis mempunyai cara-cara tersendiri. Ada
yang membawa atau menggendong anak kecil entah itu anaknya atau bukan bahkan banyak
yang menyewa anak-anak untuk meminta belas kasihan orang-orang, ada yang  anggota
tubuhnya luka-luka yang sesungguhnya maupun luka-luka yang ternyata hanya buatan
semata, ada pula yg anggota tubuhnya cacat, ada juga yg ‘mengancam’ dg menyatakan lebih
baik mengemis daripada menjambret, dan masih banyak perilaku-perilaku lainnya.

Dalam menentukan atau memilih lokasi mengemis, pengemis memilih tempat yang
sudah pasti strategis dekat dengan jangkauan sirkulasi orang yang memilki cukup uang
tentunya dan pasti mereka setidaknya dapat mengenali orang orang yang darmawan agar mau
menyumbangkan sedikit uangnya. Lokasinya seperti depan tempat ATM, warung, SPBU,
Komplek perumahan, depan mall, dan lain lain. Dan tentu saja pengemis mempunyai taktik
tertentu untuk mengantipasi dari razia satpol pp ataupun trantip, mereka akan menyiapkan
lokasi alternatif sebagai cadangan yang telah disiapkan untuk berjaga-jaga.

Saat melakukan ‘misi’ nya pengemis ada yang berkelompok maupun individu.
Maksudnya berkelompok adalah mereka mempunyai semacam organisasi. Jadi ada seseorang
yang memimpin suatu organisasi tersebut. Memimpin dalam arti yaitu memberi pengarahan
serta pengalamannya selama menjadi pengemis.

Selain itu pengemis dalam bertutur kata memiliki rasa santun walaupun baju yang
mereka pakai compang-camping, tetapi tutur katanya sopan dan agak terlihat kurang mampu.
Maksudnya adalah supaya orang yang melihatnya menjadi iba. Setelah ada orang darmawan
yang menyumbangkan uangnya pengemis mengucapkan rasa terimakasih ada juga yang
membaca doa-doa kebaikan.
Bahkan ada pengemis yang  mengemis lebih kepada miskin secara psikologis. Mereka
miskin secara psikologis lantaran sebenarnya mampu, tapi menjadikan kegiatan mengemis
sebagai mata pencaharian. Kebanyakan pengemis menganggap kalau meminta-minta
merupakan suatu perbuatan yang mulia dari pada mencuri. Mereka terus berada dalam
pemahaman itu, padahal keliru. Jelas-jelas tangan di atas lebih baik dari pada tangan di
bawah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Kemiskinan
Istilah kemiskinan tentu sudah tidak asing lagi, tetapi jawaban atas pertanyaan apa itu
kemiskinan masih multi-interpretable. Secara sangat sederhana, Levitan mendefinisikan
kemiskinan sebagai suatu kondisi kekurangan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang
dibutuhkan untuk mencapai suatu standar hidup yang layak. Sementara itu, Bappenas
merumuskan kemiskinan ini sebagai situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena
dikehendaki oleh si miskin, melainkan karena tidak dapat dihindari oleh si miskin, serta tidak
dapat dihindari dengan kekuatan yang ada padanya. Hal ini tercermin dalam lemahnya
kemauan untuk maju, rendahnya kualitas sumber daya manusia, lemahnya nilai tukar hasil
produksi, rendahnya pendapatan dan terbatasnya modal yang dimiliki, rendahnya dan
terbatasnya kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan.
Uraian tersebut secara simpikatif memperlihatkan dua cara pandang dalam menyoroti
fenomena kemiskinan. Pandangan pertama melihat kemiskinan sebagai suatu proses,
sedangkan pandangan kedua melihat kemiskinan sebagai suatu akibat atau fenomena di
dalam masyarakat. Sebagai suatu proses, kemiskinan mencerminkan kegagalan suatu sistem
masyarakat dalam mengalokasikan sumber daya dan dana secara adil. Pandangan ini
melahirkan konsep tentang kemiskinan relatif yang sering dikenal dengan sebutan
kemiskinan struktural. Sebaliknya, pandangan tentang kemiskinan sebagai suatu fenomena
atau gejala dari suatu masyarakat melahirkan konsep kemiskinan absolut.
Walaupun secara sepintas ada perbedaan pandangan tentang definisi kemiskinan, tetapi
jika dikaji hubungan sebab akibat dari kemiskinan itu, maka dapat disimpulkan bahwa kedua
konsep tersebut tidak dapat dipisahkan. Jika di dalam suatu masyarakat terjadi ketidakadilan
dalam pembagian kekayaan, maka sebagian anggota masyarakat yang posisinya lemah akan
menerima bagian kekayaan terkecil. Kerena itu golongan yang lemah ini akan menjadi
miskin. Sebaliknya jika sebagian anggota masyarakat itu miskin, maka golongan ini akan
mempunyai posisi yang lemah dalam penentuan pembagian kekayaan di dalam masyarakat
tersebut. Secara diagramatis hubungan sebab akibat antara masyarakat yang lemah (secara
relatif) dan yang miskin (secara absolut).

B.     Definisi Pengemis


Secara umum pengemis adalah orang-orang yang berpenghasilan dengan meminta-minta
di tempat umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mendapat belas kasih orang lain.
Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di
muka umum dengan pelbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang
lain. (Anon., 1980). Humaidi, (2003) menyatakan bahwa gelandangan berasal dari kata
gelandang yang berarti selalu mengembara, atau berkelana (lelana). Harth (1973)
mengemukakan bahwa dari kesempatan memperoleh penghasilan yang sah, pengemis
termasuk pekerja sektor informal.
Breman (1980) mengusulkan agar dibedakan tiga kelompok pekerja dalam analisis
terhadap kelas sosial di kota, yaitu (1) kelompok yang berusaha sendiri dengan modal dan
memiliki ketrampilan; (2) kelompok buruh pada usaha kecil dan kelompok yang berusaha
sendiri dengan modal sangat sedikit atau bahkan tanpa modal; dan (3) kelompok miskin yang
kegiatannya mirip gelandangan dan pengemis.
C.     Faktor-Faktor Penyebab Adanya Pengemis
Faktor-faktor yang menyebabkan adanya pengemis berasal pula dari faktor-faktor
pembentuk kemiskinan. Terdapat tiga faktor penyebab adanya pengemis, yaitu faktor natural,
faktor kultural dan faktor struktural.
Faktor natural adalah hal-hal ang menyebabkan seseorang menjadi miskin karena
memang berasal dari keluarga yang miskin. Faktor kultural adalah faktor yang penyebabnya
berasal dari dalam, budaya dia sendiri yang menyebabkan ia terbelit dalam kemiskinan,
sedangkan faktor struktural adalah hal-hal yang membuat seseorang menjadi miskin karena
kebijakan-kebijakan yang diberlakukan membuat mereka sulit untuk memenuhi kebutuhan
dasar mereka.
Beberapa hal yang menjadi faktor kultural dari adanya pengemis adalah:
a)      Cacat fisik.
Cacat fisik menjadi salah satu kendala seseorang dapat mendapatkan penghasilan.
Keterbatasan ini menjadi salah satu pemicu adanya pengemis karena seseorang harus dapat
menghasilkan sesuatu demi memenuhi kebutuhan dasarnya agar dapat melangsungkan
hidupnya. Namun, dalam hal ini bisa saja orang tersebut memiliki keahlian yang dapat
dikerjakannya dirumah, akan tetapi penyaluran produknya kurang sehingga penghasilan yang
di dapat tidak menentu. Dengan kebutuhan hidup yang meningkat, mau tidak mau seseorang
akan menjadi pengemis demi mendapatkan penghasilan yang mungkin lebih baik.
b)      Malas.
Sikap ini biasanya dikarenakan orang tersebut tidak ingin memiliki kehidupan yang lebih
baik, cara berfikirnyapun relative jangka pendek, selalu memikirkan hari ini dan tidak
memikirkan hari esok. Hal ini bisa jadi awalnya hanya mencoba karena mungkin selalu di
tolak atau tidak diterima dalam upaya mencari kerja sehingga mencoba mengemis agar tetap
mendapatkan penghasilan. Namun, melihat bahwa mengemis adalah pekerjaan paling murah
dan tidak memerlukan modal viskal akan tetapi menghasilkan yang besar maka seseorang ini
akan nyaman dengan pekerjaan dan malas untuk memikirkan pekerjaan yang lainnya.
c)      Merasa nyaman dengan pekerjaan.
Hal ini bisa kita temukan dalam fenomena-fenomena yang terjadi saat ini, yaitu kehidupan
pengemis yang bahkan jauh lebih baik dan jauh lebih mapan ketimbang pekerjaan lainnya. Di
katakana bahwa tidak sedikit pengemis di Indonesia setidaknya mengantongi 9 hingga 18 juta
perbulannya. Ada pula fenomena yang mengatakan bahwa dengan berprofesi sebagai
pengemis, seorang kepala keluarga mampu menyekolahkan ke tiga anaknya hingga menjadi
seorang dokter. Melihat dari fenomena-fenomena diatas, tentunya para pengemis tersebut
sudah mampu membuka usaha baru atau berwirausaha dan tidak perlu meminta-minta lagi
kepada orang lain. Lalu mengapa orang-orang tersebut lebih suka mengemis dari pada
berwirausaha? Tentu saja hal ini disebabkan karena perasaan mereka yang sudah merasa
nyaman menjadi pengemis, mereka tentu sama dengan semua orang jika telah mencintai
pekerjaannya yang pastinya akan sulit untuk dilepaskan.
d)     Pendidikan rendah.
Faktor lain yang dapat menyebabkan adanya pengemis yaitu tingkat pendidikan yang minim.
Dengan pendidikan yang minim ini, seseorang tidak dapat memiliki keterampilan khusus
yang dapat dijual untuk menghasilkan sesuatu. Tingkat penerimaan pegawai baik di
perusahaan swasta maupun negeri, mengharuskan seseorang setidaknya telah mengenyam
Sekolah Menengah Atas atau sederajat. Hal ini menyulitkan pula bagi masyarakat yang tidak
sampai ke jenjang tersebut. Sehingga mereka lebih memilih menjadi seorang pengemis.
e)      Tidak memiliki keterampilan khusus.
Maraknya urbanisasi yang dilakukan masyarakat desa yang ingin “mengadu nasib” dengan
datang ke kota yang dianggap memiliki system perekonomian yang tinggi dan lapangan kerja
yang lebih variatif ketimbang di desa. Akan tetapi, urbanisasi ini ternyata dikaukan dengan
sembrono dan tidak memikirkan tujuan yang pasti dengan bekal yang pasti pula. Banyak
orang yang melakukan urbanisasi, namun tidak di barengi dengan keterampilan khusus yang
menjadi “senjata” untuk bersaing di kota. Sehingga dengan kurangnya keterampilan mereka
malah tidak memperoleh pekerjaan dan kebutuhan dikota yang tinggi memaksa mereka
melakukan apapun termasuk meminta-minta belas kasih orang lain.
f)       Lingkungan.
Lingkungan juga merupakan hal yang mempengaruhi adanya pengemis. Misalnya seorang
yang melihat tetangganya yang pengemis lebih dapat memenuhi kebutuhan dasarnya
sedangkan seseorang tersebut membanting tulang namun mendapatkan hasil yang jauh lebih
sedikit. Tentu saja orang tersebut dengan tekanan-tekanan dan kebutuhan-kebutuhan yang
harus dipenuhi ikut mengemis dengan cara apapun.
Sedangkan faktor struktural
a)      Minimnya lapangan kerja.
Minimnya lapangan kerja yang disediakan oleh pemerintah maupun perusahaan-perusahaan
swasta mengakibatkan jumlah pegawai tidak terserap banyak dan meningkatkan tingkat
pengangguran setiap tahunnya. Peminjaman bagi masyarakat yang ingin membuka usaha
sendiri atau berwirausaha, kadang kala sering dipersulit dalam peminjaman dana. Hal ini
menjadikan semakin banyak pengangguran yang ada. Sehingga mereka lebih memilih
menjalani profesi sebagai pengemis daripada menjadi seorang pengangguran.
b)      Kebijakan pemerintah.
Kebijakan yang dikeluarkan pemerintahpun dapat mempengaruhi tingkat kemiskinan yang
terjadi. Misalnya saja kenaikan harga Sembilan bahan pokok yang tidak dibarengi dengan
pemberdayaan atau subsidi yang diberikan kepada masyarakat kurang mampu. Korupsi juga
menjadi salah satu yang dapat memiskinkan atau merugikan masyarakat. Misalnya saja dana
yang seharusnya di berikan pada masyarakat Misal BLT, malah di korup oleh para pejabat
pemerintah maupun pejabat daerah, sehingga masyarakat menjadi lebih sulit untuk memenuhi
kebutuhan dasar keluarganya.

D.    Dampak Adanya Pengemis


Dampak yang ditimbulkan dengan adanya pengemis yaitu :
a)      Tingkat pengangguran meningkat
Sebetulnya permasalahan pengangguran yang meningkat ini telah di bicrakan pada bab
sebelumnya. Permasalahan ini tentu saja merupakan hasil dari kemiskinan struktural dan
kultural yang terjadi di Indonesia. Tingkat pengangguran yang meningkat disebabkan dari
individu yang tidak memiliki keterampilan, malas, dan tingkat pendidikan yang rendah.
b)      Mengganggu lalu lintas
Derasnya arus urbanisasi yang dilakukan masyarakat desa, menjadikan wilayah perkotaan
semakin padat penduduknya. Sayangnya, kepadatan penduduk ini tidak diimbangi dengan
perekonomian yang bisa memadai masyarakatnya. Sehingga, masyarakat banyak yang
menjadi pengemis. Banyaknya pengemis diperkotaan menjadikan pengemis tersebut tersebar
di seluruh kota. Pengemis yang meminta-minta di jalan atau trotoar, menyebabkan kemacetan
dan ketidaknyamanan menggunakan fasilitas umum.
c)      Meresahkan masyarakat
Yang membuat masyarakat resah ini adalah pengemis yang meminta uang dengan memaksa
ataupun pengemis yang memaksa untuk membeli barang yang dia tawarkan, seperti jam,
pakaian, makanan dan sebagainya. Ada juga pengemis yang memaksa meminta uang untuk
ongkos pulang kampung.
d)     Tingkat penipuan meningkat
Penipuan meningkat menjadi salah satu akibat dari kurangnya keterampilan yang dimiliki
seseorang untuk memperoleh pekerjaan atau sebagai daya jual bagi orang tersebut.
E.     Alternatif Solusi
Solusi yang dapat diberikan tentu saja harus mengacu kepada alasan seseorang menjadi
pengemis. Jika permasalahannya ada dalam faktor struktural tentu saja pemecahan
masalahnya melihat dari masalah struktural, jika permasalahannya dalam faktor kultural,
tentu saja pemecahannya pun melihat dari hal-hal kultural tersebut.
Solusi kultural yang dapat diberikan misalnya :
  Diberikan pendidikan karakter.
Hal ini bertujuan agar setiap masyarakat yang telah mencintai pekerjaannya atau malas untuk
mendapatkan pekerjaan yang lain, menjadi lebih dapat memilah dan memilih suatu pekerjaan,
mengurangi sikap malas yang dimiliki dan dapat mengangkat harga dirinya kembali.
b)      Berwirausaha.
Lapangan pekerjaan yang sempit dan membutuhkan persaingan yang ketat menjadikan hanya
orang-orang yang terpilihlah yang mendapat sebuah pekerjaan. Dengan berani berwirausaha,
seseorang akan dapat menciptakan lapangan kerja baru dan ikut andil dalam penekanan
jumlah pengangguran.
c)      Melestarikan lingkungan hidup
Dengan pelestarian lingkungan hidup, suatu wilayah dapat memaksimalkan potensi yang
dimiliki wilayah tersebut sehingga dapat berfungsi secara maksimal bagi kesejahteraan
masyarakat.
Solusi stuktural yang dapat diberikan misalnya:
a)      Memperbaharui kebijakan-kebijakan yang tidak pro pada rakyat
Pemerintah dalam menentukan dan memutuskan kebijakan-kebijakan yang nantinya akan
berhubungan dengan hajat hidup orang banyak harus mempertimbangkannya secara matang
agar tidak melenceng dengan kesejahteraan masyarakat. Jika hal ini terjadi, maka dapat
dipastikan menimbulkan ketimpangan di dalam masyarakat yang mengakibatkan
meningkatnya pengangguran.
b)      Membuka lapangan kerja
Pemerintah seharusnya dapat menciptakan lapangan pekerjaan yang luas sehingga
penyerapan tenaga kerja lebih tinggi. Tidak hanya membuka lapangan pekerjaan, pemerintah
juga harus bisa memberdayakan masyarakat agar masyarakat memiliki kesadaran untuk
berwirausaha dan meningkatkan taraf hidupnya agar lebih baik.
c)      Penyediaan kebutuhan dasar
Pemerintah setidaknya harus menyediakan kebutuhan dasar yang bersubsidi bagi masyarakat
eonomi lemah agar dapat “meringankan” beban mereka dalam memenuhi kebutuhan
dasarnya. Meskipun kebutuhan tersebut hanya kebutuhan pangan, setidaknya hal tersebut
dapat membantu masyarakat ekonomi lemah agar dapat memenuhi kebutuhan dasar lainnya
seperti sandang dan papan.
d)     Menekan jumlah masyarakat di satu daerah.
Hal ini bertujuan agar dalam satu daerah Sumber daya Alam yang ada tidak dieksploitasi di
satu daerah sedangkan di daerah lain tidak dimanfaatkan sama sekali atau hanya sedikit
pemanfaatannya. Selain itu pula, dengan menekan jumlah masyarakat di satu daerah agar
persaingan yang terjadi tidak terlalu ketat dan merata.
e)      Pemberdayaan masyarakat
Pemberdayaan memang harus dilakukan terutama pada masyarakat yang tidak memiliki
keterampilan khusus yang dapat menjadi daya jual yang menghasilkan keuntungan. Namun,
pemberdayaan ini juga harus di barengi dengan penyaluran keterampilan yang memadai
sehingga produk yang dimiliki dapat menjadi profesi yang dapat menghasilkan keuntungan
yang lebih baik.
f)       Program pembangunan wilayah
Pemerintah harus dapat melihat potensi yang dimiliki oleh setiap daerah. Seperti yang terjadi
di gorontalo, di katakana bahwa gorontalo adalah wilayah yang sangat berpotensi bagi petani
jagung, sehingga digalakanlah program pertanian jagung yang menghasilkan keuntungan
besar bagi wilayahnya. Pembangunan sarana prasarana yang baik dengan melihat potensi
yang dimiliki sebuah wilayah akan mendatangkan keuntungan yang besar dan dapat
mensejahterakan masyarakatnya.
g)      Pelayanan pengkreditan
Pemerintah harus mendirikan pelayanan pengkreditan bagi masyarakat yang membutuhkan
dana bagi modal usahanya. Pengkreditan ini sebaiknya tidak menyusahkan masyarakat
dengan persyaratan-persyaratan yang justru menyusahkan masyarakat. Pelayanan
pengkreditan ini sebaiknya bersifat kekeluargaan seperti koperasi.

Anda mungkin juga menyukai