ARTIMPA Yusti Navi Wandarhaesta
ARTIMPA Yusti Navi Wandarhaesta
e-mail : yusti.navi.2107316@students.um.ac.id
Abstrak : Zaman Megalitikum atau yang biasa disebut dengan zaman batu besar
yang dimana pada zaman ini manusia sudah dapat membuat hasil kebudayaan
yang bahannya terbuat dari batu-batu besar. Artefak-artefak batu yang digunakan
dan dibuat oleh manusia purba pada zaman ini tergolong berukuran besar.
Manusia purba yang hidup pada periode Megalitikum sudah memiliki
kemampuan untuk hidup menetap disuatu tempat, karena hidup mereka yang tidak
lagi nomaden. Pada masa ini masyarakat sudah mengenal pembagian kerja,
perdagangan secara sederhana, mulai bercocok tanam (bertani) dan bertenak
untuk memenuhi hidupnya. Peninggalan dan hasil kebudayaan pada zaman ini
banyak ditemukan di Bali, Sumatera Selatan, Kalimantan, Sulawesi dan Jawa
Timur. Zaman Megalitikum meninggalkan berbagai peninggalan seperti arca,
dolmen, menhir, sarkofagus, punden berundak, pelinggih batu, batu kenong, dan
kuburan batu. Pada zaman megalitikum ini manusia sudah mulai mengenal
kepercayaan meskipun kepercayaan mereka masih tingkat awal yaitu kepercayaan
terhadap roh nenek moyang dan benda-benda mati yang dianggap memiliki
kekuatan spiritual. Inilah mengapa diperlukannya pengkajian untuk mengetahui
seberapa jauh peninggalan manusia prasejarah pada masa Megalitikum. Metode
yang digunakan adalah metode deskriptif untuk mendapatkan deskripsi secara
sistematis dan akurat, sehingga tidak terjadi kesalahan dalam penulisan artikel ini.
Diharapkan dengan penulisan artikel ini dapat menjadi sarana pembelajaran dan
sumber pengetahuan bagi masyarakat tentang peninggalan yang berkembang pada
masa Megalithikum.
Kata Kunci : Zaman Megalitik, Masa Prasejarah, Sarkofagus
Pendahuluan
Megalitikum berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu megas yang berarti
besar dan lithos yang bermakna batu. oleh karena itu, banyak yang sering
menyebutnya zaman batu besar, karena pada zaman ini manusia sudah dapat
membuat dan meningkatkan kebudayaan yang terbuat dari batu – batu besar.
Tradisi pendirian bangunan-bangunan megalitik selalu berdasarkan kepercayaan
akan adanya hubungan antara yang hidup dan yang sudah mati, terutama
kepercayaan akan adanya pengaruh kuat dari yang telah mati terhadap
kesejahteraan masyarakat dan kesuburan tanaman. Jasa dari seorang kerabat yang
telah mati diabadikan dengan mendirikan bangunan batu besar. Bangunan ini
kemudian menjadi medium penghormatan, tempat singgah, dan sekaligus menjadi
lambang si mati. Bangunan-bangunan megalitik tersebar luas di daerah Asia
Tenggara. Menurut Von Heine Geldern kebudayaan Megalitikum menyebar ke
Indonesia melalui 2 gelombang yaitu Megalitikum Tua (2500-1500 SM) dan
Megalitikum Muda (1000-100 SM), kebudayaan ini berkembang dari zaman
neolitikum sampai zaman perunggu. Manusia purba yang hidup pada masa
Megalitikum sudah memiliki kemampuan untuk hidup menetap, karena hidup
mereka yang tidak lagi nomaden. Pada masa ini masyarakat sudah mulai
mengenal pembagian kerja antara pemburu, berladang, memasak, dan sebagainya.
Pada masa Megalitikum manusia purba sudah mengenal perdagangan secara
sederhana yaitu melalui barter (pertukaran barang). Pertukaran barang ini bukan
untuk mencari keuntungan tetapi untuk memenuhi kehidupan masyarakat tersebut.
Selain itu, manusia purba pada zaman ini sudah mampu mengolah batu – batuan
sehingga alat – alat yang mereka gunakan jauh lebih baik dibandingkan pada masa
Paleolitikum dan masa Neolitikum. Pada masa ini manusia purba sudah mulai
bertani dan bertenak untuk menghasilkan makanan.
Manusia purba pada masa ini memiliki pola kehidupan serta peninggalan
kebudayaan yang sangat menarik. Hasil kebudayaan Megalitikum sendiri banyak
ditemukan di Bali, Sumatera Selatan, Sulawesi Tengah, Kalimantan dan Jawa
Timur khususnya di daerah Bondowoso. Bondowoso merupakan daerah dataran
tinggi yang terletak di daerah pegunungan dengan alas dataran rendah didalamnya
yang terletak di ujung sebelah timur pulau jawa yang merupakan daerah tapal
kuda karisidenan Besuki. Konon katanya kawasan ini salah satu wilayah
Indonesia yang menyimpan riwayat peninggalan masa prasejarah berupa
bangunan batu besar oleh ahli purbakala (Mashoed, 2004)
Peninggalan kebudayaan Megalitikum sendiri yang ditemukan di
Bondowoso, yaitu berupa dolmen, menhir, sarkofagus, arca, batu kenong, kubur
batu, pelinggih batu, dan ruang batu atau stonechamber. Kebudayaan Megalitikum
ini berlangsung hingga masa kini dengan memahami makna kepercayaan akan
adanya hubungan antara makhluk yang masih hidup sampai yang sudah mati
(Soekmono, 2006). Dari pernyataan yang telah disebutkan di atas muncul
pertanyaan seperti Bagaimana saja ciri-ciri yang dimiliki Sarkofagus? Bagaimana
makna religius dari kebudayaan Sarkofagus? Bagaimana tatacara dalam
penguburan dengan Sarkofagus? Bagaimana makna adat Sarkofagus dalam
kesenian? Sehingga dalam penelitian ini akan membahas seluruh pertanyaan
tersebut.
Tujuan
Metode Penelitian
Pembahasan
Sarkofagus adalah peti jenazah yang terbuat dari batu atau peti batu untuk
menguburkan orang-orang yang berasal dari golongan tertentu ( Sagimun,
1987:39). Sarkofagus merupakan salah satu hasil budaya megalitik berupa kubur
batu yang terdiri atas wadah dan tutup yang bentuk dan ukurannya sama atau
simetris (Soejono dkk, 2010:504). Berdasarkan pengertian tersebut, maka dengan
jelas bahwa fungsi sarkofagus sebagai wadah kubur. Wadah kubur sarkofagus
bentuknya menyerupai palung atau perahu lesung. Bentuk dari perahu sendiri
mempunyai keterkaitan dengan perjalanan arwah nenek moyang, yang dimana
perahu tersebut dianggap sebagai kendaraan arwah nenek moyang yang
meninggal pada waktu menuju ke dunia arwah (Heekeren 1972: Soejono, 1977).
Sarkofagus di Bondowoso mempunyai bentuk yang besar-besar bahkan ada yang
mencapai panjang 195 cm dan garis tengah tutup 145 cm. Kubur-kubur ini
kebanyakan telah rusak dan telah digali oleh penggali liar. Sarkofagus memiliki
ciri-ciri dengan wadah dan tutup yang berbentuk peti dengan tonjolan-tonjolan
pada bagian penutup yang telah ditemukan di berbagai tempat. Sarkofagus juga
memiliki bentuk lain yang merupakan ciri khas yang berupa wadah dan tutup
yang berbentuk setengah lingkaran atau silinder. Tak hanya di Bondowoso
sarkofagus juga telah ditemukan di Situbondo. Penemuan sarkofagus di daerah
Situbondo ini memiliki gaya dengan corak pengaruh Hindu, dengan adanya
pahatan kepala banteng pada sisi depan serta terdapat ukiran berupa angka tahun
1324 caka (1402 M) (Prasetyo, 1999, 22-29).
(Sumber, idsejarah.net)
Gambar 1.1
www.kintamani.id
Kesimpulan