Anda di halaman 1dari 14

ASPEK HISTORIS SARKOFAGUS PADA MASA MEGALITIKUM DI

BONDOWOSO JAWA TIMUR

Yusti Navi Wandarhaesta (210731610941) OFF A

e-mail : yusti.navi.2107316@students.um.ac.id

Mahasiswa S1 Jurusan Pendidikan Sejarah, FIS UM

Abstrak : Zaman Megalitikum atau yang biasa disebut dengan zaman batu besar
yang dimana pada zaman ini manusia sudah dapat membuat hasil kebudayaan
yang bahannya terbuat dari batu-batu besar. Artefak-artefak batu yang digunakan
dan dibuat oleh manusia purba pada zaman ini tergolong berukuran besar.
Manusia purba yang hidup pada periode Megalitikum sudah memiliki
kemampuan untuk hidup menetap disuatu tempat, karena hidup mereka yang tidak
lagi nomaden. Pada masa ini masyarakat sudah mengenal pembagian kerja,
perdagangan secara sederhana, mulai bercocok tanam (bertani) dan bertenak
untuk memenuhi hidupnya. Peninggalan dan hasil kebudayaan pada zaman ini
banyak ditemukan di Bali, Sumatera Selatan, Kalimantan, Sulawesi dan Jawa
Timur. Zaman Megalitikum meninggalkan berbagai peninggalan seperti arca,
dolmen, menhir, sarkofagus, punden berundak, pelinggih batu, batu kenong, dan
kuburan batu. Pada zaman megalitikum ini manusia sudah mulai mengenal
kepercayaan meskipun kepercayaan mereka masih tingkat awal yaitu kepercayaan
terhadap roh nenek moyang dan benda-benda mati yang dianggap memiliki
kekuatan spiritual. Inilah mengapa diperlukannya pengkajian untuk mengetahui
seberapa jauh peninggalan manusia prasejarah pada masa Megalitikum. Metode
yang digunakan adalah metode deskriptif untuk mendapatkan deskripsi secara
sistematis dan akurat, sehingga tidak terjadi kesalahan dalam penulisan artikel ini.
Diharapkan dengan penulisan artikel ini dapat menjadi sarana pembelajaran dan
sumber pengetahuan bagi masyarakat tentang peninggalan yang berkembang pada
masa Megalithikum.
Kata Kunci : Zaman Megalitik, Masa Prasejarah, Sarkofagus

Abstract : The Megalitic Age or what is commonly referred to as the Great


Stone Age, where at this time humans were able to make cultural products whose
materials were made of large stones. The stone artifacts used and made by early
humans at this time were classified as large. Early humans who lived in the
Megalitic period already had the ability to live permanently in one place, because
their lives were no longer nomadic. At this time the community was familiar with
the division of labor, simple trade, started farming (farming) and raising livestock
to fulfill their life. Relics and cultural products at this time are found in Bali,
South Sumatra, Kalimantan, Sulawesi and East Java. The Megalitic era left
various relics such as statues, dolmens, menhirs, sarcophagi, punden terraces,
stone pelinggih, kenong stones, and stone graves. In this megalitic era, humans
have begun to recognize beliefs even though their beliefs are still at an early stage,
namely the belief in ancestral spirits and inanimate objects which are considered
to have spiritual power. This is why it is necessary to study to find out how far the
remains of prehistoric humans during the Megalitic period. The method used is
descriptive method to obtain a systematic and accurate description, so that there
are no errors in writing this article. It is hoped that by writing this article it can be
a means of learning and a source of knowledge for the community about the relics
that developed during the Megalitic period.

Key Words : Megalithic Age, Prehistory, Sarcophagus

Pendahuluan

Megalitikum berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu megas yang berarti
besar dan lithos yang bermakna batu. oleh karena itu, banyak yang sering
menyebutnya zaman batu besar, karena pada zaman ini manusia sudah dapat
membuat dan meningkatkan kebudayaan yang terbuat dari batu – batu besar.
Tradisi pendirian bangunan-bangunan megalitik selalu berdasarkan kepercayaan
akan adanya hubungan antara yang hidup dan yang sudah mati, terutama
kepercayaan akan adanya pengaruh kuat dari yang telah mati terhadap
kesejahteraan masyarakat dan kesuburan tanaman. Jasa dari seorang kerabat yang
telah mati diabadikan dengan mendirikan bangunan batu besar. Bangunan ini
kemudian menjadi medium penghormatan, tempat singgah, dan sekaligus menjadi
lambang si mati. Bangunan-bangunan megalitik tersebar luas di daerah Asia
Tenggara. Menurut Von Heine Geldern kebudayaan Megalitikum menyebar ke
Indonesia melalui 2 gelombang yaitu Megalitikum Tua (2500-1500 SM) dan
Megalitikum Muda (1000-100 SM), kebudayaan ini berkembang dari zaman
neolitikum sampai zaman perunggu. Manusia purba yang hidup pada masa
Megalitikum sudah memiliki kemampuan untuk hidup menetap, karena hidup
mereka yang tidak lagi nomaden. Pada masa ini masyarakat sudah mulai
mengenal pembagian kerja antara pemburu, berladang, memasak, dan sebagainya.
Pada masa Megalitikum manusia purba sudah mengenal perdagangan secara
sederhana yaitu melalui barter (pertukaran barang). Pertukaran barang ini bukan
untuk mencari keuntungan tetapi untuk memenuhi kehidupan masyarakat tersebut.
Selain itu, manusia purba pada zaman ini sudah mampu mengolah batu – batuan
sehingga alat – alat yang mereka gunakan jauh lebih baik dibandingkan pada masa
Paleolitikum dan masa Neolitikum. Pada masa ini manusia purba sudah mulai
bertani dan bertenak untuk menghasilkan makanan.

Manusia purba pada masa ini memiliki pola kehidupan serta peninggalan
kebudayaan yang sangat menarik. Hasil kebudayaan Megalitikum sendiri banyak
ditemukan di Bali, Sumatera Selatan, Sulawesi Tengah, Kalimantan dan Jawa
Timur khususnya di daerah Bondowoso. Bondowoso merupakan daerah dataran
tinggi yang terletak di daerah pegunungan dengan alas dataran rendah didalamnya
yang terletak di ujung sebelah timur pulau jawa yang merupakan daerah tapal
kuda karisidenan Besuki. Konon katanya kawasan ini salah satu wilayah
Indonesia yang menyimpan riwayat peninggalan masa prasejarah berupa
bangunan batu besar oleh ahli purbakala (Mashoed, 2004)
Peninggalan kebudayaan Megalitikum sendiri yang ditemukan di
Bondowoso, yaitu berupa dolmen, menhir, sarkofagus, arca, batu kenong, kubur
batu, pelinggih batu, dan ruang batu atau stonechamber. Kebudayaan Megalitikum
ini berlangsung hingga masa kini dengan memahami makna kepercayaan akan
adanya hubungan antara makhluk yang masih hidup sampai yang sudah mati
(Soekmono, 2006). Dari pernyataan yang telah disebutkan di atas muncul
pertanyaan seperti Bagaimana saja ciri-ciri yang dimiliki Sarkofagus? Bagaimana
makna religius dari kebudayaan Sarkofagus? Bagaimana tatacara dalam
penguburan dengan Sarkofagus? Bagaimana makna adat Sarkofagus dalam
kesenian? Sehingga dalam penelitian ini akan membahas seluruh pertanyaan
tersebut.

Tujuan

Tujuan artikel ini dibuat adalah sebagai sarana pembelajaran dan


pengetahuan kepada seluruh masyarakat yang ada di Indonesia agar mengenal
berbagai macam kebudayaan Megalithikum apa saja yang ada di Jawa Timur
khususnya di daerah Bondowoso. Adapun, tujuan lain dalam pembuatan artikel ini
adalah sebagai wadah kepada seluruh generasi modern yang masih awam tentang
sejarah dan prasejarah yang ada di negara kita ini. Kebudayaan Megalithikum
yang beragam dan unik diharapkan mampu menumbuhkan minat masyarakat
untuk membaca artikel ini, sehingga masyarakat dapat memahami dan mendalami
tentang kebudayaan manusia prasejarah pada masa Megalithikum di Jawa Timur.

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode deskriptif,


karena metode ini cocok dengan penelitian yang dilakukan oleh penyusun.
Sehingga, diharapkan dengan metode tersebut dapat dihasilkan gambaran yang
jelas tentang kebudayaan Megalithikum.
Pengumpulan data yang digunakan oleh penulis dengan menggunakan
studi kepustakaan. Menurut M. Nazir dalam bukunya yang berjudul “Metode
Penelitian” mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan Studi Kepustakaan
yaitu teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap
buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan dan laporan-laporan yang ada
hubungannya dengan masalah yang dipecahkan. Dengan menggunakan teknik ini
diharapkan dapat dipahami oleh pembaca dari seluruh kalangan, sehingga hasil
penelitian ini dapat digunakan sebagai sarana pembelajaran dan sumber
pengetahuan.

Pembahasan

Peninggalan Megalitik di daerah Jawa Timur di temukan di daerah


Bondowoso, Bojonegoro, Tuban dan daerah Magetan. Bondowoso adalah area
sebaran komunitas megalitik Besuki terpenting. Bukan hanya itu saja, bondowoso
bahkan diyakini merupakan pusat perkembangan kebudayaan Megalitik di Besuki
dan salah satu pusat perkembangan lokal kebudayaan Megalitik di Indonesia.
Peninggalan di Bondowoso telah di teliti oleh berbagai ahli antara lain Willems,
Van Heerkeren, Steinmetz dan lain lain. Keberadaan benda-benda prasejarah
tersebar hampir di seluruh wilayah atau kecamatan di Kabupaten Bondowoso,
namun situs yang lebih sering dikenal yaitu di daerah Grujukan Situs Pakauman,
Wringin (Situs Glingseran), Maesan (Situs Koong). Situs-situs kecil juga banyak
di berbagai daerah, seperti daerah Tlogosari, Wonosari, Tegalampel, Prajekan,
Sukosari, Klabang, Tapen, Pujer, dan lain-lain.

Salah satu situs Megalithikum di Bondowoso yang memiliki nilai budaya


tinggi adalah situs di Kecamatan Tlogasari. Peninggalan yang ada di Tlogasari
diantaranya adalah batu lumpang, batu umpak, menhir, pandhusa, dan batu
kenong. Bangunan Megalithikum yang beraneka ragam bentuk mempunyai latar
belakang yang berkaitan erat dengan sistem kepercayaan untuk penghormatan
terhadap arwah nenek moyang (Sumarno, 1992:31).
Selanjutnya, peninggalan di Bondowoso dilihat dari aspek historis dari
situs Penanggungan Kecamatan Maesan Kabupaten Bondowoso ini mempunyai
benda-benda peninggalan pada masa prasejarah, di situs Penanggungan
Kecamatan Maesan Kabupaten Bondowoso terdapat 7 jenis. Masing-masing
megalitik adalah sarkofagus, dengan jumlah 3 buah, batu lumpang 2 buah,
pandhusa 1 buah, tatakan 2 buah, arca batu 2 buah, dolmen 6 buah, dan batu
kenong 4 buah. Benda-benda prasejarah yang terdapat di Penanggungan
Kecamatan Maesan Kabupaten Bondowoso termasuk dalam tradisi budaya
Megalithik Muda. Hal ini dilihat dari peninggalan-peninggalan benda prasejarah
di Penanggungan, seperti arca batu, dolmen, sarkofagus, batu lumpang, pandhusa,
dan tatakan. Masyarakat di situs Penanggungan mendukung tradisi Megalitik
dengan adanya konsepsi kepercayaan. Konsepsi kepercayaan masyarakat
pendukungnya adalah kepercayaan akan adanya hubungan antara yang hidup dan
yang meninggal, serta adanya kepercayaan akan pengaruh kuat dari manusia yang
telah meninggal terhadap kesejahteraan masyarakat dan kesuburan tanaman.

Sarkofagus adalah peti jenazah yang terbuat dari batu atau peti batu untuk
menguburkan orang-orang yang berasal dari golongan tertentu ( Sagimun,
1987:39). Sarkofagus merupakan salah satu hasil budaya megalitik berupa kubur
batu yang terdiri atas wadah dan tutup yang bentuk dan ukurannya sama atau
simetris (Soejono dkk, 2010:504). Berdasarkan pengertian tersebut, maka dengan
jelas bahwa fungsi sarkofagus sebagai wadah kubur. Wadah kubur sarkofagus
bentuknya menyerupai palung atau perahu lesung. Bentuk dari perahu sendiri
mempunyai keterkaitan dengan perjalanan arwah nenek moyang, yang dimana
perahu tersebut dianggap sebagai kendaraan arwah nenek moyang yang
meninggal pada waktu menuju ke dunia arwah (Heekeren 1972: Soejono, 1977).
Sarkofagus di Bondowoso mempunyai bentuk yang besar-besar bahkan ada yang
mencapai panjang 195 cm dan garis tengah tutup 145 cm. Kubur-kubur ini
kebanyakan telah rusak dan telah digali oleh penggali liar. Sarkofagus memiliki
ciri-ciri dengan wadah dan tutup yang berbentuk peti dengan tonjolan-tonjolan
pada bagian penutup yang telah ditemukan di berbagai tempat. Sarkofagus juga
memiliki bentuk lain yang merupakan ciri khas yang berupa wadah dan tutup
yang berbentuk setengah lingkaran atau silinder. Tak hanya di Bondowoso
sarkofagus juga telah ditemukan di Situbondo. Penemuan sarkofagus di daerah
Situbondo ini memiliki gaya dengan corak pengaruh Hindu, dengan adanya
pahatan kepala banteng pada sisi depan serta terdapat ukiran berupa angka tahun
1324 caka (1402 M) (Prasetyo, 1999, 22-29).

(Sumber, idsejarah.net)

Gambar 1.1

1. Makna Religius dari bentuk-bentuk Sarkofagus


Bentuk dasar atau bentuk pokok sarkofagus, tanpa kita perhatikan
tonjolan atau hiasan lainnya perlu diperhatikan. Beberapa jenis
mempunyai bentuk yang mirip dengan perahu. Van Heekeren pernah
mengajukan pendapat bahwa sarkofagus mungkin disebarkan oleh orang-
orang yang dahulu datang di tempat-tempat penyebaran mereka dengan
perahu dan jika meninggal, maka mayat mereka diletakkan dalam perahu
dan ditempatkan di atas panggung. Kelak setelah pindah ke daerah
pedalaman mereka membuat peti mayat kayu yang seringkali mirip dengan
bentuk perahu serta ditempatkan pula di atas panggung kayu atau landasan
lain. Berdasarkan dari penelitian R.P Soejono fungsi dari tonjolan-tonjolan
sarkofagus sukar diterima, walaupun corak yang ada di tonjolannya tebal,
polos dan masih, karena :
a. Ukuran tonjolan – tonjolan ini jika dibandingkan dengan ukuran seluruh
sarkofagus terlalu kecil dan biasanya dijadikan tempat tali, dan jika lama
kelamaan tonjolan – tonjolan tersebut akan patah karena tak kuat menahan
beban dari seluruh wadah atau tutup sarkofagus.
b. Dengan bahan paras yang lembek termasuk faktor yang tidak mengijinkan
c. Ukuran dan letak dari tonjolan yang teratur di bagian-bagian tertentu pada
tutup menyatakan, bahwa tonjolan – tonjolan ini sebenarnya tidak di
fungsikan sebagai pegangan tetapi di fungsikan dengan maksud lain.
Persoalan yang ada pada tonjolan ini dihadapi pula oleh Willems
waktu mengadakan penelitian pandhusa di Pakauman, Bondowoso.
Dinding yang ada disamping pandhusa juga bertonjolan bundar, yang
terletak tak teratur dan memang di fungsikan sebagai pegangan untuk
mempermudah pada saat pengangkutan.

2. Tatacara dalam penguburan dengan sarkofagus


Dalam prosesi penguburan dengan menggunakan sarkofagus rupanya
diselenggarakan dengan tatacara dan dengan upacara tertentu. Dengan
adanya bukti-bukti yang telah di dapat dari kegiatan penelitian dan
observasi memberikan gambaran bagaimana sebagian besar pelaksanaan
penguburan tersebut berlangsung. Adapun beberapa hal contoh sebagai
bahan perbandingan, terutama dari Pulau Sumba yang sampai saat ini
masih meneruskan adat dan budaya penguburan dengan Sarkofagus dan
Dolmen (Kruyt, 1992: 466-609; Buhler 1951: 51-77).
Penguburan tanpa menggunakan adat dan budaya sarkofagus diduga
dari zaman yang sama yang telah ditemukan oleh Korn di sekitar
sarkofagus - sarkofagus di Bali pada tahun 1930, yang kemudian
penemuan tersebut di laporkan oleh penduduk pada tahun 1958 berturut -
turut adanya penemuan sejumlah benda - benda perunggu dengan sisa -
sisa tulang kerangka manusia. Pada tahun 1960 juga di laporkan tentang
adanya temuan sebuah rangka yang terletak membujur di dekat sarkofagus
dan di tahun yang sama juga sisa rangka dengan dua buah gelang
perunggu berukuran besar di temukan di Ubud, Bali. Ini semua cukup
membuktikan bahwa hanya golongan - golongan tertentu terutama
golongan pemimpin masyarakat yang berpengaruh dalam melaksanakan
penguburan dengan menggunakan budaya sarkofagus.

www.kintamani.id

3. Makna adat Sarkofagus dalam kesenian


Dalam bidang kesenian itu sendiri terutama di bidang khusus
seperti seni pahat, seni menuang perunggu, dan seni gerabah, tampak suatu
kegiatan yang telah meningkat pada zaman itu. Kebiasaan dengan
mempergunakan batu padas di Bali dan Bondowoso ini untuk mendirikan
bangunan atau untuk memahat benda - benda lain, sebenarnya telah
berkembang pada masa pembuatan sarkofagus. Sarkofagus-sarkofagus tipe
kecil maupun tipe sedang sebenarnya di pahat dengan batu padas, kecuali
di daerah lain yang tidak ada bahan seperti batu padas atau yang
keberadaan dari batu padas ini sukar untuk di temui. Contoh yang
menarik, bahwa ikatan tetap berkuasa pada corak tonjolan kepala. Raut
muka menunjukan variasi-variasi dari pancaran yang kaku. Sesuatu hal
yang patut dikemukakan ialah, bahwa pahatan tonjolan kepala dengan
muka melawak adalah sebenarnya bentuk prototipe tokoh-tokoh Merdah,
Twalen cs (atau Semar cs di Jawa) / kesaktian tokoh-tokoh tersebut yang
selama ini dipandang sebagai “survival” dewa-dewa Indonesia asli, bahwa
dapat disimpulkan tonjolan-tonjolan bentuk kepala (atau kedok) pada
beberapa sarkofagus.
Bentuk manusia dalam sikap kangkang yang sering kali terlihat
pada sarkofagus mempunyai kelanjutan seni pahat di masa kemudian.
Dalam seni pahat di bali terdapat sebuah bentuk yang dikenal dengan buta
sungsang (kala sungsang), buta sungsang tergolong makhluk yang
mendiammi dunia bawah (inferno) atau dunia kematian, sehingga bentuk
hiasan ini ditemukan dalam sistem kepercayaan bali.

4. Masalah asal-usul adat sarkofagus.


Sarkofagus-sarkofagus di jawa dan bali memberikan bahan untuk
mengetahui adat istiadat dan cita-cita religious pada masa lalu,
membawakan pula masalah-masalah yang masih harus dicari
penyelesaianya.
Zaman pembuatan sarkofagus seperti telah ditetapkan oleh Van
Stein Callenfels dan Van Heekeren jatuh pada masa perkembangan
kebudayaan perunggu yaitu pada zaman perundagian di Indonesia. Pada
zaman ini juga mulai dikenal dengan pembuatan benda-benda besi seperti
antara yang telah di buktikan oleh penemuan-penemuan dalam sarkofagus.

5. Teknologi Pembuatan Sarkofagus


Teknologi pembuatan sarkofagus ini dibuat dengan bahan batu
besar dan sangat berat, bahan batu yang digunakan untuk pembuatan
Sarkofagus memanfaatkan batuan breksi gunung api. Sehingga, proses
pembuatan kubur batu seperti pandhusa, sarkofagus, dolmen, serta kubur
bilik (Suprapta, 2019) memakan waktu yang sangat lama dan proses
pengerjaannya dibuat secara bergotong royong secara sesama pendukung
kebudayaan megalitik. Dengan demikian bangunan megalitik
mencerminkan atau penanda solidaritas masyarakat yang sangat tinggi
(Praseyo, 2014: 16-19).
Selain itu, pemahatan yang baik tidak hanya disebabkan oleh
keahlian saja namun didukung juga dengan kemajuan teknologi
menggunakan bahan logam misalnya besi dan perunggu. Disamping itu
pemilihan bahan yang dipakai sangat mempengaruhi hasil. Dari hasil studi
analogi ethnografi diperoleh data bahwa alat yang digunakan untuk
pembuatannya antara lain, kapak, tatah atau pahat, linggis, paran, dan lain-
lain.

Kesimpulan

Dari pembahasan yang sudah dipaparkan di atas. Penemuan Sarkofagus di


daerah Bondowoso, Jawa Timur serta kajian tentang teknologi dan kebudayaan
sarkofagus berguna untuk proses pemakaman pada masa itu. Sarkofagus adalah
peti jenazah yang terbuat dari batu atau peti batu untuk menguburkan orang-orang
yang berasal dari golongan tertentu. Sarkofagus merupakan salah satu hasil
budaya megalitik berupa kubur batu yang terdiri atas wadah dan tutup yang
bentuk dan ukurannya sama atau simetris. Maka dengan jelas bahwa fungsi
sarkofagus sebagai wadah kubur, wadah kubur sarkofagus bentuknya menyerupai
palung atau perahu lesung. Bentuk dari perahu sendiri mempunyai keterkaitan
dengan perjalanan arwah nenek moyang, yang dimana perahu tersebut dianggap
sebagai kendaraan arwah nenek moyang yang meninggal pada waktu menuju ke
dunia arwah.

Makna religius dari bentuk-bentuk sarkofagus sendiri memiliki bentuk


dasar atau bentuk pokok sarkofagus. Sarkofagus mempunyai bentuk yang besar-
besar bahkan ada yang mencapai panjang 195 cm dan garis tengah tutup 145 cm,
sarkofagus sendiri memiliki wadah dan tutup yang berbentuk peti dengan
tonjolan-tonjolan pada bagian penutup dan juga memiliki bentuk lain yang
berupa wadah dan tutup yang berbentuk setengah lingkaran atau silinder yang
telah ditemukan di berbagai tempat. Ukuran tonjolan-tonjolan tersebut jika
dibandingkan dengan ukuran seluruh sarkofagus terlalu kecil dan biasanya
dijadkan tempat tali, dan lama kelamaan tonjolan-tonjolan tersebut akan patah
karena tidak kuat menahan beban dari seluruh wadah atau tutup sarkofagus.
Ukuran dan letak dari tonjolan yang teratur di bagian-bagian tertentu pada tutup
menyatakan bahwa tonjolan-tonjolan ini sebenarnya tidak di fungsikan sebagai
pegangan tetapi di fungsikan dengan maksud lain. Dalam prosesi penguburan
dengan menggunakan sarkofagus rupanya diselenggarakan dengan tatacara dan
dengan upacara tertentu. Sarkofagus dalam bidang kesenian sendiri terutama di
bidang khusus seperti seni pahat, seni menuang perunggu, dan seni gerabah
tampak suatu kegiatan yang telah meningkat pada zaman itu. Contoh menariknya
bahwa ikatan tetap berkuasa pada corak tonjolan kepala, raut muka menunjukan
variasi-variasi dari pancaran yang kaku, bentuk manusia dalam sikap kangkang
yang sering kali terlihat pada sarkofagus mempunyai kelanjutan seni pahat di
masa kemudian. Asal usul adat sarkofagus sendiri pada zaman pembuatan
sarkofagus seperti telah ditetapkan oleh Van Stein Callenfels dan Van Heekeren
jatuh pada masa perkembangan kebudayaan perunggu yaitu pada zaman
perundagian di Indonesia. Teknologi pembuatan sarkofagus ini dibuat dengan
bahan batu besar dan sangat berat sehingga proses pembuatan kubur batu seperti
sarkofagus, pandhusa, dolmen serta kubur bilik memakan waktu yang sangat lama
dan proses pengerjaannya dibuat secara bergotong royong, dengan demikian
pembuatan bangunan megalitik ini mencerminkan atau penanda solidaritas
masyarakat yang sangat tinggi.
Daftar Rujukan

Abdillah, D. (2012). LINGKUNGAN GEOLOGI SITUS PANGKUNG PARUK,


KECAMATAN SERIRIT, BULELENG, BALI GEOLOGICAL
ENVIRONMENT OF PANGKUNG PARUK SITE, SERIRIT
SUBDISTRICT, BULELENG, BALI. Forum Arkeologi, 25 (3), 290-299.
https://core.ac.uk/reader/293175160, diakses 9 Oktober 2021.

Ahmad Riyansyah A., S. S. (2014). pemanfaatan situs megalitikum di kecamatan


tlogosari kabupaten bondowoso sebagai sumber belajar sejarah.
https://onesearch.id/Record/IOS3316.123456789-56418, diakses 28
September 2021.

Amalia, R. Swastika, K. Marjono, M (2017). situs megalithik di desa


penanggungan kecamatan maesan kabupaten bondowoso sebagai sumber
pembelajaran sejarah. Jurnal Edukasi, 4(2). 45-51.
https://core.ac.uk/display/295720791, diakses 28 September 2021.

Ayuningtyas, T. H. (2018). pemanfaatan situs peninggalan sejarah di kabupaten


bondowoso sebagai pengembangan sumber belajar di sekolah lanjutan
tingkat atas di kabupaten bondowoso. Jurnal Historia, 6(1), 139-150,
https://ojs.fkip.ummetro.ac.id/index.php/sejarah/article/view/1080/pdf
, diakses 3 September.

Jati, S. S. (2017). Situs-situs Megalitik di Malang Raya: Kajian Bentuk dan


Fungsi. Sejarah dan Budaya: Jurnal Sejarah, Budaya dan Pengajarannya,
9(1), 116-128. http://journal2.um.ac.id/index.php/sejarah-dan-
budaya/article/view/1567, diakses 7 Oktober 2021.

Kusumawati, A. (2011). STUDI KASUS TENTANG TINGGALAN SARKOFAGUS


SUBAK ROBAN BITERA, KABUPATEN GIANYAR. Jurnal Forum
Arkeologi Vol. 24 No. 1, Balai Arkeologi Denpasar, Bali. 83-94.
http://forumarkeologi.kemdikbud.go.id/index.php/fa/article/view/510/
440, diakses 10 Oktober 2021.
Mahayoni, K. D. (2019). SARKOFAGUS DI PURA PONJOK BATU DESA
PACUNG, TEJAKULA, BULELENG, BALI SEBAGAI SUMBER
BELAJAR SEJARAH DI SMA. Widya Winayata: Jurnal Pendidikan
Sejarah, , 7(1).
https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JJPS/article/view/11289,
diakses 9 Oktober 2021.

Marwati D.P., Nugroho N. (2007). Sejarah nasional Indonesia: zaman prasejarah


di Indonesia. Jakarta: PT (persero) Balai Pustaka.

Minah, N. (2020). MAKAM CHABIB UMAR BIN YUSUF AL-MAGRIBI DI


BEDUGUL Sejarah, Dampak Sosial Ekonomi dan Potensi sebagai
Sumber Belajar Sejarah di SMA. Candra Sangkala, 2(2).
https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JCS/article/view/28813,
diakses 7 Oktober 2021.

Nazir, M. (2003). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Sukendar, H. (1998). ALBUM TRADISI MEGALITIK DI INDONESIA. Direktorat


Jenderal Kebudayaan.

Sumarjono, S. S. (2018). Cerita di Balik Ribuan Megalit: Kehidupan Komunitas


Megalitik Besuki di Bondowoso, Jawa Timur. Yogyakarta: LaksBang
PRESSindo.

Suprapta, B. (2020). PERAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM UPAYA


PEMANFAATAN CAGAR BUDAYA DI KABUPATEN BONDOWOSO
SEBAGAI SUMBER BELAJAR SEJARAH LOKAL DAN ASET
UNGGULAN DAERAH. Jurnal Pendidikan Sejarah Indonesia, 3(1), 25-42.
http://journal2.um.ac.id/index.php/sejarah/article/view/14164, diakses
9 Oktober 2021.

Suryanto, D. (2004). Sarkofagus Ampelan Wringin: Data Baru Tradisi Megalithik


di Bondowoso. Berkala Arkeologi, 24 (1), 31-36.
https://doi.org/10.30883/jba.v24i1.891, diakses 3 Oktober 2021.

Anda mungkin juga menyukai