Anda di halaman 1dari 11

RINGKASAN MENGENAI PARTAI POLITIK

(Ringkasan dari buku Dasar-dasar Ilmu Politik ‘Miriam Budiardjo’ dan Comparative
Government and Politics: An Introduction 6th Edition ‘Rod Hague & Martin Harrop)

 Perkembangan Partai Politik


Dalam bukunya, Miriam Budiardjo menjelaskan bahwa partai politik dalam
perkembangannya terbagi menjadi dua jenis partai yaitu partai massa atau patronage party dan
partai ideologi. Partai massa lebih mementingkan jumlah dukungan dan massa tanpa secara jelas
menggambarkan ideologi yang mereka pakai. Partai massa ini biasanya berada di poros tengah
dimana di dalam partai ini akan ada banyak masyarakat dengan berbagai latar belakang ideologi
yang bernaung. Pada dasarnya, jenis partai ini berusaha meraih suara sebanyak mungkin agar
bisa memenangi pemilihan umum dan berkuasa di pemerintahan. Sehingga aktivitas jenis partai
ini akan meningkat tajam ketika mendekati pemilihan umum dan setelah pemilu biasanya kurang
aktif. Berbeda halnya dengan partai ideologi. Partai jenis ini sangat disiplin dalam menjalankan
partainya agar ideologi mereka tetap terjaga. Partai ideologi sangat jelas menunjukkan ideologi
yang mereka bawa seperti Sosialisme, Fasisme, Komunisme, atau Sosial Demokrat.
Namun karena adanya pengkotakan ideologi, maka jumlah pendukung jenis partai ini
biasanya lebih sedikit dari partai yang tidak terlalu menampakkan ideologi yang mereka bawa.
Klasifikasi partai berdasarkan ideologi juga bisa dilihat pada istilah “Kiri” dan “Kanan”. Partai
berideologi kekirian digambarkan partai yang menginginkan perubahan dan kemajuan serta
kesetaraan fungsi dan peran dari semua lapisan masyarakat. Sedangkan partai berideologi
“Kanan” digambarkan partai yang konservatif dengan mendukung kebijakan raja dan struktur
tradisional yang sudah ada pada negara tersebut. Namun dewasa ini, pengkotakan ideologi pada
partai sudah mulai terhapus karena partai-partai juga mulai menyadari bahwa mereka harus
meraup suara sebanyak-sebanyaknya dan pada akhirnya partai-partai ini mencoba untuk bergeser
lebih ke tengah agar bisa meraih suara dari median voters.
Berbeda dengan Miriam Budardjo yang membagi menjadi partai massa dan partai
ideologi. Rod Hague dan Martin Harrop dalam bukunya Comparative Government and Politics :
An Introduction membagi perkembangan partai politik menjadi partai elite dan partai massa.
Penjelasan mengenai partai massa kurang lebih sama. Untuk partai elite, Rod Hague dan Martin
Harrop menjelaskan bahwa jenis partai ini adalah partai yang dibuat ‘secara internal’. Mereka
dibentuk oleh gabungan sekelompok orang-orang elite yang berkuasa untuk mencerminkan
keprihatinan umum dan bersaing dengan berkampanye dalam pemilihan umum. Partai yang
berjenis ini di awal abad kesembilan misalnya Partai Konservatif Inggris, Kanada dan
Skandinavia. Partai Amerika pertama, the Federalists dan the Jeffersonians pun juga terbentuk
dari faksi elite yang berbasis di Kongres dan legislatif negara. Bercermin dari karakter ini, partai
elite kadang-kadang juga disebut dengan partai kaukus, ‘kaukus’ menandakan suatu pertemuan
tertutup dari anggota-anggota partai di parlemen. Rod Hague dan Martin Harrop tidak banyak
menyinggung terkait ideologi partai dan lebih fokus pada pembahasan bagaimana awal
pembentukan partai tersebut.

 Definisi Partai Politik


Menurut Miriam Budiardjo, partai politik sendiri secara umum dapat dikatakan sebagai
suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-
cita yang sama. Dibutuhkan persamaan visi bagi seluruh pengurus partai agar partainya dapat
berjalan dengan baik. Friksi dalam internal partai akan dengan mudah terjadi apabila didalamnya
terdapat ketidaksamaan tujuan dan kepentingan. Partai politik membutuhkan stabilitas di dalam
internal partainya itu terlebih dahulu sebelum dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Fungsi
partai politik terbagi lagi menjadi tiga bagian yaitu fungsi partai politik dalam negara demokrasi,
fungsi partai politik dalam negara otoriter, dan fungsi partai politik dalam negara berkembang.

 Fungsi Partai Politik


Sistem politik di dalam suatu negara tentu akan mempengaruhi penyelenggaraan dari
proses politik itu sendiri. Ketika kebebasan berpendapat dikekang oleh pemerintah, maka fungsi
partai politik juga menjadi terbatas. Pada negara otoriter, fungsi partai politik yang seharusnya
menjadi agen sosialisasi politik justru menjadi ajang sosialisasi ideologi yang dibawa oleh partai
penguasa. Mereka akan memaksakan kehendak agar seluruh masyarakat mempercayai dan
melaksanakan ideologi yang mereka bawa. Contohnya adalah pada negara komunis dimana arus
informasi lebih bersifat dari atas ke bawah, bukan dua arah. Rakyat seperti tidak diberikan
kesempatan untuk memilih karena mereka dipaksa untuk menjalankan ideologi yang dibawa
partai penguasa. Ketika rakyat berpendapat pun seringkali pemerintah akan melakukan tindakan
represif yang pada akhirnya memaksa rakyat untuk tutup mulut atas segala kegelisahan yang ada.
Berbeda dengan fungsi partai politik di negara otoriter, fungsi partai politik di negara
demokrasi bisa lebih beragam. Hal ini karena komunikasi dan interaksi antara rakyat dengan
partai politik dan partai politik dengan pemerintah bisa lebih terjalin. Partai politik bisa berfungsi
sebagai sarana komunikasi politik dimana kepentingan masyarakat bisa digabungkan (interest
aggregation) dan diolah kedalam bentuk yang lebih teratur yang disebut dengan perumusan
kepentingan (interest articulation). Informasi kebijakan dan program pemerintah juga bisa
dijalankan dengan fungsi ini. Namun, tidak bisa disangkal pula bahwa tak jarang ada
ketidakseimbangan informasi yang lebih menguntungkan salah satu partai. Selain itu, di negara
demokratis, fungsi sosialisasi politik bisa lebih berjalan dibanding di negara otoriter. Partai
politik berperan dalam menjelaskan kepada masyarakat terkait fenomena-fenomena politik yang
ada agar masyarakat paham terhadap kondisi tersebut dan tidak apatis dalam berpolitik.
Fenomena-fenomena politik juga tidak lepas dari konflik. Sehingga, dalam negara demokratis
partai politik bisa berperan sebagai pengatur konflik. Para elite partai harus mampu memberikan
pemahaman kepada jajaran di bawahnya agar konflik antar partai dan ideologi dapat
dihindarkan.
Pada negara-negara berkembang, Miriam Budiardjo menjelaskan fungsi partai politik
bisa berbeda dengan fungsi partai politik di negara otoriter dan negara demokrasi. Di negara
berkembang, jarak antara masyarakat yang kaya dengan masyarakat yang miskin terlampau jauh
dan stabilitas politik juga masih sangat kurang. Sehingga, sering terjadi pertikaian di dalam
masyarakat dan partai politik berfungsi dalam menengahi masalah ini. Harapan rakyat terhadap
partai politik juga terlalu tinggi sehingga bebannya menjadi berat pula. Integrasi nasional juga
merupakan tanggung jawab partai politik walaupun seringkali justru perbedaan dalam partai
politik lah yang menyebabkan terjadinya disintegrasi nasional. Dan jika lembaga-lembaga politik
gagal menjalankan perannya, maka biasanya akan ada campur tangan militer. Intervensi militer
ini dimungkinkan karena disiplin para prajurit yang tinggi serta kesiapan fasilitas yang mereka
miliki walaupun sebenarnya sangat tidak disarankan terjadi intervensi militer dalam perpolitikan
karena keputusan yang diambil biasanya lebih bersifat represif.
Dalam hal posisi partai politik yang berada diantara negara dan rakyat, fungsi-fungsi
partai politik yang dituliskan Miriam Budiardjo pada dasarnya memuat 4 fungsi utama partai
politik menurut Rod Hague dan Martin Harrop dalam bukunya Comparative Government and
Politics : An Introduction  sebagai berikut.
1. Partai penguasa memberikan arahan pada pemerintah dalam menjalankan tugas-tugas
penting kenegaraan.
2. Partai berfungsi sebagai agen rekrutmen politik. Mereka berfungsi sebagai mekanisme
utama untuk mempersiapkan dan merekrut calon legislatif dan eksekutif.
3. Partai berfungsi sebagai agen agregasi kepentingan. Mereka menyaring banyak tuntutan
dan kepentingan untuk dikemas dalam bentuk permohonan yang lebih teratur. Partai
memilih, mengurangi, dan mengombinasikan kebijakan.
4. Partai politik juga berperan sebagai brand bagi pendukung dan pemilih mereka,
memberikan lensa bagi orang-orang agar dapat menafsirkan dunia politik yang rumit.
Penjelasan Rod Hague dan Martin Harrop ini mendukung penjelasan fungsi partai politik
oleh Miriam Budiardjo dalam bukunya Dasar-Dasar Ilmu Politik. Namun, Miriam Budiardjo
menjelaskan bahwa fungsi-fungsi tersebut bisa tidak berjalan sesuai harapan tergantung sistem
politik yang dianut oleh negara yang bersangkutan apakah demokrasi, otoriter, atau negara yang
baru berkembang.

 Klasifikasi Sistem Kepartaian


  Di dalam bukunya, Miriam Budiardjo juga menjelaskan mengenai klasifikasi sistem
kepartaian yaitu sistem partai-tunggal, sistem dwi-partai, dan sistem multi-partai. Perbedaan
ketiganya ada pada kekuasaan partai di negara terkait. Pada sistem partai-tunggal, suasana
kepartaian tidak kompetitif karena semua partai harus menerima pimpinan dari partai yang
dominan, dan tidak diperkenankan bersaing dengannya. Sistem kepartaian ini biasanya dipakai
dalam negara-negara komunis seperti Uni Soviet dan China. Uni Soviet pada masa jayanya
hanya memiliki satu partai dominan yaitu Partai Komunis Uni Soviet. Mereka menginginkan
semuanya berada pada satu komando agar adanya perpaduan antara kepentingan partai dan
kepentingan rakyat.
Kemudian sistem dwi-partai adalah ada dua partai diantara beberapa partai lain yang
secara bergiliran menempati tempat teratas dalam pemilihan umum sehingga memiliki
kedudukan dominan. Pada sistem ini akan sangat jelas posisi partai dalam pemerintahan yaitu
apakah sebagai partai penguasa (pemerintah) atau partai oposisi. Contoh negara yang menganut
sistem kepartaian ini adalah Inggris dan Amerika Serikat. Amerika Serikat memiliki Partai
Republik dan Partai Demokrat yang secara bergiliran menjadi pemenang dalam pemilihan
umum. Kemudian, Inggris memiliki Partai Buruh dan Partai Konservatif. Miriam Budiardjo
menjelaskan bahwa untuk menjalankan sistem kepartaian ini, harus memenuhi 3 syarat, yaitu
komposisi masyarakat yang homogen, adanya konsensus kuat dalam masyarakat mengenai asas
dan tujuan sosial dan politik, dan adanya kontinuitas sejarah. Tiga syarat inilah yang tidak
mampu dipenuhi oleh negara kita, Indonesia, ketika mencoba menjalankan sistem dwi-partai
pada tahun 1968. Kita semua tahu bahwa komposisi masyarakat di Indonesia adalah heterogen
dengan berbagai suku dan bahasa dan memiliki tujuan politik yang berbeda-beda. Lalu, banyak
pihak yang menentang karena dirasakan menghalangi eksistensi partai lain sehingga gerakan ini
dihentikan tahun 1969.
Bagi negara dengan pluralitas yang tinggi seperti Indonesia, sistem multi-partai dianggap
lebih cocok. Sistem multi-partai bisa mengakomodasi lebih banyak keinginan dan kepentingan
masyarakat yang biasanya hanya ingin menyalurkan keinginannya pada ikatan-ikatan terbatasnya
(primordial). Namun sistem multi-partai mempunyai potensi yang lebih besar untuk
melemahkan pemerintahan karena tidak ada partai yang dominan. Partai koalisi harus
berkompromi ketika ada kebijakan-kebijakan pemerintah yang dikeluarkan. Partai koalisi dan
partai oposisi juga sering tidak loyal pada perannya karena bisa saja dalam situasi tertentu
mereka bertukar peran. Sehingga, stabilitas politik pun kurang terjaga. Pola multi-partai
umumnya diperkuat oleh sistem pemilihan Perwakilan Berimbang (Proportional Representation)
yang memberi kesempatan luas bagi pertumbuhan parta-partai dan golongan-golongan baru.
Secara umum, klasifikasi partai yang dipaparkan oleh Miriam Budiardjo sama dengan
pemaparan Rod Hague dan Martin Harrop. Namun, Rod Hague dan Martin Harrop tidak
menyebutkan istilah sistem partai-tunggal, tetapi mereka menyebutnya dengan sistem partai
dominan. Dalam hal contoh negara juga terdapat perbedaan. Miriam Budiardjo menganggap
bahwa Swedia adalah contoh negara dengan sistem multi partai yang memiliki stabilitas politik
yang baik. Namun, Rod Hague dan Martin Harrop menganggap Swedia menganut sistem partai
dominan karena walaupun ada banyak partai tetapi hanya ada satu partai yang terus berada di
pemerintahan yaitu Partai Sosial Demokrat. Perbedaan ini menurut penulis karena memang ada
sedikit perbedaan dalam klasifikasi sistem kepartaian yang dipaparkan kedua pihak sehingga
pengelompokan negara yang termasuk ke dalam suatu jenis sistem kepartaian pun menjadi
berbeda.

 Benarkah Pengaruh Partai Politik Menurun ?


Di dalam bukunya, Miriam Budiardjo juga mencoba menganalisis alasan mengapa
pengaruh partai politik menurun. Partai politik dan parlemen dianggap tidak lagi mampu
mewakili rakyat banyak. Aspirasi masyarakat juga sudah banyak diwakili dengan
berkembangnya civil society dan timbulnya ribuan kelompok kepentingan dan NGO yang
kebanyakan terdiri atas golongan muda. Namun, bagaimanapun juga partai merupakan salah satu
pilar dalam demokrasi yang harus terus ada dan kita luruskan bersama.

 Partai Politik di Indonesia


Selain penjelasan-penjelasan umum mengenai partai politik, Miriam Budiardjo juga
secara spesifik menjelaskan partai politik di Indonesia. Indonesia telah menjalani sejarah panjang
tentang demokrasi yang pada akhirnya juga mempengaruhi sistem kepartaiannya. Di zaman
kolonial, partai politik lahir sebagai manifestasi dari kesadaran nasional. Masyarakat mulai
membentuk kelompok-kelompok untuk mewujudkan pergerakan nasional. Ada yang bertujuan
sosial seperti Budi Utomo dan Muhammadiyah, lalu ada yang secara jelas menganut asas
politik/agama seperti Sarekat Islam dan Partai Katolik atau asas politik sekuler seperti PNI dan
PKI. Pola kepartaian di zaman itu menunjukkan keberagaman yang pada zaman merdeka
dihidupkan kembali menjadi sistem multi-partai. Lalu, pada masa pendudukan Jepang, semua
partai dibubarkan dan setiap kegiatan politik dilarang. Hanya golongan Islam diperkenankan
membentuk suatu organisasi sosial yang dinamakan Masyumi, disamping beberapa organisasi
bentukan penguasa.
Kemudian di zaman demokrasi Indonesia. Miriam Budiardjo membagi penjelasan partai
politik ke dalam beberapa masa. Pada masa perjuangan kemerdekaan (1945-1949), Indonesia
awalnya menjalani sistem pemerintahan presidensial dan UUD 1945 dari tanggal 17 Agustus –
14 November 1945. Pada periode itu, sistem partai adalah partai-tunggal karena hanya ada PNI
di pemerintahan. Hal ini masih bisa dimaklumi karena Indonesia baru saja merdeka dan masih
harus menata sistem pemerintahan. Kemudian mulai tanggal 14 November 1945, sistem
pemerintahan Indonesia berganti menjadi sistem parlementer. Perubahan ini dianggap perlu
untuk mendorong proses demokratisasi dan menangkis kecaman-kecaman dari pihak Sekutu
yang menganggap kemerdekaan Indonesia adalah hasil rekayasa Jepang (made in Japan).
Dengan peralihan ke sistem parlementer, jabatan kepala negara (presiden) dipisahkan dari
jabatan kepala pemerintahan (perdana menteri). Di kabinet baru, pemerintahan Indonesia
dipimpin oleh seorang perdana menteri yaitu Sjahrir. Perundingan dengan sekutu dimulai tanggal
17 November 1945 dan Republik Indonesia diakui secara de facto memiliki kedaulatan. Pada
masa sistem parlementer ini, Indonesia tetap berpegangan pada UUD 1945, namun menganut
sistem multi-partai. Partai-partai yang ada pada masa itu antara lain Masyumi, PNI, PKI, dan
PIR.
Sistem pemerintahan parlementer berlanjut pada zaman Republik Indonesia Serikat (RIS)
pada tahun 1949-1950. Dalam masa ini, partai-partai politik secara aktif mendukung usaha
penggabungan negara-negara bagian ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konstelasi
partai politik pada zaman ini tidak banyak berubah.
Perjalanan bangsa berlanjut pada masa pengakuan kedaulatan (1949-1959). Pada masa ini
sistem pemerintahan Indonesia masih parlementer namun UUD yang dipakai adalah UUD 1950.
Karena tidak ada partai dengan mayoritas jelas (Masyumi dan PNI kira-kira sama kuatnya),
pemerintahan Indonesia tidak langgeng karena keduanya membutuhkan koalisi yang nyatanya
tidak solid. Pemerintah rata-rata hanya bertahan selama kira-kira satu tahun. Pada masa ini
dilaksanakan pemilihan umum pertama pada tahun 1955. Hasil Pemilu 1955 menghasilkan
penyederhanaan partai dalam arti hanya ada empat partai besar yaitu PNI (57 kursi), Masyumi
(57 kursi), NU (45 kursi), dan PKI (39 kursi), yang bersama-sama menduduki 77% dari jumlah
kursi dalam DPR. Dan total partai yang memperoleh kursi di DPR ada 27 partai dan 1
perorangan.
Tahun 1955, Indonesia kembali menggunakan UUD 1945 sebagai landasan konstitusional,
namun tetap menggunakan sistem pemerintahan parlementer hingga tahun 1959. Tahun 1959
hingga tahun 1965 sistem demokrasi Indonesia berubah menjadi demokrasi terpimpin dengan
sistem pemerintahan presidensial yang lebih diperkuat. Di tahun itu, Maklumat Pemerintah 3
November 1945 dicabut. Diadakan penyederhanaan partai sehingga hanya ada 10 partai yang
diakui yaitu PKI, PNI, NU, Partai Katolik, Partindo, Parkindo, Partai Murba, PSII Arujdi, IPKI,
dan Partai Islam Perti. Masyumi dan PSI dibubarkan pada tahun 1960. Tahun 1960 dibentuk
Front Nasional yang mewakili semua kekuatan politik. PKI masuk berdasarkan prinsip
Nasakom, ABRI masuk lewat IPKI.
Setelah bergantinya presiden Indonesia dari Soekarno ke Soeharto, Indonesia menjalani
zaman demokrasi pancasila dari tahun 1965-1998 dan tetap menggunakan UUD 1945. Pada
tahun 1966, PKI dan Partindo dibubarkan. Lalu pada 27 Juli 1967, pemerintah dan partai-partai
mencapai suatu kompromi dimana kedua belah pihak memberi konsesi untuk mengangkat 100
anggota parlemen dari jumlah total 460 orang untuk golongan ABRI (75) dan non ABRI (25)
dengan ketentuan bahwa golongan militer tidak akan menggunakan haknya untuk memilih dan
dipilih. Di tahun 1967-1969 ada eksperimen dwi-partai dan dwi-grup yang dilakukan di beberapa
kabupaten di Jawa Barat, namun dihentikan pada awal 1969. Tahun 1971 dilaksanakan
pemilihan umum dengan peserta 9 partai politik dan Golkar. Sehingga, ditotalkan ada 10 peserta.
Tahun 1973 penggabungan partai dilakukan dan menjadi hanya 3 partai yaitu Golkar, PDI, dan
PPP. Tiga partai ini bertahan hingga pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Tahun 1982,
Soeharto menata sistem kepartaian dengan konsep Pancasila sebagai satu-satunya asas. Dan pada
tahun 1984 NU kembali pada khittahnya yaitu menjadi  gerakan sosial keagamaan yang memberi
perhatian terhadap masyarakat kecil dan kemandirian pesantren. Dan di tahun 1996, PDI pecah.
Penyederhanaan partai pada masa orde baru ini mengakibatkan untuk pertama kali dalam sejarah
Indonesia telah menghasilkan suatu kekuatan politik yang bersifat mayoritas dalam suasana
politik yang semi-kompetitif
Miriam Budiardjo dalam bukunya ini bukan sekedar menganalisis apa yang terjadi pada
partai politik di Indonesia dari tahun 1945-1998. Namun beliau juga memberikan evaluasi dan
rekomendasi yang secara garis besar berupa usulan-usulan penyederhanaan partai politik dalam
rangka membangun sistem multi partai yang kuat dan demokratis. Penulis setuju dengan
rekomendasi Miriam Budiardjo karena untuk menciptakan stabilitas politik, dibutuhkan partai
yang mampu mencapai mayoritas (50%+1) agar pemerintah dalam pengambilan kebijakan bisa
lebih mudah. Lalu, penulis juga setuju dengan diberlakukannya electoral threshold dengan
catatan persentasenya masih dalam batas wajar dan diluar DPR, partai yang tidak mencapai
angka tersebut tetap bisa eksis. Kemudian penulis juga setuju dengan rekomendasi Miriam
Budiardjo terkait dengan penghapusan massa mengambang dalam zaman orde baru yang
dianggap tidak fair. Semua partai berhak memiliki struktur lebih rendah dari level kecamatan
agar masing-masing secara adil memiliki massa di akar rumput dan dapat bersaing secara sehat
untuk mendapatkan suara di pemilihan umum.
Pada tahun 1998, Indonesia mengalami reformasi dan landasan konstitusional Indonesia
menjadi UUD 1945 hasil amandemen. Di masa reformasi terjadi banyak perubahan terutama
dalam hal perwujudan demokrasi. Lengsernya Soeharto menjadi titik balik bagi partai-partai
kecil dan organisasi-organisasi lain untuk berkiprah di politik. Indonesia kembali pada sistem
multi partai dan pada Pemilu 1999, partai peserta mencapai 48 partai dengan 21 partai masuk
DPR. 21 partai yang masuk DPR adalah partai yang berhasil lolos persyaratan electoral
threshold. Pemilu 1999 dimenangi oleh PDIP. Kemudian di tahun 2004, peserta pemilu
berkurang menjadi 24 partai dengan 7 partai masuk DPR yaitu Partai Golkar, PDIP, PKB, PPP,
Partai Demokrat, PKS, dan PAN. Berkurangnya jumlah partai peserta pemilu ini disebabkan oleh
semakin ketatnya persyaratan yang diberlakukan yaitu melalui 2 tahap seleksi. Pertama, seleksi
yang dilakukan oleh Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia dan tahap kedua, seleksi
yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pemilu 2004 dimenangi oleh Partai
Golkar.
Penulis menilai tujuan reformasi masih harus kita kejar yang salah satunya dalam hal
kepartaian. Perbaikan pada sistem kepartaian di Indonesia sebaiknya terus dilakukan secara
bertahap. Terutama masalah kepercayaan masyarakat terhadap fungsi dari partai politik itu
sendiri. Biar bagaimanapun juga, partai politik merupakan pilar demokrasi yang harus terus kita
kawal. Turunnya kepercayaan masyarakat memang harus diakui karenakan kesalahan dari partai
politik itu sendiri. Banyak kasus yang menjerat kader-kader partai hingga memperburuk citra
partai yang bersangkutan. Namun seharusnya partisipasi politik kita sebagai masyarakat jangan
sampai berkurang karena dengan berpartisipasi, kita bisa secara aktif menyampaikan aspirasi dan
bersama-sama menggerakkan perubahan ke arah perbaikan.
Partai Politik Nasional di Indonesia saat ini (2019) adalah sebagai berikut :

1. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)*


2. Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)*
3. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)*
4. Partai Golongan Karya (Golkar)*
5. Partai Nasdem*
6. Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Garuda)
7. Partai Berkarya
8. Partai Keadilan Sejahtera (PKS)*
9. Partai Persatuan Indonesia (Perindo)
10. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)*
11. Partai Solidaritas Indonesia (PSI)
12. Partai Amanat Nasional (PAN)*
13. Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura)*
14. Partai Demokrat*
15. Partai Bulan Bintang (PBB) (no. urut 19)
16. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) (no. urut 20)

(Tanda * menandakan partai yang memiliki kursi di DPR hasil pemilu sebelumnya).
Partai Politik Lokal di Aceh ( no. urut 15-18) saat ini (2019) adalah sebagai berikut :

1. Partai Aceh (PA)


2. Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA)
3. Partai Daerah Aceh (PDA)
4. Partai Nanggroe Aceh (PNA)

 Kekurangan dan Kelebihan dari Kedua Buku


Secara umum, buku Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi karya tulisan Miriam
Budiardjo dan buku Rod Hague dan Martin Harrop, Comparative Government and Politics: An
Introduction 6th Edition sudah memberikan pemahaman yang baik tentang definisi, fungsi, dan
klasifikasi partai politik. Masing-masing buku memiliki kelebihan dan kekurangan yakni Miriam
Budiardjo dalam bukunya tersebut tidak hanya menjelaskan partai politik secara umum, namun
juga mampu menjelaskan secara spesifik tentang peran partai politik dalam suatu negara yaitu
Indonesia. Buku Dasar-Dasar Ilmu Politik juga unggul dari segi kebahasaan. Buku ini lebih
mudah dipahami karena menggunakan bahasa yang komunikatif dan penggunaan kata yang
memang sudah dikenal oleh masyarakat luas. Namun, Miriam Budiardjo tidak membahas
mengenai keanggotaan dan keuangan partai. Sedangkan, Rod Hague dan Martin Harrop dalam
bukunya tersebut memasukkan penjelasan mengenai hal tersebut. Rod Hague dan Martin Harrop
juga memasukkan penjelasan mengenai pemilihan kandidat dan pemimpin secara spesifik. Selain
itu, buku Comparative Government and Politics: An Introduction 6 th Edition juga memudahkan
pembaca dengan menyajikan tabel konsep di setiap pembahasan sub-bab. Secara keseluruhan,
penulis sangat merekomendasikan kedua buku ini sebagai rujukan dalam pembahasan partai
politik karena kualitas dan validitas data yang buku ini paparkan telah teruji.

Anda mungkin juga menyukai