Anda di halaman 1dari 6

Pergelaran Kampanye Pilkada Yang

Menimbulkan Kerumunan

Nama :

 Argo Wahyu Ilahi 220.02.09444


 Aulia Khadizah 220.02.09467
 Indah Permatasari 220.02.09498
 Ibnu Fadilah 220.02.09400
 Muhammad Aulia Rahman 220.02.09421
 Pristiarto Rahardian 220.02.09571

Buruknya peforma Pemerintah dalam penanganan Covid-19, berimbas


pada banyak hal, termasuk pagelaran Pilkada Serentak 2020, sebagai pesta politik
terpenting tahun ini. Publik cemas, terutama melihat banyaknya pelanggaran
protokol kesehatan yang dilakukan paslon pada tahapan pendaftaran calon dengan
arak-arakan kerumunan masssa, yang menjadi mangsa empuk bagi virus ini.
Ditambah lagi, tiga komisioner KPU dan lebih dari 60 orang bapaslon
terkonfirmasi positif Covid-19.

Parahnya, pada PKPU 10/2020 Pasal 63 ayat (1) masih memperbolehkan


kampanye dalam bentuk konser musik hingga gerak jalan, yang jelas
menimbulkan kerumunan. Terbaru, KPU menerbitkan lagi perubahan atas
PKPU a quo, yakni PKPU 13/2020 yang lebih tegas mengatur protokol kesehatan
pilkada seperti pada Pasal 60 ayat (2), yang bahkan mengatur cara penggunaan
masker. Namun, pengaturan sanksi masih kurang tegas. Sanksi yang diatur pada
Pasal 88A dan 88B terkait pelanggaran protokol kesehatan misalnya, hanya
sebatas peringatan tertulis berkala hingga penundaan pengundian nomor urut,
yang jelas tidak menimbulkan efek jera.
Pasal 88C PKPU 13/2020, mungkin yang paling memiliki sense of
crisis di masa pandemi. Pasal a quo kemudian merevisi pengaturan Pasal 63 ayat
(1) PKPU 10/2020 seperti pembolehan terhadap konser musik, gerak jalan, dan
kegiatan berkerumun lainnya. Namun, dalam PKPU 13/2020 Pasal 88C,
sanksinya pun tidak tegas, hanya peringatan tertulis dan pembubaran paksa.
Selebihnya, hanya terdapat sanksi administratif. Bahkan sanksi diskualifikasi
pencalonan juga tidak terdapat dalam PKPU 13/2020 yang terbaru.

KPU tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Pasalnya, PKPU merupakan


amanat dari UU 10/2016 tentang Pilkada, yang telah direvisi oleh Perppu 2/2020.
Mengingat asas lex superiori derogat legi inferiori atau hukum yang tinggi
mengenyampingkan hukum yang rendah, PKPU 13/2020 tidak dapat menambah
norma baru selain yang diatur Perppu tersebut. Pasalnya, Perppu 2/2020 yang
merevisi UU 10/2016 tentang Pilkada, tidak menambah pengaturan terkait
ketentuan pidana, sehingga ketentuan pidana hanya terdapat pada UU 10/2016,
yang pastinya tidak kompatibel dalam menghadapi pandemi. Perppu a quo hanya
memberikan peluang penundaan pilkada pada Pasal 120 ayat (1). Pasal ini
menambah nomenklatur “bencana non-alam” sebagai salah satu faktor penundaan
pilkada, sehingga pandemi Covid-19 dapat dimasukkan menjadi faktor.

Di sisi lain, PKPU juga dilarang memuat ketentuan pidana. Pasal 15 UU


12/2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan, jelas menyatakan yang boleh
memuat ketentuan pidana hanyalah undang-undang dan peraturan daerah. Hal ini
bermuara pada ketidak tegasan sanksi bagi pelanggaran protokol kesehatan pada
pilkada,  hanya sebatas diganjar sanksi administratif.

Berdasarkan ketentuan Pasal 122A ayat (2), KPU, Pemerintah, dan DPR,
secara bersama-sama memutuskan adanya penundaan pilkada. Namun, walaupun
banyak pelanggaran protokol kesehatan dan munculnya kluster Covid-19 pada
Pilkada 2020, ketiga lembaga negara itu memutuskan untuk tetap melanjutkan
Pilkada. Padahal, pandemi Covid-19 sangat berpotensi membentuk klaster baru
pada Pilkada 2020 ini. Selain itu, kerangka hukum yang belum jelas dan berubah-
ubah, dapat menjadi boomerang bagi para penyelenggara pilkada.

Solusi paling rasional, Presiden dapat menerbitkan Perppu. Dalam sistem


presidensial yang dianut Indonesia, Presiden diberikan hak istimewa untuk
membuat kebijakan tertentu, tanpa perlu persetujuan pihak manapun. Inilah
gambaran hak prerogatif yang diberikan pada presiden dalam menentukan
kebijakan pada beberapa bidang. Salah satunya, bidang perundang-undangan.
Presiden berwenang untuk membentuk Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan
undang-undang dan membentuk Perppu yang dapat merevisi dan mencabut
undang-undang.

Namun, pembentukan Perppu tidak semabarangan. Pasal 22 ayat (1) UUD


1945, menyatakan bahwa Perppu dibentuk bila terdapat kondisi hal ihwal
kegentingan memaksa. Pada Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009, MK
memberikan restriksi dalam menentukan kondisi tersebut, semisal terdapat
kebutuhan mendesak dan dibutuhkan undang-undang, terdapat kekosongan
hukum atau undang-undang sudah ada namun tidak memadai, dan kekosongan
hukum tersebut tidak dapat menunggu lama sampai adanya perubahan undang-
undnag terkait. Namun, kuasa penetapan keadaan genting tersebut, hanya pada
Presiden.

Perppu yang setingkat dengan undang-undang, juga memiliki materi


muatan yang sama. Beberapa materinya meliputi amanat UUD 1945 dan Tap
MPR, pengaturan tentang hak asasi dan kewajiban warga negara, pembagian
kekuasaan negara, organisasi pokok lembaga negara, pembagian wilayah/daerah,
hak atas kewarganegaraan, dan yang dinyatakan oleh suatu undang-undang untuk
diatur dengan undang-undang lainnya. Namun, menurut Bagir Manan (1997),
terdapat pembatasan materi Perppu seperti tidak mengatur soal kelembagaan
negara, dan harus berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan. Oleh
karenanya, Perppu Pilkada yang lebih komprehensif, sangat mungkin diterbitkan
segera.
Melihat kerangka hukum yang berubah-ubah, tidak tegas, dan cenderung
abai pada kesehatan masyarakat, Presiden perlu menyatakan penundaan Pilkada
2020. Namun, penundaan saja tidak cukup. Pilkada 2020 harus tetap
diselenggarakan, karena rakyat juga membutuhkan pilkada, sebagai sarana
menilai petahana, apakah lanjut atau berhenti, serta sirkulasi elit.

Oleh karenanya, penundaan diperlukan untuk menyusun legal


framework penanganan Covid-19 pada Pilkada 2020, agar lebih komprehensif dan
tegas. Kerangka hukum yang diperlukan terutama untuk mencegah kerumunan
orang, yang amat sulit dihindari pada pesta politik lima tahunan ini. Artinya perlu
sanksi-sanksi yang lebih tegas daripada sekedar sanksi administratif.

Oleh karena itu, Perppu yang baru amat genting untuk diterbitkan. Perppu
yang dapat mengandung materi seperti halnya undang-undang, dapat mengatur
ketentuan pidana, terutama sebagai sanksi pelanggar protokol kesehatan (prokes).
Sanksi pidana atau paling tidak sanksi diskualifikasi bagi pelanggar prokes pada
tingkatan tertentu, dapat membuat jera para pelanggar. Hal ini, akan melengkapi
kekurangan PKPU, yang tidak dapat mengandung ketentuan pidana atau norma
yang tidak diatur dalam undang-undang diatasnya.

Selain itu, problem teknis seperti metode kampanye, balloting, hingga


penghitungan suara, yang seringkali menimbulkan kerumunan massa, juga dapat
diselesaikan. Ini yang menjadi tugas Perppu, lantaran UU 10/2016 yang tidak
kompatibel dengan situasi pandemi, menentukan dengan rigid pengaturan-
pengaturan seperti kampanye, balloting, hingga penghitungan suara. Hal ini tentu
berimplikasi pada PKPU 13/2020 yang bertugas mengatur prokes masa pandemi,
sehingga tidak bisa berbuat banyak, lantaran materinya tidak boleh memuat norma
baru, selain UU 10/2016.

Ketentuan sanksi serta pengaturan teknis penyelenggaraan Pilkada 2020,


menjadi penting untuk diperbaharui agar kompatibel dengan situasi genting yang
kita alami saat ini. Oleh karenanya, para pihak yang berwenang, perlu untuk
menunda pagelaran Pilkada 2020, sembari mempersiapkan kerangka hukum yang
tepat dalam menghadapi pilkada di tengah pagebluk ini. Semoga, Presiden, DPR,
dan KPU, masih ingat dengan adagium yang diujarkan Cicero, “salus populi
suprema lex esto”, bahwa hukum tertinggi adalah keselamatan rakyat.

Menanggapi hal tersebut, KPU Republik Indonesia langsung memberikan


respon cepat. Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI merevisi aturan sebelumnya
dan melarang konser musik dan kegiatan lainnya yang melibatkan massa
berkumpul atau berkerumun pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak
2020. Pelarangan tersebut tercantum dalam hasil revisi aturan mengenai
pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak lanjutan dalam kondisi bencana
non-alam COVID-19, yakni pada Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2020.
Ketentuan pasal 88C PKPU Nomor 13 Tahun 2020, partai politik atau gabungan
partai politik, pasangan calon, tim kampanye, dan atau pihak lain dilarang
melaksanakan kegiatan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf g.

Kegiatan yang diatur dalam pasal 57 huruf g tersebut yakni rapat umum,
kegiatan kebudayaan berupa pentas seni, panen raya, dan atau konser musik,
kegiatan olahraga berupa gerak jalan santai dan atau sepeda santai. Kemudian,
kegiatan perlombaan, kegiatan sosial berupa bazaar dan atau donor darah, dan
atau peringatan hari ulang tahun partai politik. Aturan itu juga menyiapkan sanksi
bagi partai politik atau gabungan partai politik, pasangan calon, tim kampanye,
dan atau pihak lain yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1
pasal 88C. Sanksinya, berupa peringatan tertulis oleh Bawaslu provinsi atau
Bawaslu kabupaten dan kota pada saat terjadinya pelanggaran.

Selanjutnya, penghentian dan pembubaran kegiatan kampanye di tempat


terjadinya pelanggaran oleh Bawaslu apabila tidak melaksanakan peringatan
tertulis tersebut. Pada pasal selanjutnya, mengatur sanksi bagi pasangan calon,
partai politik atau gabungan partai politik pengusul, penghubung pasangan calon,
tim kampanye, dan atau pihak lain yang melanggar protokol kesehatan
pencegahan dan pengendalian COVID-19. Sanksinya berupa peringatan tertulis
oleh Bawaslu provinsi atau kabupaten dan kota pada saat terjadinya pelanggaran.
Selanjutnya, penghentian dan pembubaran kegiatan kampanye di tempat
terjadinya pelanggaran apabila tidak melaksanakan peringatan tertulis tersebut
dalam waktu 1 jam sejak diterbitkan. Sanksi selanjutnya larangan melakukan
metode kampanye yang dilanggar selama 3 hari berdasarkan rekomendasi
Bawaslu provinsi atau kabupaten dan kota.

Anda mungkin juga menyukai