Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA PASIEN DENGAN BATU URETER


DI RUANG OK
RSUD DR. H. MOCH. ANSARI SALEH BANJARMASIN

NAMA : AMELLIA ZAHRATUNISA


NIM : P07120119007

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN BANJARMASIN

JURUSAN D III KEPERAWATAN

2021
LEMBAR PENGESAHAN

NAMA : AMELLIA ZAHRATUNISA

NIM : P07120119007

JUDUL : LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN


BATU URETER DI RUANG OK RSUD DR. H. MOCH. ANSARI SALEH
BANJARMASIN

Mengetahui,

PEMBIMBING KLINIK PEMBIMBING AKADEMIK


BAB 1
LAPORAN PENDAHULUAN

1.1 DEFINISI
Ureterolithiasis adalah kalkulus atau batu di dalam ureter (Sue Hinchliff,
2005 Hal 451). Batu ureter pada umumnya berasal dari batu ginjal yang
turun ke ureter. Batu ureter mungkin dapat lewat sampai ke kandung kemih
dan kemudian keluar bersama kemih. Batu ureter juga bisa sampai ke
kandung kemih dan kemudian berupa nidus menjadi batu kandung yang
besar. Batu juga tetap bisa tinggal di ureter sambil menyumbat dan
menyebabkan obstruksi kronik dengan hidroureter yang mungkin
asimtomatik. Tidak jarang hematuria yang didahului oleh serangan kolik (R.
Sjamsuhidajat, 2005)

1.2 ANATOMI FISIOLOGI


Ureter adalah suatu saluran muskuler berbentuk silinder yang
menghantarkan urin dari ginjal menuju kandung kemih. Panjang ureter
adalah sekitar 20-30 cm dengan diameter maksimum sekitar 1,7 cm di dekat
kandung kemih dan berjalan dari hilus ginjal menuju kandung kemih. Ureter
dibagi menjadi pars abdominalis, pelvis, dan intravesikalis. Dindingnya
terdiri atas mukosa yang dilapisi oleh sel-sel transisional, otot-otot polos
sirkuler dan longitudinal yang dapat melakukan gerakan peristaltik
(berkontraksi) guna mengeluarkan urine ke buli-buli. Secara anatomis
terdapat beberapa tempat yang ukuran diameternya relative lebih sempit
daripada di tempat lain Sehingga  batu atau benda-benda lain yang berasal
dari ginjal seringkali tersangkut. Tempat-tempat  penyempitan itu antara
lain adalah :
a. Pada perbatasan antara pelvis renalis dan ureter atau pelvi-ureter
junction
b. Tempat ureter menyilang arteri iliaka di rongga pelvis
c. Pada saat ureter masuk ke buli-buli
Sistem perdarahan ureter bersifat segmental dan berasal dari pembuluh
arteri ginjal, gonad, dan buli-buli dengan hubungan kolateral kaya
sehingaa umumnya perdarahan tidak terancam pada tindak bedah ureter.
Persyarafan ureter bersifat otonom .

1.3 ETIOLOGI
Berikut ini beberapa teori pembentukan batu ginjal:
a. Teori Pembentukan Inti Teori ini mengatakan bahwa pemebentukan batu
berasal dari kristal atau  benda asing yang berada dalam urin yang pekat.
Teori ini ditentang oleh beberapa argumen, dimana dikatakan bahwa batu
tidak selalu terbentuk pada pasien dengan hipereksresi atau mereka
dengan resiko dehidrasi. Teori inti matrik dimana  pembentukan batu
saluran kemih membutuhkan adanya substansi organik terutama muko
protein A mukopolisakarida yang akan mempermudah kristalisasi dan
agregasi substansi pembentuk batu.
b. Teori Supersaturasi Peningkatan dan kejenuhan substansi pembentukan
batu dalam urin seperti sistin, xastin, asam urat, kalsium oksalat
mempermudah terbentuknya batu. Kejenuhan ini juga sangat dipengaruhi
oelh pH dan kekuatan ion.
c. Teori Presipitasi-kristalisasi Perubahan pH urin akan mempengaruhi
solubilitas susbstansi dalam urin. Di dalam urin yang asam akan
mengendap sistin, zastin, asam urat, sedangkan didalam urin yang basa
akan mengendap garam-garam fosfat.
d. Teori Berkurangnya Faktor Penghambat Tidak adanya atau berkurangnya
substansi penghambat pembentukan batu seperti fosfopeptida, pirofosfat,
polifosfat, asam mukopolisakarida dalam urin akan mempermudah
pembentukan batu urin. Akan tetapi teori ini tidaklah benar secara
absolut, karena banyak orang yang kekurangan zat penghambat tak
pernah menderita  batu, dan sebaliknya mereka yang memiliki faktor
penghambat malah membentuk  batu.
e. Teori Lain Berkurangnya volume urin. Dimana kekurangan cairan akan
menyebabkan  peningkatan konsentrasi zat terlarut (misal kalsium,
natrium, oksalat dan protein) yang mana ini dapat menimbulkan
pembentukan kristal urin.

Selain itu juga terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan batu
ureter, yaitu:
a. Genetik Anggota keluarga penderita batu urin lebih banyak kemungkinan
menderita  penyakit yang sama dibanding dengan keluarga bukan
penderita batu urin. Lebih kurang 30% sampai 40% penderita batu kalsium
oksalat mempunyai riwayat famili yang positif menderita batu.
b. Jenis Kelamin Pria lebih banyak menderita batu saluran kemih dibanding
wanita (3-4:1). Disebabkan oleh anatomis saluran kemih pada laki-laki
lebih panjang dibandingkan  perempuan, secara alamiah didalam air kemih
laki-laki kadar kalsium lebih tinggi dibanding perempuan. Dan pada air
kemih perempuan kadar sitrat (inhibitor) lebih tinggi, laki-laki memiliki
hormon testosteron yang dapat meningkatkan produksi oksalat endogen di
hati, serta adanya hormon estrogen pada perempuan mampu mencegah
agregasi garam kalsium.
c. Pekerjaan Kejadian batu kemih lebih banyak terjadi pada orang-orang
yang banyak duduk dalam melakukan pekerjaannya.
d. Air Banyak minum air meningkatkan diuresis sehingga mencegah
pembentukan batu. Kurang minum dapat mengurangi diuresis, kadar
substansi dalam urin meningkat, mempermudah pembentukan batu.
e. Diet Konsumsi makanan tinggi protein yang akan meningkatkan resiko
terjadinya  batu. Konsumsi makanan tinggi protein yang berlebihan dan
garam atau antasida yang mengandung kalsium, produk susu, makananan
yang mengandung oksalat (misalnya teh, kopi instan, coklat, kacang-
kacang, bayam), vitamin C, atau vitamin D akan meningkatkan
pembentukan batu kalsium. Pemakaian vitamin D akan meningkatkan
absobsi kalsium diusus dan tubulus ginjal sehingga dapat menyebabkan
hiperkalsemia dan penumpukan kalsium di ginjal dan untuk konsumsi
vitamin D ini harus digunakan dengan perawatan. Makan makanan dan
minuman yang mengandung purin yang berlebihan (kerangkerangan,
anggur) akan menyebabkan pembentukan batu asam urat Makanan
makanan yang banyak mengandung serat dan protein nabati mengurangi
resiko batu urin, sebaliknya makanan yang mengandung lemak dan protein
hewani akan meningkatkan resiko  batu urin.
f. Infeksi Hampir terbentuknya batu jenis struvit didahului oleh infeksi
saluran kemih yang disebabkan oleh bakteri pemecah urea, namun jenis
batu lain tidak jelas apakah batu sebagai penyebab infeksi atau infeksi
sebagai penyebab batu.
g. Obat-obatan Penggunaan obat anti hipertensi (Dyazide) berhubungan
dengan peningkatan frekuensi batu urin, begitu juga penggunaan antasida
yang mengandung silica  berhubungan dengan perkembangan batu silica.
 
1.4 TANDA GEJALA
Gejala klinis yang dirasakan yaitu:
a. Nyeri Batu yang berada di ureter dapat menyebabkan nyeri yang luar
biasa, akut dan kolik. Nyeri ini dapat menjalar hingga ke perut bagian
depan, perut sebelah bawah, daerah inguinal, dan sampai ke kemaluan.
Penderita sering ingin merasa berkemih, namun hanya sedikit urine yang
keluar, dan biasanya air kemih disertai dengan darah, maka penderita
tersebut mengalami kolik ureter
b. Hematuri Penderita sering mengeluh hematuria atau urin berwarna seperti
teh. Namun lebih kurang 10-15% penderita batu saluran kemih tidak
menderita hematuria.
c. Infeksi Biasanya dengan gejala-gejala menggigil, demam, nyeri pinggang,
nausea serta muntah dan disuria. Secara umum infeksi pada batu struvit
(batu infeksi)  berhubungan dengan infeksi dari Proteus sp, Pseudomonas
sp, Klebsiella sp, dan  jarang dengan E.colli.
d. Demam Hubungan batu urin dengan demam adalah merupakan
kedaruratan medik relatif. Tanda-tanda klinik sepsis adalah bervariasi
termasuk demam, takikardi, hipotensi dan vasodilatasi perifer. Demam
akibat obstruksi saluran kemih memerlukan dekompresi segera.
e. Mual dan Muntah Obstruksi saluran kemih bagian atas (ginjal dan ureter)
seringkali menyebabkan mual dan muntah

1.5 KLASIFIKASI
Berikut ini beberapa klasifikasi batu saluran kemih:
a. Batu Kalsium Kalsium adalah jenis batu yang paling banyak
menyebabkan BSK yaitu sekitar 70%-80% dari seluruh kasus BSK. Batu
ini kadang-kadang di jumpai dalam bentuk murni atau juga bisa dalam
bentuk campuran, misalnya dengan batu kalsium oksalat,  batu kalsium
fosfat atau campuran dari kedua unsur tersebut. Terbentuknya batu
tersebut diperkirakan terkait dengan kadar kalsium yang tinggi di dalam
urine atau darah dan akibat dari dehidrasi. Batu kalsium terdiri dari dua
tipe yang berbeda, yaitu:
1) Whewellite (monohidrat) yaitu , batu berbentuk padat, warna cokat/
hitam dengan konsentrasi asam oksalat yang tinggi pada air kemih.
2) Kombinasi kalsium dan magnesium menjadi weddllite (dehidrat) yaitu
batu  berwarna kuning, mudah hancur daripada whewellite
b. Batu Asam Urat Lebih kurang 5-10% penderita BSK dengan komposisi
asam urat. Pasien  biasanya berusia > 60 tahun. Batu asam urat dibentuk
hanya oleh asam urat. Kegemukan, peminum alkohol, dan diet tinggi
protein mempunyai peluang lebih  besar menderita penyakit BSK, karena
keadaan tersebut dapat meningkatkan ekskresi asam urat sehingga pH air
kemih menjadi rendah. Ukuran batu asam urat bervariasi mulai dari
ukuran kecil sampai ukuran besar sehingga membentuk staghorn (tanduk
rusa). Batu asam urat ini adalah tipe batu yang dapat dipecah dengan
obat-obatan. Sebanyak 90% akan berhasil dengan terapi kemolisis.
c. Batu Struvit Batu struvit disebut juga batu infeksi, karena terbentuknya
batu ini disebabkan oleh adanya infeksi saluran kemih. Kuman penyebab
infeksi ini adalah golongan kuman pemecah urea atau urea splitter yang
dapat menghasilkan enzim urease dan merubah urine menjadi bersuasana
basa melalui hidrolisis urea menjadi amoniak. Kuman yang termasuk
pemecah urea di antaranya adalah : Proteus spp, Klebsiella, Serratia,
Enterobakter, Pseudomonas, dan Staphiloccocus. Ditemukan sekitar 15-
20% pada penderita BSK. Batu struvit lebih sering terjadi pada wanita
daripada laki-laki. Infeksi saluran kemih terjadi karena tingginya
konsentrasi ammonium dan pH air kemih >7. Pada  batu struvit volume
air kemih yang banyak sangat penting untuk membilas bakteri dan
menurunkan supersaturasi dari fosfat.
d. Batu Sistin Batu Sistin terjadi pada saat kehamilan, disebabkan karena
gangguan ginjal. Merupakan batu yang paling jarang dijumpai dengan
frekuensi kejadian 1-2%. Reabsorbsi asam amino, sistin, arginin, lysin
dan ornithine berkurang, pembentukan  batu terjadi saat bayi. Disebabkan
faktor keturunan dan pH urine yang asam. Selain karena urine yang
sangat jenuh, pembentukan batu dapat juga terjadi pada individu yang
memiliki riwayat batu sebelumnya atau pada individu yang statis karena
imobilitas. Memerlukan pengobatan seumur hidup, diet mungkin
menyebabkan  pembentukan batu, pengenceran air kemih yang rendah
dan asupan protein hewani yang tinggi menaikkan ekskresi sistin dalam
air kemih.

1.6 PATOFISIOLOGI
Komposisi batu saluran kemih yang dapat ditemukan adalah dari jenis urat,
asam urat, oksalat, fosfat, sistin, dan xantin. Batu oksalat kalsium
kebanyakan merupakan batu idiopatik. Batu campuran oksalat kalsium dan
fosfat biasanya juga idiopatik; di antaranya  berkaitan dengan sindrom alkali
atau kelebihan vitamin D. Batu fosfat dan kalsium (hidroksiapatit) kadang
disebabkan hiperkalsiuria (tanpa hiperkalsemia). Batu fosfat amonium
magnesium didapatkan pada infeksi kronik yang disebabkan bakteria yang
menghasilkan urease sehingga urin menjadi alkali karena pemecahan ureum.
Batu asam urin disebabkan hiperuremia pada artritis urika. Batu urat pada
anak terbentuk karena pH urin rendah (R. Sjamsuhidajat, 1998 Hal. 1027).
Pada kebanyakan penderita batu kemih tidak ditemukan penyebab yang
jelas. Faktor predisposisi berupa stasis, infeksi, dan  benda asing. Infeksi,
stasis, dan litiasis merupakan faktor yang saling memperkuat sehingga
terbentuk lingkaran setan atau sirkulus visiosus. Jaringan abnormal atau
mati seperti pada nekrosis papila di ginjal dan benda asing mudah menjadi
nidus dan inti batu. Demikian pula telor sistosoma kadang berupa nidus batu
(R. Sjamsuhidajat, 1998 Hal. 1027). Pathway terampir

1.7 PENATALAKSANAAN
a. Medikamentosa Ditujukan untuk batu yang ukurannya < 5 mm, karena
batu diharapkan dapat keluar spontan. Terapi yang diberikan bertujuan
mengurangi nyeri, memperlancar aliran urine dengan pemberian
diuretikum, dan minum banyak supaya dapat mendorong batu keluar.
b. ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsi) Alat ESWL adalah
pemecah batu yang diperkenalkan pertama kali oleh Caussy pada tahun
1980. Alat ini dapat memecah batu ginjal, batu ureter proksimal, atau
batu buli-buli tanpa melalui tindakan invasif atau pembiusan. Batu
dipecah menjadi fragmen-fragmen kecil dengan menggunakan
gelombang kejut sehingga mudah dikeluarkan melalui saluran kemih.
Terdapat 3 teknik yang digunakan untuk membangkitkan gelombang
kejut, yaitu elektrohidrolik, pizoelektrik dan energi elektromagnetik.
 
1) Energi elektrohidrolik. Teknik ini paling sering digunakan untuk
membangkitkan gelombang kejut. Pengisian arus listrik voltase tinggi
terjadi melintasi sebuah elektroda spark-gap yang terletak dalam kontainer
berisi air. Pengisian ini menghasilkan gelembung uap, yang membesar dan
kemudian pecah, membangkitkan gelombang energi bertekanan tinggi.
2) Energi pizoelektrik. Pada teknik ini, ratusan sampai ribuan keramik atau
kristal  pizo dirangsang dengan denyut listrik energi tinggi. Ini
menyebabkan vibrasi atau  perpindahan cepat dari kristal sehingga
menghasilkan gelombang kejut.
3) Energi elektromagnetik. Aliran listrik di alirkan ke koil elektromagnet
pada silinder berisi air. Lapangan magnetik menyebabkan membran
metalik di dekatnya bergetar sehingga menyebabkan pergerakan cepat dari
membran yang menghasilkan gelombang kejut.
Indikasi:
- Ukuran batu antara 1-3 cm atau 5-10 mm dengan gejala yang
mengganggu
- Lokasi batu di ginjal atau ureter
- Tidak adanya obstruksi ginjal distal dari batu
- Kondisi kesehatan pasien memenuhi syarat
Kontraindikasi Absolut: Kontraindikasinya adalah infeksi saluran kemih
akut, gangguan perdarahan yang tidak terkoreksi, kehamilan, sepsis serta
obstruksi batu distal. Kontraindikasi Relatif:
- Status mental : Meliputi kemampuan untuk kerja sama dan mengerti
prosedur
- Berat badan : >150 kg tidak memungkinkan gelombang kejut
mencapai  batu, karena jarak antara F1 dan F2 melebihi spesifikasi
lothotriptor. Pada  penderita seperti ini sebaiknya dilakukan simulasi
lithotriptor terlebih dahulu
- Penderita dengan deformitas spinal atau orthopedik, ginjal ektopik dan
atau malformasi ginjal (meliputi ginjal tapal kuda) mungkin
mengalami kesulitan dalam pengaturan posisi yanng sesuai untuk
ESWL. Selain itu, abnormalitas drainase intrarenal dapat menghambat
pengeluaran fragmen yang dihasilkan oleh eSwl
- Masalah paru dan jantung yang sudah ada sebelumnya dan dapat
diatasi dengan anastesi
- Pasien dengan pacemaker (alat pacu jantung) aman diterapi dengan
ESWL, tetapi dengan perhatian dan pertimbangan khusus.
- Pasien dengan riwayat hipertensi, karena telah ditemukan peningkatan
insidens hematom perirenal pasca terapi.
- Pasien dengan gangguan gastrointestinal, karena dapat mengalami
eksaserbasi  pasca terapi walaupun jarang terjadi
Persiapan sebelum ESWL:
- harus melalui serangkaian pemeriksaan laboratorium baik darah
maupun urin untuk melihat fungsi ginjal, jenis batu, dan kesiapan
fisik pasien
- Pemeriksaan yang paling penting adalah rontgen atau USG untuk
menentukan lokasi batu dan kemungkinan jenisnya.
- meminum antibiotik untuk mencegah infeksi dan puasa minimal 4
jam sebelumnya.
- hidrasi yang baik untuk memperlancar keluarnya batu yaitu
minimal 2 liter air sehari.
c. Endourologi Tindakan Endourologi adalah tindakan invasif minimal
untuk mengeluarkan  batu saluran kemih yang terdiri atas memecah batu,
dan kemudian mengeluarkannya dari saluran kemih melalui alat yang
dimasukkan langsung ke dalam saluran kemih. Alat itu dimasukkan
melalui uretra atau melalui insisi kecil pada kulit (perkutan). Proses
pemecahan batu dapat dilakukan secara mekanik, dengan memakai
energi hidraulik, energi gelombang suara, atau dengan energi laser.
Beberapa tindakan endourologi antara lain:
1) PNL (Percutaneous Nephro Litholapaxy) : mengeluarkan batu yang
berada di saluran ginjal dengan cara memasukkan alat endoskopi ke
sistem kaliks melalui insisi kulit. Batu kemudian dikeluarkan atau
dipecah terlebih dahulu.
2) Litotripsi : memecah batu buli-buli atau batu uretra dengan
memasukkan alat  pemecah batu (litotriptor) ke dalam buli-buli.
Pecahan batu dikeluarkan dengan evakuator Ellik.
3) Ureteroskopi atau uretero-renoskopi : memasukkan alat ureteroskopi
per uretram guna melihat keadaan ureter atau sistem pielokaliks
ginjal. Dengan memakai energi tertentu, batu yang berada di dalam
ureter maupun sistem pelvikalises dapat dipecah melalui tuntunan
ureteroskopi atau uretero-renoskopi ini.
4) Ekstraksi Dormia : mengeluarkan batu ureter dengan menjaringnya
dengan keranjang Dormia.
 
d. Bedah Laparoskopi Pembedahan laparoskopi untuk mengambil batu
saluran kemih saat ini sedang  berkembang. Cara ini banyak dipakai
untuk mengambil batu ureter.
 
1.8 KOMPLIKASI
a. Obstruksi urine dapat terjadi di sebelah hulu dari batu dibagian mana saja
di saluran kemih. Obstruksi diatas kandung kemih dapat menyebabkan
hidroureter, yaitu ureter membengkak oleh urine. Hidoureter yang tidak
diatasi, atau obstruksi  pada atau atas tempat ureter keluar dari ginjal
dapat menyebabkan hidronefrosis yaitu pembengkakan pelvis ginjal dan
sistem duktus pengumpul. Hidronefrosis dapat menyebabkan ginjal tidak
dapat memekatkan urine sehingga terjadi ketidakseimbangan elektrolit
dan cairan.
b. Obstruksi menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatistik intersium dan
dapat menyebabkan penurunan GFR. Obstruksi yang tidak diatasi dapat
menyebabkan kolapsnya nefron dan kapiler sehingga terjadi iskemia
nefron karena suplai darah terganggu. Akhirnya dapat terjadi gagal ginjal
jika kedua ginjal terserang.
c. Komplikasi batu saluran kemih biasanya obstruksi, infeksi sekunder, dan
iritasi yang berkepanjangan pada urothelium yang dapat menyebabkan
tumbuhnya keganasan yang sering berupa karsinoma epidermoid.
d. Sebagai akibat obstruksi, khususnya di ginjal atau ureter, dapat terjadi
hidronefrosis dan kemudian berlanjut dengan atau tanpa pionefrosis yang
berakhir dengan kegagalan faal ginjal yang terkena. Bila terjadi pada
kedua ginjal, akan timbul uremia karena gagal ginjal total. Hal yang sama
dapat juga terjadi akibat  batu kandung kemih, lebih-lebih bila batu
tersebut membesar sehingga juga mengganggu aliran kemih dari kedua
orifisium ureter. Khusus pada batu uretra, dapat terjadi diverticulum
uretra. Bila obstruksi berlangsung lama, dapat terjadi ekstravasasi kemih
dan terbentuklah fistula yang terletak proksimal dari batu ureter (Corwin,
2009).
BAB 2
ASUHAN KEPERAWATAN

2.1 PENGKAJIAN
Pengkajian keperawatan pada ureterolithiasis tergantung pada ukuran,
lokasi, dan etiologi kalkulus (Doenges, 1999 Hal 672). a.
a. Aktivitas / istirahat
Gejala : pekerjaan monoton, pekerjaan di mana klien terpajan pada
lingkungan bersuhu tinggi, keterbatasan aktivitas / mobilitas sehubungan
kondisi sebelumnya.  
b. Sirkulasi
Tanda : peningkatan TD / nadi, (nyeri, obstruksi oleh kalkulus) kulit
hangat dan kemerahan, pucat.
c. Eliminasi
Gejala : riwayat adanya ISK kronis, penurunan haluaran urine, distensi
vesica urinaria, rasa terbakar, dorongan berkemih, diare.
Tanda : oliguria, hematuria, piuruia, perubahan pola berkemih
d. Makanan / cairan
Gejala : mual / muntah, nyeri tekan abdomen, diet tinggi purin, kalsium
oksalat / fosfat, ketidakcukupan intake cairan
Tanda : Distensi abdominal, penurunan / tidak ada bising usus , muntah
e. Nyeri / kenyamanan
Gejala : episode akut nyeri berat, lokasi tergantung pada lokasi batu, nyeri
dapat digambarkan sebagai akut, hebat, tidak hilang dengan perubahan
posisi atau tindakan lain
Tanda : melindungi, prilaku distraksi, nyeri tekan pada area abdomen
f. Keamanan
Gejala : pengguna alkohol, demam, menggigil
g. Penyuluhan dan Pembelajaran
Gejala : riwayat kalkulus dalam keluarga, penyakit ginjal, ISK,
paratiroidisme, hipertensi,  pengguna antibiotik, antihipertensi, natrium
bikarbonat, allopurinol, fosfat, tiazid,  pemasukan berlebihan kalsium dan
vitamin h.
h. Pemeriksaan diagnostik Urinalisis, urine 24 jam, kultur urine, survey
biokimia, foto Rontgen, IVP, sistoureteroskopi, scan CT, USG

2.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN


a. Nyeri akut
b. Gangguan Eliminasi Urin
c. Defisit pengetahuan
d. Ansietas

2.3 INTERVENSI
No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1 Nyeri Akut Tujuan: Setelah 1. Catat lokasi,
dilakukan tindakan karakteristik, durasi,
keperawatan selama frekuensi, kualitas,
1x24 jam skala nyeri skala nyeri (0-10),
pasien menurun penyebaran dan
Kriteria Hasil: faktor presipitasi.
 Nadi 60-100x/menit, Perhatikan tanda non
RR 16-20 x/menit verbal, contoh
 skala nyeri 1-3 peninggian TD dan
 pasien tampak rileks nadi, gelisah,

 keluhan pasien merintih

tentang nyeri 2. Jelaskan penyebab

menurun nyeri dan pentingnya


melaporkan ke staf
terhadap perubahan
karakteristik nyeri
3. Bantu atau dorong
penggunaan napas
berfokus, bimbingan
imajinasi, dan
aktivitas terapeutik
4. Tingkatkan istirahat
5. Kolaborasi: -berikan
obat sesuai indikasi:
Narkotik, contoh
meperidin
(Demerol), morfin
Antispasmodik,
contoh flavoksat
(Uripas); oksibutin
(Ditropan)
Kortikosteroid
2 Gangguan Eliminasi Tujuan: Setelah 1. Awasi pemasukan
Urin dilakukan tindakan dan pengeluaran
keperawatan selama serta karakteristik
1x24 jam skala nyeri urin
pasien menurun 2. Dorong
Criteria hasil: meningkatkan
 Tidak mengalami pemasukan cairan
tanda obstruksi 3. Periksa semua urin.
 Jumlah dan Catat adanya
konsistensi urin keluaran batu dan
normal kirim ke
 Tidak ada laboratorium untuk
peningkatan kalsium dianalisa
pada urin 4. Selidiki kandung
kemih penuh:
palpasi untuk
distensi suprapubik.
Perhatikan
penurunan keluaran
urin, adanya edema
periorbital/tergantun
g
5. Observasi
perubahan status
mental,  perilaku
atau tingkat
kesadaran
6. Kolaborasi:
-Awasi pemeriksaan
laboratorium,
contoh elektrolit,
BUN, kretinin
-Ambil urine untuk
kultur dan
sensitivitas
-Pielolitotomi
terbuka atau
perkutaneus,
nefrolitotomi,
ureterolitotomi
-ESWL
3 Defisit Pengetahuan Tujuan: Setelah 1. Berikan penilaian
dilakukan tindakan tentang tingkat
keperawatan selama pengetahuan pasien
1x24 jam gangguan tentang proses
eliminasi pasien dapat penyakit yang
teratasi spesifik
Criteria hasil: 2. Jelaskan
 Pasien mampu patofisiologi dari
mengenali tanda dan penyakit dan
gejala penyakit dan bagaiman hal ini
faktor  penyebabnya, berhubungan
 Pasien mampu dengan anatomi dan
fisiologi
mengetahui faktor 3. Gambarkan tanda
resiko dan yang dan gejala yang
memperberat biasa muncul pada
penyakitnya penyakit
 Pasien mampu 4. Identifikasi
mengetahui tindakan kemungkinan
pencegahan terhadap penyebab dengan
kondisi  buruk cara yang tepat
penyakitnya 5. Diskusikan pilihan
terapi
6. Diskusikan
perubahan gaya
hidup (tidak
konsumsi vit D
terlalu sering dan
tidak minum air
terlalu sedikit)
untuk mencegah
komplikasi di masa
yang akan datang
dan atau proses
pengontrolan
penyakit
4 Ansietas Tujuan: setelah 1. Kaji tingkat
dilakukan tindakan kecemasan pasien
keperawatan selama 3x baik ringan sampai
24jam cemas pasien akan berat
menurun, pasien 2. Berikan kenyaman
mempunyai koping yang dan ketentraman
adaptif dalam hati
menghadapi kecemasan 3. Kaji intervensi yang
Kriteria hasil: dapat menurunkan
 Pasien mampu ansietas.
mengidentifikasi dan 4. Berikan aktivitas
mengungkapkan yang dapat
gejala cemas mengurangi
  Pasien mampu kecemasan/
mengidentifikasi dan ketegangan.
menunjukkan tekhnik 5. Dorong percakapan
untuk mengontrol untuk mengetahui
cemas perasaan dan tingkat
 Ekspresi wajah kecemasan pasien
pasienmenunjukkan terhadap kondisinya
berkurangnya 6. Dorong pasien
kecemasan. untuk mengakui
 Vital sign dalam batas masalah dan
normal:  mengekspresikan
 TD: 120/80 mmHg perasaan.
 RR: 20 x/mnt 7. Identifikasi sumber /
 Nadi:86 x/mnt orang yang dekat
 Suhu : 36, 50 C dengan klien. 
DAFTAR PUSTAKA

Sjamsuhidajat, R. & Jong, Wim de. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC
Susanne, C Smelzer. 2002.

Keperawatan Medikal Bedah (Brunner &Suddart) , Edisi VIII, Volume 2, Jakarta, EGC,
Pramod PR, Barrieras DJ, Bagli DJ, et al. 2005.

Initial experience with endoscopic Holmium laser lithotripsy for pediatric


urolithiasis. J Urol 162:1714-1716. Wehle MJ, Segura JW. In : Belman AB., Eds.
2002.

Clinical pediatric urology . Martin Dunitz.:1241. Basuki B. Purnomo. 2000.


Dasar-Dasar Urologi . Malang, Fakultas kedokteran Brawijaya Franzoni DF, Decter RM.
1999.

Percutaneous vesicolithotomy: an alternative to open bladder surgery in patients


with an impassable or surgically ablated urethra. J Urol;162:777-778. Doenges E.
Marilynn. 2000

Rencana Asuhan keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian


Perawatan Pasien, Jakarta. EGC

Anda mungkin juga menyukai