Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

RHINITIS ALERGIKA

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Medical Bedah Ii

Dosen Pembimbing : Dafid Arifiyanto,Ns.Sp.Kep.MB

Disusun Oleh Kelpmpok 12:

1. Hesti Rizqiana (17.1325.S)


2. Fanny Andarista F (17.1319.S)
3. Ulya Qonita (17.1396.S)

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH PEKAJANGAN


PEKALONGAN

TAHUN 2018/2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Rinitis adalah inflamasi pada lapisan dalam hidung yang dikarakterisasi dengan
adanya gejala-gejala nasal seperti rinore anterior atau posterior, bersin-bersin, hidung
tersumbat, dan/atau hidung gatal. Rinitis alergi adalah wujud yang paling sering ditemui
dari rhinitis non-infeksi dan berkaitan dengan respon imun setelah paparan allergen yang
diperantarai oleh immunoglobulin E (IgE). Rinitis alergi sering pula memicu simptom
okular.
Prevalensi rinitis alergi terus meningkat sepanjang 50 tahun terakhir. Perkiraan
yang tepat tentang prevalensi rinitis alergi agak sulit yaitu berkisar 4-40%. Penyebab
belum bisa dipastikan, tetapi nampaknya berkaitan dengan meningkatnya polusi udara,
populasi dust mite, kurangnya ventilasi di rumah atau kantor, dan lain-lain (Ikawati,
2011).

Lebih dari 500 juta orang di dunia menderita rinitis alergi, dengan 50%
penderitanya adalah remaja. Usia rata-rata terjadinya rinitis alergi adalah antara usia 8-11
tahun, dan 80% rinitis alergi berkembang pada usia 20 tahun, namun di Amerika Serikat
rinitis alergi biasanya dimulai pada usia di bawah 20 tahun (Pinto and Jeswani, 2010).

Ada beberapa cara untuk menegakkan diagnosis rinitis alergi, yaitu dengan
pemeriksaan fisik, skin test, ataupun RAST (Radio Allergo Sorbent Test). Skin test
ataupun skin prick test merupakan tes obyektif untuk mendeteksi reaksi alergi pasien
terhadap allergen tertentu secara spesifik. Sedangkan RAST yaitu test alergi untuk
mengukur kadar IgE dalam darah, namun kurang banyak dipakai karena lebih mahal dan
kurang sensitif, sehingga hanya digunakan pada kasus-kasus tertentu di mana skin test
tidak dapat dilakukan (Bousquet et al, 2008).

Terapi rinitis dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi gejala-gejala yang


mengganggu, meningkatkan performa kerja atau belajar pasien, meningkatkan kualitas
hidup pasien, serta mencegah peningkatan keparahan penyakit. Dampak rinitis alergi
yang paling utama adalah menurunnya kualitas hidup pasien, mulai dari terganggunya
tidur, menurunnya performa saat bekerja, ataupun menurunnya konsentrasi di sekolah
(Bousquet et al, 2008).

Rinitis alergi adalah penyakit yang terkesan sepele tetapi ternyata cukup
mengganggu dan diderita oleh cukup banyak orang, tetapi di Indonesia nampaknya belum
banyak dilakukan penelitian mengenai rinitis alergi, terutama yang mengamati efektivitas
pengobatan rinitis alergi di berbagai Rumah Sakit.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut maka penelitian tentang

efektivitas pengobatan rinitis alergi di RS Panti Rapih Yogyakarta perlu dilakukan

untuk mendapatkan gambaran efektivitas pengobatan rinitis alergi agar dapat

digunakan sebagai acuan untuk meningkatkan mutu pelayanan medis dalam

pengobatan rinitis alergi.

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
Tujuan pembuatan makalah ini untuk memperoleh pengetahuan mengenai
rhinitis alergika.
2. Tujuan khusus
Untuk mengetahui tingkat pengetahuan mahasiswa mengenai rhinitis
alergika.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi
Rhinitis alergika adalah penyakit inflamasi yang di sebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersenitisasi alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen
spesifik tersebut.
Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis And Is Impact On Astma) tahun 2001,
rhinitis alergika adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa
gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar allergen yang diperantari oleh IgE.
Rhinitis alegika (hay fever, rhinitis alergik kronik, polinosis) merupakan bentuk
alergi respiratorius yang paling sering ditemukan dan diperkirakan diantarai oleh reaksi
imunologi cepat (hipersenditivitas tipe I).
( 20% hingga 30% penduduk remaja ) penyakit ini mengenai sekitar 8% sampai
10% dari populasi penduduk A.S. Kalau tidak di obati dapat terjadi bsnyak komplikasi
seperti asma alergik, obstruksi nasal kronik, otitis kronik dengan gangguan
pendengaran,anosmia(gangguan kemampuan membau),dan pada anak-anak, deformitas
dwntal orofasial. Diagnosis dini dan terapi yang adekuat sangat penting.

B. Etiologi
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetic
dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada
ekspresi rinitis alergi. Penyebab rinitis alergi tersering adalah allergen inhalan pada
dewasa dan ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain,
seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab rhinitis alergika berbeda
tanrgantung dari klasifikasinya. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa allergen
sekaligus. Allergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk
sari atau jamur. Rhinitis alergika perineal (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau,
terdapat dua spesies utama tungau yaitu dermatophagoides farina dan dermatophagoides
pteronyssinus, jamur, binatanv peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat. Factor
resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu, yang
tinggi, dan factor kelembaban udara. Kelembabab yang tinggi merupakan factor resiko
untu,jk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah
beberapa faktor nonspesifik di antaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat
atau merangsang dan perubahan cuaca.
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:

1. Allergen Inhalasi, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya dabu
rumah, tungau, serpihan epitel, dari bulu binatang serta jamur.
2. Allergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya
susu,telur, coklat, ikan dan udang.
3. Allergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin
atau sengatan lebah.
4. Allergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan.

C. Patofisiologi
Sensitisasi dimulai dengan konsumsi atau inhalasi antigen. Pada pemajanan ulang,
mukosa nasal bereaksi dengan pelambatan kerja silia, pembentukan adema dan infiltrasi
leukosit (terutama eosinofil). Histamine merupakan mediator utama reaksi alergi pada
mukosa nasal. Edema jaringan terjadi akibat vasodilatasi dan peningkatsan permeabilitas
kapiler.

D. Klasifikasi

Rinitis berdasarkan penyebabnya terbagi menjadi dua golongan, yaitu:

1. Rinitis alergi : disebabkan oleh adanya allergen yang terhirup oleh hidung.
2. Rinitis non-alergi : disebabkan oleh faktor-faktor pemicu tertentu. Rinitis non
alergi dibagi lagi menjadi tiga, yaitu rinitis vasomotor, rinitis medicamentosa dan
rinitis struktural.
a. Rinitis vasomotor
Merupakan tipe rinitis di mana terjadi reaksi hiperresponsivitas pada
saluran pernapasan bagian atas terhadap faktor pemicu eksternal non-spesifik,
seperti perubahan suhu dan kelembaban, asap rokok, atau aroma tajam.
Simptom yang sering muncul pada tipe ini adalah inflamasi nasal (sebagian
kecil pasien), hiperreaktivitas parasimpatik dan/atau glandular.
b. Rinitis medicamentosa
Rinitis medicamentosa adalah obstruksi nasal yang terjadi pada pasien
yang menggunakan vasokonstriktor intranasal secara kronis. Belum diketahui
dengan jelas penyebabnya, namun vasodilatasi dan edema intravaskular telah
menjadi implikasi utamanya. Penanganan rinitis medicamentosa
membutuhkan penghentian penggunaan nasal dekongestan untuk memulihkan
kondisi nasal, lalu diikuti dengan terapi sesuai dengan simptom yang timbul.
c. Rinitis stuktural
Rinitis tipe ini disebabkan oleh adanya kelainan anatomi hidung yang
diakibatkan oleh injury (kecelakaan), congenital (kelainan bawaan), maupun
kelainan tumbuh-kembang. Pasien rinitis tipe ini dapat mengalami simptom
rinitis kapan saja dalam setahun dan biasanya keparahannya lebih tinggi pada
salah satu sisi hidung dibanding sisi lainnya.

3. Rinitis alergi berdasarkan waktunya digolongkan menjadi tiga, yaitu:


a. Seasonal (hay fever) Terjadi sebagai respon terhadap allergen spesifik seperti
pollen, rerumputan, dan alang-alang) pada waktu yang dapat terprediksi tiap
tahunnya (musim semi dan/atau gugur) dan umumnya memicu symptom
simptom akut lebih banyak.
b. Perrenial (intermittent or persistent) Dapat terjadi kapanpun sepanjang tahun,
sebagai respon terhadap allergen non-musiman seperti dust mites, bulu hewan,
jamur, dan biasanya menimbulkan simptom yang lebih kronis.
1) Intermittent
Seseorang dapat dikatakan menderita rinitis alergi tipe ini bila
gejala rinitis yang ia alami terjadi kurang dari 4 hari tiap minggunya,
atau terjadi selama tidak lebih dari empat minggu berturut-turut.
2) Persistent
Sedangkan seseorang dapat dikatakan menderita rinitis alergi tipe
ini bila gejala rinitis yang ia alami terjadi lebih dari 4 hari tiap
minggunya, dan terjadi selama lebih dari empat minggu berturut turut.

a. Occupational
Rinitis alergi yang terjadi sebagai akibat dari paparan allergen di tempat
kerja, misalnya paparan terhadap agen dengan bobot molekul tinggi, agen
berbobot molekul rendah, atau zat-zat iritan, melalui mekanisme imunologi
atau patogenik non-imunologi yang tidak begitu diketahui.

E. Pemeriksaan Penunjang

1. In vitro
Hitung eosinophil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.
Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering
kali menunjukan nilai normal, kacuali bila tanda alergi pada pasien lenih dari satu
penyakit, misalnya selain rhinitis alergika juga menderita asma bronkial atu
urtikula. Lebih bermakna adalah RAST (Radio Immune Sorbent Test) atau
ELISA (Enzyme Linked Immune Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitology
hidung, walaupun tidak dapat memastikam diagnosis, tetap berguna sebagai
pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak
menunjukan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofis (5 sel/lap) mungkin
disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan
adanya infeksi bakreti.
2. In vivo

Alergi penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji
intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berisi (Skin End-Point
Titration/SET). SET dilakuakan untuk allergen inhalasi dengan menyuntikkan
allergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya.

F. Penatalaksanaan
1. Terapi non-farmakologi
Terapi yang paling ideal adalah dengan allergen penyebabnya (avoidance) dan
eliminasi.
2. Terapi farmakologi
a. Medikamentosa
Yaitu antihistamin, obat-obatan simpatomimetik, kortikosteroid dan
antikolinergik topical.
b. Operatif
Tindakan konkotom (pemotongan konka inferior) perlu diperkirakan bila
konka inferior hipertrofi dab tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi
memai AgNO3 25% atau troklor asetat.
c. Imunoterapi
Jenisnya desensitasi, hiposensitasi dan netralisasi.
G. Komplikasi
1. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis
2. Otitis media yang sering residif, trauma pada anak-anak.
3. Sinusitis paranasal merupakan inflamai mukosa satu atau lebih sinus para nasal.
H. Pengkajian Fokus
Pemeriksaan dan anamnesis riwayat pasien mengungkapkan gejala bersin-bersin
yang kerapkali bersifat serangan mendadak dengan ingus yang enversarta berair, mata
serta hidung yang terasa gatal, lakrimasi dan kadang-kadang sakit kepala.
Riwayat keperawatan mencangkup riwayat alergi pada diri pasien atau anggota
keluarganya.
I. Diagnosa
1. Ketidakefektifan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi/ adanya secret
yang mengental
2. Ketidaknyamanan pasien berhubungan dengan hidung yang meler.
3. Cemas berhubungan dengan kurangya pengetahuan tentang penyakit dan
prosedur tindakan medis.
4. Gangguan pola istirahat berhubungan dengan penyumbatan pada hidung.
5. Intoleransi aktiviutas berhubungan dengan kelemahan fisik.

J. Intervensi
1. Ketidakefektifan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi/ adanya secret yang
mengental
a. Intervensi:
1) Kaji penumpukan secret yang ada
2) Observasi tanda-tanda vital
3) Kolaborasi dengan team medis.
b. Rasional:
1) Mengetahui tingkat keparahan dan tindakan selanjutnya
2) Mengetahui perkembangan klien sebelum dilakukan operasi
3) Kerjasama untuk menghilangkan pbat yang dikonsumsi.

2. Ketidaknyamanan pasien berhubungan dengan hidung yang meler.


a. Intervensi:
1) Kaji jumlah mukus,bentuk dan warna
2) Anjurkan pasien mengeluarkan mucus
3) Anjurkan pasien untuk membersihkan hidung.
b. Rasional:
1) Melihat tingkat keparahan penyakit
2) Mengurangi mucus dalam hidung agar bisa bernafas dengan nyaman
3) Hidung bersih.

3. Cemas berhubungan dengan kurangya pengetahuan tentang penyakit dan prosedur


tindakan medis.
a. Intervensi:
1) Kaji tingkat kecemasan
2) Berikan kenyaman dan ketentraman pada klien (temani klien, berikan
rasa empati)
3) Berikan penjelasan pada klien tentang penyakit yang dideritanya
perlahan, tenang serta gunakan kalimat yang jelas, singkat, mudah
dipahami
4) Singkirkan stimulasi yang berlebihan (tempatkan klieng di ruangan
yang lebih tenang, batasi kontak dengan orang lain)
5) Observasi tanda-tanda vital
6) Kolaborasi denga tim medis.
b. Rasional:
1) Menentukan tindakan selanjutnya
2) Memudahkan [enerimaan klien terhadap informasi yang di berikan
3) Meningkatkan pemahaman klien tantang penyakit dan terapi untuk
penyakit tersebut sehingga klien lebih kooperatif
4) De ngan menghilangkan stimulus yang mencemaskan akan
meningkatkan ketenangan klien
5) Mengetahui perkembangan klieng secara dini
6) Obat dapat menurunkan tingkat kecemasan klien.

4. Gangguan pola istirahat berhubungan dengan penyumbatan pada hidung.


a. Intervensi:
1) Kaji kebutuhan tidur kliem
2) Ciptakan suasana yang nyaman
3) Anjurkan klien bernafas lewat mulut
4) Kolaboirasi dengan tim medis.
b. Rasional:
1) Mengetahui permasalahan klien dalam pemenuhan kebutuhan istirahat
tidur
2) Agar klien dapat tidur dengan tenang
3) Pernafasan tidak terganggu
4) Pernadfasan dapat efektif kembali lewat hidung.

5. Intoleransi aktiviutas berhubungan dengan kelemahan fisik.


a. Intervemsi:
1) Kaji kegiatan pasien
2) Anjurkan pasien untuk istirahat
3) Berikan bantuan bila klien tidak bisa melakukan kegiatannya
4) Mengembalikan kondisi klien menjad lebih fit
5) Aktivitas klien berjalan lancer.
K. Phatway
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Rhinitis alergika adalah suatu inflamasi (peradangan)pada membrane mukosa
dihidung. Rhinitis adalah peradangan selaput lender hidung.
Beberapa car masuknya allergen di bagi atas: allergen inhalasi, allergen ingestan,allergen
injektan, allergen kontaktan.

B. Saran
Penyusun sangat membutuhkan saran, demi meningkatkan kwalitas dan mutu makalah
yang kami buat dilain waktu. Sehingga penyusun dapat memberikan informasi yang lebih
berguna untuk penyusun khususnya dan pembaca umumnya.
PEMBAHASAN JURNAL

A. Judul Jurnal
Hubungan Perilaku Merokok Terhadap Kekambuhan Rinitis Alergi

B. Tujuan Jurnal
Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada hubungan antara perilaku
merokok dengan kekambuhan rinitis alergi.

C. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakuakan dengan desain cross sectional dengan subyek penelitian
sebanyak 54 penderita rinitis alergi yang skin prick test nya positif. Data sekunder
diperoleh dari rekam medis pasien.Sampel diberikan beberapa pertanyaan berupa
kuisioner Setelah mendapat data,data diolah dengan menggunakan uji chi square.

D. Hasil Penelitian
Perilaku merokok(p=0,24) tidak memberikan hubungan yang bermakna terhadap
kekambuhan rinitis alergi,sedangkan jumlah rokok (p=0,04)memberikan hubungan yang
bermakna terhadap kekambuhan rinitis alergi.

E. Kesimpulan
Penelitian ini memberikan simpulan bahwa tidak terdapat hubungan antara
perilaku merokok dan kekambuhan rinitis alergi,akan tetapi terdapat pengaruh antara
jumlah rokok dengan kekambuhan rinitis alergi.

F. Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai rinitis alergi dan apa saja
pencetus kekambuhan nya.
DAFTAR PUSTAKA

ARIA-Word Health organization initiative, Allergic Rhinitis And Its Impact On Asthma. J allergy
clinical immunology: S147-S276.

Irawati N, 2002. Panduan Penatalaksanaan Terkini Rhinitis Alllergi. Dalam : kumpulan makalah
symposium. Jakarta.

Smelzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medical-Bedah Brunner &Suddarh. Jakarta:
EGC.

Anda mungkin juga menyukai