Anda di halaman 1dari 25

Pertemuan 13

Tutor : Ns. Ariska Putri, S.Kep

Waktu: 2 x 60 menit

Submateri pertemuan:
1. SOP Pengukuran JVP dan interpretasi hasil
2. Tes Tuberculin dan Interpretasi Hasil
3. Pemeriksaan Visus dan Interpretasinya
4. Tes pendengaran Rinne dan Webber test
5. Indikator Pemeriksaan Laboratorium

Bimbingan Belajar Appskep Indonesia | Hal. 1


SOP Pemeriksaan JVP dan Interpretasi Hasil
A. Pengertian
Tindakan yang dilakukan untuk mengetahui tekanan vena jugularis. Jugular vena pressure (JVP)
atau tekanan vena jugularis adalah tekanan system vena yang dapat diamati secara tidak langsung.
Di dalam laboratorium, tekanan vena diukur dari titik nol di atrium kanan. Karena sulit mendapatkan
titik ini pada pemeriksaan fisik, maka digantikan dengan tanda yang stabil, yaitu angulus sternalis.
Baik dalam posisi tegak atau berbaring, angulus sternalis kira-kira terletak 5 cm di atas atrium kanan.
B. Tujuan
1. Mengetahui adanya distensi vena jugularis
2. Memperkirakan tekanan vena sentral
3. Memberikan gambaran tentang volume darah dan efektifitas jantung sebagai pompa terutama
ventrikel kanan
4. Menilai status hidrasi
5. Memantau status hemodinamik
6. Memantau efektivitas terapi yang diberikan terhadap klien

C. Persiapan Alat
1. Penggaris 2 buah dengan skala centimeter
2. Alat tulis (Spidol)
3. Penlight /senter

D. Prosedur
1. Cuci tangan
2. Jelaskan prosedur, tujuan tindakan, lamanya tindakan pada klien
3. Beri kesempatan klien bertanya sebelum tindakan dimulai
4. Jaga privacy klien selama tindakan dilakukan
5. Posisikan pasien berbaring telentang dan pastikan otot sternomastoideus dalam keadaan
rileks dengan kepala ditinggikan 30 – 45 derajat (posisi semi fowler), atau sesuaikan sehingga
pulsasi vena jugularis tampak paling jelas.
6. Lepaskan pakaian yang sempit/menekan leher atau thorak bagian atas.
7. Anjurkan kepala klien menengok menjauhi arah pemeriksa.
8. Identifikasi vena jugularis. Ada bbrpa cara untuk mengindetifikasi pulsasi vena jugularis:
a. Gunakan lampu senter/penlight dari arah miring untuk melihat bayangan vena jugularis.
Identifikasi pulsasi vena jugular interna (bedakan denyutan ini dengan denyutan dari
arteri karotis interna di sebelahnya), jika tidak tampak gunakan vena jugularis eksterna.
b. Menekan pada bagian ujung proksimal vena jugularis (dekat angulus mandibulae)
sambil melepaskan bendungan pada supra clavicula. Mengamati tingginya bendungan
darah yang ada dan beri tanda dengan menggunakan spidol.
9. Tentukan titik tertinggi dimana pulsasi vena jugularis interna/eksterna dapat dilihat
(Meniscus).

Bimbingan Belajar Appskep Indonesia | Hal. 2


10. Tentukan sudut sternum (sudut louis) sebagai tempat untuk mengukur tinggi pulsasi vena.
11. Gunakan penggaris. Penggaris ke-1 diletakan secara tegak (vertikal), dimana salah satu
ujungnya menempel pada sudut sternum. Penggaris ke-2 diletakan mendatar (horizontal),
dimana ujung yang satu tepat di titik tertinggi pulsasi vena (meniscus), sementara ujung
lainnya ditempelkan pada penggaris ke-1.
12. Ukurlah jarak vertikal (tinggi) antara sudut sternum dan titik tertinggi pulsasi vena (meniscus).
13. Catat hasil pengukuran
14. Rapikan alat-alat
15. Kembalikan klien ke posisi yang nyaman
16. Cuci tangan

E. Interpretasi hasil pengukuran JVP


1. Hasil pengukuran JVP dituliskan sebagai berikut :
 JVP = 5 + …...cm H2O
2. Nilai normal pengukuran JVP berkisar antara 5+/- 2 cm H2O.
 Angka 5 berasal dari jarak atrium kanan ke titik Angulus Sternal ludovici yaitu kira-kira 5
cm (ketetapan).
 Angka 2 cm didapatkan pada pengukuran jarak vertical pulsasi vena jugularis dengan
sudut angulus sternalis.
3. Interpretasi
 Nilai JVP akan turun pada pasien dengan hypovolemia
 Nilai JVP meningkat pada:
 Gagal jantung kanan/kiri
 Obstruksi vena cava superior
 Stenosis tricuspid
 Tamponade jantung
 Hipertensi pulmonal

Bimbingan Belajar Appskep Indonesia | Hal. 3


Referensi :

Acang, N dkk. Buku Ajar Fisis Diagnostik Penyakit Dalam FK Unand (2008). Padang: Pusat
Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.

Bickley LS et al. Bates’ Guide to Physical Examination and History Taking. 11th ed. Philadelphia,
PA: Lippincott Williams & Wilkins. 2013;361-5.

Bimbingan Belajar Appskep Indonesia | Hal. 4


TES TUBERCULIN DAN INTERPRETASI HASIL

Tindakan TB Skin Test (Test Mantoux)

Uji tuberkulin atau mantoux test adalah salah satu metode yang digunakan untuk mendiagnosis
infeksi TB. Ini sering digunakan untuk skrining individu dari infeksi laten dan menilai rata-rata infeksi TB
pada populasi tertentu.
Uji tuberkulin dilakukan untuk melihat seseorang mempunyai kekebalan terhadap basil TB,
sehingga sangat baik untuk mendeteksi infeksi TB. Tetapi uji tuberkulin ini tidak dapat untuk
menentukan Mycobacterium tuberculosis tersebut aktif atau tidak aktif (latent).

No Komponen Keterangan
1) Anak dengan gejala dan tanda sakit TB
2) Kontak erat dengan penderita TB dewasa aktif (BTA +)
3) Anak dengan faktor resiko tinggi terpapar TB (tuna wisma,
alkoholik, pengguna Narkoba suntik).
1 Indikasi pemeriksaan
4) Pasien immunocompromised (infeksi HIV, sindroma nefrotik,
keganasan) dan pasien yang akan mendapat imunosupresan
jangka panjang.
5) Bayi yang akan mendapat BCG di atas usia 3 bulan.
1. tuberculin PPD (Purified Protein Derivative) dosis 0,1 cc
2 Jenis antigen

1. Injeksi melalui: INTRAKUTAN


2. Lokasi injeksi: di bagian VOLAR LENGAN BAWAH
3 Pelaksanaan test 3. Setelah injeksi, pastikan undulasi yang timbul setelah injeksi
dengan DIAMETER 6 – 10 INCI
4. Tandai area injeksi

Bimbingan Belajar Appskep Indonesia | Hal. 5


Gambar 1. Tes Tuberkulin/mantoux test
1. Perhatikan area post injeksi
a. Eritema (kemerahan sekitar area injeksi)
b. Indurasi (benjolan/undulasi pada area injeksi)
2. Pembacaan hasil skin TB dilakukan 48 – 72 JAM setelah injeksi
4 Pembacaan Hasil test
dilakukan.
3. Lakukan pengukuran diameter INDURASI/UNDULASI dengan
menggunakan penggaris.
4. Catat hasil pengukuran
1) Indurasi berukuran ≥ 5 mm dikategorikan sebagai positif pada
individu dalam kelompok risiko tinggi. Orang yang termasuk
dalam kelompok ini antara lain orang yang:
 Dengan HIV
 Menerima transplantasi organ
 Mengalami imunosupresi (penurunan kekebalan tubuh)
5 Interpretasi Hasil untuk berbagai alasan
 Dalam waktu dekat melakukan kontak dengan orang yang
positif TB
 Melakukan pemeriksaan sinar X dada secara konsisten dan
memiliki TB lama yang sudah sembuh (old healed TB)
 Memiliki penyakit ginjal fase akhir

Bimbingan Belajar Appskep Indonesia | Hal. 6


2) Indurasi berukuran ≥ 10 mm dikategorikan sebagai positif pada
orang dalam kelompok risiko menengah. Termasuk di antaranya
adalah orang yang:
 Baru saja melakukan imigrasi dari negara dengan angka
kejadian TB yang tinggi
 Menggunakan obat suntik
 Bekerja di bidang area pelayanan kesehatan, penjara, nursing
homes (panti), atau sejenisnya
 Memiliki kondisi klinis yang membuat individu tersebut
memiliki risiko, misalnya diabetes, leukemia, berat badan
kurang
 Anak-anak di bawah 4 tahun
 Anak-anak dan remaja yang terpapar atau berada di
lingkungan dengan orang dewasa risiko tingg

3) Indurasi berukuran ≥ 15 mm dikategorikan positif; yaitu pada


individu dengan tanpa factor-faktor resiko TB yang jelas.

4) Hasil tes positif palsu


Reaksi psoitif palsu dapat terjadi pada individu yang terinfeksi
oleh mikobakteria lain seperti vaksinasi dengan BCG.

5) Hasil tes negative palsu


Reaksi negatif palsu dapat terjadi pada:
a. Faktor yang bergantung pada kondisi individu saat dilakukan
uji kulit:
Infeksi:
1) Virus : Mumps, Varicella, Rubella (1–3 minggu), Morbilli
(selama 10 hari–6 minggu), HIV.
2) Bakteri : Typhus abdominalis ,Pertusis, Bruselosis
3) Jamur : Blastomycosis

Bimbingan Belajar Appskep Indonesia | Hal. 7


4) Gangguan metabolisme (gagal ginjal kronik)
5) Penyakit yang berhubungan dengan organ limfoid
(penyakit Hodgkin, limfoma, leukemia kronik,
sarkoidosis).
6) Obat–obatan (kortikosteroid, obat imunosupresif), usia
(baru lahir), bedah, luka bakar, penyakit mental, reaksi
graft-versus-host).
7) Malnutrisi berat.
b. Vaksinasi dengan virus hidup morbilli (10 hari–6 minggu),
polio.
c. Faktor yang berhubungan dengan tuberkulin yang dipakai :
Penyimpanan yang tidak memadai (terpapar pada sinar dan
panas), pengenceran yang tidak tepat, kontaminasi bakteri,
absorpsi tuberkuloprotein ke dinding wadah.
d. Faktor yang berhubungan dengan metode pemberian:
Penyuntikan antigen yang terlalu sedikit, suntikan diberikan
subkutan, menunda pemberian terlalu lama sesudah
dimasukkan ke spuit.
e. Faktor yang berhubungan dengan pembacaan uji kulit dan
pencatatan hasil: Pembacaan hasil uji tuberkulin oleh orang
yang belum berpengalaman, bisa yang disadari atau tidak,
kesalahan pada pencatatan.

REFERENSI ;
http://www.cdc.gov/tb/publications/factsheets/testing/skintesting.htm
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; Pedoman Interpretasi Data Klinis. 2011. Jakarta

Bimbingan Belajar Appskep Indonesia | Hal. 8


PEMERIKSAAN VISUS DAN INTERPRETASINYA

A. Pengertian
Pemeriksaan visus/ketajaman mata merupakan salah satu pemeriksaan fungsi mata untuk
mendeteksi kelainan pada mata. Setiap gejala yang dialami oleh mata harus dilakukan
pemeriksaan dan pencatatan sebagai langkah awal penatalaksanaan.
Pemeriksaan tajam penglihatan sebaiknya dilakukan pada jarak lima atau enam meter.
Pada jarak ini mata akan melihat benda dalam keadaan beristirahat atau tanpa akomodasi.

B. Tujuan
Prosedur ini digunakan untuk mengukur ketajaman penglihatan individu.

C. Kebijakan
Pemeriksaan visus mata dilakukan pada pasien umur > 5 tahun

D. Persiapan alat
1. Optotipe Snellen
2. Alat penunjuk
3. Alat tulis

E. Prosedur
1. Cuci tangan
2. Jelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan
3. Pastikan cahaya ruang pemeriksaan cukup
4. Berikan instruksi kepada pasien dengan jelas dan sopan
5. Mintalah pasien duduk pada jarak 5 atau 6 m dari optotipe Snellen
6. Minta penderita untuk menutup satu matanya tanpa menekan bola matanya, mulai
pemeriksaan pada mata kanan penderita (tutuplah mata kiri)
7. Minta pasien untuk melihat ke depan dengan rileks, tanpa melirik atau mengerutkan kelopak
mata
8. Tunjuk huruf, angka atau symbol pada optotipe Snellen dari atas kebawah, dengan
menggunakan alat penunjuk

Bimbingan Belajar Appskep Indonesia | Hal. 9


9. Minta pasien untuk menyebutkan huruf, angka atau sibol yang ditunjuk
10. Lakukan pengulangan beberapa kali pada baris yang sama pada optotipe Snellen bila
penderita salah menyebutkan angka, huruf atau symbol pada optotipe, dan lanjutkan
penunjukan ke bawah bila pasien dapat menyebut dengan benar
11. Lakukan hal sama pada mata kiri
12. Tentukan visus penderita sesuai dengan hasil pemeriksaan
13. Informasikan hasil pemeriksaan pada pasien
14. Cuci tangan
15. Catat/Dokumentasikan tindakan

F. Interpretasi hasil pemeriksaan


Interpretasi hasil pemeriksaan dinyatakan dengan angka pecahan seperti 20/20 (dalam
satuan feet) atau 6/6 (dalam satuan meter) untuk penglihatan normal. Pada keadaan ini,
mata dapat melihat huruf pada jarak 20 kaki atau 6 meter yang seharusnya dapat dilihat pada
jarak tersebut.
Dengan kartu Snellen standar ini dapat ditentukan tajam penglihatan atau kemampuan
melihat seseorang, seperti :
1. Bila pasien hanya dapat membaca pada huruf baris yang menunjukkan angka 30,
berarti tajam penglihatan pasien adalah 6/30.
2. Bila pasien hanya dapat membaca huruf pada baris yang menunjukkan angka 50,
berarti tajam penglihatan pasien adalah 6/50.
3. Bila pada baris tersebut terdapat beberapa huruf yang salah atau tidak bisa
disebutkan, maka tambahkan huruf S (salah) atau F (false). Dengan ketentuan :
a. Bila cuma tidak bisa membaca 1 huruf, berarti visusnya terletak pada baris
tersebut dengan false 1.
b. Bila tidak dapat membaca 2 huruf, berarti visusnya terletak pada baris tersebut
dengan false 2.
c. Bila tidak dapat membaca lebih dari setengah jumlah huruf yang ada, berarti
visusnya berada di baris tepat di atas baris yang tidak dapat dibaca.
4. Bila tajam penglihatan adalah 6/60 berarti ia hanya dapat terlihat pada jarak enam
meter yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak 60 meter.

Bimbingan Belajar Appskep Indonesia | Hal. 10


5. Bila tajam penglihatan 6/6 maka berarti ia dapat melihat huruf pada jarak enam
meter, yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak enam meter.
6. Bila pasien tidak dapat mengenal huruf terbesar pada kartu Snellen maka dilakukan
uji hitung jari. Jari dapat dilihat terpisah oleh orang normal pada jarak 60 meter.

Gambar 1. Snellen chart

Referensi ;
Ilyas, S., 2000. Sari Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. 2011. Panduang Belajar Ilmu Penyakit Mata.
Yogyakarta: FKUGM

Bimbingan Belajar Appskep Indonesia | Hal. 11


TES PENDENGARAN

Tes pendengaran/hearing test merupakan pemeriksaan yang dilakukan untuk menguji fungsi
pendengaran pasien baik secara kualitatif (garpu tala) maupun secara kuantitatif (audiometer).
Pemeriksaan pendengaran secara kualitatif dilakukan dengan garpu tala, dimana garpu tala akan menguji
hantaran bunyi melalui udara (Air Conduction) dan tulang telinga (Bone Conduction).
Pada umumya garpu tala yang digunakan adalah dengan kekuatan bunyi 512 Hz, 1024 Hz, dan 2048
Hz. Ada beberapa macam pemeriksaan dengan menggunakan garpu tala, yaitu; Test Rinne, dan Test
Webber.

A. Tes Pendengaran Garpu Tala dengan Rinne Test

No
1 Prinsip Membandingkan hantaran tulang dengan hantaran udara pada satu telinga

2 Alat Garpu tala

3 Teknik a. Cuci tangan pemeriksa


b. Jelaskan prosedur pemeriksaan
c. Beri kesempatan pasien bertanya sebelum pemeriksaan dimulai
d. Jaga privasi pasien
e. Posisikan pasien duduk dengan santai
f. Getarkan garpu tala, dan pangkalnya diletakkan pada planum mastoideum
dari telinga yang akan diperiksa.

g. Instruksikan pasien agar mengangkat tangan bila sudah tidak mendengar


bunyi garpu tala
h. Bila penderita mengangkat tangan, garpu tala dipindahkan hingga ujung
bergetar berada kira-kira 3 cm di depan meatus akustikus eksternus dari
telinga yang diperiksa.

Bimbingan Belajar Appskep Indonesia | Hal. 12


i. Cuci tangan pemeriksa
j. Lakukan interpretasi hasil test rinne dan dokumentasikan

3 Interpretasi a. Bila penderita masih mendengar bunyi garpu tala yang dipindahkan ke
depan meatus akustikus eksternus dikatakan Rinne (+), berarti NORMAL
ATAU TULI SENSORINEURAL.

b. Bila penderita tidak mendengar bunyi garpu tala yang dipindahkan ke


depan meatus akustikus eksternus dikatakan Rinne (-), berarti TULI
KONDUKTIF.

B. Tes Pendengaran Garpu tala dengan Webber Test

No
1 Prinsip Membandingkan hantaran tulang telinga kiri dan telinga kanan

2 Alat Garpu tala

3 Teknik a. Cuci tangan pemeriksa


b. Jelaskan prosedur pemeriksaan
c. Beri kesempatan pasien bertanya sebelum pemeriksaan dimulai
d. Jaga privasi pasien
e. Posisikan pasien duduk dengan santai
f. Getarkan garpu tala, dan pangkalnya diletakkan pada dahi atau vertex

Bimbingan Belajar Appskep Indonesia | Hal. 13


g. Penderita ditanyakan apakah mendengar atau tidak. Bila mendengar
langsung ditanyakan di telinga mana didengar lebih keras
h. Cuci tangan pemeriksa
i. Dokumentasikan hasil pemeriksaan

3 Interpretasi a. Bila terdengar keras ke salah satu telinga, >> TERJADI LATERALISASI KE
ARAH TELINGA TERSEBUT.
b. Bila tidak dapat dibedakan ke arah mana yang terdengar keras >> TIDAK
TERJADI LATERALISASI
c. Jika tidak terjadi lateralisasi >> NORMAL
d. Bila lateralisasi kea rah telinga yang sakit >> TULI KONDUKTIF
e. Bila lateralisasi kea rah telinga yang sehat >> TULI SENSORI

Kesimpulan Hasil Pemeriksaan Pendengaran dengan Garpu Tala

No Webber Rinne Interpretasi

1 Tengah Positif Positif  Bilateral Normal


 Tuli sensori bilateral
2 Lateralisasi Kiri Positif Negative  Telinga kanan normal atau tuli sensori
 Tuli konduktif telinga kiri
3 Lateralisasi Kanan Positif Positif  Kemungkinan normal
 Kemungkinan terjadi tuli sensori pada telinga
kiri
 Sedikit tuli konduktif di telinga kanan
4 Lateralisasi Kanan Negative Negative  Tuli konduktif bilateral, lebih besar pada telinga
kanan
 Bisa juga terjadi tuli sensori pada telinga kiri

Bimbingan Belajar Appskep Indonesia | Hal. 14


5 Lateralisasi Kanan Positif Negative  Rinne negative palsu (karena tuli sensori yang
parah di telinga sebelah kiri)
 Koklea relative normal sebelah kanan

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pemeriksaan Nilai normal Implikasi klinis

Hematologi Hemoglobin Pria : 13 - 18 g/dL a. Nilai meningkat terjadi pada; anemia zat besi,
(Hb) Wanita : 12 - 16 g/dL sirosis, hipertiroidisme, perdarahan, peningkatan
asupan cairan dan kehamilan.

b. Nilai menurun terjadi pada; hemokonsentrasi


(polisitemia, luka bakar), penyakit paru-paru kronik,
gagal jantung kongestif dan pada orang yang hidup
di daerah dataran tinggi.

Hematokrit Pria : 40% - 50 % a. Nilai meningkat terjadi pada; anemia (karena


(Hct) Wanita : 35% - 45% berbagai sebab), reaksi hemolitik, leukemia, sirosis,
kehilangan banyak darah dan hipertiroid.

b. Nilai menurun terjadi pada ; eritrositosis, dehidrasi,


kerusakan paru-paru kronik, polisitemia dan syok.

Trombosit 150.103 -400.103/mm3 a. Nilai meningkat (trombositopenia); berhubungan


dengan idiopatik trombositopenia purpura (ITP),
anemia hemolitik, aplastik, dan pernisiosa.
Leukimia, multiple myeloma dan multipledysplasia
syndrome.

b. Nilai menurun (trombositosis); berhubungan


dengan kanker, splenektomi, polisitemia vera,
trauma, sirosis, myelogeneus, stres dan arthritis
reumatoid.

Leukosit Bayi baru lahir : 10.000 a. Nilai meningkat (leukositosis) (di atas 20.000/mm3)
– 26.000/mm3 dapat disebabkan oleh leukemia. Penderita kanker
post-operasi.

Bimbingan Belajar Appskep Indonesia | Hal. 15


Anak usia 6 bulan – 1 b. Nilai menurun (leucopenia); Infeksi virus,
tahun : 10.000- hiperplenism, leukemia, Obat (antimetabolit,
3
20.000/mm antibiotik, antikonvulsan, kemoterapi), Anemia
aplastik/pernisiosa, Multipel myeloma
Anak usia 1 – 6 tahun :
5.000 – 17.000/mm3

Anak usia 6 – 12 tahun :


4500 - 14500/mm3

Anak usia 12 – 18 tahun


: 4500 – 13500/mm3

Dewasa : 4500 –
10.000/mm3
Elektrolit Natrium (Na+) 135 – 144 mEq/L a. Nilai meningkat (Hiponatremia); kondisi
hipovolemia (kekurangan cairan tubuh), dan
hipervolemia (kelebihan cairan tubuh).

b. Nilai menurun (Hipernatremia); dehidrasi,


aldosteronism, diabetes insipidus dan diuretik
osmotik.

Kalium (K+) 0 - 17 tahun: 3,6 - 5,2 a. Nilai meningkat (Hiperkalemi); gagal ginjal,
mEq/L kerusakan sel (luka bakar, operasi), asidosis, penyakit
≥ 18 tahun : 3,6 – 4,8 Addison, diabetes yang tidak terkontrol dan transfusi
mEq/L sel darah merah.

b. Nilai menurun (Hipokalemia); diare, muntah, luka


bakar parah, aldosteron primer, asidosis tubular
ginjal, diuretik, steroid, cisplatin, tikarsilin, stres yang
kronik, penyakit hati dengan asites.

Glukosa ≥ 7 tahun: 70 - 100 a. Nilai meningkat (hipoglikemia); kadar insulin yang


mg/dL berlebihan atau penyakit Addison.

12 bulan - 6 tahun: 60- b. Nilai menurun (hiperglikemia) atau intoleransi


100 mg/dL glukosa (nilai puasa > 120 mg/dL) dapat menyertai
penyakit cushing (muka bulan), stress akut,
feokromasitoma, penyakit hati kronik, defi siensi
kalium, penyakit yang kronik, dan sepsis.

Bimbingan Belajar Appskep Indonesia | Hal. 16


Asam Urat Pria : 3 – 7 mg/dl a. Hiperurisemia dapat terjadi pada leukemia,
limfoma, syok, kemoterapi, metabolit asidosis dan
Wanita : 2,4 – 5,7 mg/dl kegagalan fungsi ginjal yang signifi kan akibat
penurunan ekskresi atau peningkatan produksi asam
urat.

Pemeriksaan AST/ SGOT Pria : < 38 U/L a. Peningkatan kadar AST dapat terjadi pada MI,
Fungsi Hati penyakit hati, pankreatitis akut, trauma, anemia
Wanita : < 32 U/L. hemolitik akut, penyakit ginjal akut, luka bakar parah
dan penggunaan berbagai obat, misalnya: isoniazid,
eritromisin, kontrasepsi oral.

ALT/SGPT Laki-laki : < 41 U/L a. Peningkatan kadar ALT dapat terjadi pada penyakit
Perempuan : < 31U/L. hepatoseluler, sirosis aktif, obstruksi bilier dan
hepatitis.

Bilirubin Total : 0,3 – 1,0 mg/dl a. Peningkatan nilai dari kadar normal yang disertai
Direct : < 0, 20 mg/dl penyakit hati dapat terjadi pada gangguan
Indirect : < 0,60 mg/dl hepatoseluler, penyakit sel parenkim, obstruksi
saluran empedu atau hemolisis sel darah merah.

Albumin 3,8 – 5,0 g/dl a. Nilai meningkat pada keadaan dehidrasi

b. Nilai menurun pada keadaan: malnutrisi, sindroma


absorpsi, hipertiroid, kehamilan, gangguan fungsi
hati, infeksi kronik, luka bakar, edema, asites, sirosis,
nefrotik sindrom, SIADH, dan perdarahan.

Pemeriksaan Amilase 20 – 123 U/L a. Enzim yang mengubah amilum menjadi gula
Gastrointestinal
b. Nilai meningkat dapat terjadi pada pankreatitis akut,
kanker paru-paru, kanker esophagus, kanker
ovarium, gastrektomi parsial, obstruksi saluran
pankreas, ulkus peptikum, penyakit gondok,
obstruksi atau inflamasi saluran atau kelenjar saliva,
kolesistitis akut, trauma serebral, luka bakar, syok
trauma, diabetes ketoasidosis dan aneurism.

c. Nilai menurun dapat terjadi pada pankreatitis akut


yang sudah pulih, hepatitis, sirosis hati, atau
keracunan kehamilan

Bimbingan Belajar Appskep Indonesia | Hal. 17


Lipase 10 – 140 U/L a. Mengubah asam lemak menjadi gliserol

b. Nilai meningkat dapat terjadi pada pankreatitis,


obstruksi saluran pankreas, kolestatis akut, sirosis,
penyakit ginjal yang parah dan penyakit radang usus,
sirosis, gangguan ginjal yang parah.

c. Lipase dapat meningkat ketika kadar amilase dalam


keadaan normal.

Pemeriksaan Ureum 10 – 50 mg/dl a. Nilai meningkat : Gagal jantung kongestif, syok,


Fungsi Ginjal perdarahan, dehidrasi, peningkatan katabolisme
protein Diet tinggi protein, Gagal ginjal akut dan
kronik, Penyakit renal, termasuk nefritis glomeruler,
nekrosis tubuler

b. Nilai menurun : Asupan rendah protein, Muntah dan


diare berat, Penyakit hati Kehamilan

Kreatinin Pria : 0,8 – 1,3 mg/dl a. Nilai meningkat: gangguan fungsi ginjal, baik
Wanita : 0,6 – 1,2 mg/dl karena gangguan fungsi ginjal disebabkan oleh
nefritis, penyumbatan saluran urin, penyakit
otot atau dehidrasi akut.

b. Nilai menurun: akibat distropi otot, atropi,


malnutrisi atau penurunan masa otot akibat
penuaan.

Cardiac Marker Troponin I < 0,01 ng/ml Merupakan indicator pemeriksaan laboratorium pada
(Enzim Jantung) pasien dicurigai sindrom koroner akut, dengan hasil
Troponin T < 0,01 ng/ml anamnesis;
 Nyeri dada substernal
CKM < 24 u/l  Lama lebih dari 20 menit
 Keringat dingin
 Gambaran EKG abnormal
 Dapat disertai penjalaran kelengan kiri,
punggung, rahang dan ulu hati
 Terdapat salah satu atau lebih faktor risiko

Bimbingan Belajar Appskep Indonesia | Hal. 18


Pemeriksaan Tes Human Non-Reaktif Pemeriksaan ini dilakukan atas indikasi pasien dengan
Imunologi dan Immunodeficie gejala klinis HIV atau pasien yang dicurigai terinfeksi
Serologi ncy Virus (HIV) virus HIV.

Enzyme Linked Non-Reaktif


Immunosorbe
nt Assay (Elisa)
atau Enzyme
Immunoassay
(EIA)
Tes Kulit Negatif Tes ini dilakukan pada pasien/individu dengan tanda
Tuberculin gejala tuberculosis, atau yang diduga/dicurigai terinfeksi
(PPD) Mycobacterium tuberculosis.

Cancer Marker CA 125 (cancer 0 – 35 U/mL (ELFA) Merupakan penanda kanker ovarium. Digunakan untuk:
antigen 125) a. Melihat keberhasilan pengobatan
b. Melihat pertumbuhan jaringan kanker setelah
akhir treatment

CA 15-3 and CA < 31.3 U/mL (MEIA) Merupakan penanda kanker payudara. Untuk melihat
27-29 (cancer perkembangan pengobatan pada pasien dengan kanker
antigens 15-3 payudara stadium lanjut.
and 27-29)
PSA (prostate- < 4 ng/mL Merupakan penanda kanker prostat. Digunakan untuk :
specific a. Screening kanker prostat
antigen) b. Melihat perkembangan pengobatan kanker
c. Melihat perkembangan jaringan kanker setelah
pengobatan berakhir

CEA 0 – 5 ng/mL (CMIA) Merupakan penanda; kanker kolorektal dan juga untuk
(carcinoembry kanker paru, abdomen, tiroid, pancreas, payudara dan
onic antigen) ovarium. Digunakan untuk :
a. Melihat keberhasilan pengobatan
b. Melihat perkembangan jaringan kanker setelah
pengobatan berakhir

AFP (Alpha- < 13.4 ng/mL (CMIA) Merupakan penanda kanker liver, bisa juga untuk
fetoprotein) kanker ovarium dan testis. Digunakan untuk :
a. Menegakkan diagnosis kanker liver
b. Mengetahui nahwa kanker telah bermetastase
(mengetahui stadium kanker)

Bimbingan Belajar Appskep Indonesia | Hal. 19


c. Melihat keberhasilan pengobatan
d. Memprediksi kesempatan untuk pulih

B2M (Beta 2- < 2 mg/L Merupakan penanda untuk multiple myeloma,


microglobulin) beberapa limpoma, dan leukemia. Digunakan untuk :
a. Melihat keberhasilan pengobatan
b. Memprediksi kesempatan untuk pulih

Pemeriksaan Tes Widal (Felix Negatif Pemeriksaan tes widal dan Anti Salmonela (TuBex)
Mikrobiologi Widal) merupakan uji serologis dalam mendiagnosis demam
tifoid, yang ditadnai dengan tanda gejala; influenza-like
symptom disertai dengan menggigil, sakit kepala di
bagian frontal, anorexia, nausea, rasa tidak nyaman di
abdominal, batuk kering dan myalgia. Dari pemeriksaan
fisik akan didapatkan nyeri tekan pada abdominal,
hepatomegaly dan splenomegal.
Anti Salmonela Negative (0-2)
IgM (TuBex)

Tes Malaria Negatif Pada penderita malaria dapat ditemukan satu atau lebih
gejala-gejala klinis sebagai berikut : Demam tinggi
(demam paroksismal tiap 48-72 jam), sakit kepala,
menggigil, nyeri di seluruh tubuh. Pada beberapa kasus
dapat disertai gejala lainnya berupa mual, muntah dan
diare.
Anti dengue Negatif Antibodi IgM positif menunjukkan bahwa pasien
IgG mengalami infeksi primer, sedangkan pasien dengan
infeksi sekunder menunjukkan antibodi IgG positif,
biasanya disertai dengan antibodi IgM positif

Anti dengue Negatif Pasien yang menunjukkan antibodi IgM dan IgG negatif,
IgM menunjukkan bahwa pasien tidak terkena infeksi virus
dengue, tetapi disebabkan oleh infeksi yang lain,
meskipun trombosit turun atau mengalami
hemokonsentrasi.
Pemeriksaan Peningkatan T3 tanpa adanya peningkatan T4
fungsi hormon T3(Triiodothyr 1.3 – 3.1 nmol/L atau kebanyakan merupakan gejala awal dari tirotoksikosis
onine) 0.8-2.0 ng/mL rekuren pada pasien yang telah mendapat terapi.

Peningkatan kadar T4 ditemukan pada hipertiroidisme


T4 (Thyroxine) 64 - 164 nmol/L atau karena Grave’s disease dan Plummer’s disease pada
4.8-12.7 μg/mL akut dan subakut tiroiditis.

Bimbingan Belajar Appskep Indonesia | Hal. 20


Kadar T4 yang rendah berhubungan dengan
hipotiroidisme kongenital, myxedema, tiroiditis kronis
(Hashimoto’s disease) dan beberapa kelainan genetik.
Saat kadar hormone tioid dalam darah meningkat, kadar
TSH 0.270 – 4.20 μIU/mL. TSH akan menurun sebagai mekanisme umpan balik
untuk mempertahankan kadar hormon dalam darah
yang optimal

Bimbingan Belajar Appskep Indonesia | Hal. 21


Pemeriksaan Saturasi Oksigen 95 - 100 % a. Saturasi oksigen digunakan untuk
Analisa Gas Darah (SaO2) mengevaluasi kadar oksigenasi hemoglobin
(AGD) dan kecukupan oksigen pada jaringan
Jumlah oksigen
b. Tekanan parsial oksigen yang terlarut di plasma
yang diangkut
oleh hemoglobin, menggambarkan jumlah oksigen yang terikat
ditulis sebagai pada hemoglobin.
persentasi total
oksigen yang
terikat pada
hemoglobin.

Tekanan Parsial 80-100 mmHg a. Penurunan nilai PaO2 dapat terjadi pada
Oksigen (PaO2) penyakit paru obstruksi kronik (PPOK),
penyakit obstruksi paru, anemia, hipoventilasi
akibat gangguan fisik atau neuromuskular dan
Nilai ini gangguan fungsi jantung. Nilai PaO2 kurang dari
menunjukkan 40 mmHg perlu mendapat perhatian khusus.
kemampuan paru- b. Peningkatan nilai PaO2 dapat terjadi pada
paru dalam peningkatan penghantaran O2 oleh alat bantu
menyediakan (contoh: nasal prongs, alat ventilasi mekanik),
oksigen bagi hiperventilasi, dan polisitemia (peningkatan
darah. sel darah merah dan daya angkut oksigen).

Tekanan Parsial 35-45 mmHg a. Penurunan nilai PaCO2 dapat terjadi pada
Karbon Dioksida hipoksia, anxiety/nervousness dan emboli paru.
(PaCO2) Nilai kurang dari 20 mmHg perlu mendapat
perhatian khusus.
Dapat digunakan b. Peningkatan nilai PaCO2 dapat terjadi pada
untuk gangguan paru atau penurunan fungsi pusat
menentukan pernafasan. Nilai PaCO2 > 60 mgHg perlu
efektifitas mendapat perhatian.
ventilasi alveolar c. Umumnya, peningkatan PaCO2 dapat terjadi
dan keadaan
pada hipoventilasi sedangkan penurunan nilai
asam-basa dalam
darah. menunjukkan hiperventilasi.
d. Biasanya penurunan 1 mEq HCO3 akan
menurunkan tekanan PaCO2 sebesar 1,3
mmHg.
pH 7,35 – 7,45 a. Umumnya nilai pH akan menurun dalam
keadaan asidemia (peningkatan pembentukan
asam).
pH
b. Umumnya nilai pH meningkat dalam keadaan
menggambarkan
keseimbangan alkalemia (kehilangan asam).

Bimbingan Belajar Appskep Indonesia | Hal. 22


asam basa dalam c. Bila melakukan evaluai nilai pH, sebaiknya
tubuh. PaCO2 dan HCO3 diketahui juga untuk
memperkirakan komponen pernafasan atau
metabolik yang mempengaruhi status asam
basa.
HCO3 21 – 26 mEq/L a. Peningkatan bikarbonat menunjukan asidosis
respiratori akibat penurunan ventilasi.
Secara b. Penurunan bikarbonat menunjukan adanya
kuantitatif,
alkalosis respiratori (akibat peningkatan
sistem buffer ini
merupakan ventilasi alveolar dan pelepasan CO2 dan air)
sistem buffer atau adanya asidosis metabolik (akibat
utama dalam akumulasi asam tubuh atau hilangnya
cairan bikarbonat dari cairan ekstraseluler).
ektraseluler

URINALISIS

Parameter Nilai Normal Implikasi KLinik


 Berat jenis meningkat pada diabetes
(glukosuria), proteinuria > 2g/24 jam), radio
kontras, manitol, dekstran, diuretik.
Berat jenis spesifik 1,001-1,035
 Nilai berat jenis menurun dengan meningkatnya
umur (seiring dengan menurunnya kemampuan
ginjal memekatkan urin) dan preginjal azotemia.
 Merah coklat >> hemoglobin, myoglobin,
pigmen empedu, darah klorpromazin,
haloperidol, rifampisin, doksorubisin, fenitoin,
ibuprofen, urin bersifat asam (karena
metronidazol) atau alkali (karena laksatif,
metildopa)
 Kuning merah (merah muda) >> sayuran, bit,
Kekuning- fenazopiridin atau katartik fenolftalein,
Deskripsi kuningan, kuning ibuprofen, fenitoin, klorokuin
 Biru-hijau >> pasien mengkonsumsi bit, bakteri
Pseudomonas, pigmen empedu, amitriptilin,
 Kuning kecoklatan >> primakuin,
sulfametoksazol, bilirubin, urobilin
 Hitam >> Alkaptonuria
 Gelap >> porfiria, malignant melanoma (sangat
jarang)

Bimbingan Belajar Appskep Indonesia | Hal. 23


 Keruh >> urat, fosfat atau sel darah putih
(pyuria), polymorphonuclear (PMNs),
bakteriuria, obat kontras radiografi.

 Berbusa >> protein atau asam empedu


pH alkalin disebabkan:
 Adanya organisme pengurai yang memproduksi
protease seperti proteus, Klebsiella atau E. coli
 Ginjal tubular asidosis akibat terapi amfoterisin
 Penyakit ginjal kronik
 Intoksikasi salisilat
pH 4,5-8,5
pH asam disebabkan karena :
 Emfisema pulmonal
 Diare, dehidrasi
 Kelaparan (starvation)
 Asidosis diabetik
 Normal, menunjukkan peningkatan
permeabilitas glomerular atau gangguan
0-terlacak (Tr); < 50 mg/dL tubular ginjal
Protein
atau < 0,5 mg/L
 Abnormal, disebabkan multiple mieloma dan
protein Bence-Jones.
 Korelasi antara urin glukosa dengan glukosa
Negatif serum berguna dalam memonitor dan
Glukosa
penyesuaian terapi antidiabetik.

 Dapat ditemukan pada urin malnutrisi, pasien


Keton Negatif
DM yang tidak terkontrol, dan pecandu alkohol.

 Indikasi tanda adanya masalah pada saluran


Darah Negatif
kencing, ginjal, atau prostat.
 Tes ini memberikan gambaran adanya infeksi
*RBC, WBC,sel epitel,
Sedimen urin* bakteri, kristal saluran kemih, batu ginjal atau saluran kemih,
nefritis, keganasan atau penyakit hati
Pewarnaan Gram's Negatif  Menunjukkan adanya infeksi di saluran kemih

Refrensi;
Edmund L. Kidney function tests. Clinical chemistry and molecular diagnosis. 4th ed. America: Elsevier;
2010. p.797-831.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; Pedoman Interpretasi Data Klinis. 2011. Jakarta
Miller G, Myers GL, Ashwood ER, Killeen AA, Wang E, Thienpont LM, et al. Creatinine measurement. Arch
Pathol Lab Med. 2005; 129: 297-304.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2016. Panduan Praktik Klinis (Ppk) Dan Clinical
Pathway (Cp) Penyakit Jantung Dan Pembuluh Darah. Jakarta; Edisi pertama

Bimbingan Belajar Appskep Indonesia | Hal. 24


Bimbingan Belajar Appskep Indonesia | Hal. 25

Anda mungkin juga menyukai