Anda di halaman 1dari 12

Dharma Ekonomi STIE Dharmaputra Semarang

No. 35 / Th XIX / April 2012

PERILAKU KOMPLAIN DAN PENGARUHNYA


TERHADAP KEPUASAN DAN LOYALITAS
PELANGGAN JASA
Nunung Ghoniyah
Fakultas Ekonomi Universitas Islam Sultan Agung Semarang
Nunungghoniyah@yahoo.com

ABSTRACK
Artikel ini menjelaskan tentang bagaimana perilaku komplain yang dilakukan
konsumen, penyebabnya dan bagaimana pengaruhnya terhadap kepuasan pelanggan
setelah melakukan komplain. Beberapa hasil riset menyebutkan bahwa terdapat
pengaruh antara kegagalan jasa dan ketidakpuasan dengan perilaku komplain. Terdapat
pengaruh antara penanganan komplain dengan loyalitas pelanggan. Terdapat pengaruh
antara penanganan komplain dengan memberikan keadilan distributif,keadilan
prosedural dan keadilan interaksional dengan kepuasan setelah melakukan komplian.

A. PENDAHULUAN
Kualitas jasa telah menjadi strategi penting dalam organisasi dalam usaha
memuaskan dan mempertahankan pelanggan atau menarik pelanggan baru
(Lewis&Clacher, 2001). Lewis dan Spyrakopoulus (2004) menyatakan bahwa
kegagalan jasa dapat terjadi di banyak perusahaan, bahkan di perusahaan yang telah
fokus pada kualitas. Karena jasa bersifat intangible, kegagalan jasa tidak dapat
diperbaiki dengan cepat seperti kegagalan dalam barang (de Ruyter&Wetzels, 2000).
Tidak mungkin untuk meyakinkan bahwa terdapat 100% error-free, karena produksi
dan konsumsi jasa dilakukan bersamaan (bersifat inseparability), sehingga sangat sulit
untuk menghindari human error dalam penyampaian jasa (Fisk, Brown, &Bitner, 1993).
Untuk itulah perlu adanya manajemen komplain untuk mengantisipasi ketidakpuasan
pelanggan akibat penyampaian jasa.
Manajemen komplain merupakan salah satu determinan signifikan kepuasan dan
loyalitas pelanggan. Beberapa peneliti menemukan bahwa kegagalan jasa yang tidak
segera diatasi dapat menyebabkan customer defection (Kotler, 2000; Maxam, 2001).
Oleh karena itu upaya mempertahankan jalinan relasi dengan pelanggan yang tidak puas
melalui pengelolaan komplain telah menjadi fokus utama sebagian besar strategi retensi
pelanggan. Pada hakekatnya pengelolaan komplain merupakan tindakan yang dilakukan

1
Dharma Ekonomi STIE Dharmaputra Semarang
No. 35 / Th XIX / April 2012

untuk menyelesaikan masalah yang diakibatkan kegagalan penyampaian produk dan


untuk mempertahankan customer’s goodwill.

B. PENGARUH SERVICE FAILURE DENGAN PERILAKU KOMPLAIN


Kegagalan jasa didefinisikan sebagai kinerja jasa yang tidak dapat memenuhi
harapan pelanggan (Hoffman&Bateson, 1997). Banyak peneliti percaya bahwa jika
kegagalan jasa ini tidak segera ditangani dengan cepat akan menimbulkan biaya yang
besar dalam recovery-nya dan menyebabkan perpindahan konsumen (Kotler, 2000;
Maxham, 2001). Bitner et al. (1990) mengelompokkan kegagalan jasa menjadi empat
kategori, yaitu: (1) kegagalan sistim penyampaian jasa, (2) gap antara kebutuhan dan
keinginan, (3) kelambanan tindakan karyawan, (4) masalah pelanggan.
Lewis&Spyrakopoulos (2001) mengklasifikasikan kegagalan jasa menjadi lima
kategori, yaitu: (1) prosedur, (2) kesalahan, (3) perilaku karyawan, (4) kegagalan teknis,
(5) tindakan organisasi. Peneliti yang lain mengungkapkan bahwa kegagalan jasa dapat
terjadi karena perilaku konsumen dalam proses penyampaian jasa (Denham, 1998;
Johnson, 1994).
Heung dan Lam (2003) melaporkan bahwa di Cina, banyak konsumen yang
tidak puas akan menceritakannya kepada teman-teman mereka atau diam, tidak
melakukan apa-apa untuk menjaga keharmonisan hubungannya dengan masyarakat dan
menghindari konfrontasi. Di Negara individualistik seperti Amerika, Australia, Jerman,
Perancis, Turki dan Inggris, konsumen lebih suka komplain ke perusahaan atau
menggunakan pihak ketiga (Huang, Huang&Wu, 1996). Menurut Singh (1988), ada
empat kemungkinan respon konsumen dalam menghadapi kegagalan jasa, yaitu:
konsumen tidak melakukan apa-apa, namun langsung berpindah ke pesaing; konsumen
berhenti menggunakan jasa dan berpindah ke pesaing dan juga melakukan negative
word-of-mouth; langsung melakukan komplain ke perusahaan untuk mendapatkan ganti
rugi; konsumen memberitakannya ke media. Hunt (1991) menyatakan bahwa
pembalasan merupakan kemungkinan kelima dalam perilaku komplain. Konsumen yang
tidak puas akan merusak fasilitas perusahaan jasa.

C. PENGARUH KETIDAKPUASAN DAN PERILAKU KOMPLAIN

2
Dharma Ekonomi STIE Dharmaputra Semarang
No. 35 / Th XIX / April 2012

Dalam hal terjadinya ketidakpuasan, paling tidak terdapat empat kemungkinan


respons pelanggan, yaitu (Tjiptono, 2006): Pertama, tidak melakukan apa-apa. Artinya
mereka tidak menyampaikan komplainnya kepada siapapun. Namun kebanyakan
mereka langsung beralih ke pemasok lainnya.
Kedua, berhenti membeli produk dan atau menyampaikan word-of-mouth
kepada keluarga, teman dan orang terdekat (private action). Informasi ini biasanya
mengalir cepat dan berdampak pada citra perusahaan. Akibatnya perusahaan dapat
kehilangan pelanggan potensial maupun pelanggan saat ini.
Ketiga, menyampaikan komplain secara langsung dan atau meminta kompensasi
kepada perusahaan. Bila hal ini terjadi sebetulnya perusahaan ‘masih diuntungkan’.
Paling tidak perusahaan mendapatkan umpan balik yang berharga dari berbagai
komplain yang disampaikan dan ada peluang untuk mengatasi masalah sebelum tersebar
luas. Bila komplain berhasil ditangani secara efektif dan memuaskan, konsumen yang
semula tidak puas menjadi puas dan kembali membeli produk perusahaan. Ini sangat
berbeda dengan konsumen yang langsung berhenti memakai produk dan beralih ke
pesaing tanpa melakukan komplain, sehingga perusahaan tidak tahu penyebab
kekecewaan pelanggan. Sayangnya hanya 4% pelanggan yang kecewa melakukan
komplain, sisanya 96% tetap tidak puas dan menyampaikan kepada sekitar sebelas
orang tentang ketidakpuasannya itu (Kotler, 2000). Riset lainnya menunjukkan bahwa
sekitar 2/3 konsumen tidak pernah melaporkan ketidakpuasannya. Ketika mereka
mengalami kekecewaan, mereka langsung beralih pemasok, melakukan negative word-
of-mouth atau kedua-duanya (Stephen&Gwinner, 1998).
Keempat, mengadu lewat media massa, ke lembaga konsumen atau instansi
pemerintah terkait, menuntut produsen secara hukum. Ini merupakan bentuk komplain
yang paling ditakuti setiap perusahaan. Komunikasi pemasaran dan public relations
memegang peran vital dalam mengantisipasi dan menangani kemungkinan bentuk
komplain ini. (5) Pelanggan yang tidak puas secara sengaja melakukan sesuatu untuk
menyakiti atau membalas dendam pada perusahaan. Tindakan yang diambil dapat
beragam bentuknya, seperti merusak barang dagangan atau pajangan, meyembunyikan
atau memindahkan barang dari tempat sebelumnya.

3
Dharma Ekonomi STIE Dharmaputra Semarang
No. 35 / Th XIX / April 2012

Studi yang dilakukan oleh Singh (1990) juga mengindikasikan bahwa respons
pelanggan terhadap ketidakpuasan dipengaruhi pula oleh karakteristik individu, seperti
demografi, sikap terhadap komplain dan nilai-nilai pribadi.
Selain pengaruh karakteristik individu, faktor produk dan situasi juga
memainkan peranan penting dalam menjelaskan respons pelanggan terhadap
ketidakpuasan. Faktor-faktor ini meliputi: daya tanggap perusahaan terhadap komplain,
biaya komplain, harga, arti penting produk bagi pelanggan dan pengalaman konsumen.
Huefner&Hunt (1994) dalam Tjiptono (2006) menambahkan tiga perilaku
komplain lainnya: retaliasi, avoidance dan grudgeholding. Retaliasi merupakan salah
satu bentuk balas dendam yang dilakukan pelanggan yang tidak puas terhadap
perusahaan atau distributor yang mengecewakannya. Manifestasinya dapat bermacam-
macam, misalnya merusak peralatan perusahaan, mencuri atau mengutil, melakukan
komunikasi gethok tular negatif di dalam toko yang bersangkutan dan disruptive
behavior (seperti sengaja meletakkan item produk di tempat-tempat yang keliru).
Avoidance dan grudgeholding merupakan bentuk variasi dari exit. Menurut Boote
(1998) dalam Tjiptono (2006), exit dapat berbentuk empat macam tindakan, yaitu:
memboikot atau berhenti membeli merek yang sama; berhenti membeli tipe produk
tertentu (terlepas siapapun produsennya); berhenti membeli dari pengecer tertentu;
berhenti membeli dari pemanufaktur tertentu. Masalah yang sering dijumpai dalam
konseptualisasi exit pada sejumlah riset perilaku komplain adalah tidak adanya time-
frame yang jelas. Konsumen yang berbeda akan berhenti membeli produk tertentu
selama jangka waktu yang berbeda-beda. Menurut Huefner&Hunt (1994) dalam
Tjiptono (2006), exit merupakan fenomena jangka pendek, sedangkan avoidance lebih
berjangka menengah sebagai bentuk tindakan sengaja untuk ‘menghukum’ perusahaan.
Sementara grudgeholding merupakan fenomena yang lebih ekstrim dan dapat
berlangsung bertahun-tahun atau bahkan selamanya.
Sementara itu, keputusan seseorang untuk melakukan komplain atau tidak,
dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut (Tjiptono, 2006): (1) Tingkat kepentingan
konsumsi yang dilakukan. Termasuk di dalamnya penting tidaknya jasa yang dibeli dan
dikonsumsi, harga jasa, waktu yang dibutuhkan untuk mengkonsumsi jasa. Apabila
konsumen mempersepsikan tingkat kepentingan, biaya, waktu yang dibutuhkan relatif

4
Dharma Ekonomi STIE Dharmaputra Semarang
No. 35 / Th XIX / April 2012

besar, maka besar kemungkinannya pelanggan bersangkutan akan melakukan komplain.


(2) Tingkat ketidakpuasan pelanggan. Semakin tidak puas seorang pelanggan, semakin
besar pula kemungkinannya melakukan komplain. (3) Manfaat yang diperoleh dari
komplain. Semakin besar persepsi konsumen terhadap manfaat yang dapat diperoleh
dari penyampaian komplain, semakin besar pula kemungkinannya melakukan komplain.
Secara garis besar, manfaat yang dapat diperoleh dari komplain adalah: (a) manfaat
emosional, yaitu kesempatan unuk menuntut hak, menumpahkan kekesalan,
melampiaskan kemarahan, serta menerima permintaan maaf, (b) manfaat fungsional,
yaitu pengambilan uang penggantian jasa yang dibeli, (c) manfaat bagi orang lain, yaitu
membantu pelanggan lain agar terhindar dari ketidakpuasan serupa di masa dating, (d)
penyempurnaan produk, yaitu perusahaan jasa kemungkinan besar akan meningkatkan
atau memperbaiki layanannya. (4) Pengetahuan dan pengalaman. Hal ini meliputi
jumlah pembelian (pemakaian jasa) sebelumnya, pemahaman akan jasa, persepsi
terhadap kapabilitas sebagai konsumen dan pengalaman komplain sebelumnya. (5)
Sikap pelanggan terhadap keluhan. Pelanggan yang bersikap positif terhadap
penyampaian keluhan biasanya sering menyampaikan komplain, karena yakin akan
manfaat positif yang akan diterimanya. (6) Tingkat kesulitan mendapatkan ganti rugi.
Faktor ini mencakup waktu yang dibutuhkan, prosedur yang harus dilalui, gangguan
terhadap aktivitas rutin yang dijalankan, dan biaya yang dibutuhkan untuk melakukan
komplain. Biaya-biaya relevan dalam menyampaikan komplain meliputi: inconvenience
(misalnya harus melakukan perjalanan khusus, harus mengisi berbagai macam formulir
dan sebagainya), uncertainty (tidak ada tanda-tanda diberikannya ganti rugi), dan
unpleasant (misalnya khawatir diperlakukan secara kasar, rasa malu, enggan
berkonfrontasi langsung dan lain-lain). Jika tingkat kesulitan dalammendapatkan ganti
rugi dirasa tinggi, maka konsumen cenderung tidak melakukan komplain. (7) Peluang
keberhasilan dalam melakukan komplain. Bila pelanggan merasa bahwa peluang
keberhasilan dalam melakukan komplain sangat kecil, maka pelanggan cenderung tidak
melakukannya. Hal sebaliknya terjadi apabila dirasakan peluangnya besar.
Penanganan komplain secara efektif memberikan peluang untuk mengubah
seorang pelanggan yang tidak puas menjadi puas (atau bahkan menjadi ‘pelanggan
abadi’). Manfaat lain dari penanganan keluhan secara efektif meliputi: (1) penyedia jasa

5
Dharma Ekonomi STIE Dharmaputra Semarang
No. 35 / Th XIX / April 2012

mendapatkan kesempatan lagi untuk memperbaiki hubungannya dengan pelanggan yang


kecewa; (2) penyedia jasa dapat terhindar dari publisitas negatif; (3) penyedia jasa dapat
memahami aspek-aspek layanan yang perlu dibenahi dalam rangka memuaskan
pelanggan; (4) penyedia jasa akan mengetahui sumber masalah operasinya; dan (5)
karyawan dapat termotivasi untuk memberikan layanan berkualitas lebih baik
(Mudie&Cottam, 1999) dalam Tjiptono (2006).
Proses penanganan komplain secara efektif dimulai dari identifikasi dan
penentuan sumber masalah yang menyebabkan pelanggan tidak puas dan mengeluh.
Langkah ini merupakan langkah yang sangat vital, karena menentukan efektivitas
langkah-langkah berikutnya. Sumber masalah ini perlu diatasi, ditindaklanjuti dan
diupayakan agar di masa datang tidak timbul masalah yang sama. Dalam langkah ini,
kecepatan dan ketepatan penanganan merupakan hal krusial. Ketidakpuasan dapat
semakin besar apabila pelanggan yang mengeluh merasa keluhannya tidak diselesaikan
dengan baik. Kondisi dapat menyebabkan mereka berprasangka buruk dan sakit hati.
Yang terpenting bagi pelanggan adalah bahwa pihak perusahaan harus menunjukkan
perhatian, keprihatinan dan penyesalannya terhadap karyawan perusahaan (terlebih
karyawan lini depan yang berhadapan langsung dengan pelanggan) perlu dilatih dan
diberdayakan untuk mengambil keputusan dalam rangka menangaani situasi-situasi
seperti itu.
Di samping itu, keterlibatan manajemen puncak dalam menangani keluhan
pelanggan juga memberikan dampak positif. Hal ini dikarenakan pelanggan lebih suka
berurusan dengan orang-orang yang memiliki kekuasaan/wewenang untuk mengambil
keputusan dan tindakan untuk memecahkan masalah mereka. Langkah berikut yang
tidak kalah pentingnya adalah mengembangkan system informasi manajemen, dimana
perusahaan dapat mengkategorikan setiap keluhan yang disampaikan dan belajar dari
kesalahan yang pernah dilakukan.
Berdasarkan hasil beberapa observasi terhadap perusahaan-perusahaan jasa
unggul, Heskett, Sasser&Hart (1997) merangkum delapan praktik utama yang
diterapkan untuk menangani pemulihan jasa, yaitu: (1) Melakukan aktivitas rekrutmen,
penempatan, pelatihan dan promosi karyawan yang mengarah pada keunggulan layanan
secara keseluruhan. (2) Secara aktif mengumpulkan menampung keluhan pelanggan

6
Dharma Ekonomi STIE Dharmaputra Semarang
No. 35 / Th XIX / April 2012

yang dipandang sebagai peluang pemasaran dan penyempurnaan proses jasa. (3)
Mengukur biaya primer dan biaya sekunder dari pelanggan yang tidak puas, lalu
melakukan penyesuaian investasi terhadap tingkat biaya tersebut. (4) Memberdayakan
karyawan lini depan untuk mengambil tindakan cepat dan tepat dalam rangka
pemulihan layanan. (5) Mengembangkan jalur komunikasi yang singkat antara
pelanggan dan manajer. (6) Memberikan penghargaan kepada setiap karyawan yang
menerima dan memecahkan masalah keluhan pelanggan, serta memperbaiki sumber-
sumber masalahnya. (7) Memasukkan keunggulan layanan dan pemulihan layanan
sebagai bagian dari strategi bisnis perusahaan. (8) Komitmen manajemen puncak
terhadap dua hal utama, yaitu: “melakukan segala sesuatu secara benar sejak pertama
kali” dan mengembangkan program pemulihan layanan yang efektif.

D. PENGARUH PENANGANAN KOMPLAIN DENGAN LOYALITAS


PELANGGAN
Komplain mempunyai kecenderungan untuk meningkatkan kepuasan dan
evaluasi produk sepanjang kepuasan memang dipengaruhi oleh intensitas komplain
(Nyer, 2000). Tetapi ini hanya sebuah kasus, artinya hal ini bisa terjadi hanya jika
perusahaan menangani komplain dengan baik. Rusbult, Farrell, Rogers, dan Mainous
(1988) menyatakan bahwa perilaku pelanggan pasca konsumsi produk dipengaruhi oleh
kepuasan sebelumnya, besarnya investasi yang dikeluarkan, dan evaluasi alternatif.
Bagaimana komplain itu ditangani akan mempengaruhi loyalitas (Ndubisi, 2007). Ball,
Coelho, dan Macha (2004) mendapatkan hubungan antara citra dan komplain terhadap
kepercayaan merek dan loyalitas pelanggan. Untuk itulah banyak perusahaan
mengedukasi konsumennya tentang bagaimana menyuarakan keluhan mereka, sehingga
dapat mengurangi ketidaksenangannya (Kowalski, 1996; Kolodinsky&Alcong, 1992).
Menyediakan saranan bagi konsumen untuk menyuarakan keluahan ini juga akan
mereduksi kemungkinan perpindahan pelanggan (Fornel&Wernerfelt, 1988). Studi yang
dilakukan oleh Stewart (1998) dan Colgate dan Hedge (2001), semuanya melaporkan
bahwa penanganan komplain memainkan peran yang signifikan dalam perilaku
berpindah.

7
Dharma Ekonomi STIE Dharmaputra Semarang
No. 35 / Th XIX / April 2012

Perilaku komplain tidak menyebabkan kepuasan. Ini tergantung pada bagaimana


komplain diterima dan diperlakukan perusahaan sebagai sesuatu yang dapat
meningkatkan kepuasan. Efek negatif dari komplain adalah terjadinya word of mouth
negative yang dapat membahayakan reputasi dan merek perusahaan (Ganesan, 1994;
Morgan dan Hunt, 1994). Jadi, ada hubungan antara citra negatif dan komplain terhadap
kepercayaan merek dan loyalitas konsumen (Ball, Coelho dan Machas, 2004). Semakin
sedikit complain pelanggan maka akan meningkatkan loyalitas pelanggan (Tax et al.,
1998).

E. PENGARUH KEADILAN DISTRIBUTIF DENGAN KEPUASAN SETELAH


MELAKUKAN KOMPLAIN.
Tax et al. (1998) mendefinisikan keadilan distributif sebagai perasaan konsumen
karena mereka telah diperlakukan secara adil dalam mendapatkan hasil pemulihan jasa
atau perilaku komplain. Hasil perilaku komplain atau pemulihan jasa ini dapat berupa
diskon, pengembalian uang, dan bentuk kompensasi lainnya. Maxham dan Netemeyer
(2002) menyatakan bahwa keadilan distributif berpengaruh pada kepuasan karena
pemulihan jasa dan kepuasan keseluruhan. Dalam penelitiannya, Maxam dan
Netemeyer menggunakan indikator untuk keadilan distributif seperti: (1) adanya hasil
yang positif meskipun menyita waktu, (2) hasil dari pemulihan jasa dirasakan adil.
Smith&Bolton (1998) mendefinisikan kepuasan karena pemulihan jasa sebagai
kepuasan konsumen setelah menghadapi kegagalan penyampaian jasa dan mendapatkan
pemulihan jasa (service recovery).
Smith et al. (1999) menemukan bahwa keadilan distributif berpengaruh pada
kepuasan dengan recovery di hotel dan restauran. Goodwin dan Ross (1992) dan Tax et
al. (1998) menemukan bahwa keadilan distributif berpengaruh terhadap kepuasan
dengan penanganan komplain. Keadilan distributif mempunyai akibat yang lebih besar
(dibandingkan dengan kadilan procedural dan keadilan interaksional) terhadap kepuasan
pelanggan setelah pemulihan jasa, keinginan membeli ulang dan loyalitas (Blodgett dan
Granbois, 1992; Boshoff, 1997; Conlon dan Murray, 1996; Smith et al., 1999; Tax et
al., 1996 dalam Oliver et al., 2010). Namun harus menjadi catatan bahwa nilai-nilai
budaya dan norma-norma dapat mempengaruhi persepsi konsumen tentang keadilan

8
Dharma Ekonomi STIE Dharmaputra Semarang
No. 35 / Th XIX / April 2012

dari proses pemilihan jasa. Matilla dan Patterson (2004) menemukan bahwa kompensasi
lebih penting untuk masyarakat Amerika dibandingkan Asia, sehingga konsumen
Amerika agresif untuk meminta ganti rugi dibandingkan konsumen Asia. Sebaliknya,
penjelasan tentang penyebab kegagalan jasa lebih penting bagi orang-orang Asia
dibandingkan orang Amerika (Matilla dan Patterson, 2004).

F. PENGARUH KEADILAN PROSEDURAL DAN KEPUASAN SETELAH


MELAKUKAN KOMPLAIN.
Keadilan prosedural mengacu pada persepsi keadilan dari kebijakan dan
prosedur dalam upaya penanganan pemulihan jasa. Terdapat bukti bahwa keadilan
prosedural mempengaruhi hasil dari proses pemulihan jasa. Sebagai contoh, jika
konsumen harus menunggu lama untuk menunggu pengembalian uang karena
perusahaan mensyaratkan karyawan fronline untuk membereskan semua ganti rugi
dengan manager, konsumen mungkin tidak merasa diperlakukan adil. Smith et al.
(1999) melaporkan pengaruh signifikan antara keadilan procedural dengan kepuasan
setelah proses pemulihan jasa, sedangkan Tax et al. (1998) menyatakan bahwa ada
pengaruh positif antara keadilan procedural dengan kepuasan setelah penanganan
komplain.
Maxham dan Netemeyer (2002) menemukan pengaruh positif antara keadilan
prosedural dengan kepuasan keseluruhan dan kepuasan setelah pemulihan jasa. Dalam
penelitiannya, Maxam dan Netemeyer menggunakan indikator keadilan procedural
seperti: (1) respon perusahaan adil dan cepat, (2) kepercayaan konsumen terhadap
keadilan prosedur, (3) perusahaan tetap adil dalam menjalankan prosedur dan
kebijakannya. Tax dan Brown (1998) menyatakan bahwa rendahnya tingkat keadilan
procedural selama kegagalan jasa atau proses pemulihan jasa dapat berakibat negatif
pada kepuasan keseluruhan.

G. PENGARUH KEADILAN INTERAKSIONAL DAN KEPUASAN SETELAH


MELAKUKAN KOMPLAIN.
Maxham dan Netemeyer (2002) mendefinisikan keadilan interaktional sebagai
perasaan konsumen setelah mereka diperlakukan secara adil berkenaan dengan interaksi

9
Dharma Ekonomi STIE Dharmaputra Semarang
No. 35 / Th XIX / April 2012

personal mereka dengan personil perusahaan melalui proses recovery. Termasuk dalam
konsep ini adalah elemen-elemen kejujuran, kesopanan, perhatian, upaya penanganan
komplain (Smith et al., 1999; Tax et al., 1998).
Evaluasi dari proses pemulihan jasa lebih ditentukan oleh interaksi antara
konsumen dengan karyawan. Smith et al. (1999),menemukan pengaruh antara keadilan
interakasional dengan kepuasan pada proses pemulihan jasa. Tax et al. (1998)
menemukan pengaruh yang kuat antara keadilan interaksional dengan kepuasan akibat
penanganan komplain. Maxham dan Netemeyer (2002) menemukan pengaruh keadilan
interaksional dengan kepuasan keseluruhan. Dalam penelitiannya ini Maxham dan
Netemeyer menggunakan indikator keadilan interaksional seperti: (1) perlakuan yang
adil dan sopan, (2) karyawan menunjukkan perhatian untuk bersikap adil, (3) keinginan
karyawan mendapatkan input dari konsumen, (3) berempati. Mackoy (1995) dalam
Maxham et al. (2002) meneliti tentang kerugian klaim konsumen dalam jasa,
menemukan bahwa kepuasan terhadap personil atau karyawan merupakan determinan
penting dalam mengukur kepuasan keseluruhan. Tetreuault (1990) dalam Maxham et al.
(2002) melaporkan bahwa kepuasan keseluruhan terhadap perusahaan meningkat ketika
karyawan memperlakukan konsumen secara adil.

DAFTAR PUSTAKA
Beatson, A., Coote, L.V. and Rudd, J.M. (2006),”Determining Consumer Satisfaction
and Commitment Trough Self-Service Technology and Personal Service Usage,”
Journal of Marketing Management, 22, 7-8, 853-882

De Ruyter, K., &Wezels, M. (2000),”Cuatomer Equity Considerations in Service


Recovery: A Cross Industry Perspective”, International Journal of Service Industry
Management, 11, 91-108.

Denham, J. (1998),”Handling Customer Complaints”, Sydney, Australia: Prentice Hall.

Fisk, R.P. Brown, S.W., &Bitner, M.J. (1993),”Tracking the Evolution of Services
Marketing Literature”, Journal of Retailing, 69, 61-103.

Fornell, Claes and Birger Wernerfelt (1988), “A Model for Customer Complaint
management”, Marketing Science, 7, 287-298

10
Dharma Ekonomi STIE Dharmaputra Semarang
No. 35 / Th XIX / April 2012

Goodwin, C., &Ross, I. (1992),”Consumer Responses to Service Failures: Influence of


Procedural and Interactional Fairness Perceptions”, Journal of Business Research, 25,
149-163

Heung, V.C.S., &Lam, T. (2003),”Consumer Complaint Behaviour towards Hotel


Restaurant Services”, International Journal of Contemporary Hospitality Management,
15, 283-289

Heskett, J.L., Sasser W.E., Schlesinger L.A. (1997),”The Service Profit Chain: How
Leading Companies Link Profit, Growth to Loyalty, Satisfaction and Value”, New
York: A Division of Simon&Schuster Inc

Hoffman, K.D., &Bateson, J.E.G. (1997),”Essentials of Service Marketing”, Forth


Worth, TX: Dryden

Huang, J.H., Huang, C.T., &Wu, S. (1996),” National Character and Response to
Unsatisfactory Hotel Service”, International Journal of Hospitality Management, 15,
229-243.

Hunt, H.K. (1991),”Customer Satisfaction, Dissatisfaction, and Complaining


Behaviour”, Journal of Social Issues, 47, 1, 107-117

Hoffman, K.D. and Bateson, J.E.G. (2006),”Service Marketing: Concepts, Strategies,


and Cases, 3th Ed.USA”: Thomson South-Western.

Johnson, R. (1994),”Service Recovery: An Empirical Study”, Coventry, United


Kingdom: Warwick Business School.

Kotler, P. (2000),”Marketing Management”, Upper Saddle River, NJ: Prentice hall

Lewis, B.R., &Clacher, E. (2001),”Service Failures and Recovery in U.K.Theme parks:


The Employees’ Perspective”, International Journal of Contemporary Hospitality
Management, 13, 166-175

Lewis, B. R., &Spyrakopoulos, S. (2001),”Service Failures and Recovery in Retail


Banking: The Consumers Perspective”, International Journal of Banking Marketing,
19, 37-47.

Liu, B. S. C., Sudharshan, D., &Hamer, L.O. (2000),”After-Service Response in Service


Quality Assessment: A Real-time Updating Model Approach”, Journal of Service
Marketing, 14, 160-177.

Maxham, J.G. (2001),” Service Recovery’s Influence on Consumer Satisfaction,


Positive Word-of-Mouth, and Purchase Intention”, Journal of Business Research, 54,
11-24.

11
Dharma Ekonomi STIE Dharmaputra Semarang
No. 35 / Th XIX / April 2012

Maxham, J.G&Netemeyer, R.G. (2002),”Modeling Customer Perceptions of Complaint


Handling over Time: The Effect of Perceived Justice on Satisfaction and Intent”,
Journal of Retailing, 78, 239-252.

Mattila, A.S. & Patterson, P. (2004),”Service Recovery and justice Perception in


Individualistic and Collectivist Cultures”, Journalof Service Research, 6, 4, 336-346

Oliver, M.& J.W. Huppertz (2010),”External Equity, Loyalty Program Membership and
service Recovery”, Journal of Service Marketing, 24, 3, 244-254

Sing, J. (1988),”Customer Complaint Intentions and Behaviour”, Journal of Marketing,


52, 1, 93-107.

Smith, A.K., Bolton, R.N. &Wagner, J. (1999),”A Model of Customer Satisfaction with
Service Encounter Involving Failure and Recovery”, Journal of Marketing Research,
36, 356-373

Tax, S.S., &Brown, S.W. (1998),”Recovering and Learning from Service Failure”,
Sloan Management Review, 40, 75-89

12

Anda mungkin juga menyukai