TINJAUAN PUSTAKA
kesehatan paripurna rumah sakit dengan beberapa kegiatan pelayana gizi yang
diberikan kepada pasien rawat inap dan rawat jalan untuk memenuhi kebutuhan gizi
pasien melalui makanan yang sesuai penyakit yang diderita. Proses pelayanan gizi
pasien rawat inap terdiri atas empat tahap, yaitu (1) assesmen atau pengkajian gizi
meliputi data antropometri, data biokimia, data klinis dan fisik, data kebiasaan
makan, serta data riwayat personal, (2) perencanaan pelayanan gizi meliputi
penentuan diet (preskripsi diet), tujuan diet, dan strategi mencapai tujuan, (3)
implementasi pelayanan gizi, dan (4) monitoring dan evaluasi pelayanan gizi
(Almatsier, 2006).
mencakup kebutuhan energi dan zat gizi serta zat-zat makanan lainnya yang disusun
berdasarkan diagnosis penyakit dan kebutuhan gizi. Penentuan diet memberikan arah
kesehatan yang optimal (Kemenkes, 2010). Dalam keadaan khusus, diet disusun
secara individual dengan mencantumkan kebutuhan energi dan zat-zat gizi, bentuk
makanan, frekuensi dan jadwal pemberian, serta besar porsi (Almatsier, 2006).
makanan rumah sakit yang dimulai dari perencanaan menu sampai dengan distribusi
makanan kepada konsumen dalam rangka pencapaian status kesehatan yang optimal
melalui pemberian diet yang tepat. Makanan yang disajikan sesuai dengan standar
rumah sakit yang disajikan pada alat makan dan diantarkan ke ruang rawat inap.
Makanan yang disajikan kepada pasien harus tepat waktu, harus sesuai dengan
jumlah atau porsi yang telah ditentukan, serta kondisi makanan yang disajikan juga
harus sesuai. Dalam hal ini perlu diperhatikan temperatur makanan yang disajikan
baik bagi pasien infeksi HIV dalam mencapai daya tahan tubuh akan lebih baik
sakit Felege Hiwot Negara Ethiopia menemukan bahwa faktor yang mempengaruhi
terjadinya gizi kurang pasien HIV/AIDS rawat inap disebabkan oleh jenis kelamin
responden, gejala HIV, status ART, durasi ART, maupun kesulitan makan (Daniel, et
al, 2013). Status gizi sangat dipengaruhi oleh kebutuhan dan asupan zat gizi. Asupan
zat gizi yang tidak memenuhi kebutuhan akibat infeksi HIV akan menyebabkan
kekurangan gizi yang bersifat kronis serta apabila pada stadium AIDS terjadi kurang
gizi yang kronis dan drastis akan mengakibatkan penurunan resistensi terhadap
infeksi lainnya. Hal itu disebabkan asupan gizi kurang mengakibatkan pemecahan
protein lebih cepat sehingga konsentrasi albumin menjadi rendah (Pettalolo, 2013).
2.2. HIV/AIDS
penyakit yang disebabkan oleh virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh
manusia yang disebut HIV atau Human Immunodeficiency Virus. AIDS merupakan
menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih termasuk limfosit yang disebut T-
CD4 adalah salah satu jenis daya tahan tubuh yang berfungsi menghidupkan
dan menghentikan kegiatan sistem kekebalan tubuh, tergantung ada tidaknya kuman
yang harus dilawan. Jumlah normal CD4 dalam sirkulasi darah sekitar 800 hingga
1200 per millimeter kubik darah. HIV yang masuk ke tubuh menginfeki sel CD4
sehingga akan rusak dan mati (Lasmadiwati, dkk, 2005). Orang yang tertular HIV
pada mulanya tidak merasakan dan tidak kelihatan sakit selama CD4-nya masih dalam
jumlah lumayan dan hingga sekitar 5 tahun jumlahnya menurun hingga setengah.
Sesudah jumlah CD4 kurang dari 200/mm3 dan tanpa diimbangi upaya intervensi,
maka daya pertahanan tubuh terhadap berbagai infeksi akan menurun membuka
Perjalanan klinis pasien dari tahap terinfeksi HIV sampai tahap AIDS sejalan
dengan penurunan sistem kekebalan tubuh. Dari semua orang yang terinfeksi HIV,
sebagian berkembang menjadi AIDS pada tiga tahun pertama, 50% menjadi AIDS
sesudah sepuluh tahun, dan hampir 100% pasien HIV menunjukkan gejala AIDS
heteroseksual), melalui darah, serta dari ibu ke anak (selama kehamilan atau
kelahiran, atau melalui air susu ibu). Penularan lebih mungkin dan sering terjadi dari
pria ke wanita melalui hubungan seks, daripada sebaliknya. Salah satu sebabnya
adalah karena kuman HIV lebih banyak ditemui di dalam cairan semen daripada
cairan vagina, serta sel-sel rahim sangat rentan terhadap infeksi HIV (Hutapea, 2003).
klinis. Oleh karena itu, diperlukan sistem diagnosis yang baik bagi penderita,
sehingga status HIV positif bisa diketahui dan penyebaran infeksi bisa dikendalikan.
HIV didiagnosis melihat tanda dan gejala klinis serta pemeriksaan laboratorium
(Nursalam & Ninuk, 2007). Infeksi HIV dapat diperiksa dengan tes darah yang
antibodi terhadap HIV. Tes lain yang dapat mengkonfirmasi hasil ELISA, antara lain
Adanya antibodi HIV tidak berarti atau memberi petunjuk waktu bahwa
seseorang yang tertular HIV akan memperoleh AIDS. Diagnosa AIDS menuntut
Pneumosistis Karinii, atau kanker leher rahim inpasif pada seorang yang seropositif
untuk mengetahui kuantitas fungsi imunologi pasien dengan infeksi HIV. Pada
Bila seseorang baru saja terinfreksi HIV, biasanya tidak merasakan gejala
apapun. Hanya sekitar 20% yang menunjukkan gejala menyerupai influenza yang
kemudian hilang atau sembuh sendiri. Beberapa tahun kemudian, gejala penyakit
muncul dan hilang timbul. Makin lama makin berat hingga pasien masuk dalam tahap
bulan sampai 1 tahun kemudian bila tidak mendapat pengobatan, atau meninggal 2-4
Penampilan penderita HIV bervariasi, ada orang yang terinfeksi tampak sehat
tanpa gejala, ada dengan gejala ringan, tetapi banyak juga yang dengan gejala akut
berupa panas tinggi, diare hilang timbul, dan badan kurus. Gejala penyakit AIDS
lebih dari 90% menunjukkan penurunan berat badan drastis, panas tinggi yang lama,
sariawan, sesak nafas, serta diare. Adapun penyakit infeksi oportunistik yang paling
tuberculosis paru dan kelenjar, virus herpes pada mulut dan kulit, toksoplasma otak,
klinis.
a. Klasifikasi laboratorium
supresi kekebalan tubuh yang ditunjukkan oleh limfosit dan limfosit CD4+ dan
stadium klinis
1000-2000 200-500 1B 2B 3B 4B
b. Klasifikasi Klinis
Pada beberapa negara, pemeriksaan limfosit CD4+ tidak tersedia. Dalam hal
ini, pasien bisa didiagnosis berdasarkan gejala klinis, yaitu berdasarkan tanda dan
gejala mayor dan minor. Dua gejala mayor di tambah dua gejala minor didefinisikan
berat badan ≥ 10% , demam memanjang atau lebih dari 1 bulan, diare kronis, dan
lebih dari satu bulan, kelemahan tubuh, berkeringat malam, hilang nafsu makan,
simplex kronis, pneumonia, dan sarkoma kaposi (Nursalam dan Ninuk, 2007).
Tabel 2.2 Klasifikasi klinis infeksi HIV pada orang dewasa menurut WHO
I a. Asimptomatik
b. Limfadenopati menyeluruh dan persisten
Skala penampilan 1: asimptomatik, aktivitas normal
Penyakit AIDS hingga saat ini belum ditemukan obatnya, maupun vaksin
yang aman dan manjur. Antiretroviral (ARV) bisa diberikan pada pasien tetapi bukan
hidup dan menurunkan kecatatan (Nursalam dan Ninuk, 2007). Menurut Zein,
pemberian ARV jika pasien berada pada stadium AIDS atau CD4 ≤ 200/ml atau CD4
≤ 350 disertai dengan penurunan kondisi klinis yang nyata. Penggunaan ARV dapat
menimbulkan efek samping berbeda setiap jenisnya pada umumnya seperti timbulnya
ruam kulit, mual, muntah, mata dan kulit kuning, anemia, kesemutan, bahkan
sampai ke tingkat yang lebih parah hingga terjadi pula penurunan status gizi. Salah
satu faktor yang berperan dalam penurunan sistem imun adalah defisiensi zat gizi
baik makro maupun gizi mikro. Memburuknya status gizi disebabkan oleh kurangnya
asupan makanan, gangguan absorbsi dan metabolisme zat gizi, infeksi oportunistik,
1. Orang yang terinfeksi HIV akan kehilangan nafsu makan dan susah makan
sehingga asupan makanan kurang dan tidak sesuai dengan syarat menu.
Hilangnya nafsu makan dapat disebabkan karena adanya infeksi pada mulut
2. Daya serap tubuh kurang baik terhadap makanan dan minuman yang
HIV juga bisa timbul kerusakan sel-sel di dalam usus sehingga daya serap
tidak termanfaatkan.
Intervensi gizi secara khusus bertujuan untuk mencapai berat badan normal;
progresivitas HIV menjadi AIDS; serta mencapai kualitas hidup yang optimal pada
orang dengan HIV/AIDS untuk tetap produktif (Kemenkes, 2010). Berikut contoh
manisfestasi klinis dan gangguan gizi yang sering terjadi pada orang dengan
mengonsumsi cairan
seperti oralit.
Asuhan gizi rumah sakit pada penderita HIV/AIDS rawat inap dapat
dilakukan dengan menjalankan diet yang teratur. Diet merupakan makanan yang
ditentukan dan dikendalikan untuk tujuan tertentu. Dalam diet jenis dan banyaknya
suatu makanan ditentukan. Disamping itu dalam diet jumlah asupan dan frekuensi
makan juga dikendalikan sehingga tercapai tujuan diet tersebut (Budianto, 2009).
Di rumah sakit terdapat pula pedoman diet tersendiri yang akan memberikan
rekomendasi yang lebih spesifik mengenai cara makan yang bertujuan bukan hanya
makanan dengan komposisi gizi yang baik dan seimbang menurut keadaan penyakit
dan status gizi masing-masing pasien, makanan dengan tekstur dan konsistensi yang
orang sehat. Kebutuhan energi dihitung berdasarkan ada atau tidaknya gejala seperti
demam, penurunan berat badan dan wasting (Jafar, 2004). Penelitian menunjukkan,
40-44% dewasa dan 59% anak-anak menderita gizi kurang dan wasting. Seseorang
dikatakan wasting bila terjadi penurunan berat badan lebih dari 10% berat badan
normal disertai demam lebih dari 30 hari, diare, dan gangguan penyakit lainnya
(WHO, 2012).
makanan tinggi kalori-protein, kaya vitamin dan mineral serta cukup air. Tujuan diet
aspek dukungan gizi pada semua tahap dini penyakit infeksi HIV.
suhu tubuh. Tambahkan energi sebanyak 13% untuk setiap kenaikan 10C.
mengganti jaringan sel tubuh yang rusak. Pemberian protein disesuaikan bila
dari kebutuhan energi total dan jenis lemak disesuaikan dengan toleransi
pasien.
cairan harus hati-hati dan diberikan secara bertahap dengan konsistensi yang
sesuai.
7. Elektrolit harus diganti (natrium, kalium dan klorida) jika terjadi muntah dan
diare.
10. Hindari makanan yang merangsang pencernaan baik secara mekanik, termik,
Makanan untuk pasien AIDS dapat diberikan melalui tiga cara, yaitu secara
oral, enteral (sonde), dan parenteral (infus). Ada tiga macam diet AIDS yaitu Diet
1. Diet AIDS I
Diet AIDS I diberikan kepada pasien infeksi HIV akut, dengan gejala panas
tinggi, sariawan, kesulitan menelan, sesak nafas berat, diare akut, kesadaran
menurun, atau segera setelah pasien dapat diberi makan. Makanan berupa
cairan dan bubur susu, diberikan selama beberapa hari sesuai dengan keadaan
pasien, dalam porsi kecil setiap 3 jam. Bila ada kesulitan menelan, makanan
enteral komersial energi dan protein tinggi. Makanan ini cukup energi, zat
besi, tiamin, dan vitamin C. Nilai gizi bahan makanan cair oral dan makanan
lewat pipa diet AIDS I dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Protein (g) 73 95 90
2. Diet AIDS II
Diet AIDS II diberikan sebagai perpindahan diet AIDS I setelah tahap akut
teratasi. Makanan diberikan dalam bentuk saring atau cincang setiap 3 jam.
kebutuhan energi dan zat gizinya, diberikan makanan enteral atau sonde
sebagai tambahan atau sebagai makanan utama. Nilai gizi bahan makanan
saring oral dan makanan enteral komersial diet AIDS II dapat dilihat pada
Protein (g) 72 90
Lemak (g) 83 61
Diet AIDS II diberikan sebagai perpindahan dari Diet AIDS II atau kepada
pasien dengan infeksi HIV tanpa gejala. Bentuk makanan lunak atau biasa,
diberikan dalam porsi kecil dan sering. Diet ini tinggi energi, protein, vitamin,
dan mineral. Apabila kemampuan makan melalui mulut terbatas dan masih
sebagai makanan tambahan atau makanan utama. Nilai gizi bahan makanan
biasa/lunak dan makanan enteral (sonde) diet AIDS III dapat dilihat pada tabel
dibawah ini.
Tabel 2.6 Nilai Gizi Bahan Makanan untuk Diet AIDS III
Makanan
Makanan Sonde
Biasa/lunak
Lemak (g) 65 73
Tabel 2.7 Bahan Makanan Yang Dianjurkan Dan Tidak Dianjurkan Dalam
Diet HIV/AIDS
Pemberian diet TKTP bertujuan untuk memenuhi kebutuhan energi dan protein yang
Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP) adalah diet yang mengandung
energi dan protein diatas normal. Diet diberikan dalam bentuk makanan biasa
ditambah bahan makanan sumber protein tinggi seperti susu, telur, dan daging, atau
bentuk minuman enteral Tinggi Kalori Tinggi Protein. Diet ini diberikan bila pasien
telah mempunyai nafsu makan dan dapat menerima makanan lengkap. Pada
prinsipnya diet TKTP diberikan secara bertahap secara oral (melalui mulut),
mengandung energi yang memadai, protein yang sesuai dan berkualitas tinggi, bahan
makanan yang mempunyai efek antioksidan yang tinggi serta mengandung vitamin
Asupan zat gizi mikro penting dalam fungsi kekebalan tubuh dan infeksi
penyakit menular. Penelitian yang dilakukan oleh Ive Maryani, dkk di RSUP Dr.
memperbaiki nafsu makan dan stabilitator berat badan (Maryani dkk, 2012).
Pemberian diet TKTP disesuaikan dengan jenis diet TKTP yang harus
diberikan. Adapun jenis diet TKTP adalah berupa diet TKTP I dan diet TKTP II. Diet
TKTP I dengan energi 2600 kkal dan protein 100 g (2 g/kg BB). Diet TKTP II
dengan energi 3000 kkal dan protein sebesar 125 g (2,5 g/kg BB).
Bahan makanan TKTP adalah bahan makanan biasa seperti yang terdapat
TKTP I TKTP II
Bahan Makanan
Berat (g) Urt Berat (g) Urt
Nilai gizi berdasarkan jenis diet TKTP nya dapat dilihat pada Tabel 2.9.
TKTP I TKTP II
Lemak (g) 73 98
zat gizi dan penggunaan zat-zat gizi dalam bentuk variabel tertentu. Umumnya pasien
HIV/AIDS yang rawat inap mengalami penurunan status gizi yang terlihat dari
penurunan berat badan akibat gangguan gizi yang disebabkan oleh kurangnya asupan
makanan, gangguan absorbsi dan metabolisme zat gizi, infeksi oportunistik, serta
Penilaian status gizi yang tepat untuk kategori dewasa adalah pengukuran
indeks massa tubuh (IMT), karena pengukuran indeks massa tubuh paling sederhana
dengan klasifikasi IMT yang tersedia. Berikut adalah klasifikasi IMT untuk orang
Indonesia.
Kategori IMT
Berdasarkan pada masalah dan tujuan yang dicapai dalam penelitian ini, maka
oleh frekuensi, jumlah, dan kandungan zat gizi yang diberikan. Selain itu, peneliti