Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pengaruh perkembangan zaman yang membuat masyarakat semakin hedonis,
konsumtif, namun tidak produktif. Kebutuhan yang semakin hari semakin banyak,
namun pendapatan yang tetap sama. Sehingga terjadilah pembekakan pada
pengeluaran bulanan. Akhirnya banyak masyarakat yang menutupi kebutuhan
bulanannya dengan menghutang pada bank, rentenir, atau lembaga lainnya. Namun
dengan menghutang masalah yang mereka hadapi malah semakin membesar, setiap
bulan harus membayar angsuran beserta bunganya, belum lagi harus memenuhi
kebutuhan sehari-hari.
Alternatif yang dipilih masyarakat untuk menghadapi masalah tersebut adalah dengan
menggadaikan barang-barang berharga. Tidak jarang karena masyarakat lebih banyak
melakukan hal itu, gadai barang menjadi salah satu modus rentenir dalam menjalankan
operasinya.
Oleh karena itu, penulis akan memaparkan hal-hal yang terkait tentang
pegadaian syariah, agar pembaca dapat mengetahui secara jelas tentang pegadaian
syariah, dan dapat memilih pegadaian yang tepat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian gadai syariah?
2. Apa saja landasan hukum gadai syariah?
3. Apa saja rukun dan syarat gadai syariah?
4. Apa saja jasa dari pegadaian syariah?
5. Apa saja jenis akad dalam pelaksanaan gadai syariah?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk megetahui pengertian gadai syariah
2. Untuk mengetahui landasan hukum gadai syariah
3. Untuk mengetahui rukun dan syarat gadai syariah
4. Untuk mengetahui jasa dari pegadaian syariah
5. Untuk mengetahui jenis akad dalam pelaksanaan gadai syariah.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Gadai Syariah


Transaksi hukum gadai dalam fiqih islam disebut ar-rahn. Ar-rahn adalah
suatu jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai tanggungan utang.1
Pegadaian adalah salah satu bentuk lembaga keuangan bukan bank yang
diperuntukkan bagi manusia luas berpenghasilan menengah ke bawah yang
membutuhkan dana dalam waktu segera. Dana tersebut digunakan untuk
membiayai kebutuhan tertentu terutama yang sangat mendesak, misalnya
membiayai pendidikan anak pada awal tahun ajaran, biaya pulang mengunjungi
keluarga yang kena musibah, biaya pengobatan anggota keluarga yang sakit, biaya
menghadapi lebaran idul fitri, dan lain-lain.
Dengan demikian, lembaga pegadaian mempunyai peran penting, terutama
untuk memenuhi kebutuhan dana segar (fresh money) akibat adanya kebutuhan
yang mendesak.2 Selain pengertian gadai (rahn) yang dikemukakan diatas, ada
beberapa pengertian gadai (rahn) yang diberikan oleh para ahli hukum Islam
sebagai berikut:
1. Ulama Syafi’iyah mendefinisikan sebagai berikut.
“Menjadikan suatu barang yang bisa dijual sebagai jaminan utang
dipenuhi dari harganya, bila yang berutang tidak sanggup membayar
utangnya.”
2. Ulama Hanabilah mengungkapkan sebagai berikut.
“Suatu benda yang dijadikan kepercayaan suatu utang, untuk dipenuhi
dari harganya, bila yang berutang tidak sanggup membayar utangnya.”
3. Ulama malikiyah mendefinisikan sebagai berikut.
“Sesuatu yang bernilai harta (mutamawwal) yang diambil dari
pemiliknya untuk dijadikan pengikat atas utang yang tetap (mengikat).”

1
Zainuddin, Hukum Gadai Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 1
2
Mardani, Hukum Bisnis Syariah, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 202-203
2
4. Ahmad Azhar Basyir
Rahn adalah perjanjian menahan suatu barang sebagai tanggungan utang,
atau menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai
tanggungan marhun bih, sehingga dengan adanya tanggungan utang itu seluruh
atau sebagai utang itu dapat diterima.
5. Muhammad Syafi’I Antonio
Gadai syariah (rahn) adalah menahan salah satu harta milik nasabah
(rahin) sebagai barang jaminan (marhum) atas utang/pinjaman (marhun bih)
yang diterimanya. Marhun tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan
demikian, pihak yang menahan atau penerima gadai (murtahin) memperoleh
jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.
Berdasarkan pengertian gadai yang dikemukakan oleh para ahli hukum
Islam di atas, dapat disimpulkan bahwa gadai (rahn) adalah menahan barang
jaminan yang bersifat materi milik si peminjam (rahin) sebagai jaminan atas
pinjaman yang diterimanya, dan barang yang diterima tersebut bernilai ekonomis,
sehingga pihak yang menahan (murtahin) memperoleh jaminan untuk mengambil
seluruh atau sebagian utangnya dari barang gadai yang dimaksud, bila pihak yang
menggadaikan tidak dapat membayar utang pada waktu yang telah ditentukan.3
B. Landasan Hukum Gadai Syariah
Gadai hukumnya boleh (jaiz) menurut Al-Quran dan As-Sunnah, dan ijma
ulama.4
1. Al-quran Surat Al-baqarah: 83:
“dan (ingatlah), ketika kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu):
janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada
ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim,dan orang-orang miskin, serta
ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah sholat dan
tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebagian
kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling (Al-baqarah: 83).

2. Hadist
3
Zainuddin, Hukum Gadai Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 2-3
4
Ismail Nawawi, Ekonomi Kelembagaan Syariah Dalam Pusaran Perekonomian Global Sebuah Tuntutan Dan
Realitas, (Surabaya: ITS Press, 2009), hlm. 126
3
Hadist nabi Muhammad saw:
“Dari Aisyah ra. Sesungguhnya Nabi saw. Membeli makanan dari orang
Yahudi dengan cara ditangguhkan pembayarannya kemudian Nabi
menggadaikan baju besinya.”
Dari Abu Hurairah ra, rasulullah saw bersabda:
Artinya
“Punggung hewan yang digadaikan boleh ditung-gangi dengan
membayar don susu binatang ternak boleh diminum dengan membayar bila-
mana digadaikan. Dan bagi orang yang menaiki dan meminum susunya wajib
memebayar”. (HR Bukhori)
Dari Abi Hurairah, Nabi Muhammad saw. Bersabda,
Artinya:
“Barang siapa yang digadaikan itu tidak boleh tertutup dari pemiliknya
yang menggadaikannya, sehingga ia mendapat keuntungan dan menanggung
kerugiannya”.5
Disamping itu, para ulama sepakat membolehkan gadai (rahn). Landasan
ini kemudian diperkuat dengan Fatwa Dewan Islam Nasional No. 25/DSN-
MUI/III/2002 Tanggal 26 Juni 2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan
menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan
dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Ketentuan Umum
a. Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan marhun
(barang) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.
b. Marhun manfaatnya tetap menjadi milik rahin. Pada prinsipnya marhun
tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizing rahin, dengan tidak
mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya
pemeliharaan perawatannya.
c. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban
rahin, namun dapat juga dilakukan oleh murtahin, sedangkan biaya dan
pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.
d. Besar biaya administrasi dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan
berdasarkan jumlah pinjaman.
e. Penjualan marhun:

5
Ibid. hlm, 126-127
4
1) Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera
melunasi hutangnya
2) Apabila rahin tetap tidak melunasi hutangnya, maka marhun dijual
paksa/dieksekusi
3) Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya
pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya
penjualan.
4) Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya
menjadi kewajiban rahin.
2. Ketentuan Penutup
a. Jika salah satu pihak tidak dapat menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannyadilakukan
melalui Badan Arbitrase Islam setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah.
b. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika
dikemudian hari terdapat kekeliruan akan diubah dan disempurnakan
sebagaimana mestinya.6
C. Rukun dan Syarat Gadai Syariah
Pada umumnya aspek hukum keperdataan Islam (fiqh mu’amalah) dalam
hal transaksi baik dalam bentuk jual beli, sewa menyewa, gadai maupun yang
semacamnya mempersyaratkan rukun dan syarat sah termasuk dalam transaksi
gadai.
1. Rukun Gadai
Dalam fiqih empat mazhab (fiqh al-madzahib al-arba’ah) diungkapkan
rukun gadai sebagai berikut:
a. Aqid (Orang yang Berakad)
Aqid adalah orang yang melakukan akadyang meliputi 2 (dua) arah, yaitu
(a) Rahin (orang yang mengadaikan barangnya), dan (b) Murtahin (orang
yang berpiutang dan menerima barang gadai), atau penerima gadai. Hal
dimaksud, didasari oleh shighat, yaitu ucapan berupa ijab qabul (serah
terima antara penggadai dan penerima gadai).

b. Ma’qud ‘alaih (Barang yang Diakadkan)


6
Nurul Huda, Lembaga Keuangan Islam Tinjauan Teoretis dan Praktis, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 278-279
5
Ma’qud ‘alaih meliputi 2 (dua) hal, yaitu (a) Marhun (barang yang
digadaikan), dan (b) Marhun bihi (dain), atau utang yang karenanya
diadakan akad rahn. Namun demikian, ulama fikih berbeda
pendapatmengenai masuknya shighat sebagai rukun dari terjadinya rahn.
Ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa shighat tidak termasuk rukun
rahn, melainkan ijab (pernyataan menyerahkan barang sebagai agunan bagi
pemilik barang) dan qabul (pernyataan kesediaan dan memberi utang, dan
menerima narang agunan tersebut).7
2. Syarat-syarat Gadai
a. Rohin dan Murtahin
Pihak-pihak yang melakukan perjanjian gadai, yakni rahin dan murtahin,
harus mempunyai kemampuan, yaitu berakal sehat. Kemampuan juga
berarti kelayakan seseorang untuk melakukan transaksi kepemilikan. Setiap
orang yang sah untuk melakukan jual beli, maka ia juga sah melakukan
gadai (rahn), karena gadai seperti jual beli, yang merupakan pengelolaan
harta.
b. Sighat (akad)
Sighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan juga waktu dimasa
mendatang. Gadai mempunyai sisi pelepasan barang dan pemberian hutang
seperti halnya akad jual beli, maka tidak boleh diikat dengan syarat tertentu
atau dengan suatu waktu tertentu atau dengan awktu dimasa depan.
c. Marhun bihi (hutang)
Harus merupakan hak wajib diberikan dan diserahkan kepada pemiliknya.
Memungkinkan pemanfaatannya. Bila sesuatu yang menjadi hutang itu tidak
bisa dimanfaatkan, maka tidak sah. Harus dikuantifikasikan, atau dapat
dihitung jumlahnya. Bila tidak dapat diukur atau tidak dapat
dikuantifikasikan rahn atau gadai tidak sah.
d. Marhun (barang)
Menurut ulama Syafi’iyyah, gadai bisa sah dengan dipenuhinya tiga syarat.
Pertama, haerus berupa barang, kedua, penetapan kepemilikan penggadai
atas barang yang digadaikan tidak terhalang, ketiga, barang yang digadaikan
bisa dijual manakala sudah tiba mas apelunasan hutang gadai.8
D. Jasa Pegadaian Syariah
7
Zainuddin, Hukum Gadai Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 20-21
8
Ismail Nawawi, Ekonomi Kelembagaan Syariah Dalam Pusaran Perekonomian Global Sebuah Tuntutan Dan
Realitas, (Surabaya: ITS Press, 2009), hlm. 128
6
Pegadaian syariah menawarkan jasa kepada warga masyarakat dalam
beberapa bentuk sebagai berikut:
1. Pemberian Pinjaman
Pemberian pembiayaan atau pembiayaan berdasarkan hukum gadai
syariah. Produk dimaksud, mensyaratkan pemberian pinjaman dengan
penyerahan harta benda sebagai jaminan. Harta benda gadai harus berbentuk
barang bergerak. Oleh karena itu, pemberian pinjaman sangat ditentukan oleh
nilai dan kualitas serta jumlah barang yang akan digadaikan.
2. Penaksiran Nilai Harta Benda
Penaksiran nilai harta benda yang dilakukan oleh pegadaian syariah
merupakan pelayanan berupa jasa atas nilai suatu harta benda kepada warga
masyarakat. Jasa yang ditaksir itu, biasanya meliputi semua harta benda
bergerak dan tidak bergerak. Jasa dimaksud, diberikan kepada warga
masyarakat yang menginginkan kualitas harta benda seperti emas, perak, dan
berlian. Biaya yang dikenakan pada nasabah adalah berupa ongkos dari
penaksiran barang.
3. Penitipan Barang Berupa Sewa (Ijarah)
Penitipan barang berupa sewa (ijarah) yang dilakukan oleh pegadaian
syariah berarti menerima titipan barang dari warga masyarakat berupa surat-
surat berharga. Misalnya, sertifikat tabah, ijazah, hak eigendom motor, mobil,
dan sebagainya. Surat-surat penitipan barang berharga dimaksud, diberikan
kepada warga masyarakat yang melakukan perjalanan jauh dalam waktu yang
relative lama. Atas jasa penitipan surat-surat berharga dimaksud, gadai syariah
memperoleh penerimaan dari pemilik barang berupa sewa penitipan barang.
4. Gold Counter
Gold Counter adalah jasa penyediaan fasilitas berupa tempat penjualan
emas yang berkualitas eksekutif dan aman yang disediakan oleh pegadaian
syariah. Gold Counter dimaksud, semacam toko emas galeri 24. Setiap
pembelian ditoko milik pegadaian syariah akan dilampiri sertifikat jaminan.
Hal ini dilakukan untuk memberikan layanan bagi warga masyarakat kelas
menengah, yang masih peduli dengan image. Berdasarkan sertifikat dimaksud,
warga masyarakat mempercayai dan yakin bahwa kualitas dan keaslian emas
yang dibeli ditoko tersebut mempunyai legalitas.9
E. Jenis Akad dalam Pegadaian Syariah
9
Zainuddin, Hukum Gadai Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 53-54
7
1. Akad Qard Al-Hasan
Akad qard al-hasan adalah suatu akad yang dibuat oleh pihak pemberi
gadai dengan pihak penerima gadai dalam hal transaksi gadai harta benda yang
bertujuan untuk mendapatkan uang tunai yang diperuntukkan untuk konsumtif.
Hal dimaksud, pemberi gadai (nasabah/rahin) dikenakan biaya berupa
upah/fee dari penerima gadai (murtahin). Akad qard al-hasan dimaksud, pada
prinsipnya tidak boleh pembebanan biaya selain biaya administrasi.
Oleh karena itu, akad dimakmaksud bersifat sosial, terapi tetap
diperkenankan murtahin menerima fee dari rahin sebagai pengganti biaya
administrasi. Sebagai contoh dapat diungkapkan: Ahmad membutuhkan uang
tunai sebesar Rp. 1.000.000,00 untuk membeli kursi tamu dirumahnya. Karena
itu, Ahmad mengajukan permohonan ke kantor pegadaian syariah dengan
membawa anggunan berupa emas 100 gram. Berdasarkan jumlah dana
permohonanAhmad dimaksud, pihak gadai menaksir harga emas serta biaya
titipannya selama 3 (tiga) bulan sehingga Ahmad menerima sejumlah uang
yang dibutuhkan. Namun, ketika Ahmad mengembalikan pinjamannya kepada
kantor pegadaian syariah maka ia harus membayar biaya taksir anggunan dan
biaya sewa tempat penitipan emas 100 gram plus utangnya.
Berdasarkan penjelasan pinjaman dalam akad qard al-hasan yang
diuraikan diatas, dapat disimpulkan prosesnya sebagai berikut.
a. Rahin membawa marhun (agunan) yang tidak dapat dimanfaatkan atau
dikelola kepada kantor pegadaian syariah (murtahin) untuk meminta
fasilitas pembiayaan
b. Murtahin melakukan pemeriksaan, termasu juga menaksir harga marhun
yang diberikan oleh rahin sebagai jaminan utang yang akan dipinjamnya
c. Setelah semua persyaratan terpenuhi, maka murtahin dengan rahin akan
melakukan akad/transaksi
d. Sesudah dilakukan akad oleh murtahin dengan rahin, maka murtahin
memberikan sejumlah uang sesuai kebutuhan yang disesuaikan dengan
nilai taksir marhun kepada rahin

8
e. Ketika rahin melunasi utangnya kepada murtahin, maka selain rahin
membayar utangnya, ia juga membayar biaya administrasi, biaya taksir
marhun dan biaya sewa tempat barang jaminan kepada kantor pegadaian
syariah selaku pihak murtahin.10
2. Akad Mudharabah
Akad mudharabah adalah suatu akad yang dilakukan oleh pihak pemberi
gadai (rahin) dengan pihak penerima gadai (murtahin). Pihak pemberi gadai
(rahin) atau orang yang menggadaikan harta benda sebagai jamunan untuk
menambah modal usahanya atau pembiayaan produktif. Akad dimaksud, pihak
pemberi gadai akan memberikan bagi hasil berdasarkan keuntungan yang
diperoleh kepada penerima gadai sesuai dengan kesepakatan, sampai modal
yang dipinjamnya dilunasi.
Apabila harta benda yang digadaikan itu dapat dimanfaatkan oleh
penerima gadai, maka dapat di adakan kesepakatan baru mengenai
pemanfaatan harta benda gadaian berdasarkan akad yang disesuaikan dengan
jenis harta benda gadaian. Namun, jika pemilik harta benda tidak berniat
memanfaatkan harta benda dimaksud, penerima gadai dapat mengelola dan
mengambil manfaat dari barang itu dan hasilnya diberikan sebagian kepada
pihak pemberi gadai berdasarkan kesepakatan.
Sementara ketentuan presentase nisbah bagi hasil sesuai dengan
kesepakatan antara pemilik barang gadai (rahin) dengan mengelola barang
gadai (murtahin). Selain hal dimaksud, dapat juga berarti bahwa pihak pemberi
barang gadai (rahin) memberikan hasil keuntungan kepada penerima gadai
(murtahin) bila pinjaman uang tunai dimaksud dijadikan modal usaha.
Berdasarkan penjelasan pinjaman dalam akad mudharabah yang diuraikan
diatas, dapat disimpulkan prosesnya sebagai berikut.

a. Rahin mendatangi murtahin untuk meminta fasilitas pembiayaan dengan


membawa marhun, baik yang dapat dimanfaatkan/dikelola maupun yang
tidak dapat dimanfaatkan
b. Murtahin melakukan pemeriksaan, termasuk menaksir kualitas dan harga
marhun yang diberikan okeh rahin sebagai jaminan utangnya
c. Apabila semua persyaratan terpenuhi maka murtahin bersama rahin
melakukan akad mudharabah
10
Ibid. hlm. 83-84
9
d. Sesudah selesai dilakukan akad, maka murtahin akan memberikan sejumlah
dana yang dibutuhkan okeh rahin dan jumlah dana dimaksud lebih rendah
dari nilai jumlah taksir marhun
e. Sedudah rahin menerima sejumlah dana dari murtahin, selanjutnya akan
dilakukan kesepakatan tentang pemanfaatan marhun. Jika marhun tersebut
disepakati untuk dapat dikelola maka akan ditentukan mengenai siapa yang
mengelola, dan selanjutnya akad pemanfaatan marhun dan hasilnya akan
dibagi berdasarkan akad.11
3. Akad Ba'i Muqayyadah

Akad ba'i muqayyadah adalah akad yang dilakukan oleh pemilik sah
harta benda barang gadai dengan pengelola barang gadai agar harta benda
dimaksud, mempunyai manfaat yang produktif. Misalnya pembelian peralatan
untuk modal kerja. Untuk memperoleh dana pinjaman, nasabah harus
menyerahkan harta benda sebagai jaminan berupa barang-barang yang dapat
dimanfaatkan oleh penerima gadai, baik oleh rahin maupun murtahin.

Dalam hal ini, nasabah dapat memberi keuntungan berupa mark up atas
barang yang dibelikan oleh murtahin atau pihak penerima gadai dapat
memberikan barang yang dibutuhkan oleh nasabah dengan akad jual beli
sehingga murtahin dapat mengambil keuntungan berupa margin dari penjualan
barang tersebut sesuai kesepakatan antara keduanya. Sebagai contoh dapat
diungkapkan: Hasan membutuhkan pabrik penggilingan padi. Maka hasan
mengajukan permohonan kepada kantor pegadaian agar dapat dibelikan pabrik
dimaksud. Berdadarkan permohonan Hasan maka pihak penggadaian syariah
membelikan kebutuhan Hasan berupa pabrik penggilingan padi. Apabila harga
penggilingan beras dimaksud Rp. 15.000.000,00 maka pihak pegadaian syariah
menjual kepada Hasan Rp. 17.500.000,00 berdasarkan kesepakatan sehingga
pihak pegadaian syariah mendapat keuntungan Rp. 2.500.000,00.

Berdasarkan penjelasan pinjaman dalam akad ba'i muqayyadah yang diuraikan


diatas, dapat disimpulkan prosesnya sebagai berikut.

a. Rahin mendatangi murtahin untuk meminta fasilitas pembiayaan dengan


membawa barang jaminan yang dapat dimanfaatkan atau tidak dapat

11
Ibid. hlm. 87-86
10
dimanfaatkan (marhun) yang akan diserahkan kepada murtahin sebagai
jaminan utang yang akan dipinjam (marhun bih)
b. Murtahin akan melakukan pemeriksaan berkenaan kualitas, termasuk
menaksir harga marhun yang diberikan oleh rahin sebagai jaminan marhun
bih
c. Setelah semua persyaratan terpenuhi, maka murtahin dan rahin akan
melakukan akad, dan menentukan mark up yang akan diberikan kepada
murtahin, mark up dimaksud dibayarkan pada saat jatuh tempo
d. Sesudah akad dilakukan, murtahin akan membelikan barang sesuai yang
diinginkan oleh rahin dan harganya dibawah nilai taksir barang (dibawah
nilai jaminan)
e. Ketika rahin menerima barang yang diinginkan dari murtahin tersebut maka
ada negoisasi kembali mengenai marhun tersebut, yaitu apakah barang
tersebut dimanfaatkan atau tidak. Jika marhun tersebut disepakati untuk
dimanfaatkan/dikelola maka akan ditentukan mengenai siapa yang
mengelola (sesuai kesepakatan), dan baru melakukan akad pemanfaatan
marhun (akad sesuai jenis barangnya), dan hasilnya dibagi bersama
berdasarkan persentase yang disepakati oleh pihak-pihak yang berakad.12

4. Akad Ijarah

Akad ijarah adalah akad yang objeknya merupakan penukaran manfaat


harta benda pada masa tertentu, yaitu pemilikan manfaat dengan imbalan, sama
dengan seorang menjual manfaat barang. Dalam akad ini ada kebolehan untuk
menggunakan manfaat atau jasa dengan sesuatu penggantian berupa
kompensasi.

Dalam akad dimaksud, penerima gadai (murtahin) dapat menyewakan


penyimpangan barang (deposit box) kepada nasabahnya. Barang titipan dapat
berupa harta benda yang menghasilkanmanfaat atau tidak menghasilkan
manfaat. Pemilik yang menyewakan disebut muajir (pegadaian); sedangkan
nasabah (penyewa) disebut mustajir, dan sesuatu dapat diambil manfaatnya
disebut majur, sementara kompensasi atau imbalan jasa disebut ajran atau
ujrah.

12
Ibid. hlm. 92-93
11
Pelaksanaan akad ijarah dimaksud, berarti nasabah (rahin) memberikan
fee kepada murtahin ketika masa kontrak berakhir dan murtahin
mengembalikan marhun kepada rohin. Karena itu, untuk menghindari
terjadinya riba dalam transaksi ijarah maka pengenaan biaya jasa barang
simpanan nasabah harus memenuhi persyaratan, yaitu.

a. Harus dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan persentase


b. Sifatnya harus nyata, jelas dan pasti, serta terbatas pada hal-hal yang mutlak
diperlukan untuk terjadinya transaksi ijarah
c. Tidak terdapat tambahan biaya dan yang tidak tercantum dalam akad.

Berdasarkan penjelasan pinjaman dalam akad ijarah yang diuraikan


diatas, dapat disimpulkan prosesnya sebagai berikut.

a. Rahin mendatangi murtahin untuk meminta fasilitas penyimpanan barang


dengan membawa marhun, baik yang tidak dapat dimanfaatkan/dikelola
maupun yang dapat dikelola/dimanfaatkan yang akan diserahkan kepada
pihak murtahin
b. Murtahin melakukan pemeriksaan berkenaan kualitasnya, termasuk juga
menaksir marhun yang di berikan oleh rahin sebagai barang yang akan
disimpan atau dititip
c. Setelah semua persyaratan terpenuhi, murtahin dan rahin akan melakukan
kesepakatan dalam bentuk akad
d. Sesudah akad dilakukan, maka murtahin akan memberikan tempat
penyimpanan barang yang diinginkan oleh rahin dan jumlahnya yang
disesuaikan dengan nilai taksir barang
e. Sebagai pengganti biaya penyimpanan dan perawatan, maka pada saat akad
berakhir, rahin memberikan sejumlah jasa atau fee kepada murtahin
f. Jasa adalah sesuatu tempat yang dimiliki oleh murtahin untuk dimanfaatkan
oleh rahin dalam bentuk sewa.13

5. Akad Musyarakah Amwal Al-'Inam

13
Ibid. hlm. 97-98
12
Akad musyarakah amwal al-'inam adalah suatu transaksi dalam bentuk
perserikatan antara dua pihak atau lebih yang disponsori oleh pegadaian
syariah untuk berbagi hasil (profit loss sharing), berbagi kontribusi, berbagi
kepemilikan, dan berbagi risiko dalam sebuah usaha. Pola musyarokah
dimaksud mendorong terjadinya investasi bersama antara pihak yang
mempunyai modal minimum tetapi mempunyai kemampuan yang memadai
untuk berusaha, dengan pihak yang mempunyai modal besar tetapi belum
memanfaatkan secara optimal.

Karena itu, pegadaian syariah dalam hal ini memperoleh laba dari
usahanya dalam menghimpun dana (finding product), yaitu melalui penerapan
akad musyarakah (partnership, project financing participation), yang
diakadkan adalah dana dan kerja yang dapat dikelola sesuai dengan
kesepakatan pada saat akad berlangsung hingga batas waktu yang telah
ditentukan atau disepakati oleh pihak-pihak. Berdasarkan penjelasan pinjaman
dalam akad musyarakah amwal al-'inam yang diuraikan diatas, dapat
disimpulkan prosesnya sebagai berikut.

a. Pegadaian syariah (murtahin) dan parner-parner mengadakan akad kerja


sama bagi hasil dalam sistem gadai
b. Setelah semua perayaratan terpenuhi, maka pegadaian syariah (murtahin)
dan parner-parner akan melakukan akad, dan menentukan bagi hasil yang
akan diperoleh dan ditanggung bersama bila terjadi kerugian
c. Setelah akad dilakukan, maka parner-parner akan menyerahkan modalnya
yang diinginkan oleh murtahin sesuai dengan kesepakatan
d. Setelah murtahin menerima midal yang diinginkan dari parner-parner maka
murtahin akan melakukan pengelolaan modal yang diserahkan parner-
parner, untuk dikelola dan bila mendapatkan keuntungan akan berbagi hasil
dan bila mendapat kerugian akan ditanggung bersama.14

BAB III

14
Ibid. hlm. 101-102
13
PENUTUP

A. Kesimpulan
Transaksi hukum gadai dalam fiqih islam disebut ar-rahn. Ar-rahn adalah
suatu jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai tanggungan utang.
Pegadaian adalah salah satu bentuk lembaga keuangan bukan bank yang
diperuntukkan bagi manusia luas berpenghasilan menengah ke bawah yang
membutuhkan dana dalam waktu segera.
para ulama sepakat membolehkan gadai (rahn). Landasan ini kemudian
diperkuat dengan Fatwa Dewan Islam Nasional No. 25/DSN-MUI/III/2002 Tanggal
26 Juni 2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang
sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan.
Pegadaian syariah menawarkan jasa kepada warga masyarakat dalam
beberapa bentuk seperti: Pemberian Pinjaman, Penaksiran Nilai Harta Benda,
Penitipan Barang Berupa Sewa (Ijarah) dan Gold Counter.
Sedangkan Jenis Akad dalam Pegadaian Syariah yaitu seperti: Akad Qard
Al-Hasan, Akad Mudharabah, Akad Ba'i Muqayyadah, Akad Ijarah, Akad
Musyarakah Amwal Al-'Inam.
B. Saran
kami selaku pembuat makalah ini menyadari kekurangan yang ada didalam
makalah kami, dan kami juga mohon maaf apabila ada kesalahan baik dari segi
kalimat maupun penulisan. Demikian saran yang dapat kami sampaikan dan yang
terahir penulis mengharapkan agar pembaca dapat memberikan kritikan dan saran
yang membangun dari kesalahan yang ada.

DAFTAR PUSTAKA
14
Zainuddin, Hukum Gadai Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008)
Mardani, Hukum Bisnis Syariah, (Jakarta: Kencana, 2014)

Nawawi Ismail, Ekonomi Kelembagaan Syariah Dalam Pusaran Perekonomian


Global Sebuah Tuntutan Dan Realitas, (Surabaya: ITS Press, 2009)

Huda Nurul, Lembaga Keuangan Islam Tinjauan Teoretis dan Praktis, (Jakarta:
Kencana, 2010)

15

Anda mungkin juga menyukai