PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengaruh perkembangan zaman yang membuat masyarakat semakin hedonis,
konsumtif, namun tidak produktif. Kebutuhan yang semakin hari semakin banyak,
namun pendapatan yang tetap sama. Sehingga terjadilah pembekakan pada
pengeluaran bulanan. Akhirnya banyak masyarakat yang menutupi kebutuhan
bulanannya dengan menghutang pada bank, rentenir, atau lembaga lainnya. Namun
dengan menghutang masalah yang mereka hadapi malah semakin membesar, setiap
bulan harus membayar angsuran beserta bunganya, belum lagi harus memenuhi
kebutuhan sehari-hari.
Alternatif yang dipilih masyarakat untuk menghadapi masalah tersebut adalah dengan
menggadaikan barang-barang berharga. Tidak jarang karena masyarakat lebih banyak
melakukan hal itu, gadai barang menjadi salah satu modus rentenir dalam menjalankan
operasinya.
Oleh karena itu, penulis akan memaparkan hal-hal yang terkait tentang
pegadaian syariah, agar pembaca dapat mengetahui secara jelas tentang pegadaian
syariah, dan dapat memilih pegadaian yang tepat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian gadai syariah?
2. Apa saja landasan hukum gadai syariah?
3. Apa saja rukun dan syarat gadai syariah?
4. Apa saja jasa dari pegadaian syariah?
5. Apa saja jenis akad dalam pelaksanaan gadai syariah?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk megetahui pengertian gadai syariah
2. Untuk mengetahui landasan hukum gadai syariah
3. Untuk mengetahui rukun dan syarat gadai syariah
4. Untuk mengetahui jasa dari pegadaian syariah
5. Untuk mengetahui jenis akad dalam pelaksanaan gadai syariah.
1
BAB II
PEMBAHASAN
1
Zainuddin, Hukum Gadai Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 1
2
Mardani, Hukum Bisnis Syariah, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 202-203
2
4. Ahmad Azhar Basyir
Rahn adalah perjanjian menahan suatu barang sebagai tanggungan utang,
atau menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai
tanggungan marhun bih, sehingga dengan adanya tanggungan utang itu seluruh
atau sebagai utang itu dapat diterima.
5. Muhammad Syafi’I Antonio
Gadai syariah (rahn) adalah menahan salah satu harta milik nasabah
(rahin) sebagai barang jaminan (marhum) atas utang/pinjaman (marhun bih)
yang diterimanya. Marhun tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan
demikian, pihak yang menahan atau penerima gadai (murtahin) memperoleh
jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.
Berdasarkan pengertian gadai yang dikemukakan oleh para ahli hukum
Islam di atas, dapat disimpulkan bahwa gadai (rahn) adalah menahan barang
jaminan yang bersifat materi milik si peminjam (rahin) sebagai jaminan atas
pinjaman yang diterimanya, dan barang yang diterima tersebut bernilai ekonomis,
sehingga pihak yang menahan (murtahin) memperoleh jaminan untuk mengambil
seluruh atau sebagian utangnya dari barang gadai yang dimaksud, bila pihak yang
menggadaikan tidak dapat membayar utang pada waktu yang telah ditentukan.3
B. Landasan Hukum Gadai Syariah
Gadai hukumnya boleh (jaiz) menurut Al-Quran dan As-Sunnah, dan ijma
ulama.4
1. Al-quran Surat Al-baqarah: 83:
“dan (ingatlah), ketika kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu):
janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada
ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim,dan orang-orang miskin, serta
ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah sholat dan
tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebagian
kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling (Al-baqarah: 83).
2. Hadist
3
Zainuddin, Hukum Gadai Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 2-3
4
Ismail Nawawi, Ekonomi Kelembagaan Syariah Dalam Pusaran Perekonomian Global Sebuah Tuntutan Dan
Realitas, (Surabaya: ITS Press, 2009), hlm. 126
3
Hadist nabi Muhammad saw:
“Dari Aisyah ra. Sesungguhnya Nabi saw. Membeli makanan dari orang
Yahudi dengan cara ditangguhkan pembayarannya kemudian Nabi
menggadaikan baju besinya.”
Dari Abu Hurairah ra, rasulullah saw bersabda:
Artinya
“Punggung hewan yang digadaikan boleh ditung-gangi dengan
membayar don susu binatang ternak boleh diminum dengan membayar bila-
mana digadaikan. Dan bagi orang yang menaiki dan meminum susunya wajib
memebayar”. (HR Bukhori)
Dari Abi Hurairah, Nabi Muhammad saw. Bersabda,
Artinya:
“Barang siapa yang digadaikan itu tidak boleh tertutup dari pemiliknya
yang menggadaikannya, sehingga ia mendapat keuntungan dan menanggung
kerugiannya”.5
Disamping itu, para ulama sepakat membolehkan gadai (rahn). Landasan
ini kemudian diperkuat dengan Fatwa Dewan Islam Nasional No. 25/DSN-
MUI/III/2002 Tanggal 26 Juni 2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan
menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan
dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Ketentuan Umum
a. Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan marhun
(barang) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.
b. Marhun manfaatnya tetap menjadi milik rahin. Pada prinsipnya marhun
tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizing rahin, dengan tidak
mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya
pemeliharaan perawatannya.
c. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban
rahin, namun dapat juga dilakukan oleh murtahin, sedangkan biaya dan
pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.
d. Besar biaya administrasi dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan
berdasarkan jumlah pinjaman.
e. Penjualan marhun:
5
Ibid. hlm, 126-127
4
1) Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera
melunasi hutangnya
2) Apabila rahin tetap tidak melunasi hutangnya, maka marhun dijual
paksa/dieksekusi
3) Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya
pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya
penjualan.
4) Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya
menjadi kewajiban rahin.
2. Ketentuan Penutup
a. Jika salah satu pihak tidak dapat menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannyadilakukan
melalui Badan Arbitrase Islam setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah.
b. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika
dikemudian hari terdapat kekeliruan akan diubah dan disempurnakan
sebagaimana mestinya.6
C. Rukun dan Syarat Gadai Syariah
Pada umumnya aspek hukum keperdataan Islam (fiqh mu’amalah) dalam
hal transaksi baik dalam bentuk jual beli, sewa menyewa, gadai maupun yang
semacamnya mempersyaratkan rukun dan syarat sah termasuk dalam transaksi
gadai.
1. Rukun Gadai
Dalam fiqih empat mazhab (fiqh al-madzahib al-arba’ah) diungkapkan
rukun gadai sebagai berikut:
a. Aqid (Orang yang Berakad)
Aqid adalah orang yang melakukan akadyang meliputi 2 (dua) arah, yaitu
(a) Rahin (orang yang mengadaikan barangnya), dan (b) Murtahin (orang
yang berpiutang dan menerima barang gadai), atau penerima gadai. Hal
dimaksud, didasari oleh shighat, yaitu ucapan berupa ijab qabul (serah
terima antara penggadai dan penerima gadai).
8
e. Ketika rahin melunasi utangnya kepada murtahin, maka selain rahin
membayar utangnya, ia juga membayar biaya administrasi, biaya taksir
marhun dan biaya sewa tempat barang jaminan kepada kantor pegadaian
syariah selaku pihak murtahin.10
2. Akad Mudharabah
Akad mudharabah adalah suatu akad yang dilakukan oleh pihak pemberi
gadai (rahin) dengan pihak penerima gadai (murtahin). Pihak pemberi gadai
(rahin) atau orang yang menggadaikan harta benda sebagai jamunan untuk
menambah modal usahanya atau pembiayaan produktif. Akad dimaksud, pihak
pemberi gadai akan memberikan bagi hasil berdasarkan keuntungan yang
diperoleh kepada penerima gadai sesuai dengan kesepakatan, sampai modal
yang dipinjamnya dilunasi.
Apabila harta benda yang digadaikan itu dapat dimanfaatkan oleh
penerima gadai, maka dapat di adakan kesepakatan baru mengenai
pemanfaatan harta benda gadaian berdasarkan akad yang disesuaikan dengan
jenis harta benda gadaian. Namun, jika pemilik harta benda tidak berniat
memanfaatkan harta benda dimaksud, penerima gadai dapat mengelola dan
mengambil manfaat dari barang itu dan hasilnya diberikan sebagian kepada
pihak pemberi gadai berdasarkan kesepakatan.
Sementara ketentuan presentase nisbah bagi hasil sesuai dengan
kesepakatan antara pemilik barang gadai (rahin) dengan mengelola barang
gadai (murtahin). Selain hal dimaksud, dapat juga berarti bahwa pihak pemberi
barang gadai (rahin) memberikan hasil keuntungan kepada penerima gadai
(murtahin) bila pinjaman uang tunai dimaksud dijadikan modal usaha.
Berdasarkan penjelasan pinjaman dalam akad mudharabah yang diuraikan
diatas, dapat disimpulkan prosesnya sebagai berikut.
Akad ba'i muqayyadah adalah akad yang dilakukan oleh pemilik sah
harta benda barang gadai dengan pengelola barang gadai agar harta benda
dimaksud, mempunyai manfaat yang produktif. Misalnya pembelian peralatan
untuk modal kerja. Untuk memperoleh dana pinjaman, nasabah harus
menyerahkan harta benda sebagai jaminan berupa barang-barang yang dapat
dimanfaatkan oleh penerima gadai, baik oleh rahin maupun murtahin.
Dalam hal ini, nasabah dapat memberi keuntungan berupa mark up atas
barang yang dibelikan oleh murtahin atau pihak penerima gadai dapat
memberikan barang yang dibutuhkan oleh nasabah dengan akad jual beli
sehingga murtahin dapat mengambil keuntungan berupa margin dari penjualan
barang tersebut sesuai kesepakatan antara keduanya. Sebagai contoh dapat
diungkapkan: Hasan membutuhkan pabrik penggilingan padi. Maka hasan
mengajukan permohonan kepada kantor pegadaian agar dapat dibelikan pabrik
dimaksud. Berdadarkan permohonan Hasan maka pihak penggadaian syariah
membelikan kebutuhan Hasan berupa pabrik penggilingan padi. Apabila harga
penggilingan beras dimaksud Rp. 15.000.000,00 maka pihak pegadaian syariah
menjual kepada Hasan Rp. 17.500.000,00 berdasarkan kesepakatan sehingga
pihak pegadaian syariah mendapat keuntungan Rp. 2.500.000,00.
11
Ibid. hlm. 87-86
10
dimanfaatkan (marhun) yang akan diserahkan kepada murtahin sebagai
jaminan utang yang akan dipinjam (marhun bih)
b. Murtahin akan melakukan pemeriksaan berkenaan kualitas, termasuk
menaksir harga marhun yang diberikan oleh rahin sebagai jaminan marhun
bih
c. Setelah semua persyaratan terpenuhi, maka murtahin dan rahin akan
melakukan akad, dan menentukan mark up yang akan diberikan kepada
murtahin, mark up dimaksud dibayarkan pada saat jatuh tempo
d. Sesudah akad dilakukan, murtahin akan membelikan barang sesuai yang
diinginkan oleh rahin dan harganya dibawah nilai taksir barang (dibawah
nilai jaminan)
e. Ketika rahin menerima barang yang diinginkan dari murtahin tersebut maka
ada negoisasi kembali mengenai marhun tersebut, yaitu apakah barang
tersebut dimanfaatkan atau tidak. Jika marhun tersebut disepakati untuk
dimanfaatkan/dikelola maka akan ditentukan mengenai siapa yang
mengelola (sesuai kesepakatan), dan baru melakukan akad pemanfaatan
marhun (akad sesuai jenis barangnya), dan hasilnya dibagi bersama
berdasarkan persentase yang disepakati oleh pihak-pihak yang berakad.12
4. Akad Ijarah
12
Ibid. hlm. 92-93
11
Pelaksanaan akad ijarah dimaksud, berarti nasabah (rahin) memberikan
fee kepada murtahin ketika masa kontrak berakhir dan murtahin
mengembalikan marhun kepada rohin. Karena itu, untuk menghindari
terjadinya riba dalam transaksi ijarah maka pengenaan biaya jasa barang
simpanan nasabah harus memenuhi persyaratan, yaitu.
13
Ibid. hlm. 97-98
12
Akad musyarakah amwal al-'inam adalah suatu transaksi dalam bentuk
perserikatan antara dua pihak atau lebih yang disponsori oleh pegadaian
syariah untuk berbagi hasil (profit loss sharing), berbagi kontribusi, berbagi
kepemilikan, dan berbagi risiko dalam sebuah usaha. Pola musyarokah
dimaksud mendorong terjadinya investasi bersama antara pihak yang
mempunyai modal minimum tetapi mempunyai kemampuan yang memadai
untuk berusaha, dengan pihak yang mempunyai modal besar tetapi belum
memanfaatkan secara optimal.
Karena itu, pegadaian syariah dalam hal ini memperoleh laba dari
usahanya dalam menghimpun dana (finding product), yaitu melalui penerapan
akad musyarakah (partnership, project financing participation), yang
diakadkan adalah dana dan kerja yang dapat dikelola sesuai dengan
kesepakatan pada saat akad berlangsung hingga batas waktu yang telah
ditentukan atau disepakati oleh pihak-pihak. Berdasarkan penjelasan pinjaman
dalam akad musyarakah amwal al-'inam yang diuraikan diatas, dapat
disimpulkan prosesnya sebagai berikut.
BAB III
14
Ibid. hlm. 101-102
13
PENUTUP
A. Kesimpulan
Transaksi hukum gadai dalam fiqih islam disebut ar-rahn. Ar-rahn adalah
suatu jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai tanggungan utang.
Pegadaian adalah salah satu bentuk lembaga keuangan bukan bank yang
diperuntukkan bagi manusia luas berpenghasilan menengah ke bawah yang
membutuhkan dana dalam waktu segera.
para ulama sepakat membolehkan gadai (rahn). Landasan ini kemudian
diperkuat dengan Fatwa Dewan Islam Nasional No. 25/DSN-MUI/III/2002 Tanggal
26 Juni 2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang
sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan.
Pegadaian syariah menawarkan jasa kepada warga masyarakat dalam
beberapa bentuk seperti: Pemberian Pinjaman, Penaksiran Nilai Harta Benda,
Penitipan Barang Berupa Sewa (Ijarah) dan Gold Counter.
Sedangkan Jenis Akad dalam Pegadaian Syariah yaitu seperti: Akad Qard
Al-Hasan, Akad Mudharabah, Akad Ba'i Muqayyadah, Akad Ijarah, Akad
Musyarakah Amwal Al-'Inam.
B. Saran
kami selaku pembuat makalah ini menyadari kekurangan yang ada didalam
makalah kami, dan kami juga mohon maaf apabila ada kesalahan baik dari segi
kalimat maupun penulisan. Demikian saran yang dapat kami sampaikan dan yang
terahir penulis mengharapkan agar pembaca dapat memberikan kritikan dan saran
yang membangun dari kesalahan yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
14
Zainuddin, Hukum Gadai Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008)
Mardani, Hukum Bisnis Syariah, (Jakarta: Kencana, 2014)
Huda Nurul, Lembaga Keuangan Islam Tinjauan Teoretis dan Praktis, (Jakarta:
Kencana, 2010)
15