Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Infeksi
2.1.1. Pengertian
Infeksi merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh
mikroorganisme patogen, dengan/tanpa disertai gejala klinik
(permenkes RI 2017). Sedangkan menurut Brunner dan Sudart (2014),
infeksi terjadi pada saat organisme patogen masuk dan bertambah
jumlahnya serta menyebabkan reaksi di dalam tubuh.
2.1.2. Faktor Penyebab Infeksi
Komponen yang menyebabkan terjadinya kejadian infeksi di
fasilitas kesehatan diantaranya yaitu :
1. Agen infeksi (infectious agent)
Agen infeksi adalah mikroorganisme penyebab infeksi. Pada
manusia, agen infeksi dapat berupa bakteri, virus, jamur dan
parasite/protozoa. Ada tiga faktor pada agen penyebab yang
mempengaruhi terjadinya infeksi yaitu patogenitas, virulensi dan
jumlah (dosis atau “load”). Makin cepat diketahui agen infeksi
dengan pemeriksaan klinis atau laboratorium mikrobiologi,
semakin cepat pula upaya pencegahan dan penanggulangannya bisa
dilaksanakan.
Mikroorganisme pada kulit adalah penghuni residen atau
transien. Organisme residen (flora normal) adalah residen menetap
di kulit dan di dalam tubuh, dimana mereka bertahan hidup dan
berkembang biak tanpa menyebabkan penyakit (CDC, 2008:WHO
2009). Mikroorganisme kulit penghuni tidak ganas, namun dapat
menyebabkan infeksi serius ketika operasi atau prosedur invasif
lainnya memungkinkan mereka untuk memasuki jaringan dalam
atau ketika seseorang memiliki gangguan system kekebalan
tubuh /mmunicompromised (Potter Perry, 2017)
2. Wadah tempat/sumber agen infeksi (Reservoir)
Reservoir dapat hidup, tumbuh, berkembang biak dan siap
ditularkan kepada pejamu atau manusia. Berdasarkan penelitian,
reservoir terbanyak adalah pada manusia, alat medis, binatang,
tumbuh-tumbuhan, tanah, air, lingkungan dan bahan bahan organik
lainnya. Dapat juga ditemui pada orang sehat, permukaan kulit,
selaput lendir mulut, saluran nafas atas, usus dan vagina. Reservoir
pada manusia dibagi menjadi dua jenis : manusia dengan penyakit
akut yang menunjukkan gejala dan yang tidak menunjukkan tanda
tanda penyakit tetapi merupakan pembawa penyakit. Manusia
dapat menularkan mikroorganisme dalam kedua kasus tersebut.
Untuk berkembang biak, organisme membutuhkan lingkungan
yang tepat, termasuk makanan yang tepat, oksigen, air, suhu, PH,
dan cahaya.
3. Pintu keluar (Portal of exit )
Portal of exit adalah lokasi tempat agen infeksi
(mikroorganisme) meninggalkan reservoir melalui darah, kulit,
selaput lendir, saluran nafas, saluran cerna, saluran kemih serta
transplasenta. Setelah mikroorganisme menemukan reservoir untuk
tumbuh dan berkembang biak, mereka perlu menemukan pintu
keluar jika mereka ingin masuk ke inang lain dan menyebabkan
penyakit.
4. Cara penularan / metode transmisi
Metode transmisi adalah metode transportasi mikroorganisme
dari wadah/reservoir ke pejamu yang rentan. Beberapa metode
penularan yaitu : kontak langsung dan tidak langsung, droplet,
airbone, melalui vehikulum (makanan, air/minuman, darah) dan
melalui vektor (biasanya serangga dan binatang pengerat).
5. Pintu masuk (Portal of entry)
Portal of entry adalah lokasi agen infeksi memasuki pejamu
yang rentan dapat melalui saluran nafas, saluran cerna, saluran
kemih dan kelamin atau melalui kulit yang tidak utuh.
6. Pejamu rentan (Susceptible host )
Adalah seseorang dengan kekebalan tubuh menurun sehingga
tidak mampu melawan agen infeksi. Faktor yang dapat
mempengaruhi kekebalan adalah umur, status gizi, status imunisasi,
penyakit kronis, luka bakar yang luas, trauma, paska pembedahan
dan pengobatan dengan imunosupresan. Faktor lain yang
berpengaruh adalah jenis kelamin, ras atau etnis tertentu, status
ekonomi, pola hidup, pekerjaan dan herediter (Permenkes RI,
2017).
2.1.3. Strategi Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
Menurut Depkes RI (2008) strategi pencegahan dan pengendalian
infeksi terdiri dari :
1. Peningkatan daya tahan pejamu. Daya tahan pejamu dapat
meningkat dengan pemberian imunisasi aktif (contoh vaksinasi
Hepatitis)
2. Pemberian imunisasi pasif (imunoglobulin).
3. Inaktivasi agen penyebab infeksi. Inaktivasi agen infeksi dapat
dilakukan dengan metode fisik maupun kimiawi. Contoh metode
fisik adalah pemanasan (pasteurisasi atau sterilisasi) dan memasak
makanan seperlunya.
4. Memutus rantai penularan. Hal ini merupakan cara yang paling
mudah untuk mencegah penularan penyakit infeksi, tetapi hasilnya
sangat bergantung kepada ketaatan petugas dalam melaksanakan
prosedur yang telah ditetapkan.
5. Tindakan pencegahan paska pajanan (Post Exposure
Prophylaxis/PEP) terhadap petugas kesehatan. Hal ini terutama
berkaitan dengan pencegahan agen infeksi yang ditularkan melalui
darah dan cairan tubuh lainnya, yang sering terjadi karena luka
tusuk jarum bekas pakai atau pajanan lainnya.
2.2 Infeksi Terkait Layanan Kesehatan / Healthcare-Associated Infections
(HAIs)
2.2.1 Pengertian
Berdasarkan sumber terjadinya infeksi, maka infeksi dapat berasal
dari masyarakat/komunitas (Community Acquired Infection) atau dari
rumah sakit (Healthcare-Associated Infections/HAIs). Penyakit infeksi
yang didapat di rumah sakit beberapa waktu yang lalu disebut sebagai
Infeksi Nosokomial (Hospital Acquired Infection). Saat ini
penyebutannya diubah menjadi Infeksi Terkait Layanan Kesehatan
atau “HAIs” (Healthcare-Associated Infections) dengan pengertian
yang lebih luas, yaitu kejadian infeksi tidak hanya berasal dari rumah
sakit, tetapi juga dapat dari fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.
Tidak terbatas infeksi kepada pasien namun dapat juga kepada petugas
kesehatan dan pengunjung yang tertular pada saat berada di dalam
lingkungan fasilitas pelayanan kesehatan
Infeksi terkait pelayanan kesehatan (Health Care Associated
Infections) yang selanjutnya disingkat HAIs adalah infeksi yang
terjadi pada pasien selama perawatan di rumah sakit dan fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya dimana ketika masuk tidak ada infeksi
dan tidak dalam masa inkubasi, termasuk infeksi dalam rumah sakit
tapi muncul setelah pasien pulang, juga infeksi karena pekerjaan pada
petugas rumah sakit dan tenaga kesehatan terkait proses pelayanan
kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan (Permenkes 2017).
2.2.2 Jenis dan Faktor Resiko Healthcare-Associated Infections (HAIs)
2.2.2.1 Jenis HAIs
HAIs yang sering terjadi di fasilitas pelayanan kesehatan,
terutama rumah sakit mencakup:
1. Ventilator associated pneumonia (VAP)
2. Hospital associated pneumonia (HAP)
3. Infeksi Aliran Darah (IAD)
4. Infeksi Saluran Kemih (ISK)
5. Infeksi Daerah Operasi (IDO)
2.2.1.2.2Faktor Risiko HAIs meliputi :
1. Umur: neonatus dan orang lanjut usia lebih rentan.
2. Status imun yang rendah/terganggu
(immunocompromised): penderita dengan penyakit
kronik, penderita tumor ganas, pengguna obat-obat
imunosupresan.
3. Gangguan/Interupsi barier anatomis:
a. Kateter urin: meningkatkan kejadian infeksi saluran
kemih (ISK).
b. Prosedur operasi: dapat menyebabkan infeksi daerah
operasi (IDO) atau “surgical site infection” (SSI).
c. Intubasi dan pemakaian ventilator: meningkatkan
kejadian “Ventilator Associated Pneumonia” (VAP).
d. Kanula vena dan arteri: Plebitis, IAD
e. Luka bakar dan trauma.
4. Implantasi benda asing : pemakaian mesh pada operasi
hernia, pemakaian implant pada operasi tulang,
kontrasepsi, alat pacu jantung, cerebrospinal fluid shunts,
valvular / vascular prostheses.
5. Perubahan mikroflora normal: pemakaian antibiotika yang
tidak bijak dapat menyebabkan pertumbuhan jamur
berlebihan dan timbulnya bakteri resisten terhadap
berbagai antimikroba.
2.3 Pencegahan dan pengendalian Infeksi (PPI) di fasilitas kesehatan
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi yang selanjutnya disingkat PPI
adalah upaya untuk mencegah dan meminimalkan terjadinya infeksi pada
pasien, petugas, pengunjung, dan masyarakat sekitar fasilitas pelayanan
kesehatan. (Kemenkes RI 2017).
PPI merupakan tonggak yang harus selalu diterapkan di semua fasilitas
pelayanan kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan yang aman bagi
semua pasien dan mengurangi resiko infeksi lebih lanjut. Standar PPI adalah
langkah-langkah pencegahan dan pengendalian infeksi dasar yang diperlukan
untuk mengurangi resiko penularan agen infeksi dari yang diketahui atau
tidak diketahui sumber infeksi (Infection Control Team, 2015). Setiap
fasilitas pelayanan kesehatan harus melaksanakan program pencegahan dan
pengendallian infeksi melalui penerapan :
2.3.1 Kewaspadaan Standar (Standar precaution)
Kewaspadaan standar merupakan prinsip kewaspadaan sebagai
bagian dari manajemen risiko pada pengendalian infeksi rumah sakit
yang dilaksanakan secara menyeluruh oleh setiap petugas berdasarkan
perhitungan besar risiko transmisi infeksi yang dihadapi pada setiap
pelayanan rawat jalan maupun rawat inap untuk melindungi pasien,
petugas, pengunjung maupun lingkungan rumah sakit. (WHO 2004)
Kewaspadaan standar merupakan kewaspadaan yang utama, dirancang
untuk diterapkan secara rutin dalam perawatan seluruh pasien di rumah
sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, diterapkan untuk
mencegah transmisi silang sebelum pasien di diagnosis, sebelum
adanya hasil pemeriksaan laboratorium dan setelah pasien didiagnosis.
Prinsip kewaspadaan standar menurut Permenkes RI Nomor 27 (2017)
meliputi:
1. Kebersihan tangan
Kebersihan tangan dilakukan dengan mencuci tangan
menggunakan sabun dan air mengalir bila tangan jelas kotor atau
terkena cairan tubuh, atau menggunakan alkohol (alcohol based
handrubs) bila tangan tidak tampak kotor. Kuku petugas harus
selalu bersih dan terpotong pendek, tanpa kuku palsu, tanpa
memakai perhiasan cincin. Cuci tangan dengan sabun
biasa/antimikroba dan bilas dengan air mengalir, dilakukan pada
saat:
a. Bila tangan tampak kotor, terkena kontak cairan tubuh pasien
yaitu darah, cairan tubuh sekresi, ekskresi, kulit yang tidak
utuh, ganti verband, walaupun telah memakai sarung tangan.
b. Bila tangan beralih dari area tubuh yang terkontaminasi ke area
lainnya yang bersih, walaupun pada pasien yang sama.
Berdasarkan WHO (2010), mikroorganisme yang diperoleh
dari tangan selama melaksanakan kegiatan atau tugas sehari hari
dan ketika ada kontak dengan darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi
dan peralatan yang terkontaminasi dikenal dan tidak dikenal dapat
diminimalkan dengan kebersihan tangan yang tepat. Menurut
Permenkes RI (2017), setiap perawat wajib melakukan cuci tangan
secara rutin pada saat melakukan 5 momen, yaitu :
1) Sebelum kontak dengan pasien
2) Sebelum melakukan tindakan/prosedur terhadap pasien
3) Setelah tindakan atau prosedur atau berisiko terpapar cairan
tubuh pasien
4) Setelah kontak dengan pasien
5) Setelah menyentuh lingkungan sekitar pasien.
Terdapat enam langkah dalam kebersihan tangan :
1) Gosokkan kedua telapak tangan
2) Gosok punggung tangan kiri dengan telapak tangan kanan,
lakukan sebaliknya
3) Gosokkan kedua telapak tangan dengan jari-jari tangan saling
menyilang
4) Gosok ruas jari tangan kiri dengan ibu jari tangan kanan,
lakukan sebaliknya
5) Gosok ibu jari tangan kiri dengan telapak tangan kanan secara
memutar, lakukan sebaliknya
6) Gosokkan semua ujung jari tangan kanan di atas telapak
tangan kiri, lakukan sebaliknya.
Waktu yang dibutuhkan untuk mencuci tangan menggunakan air
mengalir dan sabun adalah 40-60 detik, sedangkan waktu yang
diperlukan untuk mencuci tangan menggunakan larutan antiseptik
berbasis alkohol adalah 20-30 detik.
2. Alat Perlindungan Diri
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam APD sebagai
berikut:
a. Alat pelindung diri adalah pakaian khusus atau peralatan yang di
pakai petugas untuk memproteksi diri dari bahaya fisik, kimia,
biologi/bahan infeksius.
b. APD terdiri dari sarung tangan, masker/respirator partikulat,
pelindung mata (google), perisai/pelindung wajah, kap penutup
kepala, gaun pelindung/apron, sandal/sepatu tertutup (sepatu
boot).
c. Tujuan pemakaian APD adalah melindungi kulit dan membran
mukosa dari resiko pajanan darah, cairan tubuh, sekret, ekskreta,
kulit yang tidak utuh dan selaput lendir dari pasien ke petugas dan
sebaliknya.
d. Indikasi penggunaan APD adalah jika melakukan tindakan yang
memungkinkan tubuh atau membran mukosa terkena atau
terpercik darah atau cairan tubuh atau kemungkinan pasien
terkontaminasi dari petugas.
e. Melepas APD segera dilakukan jika tindakan sudah selesai di
lakukan, dan tidak dibenarkan menggantung masker di leher,
memakai sarung tangan sambil menulis dan menyentuh
permukaan lingkungan.
3. Dekontaminasi peralatan perawatan pasien
Pada tahun 1968 Spaulding mengusulkan tiga kategori risiko
berpotensi infeksi untuk menjadi dasar pemilihan praktik atau
proses pencegahan yang akan digunakan (seperti sterilisasi
peralatan medis, sarung tangan dan perkakas lainnya) sewaktu
merawat pasien. Kategori Spaulding adalah sebagai berikut:
a. Kritikal
Bahan dan praktik ini berkaitan dengan jaringan steril atau
sistem darah sehingga merupakan risiko infeksi tingkat
tertinggi. Kegagalan manajemen sterilisasi dapat
mengakibatkan infeksi yang serius dan fatal.
b. Semikritikal
Bahan dan praktik ini merupakan terpenting kedua setelah
kritikal yang berkaitan dengan mukosa dan area kecil di kulit
yang lecet.
c. Non-kritikal
Pengelolaan peralatan/ bahan dan praktik yang berhubungan
dengan kulit utuh yang merupakan risiko terendah.
4. Pengendalian lingkungan
Pengendalian lingkungan di fasilitas pelayanan kesehatan,
antara lain berupa upaya perbaikan kualitas udara, kualitas air, dan
permukaan lingkungan, serta desain dan konstruksi bangunan,
dilakukan untuk mencegah transmisi mikroorganisme kepada
pasien, petugas dan pengunjung.
5. Pengelolaan limbah
Fasilitas pelayanan kesehatan harus mampu melakukan
minimalisasi limbah yaitu upaya yang dilakukan untuk mengurangi
jumlah limbah yang dihasilkan dengan cara mengurangi bahan
(reduce), menggunakan kembali limbah (reuse) dan daur ulang
limbah (recycle). Proses pengelolaan limbah dimulai dari
identifikasi, pemisahan, labeling, pengangkutan, penyimpanan
hingga pembuangan/pemusnahan.
6. Penatalaksanaan linen
Linen terbagi menjadi linen kotor dan linen terkontaminasi.
Linen terkontaminasi adalah linen yang terkena darah atau cairan
tubuh lainnya, termasuk juga benda tajam. Penatalaksanaan linen
yang sudah digunakan harus dilakukan dengan hati-hati.
Kehatianhatian ini mencakup penggunaan perlengkapan APD yang
sesuai dan membersihkan tangan secara teratur sesuai pedoman
kewaspadaan standar.
7. Perlindungan kesehatan petugas kesehatan
Pemeriksaan kesehatan terhadap semua petugas kesehatan
harus dilakukan secara berkala. Fasilitas pelayanan kesehatan harus
mempunyai kebijakan untuk penatalaksanaan akibat pajanan bahan
infeksius , berisikan tentang alur pelaporan dan penatalaksanaan
paska pajanan, pemeriksaan dan konsultasi yang diperlukan oleh
petugas yang bersangkutan.
8 . Penempatan pasien
Penempatan pasen infeksius harus terpisah dengan pasen
noninfeksius, disesuaikan dengan pola transmisi penyakit pasen
(kontak, droplet, airbone). Bila tidak tersedia ruang sendiri,
dibolehkan dirawat bersama pasen yang sejenis infeksinya dengan
menerapkan kohorting, jarak minimal 1 meter.
9. Hygiene respirasi/etika batuk
Etika batuk harus diterapkan pada setiap orang terutama pada
pasen dengan kasus infeksi jenis transmisi airbone dan droplet.
Dilakukan dengan cara menutup hidung dan mulut dengan tissu
atau sapu tangan atau lengan atas ketika batuk, kemudian tissu di
buang ke tempat sampah infeksius dan melakukan kebersihan
tangan.
10. Praktek menyuntik yang aman
Spuit dan jarum suntik steril digunakan sekali pakai untuk
satu pasen, gunakan cairan pelarut hanya digunakan untuk satu
kali, spuit dan jarum suntik yang telah digunakan selanjutnya
buang ke tempat limbah tajam.
11. Praktek pencegahan infeksi untuk prosedur lumbal pungsi.
Semua petugas yang akan melakukan prosedur lumbal fungsi
harus memakai masker bedah, gaun bersih, sarung tangan steril.
Masker bedah pada petugas dibutuhkan agar tidak terjadi droplet
flora orofaring yang dapat menimbulkan meningitis bakterial.
2.3.2 Kewaspadaan berdasarkan transmisi
Kewaspadaan berdasarkan transmisi merupakan tambahan
kewaspadaan standar yang dilaksanakan sebelum pasien didiagnosis
dan setelah terdiagnosis jenis infeksinya. Jenis kewaspadaan
berdasarkan transmisi diantaranya:
1. Melalui kontak
Bertujuan untuk menurunkan risiko transmisi mikroba yang secara
epidemologi diakibatkan oleh kontak langsung melalui kontak
dengan permukaan kulit yang terbuka dengan kulit terinfeksi atau
kolonisasi. Atau kontak secara tidak langsung dengan terinfeksi
oleh cairan sekresi pasen yang ditransmisikan melalui tangan
petugas yang belum cuci tangan atau melalui benda mati
dilingkungan pasen.
2. Melalui droplet
Transmisi droplet terjadi ketika partikel droplet yang berukuran > 5
µm yang dikeluarkan pada saat batuk, bersin, muntah, bicara atau
selama prosedur suction dan bronchoscopy, melayang diudara dan
jatuh dalam jarak < 2 meter mengenai mukosa atau konjungtiva .
3. Melalui udara (airborne precautions)
Transmisi melalui udara secara epidemologi dapat terjadi jika
seseorang menghirup percikan partikel nuclei yang berdiameter < 5
µm yang mengandung mikroba penyebab infeksi, yang terbawa
aliran udara > 2 meter dari sumber.

2.3.3 Bundles
Penggunaan peralatan pada pasen saat dirawat atau menerima
layanan kesehatan dan adanya tindakan operasi terkait pelayanan
kesehatan merupakan hal yang tidak dapat dihindarkan untuk
menunjang pelaksanaan tindakan dalam rangka mengatasi masalah
kesehatan yang dialami oleh pasen. Namun hal tersebut dapat
mengakibatkan terbukanya jalan masuk kuman yang dapat
menimbulkan risiko terjadinya infeksi. Untuk mencegah hal tersebut
maka perlu dilakukan pencegahan dengan penerapan bundles.
Bundles merupakan sekumpulan cara yang terstruktur untuk
meningkatkan perawatan terhadap pasien, untuk memudahkan petugas
kesehatan dalam memberikan pelayanan keperawatan pada pasien yang
beresiko terjadi infeksi, dan sebagai sekumpulan praktik berbasis bukti
sahih yang menghasilkan perbaikan keluaran proses pelayanan
kesehatan bila dilakukan secara kolektif dan konsisten.

2.4 Infeksi Daerah Operasi (IDO)


2.4.1 Pengertian
Infeksi daerah operasi (IDO) adalah infeksi yang terjadi pada pasen
yang mengalami pembedahan dalam kurun waktu 30 hari setelah
tindakan operasi tanpa pemasangan implant atau dalam kurun waktu 90
hari bila ada operasi dengan pemasangan implant dan infeksi diduga
ada kaitannya dengan prosedur operasi dimana tindakan tersebut
meliputi lapisan kulit, sub cutis, fascia, otot, organ dan rongga.
2.4.2 Faktor Risiko Infeksi Daerah Operasi (IDO)
2.4.2.1 Faktor risiko praoperasi
1. Tidak dapat dimodifikasi :
a. Pertambahan usia
b. Radiotherapi yang baru dijalani dan riwayat infeksi pada
kulit atau jaringan lunak.

2. Dapat dimodifikasi
a. Diabetes yang tidak terkontrol
b. Kegemukan/obesitas, malnutrisi
c. Kebiasaan merokok\
d. Imunosupresi
e. Kadar albumin pra operasi kurang dari 3,5 mg/dl
f. Billirubun total lebih dari 1,0 mg/dl
g. Menjalani rawat inap praoperasi setidaknya 2 hari
2.4.2.2 Faktor risiko perioperasi
1. Terkait prosedur
a. Pembedahan darurat dan pembedahan yang lebih
kompleks
b. Klasifikasi luka yang lebih tinggi
2. Faktor risiko fasilitas
a. Pertukaran udara/ventilasi yang tidak memadai
b. Peningkatan lalu lintas ruang operasi
c. Sterilisasi instrument/peralatan yang tidak tepat atau tidak
memadai.
3. Terkait persiapan pasien
a. Infeksi yang sudah ada
b. Persiapan antiseptik kulit yang tidak memadai
c. Pencukuran rambut praoperasi
d. Pilihan, pemberian dan atau durasi antibiotik yang tidak
tepat
4. Faktor risiko intra operasi
a. Durasi operasi yang lama
b. Asepsis dan teknik pembedahan
c. Antisepsis tangan (lengan bawah) dan teknik pemakaian
sarung tangan
d. Hipoksia
e. Hipotermi
f. Pengendalian kadar gula darah buruk
2.4.2.3 Faktor risiko pasca operasi
1. Hiperglikemi dan diabetes, target kadar glukosa darah pasca
operasi harus dipertahankan antara 140-200 mg/dl pada
semua pasen pembedahan.
2. Perawatan luka postoperasi : teknik penutupan daerah luka
operasi, primary wound yang sudah ditutup harus dijaga
kebersihannya dengan dressing steril selama 1 sampai 2 hari
setelah pembedahan.
2.4.3 Kriteria Infeksi Daerah Operasi yang diterapkan National
Healthcare safety Network (NHSN)
2.4.3.1 Infeksi Daerah Operasi Superfisial
Infeksi daerah operasi superfisial paling sedikitnya harus
memenuhi satu kriteria berikut ini:
1. Infeksi yang terjadi pada daerah insisi dalam waktu 30 hari
setelah bedah dan hanya terjadi pada kulit, subkutan atau
jaringan lain diatas fascia. Dimana hari ke 1 = tanggal
prosedur.
2. Terdapat tanda atau gejala:
a. Drainase purulent / pus dari luka operasi atau drain yang
dipasang diatas fascia.
b. Ditemukan biakan positif dari cairan yang keluar dari luka
atau jaringan yang diambil secara aseptik.
c. Terdapat tanda–tanda peradangan : nyeri, bengkak lokal,
kemerahan dan hangat lokal kecuali jika hasil biakan
negatif.
d. Diagnosis IDO superfisial oleh dokter bedah yang
memeriksa atau petugas lain yang ditunjuk.
2.4.3.2 Infeksi Daerah Operasi Profunda/Deep Incisional
Infeksi daerah operasi profunda harus memenuhi paling sedikit
satu kriteria berikut ini:
1. Infeksi yang terjadi pada daerah insisi dalam waktu 30 hari
paska bedah atau sampai 90 hari paska bedah (bila ada
implan berupa non human derived implant yang dipasang
permanen) dan meliputi jaringan lunak yang dalam (misal
lapisan fascia dan otot) dari insisi.
2. Terdapat paling sedikit satu keadaan berikut:
a. Drainase purulent/pus keluar dari luka insisi dalam tetapi
bukan berasal dari komponen organ/rongga dari daerah
pembedahan.
b. Terdapat dehiscent atau dengan sengaja dibuka oleh ahli
bedah abila pasien menampakkan paling sedikit satu dari
tanda-tanda atau gejala-gejala berikut: febris (> 38ºC) atau
nyeri area operasi, terkecuali biakan insisi negatif.
c. Terdapat abses atau bukti lain adanya infeksi yang
mengenai insisi dalam pada pemeriksaan langsung, waktu
pembedahan ulang, atau dengan pemeriksaan
histopatologis atau radiologis.
d. Dokter yang menangani menyatakan terjadi infeksi.
2.4.3.3 Infeksi Daerah Operasi Organ/Rongga
Kriteria Infeksi daerah operasi organ/rongga adalah sebagai
berikut:
1. Infeksi muncul dalam waktu 30 hari setelah prosedur
pembedahan, bila tidak terpasang implant atau dalam waktu
90 hari bila terpasang implant dan infeksi ada hubungannya
dengan prosedur pembedahan.
2. Infeksi terjadi pada bagian tubuh manapun kecuali insisi
kulit, fascia atau lapisan lapisan otot yang dibuka atau
dimanipulasi selama prosedur pembedahan.
Gejala yang ditimbulkan diantaranya:
a. Drainase purulen dari drain yang dipasang melalui luka
tusuk ke dalam organ/rongga.
b. Ditemukan kuman dari biakan yang diambil secara aseptik
dari cairan atau jaringan dari dalam organ atau rongga:
 Terdapat abses atau bukti lain adanya infeksi pada
organ/rongga yang ditemukan pada pemeriksaan
langsung saat pembedahan ulang atau dengan
pemeriksaan histopatologis atau radiologis.
 Dokter menyatakan sebagai IDO organ/rongga.
2.4.4 Pencegahan dan pengendalian Infeksi Daerah Operasi
Pengendalian Infeksi Daerah Operasi (IDO) atau Surgical Site
Infections (SSI) merupakan suatu cara untuk mencegah dan
mengendalikan kejadian infeksi setelah dilakukan tindakan operasi.
Mayoritas infeksi daerah operasi bersumber dari patogen flora
endogenous kulit pasien, membran mukosa. Bila membran mukosa atau
kulit di insisi, jaringan tereksposur risiko dengan flora endogenous.
Selain itu terdapat sumber exogenous dari infeksi daerah operasi.
Sumber exogenous tersebut adalah: petugas bedah , lingkungan kamar
operasi, peralatan/ instrumen kesehatan, kolonisasi mikroorganisme ,
imun tubuh rendah dan lama rawat inap prabedah. Pencegahan infeksi
daerah operasi terdiri dari pencegahan infeksi sebelum operasi (pra
bedah), pencegahan infeksi selama operasi dan pencegahan infeksi
setelah operasi.
2.4.4.1 Pencegahan Infeksi Sebelum Operasi (Prabedah)
1. Persiapan pasien sebelum operasi
a. Sembuhkan terlebuh dahulu jika ditemukan adanya
tanda-tanda infeksi sebelum operasi, dan jika diperlukan
operasinya ditunda sampai sembuh.
b. Mandikan pasien dengan zat antiseptik Chlorhexidin.
Mandi sebelum operasi dengan chlorhexixdin (CHG) 2-
4% dapat mengurangi kolonisasi bakteri pada kulit.
Chlorhexidin mempunyai efek spectrum luas dalam
menghambat bakteri gram positif, gram negatif non
spora, jamur dan virus berselubung lemak, dapat
menekan pertumbuhan mikroba hingga beberapa jam
setelah digunakan. (Rahman, 2019). Chlorhexidin perlu
dibiarkan menempel setidaknya 5 menit sebelum dibilas
untuk memberikan efek maksimal dalam
penggunaannya. Mandi setidaknya dilakukan 2 kali sore
hari dan pagi hari sebelum operasi.
c. Kendalikan kadar gula darah terutama pada pasien
diabetes dan hindari kadar gula darah yang terlalu rendah
sebelum operasi. Dianjurkan untuk mempertahankan
kadar glukosa darah antara 140 – 200 mg/dl pada pasen
yang menderita maupun tidak menderita diabetes yang
akan menjalani pembedahan. Manfaat kontrol glukosa
sebelum operasi memiiliki efek terhadap hasil akhir
pembedahan yaitu penyembuhan luka pasca operasi
d. Hindari pencukuran rambut, kecuali bila rambut berada
disekitar daerah operasi dan akan menggangu jalannya
operasi. Bila diperlukan mencukur rambut, lakukan
beberapa saat sebelum operasi dan sebaiknya
menggunakan pencukur listrik . Pencukuran rambut
dapat menimbulkan luka sayat mikroskopis pada kulit
yang nantinya akan menjadi titik pusat untuk multiplikasi
bakteri. WHO dan CDC sangat tidak menganjurkan
pencukuran rambur atau jika perlu pencukuran rambut
dapat dilakukan menggunakan surgical electrical clipper
dengan kepala cukur sekali pakai (single use) yang dapat
diganti. Lokasi pembedahan dan sekitarnya dicuci dan
bersihkan untuk menghilangkan kontaminasi sebelum
dilakukan persiapan kulit dengan memakai anti septik.
Gunakan antiseptik kulit yang sesuai untuk persiapan
kulit. Antiseptik dioleskan pada kulit dengan gerakan
melingkar mulai dari bagian tengah menuju ke arah luar
dan disiapkan daerah lebih luas jika diperkukan untuk
memperbesar insisi atau memasang drain.
e. Rawat inap untuk persiapan sebelum operasi diusahakan
sesingkat mungkin.
2. Antiseptik tangan dan lengan untuk tim bedah
a. Kuku harus selalu pendek, tidak memakai kuku palsu
atau perhiasan ditangan dan lengan.
b. Gunakan antiseptic yang sesuai untuk kebersihan tangan
bedah (surgical scrub). Sela sela dibawah kuku harus
dibersihkan setiap kali sebelum cuci tangan bedah yang
pertama, cuci tangan harus sampai lengan dan siku.
c. Lengan harus tetap mengarah ke atas setelah selesai cuci
tangan dan di jauhkan dari tubuh supaya air mengalir
dari ujung jari ke siku. Kemudian dikeringkan dan
selanjutknya memakai gaun dan sarung tangan.
3. Tim bedah yang terinfeksi atau terkolonisasi
a. Anggota tim bedah yang mempunyai tanda dan gejala
penyakit infeksi segera melapor kepada petugas pelayan
kesehatan karyawan.
b. Larangan bekerja untuk anggota tim bedah yang
memiliki gejala infeksi atau luka pada kulit, hingga
infeksi sembuh atau menerima terapi yang memadai.

2.4.4.2 Pencegahan Infeksi Selama Operasi


1. Ventilasi
a. Tekanan dalam kamar bedah harus dipertahankan lebih
positif dibandingkan dengan koridor dan ruangan di
sekitarnya.
b. Pertahankan setidaknya 15 kali pergantian udara per jam,
dengan minimal 3 di antaranya adalah udara segar.
Semua udara harus disaring, baik udara segar maupun
udara hasil resirkulasi, semua harus masuk melalui
langit-langit dan keluar melalui dekat lantai.
b. Fogging dan sinar ultraviolet tidak boleh digunakan di
kamar bedah untuk mencegah infeksi IDO.
c. amar bedah harus selalu ditutup pintunya , kecuali abila
diperlukan untuk mobilisasi peralatan, petugas dan
pasien. Jumlah orang yang masuk dalam kamar bedah
harus dibatasi.
2. Membersihkan dan disinfeksi permukaan lingkungan
a. Sebelum operasi dimulai, gunakan desinfektan untuk
membersihkan benda atau peralatan di kamar operasi.
b. Lantai kamar bedah harus selalu dibersihkan dan dalam
keadaan kering, disinfeksi permukaan lingkungan atau
peralatan dalam kamar bedah setelai operasi selesai
c. Bila tidak tampak adanya kotoran, tidak ada rekomendasi
mengenai disinfeksi permukaan lingkungan atau
peralatan dalam kamar bedah di antara dua operasi.
3. Sterilisasi instrumen kamar bedah
a. Semua instrumen bedah harus disterilkan sesuai
petunjuk.
b. Sterilisasi kilat hanya dilakukan pada instrumen yang
harus segera digunakan misalnya instrumen yang terjatuh
tidak sengaja saat sedang operasi . Tidak dibenarkan
melakukan sterilisasi kilat karena untuk kepraktisan,
menghemat pembelian instrumen baru atau untuk
menghemat waktu.
4. Pakaian bedah
a. Masker bedah digunakan untuk menutupi mulut dan
hidung secara menyeluruh pada saat memasuki kamar
bedah dan ketika operasi akan di mulai atau sedang
berjalan, atau instrumen steril sedang dalam keadaan
terbuka, hingga operasi selesai.
b. Gunakan penutup kepala untuk menutupi rambut secara
menyeluruh bila memasuki kamar bedah.
c. Tidak perlu menggunakan pembungkus sepatu untuk
mencegah IDO.
d. Sarung tangan steril digunakan setelah memakai cuci
tangan bedah, setelah memakai gaun steril.
e. Gunakan gaun dan drape yang kedap air
f. Abila tampak koto atau terkontaminasi percikan cairan
tubuh pasien, gaun atau drape harus diganti, sebaiknya
gunakan yang dispossable.
2.4.4.3 Pencegahan Infeksi Setelah Operasi Perawatan luka setelah
operasi:
1. Lindungi luka yang sudah dijahit dan ditutup dengan verban steril
selama 24 sampai 48 jam paska bedah.
2. Lakukan kebersihan tangan sesuai ketentuan: sebelum dan sesudah
mengganti verban atau bersentuhan dengan luka operasi.
3. Lakukan teknik aseptik saat melakukan perawatan luka
4. Edukasi pasen dan keluarga mengenai perawatan luka yang benar,
tanda dan gejala IDO, pentingnya segera lapor jika menemukan
tanda dan gejala IDO.
2.5 Standar Prosedur Operasional Pencegahan Infeksi Daerah Operasi
(IDO) RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung
2.5.1 Pengertian
Pencegahan Infeksi daerah Operasi adalah suatu tindakan
mencegah terjadinya infeksi akibat tindakan operasi . Pencegahan
infeksi daerah operasi dilakukan oleh dokter, perawat atau petugas
kesehatan lainnya yang merawat pasen yang dilakukan operasi.
Ruang lingkup pencegahan dan pengendalian infeksi daerah operasi
meliputi, sebelum tindakan operasi, selama tindakan operasi dan
perawatan setelah operasi sampai pasen pulang dalam kurun waktu
sesuai kriteria yang telah ditentukan.
2.5.2 Tujuan
Sebagai acuan penerapan langkah langkah untuk melaksanakan
pencegahan Infeksi daerah operasi yang terjadi di rumah sakit.
2.5.3 Kebijakan
SK Direktur Utama RSHS tentang pencegahan dan pengendalian
Infeksi di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung Nomor : HK
02.03/X.4.1.31/1292/2018 :
1. Secara proaktif melakukan identifikasi dan menelusuri risiko,
angka kejadian dan trend infeksi terkait pelayanan kesehatan yaitu
dengan melakukan surveilans HAIS : Health Care Associeted
Infection (HAIs) diseluruh ruang rawat inap terhadap risiko infeksi
saluran kemih (ISK), infeksi aliran darah primer (IADP), infeksi
daerah operasi (IDO), Ventilator Associated Pneumonia (VAP) dan
Hospital Acquired Infection (HAP).
2. IPCN melakukan supervisi pelaksanaan penerapan dengan
menggunakan bundles HAIs terhadap risiko infeksi saluran kemih
(ISK), infeksi aliran darah primer (IADP), infeksi daerah operasi
(IDO), ventilator associated pneumonia (VAP) dan hospital
acquired infection (HAP).

2.5.4 Prosedur
Pencegahan Sebelum Operasi meliputi :
a. Persiapan Pasen :
1. Rawat pasien pada hari yang sama atau 1 hari sebelum
tindakan operasi
2. Identifikais dan terapi faktor risiko pasien
3. Terapi terlebih dahulu infeksi yang terjadi pada bagian tubuh
lain sebelum tindakan operasi
4. Mandi dengan sabun antiseptik chlorhexidin 2-4 % sore dan
pagi sebelum operasi
5. Hindari pencukuran kecuali diperlukan dan dilakukan segera
sebelum operasi dan menggunakan clipper.
b. Antibiotik Profilaksis
1. Bertujuan untuk memperlambat tumbuhnya mikroorganisme
kontamina sehingga dapat mencegah terjadinya infeksi luka
operasi.
2. Diberikan untuk prosedur operasi bersih terkontaminasi
3. Jenis antibiotik yang digunakan untuk antibiotik profilaksis
adalah cephalosporin cefazolin.
4. Berikan dengan cara intra vena sesegera mungkin pada waktu
induksi atau pada saat irisan dimulai dan sesudah tali pusat
dijepit untuk operasi section caesaria.
5. Profilaksis diulangi bila operasi lebih dari 3 jam dan terjadi
perdarahan masif lebih dari 2 liter.
6. Pada operasi colorectal harus dilakukan persiapan kolon
dengan enema dan obat pencahar dan diberi antimikroba yang
tidak diserap sehari sebelumnya.
2.6 Bundle pencegahan Infeksi Daerah Operasi (IDO) pada fase pre
Operasi
Komponen bundle pencegahan infeksi daerah operasi di RSUP Dr. Hasan
Sadikin Bandung terdiri dari :
a. Mandi Preoperasi
1. Mandi preoperasi dilakukan menggunakan antiseptik chlorhexidin 2-
4%,
2. Lakukan pada H-1 (sore hari)
3. Lakukan pagi hari sebelum dikirim ke kamar operasi
4. Untuk operasi cito minimal dilakukan pencucian di daearah operasi
dan sekitarnya menggunakan antiseptik chlorhexidin 2- 4 %
b. Kadar gula darah
Pertahankan kadar gula darah pasien sebelum, selama maupun sesudah
operasi < 200 mg/dl
c. Antibiotik profilaksis
1. Gunakan anti biotik sesuai protokol PPRA
2. Berikan maksimal 1 jam sebelum operasi (diberikan di ruang operasi
sesuai dengan SPO pemberian antibiotik profilaksis preoperasi RSUP
Dr. Hasan Sadikin Bandung).
d. Suhu/temperatur
Pertahankan suhu pasen baik sebelum, selama maupun sesudah operasi
dalam kisaran 36,5° C – 37,5° C.
e. Pencukuran
Jika diperlukan pencukuran :
1. Lakukan dengan menggunakan electrical cliper
2. Lakukan sesaat sebelum operasi dimulai.

2.7 Operasi /Pembedahan


2.7.1 Pengertian
Operasi adalah tindakan pembedahan pada suatu bagian tubuh
(Smelzer dan Bare, 2002 dalam Maryuani, 2014). Pembedahan atau
operasi merupakan tindakan membuka atau menampilkan bagian tubuh
yang akan ditangani secara invasive secagai upaya pengobatan. (R.
Sjamsuhidayat dan Wim de Jong, 2005 dalam Maryuani, 2014).
Sayatan umumnya digunakan untuk membuka bagian tubuh. Setelah
bagian yang ditangani tampak, selanjutnya dilakukan perbaikan dan
penutupan atau penjahitan luka pada tahap akhir.
2.7.2 Preoperatif (menjelang pembedahan)
Preoperatif adalah fase dimulai ketika adanya keputusan untuk
menjalani operasi atau pembedahan sampai pada saat pasien
dipindahkan ke meja operasi (Smeltzer dan Bare, 2002 dalam
Maryuani, 2014).
2.7.2.1 Ruang Lingkup Pre operatif
Pada tahap ini lingkup aktivitas keperawatan selama
waktu tersebut dapat mencakup penetapan pengkajian dasar
pasien ditatanan klinik ataupun rumah, wawancara
preoperatif, menyiapkan pasien untuk menghadapi
pembedahan dan anestesi, pada periode pre operatif yang
lebih diutamakan adalah persiapan fisik/fisiologis dan
psikologis sebelum pembedahan /operasi.
2.7.2.2 Asuhan keperawatan preoperasi
a. Pengkajian pasen preoperasi
Pengkajian merupakan tahap pertama dari
rangkaian proses keperawatan yang diawali oleh
pengumpulan data dari berbagai sumber untuk
mengetahui status kesehatan pasien. Data yang
diperlukan dan berkaitan dengan pasien pada masa
preoperasi meliputi :
1. Pengetahuan pasien mengenai rencana tindakan
operasi
2. Kesiapan mental pasien terhadap
pembedahan/operasi
3. Kesiapan fisik pasien sebelum pembedahan/operasi
4. Kelengkapan pemeriksaan data penunjang
praoperatif
b. Analisa Data (termasuk diagnosa keperawatan pre
operatif)
Setelah data pengkajian terkumpul, selanjutnya
diidentifikasi diagnosa keperawatan berdasarkan data
pasien secara detail. Diagnosa keperawatan merupakan
pernyataan yang mengidentifikasikan respon manusia
(keadaan sehat atau perubahan pola interaksi
actual/potensial) dari personal atau kelompok ketika
perawat mengidentifikasi dan dapat memberikan
intervensi secara aktual untuk menjaga status kesehatan
atau untuk mengurangi, menyingkirkan atau mencegah
perubahan.
Diagnosa keperawatan preopertif yang biasa muncul :
1. Cemas /ansietas
2. Kurangnya pengetahuan
3. Ketakutan terhadap kecacatan/kematian
4. Ketidakefektifan koping individu.
c. Implementasi ( Intervensi dan managemen ) preoperatif
Implementasi keperawatan adalah serangkaian
kegiatan yang dilakukan oleh perawat untuk membantu
klien dari masalah status kesehatan yang lebih baik yang
menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan (Potter
dan Perry, 2017)
Hal- hal yang dilakukan dalam implementasi
keperawatan pada pasien preoperatif, antara lain :
1. Membantu pasien untuk mencapai tujuan terapeutik
2. Melakukan konseling dan pendidikan kesehatan
3. Membantu memberikan kenyamanan
4. Membantu persiapan pembedahan /operasi
d. Evaluasi pasien preoperasi , hasil yang diharapkan :
1. Anxietas berkurang
2. Pasien siap dalam menghadapi pembedahan/operasi.
2.8 Kerangka Teori

Faktor risiko Infeksi daerah operasi :


1. Preoperasi :
- Tidak dapat dimodifikasi:umur, radiother
api
- Dapat dimodifikasi : diabetes, obesitas,
malnutrisi, merokok, albumin <3,5, biliru
bin >1,0, rawat inap preoperasi lama, im
munosupresi
2. Perioperasi :
- Terkait prosedur pembedahan :
Infeksi Daerah
Operasi (IDO)

Gambar 2.1 Kerangka Teori


Sumber: (Asia Pasific Society Of Infection Control (APSIC), 2018; World Health
Organization (WHO), 2016)

Anda mungkin juga menyukai