Anda di halaman 1dari 4

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Ditemukan hasil wawancara kepada 10 responden, dengan rata-rata usia


17-18 tahun. Bahwa mereka pertama kali pacaran rata-rata disaat usia menginjak 13
sampai 15 tahun. Hal ini sejalan dengan hasil survei kesehatan reproduksi remaja,
remaja Indonesia pertama kali pacaran pada usia 15-17 tahun. sekitar 33,3% remaja
perempuan dan 34,5% remaja laki-laki yang berusia 15-19 tahun mulai berpacaran
pada saat mereka belum berusia 15 tahun. 92% remaja berpegangan tangan saat
pacaran, 82% berciuman, 63% rabaan petting. perilaku-perilaku tersebut kemudian
memicu remaja melakukan hubungan seksual (Riskesdas, 2013).
Dari 10 responden mereka menjawab pacaran yaitu merupakan suatu
komitmen yang dijalani oleh dua orang yaitu perempuan dan laki-laki dan memang
yang satu tujuan dan satu frekuensi. Dimana hal ini juga di kemukakan oleh Kyns
(1989) menambahkan bahwa pacaran adalah hubungan antara dua orang yang
berlawanan jenis dan mereka memiliki keterikatan emosi, dimana hubungan ini
didasarkan karena adanya perasaan-perasaan tertentu dalam hati masing-masing
Ada salah satu responden yang mengutarakan bahwa, “Pacaran itu saling
suka satu sama lain, bisa menjaga komitmen, enaknya pacaran itu jadi nggak
merasa kesepian, ada temen buat curhat, dan ada yang menyemangati.” Hal ini
tentu hanya menjadi salah satu alasan yang digunakan oleh remaja-remaja saat ini
untuk memulai berpacaran karena berbeda dengan pernyataan dari seorang
profesor psikologi dari University of Chicago, John Caccioppo yang beranggapan
bahwa Kesepian adalah state of mind yang tidak bisa diobati dengan
pacaran. Malah Anda harus bisa mengobatinya sebelum memulai pacaran, dengan
demikian kebahagiaan Anda bukan sekedar akibat dari hubungan tersebut. orang
pacaran atau bahkan menikah- tidak otomatis lebih bahagia daripada orang yang
lajang. Pacaran, atau bahkan pernikahan, hanya bisa membuat Anda merasa seolah
sibuk. Anda merasa seperti selalu memiliki kegiatan. Anda merasa memiliki sesuatu
yang berharga untuk dipertahankan. Tapi ketika hubungan romansa menyentuh titik
jenuh di mana semua terasa seperti rutinitas, bibit-bibit kesepian itu akan mulai
menunjukkan giginya kembali. Menurut penelitan Rasa kesepian ini justru akan
menjadi dasar dari terbentuknya prilaku pacaran yang tidak sehat karena rasa
kesepian membuat Rasa ingin tahu individu yang kuat untuk merasakan
bagaimana rasanya; Having fun(bersenang-senang), memuaskan kebutuhan
pribadi untuk curhat, dan gaul, Hakim (2014).
Selain itu, ada juga salah seorang respnden yang menjawab, “Pacaran itu
akibat pergaulan, karena disekitarnya itu banyak yang pacaran, jadi otomatis
membuat kita ingin mencoba pacaran.”. Mereka berfikir bahwa dengan pacaran
mereka bisa dikatakan keren, dan dianggap bahwa mereka “laku”, selain itu juga
mereka merasa dengan adanya pacar hidup mereka menjadi tidak kesepian.
Dari 10 responden, mereka rata-rata menjawab bahwa pacaran itu sangat
menguntungkan, karena dapat menjadi penyemangat, teman dikala susah dan
senang, dan bisa menjadi segalanya. Rata-rata mereka suka pacaran di ramai
maupun sepi, tergantung mereka bertemunya dimana dan saat mereka bertemu,
mereka merasa sangat senang dan berdebar-debar sampai seakan-akan semua
beban permasalahannya hilang karena mereka menceritakan kepada pacarnya.
Ketika bertemu semua responden pernah bermesraan dengan pacarnya, namun
setiap responden memiliki tingkatan besmeraan yang berbeda-beda. Salah satunya
dengan merayakan tanggal jadian mereka, atau sering disebut “anniversary”. Dari
pernyataan ini memang sejalan dengan teori yang mengemukakan bahwa dampak
dari pacaran tidak selalu negatif. Tetapi, bisa juga berbuah positif yang seperti di
sebutkan di atas. Diantara dampak positif pacaran tersebut adalah, Prestasi belajar
bisa meningkat, Pergaulan bisa tambah meluas, mengisi waktu luang,
perasaan aman, tenang, nyaman dan terlindung, tambah dewasa, menghindari
stres, proses perkenalan, Pacaran daapat mengenali pasangan pilihannya (Arfin
dalam Hakim 2014).
Dari hasil wawancara, setiap responden menyimpan harapan yang besar
kepada pacaranya, contohnya ada salah satu responden yang berharap untuk
pacarnya selalu ada disampingnya dalam keadaan apapun. Semua responden
pernah berharap bahwa sang pacar akan menjadi jodohnya dimasa yang akan
datang. Namun, ketika mereka ditanya seberapa sayang dan cinta kepada
pacarnya, dari semua responden rata-rata menjawab tidak ada ukuran untuk
mengukur seberapa sayang mereka kepada pacarnya. Saat mereka merindukan
pacarnya, biasanya mereka menghilangkannya tergantung dengan keadaan,
contohnya jika mereka sedang tidak sibuk mereka bisa saling bertemu, dan
kalaupun sedang berada di wilayah berbeda atau sedang sibuk mereka suka video
call ataupun telepon. Dan biasanya jika bertemu atau sedang telepon mereka sering
bercerita tentang kegiatan mereka satu sama lain, dan ada beberapa responden
juga yang mengatakan bahwa mereka terkadang membicarakan masa depan
mereka berdua.
Mereka sering mengaitkan rasa sayang dengan cemburu, bahkan sekalipun
diantara mereka ada yang hanya sekedar chatting dengan lawan jenisnya, hal itu
membuat pasangan mereka cemburu. Mereka sering melampiaskan rasa
cemburunya dengan respon yang bermacam-macam, ada yang langsung
meluapkan dengan cara berbicara, atau hanya diam menunggu pasanganna
menyadari bahwa dirinya cemburu. Bahkan bisa jadi mereka langsung meluapkan
emosinya. Dan kecemburuan tersebut menyebabkan mereka bertengkar. Saat
mereka bertengkar, mereka menjadi tidak chattingan, dan tidak mejadi seperti
biasanya, dan sampai ada yang melampiaskan ke dalam hal yang tidak baik.
Namun, pada akhirnya selang sehari maupun beberapa hari mereka bisa damai
kembali, karena alasan saling cinta, sayang, dan rasa keinginan untuk setia dari
keduanya.
Beberapa responden kami, menginpretasikan rasa kesetiaannya dengan
menuruti keinginan pasangannya, contohnya melakukan perilaku seksual. Dari 10
responden rata-rata mereka pernah melakukan hal-hal yang menjurus perilaku
seksual mulai dari pegangan tangan, berlanjut hingga ciuman dan bahkan ada satu
responden yang pernah melakukan hubungan seksual dengan kekasihnya. Ketika
kami bertanya mengenai alasan melakukan perilaku seksual tersebut, dua dari
responden kami salah satunya menjawab, “Aku nggak pernah dipaksa sih, cuman
dia minta ya aku kasih, soalnya aku sayang dan aku gamau kalau dia putusin aku
kalau aku nggak ngasih.”, dan satu responden yang lain menjawab, “Sebenarnya
aku nggak pernah maksa, kalau aku minta dia gamau ngasih, aku suka marah
dengan cara diam. Terus akhirnya dia berubah pikiran jadi mau ngasih.” Mereka
biasanya melakukan hubungan tersebut di tempat-tempat sepi, seperti di tempat
kost, basecamp bahkan hingga dirumahnya sendiri. Hal ini berkaitan dengan
penjelasan Sarwono (2011) bahwa faktor lain yang mempengaruhi perilaku pacaran
remaja adalah usia, media massa, dan kurangnya pemahaman moral dan etika
pada remaja. Dengan kurangnya usia, pemahaman etika dan moral ini menjadi
faktor internal yang kuat untuk remaja terjerumus ke dalam perilaku negatif seperti
menuruti keinginan pasangannya walaupun itu merugikan dirinya dengan alasan
tidak ingin kehilangan. Menurut Hyde (2006) semakin muda umur seseorang saat
mengalami pubertas maka semakin besar risiko terjadinya perilaku seks pranikah
dikarenakan perubahan pada hormon yang terjadi seiring dengan masa pubertas
berkontribusi pada meningkatnya keterlibatan seksual pada sikap dan hubungan
dengan lawan jenis.
Sesudah mereka melakukan hal-hal yang menjerumus ke perilaku seksual
bahkan melakukan perilaku seksual, sebagian dari mereka terkadang merasa
menyesal, namun mereka sering khilaf dan melakukan hal itu lagi dan lagi.
Dibalik semuanya itu, orang tua mereka mengetahui bahwa mereka
berpacaran. Tetapi orang tua tidak mengetahui perilaku seksual mereka yang
diselimuti oleh status pacaran itu.
Dengan menganalisis hasil wawancara di atas juga di dapat kita simpulkam
bawa remaja memiliki harapan yang besar dalam menjalani masa pacaran ini yaitu
dapat mempertahankan hubungan hingga menikah dan dapat menjadikan diri yang
lebih baik lagi,
Rencana bantuan yang kita dapat diberikan terhadap narasumber yang
pacaran tidak sehat ini berupa model konseling rasional emotif terapi dan
konseing behavioral. Tokoh utama terapi rasional emotif adalah Albert Ellis,
menurut Sukardi (1985) ialah untuk mengatasi pikiran yang tidak logis tentang diri
sendiri dan lingkungannya.Terapis berusaha agar klien makin menyadari pikiran
dan kata-katanya sendiri, serta mengadakan pendekatan yang tegas melatih klien
untuk bisa berpikir dan berbuat yang lebih realistis dan rasional. Tokoh utama
behaviour adalah Wolpe. Behavioral merupakan model konseling yang digunakan
untuk mengubah tingkah laku menjadi lebih baik. Menurut Corey(2010)
berdasarkan teori belajar, terapi tingkah laku/behavioral adalah pendekatan-
pendekatan terhadap konseling dan psikoterapi yang berurusan dengan
pengubahan tingkah laku. Walgito (2010) bahwa behavior adalah sesuatu yang
dipelajari dari situasi dan lingkungan bukan dari dalam diri organisme. Dari dua
teori model konseling tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa rasional emotif
terapi dan konseling behavioral pada penelitian ini mengubah pola pikir dari klien
terlebih dahulu bahwa pacaran bukanlah hal yang tepat untuk dilakukan,
kemudian mengubah tingkah laku agar tidak melakukan gaya pacaran yang tidak
sehat seperti penjelasan diatas,

SUMBER:
Wardani, T. (2015). Artikel Penelitian “studi kasus siswa pacaran tidak sehat pada kelas
VIII SMP Negeri 22 Pontianak”. Universitas tanjungpura Pontianak.
Lukitasari, I. (2018). Publikasi Ilmiah “Perilaku Pacaran Remaja Ditinjau Dari Interaksi
Pola Asuh Orang Tua Dan Asal Sekolah”. Fakultas Psikologi, Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Christine Ohee, Windhu Purnomo. (2018). “Pengaruh Status Hubungan Berpacaran
Terhadap Perilaku Pacaran Berisiko Pada Mahasiswa Perantau Asal Papua Di Kota
Surabaya”. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga. Surabaya

Anda mungkin juga menyukai