56/DIKTI/Kep/2005
“Lifestyle” Muslimah
Rini Rinawati
ABSTRACT
It is always interesting to discuss youth lifestyle. As part of pop culture, youth lifestyle has some
features, i.e. standardized culture, having fixed repetitive format, light enjoyable, sentimental,
short-lasting, and artificially crafted. Such characteristics are in opposite with other cultural
values such as serious, intellectuality, time-respect, and authenticity. In the world of Moslem girl,
there is also a strong tendency of being modern and sociable. Mass media and globalization
are believed to be the most influential factors. In order to solve the problem, original Islamic
learning process such as “madrasah” and “pesantren” are strongly promoted.
Kata “gaya” dalam bahasa Indonesia bergaya atau menampilkan peran formalnya.
merupakan padanan kata “style” dalam bahasa Dalam wilayah depan inilah gaya hidup
Inggris, yang berasal dari bahasa Yunani “stilus”, seseorang akan ditampilkan.
yang artinya alat tulis, atau tulisan tangan. Meyer Panggung depan (front region), terdiri dari:
Schapiro mendefinisikan gaya sebagai “bentuk (a) Front Pribadi (personal front), yang
yang konstan dan kadang unsur-unsur, kualitas- terdiri dari alat-alat yang dapat dianggap
kualitas, dan ekspresi yang konstan dari sebagai perlengkapan yang dibawa sang aktor,
perseorangan maupun kelompok.” Alvin Toffler dan juga bahasa (verbal dan nonverbal).
mendefinisikan gaya (hidup), yaitu “alat yang (b) Setting, yaitu situasi fisik yang harus ada
dipakai oleh individu untuk menunjukkan identitas ketika sang aktor melakukan pertunjukan
mereka dengan subkultur-subkultur tertentu” seperti; ruang periksa untuk dokter, ruang
(dalam Ibrahim, 1997:165). kuliah untuk guru, dsb
Chaney (2003:91) memberikan penjelasan (2) Wilayah Belakang (back stage), bagian
bahwa “gaya hidup adalah suatu cara terpola dalam belakang, yaitu tempat di mana para aktor
penggunaan, pemahaman, atau penghargaan mempersiapkan diri, bersantai atau berlatih
artefak-artefak budaya material untuk dan biasanya tidak diketahui oleh
menegosiasikan permainan kriteria status dalam khalayaknya.
konteks sosial.” Dari pemahaman tersebut jelas
Berdasarkan bagaimana presentasi diri dalam
bahwa peredaran gaya hidup merupakan makna
rangka menanamkan kesan-kesan (impression)
simbolik dari artefak-artefak tersebut, artinya apa
tertentu merupakan salah satu faktor yang
yang terlihat mempresentasikan tentang identitas
mempengaruhi gaya hidup seseorang. Seorang artis
mereka. Dengan demikian, gaya hidup selanjutnya
harus tampil bak Cinderela ketika berangkat ke pesta
merupakan cara-cara terpola dalam
sang Pangeran, dan menyembunyikan kehidupan
menginventasikan aspek-aspek tertentu kehidupan
yang sebenarnya. Hal ini dilakukan karena khalayak
sehari-hari dengan nilai sosial atau simbolik. Artinya,
menuntutnya demikian. Oleh karena itu, gaya hidup
gaya hidup adalah cara bermain dengan identitas.
para artis terlihat bergelimang kemewahan.
Kajian mengenai gaya hidup dapat ditarik
Sementara itu, berbahagialah sang pelukis, karena
sampai kepada teori tentang presentasi diri (im-
tidak ada harapan-harapan dari khalayak untuk
pression management) dalam “dramaturgi” dari
tampil penuh gebyar. Bahkan sebagai seniman dia
Erving Goffman. Dalam gaya hidup, penampilan
mendapatkan “prevelese” untuk berulah sedikit
adalah segalanya, hal ini sejalan dengan presentasi
nyentrik. Artinya, toleransi yang diberikan
diri yang selalu dilakukan oleh manusia dalam
masyarakat lebih besar dan longgar dalam
kehidupan sehari-harinya. Erving Goffman dalam
mempresentasikan dirinya.
karyanya, The Presentation of Self in Everyday
Dengan demikian, gaya hidup seorang akan
Life, mengemukakan bahwa kehidupan sosial,
berbeda sesuai dengan bagaimana presentasi diri
terutama, terdiri dari penampilan teatrikal yang
yang harus ditampilkan di atas panggung. Demikian
diritualkan, di mana kita bertindak seolah-olah di
pula remaja atau anak muda, mereka punya gaya
atas sebuah panggung sandiwara.
hidup sendiri sebagai identitas keremajaannya.
Goffman tertarik pada serangkaian tindakan
Memang, gaya hidup sebagai pembeda kelompok
individu yang dilakukan atau dipertunjukkan
akan muncul dalam mayarakat yang terbentuk atas
(show) bagi orang lain, sehingga menampilkan
dasar stratifikasi sosial. Setiap kelompok dalam stra-
kesan-kesan (impression) tertentu. Dalam rangka
tum sosial tertentu akan memiliki gaya hidup yang
pertunjukan (show) diri ini, seseorang memiliki dua
khas.
wilayah, yaitu:
Oleh karena itu, gaya hidup, menurut Siregar
(1) Wilayah Depan (front region), merujuk pada
(dalam Ibrahim, 1997:207), hanya dapat dibicarakan
peristiwa sosial yang memungkinkan individu
jika kita mau melihat kehadiran kelompok dalam
dengan penampilan sebagai representasi dari pada busana Muslim juga mengeluarkan trend
identitas diri. Hal ini sejalan dengan apa yang “baju Muslim” untuk tahun berikutnya, sama
dijelaskan David Chaney (2003:15) bahwa seperti perancang-perancang busana lain yang
penampilan dalam industri gaya hidup adalah setiap tahun juga mengeluarkan rancangan trend
segalanya. Oleh karena itu tubuh/diri dalam busana musim gugur, musim panas, musim dingin
kehidupan sehari-hari menjadi objek atau proyek dan lain-lain.
benih penyemaian gaya hidup. “Kamu bergaya, Dari berbagai fenomena di atas, tidak
maka kamu ada” adalah ungkapan yang cocok mengherankan kalau kemudian lahir “budaya
untuk melukiskan kegandrungan remaja muslimah Barbies” yang menjadi trend setter bagi
kita terhadap gaya hidup. Tidak heran industri penampilan remaja Muslimah saat ini. Tampaknya,
gaya hidup sebagian besar adalah industri bagi para Muslimah urusan “tampangisme” atau
penampilan. “wajahisme” (lookism/faceism) kini menjadi
Ciri dari seorang Muslimah dapat dilihat dari persoalan serius dalam perburuan kecantikan dan
pakaian Muslimahnya. Dalam gelombang gaya untuk selalu tampil yang tercantik, tidak hanya
hidup ini cara berpakaian dari para Muslimah ini dipentas fashion, tapi juga dalam kehidupan sehari-
juga terkena budaya populer. Memang, agar tidak hari.
dikatakan melanggar aturan agama, terutama Ini merupakan gejala paling mutahir di Indo-
perintah berjilbab para remaja Muslimah nesia, bagaimana seorang Muslimah dilatih untuk
mengontekskan jilbab dengan dunia remaja melalui terobsesi dengan persoalan gaya hidup “Barbies”
budaya “gaul”-nya, lahirlah “kerudung gaul, yang mendewakan penampilan, sehingga salon-
jilbab gaul, atau jilbab gaya selebritis” dan salon selalu ramai dipenuhi remaja putri, apakah
menjadi trend remaja Muslimah yang tidak mau itu untuk merawat wajah, tubuh, rambut, bahkan
ketinggalan mode. Ciri khas jilbab ini kerudung sampai ke kuku tangan maupun kaki. Tak heran,
dililitkan ke leher dengan baju dan celana atau rok industri jasa yang memberikan layanan untuk
ketat, sehingga membentuk hampir seluruh mempercantik penampilan (wajah, kulit, tubuh,
anggota badan. Kini perempuan tidak lagi rambut) telah dan akan terus tumbuh menjadi big
mengenakan jilbab dengan pakaian yang longgar- business. Lahirlah apa yang saat ini kita kenal
longgar saja, yang tidak menunjukkan lekuk tubuh, dengan “salon Muslimah”.
tetapi juga dengan kaos atau hem lengan panjang Dalam masyarakat modern saat ini, di mana
yang ketat, atau juga celana jins yang kadang juga gaya hidup menjadi sebuah ciri, setiap orang
pas dengan lekuk tubuhnya. dituntut memainkan dan mengontrol peranan
Dalam hal berpakaian pun sekarang banyak mereka sendiri. Dengan demikian, gaya pakaian,
Muslimah yang dengan santainya memakai pakaian dandanan rambut, juga segala macam asesoris
yang serba minim, ketat, dan transparan ala artis yang menempel, adalah bagian dari pertunjukan
MTV. Hal ini dikarenakan dunia mode menawarkan identitas dan kepribadian diri para remaja. Hal ini
berbagai macam produk yang membuat mereka sejalan dengan ciri perkembangan remaja itu sendiri
tergoda untuk memilikinya, sehingga muncullah yang dikemukakan Monks, Knoers, dan Haditono
persepsi yang salah di kalangan Muslimah di mana (2004:261), yang menjelaskan bahwa para remaja
kalau tidak mengikuti trend yang terbaru, berarti punya keinginan untuk merealisasi suatu identitas
mereka bukan anak muda yang “gaul”. sendiri dan dapat mengadakan partisipasi dalam
Terbentuklah ideologi “beragama tetapi tetap kebudayaan pemuda sendiri.
trendi” atau “biar religius tetapi tetap modis”. Teori tentang presentasi diri (Impression Man-
Untuk memenuhi keinginan para Muslimah agement) dalam “Dramaturgi” dari Erving Goffman
dalam hal fashion ini, peragaan dan lomba busana mengisyaratkan pula bahwa melalui gaya hidupnya
Muslim mulai sering diadakan. Bahkan setiap remaja Muslimah berusaha menampilkan simbol-
tahun para perancang yang mengkhususkan diri simbol tertentu untuk memperoleh kesan-kesan
Begitu pula dengan perkembangan industri menunjukkan persinggungan yang cukup kuat
penerbitan khusus remaja saat ini telah menjadi antara budaya pop dan agama. Persinggungan ini,
ladang persemaian gaya hidup. Banyak majalah selain memunculkan fenomena masuknya nilai-nilai
anak muda yang menawarkan gaya hidup di budaya massa dalam Islam, juga sebaliknya,
seputar perkembangan trend busana, problem tampilnya dakwah Islam di media populer,
gaul, pacaran, shopping, dan acara mengisi waktu memasuki pula dunia anak muda. Pada titik ini,
senggang yang jelas perlahan tapi pasti akan ikut menunjukkan bagaimana terjadinya gejala
membentuk budaya kawula muda (youth culture) kolaborasi antara dua ranah yang selama ini
yang berorientasi gaya hidup fun. dianggap terpisah, dan bahkan berseberangan.
Sampai tahap ini, kita bisa melihat adanya Selain itu, kolaborasi antara budaya pop dan Islam
hubungan yang kompleks antara tubuh, fashion, juga menjadi suatu representasi atas perubahan
gaya dan penampilan, serta identitas kepribadian praktik kebudayaan Islam di kalanganMuslimah.
yang ingin dikukuhkan oleh remaja Muslimah Dalam diri mereka, ada saat tertentu yang
sebagai akibat dari pengaruh media dalam menunjukkan identifikasi mereka dengan budaya
pembentukan identitasnya melalui gaya hidup massa anak muda pada umumnya; sementara, ada
yang ditampilkan. pula situasi-situasi lain yang dengan jelas
Memang, pembentukan identitas bukan menunjuk pada keberadaan diri mereka sebagai
persoalan sederhana. Ia tidak pernah bergerak muslimah dengan tuntutan ajaran agama Islam.
secara otonom atau berjalan atas inisiatif diri sendiri, Mencermati fenomena merebaknya gaya hidup
tapi dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yang yang telah menyentuh kehidupan para Muslimah,
beroperasi bersama-sama. Sebut saja faktor pengaruh telah menarik perhatian para ulama. Untuk itu,
ideologi kelompok dan tekanan teman sepermainan Ustad Ninis menggambarkan bagaimana fenomena
sebaya. Di sini, persoalan merek sepatu, atau jenis gaya hidup di kalangan Muslimah saat ini dengan
pakaian, bisa jadi persoalan besar, karena ikut menjelaskan lewat sisi psikologisnya, bahwa usia
menentukan apakah seseorang dianggap memenuhi remaja sebagai masa “gawat” secara psikologis.
syarat untuk dimasukkan dalam kelompok tertentu Hal ini, karena pengaruh imitasi kepada seseorang
atau tidak. Faktor-faktor lainnya adalah status sosial. atau tokoh idola sangat kuat di usia remaja. Selain
Belum lagi pembombardiran iklan-iklan di media, juga itu, ikatan solidaritas teman sebaya lebih kuat. Oleh
tayangan di tevisi, maupun gambaran di media karena itu, menurut Ninis, “gaul” merupakan
penerbitan. pilihan para remaja untuk menyalurkan
Satu hal yang tidak bisa di lupakan adalah apsirasinyadan untuk menunjukkan identitasnya.
unsur kesenangan (pleasure dan fun). Unsur Ketika bersinggungan dengan aturan agama,
kesenangan ini bisa dipakai untuk menjelaskan dan terutama perintah berjilbab, para remaja kemudian
memahami kelompok anak muda yang mengadopsi, mencoba untuk mengkotekskan jilbab sebagai
mengonsumsi atau mencampurkan berbagai perintah wajib dengan dunia remaja (gaul). Padahal,
macam gaya dengan tanpa referensi jelas terhadap yang menjadi persoalannya adalah banyak remaja
makna asalnya. Hanya penampilan semata. Hanya Muslim tidak memahami hakikat berjilbab (dalam
fashion. Tetapi, hal ini tidak berarti mereduksi gaya Tiar, www.gontor.or.id).
menjadi sesuatu yang tidak bermakna. Berakhirnya Dalam al-Quran ayat 31, Surah An-Nur, jelas
otentisitas bukan berarti kematian makna, peniruan- disebutkan “Dan hendaklah mereka menutupkan
peniruan, kombinasi, ambil sana-ambil sini ikut kain kerudung ke dadanya.” Jadi, untuk batasan
membentuk lahirnya makna-makna baru. model jilbab secara prinsip, sebenarnya sudah jelas
dan tidak membutuhkan perdebatan panjang.
3.3 Tuntunan bagi Remaja Muslimah
Dalam al-Qur`an ayat 59, Surah 59, Allah berfirman:
dalam Globalisasi Gaya Hidup “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu,
Kehidupan masyarakat kontemporer memang anak-anak perempuan, dan istri-istri orang
media akan ditiru oleh khalayaknya (remaja Chaney, David. 1996. Lifestyles: Sebuah
Muslimah) kita. Pengantar Komprehensif. Penerjemah
(2) Bagi para pendidik, disarankan untuk Nuraeni. Yogyakarta: Jalasutra.
memperbanyak pembelajaran budi pekerti.
Fiske, John. 1990. Cultural and Communication
(3) Untuk para orangtua, hendaknya menjadikan
Studies. Penerjemah Yosal Iriantara dan Idi
rumah menjadi tempat proses pembelajaran
Subandi. Yogyakarta: Jalasutra.
ala “madrasah” atau “pesantren”.
(4) Bagi para peminat studi budaya (culture stud- Ibrahim, Idi Subandy. 1996. Lifestyle Ecstacy:
ies), disarankan untuk menelaah masalah gaya Kebudayaan Pop dalam Masyarakat
hidup dikalangan anak muda atau remaja Komoditas Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra.
melalui penelitian. Kaina. 2004. Shopaholic Woman: Gaya Hidup dan
Kenikmatan Berbelanja. Yogyakarta: Enigma
Publishing.
Daftar Pustaka Rakhmat, Jalaluddin. 1996. Psikologi Komunikasi:
Edisi Revisi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Al-Banna, Hasan. 2004. Jangan Salah Gaul.
Penerjemah Dwi Ratnasari, Yogyakarta: Diva Strinati, Dominic. 2004. Popular Culture:
Press. Pengantar Menuju Teori Budaya Populer.
Penerjemah Abdul Mukhid. Yogyakarta:
Barker, Chris. 2005. Cultural Studies: Teori dan Bantang.
Praktek. Penerjemah Tim Kunci Cultural Stud-
ies Center. Yogyakarta: Bentang. Susanto, A.B. 2001. Potret-Potret Gaya Hidup
Metropolis. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Budiman, Hikmat. 2002. Lubang Hitam
Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. Tiar. 2004. Dialog Interaktif PSIA,
www.gontor.or.id