Anda di halaman 1dari 17

Nama : Ayun Hamunta

Kelas : A Pendidikan Biologi

Nim : 431418031

Resume : Tugas 10

A. Informasi Non Genetik

Proses evolusi makhluk hidup yang menjadi sorotan tajam dan menjadi perdebatan yang
hangat adalah evolusi manusia. Tegasnya kebanyakan orang (awam) mempertanyakan apakah
manusia merupakan produk evolusi  seperti halnya makhluk hidup yang lain. Dan bila benar
demikian tentunya manusia berasal dari makhluk hidup yang lebih sederhana dan inilah yang
menimbulkan “rasa tidak enak” pada orang-orang yang mempertanyakan tersebut, lebih-lebih
bila dikatakan leluhur manusia adalah kera. Namun disamping itu bila manusia merupakan
produk evolusi, sehingga berkedudukan sebagai obyek, sehingga konsekuensinya adalah bahwa
manusia masa kini akan berevolusi terus, dan tidak mustahil bila keturunan kita di masa
mendatang adalah makhluk hidup yang jauh lebih “sempurna” dari kita, manusia sekarang
terlepas dari aspek ragawi, yang mempunyai kemiripan dari beberapa jenis binatang tertentu,
bahkan ada kesamaan mengenai unsur pembentuk raga yang paling dasar, dengan semua
makhluk hidup, dirasakan adanya aspek tertentu yang membedakan manusia dengan makhluk
hidup yang lain.

Kalau dalam studi biologi kita mengenal adanya informasi-genetik yang ditransmisikan
dari generasi ke generasi, yang memberi gambaran tentang ciri-ciri biologik makhluk hidup yang
bersangkutan, maupun kemungkinan perkembangannya kemudian, serta kemungkinan asal
mulanya, maka pada manusia selain informasi genetik dikenal adanya informasi non-genetik.
Informasi non-genetik mencakup cara merespons lingkungan dan gejala perubahannya,
kebiasaan perilaku, pola tradisi dan hasil budaya yang ditransisikan pada keturunannya.
Pewarisan ini dan adanya perubahan dari apa yang diwariskan menunjukkan adanya
perkembangan yang semakin kompleks.

Hal yang menarik yang dapat dikemukakan disini adalah pemakaian dan pembuatan alat
untuk menopang eksistensi makhluk hidup. Dengan alat tersebut makhluk hidup dapat
memanfaatkan dan menguasai lingkungan hidupnya, mulai dari sekedar membantu
mempermudah memperoleh buruan, mempertahankan diri dari lawan-lawannya, berkompetisi
dengan makhluk lain untuk memperoleh makan, membangun tempat berlindung, membuat
pakaian, menciptakan seni dan untuk upacara “keagamaan”.

Dari peninggalan yang diperoleh para ahli berusaha untuk membuat interpretasi
perkembangan evolusi dari aspek psiko-sosial. Sorotan perkembangan aspek psiko-sosisal yang
dalam judul tulisan ini dinamakan sebagai perkembangan informasi non-genetik dibatasi dari
sorotan terhadap makhluk bipedal, bertumpu, dan berjalan dengan dua anggota (kaki), yang
sikapnya tegak sampai yang digolongkan pada Homo sapiens. Makhluk bipedal yang sikapnya
tegak yang paling tua yang ditemukan sampai hari ini, adalah Australopitesin yang mungkin
sudah muncul 8 – 10 juta tahun yang lalu, yang sudah diidentifikasikan adalah apa yang sudah
ditemukan oleh Bryan Pattersons di Kenya 5,5 juta tahun yang lalu, yang selanjutnya
dinamai Australopithecus africanus  (australopithecus = kera dari selatan). Yang lebih muda
adalah Australopithecus afarensis, yang berumur 3,5 juta tahun, ditemukan di Afar (Ethiopia)
oleh Mary Leaky. Disamping kedua Australopithesin tersebut masih dijumpai Australopithesin
lain yang hidup sekitar 2 – 1 juta tahun yang lalu, yaitu Australopithecus
robustus dan Australopithecus boisei. Makhluk yang digolongkan sebagai hominid (pra-
manusia) ini sebagian makan tumbuhan dan ada pula yang makan daging.

Pada situs, tempat ditemukannya fosil Australopithecus africanus si pemakan daging,


ditemukan batu dengan bentuk khusus yang menunjukan bahwa batu tersebut digunakan sebagai
perkakas untuk berburu dan untuk melawan musuhnya. Ternyata selain Australopitesin
disepakati para ahli sebagai pemakai perkakas ditemukan pula oleh suami istri Leakey tipe fosil
yang lebih maju dari Australopitesin, yang selanjutnya diberi nama Homo habilis  (habilis =
tukang), disebut demikian karena ada tanda-tanda bahwa makhluk ini tidak sekedar pemakai alat,
tetapi juga sudah membuatnya.

Sekitar 700.000 tahun yang lalu beberapa tempat di Asia (Jawa), Afrika (Tanzania,
Kenya) dan Eropa (Pegunungan Atlas), dihuni oleh makhluk yang semula disebut Pithecantropus
(oleh Duboi) yang berarti “manusia kera” , namun adanya ciri-ciri yang lebih berat pada ciri-ciri
manusia, maka sebutan yang lebih tepat adalah Homo erectus. Makhluk ini sudah mampu
membuat alat untuk berburu yang kualitasnya lebih baik dari yang dibuat oleh Homo habilis dan
ragamnya lebih banyak. Dikenal selain alat yang terbuat dari batu, juga alat yang terbuat dari
kayu maupun tulang. Yang lebih menonjol lagi adalag bahwa makhluk ini sudah mengenal api,
dengan kata lain mereka sudah mengenal benda atau perkakas  yang menghasilkan api. Dari
peninggalan kerangka binatang yang menumpuk di tempat tertentu menunjukkan bahwa mereka
adalah pemburu  ulung dan satu langkah yang lebih maju adalah adanya kehidupan
bermasyarakat yang terdiri dari sekitar 20 – 50 orang. Di Jawa peninggalan yang ditemukan oleh
Von Koeningswad yang selanjutnya dikenal dengan Meganthopus palaeojavanicus, si manusia
raksasa yang hidup 600-500.000 tahun yang lalu. Setua manusia raksasa adalah fosil yang
ditemukan di Goa Chou Kou Tien di China, yang karenanya fosil itu ditandai dengan nama
Sinanthropus atau selanjutnya lazim disebut “Homo erectus Pekinensis” hidup sekitar 500.000
tahu yang lalu. Sampai begitu jauh penemuan fosil ini tidak menambah perbendaharaan
pelacakan evolusi manusia ditinjau dari segi psiko-sosial/informasi non-genetik.

Penemuan yang menyangkut makhluk yang lebih kemudian, yang berasal dari Asia
(Jawa), Afrika (Rodensia) dan Eropa (Inggris), memberi masukkan data adanya oerkembangan
yang lebih maju. Perkakas yang ditemukan digunakan untuk menunjukkan berkembangnya
keterampilan dalam membuat alat, sehingga tidak lagi sekedar dipotong tetapi sudah di asah. Ini
menunjukkan bahwa mereka telah memiliki alat untuk mengasah dan sudah timbul pengetahuan
yang berkaitan dengan pemilihan bahan. Fosil yang hidup sekitar 400.000 tahun yang lalu itu,
ada yang menganggap sebagai pra Homo sapiens, namun ada sementara ahli yang berpendapat,
bahwa anggapan tersebut terlalu maju, mengingat bahwa dari aspek fisik, dalam hal ini bentuk
tengkorak dan volume otaknya masih jauh dari manusia modern, begitu pula dari aspek psiko-
sosialnya. Para ahli yang disebut belakangan ini menyebutnya sebagai pra manusia Lembah
Neander, sungguhpun masih tergolong dalam Homo erectus. Mengingat bahwa banyak
penemuan fosil Homo erectus di Jawa, maka dapat diketengahkan di sini beberapa penemuan
seperti Homo erectus Mojokerto (Baca: Homo erectus dari Mojokerto) yang paling tua, Manusia
Trinil  (ditemukan di desa Trinil, suatu lembah Bengawan Solo), Manusia Sangiran (dari desa
Sangiran dekat Solo), Manusia Ngandong yang juga dari Solo, disamping fosil yang pernah
disebut dimuka, manusia raksasa dari Jawa (Meganthropus palaeojavanicus) yang juga terdapat
di Sangiran.
Kalau pada fosil manusia pra Neanderthal (Pra Manusia dari lembah Neander),
perkembangan yang lebih hanya yang menyangkut alat, maka pada manusia lembah Neander
yang hidup sekitar 150.000 – 60.000 tahun yang lalu ada perkembangan dalam bidang lain.

Alat yang digunakan tidak terbatas pada alat berburu dan mempertahankan diri, tetapi
juga tempat makanan dan minuman. Pada manusia Lembah Neander sudah berkemabang benih
adanya kepercayaan Supra Natural, benih-benih keagamaan sebagai contoh adalah ditemukannya
kuburan di Le Moustier yang berisi kerangka yang dikebumikan secara terhormat. Ini ditandai
dengan adanya perkakas yang terpilih berada dalam kuburan tersebut, juga diletakkannya
tengkorak tersebut pada batu yang seakan–akan berfungsi sebagai bantal. Keadaan ini ada yang
menterjemahkan sebagai benih kepercayaan adanya hidup sesudah mati. Contoh lain adalah
ditemukannya kuburan yang berisikan kerangka manusia yang didampingi beruang raksasa
lengkap. Besar dugaan bahwa beruang tersebut dijadikan korban persembahan. Ini mengingatkan
bahwa kuburan tersebut terletak pada ketinggian 15.000 m di Juriss pada lereng gunung yang
terjal dan hampir-hampir tak terjangkau oleh manusia.

Pada manusia Cro-Magnon yang hidup sekitar 40.000 tahun yang lalu yang menarik
adalah bahwa mereka sudah mengembangkan kesenian, dalam hal ini seni lukis. Interpretasi
terhadap lukisan-lukisan yang ada di goa antara lain, sebagai bentuk informasi tetang masalah
perburuan, macam binatang buruan, cara-cara mematikan atau menjebak dan yang khusus adalah
adanya lukisan yang cenderung budaya menangis, misalnya gambar manusia dengan kepala
bertanduk rusa dengan sorot mata yang tajam dan membawa tongkat sihir. Mungkin sekali
gambar ini bertujuan untuk keberhasilan perburuan. Suatu hal yang mengagumkan adalah bahwa
mereka sudah menggunakan pewarna, yang menurut para ahli dapat bertahan tetap cemerlang
selama 40.000 – 20.000 tahun. Lukisan daya magis yang lain adalah suatu bangunan berwujud
patung wanita dengan tekanan pada ukuran buah dada, perut dan pinggul yang besar yang diduga
digunakan sebagai lambang kesuburan. Manusia Cro-Magnon diduga mengadakan pemujaan
lewat lukisan-lukisan di dinding goa, khususnya lukisan-lukisan di dinding goa atau celah-celah
tebing terasing dan membahayakan bagi pelukisnya. Alat yang digunakan selain dibuat dari batu
juga dari tulang atau tanduk, mereka sudah mengenal adanya jarum yang dipergunakan untuk
menjahit pakaian yang berupa kulit binatang.
Dengan membandingkan “produk budaya”/Budaya yang berupa benda-benda
peninggalan, baik yang dipakai, dibuat maupun karya-karya seni dan pola pemujaan, dapat
disimpulkan bahwa semakin muda umur geologiknya semakin kompleks peninggalannya.
Kemiripan dengan hasil budaya makhluk modern semakin nyata. Dengan demikian adanya arus
informasi non-genetik dari generasi ke generasi rupanya mendekati suatu kenyataan. Dan
mengingangat bahwa perkembangan hasil “Budaya”/budaya tersebut memakan waktu yang
absolut lama, maka orang cenderung menyebut sebagai evolusi psiko-sosisal, evolusi budaya
atau kultural.

Hubungan manusia purba dengan lingkungannya menunjukkan bahwa ketergantungan


mereka dengan alam, semakin muda usia geologiknya, semakin berkurang. Bila semula mereka
tergantung dari kemurahan alam, menyesuaikan diri dengan alam sekitarnya, mereka
berkembang menuju pada penguasa alam. Dari pegunungan api jelas bahwa  manusia adalah
satu-satunya makhluk yang tidak lari dari api, bahkan menggunakannya untuk melawan alam,
terhadap udara yang dingin dan menggunakannya sebagai sarana untuk mengusir binatang-
binatang liar, disamping sebagai sarana berburu.

B. Kaitan Evolusi Kultural dan Evolusi Biologi

Di awal bab ini telah dibicarakan adanya peninggalan-peninggalan “budaya” yang


menunjukkan bahwa semakin muda umur fosil, semakin kompleks peninggalan “budayanya”.
Apakah peninggalan yang semakin kompleks atau maju itu disebabkan oleh adanya informasi
non-genetik yang ditransmisikan dari generasi ke generasi, tentunya hal itu yang harus dijawab,
kalau kita akan bicara masalah evolusi kultural. Perkembangan aspek psiko-sosial dari individu
tidak lepas dari perkembangan biologiknya, dan atas dasar inilah orang cenderung untuk
mencoba mencari hubungan antara peninggalan yang mempunyai aspek psiko-sosial dan aspek
ragawinya.

Analisis untuk mencari kaitan dimaksud sudah barang tentu bersifat interpretatif dengan
menggunakan modal objek konkret berupa peninggalan dan modal analisis dan perkembangan
ilmu pengetahuan dewasa ini. Hal ini penting dikemukakan oleh karena bertambahnya ilmu
pengetahuan yang melaju dengan pesat dan bertambahnya penemuan hasil eksplorasi dengan
teknologi canggih, sangat boleh jadi mengubah pendapat, hasil analisis tersebut. Lebih-lebih
karena membicarakan evolusi manusia adalah membicarakan diri kita sendiri, oleh karena itu
tidak dapat dielakkan adanya rancu ilmiah (Scientific bias) dan rancu kultural (Cultural
Bias).Upaya untuk mencari hubungan seperti dimaksud di atas, menurut ahli antropologi,
merupakan suatu keharusan, karena manusia adalah bagian integral dari alam, dari suatu segi
mempunyai kedudukan yang sama dengan makhluk hidup yang lain, jadi merupakan produk
evolusi dan dari segi lain mempunyai kemampuan dan potensi yang khas, yang dapat
mempengaruhi alam sekelilingnya.

Sotoran pada aspek biologik pada makhluk-makhluk yang dianggap leluhur manusia, atau
setidak-tidaknya diduga mempunyai leluhur yang sama dengan manusia atau hidup
berdampingan pada waktu yang lama. Pada fosil makhluk-makhluk tersebut analisis utama dapat
ditunjukkan pada bagian-bagian yang paling pokok, yaitu: kaki, pinggul, tangan dan kepala.
Ketiga bagian tersebut merupakan kunci yang antara lain dapat memberikan gambaran tentang
posisi tubuh, perilaku gerak dalam kaitannya dengan tanggapan terhadap rangsang, perilaku
gerak dalam kaitannya dalam upaya pemenuhan kebutuhan fisologik, kemampuan memilih,
menggunakan dan membuat alat bantu untuk pemenuhan kebutuhan fisiologik, kedudukan alat
indera dan besarnya potensi penginderaanya, volume otak dan perkembangan bagian-bagiannya,
kedudukan kepala dalam kaitannya dengan kedudukan otot-otot tertentu, bentuk dan perilaku
makan.

Panjang tulang-tulang, panjang kaki ikut menentukan gerak atau kegesitan gerak, kemudian
pula besarnya tulang-tulang tersebut, kondisi tulang, lurus atau bengkok ikut pula menentukan,
begitu juga kedudukan tulang telapak kaki. Pada manusia sekarang kedudukannya tulang-tulang
tersebut, sedemikian rupa keadaannya, sehingga bila kaki ditapakkan, telapak kaki tidak
seluruhnya secara merata menapak di landasan. Bipedalisme, sungguhpun tidak menjamin
kecepatan gerak, tetapi ada keleluasaan gerak, yang memberi keuntungan pada usaha membela
diri. Dari segi lain bipedalisme memberi kebebasan pada ekstremitas superior yang memberi
keuntungan dalam rangka membela diri, mencari makan dan menghasilkan karya mulai bentuk
yang paling sederhana seperti kapak genggam sampai karya yang bernilai seni seperti halnya
Manusia Cro-Magnon (Lihat Gambar 7.2). Karya bentuk lukisan tersebut hanya akan terwujud
bila ibu jari dapat bergerak secara luwes (prehensil) dan dapat dipertemukan dengan jari-jarinya
atau paking tidak dengan jari telunjuk. Keuntungan lain dari ekstremitas superior dari fungsi
lokomosi adalah dipengaruhinya fungsi lain, seperti pemeliharaan atau mengasuh anak/keturunan
dan meraba serta untuk komunikasi dalam bentuk isyarat, disamping bentuk-bentuk lambang lain
yang telah dikemukakan di awal bab ini dinyatakan sebagai transmisi informasi non-genetik,
suatu bentuk aktivitas psiko-sosial.

Letak alat indera, misalnya mata, yang terletak pada suatu bidang memungkinkan adanya
penginderaan binokuler, dan pada perkembangannya memungkinakan penginderaan
stereoskopik, sehingga obyek tiga dimensi dapat tertangkap sebagaimana keadaan yang
sebenarnya. Pada makhluk arboreal, yang hidup di pepohonan, jarak dahan ke dahan dapat
terindera secara tepat. Pada makhluk teresterial penginderaan stereoskopik memberikan
kemampuan pandang dalam yang memungkinkan dapat mengindera dengan cermat. Pada
makhluk arboreal dan teresterial dan teresterial perkembangan penglihatan dan perabaan yang
semakin maju, melebihi perkembangan indera penciuman dan pendengar. Bagi makhluk arboreal
ini sangat berarti untuk ketepatan sasaran yang akan dicapai, sedang pada makhluk teresterial
koordinasi tangan dan mata merupakan sarat pembutan alat perkakas.

Bentuk tengkorak memberi kemungkinan perkembangan bagian-bagian otak tertentu, seperti


bagian frontal yang berkaitan dengan gerak, bagian temporal berkaitan dengan tutur dan ingatan,
bagian occipital ada hubungannya dengan penyimpanan informasi. Semakin luas dan
kompleksnya pengideraan baik melalui indera penglihatan maupun peraba, membawa
konsekuensi perkembangan sistem masukkan sensorik, mekanisme neural untuk mengevaluasi
masukkan sensorik, dalam hal ini terjadi di cortek cerebri, yang juga berfungsi untuk formulasi
dan inisiasi tanggapan terhadap stimulasi lingkungan yang diindera.

Rahang bawah yang masif dan karenanya berat, serta menonjol ke muka, mengisyaratkan
sulitnya komunikasi secara lisan, demikian pula adanya guratan yang menunjukkan tempat
pertautan otot yang kuat. Gigi geligi pada rahang memberi ilustrasi apakah sewaktu hidup
makanannya berasal dari tumbuhan atau berupa daging. Geligi yang merupakan indikator apakah
pemakan daging dapat dikaitkan dengan bentuk dan susunan tangan yang luwes. Makhluk
bipedal yang berpostur tegak atau hampir tegak yang oleh sementara ahli digolongkan pada
homonid (menyerupai manusia) adalah Australopitesin (kera dari selatan). Dibedakan
Australopitesin pemakan tumbyhan seperti Australopithecus robustus, dilihat dari geliginya dan
pemakan daging seperti Australopithecus boisei. Volume otak berkisar antara 400 – 530 cc, ciri
ke-kera-an selain dilihat dari volume otaknya juga dari dahi yang rendah, tulang kening yang
menonjol, rahang masif dan geligi kekeraan.
Kepala menggantung karena foramen magnum berada di belakang. Di antara
Australopithesin yang dikenal diantaranya yang paling muda adalah Australopithecus boisei.
Sementara para ahli beranggapan bahwa makhluk tersebut telah mampu membuat alat, nyata
dapat dibedakan dari yang ada disekitarnya. Namun kemudian dari hasil penggalian Leaky suami
istri, ditemukan di Olduval (tanganyika) fosil yang oleh mereka disebut sebagai Homo habilis si
manusia tukang. Dari tengkorak yang ditemukan terlihat bahwa kapasitas otaknya lebih besar
dari Australopitesin, tengkoraknya halus cenderung membulat, dan tangannya menurut Napier,
yang ahli dalam penelaahan fungsi tangan, mempunyai kapabilitas untuk membuat alat. Namun
sengketa tentang julukan Homo berkembang dan ada yang beranggapan bahwa “Homo habilis”
adalah Australopitesin yang sudah maju.

Dari pendapat yang pertama dapat diartikan bahwa Australopiesin dan leluhur Homo haiblis
bersia sekitar 2,5 juta tahun. Perkiraan ini didasarkan pada penemuan Richard Leaky di danau
Turkana yang mempunyai keistimewaan antara lain mempunyai tulang kening yang tidak
menjorok, kapasitas otak ± 800 cc, dan dikenal sebagai pemakan daging. Fosil ini kemudian
dikenal sebagai manusia 1470, disebut demikian karena di Musium Nasional Kenya tercatat
sebagai fosil yang bernomor 1470. Fosil yang lebih muda adalah fosil yang semula dijuluki
sebagai manusia kera atau Pithecanthropus, yang karena berdiri tegak, disebut Pithecanthropus
erectus. Namun kemudian julukan tersebut dirubah menjadi Homo erectus karena ciri-ciri
manusianya lebih menonjol. Dengan demikian statusnya kebalikan dari Australopithecus yang
dijuluki kera yang mirip manusia.

Volume otak Homo erectus berkisar antara 700 – 900 cc, seperti yang dikemukakan oleh
Von Koenigswald di Jawa, manusia jawa yang berkapasitas 900 cc. Tengkorak dari anak-anak
dari apa yang disebut Homo erectus Mojokerto saja, kapasitas otaknya 700 cc, fosil yang sangat
mirip dengan Homo erectus penemuan Von Koenigswald adalah Homo erectus Peking yang
semula disebut sebagai Sinanthropus. Fosil yang lebih muda yang kemudian disebut manusia
Trinil dan manusia Ngandong (Homo erectus Soloensis) disebut demikian karena letak kedua
kota tersebut adalah dekat Bengawan Solo, mempunyai kapasitas otoak antara 900 – 1.000 cc.
Besarnya otak ini selanjutnya dikaitkan pula dengan ditemukannya ± 2.400 perkakas dekat
Pacitan. Mereka sudah menggunakan api, sebagaimana diketahui api adalah suatu yang menarik,
melalui penginderaan mata, tetapi sekaligus menakutkan bagi binatang. Diperkirakan otak Homo
erectus mempu memanipulasi api tidak saja untuk memanasi tubuh tetapi untuk keperluan yang
lain.

Ciri yang mendekati ciri manusia adalah adanya prosessus mastoideus, tonjolan tulang
tengkorak, oss, mastoideus, yang letaknya dibelakang telinga. Disamping itu gigi geligi yang
serupa manusia , tidak ada taring yang muncul, sedang proporsi rahangnya mirip proporsi rahang
manusia. Namun demikian ciri kekeraan yang masih terlihat adalah tulang kening yang menonjol
dan masif serta dahi yang melereng (agak kurang), pada Homo erectus Peking, fosil ini di juluki
Pra-Neanderthal. Tengkorak manusia Lembah Neander menunjukkan semakin dekat ciri manusia
modern, namun belum dapat digolongkan pada manusia modern. Bentuk bagian tengkorak tidak
seekstrim pada Homo erectus ataupun Australopiithecus, meskipun ciri adanya tulang kening dan
tidak adanya dagu masih mewarnai bentuk tengkorak keseluruhan. Yang mengherankan adalah
besarnya otak sama dengan otak manusia modern. Manifestasi dengan semakin besarnya volume
otak tersebut adalah adanya gejala pemujaan suatu yang abstrak, mereka telah mulai berabstraksi
dan setidak-tidaknya berkhayal.

Catatan fosil yang khusus adalah fosil manusia Swanscombe dari lembah sungai Thames
(London) yang ternyata kemungkinan besar lebh tua dari manusia lembah Neander, namun
mempunyai ciri-ciri yang mirip dengan Homo sapiens. Sementara ahli beranggapan bahwa
Manusia Swanscombe, juga yang lain, yaitu Steinheim merupakan manusia modern yang muncul
terlalu dini, garis-garis primitif memang masih kelihatan, namun lebih berkemang dibanding
dengan manusia Lembah Neander. Fosil manusia Cro-Magnon, yang hidup 40.000 – 10.000
tahun yang lalu, adalah benar-benar makhluk yang mirip dengan Homo sapiens. Tengkorak tipis,
dahi tinggi, mulut tidak monyong sedang besarnya otak sama dengan manusia modern.

Secara lepas makin muda umur geologik fosil, makin kompleks perkembangan budaya, dan
aspek psiko-sosialnya, semakin muda umur geologik fosil, perkembangan bagian tubuh tertentu
semakin mirip dengan manusia modern. Pertanyaan yang timbul adalah apakah perkembangan
raga tersebut ada kesinambungannya, untuk dapat dikatakan sebagai suatu proses evolusi.
Munculnya Homo hibilis pada masa “kejayaan” Australopithecus, dan munculnya manusia
Swanscombe bersamaan waktunya dengan Homo erectus, memberikan gambaran kemungkinan
adanya kesinambungan informasi genetik. Hal tersebut mendorong para ahli untuk mencoba
mencari bentuk-bentuk antara, antara manusia dengan kera. Hal ini penting oleh karena hebatnya
pro dan kontra terhadap teori yang dikemukakan oleh Charles Darwin yang menyatakan bahwa
spesies itu mengalami perubahan dari masa ke masa, tanpa dapat mengelak dari pengaruh
lingkungan, perubahan itu dapat begitu jauh hingga dapat menjadi spesies baru.

Dari penemuan Australopitesin yang dianggap sebagai kera yang mempunyai ciri manusia,
kemudian manusia kera yang dinyatakan cenderung sebagai manusia tetapi masih mempunyai
ciri kera, semua itu tidak melegakan harapan, karena ciri-ciri yang ada pada Australopitesin,
maupun manusia kera (Pithechantropus) masih terlalu harus. Para ahli masih mencari bentuk
peralihan yang lebih “halus”, suatu bentuk “campuran” dalam arti sebenarnya. Sehingga pada
tahun 1912, Charles Dawson menemukan fosil di Piltdown (Inggris) yang benar-benar dapat
mewakili bentuk antara yang dicari. Fosil tersebut menunjukkan adanya campuran yang lebih,
integral, karena telah direkonstruksi bentuk fosil itu nyata-nyata merupakan tengkorak manusia
modern, dengan rahang bawah yang mempunyai ciri kera. Fosil tersebut pernah dinamai
Eoanthropus Dawnsoni, meskipun demikian dengan membandingkan fosil tersebut dengan
penemuan lain, para ahli merasa curiga, karena fosil yang ditemukan adalah cenderung
menunjukkan tengkorak yang menyerupai kera dan rahang yang menyerupai manusia. Lalu arah
evolusi manakah yang benar?

Ternyata kemudian pada permulaan 1950, dengan pengujian kimiawi, melalui Horine Test
serta melalui analisis anatomi, ternyata bahwa fosil tersebut palsu. Tengkorak tersebut adalah
hasil rakitan yang cermat tentunya oleh orang yang mengenal kimia dan anatomi. Hal ini menilik
warna tulang yang kepurba-purbaan dan bentuk gigi yang kekera-keraan, hasil suatu kikiran
yang cukup halus. Akhirnya manusia Piltdown disisihkan dari percaturan penelitian fosil-fosil
antara, dan dianggap sebagai suatu lelucon yang menyakitkan hati. Betapa tidak, selama ± 40
tahun, para ahli berdebat dan terdorong untuk mencari kelengkapan informasi tentang fosil
tersebut.

C. Potensi Manusia Dalam Evolusi

Hingga dewasa ini evolusi yang menyangkut manusia masih saja mengundang perdebatan
yang sengit, meskipun mulai ada tanda-tanda pengertian bahwa manusia bukanlah makhluk yang
dapat terbebas dari pengaruh perubahan lingkungan dan manusia tidak pula luput dari efek
negatif perbuatannya dalam memanfaatkan alam sebagai sumber untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Keadaan inilah yang diungkapkan dengan kalimat “Bahwa manusia adalah bagian
integral dari alam”. Kalau di masa lalu ulama Gereja, Uskub Oxford, yang bernama Samuel
Wilberforce (1860), dengan kemarahan yang luar biasa membakar hadirin untuk membakar teori
Darwin, maka dewasa ini orang dapat memahami teori tersebut, meskipun hal tersebut tidak
berarti menyetujuinya. Sementara orang awam berpendapat, bila benar manusia itu produk
evolusi dan bila evolusi itu terus berlangsung seperti yang terjadi di masa lampau, maka
keturunan manusia dikemudian hari adalah makhluk yang lebih sempurna dibanding dengan
manusia masa kini. Sudah barang tentu hal ini sekedar di dasari pada pemikiran analogik belaka,
tanpa ada kejelasan dalam hal apa kelebihannya dan bagaimana mekanismenya. Bagaimanapun
hal ini mendorong para ahli untuk mendoba mengungkap kebenaran proses evolusi, melalui
eksplorasi dari aspek Geologik, paleontologik, maupun arkeologik,disamping mulai diadakannya
eksperimentasi dengan ilmu dan alat mutakhir yang dapat menunjang mempertajam bila perlu
membenahi atau merombak gagasan evolusi. Mereka dapat melakukan hal ini dengan lebih
terbuka.

Lebih dari itu banyak para ahli termasuk para ulama, mencoba menelaah evolusi manusia,
dengan menggunakan kitab suci sebagai bahan acuannya. Jelas hal ini tidak terjadi pada abad IX
dan sebelumnya. Sebagaimana diketahui sebelum Charles Darwin mengemukakan gagasannya
tentang asal mula spesies, kebanyakan orang berpendapat bahwa spesies (makhluk) hidup itu
suatu ciptaan. Pendapat ini jelas bersumber dari Kitab Suci. Dalam ilmu pengetahuan saat itu
berkemabang pendapat tentang tetang “Special Creation” yang intinya pada dasarnya tidak
berbeda dengan apa yang diacu dari Kitab Suci, meskipun pengungkapannya berbeda. Ciptaan
khusus (Special Creation) menyatakan bahwa setiap spesies diciptakan secara khusus oleh suatu
kekuatan yang disebut sebagai “Super Natural Power”.

Namun pengalaman menyedihkan dimasa lampau yang menyangkut hukuman mati terhadap
Galileo Galilei karena mempertahankan faham “Heliosentris” dari Capernicus, membuat orang
berhati-hati karena dikemudian hari ternyata teori tersebut benar. Senada dengan itu pula setelah
dipahami bahwa panjang hari di planet bumi tidak sama dengan di planet-planet lain, orang dapat
memahami bahwa sebutan “hari” dalam Kitab Suci yang menyangkut ciptaan bumi dan seisinya
tidak dapat disamakan dengan “hari” seperti yang dikenal oleh kebanyakan orang, yaitu 24 jam
dalam sehari semalam. Para ulama kini cenderung memahami Kitab Suci tidak secara harfiah,
seperti yang tersurat, tetapi lebih pada yang tersirat. Perkembangan ilmu pengetahuan yang juga
membentuk cara berfikir dan bersikap, memberi kemampuan pada manusia dalam abad ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK) ini, untuk memahami apa yang ada di “balik” kata-kata
dalam Kitab Suci itu. Sudah barang tentu hal inipun mengundang perdebatan pula karena perlu
diketahui pula pendapat bahwa Agama tidak dapat dicampur adukan dengan ilmu pengetahuan
dalam penggunaannya sebagai pisau analisis masalah yang berkembang, kini mulai berubah,
orang berusaha untuk mencari titik temu yang menjembatani antara Ilmu pengetahuam dengan
Agama. Catatan khusus akan hal ini akan berlaku bagi kita yang hidup di Negara Pancasila ini,
karena disini kita mengaku bahwa Kitab Suci berisikan Wahyu Illahi, dan bukan buatan Orang
karena itu kebenaran yang terkandung adalah mutlak dan kekal. Kini banyak buku-buku yang
mencoba untuk menelaah proses evolusi, termasuk asal-usul manusia dengan menggunakan
Kitab Suci.

Pada bab sebelumnya telah disinggung bahwa, terjadinya spesies baru menurut Charles
Darwin dapat terjadi akibat terjadinya seleksi alam. Pendapat Charles Darwin ini lebih berupa
sebagai interpretasi dari pada kenyataan, interpretasi yang tidak dilandasi oleh teori yang kuat.
Hanya enam tahun kemudian pertanyaan yang tidak terjawab mengenai mekanisme seleksi alam,
jawabannya tersimpul hasil percobaan-percobaan oleh Mendel dan para ahli ilmu Genetika.
Dalam pelacakan menuju perkembangan menuju manusia modern banyak dugaan yang timbul
mengenai mata rantai mulai dari makhluk yang diduga sebagai pra manusia modern. Salah satu
kemungkinan adalah menganggap bahwa garis tersebut dimulai dari Australopithecus,- Homo
habilis – Homo erectus (Pithecanthropus) - Manusia Lembah Neander – Manusia Cro-magnon -
Manusia modern. Pendapat yang lain adalah bahwa Homo habilis lah yang merupakan titik mula
leluhur manusia, yang bipedal, untuk selanjutnya dapat digambarkan sebagai berikut: Homo
habilis – Manusia lembah Neander – Manusia Cro-Magnon – Manusia Modern atau dengan
adanya ciri-ciri yang lebih manusia pada manusia Swanscombe maka kemungkinan urutannya
menjadi Homo habilis – Manusia :”Swanscombe” (mempunyai ciri yang sama dengan manusia
Swanscombe yang ditemukan di lembah sungai Thames) – Manusia Cro-Magnon – Manusia
Modern. Masih banyak kemungkinan yang dapat terjadi.

Dari kemugkinan mata rantai tersebut kemungkinan yang lain adalah adanya kemungkinan
pertukaran gena antara yang diduga sebagai leluhur manusia, yang hidup dalam saat yang
bersamaan dan mempunyai relung (niche) yang sama. Ini berarti bahwa antara mereka yang
hidup pada dimensi waktu yang jauh, keturunannya tidak mungkin untuk saling tukar-menukar
gena, dan mereka disebut sebagai Chronospecies. Pengertian ini dilandasi oleh pengertian bahwa
dalam perjalanan waktu, makhluk hidup dapat mengalami modifikasi, modifikasi berlanjut,
ataupun mutasi kecil sehingga dalam dimensi waktu tertentu, suatu saat keduanya tak mungkin
mengadakan pertukaran gena. Pengertian lain yang timbul adalah pengertian Biospecies, yang
timbul dan berkembang dalam kurun waktu yang sama. Ilustrasi beriut memberi gambaran
tentang Biospecies dan Chronospecies.

Kemungkinan pertukran gena antar populasi kecil (sub Populasi) dapat terjadi, meskipun
tidak harus demikian. Gambar 7.5 memperlihatkan tentang kemajuan terjadinya pertukaran gena
antara sub populasi karena mengandung informasi genetik yang sama. Dari percobaan-percobaan
penyilangan maupun yang berlangsung secara alami selalu ada kemungkinan munculnya varian
yang jauh berbeda dengan keturunan yang lain. Apakah varian yang khas ini dapat mengadakan
pertukaran gena dengan yang lain, mungkin saja meskipun tidak menjadi keharusan. Dimulai
kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi yang menyangjut makhluk-makhluk hidup yang
mendahului manusia modern. Jelas menggunakan pengalaman dan ide dari genetika
berkedudukan sebagai analisis pikir murni. Pendekatan Biokimiawi dan Biofisikawi dapat
memberi harapan gambaran hubungan antar spesies dari peninggalan yang konkret.

Mengenai “kesadaran batin” sesungguhnya tidak hanya dijumpai pada manusia saja, tetapi
memang bahwa kesadaran batin pada manusia merupakan bentuk paling tinggi, Evolusi yang
menuju pada manusia modern, menurut Teilhard justru dimulai dari perkembangan internalnya,
kemudian perwujudan keluarnya adalah sebagai suatu bentuk aksi pada lingkungan. Pada evolusi
manusia interaksi dengan lingkungan, menunjukkan kecenderungan bahwa semakin muda usia
geologik pendahulu manusia modern, semakin jelaslah peran “kesadaran batinnya”. Manusia
tidak semata-mata beradaptasi terhadap lingkungannya. Hal ini mungkin benar pada
Australopitesin, tetapi selanjutnya perkemabangannya adalah terjadi suatu evolusi dalam
mewujudkan relungnya (niche). Itulah sebabnya sementara para ahli berpendapat bahwa adaptasi
manusia dalam perkembangan evolusinya tidak semata-mata terhadap alam, tetapi juga terhadap
lingkungan kulturnya.

Evolusi “kesadaran batin” menurut Teilhard mencapai puncaknya pada manusia, dan ini terus
berkembang samapai mendekati titik omega (w) yaitu mendekati sifat-sifat Tuhan. Kata
mendekati harus digaris bawahi karena bagaimanapun sifat itu tidak pernah akan tercapai
disamping itu menjadi pertanyaan besar, melihat keadaan dewasa ini, yang penuh dengan hingar-
bingar, penyimpangan norma dan nilai-nilau luhur yang sudah menjadi tradisi, peperangan,
perkosaan, dan segala macam kekerasan. Sampai-sampai kekerasanpun kini sudah melembaga.
Apakah manusia sekarang memiliki sifat-sifat yang lebih luhur dari nenek moyang kita leluhur
manusia yang masih berbudaya alami?. Komunikasi yang terbuka, transportasi yang canggih,
perubahan cara berpikir, bersikap dan bertindak memungkinkan terjadinya alur gena secara
leluasa, bahkan bukan sekedar alur potensi tetapi sekaligus alur produk budayanya. Relung
(niche) ekologik cenderung menjadi seragam namun semakin jauh dari sentuhan alam. Adaptasi,
seleksi alam dan spesiasi tidak lagi semata-mata tergantung alam. Manusia cenderung untuk
mengarahkan sendiri ciri-ciri keturunannya di masa datang.
Daftar Pustaka

Anwarsari. 1995. Sejarah Nasional Indonesia I. Malang: IKIP Malang.

Didik Suhartono. 2000. “Kajian Site Catchment Analysis Pada Penghunian Gua
di Kawasan Tuban”, Skripsi Sarjana, Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta

Soekmono. 1978. Sejarah Kebudayaan Indonesia I. Jakarta: Yayasan Kanisius.

Sudrajad. 2012. Prasejarah Indonesia. Yogyakarta: UNY.

Yusliani dan Mansyur. 2015. Menyusuri Jejak - Jejak Masa Lalu Indonesia.
Banjarmasin: universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin.
Soal Essay

1. Apakah yang dimaksud dengan homologi dan analogi organ ?


Jawaban : Perbedaan Homologi dan Analogi
a. Analogi adalah organ-organ tubuh dengan bentuk dasar yang berbeda, tetapi
memiliki fungsi yang sama. sayap serangga dan sayap burung yang sama sama
bisa untuk terbang meskipun bahan dasarnya beda
b. Homologi adalah struktur organ-organ tubuh dengan bentuk dasar yang sama,
tetapi memiliki fungsi yang berbeda. miasalnya Tangan , Sayap , Kaki depan
hewan tetrapoda
2. Jelaskan perbedaan teori abiogenesis dan teori biogenesis! Paparkan beberapa fakta
menurut "pencetus abiogenesis" yang mendasari munculnya teori abiogenesis!
Jawaban : Teori biogenesis menyatakan bahwa mahkluk hidup berasal dari makhluk
hidup pula atau kehidupan berasal dari kehidupan sebelumnya.
Teori abiogenesis menyatakan bahwa makhluk hidup berasal dari benda mati atau terjadi
dengan sendirinya secara spontan. Faktanya: Cacing berasal dari tanah, katak berasal dari
lumpur, kutu berasal dari kotoran badan dan kepala dan masih banyak lagi.
3. Jelaskan perkembangan Radiasi Primata!
Jawaban : Radiasi primata didasarkan atas adanya hubungan kekerabatan antara manusia
dengan primata. Hubungan kekerabatan antara manusia dengan primata dapat ditunjukan
dengan adanya persamaan dan perbedaan manusia dengan orang utan.
4. Mengapa kebanyakan fosil ditemukan tidak lengkap satu tubuh?
Jawaban : Fosil tidak ditemukan secara utuh atau lengkap satu tubuh karena adanya
bebrapa faktor yang menyebabkan fosil tidak ditemukan secara utuh, yaitu:
1. Terjadinya lipatan bahan bumi atau patahan lapisan bumi.
2. Adanya pengaruh air, angin dan bakteri pembusuk
3. Adanya hewan pemakan bangkai
4. Jatuh ditempat yang tidak mungkin terjadinya fosil
5. Suatu organisme membunyai bagian tubuh yang lunak sehingga hancur dan tidak
mungkin menjadi fosil
5. Sebutkan hal-hal yang menyebabkan peristiwa mutasi menguntungkan?
Jawaban : – daya viabilitas dan fertilitas meningkat
– menghasilkan spesies yang mampu beradaptasi
– menghasilkan sifat baru yang lebih menguntungkan

Anda mungkin juga menyukai