Tentang
Oleh :
2021 M
I
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "Sistem dan Birokrasi Pendidikan
Nasional" dengan tepat waktu.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik
yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
II
DAFTAR ISI
III
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam Pasal 1 ayat 3 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan sistem
pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait
secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.Perlu pula disadari bahwa
konsep mengenai sistem dan pendidikan nasional tidak dapat hanya diturunkan dari
praktik pelaksanaan pendidikan yang terjadi sehari-hari di lapangan, melainkan harus
dilihat dari segi teoretis, konsep, atau ide dasar yang melandasinya dan kebijakan-
kebijakan yang ada seperti Undang-Undang Dasar, Undang-Undang Pendidikan dan
peraturan-peraturan lain mengenai pendidikan dan pengajaran.
Pada masa kini, birokrasi dapat dikatakan sebagai mesin yang meng- gerakan
roda kinerja organisasi, baik organisasi pemerintah maupun swasta. Namun demikian,
disebabkan seringnya terjadi penerapan yang cenderung menyimpang dari tujuan
yang sebenarnya, maka birokrasi sering dipandang secara keliru sebagai prosedur
yang berbelit-belit, menyulitkan, dan menjengkelkan. Dari dua pandangan yang
bertentangan satu sama lain dapat disimpulkan bahwa istilah birokrasi dalam
masyarakat dapat dimaknai secara berbeda tergantung pada bagaimana praktik
IV
birokrasi itu dijalankan. Sebagian orang memandang birokrasi sebagai alat yang
efisien dan efektif untuk memudahkan dalam mencapai suatu tujuan.
Birokrasi juga dapat dimaknai sebagai suatu sistem kerja yang berlaku dalam
suatu organisasi yang mengatur secara internal maupun eksternal. Hubungan internal
yaitu hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lainnya berikut hubungan
antara manusia dengan sumber daya organisasi lainnya yang berada dalam organisasi
itu sendiri. Sedangkan hubungan eksternal yaitu hubungan antara organisasi dengan
pihak lain atau lingkungan di sekitarnya, baik pada level kelembagaan ataupun pada
level individu.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Proses Dan Mutu Dalam Sistem Pendidikan Nasional?
2. Bagaimana Pengelolaan Pendidikan Nasional?
3. Apa Konsep dari Birokrasi?
4. Apa Teori birokrasi?
5. Bagaimana Birokrasi Dalam Administrasi Pendidikan?
B. TUJUAN
1. Untuk Mengetahui Proses Dan Mutu Dalam Sistem Pendidikan Nasional
2. Untuk Mengetahui Pengelolaan Pendidikan Nasional
3. Untuk Mengetahui Konsep dari Birokrasi
4. Untuk Mengetahui Teori birokrasi
5. Untuk Mengeetahui Birokrasi Dalam Administrasi Pendidikan
V
BAB II
PEMBAHASAN
1. Bagian yang bersifat formal, berjenjang, dan berkesinambungan. Bagian ini terdiri
atas Satuan Pendidikan Sekolah yang dilihat dari jenjangnya dibagi menjadi
Pendidikan Prasekolah, Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah, dan Pendidikan
Tinggi. Selanjutnya bila dilihat dari sifatnya, pendidikan sekolah dapat
1
diklasifikasikan lagi menjadi pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan
luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik,
dan pendidikan profesional.
2. Bagian yang bersifat informal, nonformal, maupun formal. Bagian ini terdiri atas
Satuan Pendidikan Luar Sekolah yang meliputi pendidikan dalam keluarga,
pendidikan melalui kelompok-kelompok belajar, kursus-kursus, dan satuan-satuan
pendidikan sejenis yang lainnya.
2
ketetapan yang lebih permanen sifatnya seperti undang-undang atau
peraturan-peraturan pemerintah.
Tidak semua aturan yang menuntun proses penyelenggaraan
pendidikan harus diatur melalui Undang-Undang atau Peraturan
Pemerintah. Peraturan- Peraturan Pemerintah dibuat sebagai pedoman
bagaimana melaksanakan Undang-Undang. Setelah ketentuan-ketentuan
dalam Peraturan-Peraturan Pemerintah itu tersusun barulah dapat
dirancang kegiatan-kegiatan pelaksanaannya. Aturan-aturan yang bersifat
lebih dinamis dan mudah berubah sebaiknya ditetapkan dalam bentuk
ketentuan-ketentuan yang dapat diubah dengan cepat.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional berfungsi dalam memberikan arah dan prinsip-prinsip dasar
untuk menuju arah tersebut, serta mengatur prosedurnya secara umum.
Selanjutnya dalam implementasi pendidikan yang sesungguhnya di
lapangan akan banyak ditentukan oleh petugas yang berada di barisan
paling depan, yaitu guru, kepala sekolah dan tenaga-tenaga kependidikan
lainnya.
3
Pendidikan. Pada Pasal 2 ayat 1 Peraturan Pemerintah ini dicantumkan
Lingkup Standar Nasional Pendidikan yang meliputi:
4
h. Standar penilaian pendidikan yang merupakan standar nasional
pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan
instrumen penilaian hasil belajar peserta didik.
5
Penanganan masalah pendidikan di sini dikatakan merupakan
sebuah sistem, karena baru dapat dilaksanakan dengan tuntas bila
dilaksanakan oleh seluruh komponennya melalui hubungan yang timbal
balik dan menyeluruh. Dengan kata lain, semua komponen sistem
pendidikan (keluarga, birokrasi pendidikan, sekolah, masyarakat, dan
media massa) harus terlibat secara aktif di dalamnya dan tidak berjalan
sendiri-sendiri. Usaha-usaha untuk mencapai tujuan tersebut secara efektif
sudah selayaknya diatur melalui suatu strategi nasional yang memiliki
landasan kokoh. Meskipun mewujudkan sistem pendidikan nasional yang
ideal bukanlah pekerjaan yang mudah mengingat luasnya tujuan yang
hendak dicapai, banyaknya komponen yang terlibat, terbatasnya sarana
pendukung dalam proses pelaksanaannya, serta permasalahan yang
mendasar dan paling sulit diatasi adalah persoalan budaya dan mentalitas
bangsanya. Oleh karena itu perlu dirumuskan landasan sistem pendidikan
nasional yang akan diletakkan sebagai titik acuan dalam usaha melakukan
pembenahan yang berkelanjutan.
6
Sagala (2004: 268) mengungkapkan bahwa kebijakan sentralisasi atau
desentralisasi urusan pendidikan merupakan bagian dari dimensi politik dalam
penyelenggaraan pendidikan. Dasar keseimbangan sentralisasi dan desentralisasi
kewenangan harus memperhatikan secara kuat realitas politik. Desentralisasi
secara politis juga memberi peluang yang memadai terhadap peran serta
masyarakat yang optimal dalam pengelolaan pendidikan dalam suatu wadah
dewan sekolah (boards of local schools) atau komite sekolah pada tingkat
sekolah, kabupaten/kota, maupun provinsi. Wadah ini memberdayakan potensi
masyarakat dalam ruang lingkup sekolah, kabupaten/kota, maupun provinsi
sehingga masyarakat tersebut mempunyai tanggung jawab terhadap perolehan
mutu pendidikan sesuai aturan dan ketentuan yang berlaku. Oleh karena itu,
institusi pendidikan maupun masyarakat yang terkait dengan pendidikan tidak
boleh buta politik. Mereka harus memperjuangkan secara politik kepentingan
pendidikan, walaupun bukan sebagai anggota partai politik.
Sagala (2004: 268) juga mengemukakan bahwa desentralisasi adalah
suatu strategi politik untuk mengubah pemikiran para birokrat yang menganut
sifat status quo dengan menyerahkan wewenang pemerintah pada peringkat di
bawahnya. Secara teoritik, desentralisasi sebagai penyerahan wewenang
pemerintah pada peringkat hirarki di bawahnya untuk mengambil keputusan
tentang penggunaan sumber daya organisasi. Desentralisasi menyangkut ikhwal
penyerahan wewenang pemerintah untuk dilaksanakan oleh pemerintah daerah
melalui beberapa fungsi yang melekat padanya.
1. wajib belajar
2. peningkatan angka partisipasi pendidikan untuk jenjang
pendidikan menengah
3. penuntasan pemberantasan buta aksara
4. penjaminan mutu pada satuan pendidikan, baik yang
diselenggarakan oleh pemda maupun masyarakat
5. peningkatan status guru sebagai profesi
6. akreditasi pendidikan
7
7. peningkatan relevansi pendidikan terhadap kebutuhan masyarakat
8. pemenuhan standar pelayanan minimal (SPM) bidang pendidikan
8
lebih banyak untuk keperluan birokrasi dalam bentuk proyek-
proyek daripada untuk kegiatan pembelajaran di sekolah.
5. Rendahnya kualitas kesejahteraan dan perlindungan terhadap
profesi guru dan tenaga kependidikan, serta karier profesionalnya
tidak jelas.
6. Kebijakan perubahan kurikulum tidak diuji atas dasar kebutuhan
(need assessment) di lapangan, tetapi atas dasar kajian, perkiraan,
dan kemauan para birokrat dengan mendapat pembenaran oleh para
pakar yang ditunjuk oleh birokrasi tersebut.
7. Hubungan pengelolaan pendidikan antara pemerintah sebagai
fasilitator dan pihak sekolah sebagai pihak yang difasilitasi amat
kompleks dan birokratis.
8. Biaya pendidikan yang harus ditanggung orang tua cukup mahal,
khususnya bagi sekolah-sekolah favorit. Di samping itu, sebagian
masyarakat tidak tahu apa sebenarnya yang mereka butuhkan untuk
pendidikan anaknya yang disediakan oleh sekolah.
9. Pasar kerja bagi lulusan sekolah labil, khususnya sekolah
menengah dan kejuruan, sehingga setiap tahun angka
pengangguran lulusan sekolah menengah terus bertambah.
10. Tekanan ekonomi yang kuat dan memprihatinkan (angka
kemiskinan yang tinggi) bagi masyarakat luas dan mereka ini turut
menanggung biaya pendidikan.
9
pejabat struktural pada Pemerintah Daerah yaitu atas dasar golongan ruang
kepangkatan, pendidikan kedinasan eselon jabatan sebelumnya, dan DP3
terakhir, bukan berdasarkan profesionalisme pendidikan yang dicerminkan
dengan kepemilikan ijazah ilmu pendidikan dan keguruan serta
pengalamannya dalam bidang manajemen pendidikan. Pernyataan ini
diperjelas pada Pasal 4 ayat 1 dalam PP No. 38/1992 yang menyebutkan
bahwa hirarki yang diberlakukan untuk tenaga pendidik di masing- masing
satuan pendidikan didasarkan atas dasar wewenang dan tanggung jawab dalam
kegiatan belajar mengajar, namun ayat 2 pasal ini mengatakan hirarki yang
diberlakukan untuk tenaga kependidikan yang bukan tenaga pendidik
didasarkan pada pengaturan wewenang dan tanggung jawab dalam bidang
pekerjaan masing-masing. Hal ini menjadikan jenjang karir bagi tenaga
kependidikan pada pemerintah provinsi dan kabupaten/ kota tidak mampu
memberikan jaminan rasa aman dan kenyamanan dalam bekerja bagi para
personil itu.
10
4. DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
5. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus diri sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai peraturan perundang-
undangan.
6. Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang
berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa semdiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem NKRI.
7. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus diri
sendiri urusan pemerintahan dalam sistem NKRI.
8. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau
kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
9. ugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah
dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau
desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk
melaksanakan tugas tertentu.
10. Peraturan Daerah selanjutnya disebut Perda adalah peraturan daerah
provinsi dan/atau peraturan daerah kabupaten/kota.
11. Peraturan kepala daerah adalah peraturan gubernur, dan/atau bupati/
walikota.
12. Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa,
adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas- batas
wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat
istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan NKRI.
13. Perimbangan keuangan antara Pemerintah dan pemerintah daerah
adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional,
demokratis, transparan, dan bertanggung jawab dalam rangka
11
pendanaan penyelenggaraan desentralisasi, dengan mempertimbangkan
potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah serta besaran pendanaan
penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
14. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disebut APBD
adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang
ditetapkan dengan peraturan daerah.
12
mandiri, tidak mempunyai hubungan hirarkik dengan lembaga pemerintahan
daerah. Badan ini di kabupaten/kota berperan dalam mewadahi dan
menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan
dan program pendidikan; meningkatkan tanggung jawab dan peran serta aktif
dari seluruh lapisan masyarakat dalam penyelengaraan pendidikan;
menciptakan suasana dan kondisi yang transparan, akuntabel dan demokratis
dalam penyelengaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu.
13
sehingga pendidikan berkualitas dapat tercapai. Dalam hal yang dipandang
perlu, Dewan Pendidikan Kabupaten/ Kota diikutsertakan dalam kegiatan
sosialisasi di tingkat provinsi. Namun segala upaya yang dapat dilakukan itu
belum tentu berhasil untuk meningkatkan perhatian masyarakat di suatu
daerah terhadap sekolah dan pendidikan pada umumnya, tergantung pada
tingkat kepedulian dan bantuan dari masyarakat dan stakeholders lainnya bagi
efektivititas pengelolaan sekolah Dalam hal di daerah tersebut yang
berdasarkan pengkategorisasian menurut Sagala (2005: 153-155) berada pada
rentang level yang mana dari sangat belum memadai, telah memadai, hingga
sangat memadai.
1 Hadijaya, Yusuf. Administrasi Pendidikan. (Medan: Perdana Publishing, 2012) hal. 26-33
14
B. Birokrasi Pendidikan
1. Konsep Birokrasi
Jika mendengar kata birokrasi, yang ada dalam benak pikiran bahwasanya kita
berhadapan dengan suatu prosedur yang berbelit-belit, dari meja satu ke meja lainnya,
yang ujung-ujungnya adalah biaya yang serba mahal (hight cost). Pendapat demikian
tidak dapat disalahkan seluruhnya. Akan tetapi, apabila orang-orang yang duduk
dibelakang meja taat pada prosedur dan aturan serta berdisiplin dalam menjalankan
tugasnya, birokrasi akan berjalan lancar dan "biaya tinggi" akan dapat
dihindarkan.Pengertian birokrasi menurut para ahli, sebagai berikut:
1. Birokrasi yang dalam bahasa Inggris, bureaucracy, berasal dari kata bureau
(berarti meja) dan cratein (berarti kekuasaan), artinya kekuasaan berada pada
orang-orang yang di belakang meja. Di Indonesia, birokrasi cenderung
dikonotasikan sebagaimana telah digambarkan seperti di atas.
2. Menurut Bintoro Tjokroamidjojo (1984), birokrasi dimaksudkan untuk
mengorganisasi secara teratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh
banyak orang.
3. Blau dan Page (1956) mengemukakan birokrasi sebagai tipe dari suatu
organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas tugas administratif yang
besar dengan cara mengoordinasikan secara sistematis (teratur) pekerjaan dari
banyak orang. Jadi, menurut Blau dan Page, birokrasi justru untuk
melaksanakan prinsip-prinsip organisasi yang ditujukan untuk meningkatkan
efisiensi administratif, meskipun kadang dalam pelaksanaannya birokratisasi
sering mengakibatkan adanya ketidakefisienan.
4. Dengan mengutip pendapat Mouzelis, Ismani (2001) mengemukakan bahwa
dalam birokrasi terdapat aturan-aturan yang rasional, struktur organisasi dan
proses berdasarkan pengetahuan teknis dan dengan efisiensi yang setinggi-
tingginya. Dari pandangan demikian, tidak sedikit pun alasan untuk
menganggap birokrasi itu jelek dan tidak efisien.
5. Dengan mengutip pendapat Fritz Morstein Marx, Bintoro Tjokroamidjojo
(1984) mengemukakan bahwa birokrasi adalah tipe organisasi yang
dipergunakan pemerintahan modern untuk pelaksanaan berbagai tugas yang
bersifat spesialisasi, dilaksanakan dalam sistem administrasi yang khususnya
oleh aparatur pemerintahan.
15
6. Dengan mengutip Blau dan Meyer, Dwijowijoto (2004) menjelaskan bahwa
birokrasi adalah suatu lembaga yang sangat kuat dengan kemampuan untuk
meningkatkan kapasitas-kapasitas potensial terhadap hal-hal yang baik dan
buruk dalam keberadaannya sebagai instrumen administrasi rasional yang
netral pada skala yang besar. Selanjutnya, dikemukakan bahwa di dalam
masyarakat modern, yang terdapat begitu banyak urusan yang terus-menerus
dan ajeg, hanya organisasi birokrasi yang mampu menjawabnya. Birokrasi
dalam praktik dijabarkan sebagai pegawai negeri sipil.
2. Teori birokrasi
Birokrasi menurut Weber terutama yang menyangkut (a) Legitimasi sebagai
dasar sistem otoritas, (b) Delapan proposisi penyusunan sistem otoritas legal, dan (c)
Konsepsi Legitimasi bagi staf administrasi.
Weber mengatakan ada ciri-ciri peranan yang terkait sama lain. Pertama,
bahwa seseorang mempunyai tugas-tugas khusus yang harus dilakukan; kedua,
fasilitas dan sumber yang diperlukan untuk melakukan/memenuhi tugas-tugas atau
peran itu, yang diberikan oleh pihak lain, bukan oleh pelaku peran itu sendiri. Dalam
keadaan seperti ini pejabat memiliki posisi yang sama dengan pekerja pabrik, tetapi
pejabat memiliki ciri-ciri yang membedakan dengan pekerja pabrik, yaitu pejabat
memiliki otoritas, sedang pekerja pabrik tidak demikian. Kesamaannya adalah mereka
sama-sama terikat dengan kontrak dan diangkat, bukan atas dasar pilihan oleh orang
banyak (masyarakat). Dengan demikian, Weber tidak memasukkan semua pejabat
yang ada termasuk dalam konsep birokrasinya.
Ciri pokok yang menonjol dari konsep birokrasi Weber adalah ia merupakan
orang yang diangkat oleh pejabat yang berwenang. Sebagai bukti bahwa ia
diangkat adalah melalui Surat Keputusan (SK) dari pihak yang mengangkatnya
sebagai pejabat. Di dalam surat keputusan itu sudah tertera hak-hak dan kewajibannya
16
serta upah yang diberikan sebagai kontrak yang sudah disepakati oleh yang
mengangkat dan yang diangkat, sebagai kontrak antara keduanya (Albrow, 31: 1989).
Sesuai dengan teorinya, Weber mengatakan bahwa legitimasi adalah dasar bagi
hampir semua sistem otoritas. Ia mengemukakan lima keyakinannya yang berkaitan
dengan otoritas yang sah bergantung pada kelima legitimasi yang secara singkat
diuraikan sebagai berikut :
1. Bahwa dengan ditegakkannya peraturan (code) yang sah maka dapat menuntut
kepatuhan dari para anggota organisasi tersebut.
Hal ini dimaksudkan bahwa semua anggota organisasi pemerintah yang
memenuhi syarat sebagai birokrat dapat bekerja dalam organisasi apabila ada
pedoman, berupa aturan yang secara formal harus dipatuhi. Misalnya peraturan
yang dibuat berupa Surat Keputusan oleh yang mempunyai otoritas dan
diundangkan berlaku untuk semua anggota organisasi.
2. Bahwa hukum merupakan suatu sistem aturan abstrak, yang diterapkan pada
kasus-kasus tertentu, sedangkan administrasi mengurus kepentingan-kepentingan
organisasi yang ada dalam batas-batas hukum.
Hal ini dimaksudkan bahwa setelah diterapkannya aturan-aturan organisasi
yang harus dipatuhi oleh para anggota organisasi maka jika ada anggota organisasi
yang tidak mematuhi atau menyimpang dari aturan organisasi harus dikenakan
sanksi. Penerapan sanksi atau hukuman sifatnya berjenjang sesuai dengan tingkat
kesalahannya, oleh karena itu, hendaknya aturan hukum yang berlaku mencakup
sampai hal-hal yang detail, dapat menjangkau bobot-bobot kesalahan yang
diperbuat oleh anggota organisasi tersebut.
3. Bahwa manusia yang menjalankan otoritas juga mematuhi tatanan impersonal
tersebut.
Hal ini dimaksudkan bahwa semua aturan organisasi termasuk aturan hukum
yang berlaku juga diberlakukan kepada semua anggota organisasi tanpa pandang
kedudukan artinya semua aturan diberlakukan baik bagi atasan yang mempunyai
otoritas maupun bawahan yang tidak mempunyai otoritas.
4. Bahwa tidak hanya qua member (anggota yang taat) yang benar-benar mematuhi
hukum.
Hal ini dimaksudkan bahwa agar semua anggota organisasi seharusnya
menaati aturan hukum yang berlaku, dan tidak hanya sebagian saja dari anggota
organisasi itu yang harus patuh. Jika ini sampai terjadi maka ada ketidakadilan,
17
ketidakefisienan, dan pada akhirnya akan mengakibatkan pertentangan dengan
birokrasi rasional. Oleh karena itu,, siapa pun yang tidak mematuhi hukum yang
berlaku dalam organisasi harus dikenai sanksi setimpal dengan pelanggaran yang
dilakukan.
5. Bahwa kepatuhan itu seharusnya tidak kepada person yang memegang otoritas
melainkan kepada tatanan impersonal yang menjamin untuk menduduki jabatan
itu.
Hal ini dimaksudkan agar semua anggota organisasi tunduk kepada aturan
yang ada, bukan patuh karena seseorang yang menjadi atasannya. Bekerja sesuai
aturan bukan melihat siapa yang memerintah, ada atau tidak ada atasannya tetap
bekerja sesuai aturan, diawasi atau pun tidak diawasi tetap bekerja sebaik-baiknya.
Atas dasar konsep legitimasi, Weber merumuskan 8 (delapan) proposisi
tentang penyusunan sistem otoritas legal sebagai berikut.
1. Tugas-tugas pejabat dalam organisasi berdasarkan aturan yang
berkesinambungan.
2. Tugas-tugas tersebut dibagi atas bidang-bidang yang dibedakan menurut
fungsi, masing-masing dilengkapi dengan syarat otoritas, dan sanksi-sanksi.
3. Jabatan-jabatan tersusun secara hierarkis, hak-hak kontrol, dan komplain di
antara mereka terperinci.
4. Aturan-aturan yang sesuai dengan pekerjaan diarahkan baik secara teknis
maupun secara legal.
5. Sumber-sumber daya organisasi sangat berbeda dengan yang berasal dari para
anggota sebagai individu pribadi.
6. Pemegang jabatan sesuai dengan kompetensinya
7. Administrasi didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis.
8. Sistem otoritas legal dapat mengambil banyak bentuk, tetapi dilihat dari
bentuk aslinya ialah sebuah staf administrasi birokratis arti staf administrasi
birokratik adalah adanya otoritas berjenjang, yang mengandung konsekuensi
pelaporan dan tanggung jawab secara berjenjang pula. Setiap biro mempunyai
wewenang dan tanggung jawab sebagaimana tertuang dalam surat
keputusan/pembentukannya atau diatur dengan surat keputusan lain yang
menjadi sumber legalitas bagi biro atau lembaga tertentu.
18
Selain mengemukakan konsepsi legitimasi dan mengemukakan delapan
penyusunan sistem otoritas legal. Weber mengemukakan ciri-ciri birokrasi sebagai
berikut.
19
adalah ikatan kontrak yang harus dijalani oleh seorang birokrat sampai akhir
masa tugasnya.
5. Mereka dipilih berdasarkan kualifikasi profesional.
Artinya bahwa untuk pengangkatan seseorang pejabat harus didasarkan pada
kebutuhan organisasi Bila organisasi membutuhkan ahli di bidang manajemen
keuangan, misalnya, harus diisi pejabat yang berpengetahuan keuangan,
membutuhkan keterampilan di bidang teknik sipil harus dicarikan insinyur
teknik sipil dan seterusnya. Untuk mengetahui keahlian (spesialisasi) yang
ada pada seseorang pejabat dapat dilihat dari ijazah formal yang dipunyai oleh
pejabat tersebut.
6. Gaji diberikan atas dasar peraturan umum yang telah ditetapkan.
7. Pos jabatan adalah lapangan kerjanya sendiri atau lapangan kerja pokoknya.
Inti dari keterangan ini adalah, siapa pun yang diberi jabatan sebagai birokrat
harus bekerja dengan sungguh-sungguh, tidak sekadarnya, harus ada rasa ikut
memiliki dan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap yang dilakukan
sehubungan dengan tugas, pekerjaan, dan tanggung jawab yang diembannya.
8. Terdapat jenjang karier, di mana promosi dimungkinkan berdasarkan
senioritas maupun keahlian (merit) dan menurut pertimbangan keunggulan
(superior).
9. Sering terjadi penempatan jabatan yang tidak sesuai dengan kompetensinya.
Maksudnya adalah sering terjadi bahwa jabatan diisi oleh orang-orang yang
tidak cocok dengan keahliannya. Jika hal ini terjadi maka si pejabat itu akan
bekerja kurang efektif dan kurang optimal sehingga tidak bisa berkembang
dan akan mempengaruhi keberhasilan organisasi. Keadaan seperti ini pun
dapat mempengaruhi tujuan organisasi karena seseorang bekerja tidak optimal,
atau karena pekerjaan yang kurang disenangi. Oleh karena itu,, orang-orang
yang mempunyai otoritas hendaknya dapat menempatkan orang-orang dalam
organisasi sesuai dengan profesinya, bakatnya, dan sesuai pula dengan yang
dikehendaki orang yang menjabat tersebut.
10. Tunduk pada sistem disiplin dan kontrol yang seragam.
20
Artinya, bahwa para anggota organisasi birokrasi harus tunduk pada aturan
yang ada, bekerja berdasarkan aturan (regulasi) yang berlaku. 3
21
memajukan pendidikan tentu akan mendorong para kepala sekolah agar mampu
menunjukkan kinerja yang baik dengan meningkatkan mutu pendidikan di sekolahnya
masing-masing.
22
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, maka manajemen di madrasah di
lingkungan Kementerian Agama menjadi penting dilakukan untuk mengoptimalkan
kinerja dan hasil yang dicapainya. Untuk itu jajaran Kementerian Agama RI melalui
Direktorat Pendidikan pada Madrasah dari tingkat pusat, provinsi, hingga
kabupaten/kota memposisikan diri untuk meningkatkan tata kelola madrasah menjadi
lebih baik, yang tentunya hal tersebut akan menjadi modal utama untuk mencapai
mutu pendidikan yang tinggi di madrasah sebagai lembaga resmi Kementerian
Agama.
23
“menyejahterakan personil pendidikan” yang dipahami secara salah kaprah oleh para
personil yang terlibat langsung dalam urusan pendidikan ini dengan tidak ada
dampaknya yang signifikan terhadap peningkatan mutu pendidikan di sekolah karena
secara etis tidak ada tanggung jawab moral bagi para personil pendidikan itu untuk
meningkatkan kinerjanya.
Untuk itu para personil ini harus dimotivasi agar mereka menyadari untuk apa
sebenarnya penghasilan mereka dinaikkan dengan jumlah yang signifikan. Di antara
kebijakan pendidikan yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan maupun Kementerian Agama yang berhubungan dengan masalah
tunjangan di atas adalah:
24
berdasarkan kebijakan teknis yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pendidikan
Islam. Demikian pula dalam pembuatan kebijakan- kebijakan yang berhubungan
dengan pengimplementasian Projek Pengem-bangan Pendidikan Madrasah. Untuk itu
suatu Panitia Pelaksana Projek Pengembangan Pendidikan Madrasah dibentuk untuk
memandu Unit Manajemen Projek Pusat untuk menentukan arah kebijakan umumnya,
koordinasi antara sektoral dan arah strategis. Para anggota panitia pelaksana projek
terdiri dari perwakilan dari Kementerian Agama, Kementerian Keuangan, Badan
Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Dalam Negeri, dan
Kementerian Pendidikan Nasional.
Pada setiap projek provinsi yang telah ditunjuk dibentuk Panitia Koordinasi
Projek atau Unit Pelaksana Teknis (UPT) untuk mengatur implementasi di tingkat
provinsi Berikut ini adalah tugas pokoknya:
a) Membantu Koordinator Projek untuk mengembangkan suatu program kegiatan
tahunan di provinsi dengan mengacu pada manajemen dan perencanaan,
b) Mempersiapkan program-program dan pelatihan bagi pengenalan program-
program manajemen kinerja berbasis hasil termasuk hubungan dengan Pusat
Pengembangan Madrasah yang berperan memimpin dalam program
pengkoordinasian dan pengimplementasian program,
c) Mempersiapkan program-program dan pelatihan untuk pengimplementasian
proses perencanaan strategis dan kebijakan dan memonitor
pengimplementasian dan hasil-hasil kegiatan-kegiatan perencanaan di daerah
dan provinsi,
d) Mengkoordinasikan dan memonitor penerapan Sistem Informasi Manajemen
Projek yang berbasis sistem,
e) Membantu dalam monitoring dan pengevaluasian semua kegiatan yang
berhubungan dengan pengenalan pada Projek Pengembangan Pendidikan
Madrasah dan pendekatan perencanaannya.
27
Implementasi Renstra Kementerian Pendidikan Nasional 2010-2014 oleh
Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Agama, Dinas Pendidikan Provinsi,
Dinas Pendidikan Kabupaten, dan Kota, dan Kementerian/Lembaga lain terkait
menuntut pengembangan sistem tata kelola tersendiri. Perlu dilakukan penataan
terhadap tugas dan tanggung jawab dalam melaksanakan program dan kegiatan yang
ditetapkan untuk mewujudkan sasaran Indikator Kinerja Pendidikan Nasional.
Pengembangan sistem
tata kelola implementasi Renstra mencakup kegiatan penyusunan Standar Operasi dan
Prosedur (SOP) dalam penyusunan, sosialisasi, dan pengendalian pelaksanaan
program dan kegiatan pembangunan yang dituangkan dalam Renstra. Program di atas
bertujuan untuk:
a. meningkatkan kapasitas lembaga-lembaga di pusat dan daerah,
mengembangkan mekanisme tata kelola, meningkatkan koordinasi antar
tingkat pemerintahan, mengembangkan kebijakan, melakukan advokasi, dan
sosialisasi kebijakan pembangunan pendidikan, serta meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam pembangunan pendidikan;
b. mengembangkan dan menerapkan sistem pengawasan pembangunan
pendidikan termasuk sistem tindak lanjut temuan hasil pengawasan terhadap
setiap kegiatan pembangunan pendidikan termasuk pelaksanaan desentralisasi
dan otonomi pendidikan; dan
c. menyempurnakan manajemen pendidikan dengan meningkatkan otonomi
satuan pendidikan dan desentralisasi pengelolaan pendidikan kepada pengelola
pendidikan dalam menyelenggarakan pendidikan secara efektif dan efisien,
transparan, bertanggung jawab, akuntabel serta partisipatif yang mengacu pada
Standar Nasional Pendidikan.
28
Agar efektifitas pencapaian tujuan/objektif pendidikan di suatu daerah dapat
ditingkatkan, maka perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut:
a) Memperhatikan Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan dan
dikembangkan sesuai dengan kondisi sekolah.
b) Menyusun skala prioritas pengembangan fasilitas pendidikan sesuai
dengan tujuan pendidikan dan kurikulum masing-masing tingkat.
c) Melakukan koordinasi dengan para kepala sekolah termasuk terhadap hal-
hal yang berkenaan dengan kewenangan dan tanggungjawab mereka dalam
membelanjakan anggaran pendidikan sesuai dengan peruntukannya.
Hal yang dapat dikemukakan berkaitan dengan kepedulian masyarakat dan
stakeholders lainnya terhadap pendidikan di suatu daerah sebagai berikut:
1. kurangnya pemahaman terhadap problematika pendidikan oleh
masyarakat;
2. lemahnya kemampuan memberi bantuan pemikiran dan dukungan dana
untuk pendidikan;
3. rendahnya daya dukung dan fasilitas pendidikan di sekolah, terutama di
madrasah;
4. kepekaan dari kebanyakan anggota birokrasi pemerintah termasuk
birokrasi pendidikan yang tumpul terhadap aspirasi masyarakat;
5. kepekaan dari kebanyakan anggota legislatif yang rendah atas kebutuhan
masyarakat ditandai dari program pendidikan belum menjadi prioritas
pembangunan;
6. kepastian dan komitmen politik pemerintah daerah yang kabur merespon
tuntutan lingkungan strategis di bidang pendidikan;
7. keengganan memberdayakan tenaga-tenaga pendidik yang sangat potensial
yang jumlahnya tidak sedikit di Kabupaten Tapanuli Tengah dengan
memberikan peran yang mungkin dilakukan mereka dalam program
pendidikan di daerah itu.
29
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan
yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Konsep sistem pendidikan nasional akan tergantung pada konsep tentang sistem
dan pendidikan nasional. proses dalam sistem pendidikan nasional adalah
mekanisme kerja dalam bentuk berbagai ketentuan, aturan, maupun prosedur yang
memungkinkan seluruh komponen sistem pendidikan dapat menjalankan
fungsinya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan
kesempatan pendidikan, peningkatan mutu, relevansi, dan efisiensi manajemen
pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan
kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan
pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan. Terwujudnya
layanan dalam penyelenggaraan pendidikan yang bermutu merupakan kewajiban
pemerintah.
birokrasi adalah suatu prosedur yang efektif dan efisien, yang didasari oleh
teori dan aturan yang berlaku serta memiliki spesialisasi sesuai tujuan yang telah
disepakati dalam sebuah organisasi/instansi/lembaga Pemerintah. Birokrasi
menurut Weber terutama yang menyangkut (a) Legitimasi sebagai dasar sistem
otoritas, (b) Delapan proposisi penyusunan sistem otoritas legal, dan (c) Konsepsi
Legitimasi bagi staf administrasi.
SARAN
Saya sebagai penulis menyadari jika makalah ini banyak sekali memiliki
kekurangan yang jauh dari kata sempurna. Tentunya, penulis akan terus
memperbaiki makalah dengan mengacu kepada sumber yang busa
dipertanggungjawabkan nantinya. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan
adanya kritik serta saran mengenai pembahasan makalah di atas.
30
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad. 2018. Birokrasi (Kajian Konsep, Teori menuju Good Governance). Sulawesi:
Unimal Press
31