Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

HUKUM ACARA PIDANA

DOSEN : Dr. Nur Kautsar, SH.,MH

Di susun oleh :

NURLIA (01 18 020)

SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM BONE

2019-2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa,  atas berkat
rahmat dan karunia-Nya,  karya tulis ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik
dan tepat pada waktunya bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas yang
diberikan oleh dosen matakuliah Pengantar Tata Hukum Indonesia.
Adapun tujuan penulisan karya tulis ilmiah ini adalah untuk memenuhi
tugas mata kuliah Pengantar Tata Hukum Indonesia dengan judul  “Hukum
Acara Pidana”.   Dan agar kita bisa memahami materi yang terdapat pada
makalah ini.
Selanjutnya,  kami ucapakan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
berperan aktif dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini,  sehingga karya tulis
ilmiah ini dapat terselesaikan dengan baik.  Kami sadar dalam penulisan karya
ilmiah ini masih banyak kekurangan, seperti pepatah mengatakan  “Tiada Gading
yang tak Retak”.  Oleh karena itu,  kami sangat mengharapkan adanya kritik dan
saran yang bersifat positif, guna perbaikan penulisan karya tulis ilmiah ini di masa
yang akan datang.
                                                                              
Watampone, 10 April 2020

Penulis
DAFTAR ISI
 
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Acara Pidana
B. Penyelidikan Perkara Pidana
C. Penuntutan Acara Pidana
D. Peradilan Acara Pidana
E. Pelaksanaan Keputusan Hakim

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Negara Republik Indonesia adalah Negara yang berdasarkan hukum yang
demokratis, berdasarkan pancasila dan UUD 1945, bukan berdasarkan atas
kekuasaan semata-mata. Didalam KUHAP disamping mengatur ketentuan tentang
cara proses pidana juga mengatur tentang hak dan kewajiban seseorang yang
terlibat proses pidana. Proses pidana yang dimaksud adalah tahap pemeriksaan
tersangka (interogasi) pada tingkat penyidikan.
Pada makalah ini akan membahas lebih lanjut tentang tahap-tahap
pemeriksaan dalam hukum acara pidana untuk menambah pengetahuan dan
wawasan bagi pemakalah maupun pendengar lainnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian hukum acara pidana?
2. Bagaimana penyelidikan perkara pidana?
3. Bagaimana penuntutan perkara pidana?
4. Bagaimana peradilan perkara pidana?
5. Bagaimana pelaksanaan keputusan hakim?

C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui pengertian hukum acara pidana
2. Mengetahui penyelidakan perkara pidana
3. Mengetahui penuntutan perkara pidana
4. Mengetahui peradilan perkara pidana
5. Mengetahui pelaksanaa keputusan hakim
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Acara Pidana


Berdasarkan pengertian hukum acara pidana tersebut, maka secara
sederhana dapat dikatakan bahwa hukum acara pidana keseluruhan ketentuan
yang terkait  dengan penyelenggaraan peradilan pidana serta prosedur
penyelesaian suatu perkara pidana yang meliputi proses pelaporan dan pengaduan
hungga penyelidikan dan penyidikan serta penuntutan dan pemeriksaan di siding
pengadilan hingga lahirnya putusan pengadilan dan pelaksanaan suatu putusan
pidana terhadap suatu kasus pidana1.
Menurut  pandangan beberapa ahli hukum mengenai hukum acara pidana
yaitu :
1. Menurut Simon
Hukum acara pidana adalah upaya bagaimana Negara dan alat-alat
perlengkapannya mempergunakan haknya untuk memidana.
2. Menurut Seminar Nasional pertama tahun 1963
Hukum acara pidana adalah norma hukum bewujud wewenang yang
diberikan kepada negara untuk bertindak adil apabila ada prasangka
bahwasanya hukum pidana dilanggar.
3. J. De Bosch Kemper
Hukum acara pidan adalah seluruh asas-asas dan ketentuan perundang-
undangan yang mengartur Negara untuk bertindak bila terjadi pelanggaran
hukum pidana.

B. Penyelidikan Perkara Pidana


1. Pengertian Penyelidikan

1
Moch Faisal Salam, Hukum Acara Pidana dalam teori dan praktek (Bandung : CV.Mandar Maju,
2001) halm 1
Secara umum penyelidikan atau dengan kata lain sering disebut
penelitian adala langkah awal atau upaya awal untuk mengidentifikasi
benar dan tidaknya suatu peristiwa pidana itu terjadi 2. Dalam perkara
pidana, penyelidikan atau penelitian itu adala langkah-langkah untuk
melakukan penelitian berdasarkan hukum dan peraturan perundang-
undangan untuk memastikan apakah peristiwa pidana itu benar-benar
terjadi atau tidak terjadi. Adapun definisi dari Penyelidikan adalah ada
didalam ketentuan umum Pasal 1 butir 5 yang menjelaskan bahwa
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan
menemukan suatu peristiw yang diduga sebagai tindak pidana guna
menemukan dapat atau tidaknya dilakukan penyelidikan menurut cara
yang diatur dalam Undang-undang ini (KUHAP)3.
2. Jenis-Jenis Tindakan dalam Penyelidikan
Untuk mengetahui pada tahap awal, apakah peristiwa itu merupakan
peristiwa pidana atau bukan merupakan peristiwa pidana arus terlebih
dahulu dilakukan tindakan hukum yang berupa penyelidikan. Penyelidikan
dapat dilakukan antara lain dapat berupa tindakan mendengarkan
informasi yang beredar di masyarakat atau keterangan-keterangan apa saja
yang diucapkan atau disampaikan oleh masyarakat tentang peristiwa yang
sedang terjadi dan melakukan pengecekan secara langsung terhadap obyek
yang diduga ada hubungannya dengan peristiwa yang sedang terjadi.
Dalam penyelidikan, untuk mengidentifikasikan apakah peristiwa tersebut
merupakan peristiwa pidana atau bukan peristiwa pidana, antara lain
dengan cara sebagai berikut:
a. Menentukan Siapa Pelapor dan Pengadunya
Untuk menentukan siapa pelapor atau pengadu dalam perkara pidana
biasanya relatif tidak mengalami kesulitan, karena pelapor atau
pengadu akan dating ke kantor polisi untuk melaporkan atau

2
Hartono,  Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika,2010) halm 18
3
Kansil, C.S.T. Prof, Drs., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta :Balai
Pustaka,2003) halm  351
mengadukan peristiwa yang diduga merupakan peristiwa pidana.
Pengaduan yang sudah dilakukan merupakan penyebab hukum sudah
mulai dapat dioperasionalkan
b. Menentukan Peristiwa apa yang Dilakukan
Untuk mengidentifikasi apakah peristiwa itu merupakan peristiwa
pelanggaran hukum tertentu, perlu dilakukan upaya penyelidikan untuk
mengumpulkan keterangan tertentu dari berbagai pihak yang dianggap
mengerti karena melihat, mendengarkan dan mengerti secara langsung
peristiwa itu. Apabila sudah terkumpul cukup keterangan sebagai alat
bukti yang diduga kuat terkait dengan peristiwa hukum itu, kemudian
dilakukan upaya mencari landasan ukum yang berupa peraturan
perundang-undangan tentang kepidanaan. Apabila peristiwa itu sama
dengan kehendak dari peristiwa yang diatur dalam ketentuan pidana,
maka proses selanjutnya adalah melakukan tindakan hukum berupa
penyidikan. Penyidikan harus dilakukan secara teliti, cermat dan akurat
serta penyidik harus mampu mengungkap secara sempurna peristiwa
yang diduga sebagai peristiwa pidana tersebut.
c. Di mana Peristiwa itu Terjadi
Tindak selanjutnya dalam penyelidikan yakni menentukan di mana
perkara itu terjadi (locus delicty). Apabila peristiwa yang terjadi seperti
kejahatan terhadap jiwa, maka akan mudah menemukannya, sedangkan
apabila kejahatan terhadap sifat kebendaan misalnya penipuan, maka
agak sedikit perlu kehati-hatian terutama apabila peristiwa tersebut
sudah lama terjadi dan baru dilaporkan, pelapor juga ragu-ragu di
mana peristiwa itu terjadi, peristiwa ini yang perlu betul-betul
didalami, sehingga didapati kepastian tentang loctus delicty-nya.
d. Kapan Peristiwa itu Terjadi
Ukuran kapan peristiwa itu terjadi adalah bahwa peristiwa hukum itu
waktu kejadiannya adalah haruslah masuk akal dan mudah dipahami
oleh siapa pun. Unsur ini sangatlah penting dalam proses penegakan
hukum, karena peristiwa hukum tanpa diketahui kapan waktu peristiwa
itu secara jelas, akan sulit untuk dilaksanakan proses penegakan
hukumnya.
e. Menentukan Siapa Pelaku dan Korban atau Pihak yang Dirugikan
Dalam perkara tertentu seperti kasus penipuan, penggelapan dan
pencemaran nama baik, menentukan pelaku tidak banyak mengalami
kesulitan karena biasanya antara pelaku dan korban sudah saling kenal.
Namun dalam perkara lain, misalnya pencurian atau perampokan,
untuk menentukan siapa pelakunya mengalami kesulitan karena rata-
rata korban tidak mengenali pelakunya. Selain itu, dalam perkara
perkosaan, korban tidak mau mengungkapkan perkara ini karena takut
aibnya akan tersebar, kondisi ini yang mempersulit proses penegakan
hukum. Adapun dalam peristiwa yang lain, misalnya dalam peristiwa
yang diatur dalam undang-undang psikotropika, untuk mengetahui
siapa pelakunya perlu dilakukan pendalaman secara sungguh-sungguh
terhadap peristiwa yang sesungguhnya terjadi, tidak ada jaminan yang
hanya mendasari kepada didapatnya barang bukti itu menyebabkan
yang kedapatan adalah tersangkanya. Hal ini perlu disikapi secara hati-
hati karena banyak permainan dalam perkara ini dilakukan secara tidak
bertanggung jawab. Oleh karena itu, hukum harus diperankan secara
baik, agar tidak salah dalam menerapkan stigma negative terhadap
seseorang secara sederhana saja.
f. Bagaimana Peristiwa itu Terjadi
Tugas selanjutnya dalam penyelidikan yakni cari tahu bagaimana
peristiwa tersebut terjadi, artinya dengan cara bagaimana pelaku
kejahatan itu melakukan aksinya. Tujuan dari mengumpulkan bahan
keterangan ini adalah dalam rangka mencari persesuaian antara
perbuatan melawan aturan hukum dengan aturan hukum yang ada4.
Apabila ada kesesuaian dalam perkara ini secara benar, maka hukum
harus mulai ditegakkan melalui upaya penyidikan.

4
Hamzah, Andi,  Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia  (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1987)Halm. 100
3. Lembaga dan Kewenangan Penyelidik
Dalam pasal 1 angka 4 KUHAP, berbunyi “penyelidik adalah pejabat
polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-
undang ini untuk melakukan penyelidikan”. Dengan demikian, menurut
KUHAP bahwa penyelidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik
Indonesia, dengan catatan apabila kejahatan tersebut diatur dalam KUHP,
sedangkan untuk ketentuan lain misalnya dalam kasus korupsi tentu akan
berlaku aturan tersendiri.
Sedangkan dalam pasal 5 KUHAP diatur kewenangan penyelidik meliputi:
a) Kewenangan berdasarkan Kewajiban (Hukum)
b) Menerima laporan dan pengaduan dari seseorang tentng adanya tindak
pidana
Kewenangan menerima laporan dan pengaduan informasi awal
adanya tindak pidana biasanya berasal dari msyarakat, sehingga dengan
dasar inilah penyelidik mengambil tindakan berikutnya sesuai
kewenangannya. Jika ada laporan atau pengaduan maka penyelidik wajib
untuk menerimanya. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
menyampaikan laporan dan pengaduan yang harus dipenuhi yaitu: jika
laporan pengaduan dilakukan secara tertulis maka harus ditandatangani oleh
pelapor dan pengadu; jika laporan dan pengaduan diajukan secara lisan
harus dicatat oleh penyelidik dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu
dan penyelidik; jika pengadu dan pelapor tidak dapat menulis, hal itu harus
dicatat dalam laporan atau pengaduan (pasal 103).
Adapun yang membedakan antara laporan dan pengaduan adalah:
Laporan dapat disampaikan oleh setiap orang dan merupakan kewajibannya,
sementara pengaduan hanya dapat diajukan oleh orang tertentu saja buka
kewajibanny tapi merupakan hak. Dari segi obyeknya, laporan obyeknya
adalah setiap delik/tindak pidana yang terjadi tidak ada pengecualiannya,
jadi hal ini berkenaan dengan delik biasa. sementara pengaduan, obyeknya
terbatas pada delik-delik aduan saja. Dari segi isinya, laporan berisi tentang
pemberitahuan tanpa disertai permohonan, sedangkan pengaduan isinya
pemberitahuan disertai dengan permohonan untuk segera melakukan
tindakan hukum. Dari segi Pencabutan, Laporan tidak dapat dicabut kembali
sementara pengaduan dapat dicabut kembali.
1)  Mencari keterangan dan barang bukti
Wewenang Mencari Keterangan dan barang bukti mencari
keterangan dan barang bukti ini adalah dalam rangka mempersiapkan
bahan-bahan berupa fakta sebagai landasan hukum guna memulai proses
penyidikan. Dalam mencari dan memperoleh barang bukti hendaknya
dilakukan dengan cara-cara yang profesional dan berdasarkan ilmu
penyelidikan dan tidak terkesan yang penting untuk mengejar target
penyelidikan saja. Adapun yang dimaksud barang bukti adalah barang
yang digunakan untuk melakukan atau yang berkaitan dengan tindak
pidana. Sedangkan alat bukti disebutkan dalam pasal 184 KUHAP yaitu:
Keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa
2)  Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri
Kewenangan ini penting dimiliki oleh penyelidik , karena berkaitan
dengan adanya orang yang dicurigai yang mengharuskan penyelidik
mengambil tindakan memberhentikan guna melakukan pemeriksaan dan
meminta keterangan. Namun dalam hal orang yang dicurigai tidak
mengindahkan peringatan penyelidik maka penyelidik pun tidak dapat
melakukan upaya paksa yang dibenarkan undang-undang. karena kalau
akan melakukan penangkapan harus ada syarat-syarat tertentu yang
harus dipenuhi misalnya adanya surat perintah penangkapan.
3) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang  bertanggungjawab.
Kewenangan ini dalah kewenangan yang kabur dan tidak jelas
dalam pasal 5 ayat 1 huruf a angka 4 menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan tindakan lain adalah tindakan dari penyelidik guna
kepentingan penyelidikan dengan syarat5:  tidak bertentangan dengan

5
Kansil, C.S.T. Prof, Drs. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia (Jakarta :Balai
Pustaka, 2003) halm 355
aturan hukum, selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan
dilakukanny tindakan jabatan, tindakan itu harus patut dan masuk akal
dan termasuk dalam lingkungan jabatannya, atas pertimbangan yang
layak berdasarkan keadaan memaksa, menghormati hak asasi manusia.
4) Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa: penangkapan,
larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan;
pemeriksaan dan penyitaan surat; mengambil sidik jari dan memotret
seseorang; membawa dan menghadapkan seseorang pada penyelidik.
4. Pelaksanaan Penyelidikan dan Penyidikan
Penyelidikan atau penyidikan merupakan tidakan pertama-tama yang
dapat dan harus dilakukan oleh penyelidik atau penyidik jika terjadi atau
timbul persangkaan telah terjadi tindak  pidana6. Apabila ada persangkaan
telah dilakukan tindak kejahatan atau pelanggaran maka harus diusakan
apakah hal tersebut sesuai dengan kenyataan, benarkah telah dilakukan
tindak pidana dan jika ia siapakah pembuatnya.
Persangkaan atau pengetahuan telah terjadi tindak pidana ini dapat dip
eroleh dari berbagai sumber yang dapat digolongkan sebagai berikut:
a) Kedapatan tertangkap tangan (ontdekkeng op heterdaad)
b) Diluar tertangkap tangan

Adapun yang dimaksud dengan tertangkap tangan adalah:


 Tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana,
atau
 Dengan segera sesudah beberapa saat tindakan pidana itu dilakukan,
atau
 Sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang
melakukannya,atau
 Apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras
telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang

6
Hamzah, Andi, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana ( Jakarta : 
Ghalia Indonesia,1984) halm  98
menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau
membantu melakukan tindak pidana itu. (pasal 1 butir 19 KUHAP).
Sedangkan dalam hal tidak tertangkap, pengetahuan penyelidik atau
penyidik tentang telah terjadinya tindak pidana dapat diperoleh dari:
a.      Laporan
b.      Pengaduan
c.      Pengetahuan sendiri oleh penyelidik atau penyidik

C. Pengertian dan Tujuan Penuntutan


1. Penuntutan Pidana
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara
pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan
diputus oleh hakim di sidang pengadilan (Pasal 1 angka 7 KUHAP) 7.
Tujuannya adalah untuk mendapat penetapan adari penuntut umum tentang
adanya alasan cukup untuk menuntut seorang terdakwa di muka umum. 
Wirjono Prodjodikoro juga munyatakan bahwa:
“Menuntut adalah penting dalamhukum acara karena dengan tindakan ini
jaksa mengakiri pimpinannya atas pemeriksaan perkara dan menyerahkan
pimpinan itu kepada hakim.”
1) Azas Penuntutan
2) Azas Legalitas (legaliteitsbeginsel): Yaitu azas yang mewajibkan kepada
penuntut umum untuk melakukan penuntutan terhadap seseorang yang
melanggar peraturan hukum pidana. Azas ini merupakan penjelmaan dari
azas equality before the law.
3) Azas Oporunitas (opportunitebeginsel): yaitu azas yang memberikan
wewenang pada penuntut umum untuk tidak melakukan penuntutan
terhaap seseorang yang melanggar peraturan hukum pidana dengan jalan

7
Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Konremporer ( Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007)
halm, 75
mengesampingkan perkara yang sudah terang pembuktiannya untuk
kepentingan umum.

2. Garis besar dalam penuntutan


Pada pokoknya sebelum melimpahkan berkas perkara ke sidang
pengadilan, secara garis besar penuntut umum dalam penuntutan haruslah:
1) Mempelajari dan meneliti berkas perkara yang diajukan oleh penyidik,
apakah telah cukup kuat dan terdapat cukup bukti bahwa terdakwa telah
melakukan tindak pidana.
2) Setelah diperoleh gambaran yang jelas dan pasti tentang adanya tindak
pidana dari terdakwa maka berdasarkan hal tersebut penuntut umum
membuta surat dakwaan.
Langkah Melakukan penuntutan:
1. Kelengkapan berkas
2. Membuat surat dakwaan
3. Bentuk-bentuk surat dakwaan
4. Penggabungan berkas perkara (voeging)
5. Pemisahan perkara
6. Melimpahkan perkara ke pengadilan mengubah surat dakwaan
7. Kelengkapan berkas
a) Kelengkapan formal:
1) Identitas tersangka
2) Surat izin ketua pengadilan setempat dalam hal dilakukan
penggeledahan
3) Surat izin khusus ketua PN setempat apabila dilakukan
pemeriksaan surat
4) Adanya pengaduan dari orang yang berhak melakukan pengaduan
dalam tindak pidana
5) Pembuatan berita acara pemeriksaan saksi, pemeriksaan tersangka, 
penangkapan, penggeledahan, dsb.
b) Kelengkapan material
Yaitu apabila suatu berkas perkara sudah memenuhi persyaratan
untuk dilimpahkan ke pengadilan, yakni harus memenuhi alat bukti
yang diatur dalam pasal 183 dan 184 KUHAP sehingga dari hal-hal
tersebut di atas bisa disusun surat dakwaan seperti yang diisyaratkan
dalam pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP.
1) Membuat surat dakwaan
Diatur dalam pasal 143 ayat (2) dan (3) KUHAP yang
berbunyi: (2) Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi
tanggal dan ditandatangani dan serta berisi: a. nama lengkap,
tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan,
tempat tinggal, agam dan pekeraan tersangka; b. uraian secara
cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang
didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana
itu dilakukan (3) surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf  b batal demi hukum.
2) Bentuk-bentuk surat dakwaan
 Surat dakwaan tunggal
 Surat dakwaan kumulatif (bersusun)
 Surat dakwan alternatif (pilihan)
 Surat dakwaan subsidair (berlapis)
 Surat dakwaan kombinasi:
1. Kumulatif subsidair
2. Kumulatif alternative
3. Subsidair kumulatif
4. Penggabungan berkas perkara (voeging)
5. Pemisahan Perkara (splitsing)
6. Melimpahkan perkara ke pengadilan diatur dalam pasal 143
ayat (2), 143 ayat (3) KUHAP.  Dalam penjelasan pasal 143
KUHAP yang dimaksud dengan surat pelimpahan perkara
adalah surat pelimpahan perkara itu sendiri lengkap beserta
surat dakwaan dan bekas perkara.
7. Mengubah surat dakwaan diatur dalam pasal 144 KUHAP
1. Perubahan surat dakwaan dilakukan oleh penuntut
umum
2. Waktu perubahan tersebut 7 hari sebelum sidang
3. Perubahan surat dakwaan hanya satu kali saja
4. Turunan perubahan surat dakwaan haruslah diberikan
kepada tersangka atau penasehat hukum atau penyidik.
Penghentian penuntutan, Alasannya (pasal 140 ayat (2)
huruf a KUHAP):
1. Karena tidak cukup bukti
2. Peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak
pidana
3. Perkara ditutup demi hukum.
Penghentian penuntutan diatur dalam pasal 140 ayat (2)
huruf b, c dan d KUHAP
3. Kewenangan dan Dasar-Dasar Peniadaan Penuntutan
Penuntutan umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapa pun
yang di dakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumannya dengan
melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili (Pasal 237
KUHP).
Yang dapat menentukan dilakukan penuntutan adau tidaknya adalah
penuntut umum.  Dia akan menentukan penuntutan bergantung pada hasil
penyidikan apakah sudah lengkap atau belum untuk dilimpahkan kepengadilan
negeri untuk diadili.  Hal ini diatur dalam dalam pasal 139 KUHAP.
Perbuatan menutup perkara dan menghentikan penuntutan tersebut diatas
dilakukan berdasarkan hokum, maka perbuatan mengesampingkan perkara untuk
kepentingan umum dilakukan bukan berdasarkan asas oportunitas yang hanya
dapat dilakukan sebelum suatu perkara pidana itu diperiksa oleh pengadilan negri.
Bentuk-bentuk perbuatan sebagaimana yang telah disebutkan dalam
KUHAP itu meskipun tidak mendapatkan penjelasan yang rinci, pada prinsipnya
merupakan aktifitas yang menghendaki pengecualian untuk tidak meneruskan
suatu perkara pidan ke muka sidang pengadilan. 
Perbuatan-perbuatan tersebut, terdapat bentuk lain yang juga menghendaki
pula tidak diteruskan ke pengadilan. Bentuk perbuatan ini seperti telah
dikemukakan dimuka, yakni “Penundaan atau penangguhan penuntutan” atau juga
dikenal dengan istilah suspension of prosecution.
Jika menutup perkara atau menghentikan penuntutan lebih banyak
didasarkan pada alasan yuridis semata, berbeda dengan penangguhan atau
penundaan penuntutan. Alasan yang mendasari munculnya gagasan ini adalah
lebih banyak didasarkan pada alasan kemanusiaan yang lebih pada perlindungan
pelaku dan korban kejahatan.  Selain itu, sering pula dikaitkan dengan
pertimbangan moral dan alasan-alasan praktis kaitannya dengan bekerjanya
system peradilan agama.

4. Bentuk-Bentuk Penuntutan
Penuntutan suatu perkara dapat dilakukan dengan berbagai cara.  Cara ini
bergantung pada berat ringannya suatu perkara yang terjadi.  Jika suatu perkara itu
termasuk perkara biasa yang ancaman pidananya diatas satu tahun, penuntutnya
dilakukan dengan cara biasa.  Penuntutan dengan cara biasa ditandai dengan
adanya berkas perkara yang lengkap dan rumit, yang memuat berbagai berita
acara yang telah disusun oleh penyidik.  Cirri utama dari penuntutan ini, yakni
selalu di sertai dengan surat dakwaan yang disusun secara cermat dan lengkap
oleh jaksa penuntut umum dan penuntut umum yang menyerahkan sendiri berkas
perkara tersebut yang kehadirannya juga di haruskan di sidang pengadilan.
Selain penututan dengan cara biasa tersebut, penuntutan dapat pula
dilakukan dengan cara singkat.  Penuntutan ini dilakukan jika perkaranya diancam
lebih ringan, yakni tidak lebih dari satu tahun penjara.  Berkas perkaranya
biasanya tidak rumit.  Sekalipun demikian, jaksa penuntut umum tetap membuat
dan mengajukan surat dakwaan yang disusun secara sederhana.  Penuntutan jenis
ini, penuntup umum langsung mengantarkan berkas perkara kepengadilan yang
kemudian didaftarkan dalam buku register oleh panitera pengadilan.
Jenis pentutan lainnya adalah penuntutan dengan cara cepat.  Penuntutan
jenis ini terjadi pada perkara perkara ringan atau perkara lalu lintas yang ancaman
pidananya tidak lebih dari 3 bulan.  Penuntutan perkara tidak dilakukan oleh jaksa
penuntut umum, tetapi di wakili oleh penyidik Pilri.  Pada penuntutan ini tidak
dibuat surat dakwaan, tetapi hanya berupa catatan tentang kejahatan pelanggaran
yang dilakukan.  Catatan-catatan tentang kejahatan atau pelanggaran inilah yang
diserahkan ke pengadilan sebagai pengganti surat dakwaan.
Selanjutnya pasal 141 KUHAP menentukan bahwa penuntut umum dapat
melakukan penuntutan dengan penggabungan perkara dan membuatnya dalam
satu surat dakwaan jika pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia
menerima beberapa berkas.  Penggabungan perkara ini dapat dilakukan asal
memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditentukan oleh pasal 141 itu sendiri, yaitu:
1. Beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh orang yang sama dan
kepentingan pemerikasaan tidak menjadikan halangan terhadap
penggabungannya.
2. Beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut.
3. Beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut paut, tetapi antara yang satu
dan yang lainnya itu ada hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan
tersebut diperlukan bagi kepentingan pemeriksaan.

Dalam penjelasan mengenai ketentuan yang diatur dalam Pasal 141 huruf b
KUHAP diatas, dikatakan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana yang
dianggap mempunyai sangkut-paut satu dengan yang lain adalah apabila tindak
pidana tersebut dilakukan:
1. Oleh lebih dari seorang yang bekerja sama dan dilalukan pada saat bersamaan.
2. Oleh lebih dari seorang pada saat dan tempat yang berbeda, tetapi merupakan
pelaksanaan dari permufakatan jahat yang di buat oleh mereka sebelumnya.
3. Oleh seorang atau lebih dengan meksud mendapatkan alat yang akan
dipergunakan untuk melakukan tindak pidana lain atau menhindarkan diri dari
pemidanaan karena tindak pidana lain.
Berbeda dengan Pasal 141 yang memungkinkan pengubahan perkara Pasal
142 justru memungkinkan penuntut umum melakukan pemisahan perkara. 
Pemisahan perkara ini dapat dilakukan dalam hal penuntut umum menerima satu
berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh
beberapa tersangga yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 141.  Penuntut
umum dalam hal ini melakukan penuntutan terhadap masing-masing tersangka
secara terpisah8.
Berkas perkara seperti ini, misalnya, dalam perkara korupsi yang melibatkan
orang banyak penjabat, seperti bupati, wali kota, kepala jawatan bendaharawan,
pengawas-pengawas dan sebagainya.  Dalam perkara korupsi ini, dapat saja
terjadi beberapa pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pidana yang berbeda-
beda dan dilakukan oleh orang yang berbeda pula.  Jika berkas perkara korupsi ini
jadi satu, penuntut umum dapat memecah(splitsing) untuk kemudian melakukan
penuntutan terhadap terdakwa secara terpisah.

D. Peradilan Perkara Pidana


Pengertian perdilan perkara pidana
Yang diartikan mengadili adalah serangkain tindakan hakim untuk mnerima,
memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak
memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
ungdang-undang hukum acara pidana, yaitu memeriksa dan dengan bukti-bukti
yang cukup. Dalam tahap ini tersangka yang di tuntut, diperiksa dan diadili
dinamakan terdakwa.
Sebelum memulai kegiatan tersebut, guna pembelaannya dalam sidang itu
terdakwa dapat di bantu oleh seseorang penasihat hukum (pasal 114 KUHAP).
Setelah pemeriksaaan dalam sidang oleh hakim dianggap cukup,kemudian oleh
jaksa diucapkan requisitoir : kesimpulan dari segala pemeriksaan dalam sidang
pengadilan beserta tuntutan hukumannya.terdakwa dan pembelanya dapat
memberikan jawaban terhadap requisitoir tadi. Kemudian sekali lagi boleh
mengemukakan pendapatnya tetapi kata terakhir ada pada terdakwa dan

8
Suharto, Penuntutan Dalam Praktik Peradila (Jakarta: Sinar Grafika,2004 ) halm 79
pembelaannya. Setelah itu pengadilan bermusyawarah, kmeudian menatapkan
keputusannya9.
Keputusan pengadilan dapat berupa ( pasal 191 KUHAP ):
1) Pembebasan terdakwa apabila menurut hasil pemeriksaan kesalahan terdakwa
menurut hukum dan keyakinan tidak terbukti.
2) Pelepasan terdakwa dari segala tuntutan, jika ternyata bahwa kesalahan
terdakwa menurut hukum dan keyakinan cukup terbukti, akan tetapi ternyata
bahwa apa yang telah dilakukan oleh terdakwa itu bukan merupakan suatu
tindak pidana , termasuk disini juga dalam hal jika ada kekeliruan dalam surat
tuduhan  pun pelepasan dari segala tuntutan dimuat juga dalam putusan hakim.
3) Suatu pemindanaan terdakwa jikalau baik kesalahan terdakwa pada perbuatan
yang telah ia lakukan, maupun perbuatan itu adalah suatu tindak pidana,
menurut hukum dan keyakinan cukup di buktikan.
4) dapat di tarik kesimpulan bahwa adanya berbagai-bagai badan kehakiman di
Negara kita termasuk mahkamah agung. Demikian juga bahwa badan-badan
kehakiman itu mempunyai suatu persamaan. Ialah menjalankan kekuasaan
kehakiman sebagai tugas pokoknya.

E. Pelaksanaan Keputusan Hakim


A.   Pengertian dan jenis putusan hakim
Pada Bab I tentang ketentuan umum pasal 1 angka 11 KUHAP di
tentukan bahwa putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang di ucapkan
dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas
lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang di atur
dalam undang-undang ini. Jadi, dapat dikatakan bahwa putusan hakim
merupakan akhir dari proses persidangan pidana untuk tahap pemeriksaan di
pengadilan negeri. Sebelum putusan hakim di ucapkan / di jatuhkan maka
procedural yang harus di lakukan hakim dalam praktek lazim melalui tahapan
sebagai berikut10 :
9
Hartono Hadisoeprapto, pengantar tata hukum Indonesia ( Yogyakarta : P.T Liberty ,
2001) halm 127-128
10
Lilik Mulyadi, hukum acara pidana (Bandung : P.T Citra aditya bakti, 1996) halm 123-124
 Sidang di nyatakan di buka dan terbuka untuk umum kecuali dalam
perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak
 Terdakwa di panggil masuk kedepan persidangan dalam keadaan bebas
kemudian di lanjutkan dengan pemeriksaan identitas terdakwa, serta
terdakwa di ingatkan supaya memperhatikan segala sesuatu yang di dengar
serta di lihatnya di persidangan.
 Pembacaan surat dakwaan untuk acara biasa ( pid.B) atau catatan dakwaan
untuk acara singkat (Pid.S) oleh jaksa/penuntut umum.
 Selanjutnya terdakwa dinyatakan apakah sudah benar-benar mengerti akan
dakwaan / catatan dakwaan tersebut, apabila terdakwa ternyata tidak
mengerti lalu penuntut umum atas permintaan hakim ketua sidang wajib
memberi penjelasan yang di perlukan.
 Keberatan terdakwa atau penasihat hukum terhadap surat dakwaan jaksa/
penuntut umum.
 Dapat di jatuhkan putusan sela/penetapan atas keberatan tersebut hakim
berpendapat baru diputus setelah selesai pemeriksaan perkara maka sidang
di lanjutkan.
 Pemeriksaan alat bukti yang dapat berupa :
1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli
3. Surat
4. Petunjuk, dan
5. Keterangan terdakwa
 Kemudian pernyataan hakim ketua sidang bahwa pemeriksaan di nyatakan
“selesai” dan lalu penuntut umum mengajukan tuntutan pidana
( requisitoir).
 Pembelaan (pledooi) terdakwa  atau penasihat hukumnya.
 Replik dan duplik, selanjutnya re-replik dan re-duplik
 Pemeriksaan di nyatakan “ditutup” dan hakim mengadakan musyawarah
terakhir untuk menjatuhkan putusan.
Putusan hakim ini hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila di
ucapkan disidang terbuka untuk umum ( pasal 195 KUHAP ) dan harus di
tandatangani hakim dan panitera seketika setelah putusan diucapkan ( pasal
200 KUHAP ).

B.   Sistematika formal putusan hakim menurut KUHAP


Terhadap sistematika formal dari putusan hakim secara limitatif diatur
dalam ketentuan pasal 197 dan pasal 199 KUHAP. Apabila di jabarkan lebih
lanjut,  ketentuan pasal 197 ayat (1) KUHAP11 menyebutkan sistematika
formal putusan hakim yang berisikan pemidanaan/veroordeling haruslah
memuat aspek-aspek sebagai berikut :
1. Kepala putusan yang di tuliskan berbunyi :” Demi keadilan berdasarkan
ketuhanan yang maha Esa”.
2. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan.
3. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan.
4. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan
beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan sidang yang
menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa.
5. Tuntutan pidana sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan.
6. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau
tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang
meringankan terdakwa.
7. Hari dan tanggal diadakan musyawarah majlis hakim kecuali perkara yang
di periksa oleh hakim tunggal.
8. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur
dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan
pemindanaan atau tindakan yang dijatuhkan.

11
Lilik Mulyadi, putusan hakim dan hukum acara pidana (bandung : PT Citra Aditya Bakti,
2007), halm 126
9. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan
jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti.
10. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana
letaknya kepalsuan itu jika terdapat surat otentik di anggap palsu.
11. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap  dalam tahanan atau di
bebaskan.
12. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang
memutus dan nama panitera.
 
C.  Bentuk putusan atas di ajukan keberatan oleh terdakwa atau
penasihat hukum
Berdasarkan ketentuan pasal 156 ayat (1) KUHAP yang menentukan
bahwa,” dalam hal terdakwa  atau penasihat hukum mengajukan keberatan
bahwa pengadilan tidak berwenag mengadili perkaranya atau dakwaan tidak
dapat diterima atau surat dakwaan harus di batalkan, maka setelah diberi
kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, hakim
mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil
keputusan”12. Melaksanakan keputusan hakim adalah menyelenggarakan agar
segala sesuatu yang tercantum dalam surat keputusan hakim itu dapat di
laksanakan, misalnya apabila keputusan itu berisi pembebasan terdakwa, agar
supaya terdakwa  segera di keluarkan dari tahanan apabila berisi penjatuhan
pidana denda, supaya uang denda itu dibayar  dan apabila keputusan itu
memuat penjatuhan pidana penjara, agar supaya terpidana menjalani
pidananya dalam rumah lembaga pemasyarakatan dan sebagainya.
Pelaksanaan keputusan pengadilan yang biasa disebut eksekusi itu adalah
tugas dari kejaksaan13.

D.    Upaya hukum terhadap putusan atas keberatan

12
Lilik Mulyadi, hukum acara pidana (Bandung : P.T Citra aditya bakti, 1996) halm 141
13
Hartono Hadisoeprapto, Pengantar Tata Hukum Indonesia (Yogyakarta : Liberty, 2001) halm
129
Yang di maksud dengan upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut
umum untuk tidak menerima putusan pengadilan. Adapun maksud dari upaya
hukum itu sendiri pada pokonya adalah14:
1. Untuk memperbaiki kesalahan yang di buat oleh instansi yang
sebelumnya.
2. Untuk kesatuan dalam peradilan.
Dengan adanya upaya hukum ini ada jaminan bagi terdakwa maupun
masyarakat bahwa peradilan baik menurut fakta dan hukum adalah benar dan
sejauh mungkin seragam. Sedangkan berdasarkan ketentuan bab 1 angka 12
KUHAP maka upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk
tidak menerima putusan pengadilan yang dapat  berupa perlawanan, banding,
kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali
dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Adapun maksud dari upaya hukum menurut pandangan doktrina pada
pokoknya agar :
1. Di peroleh kesatuan dan kepastian dalam hal menjalankan peradilan
(operasi yustitie)
2. Melindungi tersangka terhadap tindakan-tindakan yang bersifat sewenag-
wenang dari hakim.
3. Memperbaiki kealpaan –kealpaan dalam menjalankan peradilan.
4. Usaha dari para pihak terdakwa maupun jaksa memberikan keterangan-
keterangan baru (novum)15.

Akan tetapi sesuai konteks dari upaya hukum tersebut disini penulis
hanya memfokuskan kepada upaya hukum terhadap putusan atas keberatan
(eksepsi) dari peradilan tingkat pertama saja, yaitu :
1. Perlawanan ( verzet )
2. Bersama-sama permintaan banding ( revisi )

14
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana (Bandung : P.T Citra aditya bakti, 1996) halm 223
15
Djoko prakoso, Upaya Hukum yang di atur di dalam KUHAP (cetakan pertama: P.T Aksara
Persada Indonesia, 1987) halm 53
DAFTAR PUSTAKA

Salam Faisal moh, 2001,  Hukum Acara Pidana dalam teori dan praktek.
Bandung : CV.Mandar Maju
Hartono, 2010,  Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana. Jakarta : Sinar
Grafika
Kansil, C.S.T. Prof, Drs, 2003, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka
Hamzah, Andi, 1984,  Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana.
Jakarta :  Ghalia Indonesia
Hamzah, Andi, 1987,  Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia , Jakarta:
Ghalia Indonesia
Rusli Muhammad, 2007, Hukum Acara Pidana Konremporer,  Bandung: Citra
Aditya Bakti
Suharto,2004,  Penuntutan Dalam Praktik Peradila , Jakarta: Sinar Grafika
Hadisoeprapto Hartono, 2001, pengantar tata hukum Indonesia ,  Yogyakarta :
P.T Liberty
Mulyadi Lilik, 1996,  hukum acara pidana, Bandung : P.T Citra aditya bakti
Prakoso Djoko, 1987,  Upaya Hukum yang di atur di dalam KUHAP. cetakan
pertama: P.T Aksara Persada Indonesia

Anda mungkin juga menyukai