Anda di halaman 1dari 8

Filsafat hak asasi manusia mengemukakan permasalahan tentang keberadaan,

muatan/isi, sifat, universalitas, justifikasi atau pembenaran, dan status hukum hak asasi manusia.
Sementara, pengertian hak asasi manusia itu sendiri kerap menjadi debat moral dan politik. Hak
asasi manusia yang otomatis melekat pada diri individu sejak lahir hingga akhir hayat,
merupakan jaminan moral yang memiliki landasan filosofi serta wajib dihormati dan dilindungi
oleh negara. Segala tanggung jawab terkait hak asasi manusia sering kali memerlukan tindakan
yang melibatkan rasa hormat, perlindungan, fasilitasi, dan kelengkapan, maka di sinilah negara
hadir. Negara yang berprinsip negara hukum, wajib memberikan jaminan secara konstitusional
bahwa setiap warga negaranya dapat memperoleh haknya. Bahkan, negara yang diakui
kedaulatannya di dunia ini harus memastikan bahwa tiap-tiap warga negaranya tidak direpresi
untuk menyandang hak asasinya apapun kedudukan yang dimiliki. Negara harus memfasilitasi
hak asasi setiap warga negara dengan mengaturnya melalui hukum dan undang-undang, bahkan
negara pun tidak diperbolehkan untuk menghilangkan hak asasi yang memang semestinya
menjadi anugerah dari Yang Mahakuasa untuk setiap insan. Hak asasi manusia bersifat mutlak
dan kekal sehingga tidak dibatasi jangka waktu tertentu. Hak asasi manusia, tanpa terkecuali,
berlaku untuk setiap insan di mana pun berada di dunia ini dan pada saat yang sama, tiap-tiap
orang wajib menghargai hak asasi yang dimiliki orang lain. Hak asasi difokuskan pada
kebebasan, perlindungan, status, maupun faedah bagi seseorang1

Norma hak asasi manusia bisa saja terwujud sebagai norma yang disepakati bersama dan
berasal dari moralitas manusia, norma moral yang dibenarkan dan didukung oleh alasan-alasan
yang kuat, hak legal di tingkat nasional di mana hak tersebut disebut sebagai hak masyarakat
atau hak konstitusional, ataupun hak legal yang diakui oleh hukum internasional. Hak asasi
manusia bersifat universal. Setiap orang memiliki hak asasi, tanpa adanya pengecualian, warga
negara atau mungkin karena satu dan lain hal bukan warga negara mana pun, secara alamiah, tiap
orang sejak lahir mempunyai hak asasi, tanpa pandang bulu. Hak asasi manusia tidak hanya
dimiliki orang dewasa usia produktif saja, bayi berusia satu bulan pun memiliki hak asasi. Hak
asasi manusia tidak dimiliki hanya golongan, agama, suku, atau ras tertentu saja. Bahkan
perbedaan hukum ataupun budaya masing-masing negara, tidak menjadi penghalang bagi
seseorang untuk memiliki hak asasi. Meskipun seseorang sedang tidak berada di negaranya
sendiri dengan suatu alasan, entah dalam kunjungan diplomatik, perjalanan bisnis, liburan, atau
1
Beitz, Charles (2009). The Idea of Human Rights. Oxford: Oxford University Press
bekerja, baik itu sebagai pelajar atau bahkan sebagai pengungsi yang dalam hal ini salah satunya
sebagai political refugee, di negara lain pun dirinya tetap memiliki hak asasi yang telah terekat
sejak lahir. Hal ini menjadikan hak asasi bersifat mutlak menjadi milik setiap orang selama hayat
dikandung badan serta tidak bisa diganggu gugat. Pun demikian, hak asasi berlaku kapan saja,
tidak memandang pagi atau malam, terjadi di masa lalu atau sekarang.2

Dalam perjalanannya untuk dikenal sebagai konsep yang seperti sekarang ini, bahkan
terus berkembang hingga di masa mendatang, hak asasi manusia dirumuskan dari berbagai
pemikiran dan gagasan yang dilontarkan oleh tokoh-tokoh terkemuka memiliki kredibilitas,
termasuk para filsuf. Studi tentang hakikat hak asasi manusia berkembang oleh para pemikirnya.
Kebijaksanaan terkait pengetahuan tentang hak asasi manusia. Secara kritis, para pemikir
mengulik kebenaran hakiki dari hak asasi manusia. Filosofi hak asasi manusia erat kaitannya
dengan sejarah yang berakar di Barat Modern berkenaan riwayat latar belakang berkembangnya
pemikiran filsafat di mana rakyat pada masa itu melakukan perjuangan untuk menentang
kekuasaan mutlak. Para pemikir liberal Barat menghadapi kekuasaan negara yang absolut
dimulai sejak awal abad 20-an. Berbagai paham filsafat memiliki dasar ideologi dan
pemikirannya masing-masing mengenai hak asasi manusia, mengikuti pula filsufnya. Tiga
paham dari bermacam-macam aliran ideologi yang mengemukakan teorinya tentang hak asasi
manusia di antaranya individualisme, Marxisme, dan integralisme.

John Locke

Sebagai seorang pemikir yang lahir pada 29 Agustus 1632 dan bertumbuh di era
Pencerahan, John Locke merumuskan berbagai pandangan yang menjadikan dirinya tokoh
penting pada masanya, terutama mengenai hak asasi manusia. Dalam kapasitasnya sebagai
seorang filsuf, John Locke mengemukakan bahwa hak asasi manusia bersifat fundamental atau
mendasar sebab hak tersebut dikaruniai oleh manusia secara langsung dari Tuhan sebagai hak
kodrati. Hak Kodrati yang didukung oleh John Locke memiliki akar semenjak zaman Yunani
Kuno dan Romawi. Grotius merupakan pelopor dari Hak Kodrati yang didukung oleh John
Locke. Grotius menekankan bahwa hukum kodrati merupakan landasan non-empiris sehingga
seharusnya semua ketentuan dapat dibuktikan manusia apabila menggunakan nalar yang tepat.
Gagasan hak kodrati sendiri merebak dan berkembang pesat pada abad ke-17. Melalui hak-hak
2
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
individu yang diakui secara subjektif, dirumuskan konsepsi bahwa setiap individu dianugerahi
hak inheren oleh semesta, dan harta yang dimiliki tidak dapat dialihkan atau dicabut karena harta
tersebut milik mereka sendiri. Pandangan mengenai hukum kodrati, menurut Scott Davidson,
mempostulatkan bahwa teori liberalisme John Locke merupakan bagian hukum Tuhan yang
sempurna, dan hal ini dapat dibuktikan melalui penggunaan nalar manusia. Sebagian isi filsafat
hukum kodrati yang terdahulu adalah ide bahwa masing-masing orang dalam kehidupan
ditentukan oleh Tuhan, sehingga semua orang tunduk pada otoritas Tuhan. Dengan demikian,
dapat dinyatakan bahwa bukan hanya kekuasaan raja yang dibatasi oleh aturan-aturan ilahiah,
tetapi juga bahwa semua manusia dianugerahi identitas individu yang unik, yang terpisah dari
Negara.3

Setiap orang menyandang hak asasi secara status naturalis sesuai pemikiran John Locke,
maka hak asasi berlaku tanpa pandang gender, tanpa melihat usia. Dalam hal ini, pun anak-anak
memiliki hak untuk hidup, dilindungi dari kekerasan, dan tidak didiskriminasi sebagaimana yang
termaktub pada UUD 1945 pasal 28B ayat (2).

Sesuai pemikiran John Locke sebagai filsuf, manusia memiliki kebebasan dan hak-hak
asasi yang didapatkan secara alamiah telah melekat sejak dilahirkan (status naturalis). Hak-hak
asasi tersebut mencakup hak-hak yang dimiliki secara pribadi seperti hak atas kehidupan,
kebebasan dan kemerdekaan, serta harta milik (hak memiliki sesuatu) yang tidak boleh diganggu
gugat, bahkan negara pun dilarang untuk mencabut hak tersebut karena hak-hak tersebut
dianugerahkan oleh Tuhan secara langsung kepada manusia, walaupun manusia sendiri tidak
berarti bisa berbuat seenaknya tanpa batas. Sebab, setiap orang juga tetap tidak boleh melanggar
hak-hak asasi orang lain. “The state of nature has a law of nature to govern it, which obliges
every one: and reason, which is that law, teaches all mankind, who will but consult it, that being
all equal and independent, no one ought to harm another in his life, health, liberty, or
possessions.

Menurut gagasan John Locke, hak asasi manusia dimiliki secara alamiah, dan negara hadir untuk
menjamin dan menjaga bahwa hak asasi disandang oleh masing-masing orang tanpa perlu
merasa cemas bahwa hak asasinya dilanggar dan dicabut karena negara telah mengaturnya secara

3
Davidson, Scott. A. Hadyana Pudjaatmaka, penerjemah (1994). Hak Asasi Manusia. Jakarta: Grafiti, h.36
konstitusional di dalam undang-undang. Pemikiran John Locke yang menjadi orang pertama
sebagai peletak dasar unsur negara hukum demikian kemudian menjadikan dirinya sebagai
Bapak Hak Asasi Manusia. John Locke bahkan mengemukakan bahwa negara wajib memberikan
jaminan terwujudnya kebebasan dan terlaksananya hak asasi manusia ditegakkan. Pemikiran
tersebut merupakan dasar terlahirnya Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat 1776. Mengenai
pembentukan negara yang hadir sebagai penjamin terlaksananya hak asasi manusia, John Locke
mengemukakan teori kekuasaan yang meliputi kekuasaan pembentuk undang-undang (legislatif),
kekuasaan pelaksana undang-undang, dan kekuasaan federatif. Namun, John Locke
menggarisbawahi pemisahan ketiga kekuasaan tersebut agar tidak terjadi kesewenangan negara
terhadap rakyat

J. J. Rousseau

Jean-Jacques Rousseau berpendapat bahwa menurut kodratnya, manusia pada hakikatnya itu
baik, akan tetapi yang merusak manusia adalah peradaban. 4 Rousseau yang lahir di Genewa pada
tahun 1712 mengungkapkan pemikiran mengenai hak kodrati adalah bahwa hukum kodrati tidak
menciptakan hak-hak kodrat untuk masing-masing individu, namun justru memberikan karunia
kepada warga negara suatu kedaulatan yang tidak bisa dicabut sebagai satu kesatuan. Hak yang
berasal dari hukum kodrati diturunkan sebagai kolektivitas dan hadir sebagai kehendak umum
rakyat.5

Sebagai filsuf, Rousseau hanya mengenal satu pactum di dalam teorinya. Pactum unions
merupakan suatu perjanjian antarindividu guna membentuk negara. Dalam mewujudkan cita
negara hukum, Rousseau merumuskan bahwa hukum negara dibentuk dan dirumuskan dari
rakyat yang bersama-sama mengambil keputusan melalui kesepakatan secara menyeluruh
berdasarkan suara paling banyak. Hal ini dituangkan Rousseau dalam karya ilmiahnya yang
berjudul Du Contract Social pada terbitan tahun 1762. “Jika manusia tidak dapat menciptakan
kekuatan baru bagi kepentingan sendiri, tetapi hanya menghimpun serta mengatur kesemuanya
seperti yang berlaku sekarang, maka satu-satunya jalan untuk mempertahankan dirinya ialah
membentuk kesatuan kekuatan dengan cara menghimpun dirinya dalam satu badan, yang dapat

4
Scholten, Paul (1949). Verzalde Geschriften. Zwolle: W.E.J. Tjeenk Willink. H.83
5
Davidson, Scott. A. Hadyana Pudjaatmaka, penerjemah (1994). Hak Asasi Manusia. Jakarta: Grafiti. H.37
digerakkan untuk bertindak bersama-sama agar mampu mengatasi segala masalah. Persatuan ini
harus dihasilkan oleh kesepakatan orang banyak.

Filsafat Hak Asasi Manusia di Indonesia

Para pendiri bangsa di dalam merumuskan konsep negara menjelang kemerdekaan, pada
hakikatnya mengembangkan, mengkontemplasikan, dan merundingkan segala pemikiran para
filsuf terdahulu, terutama dari negara-negara Barat. Konsep negara yang kemudian tertuang di
dalam UUD 1945 berisi pemikiran para ahli ideologi, sehingga tiap-tiap warga negara Indonesia
terlindungi hak-haknya dan dapat menyandang hak-haknya tersebut berkat pemikiran para bapak
pendiri bangsa yang menuangkannya berdasarkan filsafat hak asasi manusia di dunia. Baik
Soekarno, Hatta, Mohammad Yamin, maupun Soepomo, hadir dengan pemikirannya masing-
masing yang berakar dari ideologi para filsuf mengenai hak-hak asasi manusia secara global.
Salah satunya yang diperjuangkan oleh Soepomo di mana dalam paham integralisme yang
dicetuskannya terdapat pada poin bahwa masing-masing Warga Negara Indonesia ataupun semua
golongan dijamin untuk tidak tertindas oleh pihak lain, serta mendapatkan jaminan perlindungan
bilamana seseorang atau golongan ditindas oleh pihak lain, baik antarindividu/antargolongan
maupun intragolongan dalam hubungan yang berpola horizontal.

Dasar-dasar hak asasi manusia di Indonesia termaktub di dalam UUD 1945 Republik Indonesia
sesuai konsep negara yang dirumuskan para founding fathers Soekarno, Hatta, Yamin, dan
Soepomo serta kemudian dikembangkan hingga sekarang demi menyesuaikan kondisi kemajuan
zaman mutakhir yang berbeda dibandingkan dengan dahulu. Hak asasi manusia di Indonesia
tercantum di UUD 1945 setelah mendapatkan perubahan, seperti yang tertuang khususnya pada:

 pasal 27 ayat (1) hak yang berkenaan kedudukan di bidang hukum dan pemerintahan.
 pasal 27 ayat (2) hak yang berkenaan pekerjaan dan penghidupan.
 pasal 28A hak untuk hidup.
 Pasal 28B ayat (1) hak untuk berkeluarga.
 pasal 28B ayat (2) hak anak untuk hidup tanpa kekerasan dan tanpa diskriminasi.
 pasal 28C ayat (1) hak yang berkenaan mendapatkan pendidikan serta mengembangkan
diri.
 pasal 28C ayat (2) hak yang berkenaan memajukan diri dan berjuang atas haknya demi
bangsa dan negara.
 pasal 28D ayat (1) hak yang berkenaan persamaan dalam perlakuan di bidang hukum.
 pasal 28D ayat (3) hak yang berkenaan kesempatan di dalam pemerintahan.
 pasal 28D ayat (4) hak yang berkenaan status warga negara.
 pasal 28E (1) hak yang berkenaan agama, pendidikan, kewarganegaraan, dan tempat
tinggal.
 pasal 28E ayat (2) hak yang berkenaan kebebasan meyakini kepercayaan.
 pasal 28E ayat (3) hak yang berkenaan berserikat, berkumpul, serta menyuarakan opini.
 pasal 28F hak yang berkenaan komunikasi, lingkungan sosial, dan informasi.
 pasal 28G ayat (1) hak yang berkenaan rasa aman dan perlindungan tanpa diancam
hingga ketakutan.
 pasal 28G ayat (2) hak untuk tidak disiksa atau tidak direndahkan, serta hak suaka politik.
 pasal 28H ayat (1) hak yang berkenaan hidup sejahtera dan mendapat layanan kesehatan.
 pasal 28H ayat (2) hak untuk mendapat kesamaan kesempatan dan manfaat demi
keadilan.
 pasal 28H ayat (3) hak yang berkenaan jaminan sosial.
 pasal 28H ayat (4) hak yang berkenaan hak milik pribadi.
 pasal 28I ayat (1) hak yang berkenaan kemerdekaan pikiran, juga hati nurani.
 pasal 28I ayat (2) hak yang berkenaan untuk tidak didiskriminasi.
 pasal 28I ayat (3) hak yang berkenaan penghormatan atas identitas budaya dan
masyarakat tradisional.
 pasal 28I ayat (4) berkenaan tanggung jawab pemerintah dalam pemenuhan hak warga
negara.
 pasal 28I ayat (5) berkenaan jaminan, aturan, dan undang-undang untuk menegakkan dan
melindungi pelaksanaan hak asasi manusia.
 pasal 28J ayat (1) berkenaan kewajiban saling menghormati hak asasi orang lain.
 pasal 28J ayat (2) berkenaan pengakuan dan penghargaan terhadap hak asasi orang lain.
 pasal 29 ayat (2) hak yang berkenaan agama dan ibadat.
 pasal 30 ayat (1) hak yang berkenaan usaha mempertahankan dan mengamankan negara,
beserta kewajibannya.
 pasal 31 ayat (1) hak yang berkenaan pendidikan.

Pada hakikatnya, konsep hak asasi manusia diterima oleh masyarakat Indonesia karena sejalan
dengan konsep ideologi Pancasila. Meskipun pada awalnya, para perumus konsep negara
memiliki perbedaan pendapat mengenai konsep hak asasi manusia. Menurut Phalita Gatra. 6
Soekarno dan Soepomo menyampaikan pemikiran mengenai hak asasi manusia berakar dari
paham individualisme yang bertentangan dengan paham yang akan menjadi prinsip negara
sehingga sepakat untuk tidak memasukkan konsep hak asasi manusia ke dalam konsep negara
yang tengah mereka bangun. Di satu sisi, Soepomo sekadar beragumentasi untuk menggunakan
kata “kebebasan atau kemerdekaan” alih-alih kata “hak,” karena konsep hak yang individualistis
serta lekat dengan paham individualisme tidak sejalan dengan paham integralisme yang
dipegangnya secara prinsip. Sementara Hatta dan Mohammad Yamin sama-sama beropini bahwa
hak asasi manusia perlu dimasukkan ke dalam UUD 1945. Hatta mengemukakan bahwa itu perlu
dilakukan agar tidak ada penyalahgunaan kekuasaan oleh negara. Hatta bersikeras untuk
memasukkan pada khususnya hak berserikat, bersuara, dan menyatakan pendapat ke dalam
konsep negara, kemudian seiring pelaksanaannya, warga negara dijamin mendapatkan hak-
haknya tersebut sebagai unsur penting demi melakukan kontrol terhadap kekuasaan negara.
Yamin menekankan bahwa hak asasi manusia harus dapat diakui oleh UUD 1945 sebagai
perlindungan kepada kemerdekaan warga negara. Tiap-tiap warga negara harus dijamin
kemerdekaannya di dalam menyandang hak asasi yang telah melekat pada dirinya semenjak
masih di dalam kandungan sehingga tidak mendapatkan diskriminasi, perisakan, ataupun
penindasan dari pihak lain.

Hak asasi manusia di Indonesia berakar dari pemikiran para pendiri bangsa yang melandaskan
prinsipnya berdasar ideologi yang dicetuskan dan dikembangkan para filsuf terdahulu. Meskipun
demikian, para pendiri bangsa tidak serta merta mengintisarikan pemikiran para ahli filsafat
Barat dan menerapkannya mentah-mentah ke dalam konsep negara dengan masyarakat majemuk
dan plural tetapi mampu berpadu menjadi satu kesatuan yang utuh dan bulat di Indonesia.

6
Gatra, Phalita. “Konsep Hak Asasi Manusia yang Digunakan di Indonesia”. HukumOnline.com. Ditayangkan 4
Februari 2019. Diakses 29 Juni 2021
Bahkan meskipun paham integralisme di Barat merupakan paham yang paling mendekati konsep
negara yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa, masih ada beberapa faktor dalam pandangan
integralisme Barat yang tidak memungkinkan untuk dijadikan fondasi dalam bernegara dan
bermasyarakat oleh bangsa Indonesia. Paham integralisme di Barat yang mengimplementasikan
absolutisme negara dalam memantau dan mengintervensi hak asasi warga negaranya jelas
dimentahkan di Indonesia oleh ideologi Pancasila yang demokratis sesuai pada sila ke-4. Di sisi
lain, ideologi integralisme yang menjunjung tinggi kedudukan negara di atas segalanya sehingga
bahkan penerapan hak asasi manusia bisa saja dinegasikan kapan pun dan pada situasi apa pun
sesuai kehendak negara, tidak dapat diterapkan di Indonesia yang justru memprioritaskan hak
asasi tiap-tiap warga negara serta untuk mencegah adanya penyalahgunaan kekuasaan dan
kewenangan negara sebagai pengawas, pelindung, dan pemberi jaminan. Integralisme di Barat
juga bertolak dari kedaulatan negara di mana negara memiliki kekuasaan mutlak yang tidak
dapat diganggu gugat, sementara di Indonesia, warga negara memegang kedaulatan tertinggi.
Kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan tertinggi yang kemudian diwakilkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Di Indonesia, negara hadir justru untuk mengawasi, memantau,
melindungi, memberi jaminan, dan menegakkan implementasi hak asasi manusia agar dapat
dilaksanakan sebagaimana mestinya sesuai hukum dan undang-undang yang berlaku sehingga
masing-masing warga negara tidak saling mengalami pertentangan pada saat menerapkan hak
asasinya masing-masing. Namun demikian, bilamana perselisihan maupun konflik terjadi di
antara masyarakat pada saat berlangsungnya pelaksanaan hak asasi, maka negara wajib hadir
untuk menengahi dan menuntaskan, serta memberikan solusi.

Anda mungkin juga menyukai