Anda di halaman 1dari 46

LAPORAN PENDAHULUAN

MULTIPLE TRAUMA

KELOMPOK 1 :

SUSI AFRI YANTI TAMBA P07120521095


AYUNITA PURNAMASARI P07120521080
SURATNO P07120521084

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES YOGYAKARTA

PENDIDIKAN PROFESI NERS

TAHUN 2021
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Trauma adalah penyebab kematian utama pada manusia antara usia
1-44 tahun. Pada kelompok usia yang lebih tua, penyebab kematian ini
hanya dilampaui oleh kanker dan penyakit kardiovaskuler. Bagaimanapun
kerugian akibat trauma dalam hal kehilangan kesempatan hidup produktif,
melebihi kerugian yang ditimbulkan oleh kanker dan penyakit
kardiovaskuler. Sebagai penyebab utama kematian dan kecacatan, trauma
telah menjadi masalah kesehatan dan social yang signifikan. Multi trauma
adalah Keadaan yang di sebabkan oleh luka atau cedera defenisi ini
memberikaan gambaran superficial dari respon fisik terhadap cedera,
trauma juga mempunyai dampak psikologis dan social. Pada kenyataannya
trauma adalah kejadian yang bersifat holistic dan dapat menyebabkan
hilangnya produktif seseorang. Berdasarkan mekanismenya, terdapat
trauma tumpul yang biasanya disebabkan karena kecelakaan kendaraan
bermotor dan trauma tajam biasanya disebabkan karena tusukan, tikaman
atau tembakan senapan.
Orang yang mengalami cedera berat harus dikaji dengan cepat dan
efisien. Kriteria dan protocol untuk memudahkan pengkajian awal,
intervensi, dan triage untuk korban trauma telah dikembangkan oleh
American College of Surgeons, Committee on Trauma. Kemajuan dalam
bidang perawatan pasien trauma telah dicapai dalam beberapa decade
terakhir. Perkembangan pusat-pusat pelayanan trauma telah menurunkan
mortalitas dan morbiditas diantara korban kecelakaan. Perawatan dan
sarana angkutan prarumah sakit yang semakin baik telah menyebabkan
kenaikan jumlah korban kecelakaan dengan keadaan kritis sampai ke
rumah sakit dalam keadaan hidup. Akibatnya, pasien trauma yang tiba di
unit perawatan kritis sekarang ini cenderung mengalami cedera serius yang
melibatkan banyak organ dan mereka sering kali membutuhkan asuhan
keperawatan yang ekstensif dan kompleks. Penanganan secara sistematis
sangat penting dalam penatalaksanaan pasien dengan trauma. Perawatan
penting yang menjadi prioritas adalah mempertahankan jalan napas,
memastikan pertukaran udara secara efektif, dan mengontrol pendarahan.
1.2 Rumusan masalah
“Bagaimana Konsep Dasar Asuhan Keperawatan, Penatalaksanaan, dan
Penanganan pada Pasien Multi Trauma?”
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan umum
Mahasiswa mampu mengerti dan memahami konsep dasar
asuhan keperawatan, penatalaksanaan, dan penanganan klien dengan
Multi Trauma.
1.3.2 Tujuan khusus
1. Mahasiswa mengerti dan memahami definisi dari multi trauma.
2. Mahasiswa mengerti dan memahami etiologi multi trauma.
3. Mahasiswa mengerti dan memahami Patofisiologi multi trauma.
4. Mahasiswa mengerti dan memahami manifestasi klinis multi
trauma.

BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Dasar Multi Trauma
2.1.1 Definisi
Multi trauma adalah keadaan yang di sebabkan oleh luka atau
cedera definisi ini memberikaan gambaran superficial dari respon fisik
terhadap cedera, trauma juga mempunyai dampak psikologis dan sosial.
Pada kenyataannya trauma adalah kejadian yang bersifat holistic dan
dapat menyebabkan hilangnya produktif seseorang. Informasi tentang
pola atau mekanisme terjadinya cedera seringkali akan sangat terbantu
dalam mendiagnosa kemungkinan gangguan yang diakibatkan. Trauma
tumpul terjadi pada kecelakaan kendaraan bermotor ( KKB) dan jatuh,
sedangkan trauma tusuk (penetrasi) seringkali diakibatkan oleh luka
tembak atau luka tikam. Umumnya, makin besar kecepatan yang
terlibat dalam suatu kecelakaan, akan makin besar cedera yang terjadi,
misalnya : KKB kecelakaan tinggi, peluru dengan kecepatan tinggi,
jatuh dari tempat yang sangat tinggi (Hudak,carolyn 1996).

2.1.2 Etiologi
Trauma dapat disebabkan oleh benda tajam, benda tumpul, atau
peluru. Luka tusuk dan luka tembak pada suatu rongga dapat di
kelompokan dalam kategori luka tembus. Untuk mengetahui bagian
tubuh yang terkena,organ apa yang cedera ,dan bagaimana derajat
kerusakannya, perlu diketahui biomekanik terutama cedera pada trauma
dapat terjadi akibat tenaga dari luar berupa benturan, perlambatan
(deselerasi), dan kompresi, baik oleh benda tajam , benda tumpul,
peluru, ledakan, panas, maupun zat kimia . Akibat cedera ini dapat
menyebabkan cedera muskuloskeletal dan kerusakan organ.

2.1.3 Patofisiologi
Respon metabolik pada trauma dapat dibagi dalam tiga fase :
1. Fase pertama berlangsung beberapa jam setelah terjadinya trauma.
Dalam fase ini akan terjadi kembalinya volume sirkulasi, perfusi
jaringan, dan hiperglikemia.
2. Pada fase kedua terjadi katabolisme menyeluruh, dengan imbang
nitrogen yang negative, hiperglikemia, dan produksi panas. Fase ini
yang terjadi setelah tercapainya perfusi jaringan dengan baik dapat
berlangsung dari beberapa hari sampai beberapa minggu, tergantung
beratnya trauma, keadaan kesehatan sebelum terjadi trauma, dan
tindakan pertolongan medisnya.
3. Pada fase ketiga terjadi anabolisme yaitu penumpukan kembali
protein dan lemak badan yang terjadi setelah kekurangan cairan dan
infeksi teratasi. Rasa nyeri hilang dan oksigenasi jaringan secar
keseluruhan sudah teratasi. Fase ini merupakan proses yang lama
tetapi progresif dan biasanya lebih lama dari fase katabolisme karena
isintesis protein hanya bisa mencapai 35 gr /hari.

2.1.4 Manifestasi klinis


1. Laserasi, memar,ekimosis
2. Hipotensi
3. Tidak adanya bising usus
4. Hemoperitoneum
5. Mual dan muntah
6. Adanya tanda “Bruit” (bunyi abnormal pd auskultasi pembuluh
darah, biasanya pada arteri karotis)
7. Nyeri
8. Pendarahan
9. Penurunan kesadaran
10. Sesak
11. Tanda Kehrs adalah nyeri di sebelah kiri yang disebabkan oleh
perdarahan limfa. Tanda ini ada saat pasien dalam posisi recumbent.
12. Tanda Cullen adalah ekimosis periumbulikal pada perdarahan
peritoneal
13. Tanda Grey-Turner adalah ekimosis pada sisi tubuh ( pinggang )
pada perdarahan retroperitoneal
14. Tanda Coopernail adalah ekimosis pada perineum,skrotum atau labia
pada fraktur pelvis
15. Tanda Balance adalah daerah suara tumpul yang menetap pada
kuadran kiri atas ketika dilakukan perkusi pada hematoma limfe
(Scheets, 2002 :  277-278)

2.1.5 Klasifikasi Trauma


Berdasarkan Hudak Carolyn 1996:517-534 bahwa klasifikasi dari
multi trauma adalah sebagai berikut :
1. Trauma Tumpul
Pada kecelakaan kendaraan mobil, badan kendaraan
memberikan sebagian perlindungan dan menyerap energi dari hasil
benturan tabrakan. Pengendara atau penumpang yang tidak
menggunakan sabuk pengman, bagaimanapun akan terlempar dari
mobil dan dampaknya mendapat cedera tambahan. Pengendara
sepeda motor mempunyai perlindungan yang minimal dan
seringkali akan menderita cedera yang lebih parah apabila
terlempar dari motor.
Perlambatan yang cepat selama KKB atau jatuh dapat
menyebabkan kekuatan yang terputus yang dapat merobek struktur
tertentu. Organ-organ yang berdenyut seperti jantung dapat terlepas
dari pembuluh besar yang menahannya. Demikian juga organ-
organ abdomen (limpa, ginjal, usus) akan terlepas dari mesenteri.
Tipe kedua trauma tumpul termasuk kompresi yang
disebabkan oleh kekuatan tabrakan berat. Pada kasus demikian,
jantung dapat terhimpit diantara sternum dan tulang belakang.
Hepar, limpa, dan pancreas juga sering tertekan terhadap tulang
belakang. Cedera karena benturan seringkali menyebabkan
kerusakan internal dengan sedikit tanda-tanda trauma eksternal.
2. Trauma Penetrasi
Luka tembak berkaitan dengan derajat kerusakan yang lebih
tinggi dari luka-luka tikaman. Peluru dapat menyebakan lubang di
sekitar jaringan dan dapat terpecah atau merubah arah dalam tubuh,
mengakibatkan peningkatan cedera. Perdarahan internal, perforasi
organ, dan fraktur kesemuanya dapat disebabkan oleh cedera
penetrasi.
3. Trauma Torakik
Kurang lebih 25% dari kematian karena trauma adalah
karena cedera torakik. Banyak cedera toraks yang secara
potensial mengancam jiwa, misalnya tension atau pneumotoraks
terbuka, hemotoraks massif, iga melayang (flail chest) dan
tamponade jantung, dapat ditangani secara cepat dan mudah,
seringkali tanpa operasi besar. Jika tidak ditangani, maka akan
mengancam jiwa.

4. Cedera pada Jantung


a. Kontusio Miokard
Memar pada miokardium kebanyakan disebabkan oleh
benturan dada pada batang stir atau dashboard selama KKB.
Perlambatan cepat mengakibatkan jantung yang berdenyut akan
menbentur dinding dada anterior.alternatif seperti nyeri,
penipisan volume herus menjadi pertimbangan. Manakala
kontusio sudah dipastikan, maka tindakan yang dilakukan
serupa dengan untuk infark miokardial akut.
b. Cedera Penetrasi jantung
Cedera penetrasi pada jantung mengakibatkan kematian
korban prarumah sakit sekitar 60% sampai 90% dari kasus. Pada
10% sisanya, hemoragi dan syok adalah yang umum terlihat.
Luka tikam kecil yang mengenai ventrikel ada kalanya menutup
sendiri karena tebalnya muskulatur ventrikular. Pada kondisi
dimana terjadi hemoragi terus menerus, volume yang hilang
harus diganti, dan operasi perbaikan diperlukan. Pada kasus-
kasus parah, torakotomi departemen gawat darurat mungkin
harus dilakukan sebagai tindakan untuk menyelamatkan jiwa.
5. Trauma Abdomen
Rongga abdomen memuat baik organ yang padat maupun
yang berongga. Trauma tumpul kemungkinan besar menyebabkan
kerusakan yang serius organ-organ padat dan trauma penetrasi
sebagian besar melukai organ-organ berongga. Kompresi dan
perlambatan dari trauma tumpul menyebabkan fraktur pada
kapsula dan parenkim organ padat, sementara organ berongga
dapat kolaps dan menyerap energi benturan. Bagaimana pun usus
yang menempati sebagian besar rongga abdomen, rentan untuk
mengalami oleh trauma penetrasi. Secara umum, organ-organ
padat berespons terhadap trauma dengan perdarahan. Organ-organ
berongga pecah dan mengeluarkan isinya dan ke dalam rongga
peritoneal, menyebabkan peradangan dan infeksi.
6. Trauma pada Ekstremitas
a. Fraktur
Fraktur sering terjadi pada trauma tumpul, kurang jarang
pada trauma penetrasi. Manakalah radiografi sudah memastikan
adanya fraktur, maka harus dilakukan stabilitas atau perbaikan
fraktur. Karena prosedur ortopedik akan memakan banyak
waktu,sehingga cidera lain yang mengancam jiwa harus terlebih
dahulu di atasi, dan operasi perbaikan dapat di tunda sampai
masalah itu teratasi. Asuhan keperawatan harus di arahkan
terhadap pencegahan dan deteksi dini tentang masalah –
masalah ini. Perawat juga harus bekerja sama dengan terapis
fisik untuk meningkatkan kekuatan dan mobilisasi dini.

b. Dislokasi
Dislokasi menimbulkan rasa nyeri yang sangat hebat.
Dislokasi mudah dikenali karena adanya perubahan dari anatomi
yang normal. Dislokasi sendi umumnya tidak mengancam jiwa,
tapi memerlukan tindakan darurat karena apabila tidak
dilakukan tindakan secepatnya, akan menyebabka
7. Cedera vaskular
Cedera vaskular seringkali mengakibatkan perdarahan atau
trombosis pembuluh. Cedera vaskular biasanya disebabkan oleh
trauma penetrasi, dan kurang sering karena fraktur. Ultrasonografi
doppler seing digunakan untuk mendiagnosa cedera vaskular
perifer.

2.1.6 Komplikasi pada Multi Trauma


1. Penyebab kematian dini ( dalam 72 jam )
a. Hemoragi dan cedera kepala
Hemoragi dan cedera kepala adalah penyebab utama
kematian dini setelah trauma multiple. Untuk mencegah
kehabisan darah, maka perdarahan harus dikendalikan. Ini dapat
diselesaikan dengan operasi ligasi ( pengikatan ) dan
pembungkusan, dan embolisasi dengan angiografi. Hemoragi
berkelanjutan memerlukan tranfusi multiple, sehingga
meningkatkan kecenderungan terjadinya ARDS dan DIC.
Hemoragi berkepanjangan mengarah pada syok hipovolemik dan
akhirnya terjadi penurunan perfusi organ.
Mekanisme yang mengarah pada penurunan perfusi jaringan :
Faktor penyebab ( seperti , penurunan volume, pelepasan toksin )

Penurunan isi secukup

Penurunan curah jantung

Penurunan perfusi jaringan yang tidak sama

Berbagai organ memberikan respon yang berbeda terhadap


penurunan perfusi yang disebabkan oleh syok hipovolemik.
2. Penyebab Lambat Kematian ( Setelah 3 Hari ) :
a. Sepsis
Sepsis adalah komplikasi yang sering terjadi pada trauma
multiple. Pelepasan toksin menyebabkan dilatasi pembuluh, yang
mengarah pada penggumpalan venosa yang mengakibatkan
penurunan arus balik vena. Pada mulannya, curah jantung
mengikat untuk mengimbangi penurunan tekanan vaskular
sistemik. Akhirnya, mekanisme kompensasi terlampaui dan curah
jantung menurun sejalan dengan tekanan darah dan perfusi.
Sumber infektif harus ditemukan dan di basmi. Diberikan
antibiotik, dilakukan pemeriksaan kultur, mulai dilakukan
pemeriksaan radiologok, operasi eksplorasi sering dilakukan.
Abses intra abdomen merupakan penyebab sepsis paling sering .
Sebagaian abses dapat keluarkan perkuatan, sedangkan yang
lainnya memerlukan pembedahan. Setelah pembedahan drainase
abses abdomen, insisi di biarkan terbuka, dengan drainase
terpasang, untuk memungkinkan penyembuhan dan menghindari
kekambuhan .sumber – sumber infeksi lainnya yang perlu
diperhatikan adalah selang invasif, saluran kemih, dan paru –
paru. Di perkirakan bahwa pemberian nutrisi yang dini dapat
menurunkan perkembangan sepsis dan gagal organ multipel.

2.1.7 Pemeriksaan Diagnostik


1. Trauma Tumpul
a. Diagnostik Peritoneal Lavage
DPL adalah prosedur invasive yang bisa cepat dikerjakan
yang bermakna merubah rencana untuk pasien berikutnya ,dan
dianggap 98 % sensitive untuk perdarahan intraretroperitoneal.
Harus dilaksanakan oleh  team bedah untuk pasien dengan trauma
tumpul multiple dengan hemodinamik yang abnormal,terutama
bila dijumpai :
a) Perubahan sensorium-trauma capitis, intoksikasi alcohol,
kecanduan obat-obatan.
b) Perubahan sensasi trauma spinal.
c) Cedera organ berdekatan-iga bawah, pelvis, vertebra lumbalis.
d) Pemeriksaan diagnostik tidak jelas.
e) Diperkirakan akan ada kehilangan kontak dengan pasien dalam
waktu yang agak lama, pembiusan untuk cedera
extraabdominal, pemeriksaan X-Ray yang lama misalnya
Angiografi.
f) Adanya lap-belt sign (kontusio dinding  perut) dengan
kecurigaan trauma usus.
DPL juga diindikasikan pada pasien dengan hemodinamik
normal nilai dijumpai hal seperti di atas dan disini tidak memiliiki
fasilitas USG ataupun CT Scan. Salah satu kontraindikasi untuk
DPL adalah adanya indikasi yang jelas untuk laparatomi.
Kontraindikasi relative antara lain adanya operasi abdomen
sebelumnya, morbid obesity, shirrosis yang lanjut, dan adanya
koagulopati sebelumnya. Bisa dipakai tekhnik terbuka atau
tertutup  (Seldinger) di infraumbilikal oleh dokter yang terlatih.
Pada pasien dengan fraktur pelvis atau ibu hamil, lebih baik
dilakukan supraumbilikal untuk mencegah kita mengenai
hematoma pelvisnya ataupun membahayakan uterus yang
membesar. Adanya aspirasi darah segar, isi gastrointestinal, serat
sayuran ataupun empedu yang keluar, melalui tube DPL pada
pasien dengan henodinamik yang abnormal menunjukkan indikasi
kuat untuk laparatomi. Bila tidak ada darah segar (>10 cc)
ataupun cairan feses ,dilakukan lavase dengan 1000cc Ringer
Laktat (pada anak-anak  10cc/kg). Sesudah cairan tercampur
dengan cara menekan maupun melakukan rogg-oll, cairan
ditampung kembali dan diperiksa di laboratorium untuk melihat
isi gastrointestinal ,serat maupun empedu (American College of
Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 149-150).
Test (+)  pada trauma tumpul bila 10 ml atau lebih darah
makroskopis (gross) pada aspirasi awal, eritrosit > 100.000 mm 3,
leukosit > 500/mm3 atau pengecatan gram (+) untuk bakteri,
bakteri atau serat. Sedangkan bila DPL (+) pada trauma tajam bila
10 ml atau lebih darah makroskopis (gross) pada aspirasi awal,sel
darah merah 5000/mm3 atau lebih (Scheets, 2002 :  279-280).
b. FAST (Focused Assesment Sonography in Trauma)
Individu yang terlatih dengan baik dapat menggunakan
USG untuk mendeteksi adanya hemoperitoneum. Dengan adanya
peralatan khusus di tangan mereka yang berpengalaman,
ultrasound memliki sensifitas, specifitas dan ketajaman untuk
meneteksi adanya cairan intraabdominal yang sebanding dengan
DPL dan CT abdomen Ultrasound memberikan cara yang tepat,
noninvansive, akurat dan murah untuk mendeteksi
hemoperitorium, dan dapat diulang kapanpun. Ultrasound dapat
digunakan sebagai alat diagnostik bedside dikamar resusitasi,
yang secara bersamaan dengan pelaksanaan beberapa prosedur
diagnostik maupun terapeutik lainnya. Indikasi pemakaiannya
sama dengan indikasi DPL (American College of Surgeon
Committee of Trauma, 2004 : 150).
c. Computed Tomography (CT)
Digunakan untuk memperoleh keterangan mengenai organ
yang mengalami kerusakan dan tingkat kerusakannya, dan juga
bisa untuk mendiagnosa trauma retroperineal maupun pelvis yang
sulit di diagnosa dengan pemeriksaan fisik, FAST, maupun DPL
(American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 :
151).
2.  Trauma Tajam
a. Cedera thorax bagian bawah
Untuk pasien yang asimptomatik dengan kecurigaan pada
diafragma dan struktur abdomen bagian atas diperlukan
pemeriksaan fisik maupun thorax foto berulang, thoracoskopi, 
laparoskopi maupun pemeriksaan CT scan.
b. Eksplorasi local luka dan pemeriksaan serial dibandingkan
dengan DPL pada luka tusuk abdomen depan. Untuk pasien yang
relatif asimtomatik (kecuali rasa nyeri akibat tusukan), opsi
pemeriksaan diagnostik yang tidak invasive adalah pemeriksaan
diagnostik serial dalam 24 jam, DPL maupun laroskopi
diagnostik.
c. Pemeriksaan fisik diagnostik serial dibandingkan dengan double
atau triple contrast pada cedera flank maupun punggung. Untuk
pasien yang asimptomatik ada opsi diagnostik antara lain
pemeriksaan fisik serial, CT dengan double atau triple contrast,
maupun DPL. Dengan pemeriksaan diagnostic serial untuk pasien
yang mula-mula asimptomatik kemudian menjadi simtomatik,
kita peroleh ketajaman terutama dalam mendeteksi cedera
retroperinel maupun intraperineal untuk luka dibelakang linea
axillaries anterior (American College of Surgeon Committee of
Trauma, 2004 : 151).

2.1.8 Pemeriksaan penunjang


1. Radiologi
a. Pemeriksaan X-Ray untuk screening trauma tumpul.
b. Rontgen untuk screening adalah Ro-foto cervical lateral, Thorax
AP dan pelvis AP dilakukan pada pasien trauma tumpul dengan
multitrauma. Rontgen foto abdomen tiga posisi (telentang,
setengah tegak dan lateral decubitus) berguna untuk melihat
adanya udara bebas dibawah diafragma ataupun udara di luar
lumen diretroperitoneum, yang kalau ada pada keduanya menjadi
petunjuk untuk dilakukan laparatomi. Hilangnya bayangan psoas
menunjukkan kemungkinan cedera retroperitoneal
2. Pemerikasaan X-Ray untuk screening trauma tajam
Pasien luka tusuk dengan hemodinamik yang abnormal tidak
memerlukan pemeriksaan X-Ray pada pasien luka tusuk diatas
umbilicus atau dicurigai dengan cedera thoracoabdominal dengan
hemodinamik yang abnormal, rontgen foto thorax tegak bermanfaat
untuk menyingkirkan kemungkinan hemo atau pneumothorax,
ataupun untuk dokumentasi adanya udara bebas intraperitoneal. Pada
pasien yang hemodinamiknya normal, pemasangan klip pada luka
masuk maupun keluar dari suatu luka tembak dapat memperlihatkan
jalannya peluru maupun adanya udara retroperitoneal pada rontgen
foto abdomen tidur.
3. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap untuk mencari kelainan pada darah itu
sendiri
b. Penurunan hematokrit/hemoglobin
c. Peningkatan Enzim hati: Alkaline fosfat,SGPT,SGOT
d. Koagulasi : PT,PTT
4. MRI
5. Angiografi untuk kemungkinan kerusakan vena hepatic
6. CT Scan
7. Radiograf dada  mengindikasikan peningkatan
diafragma,kemungkinan pneumothorax atau fraktur  tulang rusuk
VIII-X.
8. Scan limfa
9. Ultrasonogram
10. Peningkatan serum atau amylase urine
11. Peningkatan glucose serum
12. Peningkatan lipase serum
13. DPL (+) untuk amylase
14. Peningkatan WBC
15. Peningkatan amylase serum
16. Elektrolit serum
17. AGD (ENA,2000:49-55)
2.1.9 Penilaian Pasien Trauma
Trauma didefinisikan sebagai perpindahan energi yang terjadi dari
lingkungan ke tubuh manusia. Trauma adalah penyebab utama
kecacatan di Amerika Serikat, tercatat lebih dari 150 ribu kematian tiap
tahunnya. Trauma dapat dikategorikan sebagai kejadian yang disengaja
dan tidak disengaja. Di Amerika Serikat, trauma yang tidak disengaja
menjadi penyebab utama nomor lima timbulnya kematian di semua
golongan usia dan menjadi penyebab nomor satu di kategori usia 1-34
tahun.
Mekanisme cedera mengacu pada proses yang memungkinkan
energi berpindah dari lingkungan pada pasien yang menderita trauma.
Energi merupakan agen penyebab timbulnya cedera fisik, sedangkan
tipe energi yang dapat menimbulkan trauma adalah energi mekanik,
elektrik, panas, kimia, dan radiasi. Berdasarkan jenis energi, cedera
yang disebabkan oleh energi mekanik paling sering terjadi. Proses
tersalurnya energi mekanik pada pasien bisa melalui kejadian seperti
kecelakaan, jatuh, serangan benda tumpul, penikaman, dan luka
tembak. Cedera yang diakibatkan oleh tekanan mekanik dapat
dibedakan menjaadi cedera tumpul dan penetratif. Kecelakaan
kendaraan bermotor dan jatuh dapat dikategorikan sebagai cedera
tumpul, sementara luka tembak dan luka tusuk merupakan contoh dari
cedera penetratif. Tabel 1.1 menjelaskan pola cedera yang umumnya
terjadi pada pengemudi yang mengalami kecelakaan tanpa memakai
alat pengaman.
Tabel 1.1 Mekanisme dan Pola Cedera
Mekanisme Cedera Kemungkinan Pola Cedera
Tabrakan depan
Pola jaring laba-laba atau pola bull’s Patah tulang belakang daerah serviks,
eye pada kaca depan. trauma wajah.
Setir mobil tertekuk. Anterior flail chest, cidera kardiak
tumpul, pneumothoraks, cidera hati atau
limpa, gangguan aortik.
Bekas lutut pada dasboard. Patah / dislokasi lutut, femur dan
panggul.
Tabrakan samping
Kontak kepala dengan jendela samping. Patah tulang belakang daerah serviks,
cedera kepala.
Pintu terdorong ke ruang penumpang. Lateral flail chest.
Cedera hati atau limpa (tergantung sisi
yang terkena tumbukan).

Tabel 1.2 Penilaian primer dan sekunder bagi pasien trauma.


Komponen Penilaian Kemungkinan Intervensi
A Airway/Saluran  Dengarkan suara  Buka saluran pernapasan
pernapasan terbuka/tersumbat? menggunakan chin-lift
 Cari serpihan benda- atau manuver modified
benda, darah, jaw-thrust.
muntah, dan benda  Bersihkan saluran
asing. pernapasan, sedot dan
bersihkan dari benda-
benda asing.
 Berikan saluran
pernapasan buatan:
saluran pernapasan
orofaring atau
nasofaring, intubasi
trakea, atau saluran
pernapasan lewat proses
bedah.
B Breathing/  Amati respirasi  Berikan oksigen dengan
pernapasan spontan, chest laju tinggi melalui non-
excursion, laju dan rebreather mask.
kedalaman respirasi,  Ganti udara dengan
dan usaha untuk menggunakan tekanan
bernapas. positif (bag-valve-mask)
 Auskultasi suara  Bantu dengan
pernapasan. menggunakan intubasi
trakea atau penempatan
saluran napas lewat
proses bedah.
C Circulation/  Cari pendarahan  Lakukan penekanan/
Sirkulasi yang tampak jelas. letakkan luka di posisi
 Periksa kulit untuk yang lebih tinggi.
warna, suhu,  Masukkan dua atau lebih
kelembapan, dan kateter large-bore
capillary refill time. intravenous.
 Raba denyut nadi  Berikan bolus dari
sentral dan distal. crystalloids atau darah.
 Lakukan transfusi darah
dada.
 Gunakan splint untuk
mengontrol pendarahan.
 Fasilitasi intervensi
bedah untuk kondisi
pendarahan internal atau
eksternal yang parah.
 Sediakan resusitasi
kardiopulonary/
advanced cardiac life
support bila diperlukan.
D Disability/  Periksa akondisi  Jangan sampai pasien
Ketidakmampuan neurologis mengalami hipotensif
menggunakan atau hipoksia.
mnemonic AVPU.  Jaga dengan hati-hati
 Periksa pupil, kondisi tulang belakang.
simetris atau tidak,  Pertimbangkan
dan reaksi terhadap pemberian manitol,
cahaya. tindakan untuk
memperbaiki laju
pembuluh vena dari
otak, pembedahan atau
hiperventilasi singkat.
E Exposure and Periksa seluruh tubuh.  Lepas semua baju.
environmental  Berikan penghangat
(Pemaparan dan tubuh.
Lingkungan)
F Full set of vital  Dapatkan data-data  Mulai pengawasan
signs, five vital. kardiak berkelanjutan
interventions, and  Nilai kebutuhan dan saturasi oksigen.
family presence psikologis pasien  Pertimbangkan untuk
dan keluarga. memasukkan pipa
nasogastrik atau
orogastrik dan kateter
saluran urine.
G Give comfort Ukur tingkat kesakitan.  Berikan obat untuk nyeri
measures seperti disarankan.
 Gunakan cara
nonfarmakologis untuk
mengurangi nyeri.
History Jika pasien sadar, Dapatkan informasi MIVT
kumpulkan sejarah data dari jasa medis darurat.
medis.
Head-to-toe Lakukan pemeriksaan
H
examination dari kepala ke kaki;
inspeksi, auskultasi, dan
raba pasien dari kepala
ke kaki.
I Inspect posterior Miringkan pasien ke
surfaces satu sisi. Periksa dan
raba semua permukaan
tubuh bagian belakang.

2.2 Penatalaksanaan Multi Trauma


2.2.1 Penanganan Pasien Multi Trauma
Penanganan secara sistematis sangat penting dalam
penatalaksanaan pasien dengan trauma. Perawatan penting yang
menjadi prioritas adalah mempertahankan jalan napas, memastikan
pertukaran udara secara efektif, dan mengontrol pendarahan.
Kematian akibat trauma memiliki pola distribusi trimodal. Puncak
morbiditas pertama terjadi dalam hitungan detik atau menit setelah
cedera. Kematian ini diakibatkan gangguan pada jantung atau
pembuluh darah besar, otak, atau saraf tulang belakang. Cedera
seperti ini sangat parah dan jumlah pasien yang dapat diselamatkan
relatif kecil. Puncak kedua kematian terjadi dalam hitungan menit
sampai jam sesudah trauma terjadi. Kematian dalam periode ini
terjadi pada umumnya karena memar intrakranial atau pendarahan
yang tidak terkontrol akibat patah tulang panggul, robekan pada
solid organ (organ padat) atau beberapa luka. Perawatan yang
diterima dalam satu jam pertama (golden period) sesudah cedera
sangat penting untuk mempertahankan nyawa pasien.
The Trauma Nursing Core Course (TNCC) dan Advanced
Trauma Life Support (ATLS) menggunakan pendekatan primary dan
secondary survey. Pendekatan ini berfokus pada pencegahan
kematian dan cacat pada jam-jam pertama setelah terjadinya trauma.
Puncak morbiditas ketiga terjadi beberapa hari sampai minggu
sesudah trauma. Kematian pada periode ini terjadi karena sepsis,
kegagalan beberapa organ dan pernapasan, atau komplikasi lain.
Oleh karena kerumitan, keparahan cedera, serta kebutuhan akan
evaluasi dan intervensi secara bersamaan, pasien yang mengalami
multipel trauma memerlukan tindakan dari tim yang terkoordinasi
untuk menyelamatkan pasien. Pemimpin dalam tim mengamati
jalannya usaha penyelamatan pasien. Komposisi tim berbeda-beda
dari tempat ke tempat yang lain, terapi biasanya terdiri atas paling
tidak satu satu dokter, satu perawat, dan petugas perawat tambahan.
The Trauma Nursing Core Course (TNCC) dan Advanced Trauma
Life Support (ATLS) menggunakan pendekatan primary dan
secondary survey sebagai berikut :
1. Survei Primer (Primary Survey)
Penilaian awal pasien trauma terdiri atas survei primer dan
survei sekunder. Pendekatan ini ditujukan untuk mempersiapkan
dan menyediakan metode perawatan individu yang mengalami
multiple trauma secara konsisten dan menjaga tim agar tetap
terfokus pada prioritas perawatan. Masalah-masalah yang
mengancam nyawa terkait jalan napas, pernapasan, sirkulasi, dan
status kesadaran pasien diidentifikasi, dievaluasi, serta dilakukan
tindakan dalam hitungan menit sejak datang di unit gawat darurat.
Kemungkinan kondisi mengancam nyawa seperti pneumothoraks,
hemotoraks, flail chest, dan pendarahan dapat dideteksi melalui
survei primer. Ketika kondisi yang mengancam nyawa telah
diketahui, maka dapat segera dilakukan intervensi yang sesuai
dengan masalah/ kondisi pasien.
Pada survei primer terdapat proses penilaian, intervensi,
dan evaluasi yang berkelanjutan. Komponen survei primer adalah
sebagai berikut :
A : Airway (jalan napas)
B : Breathing (pernapasan)
C : Circulation (sirkulasi)
D : Disability (defisit neurologis)
E : Exposure and environmental control (pemaparan dan kontrol
lingkungan)
A : Airway (Jalan Napas)
Penilaian jalan napas merupakan langkah pertama pada
penanganan pasien trauma. Penilaian jalan napas dilakukan
bersamaan dengan menstabilkan leher. Tahan kepala dan leher
pada posisi netral dengan tetap mempertahankan leher dengan
menggunakan servical collar dan meletakkan pasien pada long
spine board. Dengarkan suara spontan yang menandakan
pergerakan udara melalui pita suara. Jika tidak ada suara, buka
jalan napas pasien menggunakan chin-lift atau manuver modified
jaw-thrust. Periksa orofaring, jalan napas mungkin terhalang
sebagian atau sepenuhnya oleh cairan (darah, saliva, muntahan)
atau serpihan kecil seperti gigi, makanan, atau benda asing.
Intervensi sesuai dengan kebutuhan (suctioning, reposisi) dan
kemudian evaluasi kepatenan jalan napas. Alat-alat untuk
mempertahankan jalan napas seperti nasofaring, orofaring, LMA,
pipa trakea, Combitute, atau cricothyrotomy mungkin dibutuhkan
untuk membuat dan mempertahankan kepatenan jalan napas.
B : Breathing (Pernapasan)
Munculnya masalah pernapasan pada pasien trauma sering
terjadi kegagalan pertukaran udara, perfusi, atau sebagai akibat
dari kondisi serius pada status neurologis pasien. Untuk menilai
pernapasan, perhatikan proses respirasi spontan dan catat
kecepatan, kedalaman, serta usaha melakukannya. Periksa dada
untuk mengetahui penggunaan otot bantu pernapasan dan gerakan
naik turunnya dinding dada secara simetris saat respirasi.
Selain itu, periksa juga toraks. Pada kasus cedera tertentu
misalnya luka terbuka, flail chest dapat dilihat dengan mudah.
Lakukan auskultasi suara pernapasan bila didapatkan adanya
kondisi serius dari pasien. Selalu diasumsikan bahwa pasien yang
tidak tenang atau tidak dapat bekerja sama berada dalam kondisi
hipoksia sampai terbukti sebaliknya.
Intervensi selama proses perawatan meliputi hal-hal sebagai
berikut :
1) Oksigen tambahan untuk semua pasien. Bagi pasien dengan
volume tidal yang cukup, gunakan non-rebreather mask
dengan reservoir 10-12 l/menit.
2) Persiapkan alat bantu pertukaran udara bila diperlukan.
Gunakan bag-valve-mask untuk mendorong tekanan positif
oksigen pada pasien saat kondisi respirasi tidak efektif.
Pertahankan jalan napas efektif dengan intubasi trakea jika
diperlukan dan siapkan ventilator mekanis.
3) Pertahankan posisi pipa trakea. Begitu pasien terintubasi,
pastikan posisi pipa benar; verifikasi ulang bila dibutuhkan.
Perhatikan gerakan simetris naik turunnya dinding dada,
auskultasi daerah perut kemudian paru-paru dan perhatikan
saturasi oksigen melalui pulseoximeter.
4) Bila didapatkan trauma toraks, maka perlu tindakan yang
serius. Tutup luka dada selama proses pengisapan, turunkan
tekanan pneumotoraks, stabilisasi bagian-bagian yang flail,
dan masukkan pipa dada.
5) Perlu dilakukan penilaian ulang status pernapasan pasien yang
meliputi pengukuran saturasi oksigen dan udara dalam darah
(arterial blood gase).
C : Circulation (Sirkulasi)
Penilaian primer mengenai status sirkulasi pasien trauma
mencakup evaluasi adanya pendarahan, denyut nadi, dan perfusi.
1) Pendarahan
Lihat tanda-tanda kehilangan darah eksternal yang masif
dan tekan langsung daerah tersebut. Jika memungkinkan,
naikkan daerah yang mengalami pendarahan sampai di atas
ketinggian jantung. Kehilangan darah dalam jumlah besar
dapat terjadi di dalam tubuh.
2) Denyut nadi
Denyut nadi diraba untuk mengetahui ada tidaknya nadi,
kualitas, laju, dan ritme. Denyut nadi mungkin tidak dapat
dilihat secara langsung sesudah trauma, hipotermia,
hipovolemia, dan vasokonstriksi pembuluh darah yang
disebabkan respons sistem saraf simpatik yang sangat intens.
Raba denyut nadi karotid, radialis, dan femolar. Sirkulasi
dievaluasi melalui auskultasi apikal. Cari suara degupan
jantung yang menandakan adanya penyumbatan perikardial.
Mulai dari tindakan pertolongan dasar sampai dengan lanjut
untuk pasien yang tidak teraba denyut nadinya. Pasien yang
mengalami trauma cardiopulmonary memiliki prognosis yang
jelek, terutama setelah terjadi trauma tumpul. Pada populasi
pasien trauma, selalu pertimbangkan tekanan pneumotoraks
dan adanya sumbatan pada jantung sebagai penyebab
hilangnya denyut nadi. Kondisi ini dapat kembali normal
apabila dilakukan needle thoracentesis dan pericardiocentesis.
3) Perfusi kulit
Beberapa tanda yang tidak spesifik yaitu akral dingin, kulit
basah, pucat, sianosis, atau bintik-bintik mungkin menandakan
keadaan syok hipovolemik. Cek warna, suhu kulit, adanya
keringat, dan capillary refill. Waktu capillary refill adalah
ukuran perfusi yang cocok pada anak-anak, tapi kegunaanya
berkurang seiring dengan usia pasien dan menurunnya kondisi
kesehatan. Namun demikian, semua tanda-tanda syok tersebut
belum tentu akurat dan tergantung pada pengkajian. Selain
kulit, tanda-tanda hipoperfusi juga tampak pada orang lain,
misalnya oliguria, perubahan tingkat kesadaran, takikardi, dan
disritmia. Selain itu, perlu diperhatikan juga adanya
penggelembungan atau pengempisan pembuluh darah di leher
yang tidak normal. Mengembalikan volume sirkulasi darah
merupakan tindakan yang penting untuk dilakukan dengan
segera. Pasang IV line dua jalur dan infus dengan cairan
hangat. Gunakan blood set dan bukan infuse set karena blood
set mempunyai diameter yang lebih lebar dari infuse set
sehingga memungkinkan tetesannya lebih cepat dan apabila
ingin memberikan transfusi darah, maka bisa langsung
digunakan tanpa harus diganti. Berikan 1-2 l cairan isotonic
crystalloid solution (0,9% normal saline atau Ringer’s lactate).
Pada anak-anak, pemberiannya berdasarkan berat badan yaitu
20 ml/kgBB. Dalam pemberian cairan perlu diperhatikan
respons pasien dan setiap 1 ml darah yang hilang dibutuhkan 3
ml cairan crystalloids. Pada kondisi multiple trauma sering
terjadi perdarahan akibat kehilangan akut volume darah.
Secara umum volume darah orang dewasa adalah 7% dari
berat badan ideal (BBI) sementara volume darah anak-anak
berkisar antara 8-9% BBI. Jadi orang dewasa dengan berat
badan 70 kg diperkirakan memiliki volume darah sekitar 5liter.
Klasifikasi perdarahan meliputi hal-hal sebagai berikut :
1. Perdarahan kelas 1 (kehilangan darah sampai 15%)
Gejala minimal, takikardi ringan, tidak ada
perubahan yang berarti dari tekanan darah, nadi, dan
frekuensi pernapasan. Pada penderita yang sebelumnya
sehat tidak perlu dilakukan transfusi. Pengisian kapiler dan
mekanisme kompensasi lain akan memulihkan volume
darah dalam 24 jam.
2. Perdarahan kelas 2 (kehilangan darah 15-30%)
Gejala klinis meliputi takikardia, takipnea, dan
penurunan tekanan nadi. Penurunan tekanan nadi ini
terutama berhubungan dengan peningkatan komponen
distolik karena pelepasan katekolamin. Katekolamin
bersifat inotropik yang menyebabkan peningkatan tonus
dan resistensi pembuluh darah perifer. Tekanan sistolik
hanya sedikit berubah sehingga lebih tepat mendeteksi
perubahan tekanan nadi. Perubahan sistem saraf sentral
berupa cemas, ketakutan, dan sikap bermusuhan. Produksi
urine sedikit terpengaruh yaitu antara 20-30 ml/jam pada
orang dewasa. Ada penderita yang terkadang memerlukan
transfusi darah, tetapi kebanyakan masih bisa distabilkan
dengan larutan kristaloid.
3. Perdarahan kelas 3 (kehilangan darah 30-40%)
Gejala klinis klasik akibat perfusi inadekuat hampir
selalu ada yaitu takikardi, takipnea, penurunan status
mental dan penurunan tekanan darah sistolik. Penderita ini
sebagian besar memerlukan transfusi darah.
4. Perdarahan kelas 4 (kehilangan darah >40%)
Gejala klinis jelas yaitu takikardi, penurunan
tekanan darah sistolik yang besar dan tekanan nadi yang
sempit (tekanan distolik tidak teraba), produksi urin hampir
tidak ada, kesadaran jelas menurun, kulit dingin, dan pucat.
Transfusi sering kali harus diberikan secepatnya. Bila
kehilangan darah lebih dari 50% volume darah, maka akan
menyebabkan penurunan tingkat kesadaran, kehilangan
denyut nadi dan tekanan darah.
Penggunaan klasifikasi ini diperlukan untuk
mendeteksi jumlah cairan kristaloid yang harus diberikan.
Berdasarkan hukum 3 for 1 rule artinya jika terjadi
perdarahan sekitar 1.000 ml, maka perlu diberikan cairan
kristaloid 3 x 1.000 ml yaitu 3.000 ml cairan kristaloid.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa
pemberian cairan IV secara agresif pada pasien trauma
dapat memperburuk kondisi perdarahan pasien. Hal ini
karena dapat menurunkan hemostatic plugs yang terbentuk
untuk menghentikan pendarahan, tetapi kondisi ini hanya
terjadi pada beberapa kelompok pasien saja. Secara umum,
apabila seorang pasien didapatkan dalam kondisi yang tetap
tidak stabil secara hemodinamis sesudah pemberian infus
crystalloids 2-3 l, sebaiknya pasien segera diberikan
transfusi darah. Pemberian transfusi darah disesuaikan
dengan jenis dan golongan darah pasien.
D : Disability (Status Kesadaran)
Tingkat kesadaran pasien dapat dinilai dengan
menggunakan mnemonic AVPU. Sebagai tambahan, cek kondisi
pupil, ukuran, kesamaan, dan reaksi terhadap cahaya. Pada saat
survei primer, penilaian neurologis hanya dilakukan secara
singkat. Pasien yang memiliki risiko hipoglikemi (misal: pasien
diabetes) harus dicek kadar gula dalam darahnya. Apabila
didapatkan kondisi hipoglikemi berat, maka diberikan Dekstrose
50%. Adanya penurunan tingkat kesadaran akan dilakukan
pengkajian lebih lanjut pada survei sekunder. GCS dapat dihitung
segera setelah pemeriksaan survei sekunder.
Mnemonic AVPU meliputi: awake (sadar); verbal
(berespons terhadap suara/ verbal); pain (berespons terhadap
rangsang nyeri), dan unresponsive (tidak berespons).
E : Exposure and Environmental Control (Pemaparan dan
Kontrol Lingkungan)
1. Pemaparan (Exposure)
Lepas semua pakaian pasien secara cepat untuk memeriksa
cedera, perdarahan, atau keanehan lainnya. Perhatikan kondisi
pasien secara umum, catat kondisi tubuh, atau adanya bau zat
kimia seperti alkohol, bahan bakar, atau urine.
2. Kontrol Lingkungan (Environmental Control)
Pasien harus dilindungi dari hipotermia. Hipotermia
penting karena ada kaitannya dengan vasokonstriksi pembuluh
darah dan koagulopati. Pertahankan atau kembalikan suhu
normal tubuh dengan mengeringkan pasien dan gunakan lampu
pemanas, selimut, pelindung kepala, sistem penghangat udara,
dan berikan cairan IV hangat.
2. Survei Sekunder (Secondary Survey)
Setelah dilakukan survei primer dan masalah yang terkait
dengan jalan napas, pernapasan, sirkulasi, dan status kesadaran
telah selesai dilakukan tindakan, maka tahapan selanjutnya adalah
survei sekunder. Pada survei sekunder pemeriksaan lengkap mulai
dari head to toe. Berbeda dengan survei primer, dalam
pemeriksaan survei sekunder ini apabila didapatkan masalah,
maka tidak diberikan tindakan dengan segera. Hal-hal tersebut
dicatat dan diprioritaskan untuk tindakan selanjutnya. Jika pada
saat tertentu, pasien tiba-tiba mengalami masalah jalan napas,
pernapasan atau sirkulasi, maka segera lakukan survei primer dan
intervensi sesuai dengan indikasi. Mnemonic yang digunakan
untuk mengingat survei sekunder ialah huruf F ke I.
F : Full Set of Vital Signs, Five Interventions, and Facilitation of
Family Presence (Tanda-tanda vital, 5 intervensi, dan
memfasilitasi kehadiran keluarga)
Full Set of Vital Signs (TTV)
Tanda-tanda vital ini menjadi dasar untuk penilaian
selanjutnya. Pasien yang kemungkinan mengalami trauma dada
harus dicatat denyut nadi radial dan apikalnya; nilai tekanan darah
pada kedua lengan. Termasuk suhu dan saturasi oksigen
sebaiknya dilengkapi pada tahap ini, jika belum dilakukan.
Five Interventions (5 Intervensi)
Lima intervensi ini meliputi hal-hal sebagai berikut :
a. Pemasangan monitor jantung.
b. Pasang nasogastrik tube atau orogastrik tube (jika ada
indikasi).
c. Pasang folley kateter (jika ada indikasi).
d. Pemeriksaan laboratorium meliputi: darah lengkap, kimia
darah, urinalysis, urine, kadar ethanol, toxicologic screens
(urine, serum), clotting studies (prothrombin time, activated
partial thromboplastin time, fibrinogen, D dimer) untuk
pasien dengan yang mengalami gangguan koagulopati.
e. Pasang oksimetri.
Facilitation of Family Presence (Memfasilitasi Kehadiran
Keluarga)
Memfasilitasi kehadiran keluarga berarti memberikan
kesempatan untuk bersama pasien meskipun berada dalam situasi
yang mengancam nyawa, tetapi hal ini masih menjadi hal yang
kontroversial sampai sekarang. Berdasarkan kesepakatan
Emergency Nurses Association (ENA), keluarga diberikan
kesempatan untuk bersama dengan pasien selama proses invasif
dan resusitasi. Rumah sakit atau klinik yang mengizinkan
kehadiran keluarga pasien harus memiliki standar prosedur
tentang bagaimana cara menenangkan, mendukung, dan
memberikan informasi pada anggota keluarga.
G : Give Comfort Measures (Memberikan Kenyamanan)
Korban trauma sering mengalami masalah yang terkait
dengan kondisi fisik dan psikologis. Metode farmakologis dan
non-farmakologis banyak digunakan untuk menurunkan rasa
nyeri dan kecemasan. Dokter dan perawat yang terlibat dalam tim
trauma harus bisa mengenali keluhan dan melakukan intervensi
bila dibutuhkan.
H : History and Head-to-Toe Examination
1. Riwayat Pasien (History)
Jika pasien sadar dan kooperatif, lakukan pengkajian pada
pasien untuk memperoleh informasi tentang pengobatan,
alergi, dan riwayat penyakit yang bersangkutan. Anggota
keluarga pasien bisa juga menjadi sumber untuk memperoleh
data ini. Informasi penting tentang kondisi sebelum sampai di
rumah sakit seperti tempat kejadian, proses cedera, penilaian
pasien dan intervensi didapatkan dari petugas EMS. Untuk
mempermudah dalam melakukan pengkajian yang berkaitan
dengan riwayat kejadian pasien, maka dapat digunakan
mnemonic MIVT yaitu mechanism (mekanisme), injuries
suspected (dugaan adanya cedera), vital sign on scene (TTV di
tempat kejadian), dan treatment received (perawatan yang
telah diterima).
2. Head-to-toe Examination (Pemeriksaan mulai dari kepala
sampai kaki)
a. Kepala (Head)
Kepala dilakukan inspeksi secara sistematis dan
dinilai adanya luka-luka yang tampak, perubahan bentuk,
dan kondisi kepala yang tidak simetris. Raba tengkorak
untuk mencari fragmen tulang yang tertekan, hematoma,
laserasi, ataupun nyeri. Perhatikan area ekimosis atau
perubahan warna. Ekimosis di belakang telinga atau di
daerah periorbital adalah indikasi adanya fraktur tengkorak
basilar (fraktur basis cranii).
Berikut adalah intervensi yang dapat dilakukan :
1) Jaga kondisi pasien agar tidak terjadi hipotensi atau
hipoksia.
2) Manitol dapat diberikan secara IV untuk menurunkan
tekanan intrakranial.
3) Pasien cedera kepala yang kondisinya terus memburuk,
harus dipertimbangkan pemberian terapi hiperventilasi
untuk menurunkan PaCO2 dari 30-35 mmHg.
4) Observasi tanda-tanda peningkatan TIK dan persiapkan
pasien jika diperlukan tindakan bedah.
b. Muka (Face)
Periksa dan perhatikan apakah terdapat luka paada
wajah pasien dan kondisi wajah yang tidak simetris.
Perhatikan adanya cairan yang keluar dari telinga, mata,
hidung, dan mulut. Cairan jernih yang berasal dari hidung
dan telinga diasumsikan sebagai cairan serebrospinal
sampai diketahui sebaliknya. Evaluasi kembali pupil yang
meliputi kesimetrisan, respons cahaya, dan akomodasi
mata, serta periksa juga fungsi ketajaman penglihatan.
Minta pasien untuk membuka dan menutup mulut untuk
mengetahui adanya malocclusion, laserasi, gigi hilang atau
goyah, dan/atau benda asing.
1) Tindakan yang dapat dilakukan untuk menegakkan
diagnosis adalah sebagai berikut :
2) Scan noncontrast computerized axial tomographic.
3) Panoramic radiographic views of the jaw.
4) Intervensi yang dapat dilakukan adalah memberikan
perawatan luka.
c. Leher (Neck)
Periksa kondisi leher pasien dan pastikan pada saat
melakukan pengkajian posisi leher tidak bergerak. Lakukan
palpasi dan inspeksi terhadap adanya luka, jejas, ekimosis,
distensi pembuluh darah leher, udara di bawah kulit, dan
deviasi trakea. Arteri karotid juga dapat diauskultasi untuk
mencari suara abnormal. Lakukan palpasi untuk
mengetahui perubahan bentuk, kerusakan, lebam, jejas di
tulang belakang. Trauma penetratif pada leher jarang
mengakibatkan cedera tulang belakang. Meski begitu,
kerusakan tulang belakang sebaiknya dipertimbangkan
sampai dibuktikan sebaliknya dengan penilaian klinis atau
radiografis.
Empat pengamatan radiografis yang dibutuhkan
untuk mendapatkan gambaran tulang belakang secara utuh
adalah sebagai berikut :
1) Cross-table lateral (harus tampak C1-T1).
2) Anterior-posterior.
3) Lateral.
4) Open-mouth odontoid.

d. Dada (Chest)
Periksa dada untuk mengetahui adanya
ketidaksimetrisan, perubahan bentuk, trauma penetrasi atau
luka lain, lakukan auskultasi jantung dan paru-paru. Palpasi
dada untuk mencari perubahan bentuk, udara di bawah kulit
dan area lebam/jejas.
Diagnosis yang mungkin muncul adalah sebagai berikut :
1) Ambil portable chest radiograph jika pasien tidak dapat
duduk tegak untuk sudut posterior-anterior dan lateral.
2) Lakukan perekaman ECG 12-lead pada pasien yang
diduga atau memiliki trauma tumpul pada dada.
3) Pertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan BGA jika
pasien menunjukkan distress napas atau telah memakai
ventilator mekanik.
e. Abdomen (Perut)
Periksa perut untuk mengetahui adanya memar,
massa, pulsasi, atau onjek yang menancap. Perhatikan
adanya pengeluaran isi perut, auskultasi suara perut di
semua empat kuadran, dan secara lembut palpasi dinding
perut untuk memeriksa adanya kekakuan, nyeri, rebound
pain atau guarding.
Tindakan yang dapat dilakukan untuk menegakkan
diagnosis adalah sebagai berikut :
1) Periksa FAST (focused abdominal sonography for
trauma) yaitu proses pemeriksaan sonografi pada empat
wilayah perut (perikardial, perihepatik, perisplenik, dan
pelvis) digunakan untuk mengidentifikasi cairan
intraperitoneal pada pasien dengan trauma tumpul pada
perut.
2) Diagnosis peritoneal lavage (jarang digunakan karena
sudah tersedia CT-scan).
3) CT scan bagian perut (dilakukan dengan tingakat kontras
medium).
4) Urutan pemeriksaan radiografis perut atau ginjal-uretra-
kandung kemih.
f. Pelvis (Panggul)
Periksa panggul untuk mengetahui adanya
pendarahan, lebam, jejas, perubahan bentuk, atau trauma
penetrasi. Pada laki-laki, periksa adanya priapism,
sedangkan pada wanita periksa adanya pendarahan.
Inspeksi daerah perineum terhadap adanya darah, feses,
atau cedera lain. Pemeriksaan rektum dilakukan untuk
mengukur sphincter tone, adanya darah, dan untuk
mengetahui posisi prostat. Letak prostat pada posisi high-
riding, darah pada urinary meatus, atau adanya scrotal
hematoma adalah kontraindikasi untuk dilakukannya
kateter sampai uretrogram retrograde dapat dilakukan.
Untuk mengetahui stabilitas panggul lakukan penekanan
secara halus ke arah dalam (menuju midline) pada iliac
crests. Lakukan palpasi pada daerah simfisis pubis jika
pasien mengeluh nyeri atau terdengar adanya gerakan,
hentikan pemeriksaan dan lakukan pemeriksaan X-rays.
g. Ekstremitas (Extremity)
Periksa keempat tungkai untuk mengetahui adanya
perubahan bentuk, dislokasi, ekimosis, pembengkakan, atau
adanya luka lain. Periksa sensorik-motorik dan kondisi
neurovaskular pada masing-masing ekstremitas. Lakukan
palpasi untuk mengetahui adanya jejas, lebam, krepitasi,
dan ketidaknormalan suhu. Jika ditemukan adanya cedera,
periksa ulang status neurovaskular distal secara teratur dan
sistematis.
Tindakan yang dapat dilakukan untuk menegakkan
diagnosis adalah pemeriksaan X-rays pada ekstremitas yang
mengalami gangguan.
Intervensi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
1) Balut bidai.
2) Perawatan luka.

I : Inspect the Posterior Surfaces (Periksa Permukaan Bagian


Belakang)
Dengan tetap mempertahankan posisi tulang belakang
dalam kondisi netral, miringkan pasien ke satu sisi. Prosedur ini
membutuhkan beberapa orang anggota tim. Pemimpin tim menilai
keadaan posterior pasien dengan mencari tanda-tanda jejas,
lebam, perubahan warna, atau luka terbuka. Palpasi tulang
belakang untuk mencari tonjolan, perubahan bentuk, pergeseran,
atau nyeri. Pemeriksaan rektal dapat dilakukan pada tahap ini
apabila belum dilakukan pada saat pemeriksaan panggul dan pada
kesempatan ini juga bisa digunakan untuk mengambil baju pasien
yang berada di bawah tubuh pasien. Apabila pada pemeriksaan
tulang belakang tidak didapatkan adanya kelainan atau gangguan
pada pasien dapat telentang, maka backboard dapat diambil
(dengan mengikuti protokol institusi).
Tindakan yang dapat dilakukan untuk menegakkan
diagnosis adalah sebagai berikut :
1. Pemeriksaan X-ray pada tulang belakang (leher, toraks,
pinggang).
2. CT scan tulang belakang.
Intervensi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Jaga tulang belakang agar tidak bergeser, sampai pasien sudah
normal.
2. Pertimbangkan memberi lapisan atau mengambil papan. Lihat
tanda-tanda kerusakan kulit.
2.2.2 Asuhan Keperawatan Multi Trauma
A. Pengkajian
1. Pengkajian primer
a. Airway (jalan nafas)
Pemeriksaan  jalan napas pada pasien multi trauma
merupakan prioritas utama.
Usaha untuk kelancaran jalan nafas harus di lakukan
dengan cara clin lift atau jaw thrust secara manual untuk
membuka jalan nafas.
b. Breathing (dan ventilasi)
Semua penderita trauma harus mendapat suplai
oksigen yang tinggi kecuali jika terdapat kontrindikasi 
terhadap tindakkan ini. Bantuan ventilasi harus dimulai jika
usaha pernapasan inadekuat.
c. Circrulation (sirkulasi)
Jika ada gangguan sirkulasi segera tanggani dengan
pemasangan IV line. Dan tentukan status sirkulasi dengan
mengkaji nadi,mencatat irama dan ritmenya.
d. Disability (evaluasi neurologis)
Pantau status neurologis secara cepat meliputi
tingkat kesadaran dan GCS,dan ukur reaksi pupil serta
tanda-tanda vital.
2. Pengkajian sekunder
a. Kepala
1) Inspeksi dan palpasi keseluruhan kulit kepala ; hal ini
penting karena kulit kepala biasanya tidak terlihat karena
tertutup rambut.
2) Catat adanya pendarahan, laserasi memar, atau hematom.
3) Catat adanya darah atau drainase dari telinga. Inspeksi
adanya memar di belakang telinga.
4) Kaji respons orientasi pasien akan waktu,tempat,dan diri.
Observasi bagaimana pasien merespons pertanyaan dan
berinteraksi dengan lingkungan.
5) Catat adanya tremor atau kejang.
b. Wajah
1) Inspeksi dan palpasi tulang wajah.
2) Kaji ukuran pupil dan reaksinya terhadap cahaya. Catat
apakah lensa kontak terpasang ; jika ya lepaskan
3) Catat adanya darah atau drainase dari telinga, mata,
hidung, atau mulut.
4) Observasi bibir, daun telinga, dan ujung kuku terhadap
sianosis.
5) Cek adanya gigi yang tanggal.
6) Cek adanya gigi palsu. Jika ada pasien mengalami
penurunan tingkat kesadaran atau gigi palsu
mempengaruhi jalan nafas, lepaskan ; lalu di beri nama
dan simpan di tempat yang aman (lebih baik berikan
pada keluarganya).
7) Inspeksi lidah dan mukosa oral terhadap trauma.
c. Leher
1) Observasi adanya bengkak atau deformitas di leher.
2) Cek spinal servikal utuk devormitas dan nyeri pada
palpasi. Perhatikan jangan menggerakkan leher atau
kepala pasien dengan kemungkinan trauma leher sampai
fraktur servikal sudah dipastikan.
3) Observasi adanya deviasi trakea.
4) Observasi adanya distensi vena jugularis.
d. Dada
1) Inspeksi dinding dada untuk kualitas dan kedalaman
pernafasan dan untuk kesimetriasan pergerakan. Catat
adanya segmen flailchest.
2) Cek adanya fraktur iga dengan melakukan penekanan
pada tulang iga pada posisi lateral, lalu anterior dan
posterior ; manufer ini menyebabkan nyeri pada pasien
dengan fraktur iga.
3) Catat keluhan pasien akan nyeri,dispnea,atau sensasi
dada terasa berat.
4) Catat memar, pendarahan, luka atau emfisema
subkutaneus.
5) Auskultasi paru utuk kualitas dan kesimetrisan bunyi
napas.
e. Abdomen
1) Catat adanya distensi, perdarahan, memar, atau abrasi,
khususnya di sekitar organ vital seperti limpa atau hati.
2) Auskultasi abdomen untuk bising usus sebelum
mempalpasi mengkaji secara benar.
f. Genetalia dan pelvis
1) Oservasi untuk abrasi, perdarahan, hematoma, edema,
atau discharge.
2) Observasi adanya gangguan kemih.
g. Tulang belakang
1) Mulai tempatkan satu tangan di bawah leher pasien.
Dengan lembut palpasi vertebrata. Rasakan adanya
deformitas dan catat lokasinya jika terdapat respon nyeri
pada pasien.
2) Perhatian : jangan pernah membalik pasien untuk
memeriksa tulang belakang sampai trauma spinal sudah
di pastikan. Jika anda harus membalik pasien (misalnya
luka terbuka) gunakan tehnik log-roll.
3) Catat adanya keluhan nyeri dari pasien ketika
mempalpasi sudut costovertebral melewati ginjal.

h. Ekstremitas
Cek adanya pendarahan ,edema , nyeri ,atau
asimetris tulang atau sendi mulai  pada segmen proksimal
pada setiap ekstremitas dan palpasi pada bagian distal.

B. Diagnosa
1. Defisit volume cairan yang berhubungan dengan hemoragi,
spasium ketiga.
2. Kerusakan pertukaran gas : yang berhubungan dengan trauma
pulmonal, komplikasi pernapasan (mis, ARDS), nyeri.
3. Kerusakan integritas jaringan ; yang berhubungan dengan
trauma, pembedahan, prosedur-prosedur invasif, imobilitas.
4. Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan ; yang
berhubungan dengan penurunan curah jantung, penurunan
oksigenasi, penurunan pertukaran gas.
5. Resiko tinggi terhadap infeksi : yang berhubungan dengan
trauma, prosedur invasif.
6. Resiko tinggi terhadap ansietas : yang berhubungan dengan
penyakit kritis, ketakutan akan kematian atau kecacatan,
perubahan peran dalam lingkungan sosial, ketidakmampuan
yang permanen.

C. Rencana Asuhan Keperawatan


Pasien dengan trauma

Diagnosa keperawatan Kriteria hasil/ tujuan- Intervensi keperawatan


tujuan pasien
Defisit volume cairan Mempertahankan 1. Penggantian volume
yang berhubungan keseimbangan cairan sesuai instruksi
dengan hemoragi, yang optimal. kristaloid atau koloid.
spasium ketiga. 2. Pertahankan potensi
aliran IV : aliran sentral
lebih baik.

3. Pantau TD, FJ setiap


jam atau sesuai
instruksi.
4. Pantau haluaran urine
setiap jam.
5. Kaji parameter
hemodinamik : TDKP,
TVS, curah jantung,
6. Ukur berat badan setiap
hari.
7. Berikan oksigen sesuai
kebutuhan.
8. Pantau elektrolit, HSD ,
faktor-faktor koagulasi.
9. Kaji tipe dan jumlah
drainase : tandai balutan
jika ada indikasi.
10. Jika ada indikasi :
siapkan dan pastikan
fungsi peralatan
autotransfusi.
11. Siapkan untuk
pembedahan, sesuai
dengan keperluan.
Kerusakan pertukaran Mempertahankan 1. Kaji bunyi paru,
gas : yang berhubungan oksigenasi yang adekuat pernapasan, suhu tubuh,
dengan trauma dan keseimbangan asam- sensorium, TVS, gas-gas
pulmonal, komplikasi basa normal. darah venous arterial
pernapasan (mis, dan campuran.
ARDS), nyeri. 2. Berikan oksigen sesuai
dengan keperluan.

3. Berbalik, batuk, napas


dalam jika pasien tidak
pada ventilasi mekanis.
4. Pertimbangkan tempat
tidur rotasi.
5. Pertahankan ventilasi
mekanis, sesuai pesanan.
6. Suksion, lavage trakeal
sesuai keperluan.
7. Bantu untuk radiografi,
bronkoskopi, sesuai
keperluan.
8. Dapatkan spesimen
kultur, sesuai pesanan.
9. Berikan mukolitik,
bronkodilator, sesuai
permintaan.
10. Lakukan fisioterapi
dada, drainase postural
jika tidak ada
kontraindikasi.
11. Tingkatkan kontrol
nyeri, kaji
keefektifannya.
12. Bantu saat klien
menjalani blok
interkostal atau
analgesia epidural.
13. Sedasi sesuai
permintaan, untuk
meminimalkan
kebutuhan oksigen.
14. Pertahankan dan
bantu pasien dengan
pemasangan selang
dada.
15. Siapkan untuk
trakeostomi jika
diperlukanuntuk
ventilasi jangka panjang.
Kerusakan integritas Mempertahankan 1. Kaji penyembuhan luka,
jaringan ; yang oksigenasi yang adekuat kulit, dan integritas
berhubungan dengan dan keseimbangan asam- jaringan.
trauma, pembedahahn, basa normal. 2. Putar, ubah posisi setiap
prusedur-prosedur 2 jam.
invasif, imobilitas. 3. Pertimbangkan
penggunaan tempat tidur
dengan kasur berisi
udara.
4. Ganti pembalut, sesuai
perintah.
5. Lindungi kulit dari
drainase yang
mengiritasi.
6. Pantau cairan aspirasi
lambung terhadap
keasaman atau
perdarahan.
7. Berikan antasid,
antagonis histamin,
sesuai perintah.
8. Tingkatkan nutrisi yang
adekuat.

Resiko tinggi terhadap Mempertahankan fungsi 1. Kaji fungsi organ :


perubahan perfusi organ yang adekuat tanda-tanda vital,
jaringan; yang haluaran urine,
berhubungan dengan sensorium, curah
penurunan curah jantung, indeks jantung.
jantung, penurunan 2. Pantau gas-gas darah
oksigenasi, penurunan arteri dan vena
pertukaran gas. campuran, pengiriman
oksigen, konsumsi
oksigen, pemirauan.
3. Pantau BUN , kreatinin,
bilirubin, dan uji fungsi
hepar.
4. Kaji terhadap ikterik.
5. Siapkan untuk dialisis
jika diperlukan.
6. Berikan agen-agen
inotropik, sesuai
perintah.
7. Pertahankan
keseimbangan cairan
yang optimal.
8. Sedasikan pasien, sesuai
perintah, untuk
menurunkan kebutuhan
metabolik.
Resiko tinggi terhadap Pasien tidak 1. Kaji tanda-tanda vital,
infeksi : yang menunjukkan tanda atau suhu, luka-luka, letak
berhubungan dengan gejala-gejala infeksi. IV, letak drain.
trauma, prosedur 2. Pantau SDP.
invasif. 3. Dapatkan biakan sesuai
perintah.
4. Berikan antibiotik sesuai
perintah.
5. Ganti balutan, sesuai
perintah atau
perprotokol.
6. Bantu dengan perubahan
saluran IV.
7. Pertahankan potensi
drain.
8. Kaji jumlah dan tipe
drainase.
9. Pantau hemodinamik
terhadap tanda-tanda
syok septik : TD, curah
jantung, tahanan
vaskular sistemik.
10. Pertahankan
keseimbangan cairan
yang adekuat, haluaran
urine, nutrisi.
11. Siapkan untuk
pemeriksaan diagnostik,
pembedahan sesuai
keperluan.
Resiko tinggi terhadap Pasien akan 1. Berikan lingkungan
ansietas : yang menegekspresikan yang mendorong
berhubungan dengan ansietas kepada suasana diskusi terbuka
penyakit kritis, narasumber yang sesuai. tentang isu-isu
ketakutan akan emosional.
kematian atau 2. Kerahkan sistem
kecacatan, perubahan pendukung pasien serta
peran dalam lingkungan libatkan sumber-sumber
sosial, ketidakmampuan ini dengan cara yang
yang permanen. sesuai.
3. Berikan waktu kepada
pasien untuk
mengekspresikan
dirinya.
4. Identifikasi sumber-
sumber rumah sakit
yang mungkin untuk
dukungan
pasien/keluarganya.
5. Anjurkan komunikasi
terbuka antara keluarga
pasien dengan perawat
tentang isu-isu
emosional.
6. Validasikan
pengetahuan dasar
pasien dan keluarga
tentang penyakit kritis.
7. Libatkan sistem
pendukung religius
dengan cara yang sesuai.

BAB 3
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Multi trauma adalah keadaan yang di sebabkan oleh luka atau
cedera definisi ini memberikaan gambaran superficial dari respon fisik
terhadap cedera, trauma juga mempunyai dampak psikologis dan social.
Trauma dapat disebabkan oleh benda tajam, benda tumpul, atau peluru.
Akibat cedera ini dapat menyebabkan cedera muskuloskeletal dan
kerusakan organ. Trauma terjadi dalam 3 fase : Fase pertama berlangsung
beberapa jam setelah terjadinya trauma. Dalam fase ini akan terjadi
kembalinya volume sirkulasi, perfusi jaringan, dan hiperglikemia. Pada
fase kedua terjadi katabolisme menyeluruh, dengan imbang nitrogen yang
negative, hiperglikemia, dan produksi panas. Pada fase ketiga terjadi
anabolisme yaitu penumpukan kembali protein dan lemak badan yang
terjadi setelah kekurangan cairan dan infeksi teratasi. Rasa nyeri hilang
dan oksigenasi jaringan secar keseluruhan sudah teratasi.
Penilaian awal pasien trauma terdiri atas survei primer dan survei
sekunder. Pada survei primer terdapat proses penilaian, intervensi, dan
evaluasi yang berkelanjutan. Komponen survei primer adalah sebagai
berikut : Airway (jalan napas), Breathing (pernapasan), Circulation
(sirkulasi), D : Disability (defisit neurologis), E : Exposure and
environmental control (pemaparan dan kontrol lingkungan). Pada survei
sekunder pemeriksaan lengkap mulai dari head to toe. dalam pemeriksaan
survei sekunder ini apabila didapatkan masalah, maka tidak diberikan
tindakan dengan segera. Hal-hal tersebut dicatat dan diprioritaskan untuk
tindakan selanjutnya. Untuk mengingat survei sekunder ialah huruf F ke I.
F : Full Set of Vital Signs, Five Interventions, and Facilitation of Family
Presence (Tanda-tanda vital, 5 intervensi, dan memfasilitasi kehadiran
keluarga).

3.2 SARAN
Yang harus dilakukan perawat terlebih dahulu saat menangani
pasien multi trauma yaitu mempertahankan jalan napas, memastikan
pertukaran udara secara efektif, dan mengontrol pendarahan. Perawat
harus melakukan pendekatan primary dan secondary survey. Pendekatan
ini berfokus pada pencegahan kematian dan cacat pada jam-jam pertama
setelah terjadinya trauma. Dalam pendekatan primary, perawat melakukan
Airway (jalan napas), Breathing (pernapasan), Circulation (sirkulasi),
Disability (defisit neurologis), dan Exposure and environmental control
(pemaparan dan kontrol lingkungan).

DAFTAR PUSTAKA

Eliastam, Michael. 1998. Penuntun Kedaruratan Medis. Jakarta. EGC


Kartikawati, Dewi. 2012. Buku Ajar Dasar-Dasar Keperawatan Gawat Darurat.
Jakarta : Salemba Medika
Hudak,Carolyn.1996. Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik Edisi 6,Vol 2.
Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai