MAKALAH Tauhid Dito
MAKALAH Tauhid Dito
DOSEN:Drs.Awaludin, M.Pd.I.
NIM : 190901011
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GRESIK
Daftar Isi
A. Pendahuluan
B. Pengertian Tauhid
1. Tauhid Rububiyah
2. Tauhid Uluhiyah
3. Makna Tauhid Asma wa Sifat
E. Penutup
A. Pendahuluan
Dalam bab ini akan dibahas mengenai Tauhid dan Urgensinya bagi Kehidupan
Manusia. Dari pembahasan ini diharapkan memiliki pemahaman tentang hal-hal
berikut:
1. Pengertian Tauhid,
2. Makna laa ilaaha illa-Allah dan konsekuensinya dalam kehidupan,
3. Tauhid sebagai landasan kehidupan,
4. Jaminan Allah bagi ahli Tauhid.
B. Pengertian Tauhid
Secara bahasa, tauhid berasal dari kata dasar yang maknanya sesuatu itu satu
(esa). Sedangkan secara syar’i tauhid bermakna mengesakan Allah dalam ibadah,
bersamaan dengan keyakinan keesaanNya dalam dzat, sifat dan perbuatan-
perbuatanNya.
Pembagian Tauhid
Tauhid menurut ulama dibagi menjadi tiga yaitu tauhid rububiyah, tauhid
uluhiyah dan tauhid asma wa sifat¹.
1.Tauhid Rububiyah
Artinya kita meyakini keesaan Allah dalam hal penciptaan, pemilik, pengatur,
pemberi rizeki dan pemelihara alam semesta beserta isinya. Keyakinan seperti iini
juga diyakini oleh kaum musyrikin Makkah sebagai firman Allah:
2. Tauhid Uluhiyah
Artinya kita meyakini bahwa Allah-lah satu-satunya Dzat yang berhak disembah
(diibadahi). Ibadah di sini adalah istilah yang meliputi segala apa yang Allah cintai
dan ridhai baik berupa ucapan serta amalan-amalan yang lahir maupun yang batin.
Tauhid uluhiyyah merupakan implementasi dari kalimat tauhid “laa ilaaha illa-
Allah”. Makna kalimat ini adalah tidak ada sesembahan yang hak untuk disembah
melainkan Allah. Kalimat tauhid ini mengandung dua unsur yaitu unsur penolakan
segala bentuk sesembahan selain Allah serta menetapkan segala bentuk ibadah
ditunjukan hanya kepada Allah semata. Tauhid inilah yang merupakan inti dari
pengutusan para rasul seperti yang termasuk dalam firman Allah:
Artinya : “Dan tidaklah kami mengutus seorang rasul pun sebelum kamu
melainkan kami wahyukan kepadanya bahwasanya tidak ada sesembahan (yang
hak) melainkan Aku, maka sembahlah Aku olehmu sekalian”. (QS. Al-Anbiya’:
25).
Dalam hal memahami makna “laa ilaaha illa-Allah” ada sebagian orang
memaknainya dengan ( tidak ada hakim tertinggi melainkan Allah). Ini adalah
makna yang sempit dan kurang tepat sebab dakwah Rasullullah ketika pertama kali
diutus bukan masalah hakimiyah, namun masalah tauhid ibadah dan menjauhi
kesyirikan sebagaimana firman Allah:
Artinya : “Sungguh kami telah mengutus seorang rasul pada setiap umat agar
mereka (memerintahkan) umatnya menyembah Allah dan menjauhi Thaghut”².
(QS. An-Nahl:36).
Al-Qurthubi, saat menafsirkan firman Allah, “Tidak ada yang sama dengan-Nya
sesuatu apa pun,”mengatakan, “Yang harus diyakini dalam bab ini adalah bahwa
Allah SWT, dalam hal keagungan, kebesaran, kekuasaan, dan keindahan nama
serta ketinggian sifat-Nya, tidak satupun dari makhluk-Nya yang menyerupai-Nya
dan tidak pula dapat diserupai dengan makhluk-Nya. Dan sifat yang oleh syariat
disandangkan kepada Pencipta dengan kepada makhluk, pada hakikatnya esensinya
berbeda meskipun lafazhnya sama. Sebab, sifat Allah Yang tidak Berpemulaan
(qadim) pasti berbeda dengan sifat makhluk-Nya.
Termasuk dalam asas pertama ini ialah menyucikan Allah SWT dari segala
yang bertentangan dengan sifat yang disandangkan oleh Rasullulah Saw. Jadi
mengesakan AllahcSWT dalam hal sifat-sifat-Nya menuntut seseorang Muslim
untuk meyakini bahwa Allah SWT tidak mempunyai istri, teman, tandingan,
pembantu, dan syafi’ (pemberi syafa’at), kecuali atas izin-Nya. Dan juga menuntut
seorang Muslim untuk menyucikan Allah dari sifat tidur, lelah, lemah, mati,
bodoh, zalim, lalai, lupa, kantuk, dan sifat-sifat kekurangan lainya.
Sedangkan asas kedua, mewajibkan untuk membatasi diri pada nama-nama
dan sifat-sifat yang telah ditetapkan dal al-Qur’an dan As-Sunnah. Nama-nama dan
sifat-sifat itu harus ditetapkan berdasarkan wahyu, bukan logika. Jadi, tidak boleh
menyandangkan sifat atau nama kepada Allah SWT kecuali sejauh ditetapkan oleh
Rasulullah Saw. Sebab Allah SWT maha tau tentang Dirinya sifat-sifat-Nya, dan
nama-nama-Nya. Ia berfirman :
Artinya : “Katakanlah, kalian yang lebih tahu atau Allah ?”. (QS. Al-Baqarah :
140)
Nah, bila Allah SWT yang lebih mengetaahui tentang Dirinya dan para Rasul-
Nya adalah orang-orang jujur dan selalu membenarkan segala informasi dari-Nya,
pasti mereka tidak akan menyampaikan selain dari apa yang diwahyukan oleh-Nya
kepada mereka. Karenanya, dalam urusan mengukuhkan atau menafikan nama-
nama dan sifat-sifat Allah SWT wajib merujuk kepada informasi dari Allah dan
Rasul-Nya.
Sementara asas ketiga, menuntut manusia yang mukallaf untuk mengimani
sifat-sifat dan nama-nama yang ditegaskan oleh al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa
bertanya tentang kaifiyyah (kondisi)-Nya, dan tidak pula tentang esensinya. Sebab,
mengetahui kaifiyyah sifat hanya akan dicapai mankala mengetahui kaifiyyah
Dzat. Padahal Dzat Allah SWT tidak berhak dipertanyakan esensi dan kaifiyyah-
Nya.
Karena itu, ketika para ulama salaf ditanya tentang kaifiyyah istiwa’ (cara Allah
SWT bersemayam), mereka menjawab’ “Istiwa’ itu sudah dipahami, sedang cara-
caranya tidak diketahui; mengimani istiwa’ adalah wajib dan bertanya tentangnya
adalah bid’ah.”
Jika ada seseorang bertanya kepada kita, ”Bagaimana cara Allah SWT turun ke
langit dunia ?” Maka kita tanyakan kepadanya,”Bagaimana dia ?” jika ia
mengatakan, “Saya tidak tau kaifiyyah Dia”. Maka kita jawab “ Makanya kita
tidak tau kaifiyyah turunya Allah. Sebab untuk mengetahui kaifiyyah sifat harus
mengetahui terlebih dahulu kaifiyyah dzat yang disifsti itu. Karena, sifat itu adalah
cabang dan mengikuti yang disifati. Maka, bagaimana Anda menuntut istiwa’,
padahal Anda tidak tahu bagaimana kaifiyyah Dzat-Nya. Jika Anda mengakui
bahwa Allah SWT adalah wujud yang hakiki yang pasti memiliki segala sifat
kesempurnaan dan tidak ada yang menandinginya, maka mendengar, melihat,
berbicara dan turunya Allah tidak dapat digambarkan dan tidak bisa disamakan
dengan mahluk-Nya.
Dari penjelasan di atas, kita dapat mengetahui bahwa tauhid asmawa sifat ini dapat
rusak dengan
beberapa hal berikut :
E. Penutup
Setiap muslim hendak meyakini bahwa tauhid adalah dasart Islam yang paling agung dan
istimewa. Jika tauhid yang murni terealisasikan dalam hidup seseorang, baik pribadi maupun
jama’ah, akan memetik buah yang amat manis. Di antara buah yang didapat adalah
memerdekakan manusia dari perbudakan serta tunduk kepada selain Allah, baik benda-benda
atau makhluk lainnya, juka akan memebentuk keperibadian yang kokoh.
Karena itu, siapa pun yang mampu mengamalkan nilai-nilai ketauhidan dengan benar
dalam segala aktivitasnya, niscaya mendapat ketauhidan dengan benar dalam segala aktivitasnya,
niscaya mendapat banyak keistimewaan. Allah SWT menjanjikan bagi para ahli Tauhid aneka
kebahagiaan, baik di dunia, lebih-lebih di akhirat kelak.
DAFTAR PUSTAKA
Aziz.Abdul,Pelajaran Tauhid Untuk Pemula, Terj. Ainul Haris Umar Arifin Thayib, Jakarta:
Yayasan Al-sofwa, 2000
Source : https://maswanuldwim.blogspot.com/2017/05/tauhid-dan-urgensinya-bagi-
kehidupan.html